• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPACARA BERSIH DESA TANJUNGSARI di DUKUH DLIMAS DESA DLIMAS KECAMATAN CEPER KABUPATEN KLATEN (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna Simbolik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPACARA BERSIH DESA TANJUNGSARI di DUKUH DLIMAS DESA DLIMAS KECAMATAN CEPER KABUPATEN KLATEN (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna Simbolik)"

Copied!
171
0
0

Teks penuh

(1)

UPACARA BERSIH DESA TANJUNGSARI di

DUKUH DLIMAS DESA DLIMAS

KECAMATAN CEPER KABUPATEN KLATEN

(Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna Simbolik)

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan

pada Universitas Negeri Semarang

Oleh

Teky Dwi Ana Sari

NIM 2001502004

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian tesis Program Pascasarjana.

Pada hari : Senin

Tanggal : 28 Agustus 2006

Pembimbing I

Prof. Dr. Jazuli,M.Hum NIP. 131764044

Pembimbing II

Prof. Dr. Soediro Satoto NIP. 130516319

(3)

iii

PENGESAHAN KELULUSAN

Tesis ini telah dipertahankan di dalam Sidang Panitia Ujian

Tesis program Pasca sarjana, Program studi Penididikan Seni, Universitas Negeri Semarang pada :

Hari : Rabu

Tanggal : 20 September 2006

Panitia Ujian Ketua

A. MARYANTO, Ph.D NIP. 130529509

Sekretaris

Prof. Dr. Jazuli, M. Hum NIP. 131764044

Penguji I

Drs. Wadiyo, M.Si NIP. 131764055

Penguji II

Prof. Dr. Soediro Satoto NIP. 130516319

Penguji III

(4)

iv

PERNYATAAN

Dengan ketulusan hati, saya menyatakan bahwa apa yang tersirat dalam tesis ini benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam tesis ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 24 Agustus 2006

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

¾ Ujian keberanian yang terbesar di bumi ini adalah menanggung kekalahan tanpa putus asa, (R. G. Ingersall).

¾ Sejarah adalah ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang tidak akan terulang untuk yang kedua kalinya, (Paul Vallere).

¾ Berusahalah sekuat tenagamu, serahkan kepada ketentuan Allah S.W.T. (Q. S Al Anfal : 61).

PERSEMBAHAN

™ Teruntuk “Bapak-Ibukku” yang selalu mendukung dan dengan tulus ikhlas membesarkan ku dengan tulus ikhlas.

™ Teruntuk masku “One_one” satu-satunya saudaraku beserta istri mbak “Ye2n” dan ponakanku “Compret” tersayang, yang selalu memotifasi dan setia menanti keberhasilanku. ™ Teruntuk yang terkasih yang selalu

hadir dan hidup dalam impianku “Si Beb”.

™ Teruntuk seluruh saudara ku, dan tak lupa “dedek Lio” yang selalu sabar dan siap membantuku.

(6)

vi

PRAKATA

Alhamdulillah wa syukurillah, dengan rahmat, ridho dan hidayah Allah S.W.T. penulisan tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini sepantasnya apabila penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan. Persembahan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Prof. Dr. M. Jazuli, M. Hum, yang telah meluangkan waktunya untuk

mengoreksi dan memberi pengarahan serta saran dalam penyelesaian penulisan tesis.

2. Prof. Dr. Soediro Satoto, yang penuh kesabaran dan kesungguhan dalam memberikan bimbingan, bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penulisan tesis.

3. Direktur Program Pasca Sarjana, A. Maryanto, Ph.D., beserta para asisten direktur, yang telah membantu fasilitas dan memberikan dorongan dalam penyelesaian studi.

4. Guru besar dan staf Pengajar pada Program Pendidikan Seni, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang, yang telah memberi bimbingan keilmuan selama perkuliahan sebagai bekal masa depan.

(7)

vii

6. Bapak Hadi Sukamto selaku penanggung jawab upacara bersih desa Tanjung sari yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan pengamatan. 7. Bapak Sumo Wijoyo dan semua sesepuh serta tokoh masyarakat desa Dlimas

yang telah membantu dan banyak memberikan informasi yang penulis perlukan.

8. Staf administrasi Program Pendidikan seni, Pasca sarjana Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan layanan dan penuh toleransi serta kesabaran hingga selesai studi.

9. Rekan-rekan Program Studi Pendidikan Seni Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu dalam kelancaran penyusunan tesis.

Semoga semua jasa baik bantuan, bimbingan, dan arahan serta seluruh amal baik itu mendapat balasan berlipat dari Allah yang maha kasih. Amin.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan. Karena itu saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan. Akhir kata penulis berharap tesis ini dapat membangkitkan minat baca dan bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya.

Semarang, September 2006

(8)

viii

SARI

Sari, Teky Dwi Ana 2006. Upacara Bersih Desa Tanjungsari di Dukuh Dlimas Desa Dlimas Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten (Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna). Tesis Program Studi Pendidikan Seni, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang, Pembimbing I : Prof. Dr. M. Jazuli, M.Hum., Pembimbing II : Prof. Dr. Soediro Satoto.

Kata Kunci : Budaya, bentuk pertunjukan, fungsi dan makna simbolis. Upacara Bersih Desa Tanjungsari termasuk kategori kesenian tradisional, yang merupakan bagian dari keanekaragaman kebudayaan Indonesia yang hidup dan berkembang di seluruh pelosok tanah air. Demikian juga Upacara Bersih Desa Tanjungsari di Dukuh Dlimas, Desa Dlimas, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, sampai sekarang masih tetap eksis dan selalu rutin diadakan setiap setahun sekali.

