• Tidak ada hasil yang ditemukan

GANGGUAN GAJAH SUMATERA DIDAERAH KONFLIK MANUSIA-GAJAH PROVINSI ACEH

Pendahuluan

Salah satu permasalahan konflik yang banyak menarik perhatian masyarakat, dunia usaha maupun pemerintah terkait dengan konservasi gajah di banyak wilayah penyebaran gajah adalah konflik manusia dan gajah (Zhang dan Wang 2003 ; Sitaati et al. 2003; Gubbi et al. 2014). Fenomena konflik ini juga telah banyak terjadi di Indonesia antara manusia dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di wilayah-wilayah penyebarannya yakni provinsi Sumatera Selatan, Lampung bagian selatan, Bengkulu bagian selatan, Jambi bagian selatan, Aceh bagian utara dan provinsi Riau bagian timur.

Konflik terjadi karena adanya fragmentasi habitat gajah sehingga gajah keluar dari kawasan hutan, sebagai habitat utamanya lalu melakukan pergerakan masuk ke areal pertanian, perkebunan dan permukiman masyarakat yang menimbulkan kerusakan yang berdampak kerugian sosial ekonomi. Konflik timbul karena secara ekologis gajah sebagai satwa dilindungi yang harus dijaga kelestariannya, sementara pada saat yang bersamaan ada kepentingan sosial ekonomi masyarakat yang juga harus dijamin terjaga dari kemungkinan kerusakannya akibat pergerakan gajah tersebut. Beberapa peneliti dan penggiat konservasi menyatakan bahwa populasi gajah kini terancam karena hilangnya habitat, perburuan dan konflik secara langsungdengan manusia (Santiapillai dan Jackson 1990; Leimgruber et al. 2003; Nyhus dan Tilson 2004; Hedges et al. 2005). Penelitian di Sumatera telah mencatat bahwa konflik gajah dengan manusia ini sudah terjadi sejak tahun 1982 (Haris 1988) bahkan cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Rood et al. (2008) melaporkan bahwa antara tahun 1985 dan 1997 tercatat 62 kasus konflik manusia dan gajah di seluruh Aceh, dan meningkat menjadi 316 kasus pada tahun 2000-2006. Secara spesifik diidentifikasi bahwa dari kasus konflik tersebut hanya 120 kasus konflik yang terjadi tahun 2000 sampai 2007 yang berhubungan dengan serangan gajah terhadap tanaman masyarakat. Selain itu, informasi dari ACCI (2014) bahwa selama 2008-2014 tercatat 143 kasus konflik gajah-manusia yang terjadi di seluruh Aceh.

Situasi konflik tersebut juga berdampak pada berkurangnya populasi gajah sumatera dari tahun 1985 diperkirakan terdapat 2800-4800 individu sampai tahun 2008 menjadi 1600 individu. Sejak tahun 2011, gajah sumatera dikategorikan ke dalam red list of threatened-IUCN dengan status kritis atau Critically Endangered-CR. Kawasan hutan berkurang sejak tahun 1985 di Pulau Sumatera mengakibatkan 79% sekitar 7188729 ha habitat gajah sumatera hilang. Habitat gajah yang hilang di dataran rendah merupakan habitat yang memiliki tutupan hutan dan kualitas lebih baik. Kehilangan habitat tersebut menyebabkan gajah berada pada habitat yang kurang mencukupi untuk kebutuhan pakan sehingga menyebabkan berkurang populasi gajah hingga 80%. Hal ini sangat diperkuat oleh fakta bahwa banyak tutupan hutan yang tersisa di blok yang lebih kecil dari 25000 ha, terlalu kecil untuk menampung populasi gajah yang layak. Hal ini berdampak

14

nyata terhadap jumlah gajah karena hilangnya habitat melampaui batas. Oleh karena itu Elephas maximus sumatranus memenuhi kriteria A2c untuk Critically Endangered-CR (IUCN 2011). Kondisi ini menuntut perhatian dan penanganan mitigasi konflik yang tepat, agar kepentingan pelestarian gajah disatu pihak tetap terjamin sementara pada saat yang bersamaan juga ada jaminan amannya kepentingan sosial ekonomi masyarakat pada kondisi yang terbaik (optimum).

