• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra 2002). Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi yang berperan menjaga keseimbangan ekosistem. Akan tetapi habitat gajah di hutan mengalami fragmentasi menjadi habitat yang lebih kecil dan sempit. Hal ini disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, sehingga kebutuhan manusia juga semakin banyak menyebabkan terjadikan konversi lahan.Pertumbuhan penduduk yang cepat memberi andil dalam kerusakan hutan. Konversi lahan dengan perluasan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman serta industri kehutanan merupakan cara pemenuhan kebutuhan manusia. Kegiatan ini secara langsung telah memberikan pengaruh terhadap berkurangnya habitat gajah sehingga menyebabkan konflik manusia-gajah (Haryanto dan Santoso 1988; Sastrapradja et al. 1992; Gadd 2005).Konflik manusia-gajah merupakan ancaman utama untuk kelangsungan hidup gajah sumatera. Konflik yang terjadi antara kepentingan sosial ekonomi budaya dan konservasi berpotensi membahayakan gajah, menghilangkan sumber perekonomian, mengancam kesehatan dan kematian manusia (Sukumar 1989;

Hoare 1995; O’Connell-Rodwell et al. 2000).

Konflik manusia-gajah sangat berkaitan dengan nilai yang dipahami oleh masyarakat terhadap lingkungannya. Nilai tersebut apakah dilandasi oleh pemahaman mereka terhadap ekologi dalam atau pemahaman ekonomi jangka pendek (Alikodra 2010). Perbedaan persepsi masyarakat yang diawali dengan proses bagaimana menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan- masukan informasi untuk menciptakan gambaran kategorisasi dan interpretasi yang bersifat selektif (Kotler 1993). Faktor yang mempengaruhi persepsi adalah faktor karakteristik yang dipersepsi dan faktor situasional.Konflik yang terjadi cenderung menimbulkan sikap negatif masyarakat terhadap gajah, yaitu berkurangnya apresiasi masyarakat terhadap gajah serta mengakibatkan efek-efek detrimental terhadap upaya konservasi. Selain itu menurut WWF (2006) bahwa ada dua perbedaan sikap yang terjadi di masyarakat dalam menghadapi konflik manusia dan gajah pada kantong-kantong disribusi populasi gajah di Provinsi Riau. Pertama, mereka tidak terlalu peduli dengan konflik manusia dan gajah dan menganggap gangguan ini adalah persoalan yang biasa mereka hadapi dari tahun ketahun. Mereka cenderung tidak reaktif terhadap gajah. Mereka melakukan penanggulangan secara berkelompok, melakukan ronda malam, membuat api unggun dan apabila gajah datang mereka melakukan pengusiran secara bersama dengan membuat bunyi-bunyian dan membawa obor. Kedua, mereka yang reaktif terhadap gangguan gajah yang terjadi. Gajah cenderung diperlakukan sebagai pihak yang harus disalahkan. Hal ini dipicu karena gangguan gajah yang terjadi dari tahun ke tahun semakin meningkat frekuensi dan penyebarannya, serta besarnya investasi yang telah hilang karena dirusak gajah. Penyelesaian yang ada di pikiran kelompok ini hanya satu, yaitu gajah harus disingkirkan dengan cara

52

apapun, sehingga tidak jarang, ditemukan gajah yang mati, baik disengaja atau tidak. Pada sisi lain konflik ini dijadikan isu oleh pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan, seperti menyingkirkan gajah sehingga hutan yang tertinggal bisa dikonversi menjadi kebun.

Penanganan konflik manusia-gajah akan sangat bervariasi tergantung berbagai karakter komponen yang berperan dalam sebuah konflik, baik itu populasi, kondisi habitat yang tersisa, kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat dan lain-lain. Akan tetapi sebagai landasan filosofis, penangganan konflik manusia dan gajah perlu memperhatikan beberapa prinsip yang telah diadopsi didalam dokumen Protokol Mitigasi Konflik melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 48 tahun 2008. Dengan demikian upaya konservasi gajah memiliki status yang sama penting dengan aktifitas masyarakat dalam membangun berbagai sektor, terutama pada sektor pertanian dan perkebunan.