Batasan permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah : (1) Bagaimanakah prosesi Upacara Bersih Desa Tanjungsari di Dukuh

Dlimas, (2) Bagaimanakah bentuk pertunjukan tari Tayub sebagai media “ngalap berkah” bagi masyarakat di Dukuh Dlimas, (3) Bagaimanakah fungsi dan makna simbolik yang terkandung dalam Upacara Bersih Desa Tanjungsari bagi masyarakat pendukungnya. Tujuan penelitian (1) memberikan informasi tentang keberadaan dan bentuk pertunjukan serta fungsi dan makna simbolik Upacara Bersih Desa Tanjungsari, (2) mendapatkan data empiris tentang Upacara Bersih Desa Tanjungsari bagi instansi terkait, dalam mengambil langkah dan usaha untuk pembinaan, pengembangan, pelestarian, dan pendokumentasian, (3) memberikan sumbangan pengetahuan dan menambah literatur.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif yang datanya bersifat deskriptif, dengan demikian, penelitian ini memberikan gambaran tentang seluk beluk upacara Bersih Desa Tanjungsari. Lokasi penelitian berada di Dukuh Dlimas Desa Dlimas Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten. Sasaran penelitian adalah bentuk pertunjukan,perlengkapan upacara,fungsi dan makna simbolis upacara bersih desa Tanjungsari. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, teknik wawancara dan teknik dokumentasi.

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

SARI ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR BAGAN ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

D.1 Kepentingan Praktis ... 6

(10)

x

BAB II KERANGKA TEORITIS ... 8

A. Perspektif Konsep Kebudayaan ... 8

B. Kesenian Masyarakat ... 12

a. Sekilas Asal-usul Prosesi Upacara Bersih Desa Tanjungsari ... 19

b. Bentuk Pertunjukan Tari Tayub ... 21

C. Kesenian Tradisional dan Fungsinya Bagi Masyarakat ... 24

1. Kesenian Tradisional ... 24

2. Fungsi Kesenian Bagi Masyarakat ... 31

3. Nilai Simbolis ... 35

D. Model Kerangka Teoritis ... 40

BAB III METODE PENELITIAN ... 41

A. Pendekatan Penelitian ... 41

B. Penentuan Lokasi dan Sasaran Penelitian ... 43

1. Lokasi Penelitian ... 43

2. Sasaran Penelitian ... 44

C. Teknik Pengumpulan Data ... 44

1. Studi Pustaka ... 44

2. Studi Lapangan ... 45

2.1 Teknik Wawancara ... 45

2.2 Teknik Observasi ... 48

(11)

xi

D. Keabsahan Data ... 50

E. Teknik Analisis Data ... 50

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... A. Lokasi dan Keadaan Tanah ... 52

B. Penduduk dan Mata Pencaharian ... 54

C. Pola Perkampungan ... 57

D. Sistem Kepercayaan ... 58

E. Kehidupan Sosial Budaya ... 60

1. Sarana dan Prasarana ... 61

2. Kesenian ... 63

3. Bahasa ... 67

F. Deskripsi Upacara Bersih Desa Tanjungsari di Dusun Dlimas ... 68

G. Susunan Upacara Bersih Desa Tanjungsari ... 77

1. Persiapan Upacara ... 77

a. Bersih Lingkungan ... 77

b. Tarub ... 80

c. Nadaran ... 83

d. Midodareni ... 87

2. Pelaksanaan Upacara ... 90

a. Penyediaan Sesaji ... 90

b. Urutan Acara pada Upacara Tanjungsari ... 92

(12)

xii

H. Pertunjukan Tari Tayub dalam Upacara Bersih Desa

Tanjungsari ... 100

1. Tempat Pertunjukan ... 106

2. Tata Rias dan Tata Busana ... 111

3. Iringan atau Musik ... 113

I. Pentas Seni atau Hiburan ... 123

J. Fungsi Upacara Bersih Desa Tanjungsari ... 125

1. Fungsi Ritual ... 125

2. Fungsi Pelestarian Tradisi ... 130

3. Fungsi Sosial ... 133

K. Makna Simbolis Sesaji Upacara Bersih Desa Tanjungsari ... 136

BAB V PENUTUP ... 142

A. Simpulan ... 142

B. Saran-Saran ... 145 DAFTAR PUSTAKA

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Penduduk berdasarkan jenis kelamin ... 54 Tabel 2 : Penduduk berdasarkan agama ... 55 Tabel 3 : Uraian gerak tari Tayub ... 105 Tabel 4 : Notasi gendhing Ladrang Pangkur Laras Pelog Pathet Barang

yang digunakan untuk mengiringi tari Tayub Pangkur pada awal sajian ... 115 Tabel 5 : Ladrang “Asmaradana” Sl. Pt. Manyura mengiringi Beksan

Alusan ... 118 Tabel 6 : Gendhing “Walang Kekek” Lancaran Sl. Pt. Sanga ... 120 Tabel 7 : Gendhing “Aja Dipleroki” (salah satu contoh gendhing

(14)

xiv

DAFTAR BAGAN

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pementasan kethoprak malam bersih desa ... 66

Gambar 2 Pementasan kethoprak dalam rangka HUT RI di Desa Dlimas ... 67

Gambar 3 Foto 2 buah patung wanita sebelum dihias ... 72

Gambar 4 Foto 2 buah patung wanita sudah dihias ... 73

Gambar 5 Lokasi upacara Bersih Desa Tanjungsari ... 74

Gambar 6 Acara kerja bakti menata meja sesaji ... 80

Gambar 7 Warga sedang menghias patung Nyi Tanjung Sari ... 81

Gambar 8 Acara kenduri nadaran di gedung Kridha Budaya ... 84

Gambar 9 Acara nadaran warga dusun nanggep ledhek ... 86

Gambar 10 Acara midodareni penerimaan uang sumbangan ... 88

Gambar 11 Warga dusun sedang ngalap berkah dengan membakar dupa dan berdoa didepan patung Nyai Tanjung Sari ... 89