Berdasarkan informasi umum dari masyarakat, laporan dari beberapa hasil penelitian maupun pengamatan penggiat konservasi gajah, serta pengamatan pendahuluan di beberapa lokasi konflik menunjukkan bahwa ada fenomena kerentanan jenis dan sistem tanam budi daya yang berbeda. Kondisi ini diduga kuat sebagai akibat dari adanya selektifitas gajah dalam pola pergerakan dan pemilihan jenis tanaman budi daya sebagai pakannya. Gajah diketahui mengkonsumsi segala tumbuhan dan diperkirakan mengkonsumsi lebih dari 400 spesies tumbuhan yang berbeda di alam, namun sangat selektif dalam memilih pakannya. Gajah akan memakan beberapa taksa dari tumbuhan yang sangat berbeda tersebut tergantung pada daerah, cuaca dan ekosistem (Fowler dan Susan 2006). Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa gajah cenderung memilih tanaman budi daya tertentu (Nyhus et al. 2000; Azmi et al. 2012; Sitompul 2004; Yogasara et al. 2012). Fenomena ini kembali menegaskan dugaan kuat adanya perbedaan tingkat kerentanan jenis tanaman budi daya masyarakat terhadap kerusakan oleh gajah di daerah-daerah konflik, karena terkait dengan perbedaan preferensi atau tingkat kesukaan gajah terhadap jenis-jenis tanaman sebagai pakannya. Walaupun demikian, sejauh ini belum ada data dan informasi komprehensif mengenai lokasi terjadinya konflik manusia-gajah dan informasi berdasarkan persepsi dan penilaian masyarakat yang menunjukkan jenis-jenis tanaman budi daya apa saja yang ditanam masyarakat, jenis tanaman yang dirusak dan tidak dirusak, dan bagaimana tingkat kerentanannya, serta bagaimana alternatif pengaturan pola budidaya tanaman untuk memperkecil resiko perusakan oleh gajah. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan: (1) menganalisis kondisi umum daerah konflik manusia-gajah di Provinsi Aceh, (2) mengidentifikasi jenis tanaman budi daya yang ditanam dan sistem tanam yang dilakukan masyarakat, (3) mengidentifikasi jenis-jenis tanaman budi daya yang dirusak dan tidak dirusak gajah, (4) menganalisis dan mengkategorisai kerentanan kerusakan tanaman budidaya oleh gajah, dan (5) menganalisis pengaturan budidaya tanaman untuk memperkecil resiko kerusakan oleh gajah.

Metode Waktu dan Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus 2013 sampai bulan April 2014. Survei-survei konflik manusia dan gajah di berbagai daerah di provinsi Aceh dimulai bulan Desember 2012 sampai bulan Mei 2013. Penelitian dilakukan di lima kecamatan di Provinsi Aceh yaitu Kecamatan Cot Girek, Kecamatan Mane, Kecamatan Meureudu, Kecamatan Sampoiniet dan Kecamatan Pante Ceureumen (Gambar 2.1). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan pada kondisi sering terjadinya konflik manusia-gajah berdasarkan laporan masyarakat setempat dan media masa sejak tahun 2005 sampai 2014. Selain itu lokasi tersebut ada juga

15 yang memiliki organisasi pengusiran gajah, Unit Respon Konservasi (Conservation Respon Unit-CRU).

Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian Pengambilan Data

Metode penelitian menggunakan cara wawancara dan pengisian kuesioner. Data mengenai kondisi daerah konflik manusi-gajah diperoleh melalui berbagai sumber sekunder dan wawancara masyarakat di daerah konflik manusia-gajah. Data diperoleh dari masyarakat sebagai subjek utama penelitian, yakni masyarakat yang secara langsung mengalami konflik atau terkena dampak gangguan gajah karena lahan dan tanaman budidayanya dilewati, dimakan dan/atau dirusak gajah, juga kepada tokoh-tokoh adat dan aparat pemerintah daerah di lima wilayah kecamatan konflik. Setiap wilayah kecamatan diwakili oleh 30 orang responden (Nazir 2003), sehingga total responden di lima wilayah sebanyak 150 responden. Data yang dikumpulkan meliputi;jenis tanaman budi daya dan sistem tanam yang dilakukan masyarakat, jenis tanaman yang dirusak dan tidak dirusak gajah, dan jumlah persentase kerusakan tanaman budidaya.

Analisis Data

Identifikasi jenis tanaman budi daya yang diganggu gajah mengacu pada Van Steenis (2005) untuk pemberian nama ilmiah dan nama daerah jenis tanaman komoditi tersebut. Data yang diperoleh di lapangan dianalisis secara deskriptif dan dihitung analisis korelasi Kendal Tau (Quadratullah 2014) untuk melihat hubungan antara jenis tanaman budi daya yang ditanam masyarakat dengan jenis tanaman budi daya yang dirusak gajah. Selain itu juga dianalisis hubungan antara jenis tanaman komoditi yang dibudidayakan masyarakat dengan jenis tanaman komoditi yang tidak dirusak gajah. Penentuan kategori kerentanan jenis tanaman

16

budidaya didasarkan pada besarnya persentase kerusakan tanaman oleh gajah menurut penilaian masyarakat. Ada tiga kategori kerentanan menurut penilaian masyarakat yang digunakan untuk mengklasifikasi kerentanan jenis tanaman budidaya, yakni tinggi apabila persentase kerusakan >15%, sedang apabila persentase kerusakan 5-14%, dan rendah apabila persentase kerusakan <5%.

Hasildan Pembahasan Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Provinsi Aceh terletak antara 01o58’37,2” – 06o04’33,6” Lintang Utara dan 94o57’57,6” – 98o17’13,2” Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125 meter diatas permukaan laut. Pada tahun 2013 Provinsi Aceh terletak atas 18 kabupaten dan 5 kota, 289 kecamatan, 779 mukim dan 6474 gampong atau desa. Batas-batas wilayah provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Selatan Indonesia. Luas Provinsi Aceh 5 677 081 hektar dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai 2 270 080 hektar, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 700350 hektar, sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 2 096 hektar.

Konflik manusia-gajah di Provinsi Aceh terjadi di daerah-daerah yang terdapat populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Gajah memiliki wilayah jelajah yang luas dan pola persebaran yang berada lebih banyak diluar kawasan konservasi. Hingga saat ini diketahui 85% populasi gajah di Sumatera berada diluar kawasan konservasi (DEPHUT 2007). Berdasarkan laporan dari masyarakat, penggiat konservasi dan media massa bahwa lokasi penelitian ini merupakan daerah yang sering terjadi konflik sejak tahun 2005 sampai 2014. Selain itu beberapa dari daerah ini memiliki organisasi pengusiran gajah, Unit Respon Konservasi (Conservation Respon Unit-CRU). Daerah konflik manusia- gajah ini hanya merupakan perwakilan dari beberapa daerah konflik manusia- gajah di Provinsi Aceh. Daerah tersebut adalah Kecamatan Cot Girek, Kecamatan Mane, Kecamatan Meureudu, Kecamatan Sampoiniet dan Kecamatan Pante Ceureumen.