Berdasarkan informasi umum dari masyarakat dan laporan dari beberapa hasil penelitian menunjukkan kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat memberikan persepsi yang berbeda terhadap pelestarian gajah di alam. Meskipun demikian sejauh ini belum ada data dan informasi komprehensif mengenai kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat di daerah konflik manusia-gajah dan bagaimana persepsi masyarakat terhadap pelestarian gajah didaerah tersebut.Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan: (1) mengidentifikasi hubungan manusia dan habitat gajah terhadap kelestarian gajah, (2) mengidentifikasi kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak konflik manusia-gajah, (3) mengidentifikasi kondisi konflik manusia- gajah, (4) mengidentifikasi upaya dan peranserta masyarakat dalam menanggulangi konfik manusia-gajah, (5) menganalisis persepsi masyarakat terhadap pelestarian gajah di daerah konflik manusia-gajah.

Metode Waktu dan Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2013 sampai bulan April 2014. Survei-survei konflik manusia dan gajah di berbagai daerah di provinsi Aceh dimulai bulan Desember 2012 sampai bulan Mei 2013.Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan pada kondisi sering terjadinya konflik manusia-gajah berdasarkan laporan masyarakat setempat dan media masa yaitu lima kecamatan di Provinsi Aceh yaitu Kecamatan Cot Girek, Kecamatan Mane, Kecamatan Meureudu, Kecamatan Sampoiniet dan Kecamatan Pante Ceureumen.

Pengambilan Data

Informasi mengenai manusia dan habitat gajah diperoleh melalui data sekunder dari Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, Badan Pertanahan Nasional, Biro Pusat Statistik, Dinas Pertanian, Dinas perkebunan Provinsi Aceh, aparat pemerintah daerah Aceh, tokoh masyarakat di daerah konflik manusia-gajah. Informasi mengenai sosial,ekonomi dan budaya di daerah konflik meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, sejarah pemukiman, luas lahan, tingkat pendapatan, jarak lahan budi daya dengan habitat gajah,diperoleh melalui hasil wawancara dan pengisian kuesioner oleh responden masyarakat (Bungin 2011).

53 Data mengenai kondisi konflik manusia-gajah, upaya dan peranserta masyarakat dalam menanggulangi konflik manusia-gajah diperoleh melalui hasil wawancara dengan masyarakat yang secara langsung mengalami konflik atau terkena dampak gangguan gajah karena lahan dan tanaman budidayanya dilewati, dimakan dan/atau dirusak gajah, juga kepada tokoh-tokoh adat dan aparat pemerintah daerah di lima wilayah kecamatan konflik. Observasi langsung terhadap kegiatan penghalauan gajah di daerah konflik manusia-gajah meliputi kondisi konflik yang terjadi, upaya (mitigasi konflik) yang pernah dilakukan masyarakat, peran serta dalam menanggulangi konflik manusia-gajah.Persepsi masyarakat yang terkait dengan konservasi gajah diketahui dengan melakukan analisis persepsi. Variabel yang diamati meliputi pemahaman masyarakat mengenai kawasan sekitar hutan yang saat ini menjadi lahan pertanian/perkebunan/pemukiman dahulunya merupakan habitat gajah, pemahaman terhadap habitat gajah semakin berkurang akibat konversi hutan menjadi lahan pertanian/perkebunan/pemukiman, pemahaman terhadap perlindungan gajah dan habitatnya diatur dalam perundang- undangan perlindungan satwa dan pemahaman bahwa gajah merupakan hewan langka yang keberadaannya sangat penting untuk keseimbangan ekologi. Wawancara dilakukan dengan cara purposive sampling kepada masyarakat pemilik lahan yang secara langsung terkena nampak gangguan gajah, tokoh-tokoh adat dan aparat pemerintah daerah. Jumlah responden di setiap kecamatan 30 orang responden (Nazir 2003) sehingga jumlah keseluruhan responden sebanyak 150 orang responden di lima lokasi kecamatan konflik.