Gambar 12 Warga yang mulai berdatangan membawa sesaji ... 91

Gambar 13 Acara menunggu saat upacara ... 91

Gambar 14 Laporan keuangan ketua panitia ... 93

Gambar 15 Sambutan Kepala Desa dan Bapak Camat ... 94

Gambar 16 Peristiwa pembacaan doa Agama Hindu ... 95

Gambar 17 Peristiwa pembacaan doa Agama Islam ... 97

Gambar 18 Denah Panggung ... 107

(16)

xvi

Gambar 20 Pola lantai lingkaran untuk gerak srisig ... 109

Gambar 21 Pola lantai lengkung untuk gerak ngrimong sampur srisig, ngilo sampur dan lain-lain ... 109

Gambar 22 Gerakan Kebyog Sampur ... 110

Gambar 23 Gerakan Pagaan ... 110

Gambar 24 Dua penari tayub dengan pengibing ... 111

Gambar 25 Rias wajah penari tayub ... 112

Gambar 26 Salah satu warga Dlimas yang ngluwari ujar dengan nanggap tayub seikhlasnya ... 113

Gambar 27 Grup Waranggono Desa Dlimas ... 122

Gambar 28 Grup Karawitan Desa Dlimas yang mengiringi penari tayub ... 122

Gambar 29 Sesepuh desa yang ikut berperan dalam pementasan kethoprak dengan judul Jaka Pulung Jaka Panatas ... 125

Gambar 30 Sesaji pada saat nadaran ... 136

Gambar 31 Sesaji pada saat upacara ... 137

(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perjalanan hidup manusia pada hakekatnya merupakan suatu usaha dan upaya untuk memenuhi keinginan pada sesuatu yang lain dan menarik, yang dapat membuatnya terpesona. Rasa pesona manusia dapat terpenuhi lewat bentuk pementasan seni seperti seni lukis, seni musik, seni busana, seni sastra, dan seni tari yang menggambarkan kejadian atau peristiwa kehidupan sehari-hari.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhubungan dengan kebudayaan, salah satu unsur penting dan universal kebudayaan adalah kesenian yang merupakan hasil karya manusia dalam usahanya memenuhi kebutuhan terhadap rasa keindahan. Kebutuhan rasa keindahan yang menimbulkan kesenangan dan kepuasan hati tidak hanya saja dibutuhkan oleh satu atau sekelompok manusia, tetapi merupakan kebutuhan setiap manusia, karena itu kesenian merupakan salah satu kebutuhan manusia yang universal. Dengan kesenian pula dapat memberi keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani.

(18)

pendekatan falsafah, rasa etis dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan yang tidak lepas dari adat kebiasaan. Sedangkan kesenian modern adalah bentuk seni yang penggarapannya didasarkan cita rasa baru hasil dari pengaruh luar, dan dapat juga dari cita rasa barat (Kayam 2000:339)

Kesenian tradisional sebagai salah satu bagian dari keanekaragaman kebudayaan tersebar dan berkembang di berbagai wilayah dengan masyarakat pendukung dan karakteristik yang berbeda-beda. Bentuk kesenian tradisional bersumber dan berakar serta dimiliki oleh masyarakat lingkungannya sebagai khas suatu daerah yang mencerminkan sifat dan kepribadian masyarakat pendukungnya, sehingga menjadikan kebanggaan tersendiri sebagai lambang identitas daerahnya. Oleh karena itu kesenian tradisional sangat dekat dengan para pendukungnya. Kenyataan kesenian tradisional dapat dijumpai di mana saja, di lingkup kebudayaan mana pun, dan kapan pun dalam perjalanan hidup manusia yang tak dapat diganggu gugat (Sahman 1995:66).

(19)

mempengaruhi perubahan kebudayaan yaitu, faktor intern atau dari dalam dan faktor ekstern atau dari luar.

Setiap daerah mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan kesenian tradisional yang mereka miliki, bahkan selalu mengusahakannya menjadi ciri khas atau identitas daerah. Dalam usaha mempertahankan atau melestarikan kesenian tradisional bukan berarti menjadikan kesenian itu menjadi statis, beku, atau tidak berubah, tetapi yang dimaksudkan untuk mengembangkan dengan tetap mengacu pada akar tradisi budaya setempat. Semua usaha sangat tergantung kepada masyarakat pendukungnya, sebab mereka adalah pelaku utama dalam usaha pelestarian.

(20)

ada yang menginginkan kesenian tradisional sebagai aset bangsa semakin lama semakin langka dan musnah.

Pelestarian kesenian tradisional sangat diperlukan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan meneliti dan mengkaji, kemudian memperkenalkan atau mempromosikan kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat mengetahui dan mengenal lebih dalam tentang kesenian tradisional sehingga timbul ketertarikan dan rasa memiliki terhadap kesenian tradisional yang ada. Kadang kala masyarakat meninggalkan kesenian tradisional karena tidak mengerti dan memahami kesenian tradisional itu, seperti pepatah yang mengatakan “tak kenal maka tak saying”.

(21)

karena di jaman yang serba modern di era globalisasi ini banyak masyarakat yang kurang meminati budaya nasional, tetapi kesenian tradisional yaitu upacara Bersih Desa Tanjungsari masih bertahan dan tetap eksis.

B. Permasalahan

Rumusan masalah dapat di rumuskan di bawah ini:

1. Bagaimanakah Prosesi Upacara Bersih Desa Tanjungsari sebagai upacara ritual di masyarakat Dukuh Dlimas, Desa Dlimas, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten?

2. Bagaimanakah bentuk pertunjukan tari tayub sebagai media ngalap berkah bagi masyarakat Dukuh Dlimas, Desa Dlimas, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten ?