Kecamatan Cot Girek, Kabupaten Aceh Utara

Kecamatan Cot Girek memiliki luas wilayah 189 km2 atau 18900 ha mencakup 5.73% dari luas keseluruhan Kabupaten Aceh Utara. Kecamatan ini berbatasan di sebelah utara dengan Kecamatan Lhoksukon, sebelah selatan dengan Kabupaten Bener meriah, sebelah barat dengan Kecamatan Pirak Timur dan sebelah timur dengan Kecamatan Langkahan. Topografi wilayah berada di dataran sebanyak 21 desa dan di perbukitan sebanyak tiga desa dari 24 desa yang berada di Kecamatan Cot Girek dengan jumlah penduduk 19 838 jiwa. Berdasarkan laporan dari masyarakat setempat, tahun 2008 sampai 2014, gajah merusak dan memakan tanaman masyarakat, merusak sekitar 17 unit rumah dan beberapa gubuk dilahan pertanian serta mengakibatkan korban jiwa satu orang. Jenis tanaman yang dirusak dan dimakan gajah yaitu tanaman coklat, pisang, pinang, sawit, karet dan palawija lainnya. Selain itu, gajah sering menyerang lahan pertanian di desa Lubuk tilam dan Abong-abong. Hal ini disebabkan, desa

17 tersebut terdapat perkebunan sawit, coklat, karet dan pinang yang lebih luas dari pada desa lainnya, sehingga gajah merusak tanaman budi daya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pakan. Gangguan gajah tersebut mengakibatkan ekonomi masyarakat sekitar semakin terpuruk, karena sekitar 2000 ha lahan yang telah ditanami ratusan pohon sawit, coklat dan pinang, dirusak dan dimakan gajah. Kerugian secara tidak langsung juga dirasakan masyarakat di Cot Girek seperti ketakutan tidak berani untuk beraktivitas diluar rumah, tidak dapat bersekolah atau mengaji. Selanjutnya terdapat 22 kepala keluarga yang meninggalkan kebun mereka yang ditanami pisang, coklat, dan pinang untuk mengungsi dari gangguan gajah.

Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie

Mane merupakan kecamatan di Kabupaten Pidie dengan luas wilayah 57.19 km2 yang terdiri dari 34 desa dengan jumlah penduduk 8 181 jiwa. Kecamatan ini berbatasan di sebelah utara dengan Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tenom Kabupaten Aceh Jaya dan Kecamatan Sungai Mas Kabupaten Aceh Barat, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tangse dan Krueng Sabe Aceh Barat, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Geumpang Kabupaten Pidie, Kecamatan Meureudu Kabupaten Pidie Jaya dan Kecamatan Tenom Kabupaten Aceh Jaya. Keadaan hutan primer di Kecamatan Mane sangat luas di bandingkan dengan hutan sekunder. Berdasarkan laporan dari masyarakat setempat gajah masuk ke areal perkebunan, kemudian memakan dan merusak tanaman lebih kurang 50 ha serta mengakibatkan warga luka-luka dan dua orang koban jiwa,tewas di amuk gajah saat bekerja di kebunnya, satu orang korban jiwa saat melakukan pengusiran gajah. Tanaman yang dirusak dan dimakan gajah yaitu berbagai tanaman warga, berupa pisang, pinang, durian, coklat dan padi. Selain kerugian yang dirasakan masyarakat, gajah juga mengalami kerugian yaitu terdapat seekor gajah jantan berumur sekitar 10 tahun mati yang diduga akibat kena setrum. Sumber listrik yang membunuh hewan dilindungi tersebutberasal dari kabel listrik di kolam ikan lele milik warga gampong setempat. Oleh karena seringnya gajah turun kepemukiman, warga dan pemerintah kabupaten segera membangun unit patroli gajah untuk mengatasi konflik manusia-gajah.

Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya

Kecamatan Meureudu (442 m dpl) merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Pidie Jaya dengan luas 53.81 km2 yang terdiri dari 30 desa yaitu tiga desa di pesisir dan 27 desa bukan di pesisir yang seluruhnya berupa daratan. Jumlah penduduk di Kecamatan Meureudu terdiri 22 191 jiwa. Wilayah ini berbatasan di sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Geumpang dan Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Trienggadeng dan di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Meurah Dua. Kecamatan Meureudu sebagian besar terdiri dari pemukiman dan persawahan hanya sebagian kecil saja yang terdiri dari hutan. Sungai Krueng Meureudu yang mengalir di wilayah ini memisahkan Kecamatan Meureudu dengan Kecamatan Meurah Dua. Berdasarkan laporan dari masyarakat lokal, gajah masuk ke lahan pertaniansampai berlangsung dua bulan, merusak 50 ha areal perkebunan coklat, pisang dan pinang. Kerusakan tanaman

18

perkebunan yang diganggu gajah semakin meluasdi kawasan Krueng Tijee, sehingga masyarakat melaksanakan doa bersama berharap gajah menjauh dan berhenti merusak tanaman perkebunan.

Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya

Kecamatan Sampoiniet terdiri dari 37 desa yang tersebar di daerah pesisir dan di sekitar kawasan hutan dengan luas 1011 km2 atau 101100 ha. Kecamatan Sampoiniet merupakan wilayah terluas di Kabupaten Aceh Jaya (30% dari luas seluruh Kabupaten) dengan jumlah penduduk 7 007 jiwa. Secara administratif Kecamatan Sampoiniet sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Jaya dan Kabupaten Kota Jantho, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Setia Budi, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Tangse Kabupaten Pidie. Terdapat Gunung Ulu Masen yang memiliki hutan primer yang melingkup hutan daratan rendah dan hutan daratan tinggi. Wilayah ini merupakan salah satu habitat gajah terbesar di Aceh. Hadirnya perkebunan kelapa sawit diduga memunculkan konflik manusia-gajah yang komplek pada warga pedalaman Aceh Jaya. Kawanan gajah masuk ke lahan perkebunan dekat dengan permukiman penduduk karena habitat mereka dirusak. Hutan adat dan tanah warga hampir semuanya menjadi perkebunan kelapa sawit, sehingga semakin mempersempit habitat alami gajah. Berdasarkan laporan masyarakat, gajah telah mengganggu aktivitas masyarakat sehari-hari sehingga mereka tidak berani pergi ke kebun dan mengungsi di mesjid. Hal ini disebabkan karena selompok gajah masuk ke lahan pertanian sekitar puluhan ekor sehingga situasi semakin mencekam. Selain itu, saat 16 orang petani sedang menuai padi di areal persawahan seluas dua ha, mereka dikepung oleh gajah mencari pakan di sawah. Oleh sebab itu, warga tidak berani ke kebun untuk melakukan aktivitas dalam mencari nafkah.Padahal petani hanya mengandalkan hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.Sejak gajah datang ke lahan pertanian masyarakat, mengganggu di sejumlah desa pedalaman di Kabupaten Aceh Jaya dinilai telah menyebabkan rakyat daerah tersebut sengsara. Betapa tidak, satwa yang dilindungi itu dengan leluasa merusak tanaman padi, sawit, karet, coklat, singkong, sagu pisang, karet dan sejumlah tanaman lainnya.Musibah terjadi saat petani berusaha untuk mengusir gajah dari lahan perkebunan, dua orang tewas diinjak gajah saat berada di lahan pertanian. Selain itu, gajah juga mengalami kematian sehingga semakin berkurangnya jumlah populasi di alam. Seekor gajah betina liar ditemukan mati diracun di areal perkebunan kelapa sawit Desa Krueng Ayon, Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya. Selanjutnya ditemukan juga seekor gajah berusia sekitar 20 tahun, mati diracun di sungai dekat permukiman warga. Konflik manusia-gajah makin sering terjadi, sehingga masyarakat melakukan operasi pengusiran gajah. Operasi ini dilakukan secara estapet yakni setiap desa diwakili oleh 45 orang warga masyarakat dan lima unit meriam bambu serta sejumlah kentongan. Pengusiran di koordinir Muspika setempat. Usaha penghalauan gajah dengan meriam yg pernah dicoba ternyata tidak efektif.

Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat

Pante Ceureumen merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Aceh Barat dengan luas 490.25 km2 yang terdiri dari 25 desa dengan jumlah penduduk 11 378 jiwa. Kecamatan ini berbatasan sebelah utara dengan Kecamatan Sungai Mas,

19 sebelah selatan dengan Kecamatan Meurebo, sebelah timur dengan Kabupaten Nagan Raya dan sebelah barat dengan Kecamatan Kaway XIV. Kecamatan Pante Ceureumen memiliki ketinggian 0 sampai 1.721 m diatas permukaan laut, kemiringan lereng < 2% sampai > 40% dan sungai Krueng Meurebo yang mengaliri wilayah kecamatan ini. Kecamatan Pante Ceureumenterdapat hutan produksi kayu, kawasan budi daya dan areal penggunaan lain. Vegetasinya berupa vegetasi hutan primer, hutan sekunder, hutan rusak, perladangan, kebun kelapa sawit dan sedikit tanah terbuka. Kawasan hutan primer di kabupaten ini lebih kecil daripada areal hutan rusak padahal keanekaragaman hayati terbanyak di Kabupaten Aceh Barat terdapat di Kecamatan Pante Ceureumen bagian utara yang berbatasan dengan Kecamatan Sungai Mas. Berdasarkan laporan masyarakat, gajah liar sering muncul dan menggangu ketentraman, membuat kecemasan masyarakat. Penduduk Desa Seukundo sudah berencana akan meninggalkan desa jika upaya penanggulangan tidak segera dilakukan, bahkan seluruh penduduk desa pedalaman itu sempat mengungsi dan bermalam di masjid. Selain itu, masyarakat Dusun Krueng Meulaboh, Desa Pante Ceureumen, Kecamatan Pante Ceureumen, Aceh Barat, berjumlah 54 kepala keluarga terpaksa mengungsi ke dusun lain karena takut diamuk kawanan gajah liar. Hal ini dikarenakanada kejadian pada seorang ibu dan anaknya yang menetap di dusun kawasan pedalaman ini yang cedera akibat diamuk gajah liar. Kejadian gajah mengamuk di desa yang lainmengakibatkan lima orang terluka dan kritis dengan korban jiwa tiga orang dekat perkebunan. Gajah masuk ke lahan pertanian dan perkebunanlebih kurang puluhan ekor, memakan dan merusak tanaman budi daya, yaitu tanaman durian, padi, karet, sawit, pisang, dan tanaman kacang. Pemerintah kabupaten sudah pernah mendatangkan pawang gajah termasuk gajah jinakdengan menelusuri hutan Seukundo guna mengatasi gangguan sekawanan gajah liar yg selama ini meresahkan warga.Hal ini diprakarsai oleh Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (Satlak PBP) Pemkab Aceh Barat.Upaya mendatangkan pawang gajah kembali akan dilakukan, sehingga ketentraman masyarakat dapat tenang kembali.

Lokasi penelitian yang paling sering mendapat gangguan yaitu Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya. Hal ini disebabkan karena kecamatan tersebut terdapat Gunung Ulu Masen yang memiliki hutan primer yang melingkup hutan daratan rendah dan hutan daratan tinggi. Wilayah ini merupakan salah satu habitat gajah terbesar di Aceh. Tingginya tingkat perluasan perkebunan kelapa sawit diduga memfragmentasi wilayah jelajah gajah sehingga mempersempithabitat gajah tersebut. Akibatnya habitat alami gajah rusak sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pakan kawanan gajah. Oleh sebab itu gajah mulai masuk ke lahan perkebunan kelapa sawit tersebut sehingga memunculkan konflik manusia- gajah yang komplek pada warga pedalaman Aceh Jaya.