Analisis Data

Data hasil wawancara dari aspek manusia dan habitat gajah, sosial, ekonomi, budaya, kondisi konflik, upaya dan peran serta masyarakat menanggulangi konflik dianalisis secara deskriptif. Selanjutnya, data dari aspek persepsi masyarakat terhadap konservasi gajah, dianalisis dengan mengubah data menjadi data kuantitatif menggunakan skala likert. Sistem penyesuaiannya dengan skala likert seperti yang digunakan oleh Sugiono (2012). Kemudian dianalisis korelasi Spearman (Quadratullah 2014)untuk melihat hubungan antara sosial ekonomi budaya masyarakat dengan persepsi masyarakat.

Hasil dan Pembahasan

Hubungan Manusia dan Habitat Gajah Terhadap Kelestarian Gajah di Daerah Konflik Manusia-Gajah Provinsi Aceh

Provinsi Aceh memiliki luas daratan 5 677 081 hektar dengan jumlah penduduk mencapai 5 001 953 jiwa, kepadatan penduduk 88 jiwa/km2 dan laju pertumbuhan penduduk 1.94 % pada tahun 2014-2015 (BPS 2013). Tabel 4.1 menunjukkan jumlah penduduk, persentase penduduk dan kepadatan penduduk tahun 2015 tiap kabupaten di Provinsi Aceh. Jumlah penduduk tersebut diperkirakanakan meningkat lebih besar lagi. Besarnya laju pertumbuhan penduduk membuat pertambahan jumlah penduduk semakin meningkat. Semakin besar persentase kenaikannya maka semakin besar jumlah penduduknya. Malthus menggambarkan bahwa jumlah penduduk akan bertambah menurut deret ukur

54

(1,2,4,8,16,…), sedangkan kebutuhan hidup terutama bahan makanan akan

mengikuti deret hitung (1,2,3,4,5,…). Apabila perkembangan seperti ini berjalan terus maka lama kelamaan akan terjadi suatu ketimpangan yang menyolok antara jumlah penduduk dan jumlah kebutuhan hidup/pangan yang dapat dihasilkan sehingga keadaan ini dapat menimbulkan bencana yang hebat (Ritonga 2003). Tabel 4.1 Jumlah penduduk, persentase penduduk dan kepadatan penduduk tahun

2015

Kabupaten /Kota Jumlah Penduduk (Jiwa) Persentase Penduduk (%) Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 1. Simeulue 89 117 1.78 49 2. Aceh Singkil 114 518 2.29 62 3. Aceh Selatan 224 897 4.50 54 4. Aceh Tenggara 200 014 4.00 48 5. Aceh Timur 402 976 8.06 74 6. Aceh Tengah 196 090 3.92 44 7. Aceh Barat 193 791 3.87 70 8. Aceh Besar 392 584 7.85 135 9. Pidie 418 882 8.37 132 10. Bireuen 435 300 8.70 242 11. Aceh Utara 583 892 11.67 217

12. Aceh Barat Daya 140 689 2.81 75

13. Gayo Lues 87 881 1.76 16 14. Aceh Tamiang 278 324 5.56 131 15. Nagan Raya 155 070 3.10 44 16. Aceh Jaya 86 385 1.73 22 17. Bener Meriah 136 821 2.74 72 18. Pidie Jaya 148 719 2.97 157 19. Banda Aceh 250 303 5.00 4470 20. Sabang 33 215 0.66 272 21. Langsa 165 890 3.32 817 22. Lhokseumawe 191 407 3.83 1251 23. Subulusalam 75 188 1.50 64 Provinsi Aceh 5 001 953 100.00 88