3. Bagaimanakah fungsi Upacara Bersih Desa Tanjungsari bagi masyarakat dukuh Dlimas, Desa Dlimas, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan gambaran tentang bentuk visualisasi Upacara Bersih Desa Tanjungsari di Dukuh Dlimas, Desa Dlimas, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten.

(22)

3. Mengkaji dan mengetahui fungsi Upacara Bersih Desa Tanjungsari bagi masyarakat di Dukuh Dlimas, Desa Dlimas, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten.

D. Manfaat Penelitian D.1 Kepentingan Praktis

1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti tentang kesenian tradisional, khususnya Upacara Bersih Desa Tanjungsari. 2. Penelitian ini bermanfaat sebagai pendokumentasian kesenian

tradisional bagi Instansi terkait, dan diharapkan penelitian ini dapat membantu dalam masalah yang dihadapi, seperti: masalah dalam publikasi/penyebaran kepada masyarakat serta membantu untuk menemukan langkah-langkah dalam usaha melestarikan Upacara Bersih Desa Tanjungsari.

3. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang sejarah perkembangan dan bentuk penyajian upacara Bersih Desa

Tanjungsari, khususnya bagi penikmat seni dan masyarakat pada umumnya.

D.2 Kepentingan Teoritik

(23)
(24)

8

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Perspektif Konsep Kebudayaan

Kebudayaan manusia pada hakekatnya merupakan perwujudan upaya manusia dalam menanggapi lingkungannya secara aktif (Budhisantoso 1983/1984:14). Kata budaya dalam bahasa Belanda yaitu cultuur, dan dalam bahasa Inggris adalah culture, yang berasal dari perkataan Latin Colere, yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, dalam hal ini terutama mengolah tanah bertani (Pelly dan Menanti 1994:22).

Menurut Koentjaraningrat (1986:9), bahwa kata ”kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta “buddayah”, yaitu bentuk jamak dari “budhi” yang berarti “budi” atau “akal”. Lebih lanjut Djojodiguno (dalam Widagdho 1993:20) menyatakan bahwa kebudayaan atau budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa, dan karsa.

(25)

tidak hidup begitu saja di tengah-tengah alam melainkan selalu mengubah alam itu.

Menurut Linton (dalam Harsojo 1988:92) kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari, dan hasil tingkah laku yang unsur-unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat. Pada prinsipnya, adanya ciptaan manusia meliputi perilaku dan hasil kelakuan manusia yang diatur oleh tata kelakuan yang diperoleh dengan belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berarti hampir seluruh tindakan manusia merupakan proses belajar.

Kebudayaan, merupakan suatu gagasan atau segala apa yang diketahui dan diyakini agar seseorang dapat bertindak dengan cara-cara yang dapat diterima oleh anggota masyarakat serta dapat dipahami sebagai kompleks nilai-nilai budaya, gagasan vital, dan keyakinan yang ada dalam setiap benak anggota masyarakat pendukungnya sebagai pengetahuan kebudayaan. Pengetahuan kebudayaan tersebut terdiri dari sejumlah perangkat model untuk melihat, memahami lingkungan dalam arti luas, memilih-milih gejala yang dihadapi, merencanakan tindakan dan menentukan sikap, serta memilih-milih cara yang sesuai dengan tantangan lingkungan atau sejarah yang dihadapinya (Budhisantoso 1981/1982:11, Rohidi 1987:1).

(26)

dan berfikir, memahami, memilih dan merencanakan, serta melaksanakan), atau pola berfikir, merasakan dan bertindak. Seperti yang dikemukakan oleh Peursen (1988:11), yang menyatakan bahwa kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, misalnya cara ia menghayati kematian dan membuat upacara-upacara untuk menyambut peristiwa itu, demikian juga mengenai kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan santun waktu makan, pertanian, perburuan, cara ia membuat alat-alat, cara-cara untuk menghiasi badan dan rumahnya.

(27)

Menurut Taylor (dalam Sulaeman 1993:10) dijelaskan bahwa di dalam kebudayaan terkandung : ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai warga masyarakat.

Mengenai transmisi kebudayaan, Rohidi (2000: 27) dalam seminar mengenai revitalisasi kesenian tradisional mengatakan bahwa ciri-ciri dari kebudayaan yang senantiasa melekat pada kesenian adalah milik bersama yang memiliki seperangkat nilai dan dasar pijak bagi perilaku, merupakan acuan bersama yang membuat tindakan individual dipahami demikian pula sebaliknya. Kesenian dan kebudayaan dipelajari dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi. Dengan demikian kebudayaan selalu dikaitkan dengan sekelompok masyarakat dengan seperangkat nilai dan kepercayaan yang merupakan acuan dalam kehidupannya, dan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

(28)

B. Kesenian dan Masyarakat

Manusia dalam kehidupan sehari-hari selalu berhubungan dengan kebudayaan. Salah satu bagian dari beberapa unsur kebudayaan, kesenian merupakan hasil karya manusia dalam usahanya untuk memenuhi salah satu kebutuhan hidupnya, yaitu terutama kebutuhan terhadap rasa keindahan. Kebutuhan pada seni merupakan perimbangan antara kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Kesenian ini tidak hanya dibutuhkan oleh orang kaya atau oleh orang yang hidup serba kecukupan saja, tetapi juga menjadi kebutuhan bagi orang miskin atau bagi mereka yang hidupnya serba kesulitan. Oleh karena itu kesenian merupakan salah satu kebutuhan manusia yang universal.

Kesenian dapat diartikan sebagai penghias kehidupan sehari-hari yang dicapai dengan kemampuan tertentu, dan mempunyai bentuk-bentuk yang dapat dilukiskan oleh pendukungnya dan dapat dianggap sebagai manifestasi segala dorongan yang mengejar keindahan dan karenanya dapat memperoleh kesenangan dalam segala tahap kehidupan. Hal ini secara singkat dikemukakan oleh Boss tentang batasan kesenian itu, yaitu sebagai sesuatu yang dapat membangkitkan perasaan menyenangkan (Budhisantoso 1982 / 1983:24).