Jenis Tanaman Budi Daya yang Ditanam Masyarakat

Masyarakat di lima daerah konflik manusia-gajah menanam 29 jenis tanaman budi daya. Tanaman tersebut terdiri dari 10 jenis tanaman semusim dari 7 famili (Tabel 2.1) dan 19 jenis tanaman tahunan dari 12 famili (Tabel 2.2). Secara keseluruhan jenis tanaman yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan harian kehidupan masyarakat sebagai sumber bahan pangan utama seperti padi, jagung dan sayuran (timun, ketela, kacang, cabe), serta buah-buahan (pisang,

20

mangga, rambutan, durian). Rata-rata persentase responden yang menyatakan tentang jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat seperti disajikan pada Gambar 2.2.

Tabel 2.1 Jenis tanaman semusim yang ditanam masyarakat Aceh di daerah konflik manusia-gajah

No Nama Jenis Nama Ilmiah Famili %

1 Timun Cucumis sativus Cucurbitaceae 0.34

2 Singkong Manihot esculenta Euphorbiaceae 0.34

3 Kacang tanah Arachis hipogea Fabacea 1.87

4 Kacang kuning Glicyne max Fabacea 0.17

5 Nilam Pogostemon cablin Lamiaceae 2.38

6 Pisang Musa sp Musaceae 11.05

7 Padi Oryza sativa Poaceae 8.16

8 Tebu Sacharum officinarum Poaceae 1.02

9 Jagung Zea mays Poaceae 0.68

10 Cabe Capsicum frutescens Solanaceae 3.57

Tabel 2.2 Jenis tanaman tahunan yang ditanam masyarakat Aceh di daerah konflik manusia-gajah.

No Nama Jenis Nama Ilmiah Famili %

1 Mangga Mangifera indica Anocordiaceae 1.70

2 Pinang Areca catechu Arecaceae 12.76

3 Kelapa Cocos nucifera Arecaceae 1.19

4 Sawit Elais gueenensis Arecaceae 10.03

5 Sagu Metroxylon sago Arecaceae 1.02

6 Kemiri Aleurites moluccana Euphorbiaceae 4.08

7 Karet Havea brassiliensis Euphorbiaceae 7.82

8 Sengon Albizia chinensi Fabacea 0.51

9 Jati Tectona grandis Lamiaceae 0.85

10 Durian Durio zibethinus Malvaceae 3.40

11 Langsat Lansium domesticum Meliaceae 1.53

12 Mahoni Swietiniamahagoni Meliaceae 0.17

13 Coklat Theobroma cocoa Meliaceae 15.82

14 Nangka Arthocarpus heterophyllus Moraceae 1.36

15 Pala Myristica fragrans Myristicaceae 0.68

16 Jabon Arthocephalus cadamba Rubiaceae 0.34

17 Kopi Coffea arabica Rubiaceae 5.61

18 Jeruk nipis Citrus aurantifolia Rutaceae 1.02

19 Rambutan Nephellium lappacium Sapindaceae 0.51

Hasil wawancara juga diketahui bahwa dari ke 29 jenis tanaman budi daya yang ditanam masyarakat, ternyata jenis yang paling banyak ditanam (15.29%) yaitu coklat (Theobroma cocoa). Salah satu faktor pendorong masyarakat banyak menanam coklat karena coklat merupakan tanaman budi daya yang memiliki nilai komersial tinggi, baik sebagai produk makanan maupun jenis-jenis produk lainnya (Mangoensoekarjo 2007). Harga jual per kilogram coklat di tingkat kabupaten Provinsi Aceh mencapai Rp21 050(DISBUN Provinsi Aceh 2015). Adapun jenis tanaman budi daya perkebunan yang paling sedikit ditanam (0.17%) yaitu Mahoni (Swietenia mahagoni) khususnya di Kecamatan Pante Ceureumen. Hal ini boleh jadi karena pemanfaatannya masih terbatas pada kelompok masyarakat

Dokumen terkait