Sumber : Proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035

Persoalan kependudukan dan kerusakan lingkungan hidup terutama hutan merupakan dua hal yang saling terkait antara satu dengan lainnya. Kerusakan hutan dapat mengakibatkan ketidakseimbangan sumber daya alam di dalam hutansehingga berdampak kepada kehidupan satwa dan manusia secara makro. Ketidakseimbangan pertambahan penduduk dengan pertambahan produksi pangan sangat mempengaruhi lingkungan hidup dan lahan hutan yang tersedia. Lingkungan hidup dan kekayaan hutan dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Akibatnya lingkungan hidup dan hutan semakin berkurang kemampuan ataupun produktivitasnya. Menurut Brown (1992) bahwa masalah lingkungan hidup dan kependudukan yaitu deforestasi, overs exploitation, terhadap sumber daya alam, serta berbagai fenomena degradasi ekologi semakin hari semakin menunjukkan peningkatan yang signifikan. Oleh sebab itu, pertumbuhan penduduk yang cepat meningkatkan permintaan terhadap sumber daya alam. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, maka konsumsi dan

55 kebutuhan manusia semakin banyak. Pada akhirnya akan berpengaruh pada semakin berkurangnya produktifitas sumber daya alam.

Pearce dan Brown (1994) menyatakan bahwa, perubahan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan (pelepasan kawasan hutan) terjadi sebagai akibat dari dua kondisi, yaitu: pertama, adanya persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan antar pemangku kepentingan. Sebagai contoh konversi lahan hutan untuk pembangunan infrastruktur, pertanian, perkebunan, pertambangan, pemukiman, pembangunan perkotaan dan industri. Kedua, kegagalan sistem ekonomi sehingga tidak mampu memperoleh nilai lingkungan yang sebenarnya. Hal ini terjadi sebagai akibat dari banyaknya fungsi dari sumberdaya hutan yang tidak ada pasarnya, kebijakan fiskal seperti subsidi input dan kebijakan non-fiskal seperti kemudahan dalam prosedur untuk mendapatkan izin membuka kawasan hutan meningkatkan jumlah keputusan untuk mengkonversi lahan berhutan.

Pertumbuhan penduduk yang cepat juga memberikan andil besar dalam kerusakan hutan. Konversi lahan hutan dijadikan sebagai lahan perumahan, pertanian dan proyek-proyek industri merupakan wujud dari pertambahan penduduk yang signifikan. Tekanan penduduk baik tekanan yang berasal dari dalam maupun yang berasal dari luar ternyata telah menyebabkan terjadinya konversi lahan. Tekanan dari luar dapat dilihat dari dampak kepadatan penduduk yang mengakibatkan tekanan kuat terhadap lahan pertanian/perkebunan yang berskala kecil maupun besaruntuk ketahanan pangan. Pertambahan jumlah dan aktivitas penduduk berlangsung dengan cepat sehingga lahan menjadi semakin menyempit. Ketidakseimbangan antara laju pertumbuhan penduduk dan kualitas sumber daya alam dapat menyebabkan konflik manusia dan satwa liar didalam hutan.

Tabel 4.2Luas Provinsi Aceh menurut penggunaan lahan 2014

Penggunaan Lahan Luas Area (Ha) Persentase (%)

1. Perkampungan 152 725 2.69

2. Industri 2 096 0.04

3. Pertambangan 180 000 3.17

4. Persawahan 324 118 5.71

5. Pertanian tanah kering semusim 598 286 10.54

6. Kebun 250 752 4.42 7. Perkebunan -Perkebunan besar -Perkebunan rakyat 365 000 700 000 6.43 12.34 8. Padang rumput, alang-alang, semak 130 000 2.29

9. Hutan 2 270 080 39.99

10. Perairan darat 206 741 3.64

11. Tanah terbuka (Tandus, Rusak) 5 004 0.09

12. Lain-lain 491 930 8.67

5 677 081 100.00 Sumber : Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Aceh

Tata guna lahan di Provinsi Aceh terbentuk secara alami dan buatan. Secara alami telah terbentuk sejak dahulu yaitu persawahan, kebun, pertanian tanah kering semusim, padang rumput, hutan perairan darat dan tanah terbuka. Tata guna lahan yang terbentuk secara buatan yaitu lahan untuk perkampungan, industri, pertambangan, perkebunan dan lainnya. Penggunaan lahan yang terluas

56

adalah untuk hutan dan perkebunan. Selain itu lahan yang relatif luas juga digunakan untuk lahan pertanian tanah kering semusim, persawahan, kebun dan untuk areal lain-lain.Untuk jelasnya, luasan tata guna lahan di Provinsi Aceh dilihat pada Tabel 4.2.