(29)

dalam menghadapi sebuah karya seni, tidak hanya kategori keindahan yang bergetar dalam hati seorang penonton, tetapi ada kategori yang lainnya. Sehingga perasaan estetik hanya merupakan sebagian dari perasaan seni. Rasa keindahan itu pada dasarnya yang ada pada manusia itu sendiri. Lebih lanjut menurut Jazuli (1994:113) bahwa keindahan bukanlah merupakan kualitas suatu obyek atau peristiwanya, melainkan dari cara kita mengungkapkannya.

Seni merupakan ungkapan rasa keindahan manusia yang ditimbulkan oleh adanya pemikiran dan perbuatan manusia terhadap lingkungannya (Padmodarmaya 1990:1). Ungkapan rasa keindahan itu dapat dinikmati ataupun ditangkap melalui sentuhan-sentuhan panca indera, yaitu lewat penglihatan mata, pendengaran telinga, penciuman hidung, perasaan lidah, dan perasaan pucuk-pucuk jari. Rasa keindahan merupakan rasa halus di dalam jiwa manusia dan yang memberikan kemampuan kepadanya untuk menangkap, meresapkan dalam hati sebagai pusat impuls yang datang dari sekitar manusia (Soemardjan 1980/1981:19).

(30)

Kepuasan pesona bagi pencipta karena ia dapat menumpahkan segala isi hatinya dan kepuasan pesona bagi orang lain atau penikmat karena ia dapat menghayati isi yang terkandung dalam seni itu yang kemudian ia dapat menghayatinya (Bastomi 1988:6). Jadi kepuasan dapat dicapai melalui olah seni, garap seni, dan apresiasi seni. Dari uraian ini, maka seni tidak terbatas pada keindahan saja, tetapi meliputi hal-hal yang tidak indah dan hal-hal yang dapat memuaskan manusia.

Tolstoy (dalam Gie 1976:61) berpendapat bahwa kesenian adalah suatu perilaku manusia yang secara sadar dengan perantaraan tanda-tanda lahiriah tertentu menyampaikan perasaan-perasaan yang dihayatinya kepada orang lain sehingga mereka kejangkitan perasaan-perasaan itu dan juga mengalaminya. Apabila perasaan itu gembira, sedih, dan marah dapat dituangkan ke dalam seni. Demikian halnya jika manusia yang bersifat halus, kasar, penakut, sombong, dan pemberani dapat juga diungkapkan ke dalam bentuk seni.

Dari berbagai macam sifat dan perasaan yang ada dalam diri manusia itu disalurkan dan dituangkan ke dalam bentuk seni melalui media-media tertentu agar orang lain memahami apa yang dikehendaki dan yang disampaikan oleh pencipta seni. Media-media itu antara lain :

1. Melalui media gerak dan sikap, yaitu dari anggota tubuh manusia, merupakan bentuk seni tari.

(31)

3. Melalui garis dan warna, merupakan seni rupa.

4. Melalui pengartian kata, merupakan bentuk seni sastra.

5. Melalui ruang dan substansi, merupakan bentuk seni bangunan.

Dari uraian di atas maka pada dasarnya suatu hasil seni merupakan ungkapan kehidupan emosional bisa pikiran dan kehendak seseorang. Hasil penciptaan seni tergantung pada maksud dan tujuan yang dikehendaki oleh penciptanya serta sesuai dengan keinginan penciptanya untuk mewujudkan perasaan-perasaan yang telah dihayatinya sehingga dapat disampaikan kepada orang lain. Dengan demikian, seni dapat dikatakan sebagai karya seseorang yang dapat dinikmati oleh orang lain yang mencerminkan jiwa seseorang yang mencipta seni itu, dan merupakan pernyataan tentang keadaan batin penciptanya serta merupakan ungkapan perasaan atau ungkapan jiwa seseorang.

Hasil seni merupakan identitas seseorang, tetapi apabila seni itu lahir di tengah-tengah masyarakat yang sifatnya kerakyatan tanpa diketahui seseorang sebagai penciptanya, maka hasil seni itu merupakan identitas masyarakat pendukungnya.

(32)

Istilah masyarakat menurut Koentjaraningrat (1986:143) berasal dari akar kata Arab syaraka yang berarti ikut serta, berpartisipasi. Dari syaraka menjadi musyaraka yang berarti saling bergaul. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata latin socius yang berarti kawan.

Herkovits (dalam Harsojo 1988:126) mengemukakan bahwa masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan yang mengikuti satu cara hidup tertentu. Jadi dalam suatu kelompok tersebut terdapat suatu ikatan antaranggota kelompok untuk mengikuti cara-cara hidup tertentu yang ada dalam kelompok masyarakat.

Steinmentz, seorang ahli Sosiologi Belanda, memberikan batasan masyarakat sebagai kelompok manusia yang terbesar yang meliputi pengelompokan-pengelompokan manusia yang lebih kecil yang mempunyai perhubungan erat dan teratur. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Gillin dan Gillin yang menyatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar yang mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu meliputi pengelompokkan-pengelompokkan yang lebih kecil (Pelly dan Menanti 1994:28).

(33)

skala lebih kecil lagi, misalnya: masyarakat desa, masyarakat kota Semarang, masyarakat Badui dan sebagainya.

Lebih rinci lagi pernyataan yang dikemukakan oleh Linton (dalam Harsojo 1988:126), yaitu bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai salah satu kesatuan sosial dengan batas- batas tertentu. Hal ini menunjukkan adanya pengalaman hidup bersama dalam jangka waktu yang cukup lama adanya kerja sama di antara anggota kelompok, memiliki pikiran atau perasaaan menjadi bagian dari satu kesatuan kelompoknya. Pengalaman hidup bersama menimbulkan kerja sama, adaptasi terhadap organisasi dan pola tingkah laku anggota – anggota. Faktor waktu memegang peranan penting, sebab setelah hidup bersama dalam waktu yang cukup lama, maka terjadi proses adaptasi terhadap tingkah laku serta kesadaran berkelompok.

Dengan demikian suatu masyarakat timbul dari setiap kumpulan – kumpulan individu yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama. Tetapi tidak semua kelompok atau kumpulan-kumpulan individu dapat disebut sebagai masyarakat ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:

1. Terjadi interaksi.

2. Adanya ikatan pola tingkah laku yang khas di dalam semua aspek kehidupan yang bersifat mantap dan kontinu.

(34)

Interaksi antara anggota kelompok terjadi melalui berbagi prasarana, seperti bahasa, alat-alat komunikasi, tempat-tempat ibadah, dan lain-lain. Perlu diketahui pula bahwa tidak semua kelompok yang berinteraksi dan bergaul dapat dikatakan masyarakat. Tetapi dapat juga disebut kerumunan, contohnya seperti orang-orang yang sedang belanja dengan pelayan toko, dan sebagainya. Hal ini karena terkaitnya hanya terbatas pada faktor kehidupan tertentu saja dan bersifat sementara.

Kesatuan manusia yang bergaul dan berinteraksi dikatakan sebagai masyarakat. Apabila di dalamnya terdapat suatu ikatan khusus seperti pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya atau seperti sistem adat istiadat, norma-norma, kaidah-kaidah tertentu yang bersifat kontinyu serta adanya ikatan rasa identitas bersama sebagai pedoman tingkah laku sehari-hari.

Dengan memperhatikan ciri-ciri masyarakat dan uraian di bawahnya, maka seperti yang dirumuskan oleh Koentjaraningrat (1980:160) tentang definisi masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.

(35)

a. Sekilas Asal-usul Prosesi Upacara Bersih Desa Tanjungsari

Menurut Sukamto (wawancara 18-04-2004) bahwa pelaksanaan bersih desa Tanjungsari dibagi menjadi 3 periode, yaitu : jaman regang, jaman tenang dan jaman meja. Dukuh Dlimas sekarang adalah dukuh

peralihan yang dahulunya merupakan hutan alang-alang. Letak dukuh Dlimas disebelah barat pabrik gula.

Pada awal abad 18 (delapan belas) dukuh Dlimas telah dihuni oleh beberapa keluarga yang merupakan trukan (dukuh kecil). Yang menjadi sesepuh pada waktu itu bernama Ki Demang Rawatmejo, kemudian ada pendatang baru dari kerabat kraton Yogjakarta Hadiningrat. Pada saat sampai di dukuh, beliau melihat pohon Delima yang berbuah berwarna kekuningan seperti emas, sejak saat itulah dukuh yang ditempati Ki Demang Rawatmejo dinamakan dukuh Dlimas. Selanjutnya kerabat kraton dijuluki Ki Dlimas yang selanjutnya menjadi cikal bakal Desa Dlimas.

(36)

Bersama dengan kejadian itu, penduduk Dlimas terserang penyakit (ambah-ambah pageblug) dan banyak orang meninggal. Sebagai seorang Demang Ki Rawatmejo melakukan pertapaan untuk meminta petunjuk kepada Tuhan supaya rakyatnya tidak tertimpa bencana. Ki Rawatmejo Nglakoni ngebleng selama 21 hari. Dalam pertapaannya Ki Demang

ditemui dua putri yang bernama Roro Tanjungsari dan Nyi Payung Gilap yang ternyata pepudhen atau dhanyang desa Dlimas, melalui sang putri Ki Demang dapat petunjuk bahwa pageblug akan berakhir apabila setiap malam Jum’at Kliwon atau malam Jum’at Wage di bulan Suro (yang merupakan kelahiran dari Putri Tanjung sari dan Nyi Payung Gilap), agar seluruh penduduk desa Dlimas melaksanakan Caos Sesaji di bawah pohon Tanjung. Setelah melaksanakan Caos Sesaji di bawah pohon Tanjung semua penyakit dan Pageblug hilang. Semenjak saat itu setiap tahun penduduk Dlimas selalu melaksanakan bersih desa dan Caos Sesaji yang dinamakan Upacara Bersih Desa Tanjungsari.

b. Bentuk Pertunjukan Tari Tayub

(37)

kesatuan yang menyeluruh dari suatu hubungan berbagai factor yang saling bergayutan atau suatu cara yang keseluruhan aspek bisa dirakit (Langer, terjemahan, 1998: 15-16).

Pertunjukan memiliki arti sama dengan pementasan, yang berasal dari kata dasar pentas. Menurut Pramana (1983: 5), arti pentas adalah sebuah tempat yang dipergunakan untuk mempertunjukan suatu pemeranan yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 665), yang berarti panggung, yaitu lantai yang letaknya lebih tinggi dalam gedung pertunjukan tempat memainkan sandiwara. Pentas sebagai tempat pertunjukan adalah tempat pertunjukan dengan pertunjukan kesenian yang menggunakan manusia sebagai media utamanya, misalnya pertunjukan teater tradisi seperti ludruk, kesenian lenong dan kesenian kethoprak. Dari kedua definisi bentuk pertunjukan dapat diasumsikan penelitian sebagai satu kesatuan unsur-unsur yang ada dalam sebuah pertunjukan yang tidak dapat dipisahkan, karena unsur satu dengan yang lain saling terkait untuk menunjang kesuksesan dalam sebuah pertunjukan. Unsur seni pertunjukan terbagi menjadi dua yaitu: unsur utama dan unsur pendukung.