Perluasan untuk lahan pertanian tanah kering semusim, persawahan dan kebun diperkirakaan akan meningkat lagi sejalan dengan pertumbuhan penduduk, untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk Provinsi Aceh. Begitu juga perluasan untuk perkebunan, baik perkebunan besar maupun kecil akan meningkat. Hal ini disebabkan karena permintaan pasar dunia dan harga yang terus bersaing terhadap komoditi ini membuat perluasan perkebunan terus berlangsung. Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun luas perkebunan meningkat hampir dua kali lipat yaitu dari 5.2 juta hektar pada tahun 2004 menjadi 9.4 juta hektar pada tahun 2013.Selama tahun 2011-2013 telah berhasil dilaksanakan upaya optimalisasi seluas 474707 hektar dengan pencapaian target kegiatan lebih dari 90 % sebagai tujuan dari ketahanan panangan penduduk (MENTAN 2015). Perluasan pertanian/perkebunan ini menyebabkan peluang kehilangan hutan alam semakin besar, yaitu ketika kawasan hutan dilepaskan untuk perkebunan berskala luas.

Laju deforestasi hutan Indonesia periode 2009-2013 mencapai 1.13 juta hektar per tahun. Pada periode yang sama terjadi deforestasi hutan Aceh mencapai 127000 ha lebih. Laju kerusakan hutan di kawasan ini mencapai 31800 ha per tahun. Akibatnya, luas hutan Aceh yang pada 2009 mencapai 3.154 juta ha berkurang menjadi 3.027 juta ha. Selanjutnya pada periode 2014-2015 terjadi kerusakan hutan sekitar 21.056 ha (FWI 2014). Penyusutan luasan hutan akan terus terjadi bila perluasan lahan pertanian/perkebunan dilakukan pada lahan- lahan yang menurut fungsinya adalah untuk mempertahankan keberadaan hutan, terlebih di kawasan yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan.

Kehilangan hutan atau deforestasi karena perluasan aktivitas manusia untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang semakin meningkat membawa dampak yang sebagian besar merugikan, baik bagi sumber penghidupan masyarakat lokal maupun bagi flora-fauna di dalam ekosistem hutan. Disisi lain, karena pemanfaatan sumber daya alam tidak mengindahkan eko-efisien dan cenderung mengabaikan kelestariannya maka berakibat buruk terhadap kualitas sumber daya alam. Deforestasi mengubah hutan menjadi peruntukan (tata guna lahan) yang lain menyebabkan hutan terfragmentasi dan akhirnya terdegradasi yang tidak lagi mampu memberikan fungsi optimal sebagai habitat satwa liar. Fragmentasi habitat satwa merupakan proses perubahan habitat berukuran besar berubah menjadi beberapa habitat yang berukuran kecil-kecil, dipisahkan oleh areal non-habitat. Menurut Mardiastuti (2015) bahwa fragmentasi habitat terjadi pada skala lanskap. Walau tampak sederhana, fragmentasi habitat di Indonesia ternyata memiliki dampak yang sangat tinggi bagi satwa liar karena:

a. Areal yang awalnya luas telah menjadi kecil, sehingga menyulitkan bagi satwa yang memerlukanwilayah jelajah luas (gajah, harimau).

b. Luas habitat secara keseluruhan menjadi berkurang,menyebabkan daya dukung areal terus menurun dan peluang untuk punah secara lokal menjadi tinggi. c. Areal yang sempit akan memperketat persaingan dan meningkatkan

pemangsaan, yang sensitif terhadap gangguan akan punah secara lokal atau berpindah ke lokasi lain.