1. Unsur utama dalam pertunjukan adalah gerak.

(38)

Soedarsono (dalam Hermin, 1999: 205), mengamati bahwa gerak dapat dilihat dari empat sisi, berdasarkan wujud dan maksud yang di ketengahkan. Pertama adalah yang diutarakan melalui simbol-simbol maknawi, gerak dan sikap mengandung makna disebut gesture. Simbol maknawi atau gesture terwujud melalui gerak yang dilakukan secara imitative dan interpertatif. Kedua adalah sajian gerak yang tidak memperlihatkan simbol maknawi, sehingga terlihat murni sebagai suatu gerak tanpa pesan yang hanya menonjolkan nilai keindahan semata tanpa mempertimbangkan maknanya. Ketiga adalah gerak penguat ekspresi atau Baton Signal, gerak ini diharapkan sebagai penambah atau penguat dalam mengungkapkan suatu maksud yang disampaikan lewat dialog, contoh gerak mengepal dan menuding dengan kemarahan. Keempat adalah berpindah tempat.

2. Unsur Pendukung tari tayub adalah, tempat pentas, tata rias dan tata busana serta iringan atau musik.

2.1 Tempat Pertunjukan

(39)

terbagi menjadi dua bentuk, yaitu : bentuk proscenium dan bentuk arena. Proscenium adalah tempat pertunjukan yang dibatasi oleh dinding keliling dan penonton hanya dapat menyaksikan pertunjukan dari satu arah pandang, sedangkan arena adalah tempat pertunjukan yang penontonnya berada disekeliling pentas dan dapat disaksikan dari berbagai arah. 2.2 Tata Rias dan Tata Busana

Menurut Lestari (1993: 85), tata rias panggung terdiri dari tata rias cantik, tata rias karakter dan tata rias fantasi.Tata rias wajah yang digunakan disesuaikan dengan tema tari. Tata rias busana panggung khususnya busana tari adalah segala sesuatu yang dipakai penari mulai dari rambut sampai kaki, yang dapat menggambarkan cerminan jiwa san dapat menunjukkan watak atau pribadi sehingga sesuai dengan karakter dan tema tari.

2.3 Iringan atau musik

(40)

musik hanya diperlukan bagian tertentu dari keseluruhan pertunjukan. Musik dalam tari mempunyai tiga aspek dasar yang erat kaitannya dengan tubuh dan kepribadian manusia yaitu : melodi, ritme dan dramatik. Dijelaskan oleh Sach dalam Jazuli (1994:9-10), bahwa musik tidak akan bernilai artistik apapun apabila dipisahkan dari tari.

C. Kesenian Tradisional dan Fungsinya Bagi Masyarakat 1. Kesenian Tradisional

Kata “tradisi” sering dihubungkan dengan pengertian kuno, ataupun sesuatu yang bersifat luhur sebagai warisan nenek moyang. Edward Shils (dalam Sedyawati 1991:181) membahas pengertian tradisi secara panjang lebar yang pada intinya menunjukkan bahwa hidupnya suatu masyarakat senantiasa didukung oleh kebiasaan turun temurun atau tradisi, namun tradisi itu bukanlah sesuatu yang statis.

(41)

Budaya sebagai alat interaksi sosial sangat bermanfaat bagi hubungan timbal balik, menghormati gagasan leluhur, pelestarian budaya nenek moyang. Oleh seniman diolah dan dikemas sedemikian rupa sehingga dengan pengalaman estetiknya dapat menghasilkan nilai visualisasi baru yang dapat mewakili jamannya. Penawaran visualisasi baru tersebut mengandung kualitas interpretasi yang berbeda-beda karena bentuk visualisasi selalu berkembang dan bahkan bisa jadi berubah-ubah pemaknaannya.

Sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan keindahan seni tradisi tidak hanya memperlihatkan nilai pakai atau praktis saja, tetapi juga nilai artistik. Rasa sebagai salah satu unsur budaya manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup, mencapai manifestasinya dalam perwujudan karya. Kesadaran manusia untuk menghasilkan karya seni ditimbulkan oleh pengalaman perasaan dan estetisnya. Ungkapan perasaan inilah yang mengandung nilai-nilai tertentu yang melahirkan bentuk-bentuk perlambang yang dirunut oleh berbagai pikiran, kepercayaan dan agama, seperti lambang-lambang nenek moyang, kesuburan, kekuatan gaib, ragam hias berdimensi sakral.

(42)

adat istiadat, kaidah-kaidah ataupun norma-norma yang sudah ada sebelumnya dan sampai sekarang masih dijalankan dalam suatu kehidupan masyarakat (Sedyawati 1981 : 48).

Tradisional merupakan istilah yang berasal dari kata tradisi, sedangkan kata tradisi berasal dari kata latin traditio, yang artinya mewariskan (Garha 1979:5). Pada dasarnya kata tradisi ini sering dikaitkan dengan pengertian kuno, yaitu sebagai yang bersifat luhur sebagai warisan nenek moyang. Sedangkan kata tradisi menurut Salim (1991:1936) diartikan sebagai adat kebiasaan turun-temurun yang masih tetap dilaksanakan.

Humardani (1982:3) mengemukakan bahwa tradisi merupakan suatu situasi proses sosial yang unsur-unsurnya diwariskan/ diteruskan dari angkatan yang satu atau ke generasi satu ke generasi berikutnya. Dari waktu ke waktu. Dengan adanya tradisi maka sesuatu hal akan tetap bertahan hidup dan tidak dapat berubah atau tetap menunjukkan keasliannya. Apabila dalam suatu waktu ada perubahan, hal ini akan tetap berpedoman pada aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya.

(43)

Menurut Sedyawati (1981:48) predikat tradisional dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang sesuai dengan tradisi, sesuai dengan kerangka pola-pola bentuk maupun penerapan yang selalu berulang. Hal ini berarti suatu penurunan atau suatu pewarisan dari angkatan dulu ke angkatan sekarang atau merupakan terusan atau kelanjutan bentuk masa lalu. Pewarisan itu dapat berupa sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu berpegang pada unsur-unsur adat istiadat, kaidah-kaidah ataupun norma-norma yang sudah ada sebelumnya dan sampai sekarang masih dijalankan dalam suatu kehidupan masyarakat.