57 d. Terdapat areal jeda antara fragmen, dispersal akan menjadi sulit.

e. Jika satwa melakukan dispersal, peluang untuk dapat bertahan hidup kecil karena satwa harus melewati daerah non-habitat yang luas.

f. Populasi menjadi terisolir dalam jumlah kecil, aliran gen terputus dan dapat menyebabkan perkembangan polulasi yang kurang sehat.

g. Interaksi satwa dengan manusia menjadi lebih intensif, sehingga sering menjadi perburuan liar dengan alasan keselamatan manusia (satwa menjadi hama) dan/atau alasan ekonomi (satwa diperdagangkan secara liar).

Beberapa spesies satwa liar sangat menggantungkan hidupnya terhadap hutan.Oleh sebab itu, berkurangnya luasan hutan akan berimbas pada habitat satwa liar, membuat satwa liar merasa terusik dan keluar dari habitat nya. Berjalannya waktu, hal ini akan menjadi sumber masalah terjadinya konflik antara satwa liar dengan manusia dan berkurangnya populasi satwa liar, misalnya populasigajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di provinsi Aceh. Ancaman terhadap kehidupan gajah sumatera saat ini bersumber dari kegiatan dan keserakahan manusia yang menyebabkan habitat gajah semakin terdegradasi. Kondisi di lapangan terlihat pada penyempitan dan terpecahnya habitat, meningkatnya konflik dan kematian gajah akibat racun atau tembakan senjata api.

Pemerintah dan masyarakat harus benar-benar serius memberi perhatian terhadap kelestarian lingkungan terutama hutan sebagai habitat gajah. Perlu adanya suatu kebijakan dan strategi untuk menyeimbangkan antara kuantitas penduduk dengan kualitas habitat gajah. Pemerintah harus mempelopori semangat cinta lingkungan dalam bentuk penegakan hukum dan aturan sebaik-baiknya, perencanaan pembangunan yang mempertimbangkan dampak kerusakan hutan sebagai habitat gajah, maupun memberdayakan partisipasi masyarakat dalam pelestarian tumbuhan maupun satwa liar seperti gajah sumatera. Adanya keseimbangan ekosistem di habitat gajah berarti melestarikan satwa gajah di Propinsi Aceh. Begitu juga dengan usaha penekanan laju pertumbuhan penduduk juga harus tetap dipertahankan, sehingga akan terjadi keseimbangan antara kuantitas kebutuhan dengan kualitas sumber daya alam. Tanpa kepeloporan pemerintah dalam menegakkan aturan pelestarian sumber daya alam, maka mustahil upaya menangani permasalahan manusia dan kerusakan habitat gajah bisa terwujud.

Masalah manusia dan habitat gajahtidak hanya menyangkut masalah fisik semata-mata seperti geografis, jumlah penduduk, kebutuhan pokok manusia dan lain-lain, tetapi juga masalah kultural dan masalah filosofi yang menentukan kelangsungan kehidupan manusia pada masa depan.Tahap pemecahannya tidak menyangkut masalah teknik praktis saja, tetapi juga melalui pendekatan etik yang bersumber kepada nilai-nilai kultural dan religius secara konseptual yang mampu memberikan perspective transendent (Arkanudin 2001). Langkah memecahkan permasalahan manusia dan habitat gajah adalah mengkaitkannya dengan perspektif kultural dan religius. Hal ini mengingat bahwa mayoritas penduduk Provinsi Aceh beragama Islam yang terbingkai oleh berbagai macam kultur. Langkah ini akan dapat secara langsung membentuk arah filsafati, pandangan dan tingkah laku mereka yang tinggal di daerah konflik manusia-gajah. Upaya pelestarian gajah,tidak hanya sebatas meletakkan kerangka instrumental etik dalam tetapi juga dapat menumbuhkan kesadaran dalam diri kita masing-masing akan pentingnya nilai instrinsik bagi alam atau habitat gajah sebagai hak asasi

58

yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Artinya bahwa dalam dimensi etik lingkungan yang bersifat instrinsik, sikap kesadaran ekologikal selalu mengembangkan self transendent perspektif (Sudjana, 1998), yang menuntun adanya pengujian efek dari kegiatan manusia terhadap lainnya, seperti terhadap makhluk hidup, lingkungan alamiah, generasi mendatang dan keseimbangan ekosistem lainnya. Kesadaran etik dan self transcending memberikan suatu dasar moralitas dan perspektif bagi terciptanya suatu masyarakat yang lebih adil, damai, lebih partisippatoris dan bersifat sustainable. Hingga akhirnya menimbulkan kesadaran bahwa kehidupan manusia dan lingkungan harus dilestarikan dan ditingkatkan kualitasya karena nilai instrinsiknya (Arkanudin 2009).

Sosial Ekonomi di Daerah Konflik Manusia-Gajah

Aktivitas bertani pada masyarakat di daerah konflik manusia-gajah, sebagian besar dilakukan oleh kaum pria. Hal ini dapat diketahui pada setiap kecamatan bahwa di Kecamatan Cot Girek (80%), Meureudu (93.33%), Sampoinet (90%) dan Pante Ceuremen (86.66%) petani yang umumnya kaum pria yang bekerja di lahan pertanian. Akan tetapi peran pria dan wanita sama-sama ikut terlibat. Ada pembagian jenis pekerjaan antara kaum pria dan wanita dalam mengolah lahan tersebut. Para pria melakukan pekerjaan saat tahap persiapan pengolahan lahan dan pengangkutan sedangkan kaum wanita melakukan penanaman dan pemotongan. Selain itu ada kekuatiran masyarakat bahwa gangguan gajah datang secara tiba-tiba ke lahan garapan mereka. Karena itu, mereka beranggapan bila kaum pria bisa lebih cepat menyelamatkan diri saat terjadi ancaman gajah. Akan tetapi, di Kecamatan Mane lebih banyak kaum wanita (66.67%) yang mengolah lahan pertanian/perkebunan mereka. Hal ini diduga mungkin karena kaum pria di kecamatan itu lebih banyak melakukan penambangan emas yang mereka anggap lebih banyak menghasilkan pendapatan ekonomi.

Bila dilihat sebagai sumber daya manusia yang harus mendapatkan perlakukan yang sama, bahwa peran gender dalam pembagian kerja keluarga petani memiliki pola yang kabur tidak jelas, tanpa merugikan salah satu pihak. Pola pembagian kerja dalam formasi sosial petani pada masyarakat Aceh di lima kecamatan tidak melahirkan ketidakadilan gender serta tidak menciptakan nilai- nilai pembakuan peran gender seperti masyarakat pada umumnya. Hal ini sesuai dengan Nurlian dan Harmona (2008) menyatakan bahwa peran gender yang dibedakan oleh masyarakat tersebut mempunyai sifat yang dinamis, atau dapat dikatakan dapat berubah dalam strata ataupun kondisi sosial yang berbeda-beda dalam masyarakat.

Berdasarkan kelas umur, masyarakat petani di lokasi penelitian termasuk pada kelas produktif bila dilihat pada setiap kecamatan. Hal ini mengikuti umur penduduk berdasarkan tingkat produktivitasnya,sesuai dengan Matra (2000) yaitu <15 tahun (belum produktif), 15 sampai 55 tahun (produktif) dan > 55 tahun (tidak produktif). Kelas umur 15 sampai 55 tahun merupakan kelas yang paling besar persentasenya, yaitu di Kecamatan Pante Ceureumen (86.67%), Sampoinet (83.33%), Cot Girek (73.33%), Meureudu (73.33%) dan Mane (70%). Selanjutnya pada kelas umur < 15 tahun secara berurut Kecamatan Meureudu (16.67%), Mane (10%), Cot Girek (6.67%), Sampoinet (6.67%) dan Pante Ceureumen (6.67%).

59 (Gambar 4.1). Produktivitas seseorang dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh umur. Umumnya seseorang yang berada pada umur produktif akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak daripada seseorang yang termasuk dalam umur nonproduktif. Struktur umur akan mempengaruhi terhadap kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian kelas umur produktif di lima kecamatan tersebut secara fisik sangat potensial untuk meningkatkan hasil pertanian dan perkebunan mereka.

Dokumen terkait