Pada dasarnya yang disebut dengan kesenian tradisional adalah salah satu bentuk kesenian tradisional yang mengalami perjalanan hidup yang cukup panjang dan sampai saat ini masih diakui sebagai peninggalan budaya dari orang-orang terdahulu (nenek moyang) yang diwariskan secara turun-temurun hingga sekarang, yang selalu terikat pada norma-norma, adat kebiasaan dan pola-pola tradisi yang sudah ada sebelumnya.

Hidup atau matinya kesenian tradisional tersebut tergantung pada pandangan hidup masyarakat yang dimilikinya. Kesenian tradisional akan hidup atau dihidupi oleh dan bersama kehidupan masyarakat karena masyarakat tersebut memang merasa membutuhkan. Selain itu kesenian ini masih berkaitan erat dengan adat istiadat atau masih dapat dianggap sebagai suatu kepentingan bagi kehidupan masyarakatnya.

(44)

masyarakatnya atau ditumbangkan oleh suatu bentuk kesenian yang baru yang datang dari luar daerah tersebut.

Kehadiran kesenian tradisional yang bersifat kerakyatan, merupakan bagian dari kehidupan masyarakat di mana kesenian rakyat tersebut hidup dan berkembang (Sedyawati 1983:116). Kesenian ini hidup dengan sendirinya sehingga tidak pernah diketahui secara pasti sejak kapan lahirnya dan tidak diketahui secara individu yang mencipta kesenian itu. Oleh karena itu kesenian tradisional dapat dikatakan sebagai kesenian asli yang tercipta secara anonim.

Tetapi dapat diketahui bahwa kesenian tradisional lahir dari kehidupan suatu masyarakat sebagai pendukung gagasan kolektif dari warga masyarakat sebagai pendukung dan pemiliknya. Gagasan kolektif itu salah satunya berasal dari adanya dorongan emosi yang dilanjutkan dengan pengungkapan kehidupan batin yang murni yang berada dalam setiap benak anggota masyarakat. Pengungkapan batin tersebut diekspresikan oleh para seniman rakyat ke dalam suatu bentuk kesenian rakyat.

(45)

warga masyarakatnya secara umum, dengan berdasarkan atas pandangan hidup dan adanya kepentingan pribadi dari masyarakat pendukungnya. Selain itu karena latar belakang atau sejarah yang berkaitan dengan keadaan sosial atau pun kondisi lingkungan masyarakatnya.

Sebagai contoh keadaan sosial atau kondisi lingkungan masyarakat primitif pada jaman batu yang sudah mempunyai mata pencaharian bercocok tanam. Masyarakat pada masa itu sudah sangat kuat terikat pada suatu kepercayaan. Contohnya percaya dengan roh-roh gaib, benda-benda yang mempunyai kekuatan atau pun binatang-binatang yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Pada waktu panen, dalam kaitannya dengan kepercayaan bahwa kekuatan alam telah memberikan hasil panennya secara melimpah, maka sebagai pernyataan rasa syukur dan terima kasih kepada Dewi padi diungkapkan dengan berbagai macam bentuk kegiatan, seperti upacara. Hal ini menunjukkan bahwa upacara tersebut sebagai kepentingan yang harus dilaksanakan dalam kaitannya dengan bercocok tanam bagi masyarakat tersebut.

(46)

Dengan demikian, maka kesenian tradisional lahir berkaitan dengan suatu kepentingan bagi masyarakatnya, yaitu sebagai masyarakat petani. Dengan sendirinya kesenian tradisional akan menggambarkan kehidupan masyarakat pendukungnya dan merupakan salah satu ciri identitas bagi daerahnya. Dengan demikian kesenian tradisional mempunyai corak dan gaya kekhususan tersendiri sesuai dengan kondisi pribadi kelompok masyarakatnya.

Pada jaman modern ini kesenian tradisional sering digunakan untuk suatu kepentingan dan menjadi suatu kebutuhan yang berkaitan dengan segi kehidupan manusia. Seperti misalnya, untuk upacara kelahiran, perkawinan, kematian dan sebagainya. Hal ini karena pada awalnya kesenian tradisional digunakan sebagai syarat yang harus dipenuhi, selain sebagai sarana untuk menghibur masyarakatnya. Kemudian secara berturut-turut dari waktu ke waktu masyarakat tersebut selalu memanfaatkan kesenian tradisional untuk kepentingannya. Dengan sendirinya kesenian tradisional sebagai suatu kebutuhan yang menjadi tradisi dan adat kebiasaan di lingkungan masyarakatnya.

(47)

2. Fungsi Kesenian Bagi Masyarakat

Berbagai macam seni dengan kekhasan masing-masing tentunya memiliki fungsi, fungsi seni menurut Bastomi (1992:41), adalah sebagai berikut :

1. Fungsi Sakral berfungsi untuk kepentingan hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan atau kepercayaan, sehingga seni yang dilahirkan untuk kepentingan agama yang mempunyai nilai tinggi sebab terciptanya seni atas dasar rasa pengabdiaan pada yang dipuja.

2. Fungsi Sekuler berfungsi untuk hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan keduniawian, dalam hal ini seni sebagai alat atua obyek. 3. Fungsi Upacara Adat berfungsi untuk merayakan suatu peristiwa

penting.

(48)

hal yang satu dihubungkan ke hal yang lainnya sehingga menjadi suatu hubungan tertentu atau suatu keterkaitan, yang akhirnya mempunyai manfaat dan arti tersendiri.

Dijelaskan Sepiro (dalam Koentjaraningrat, 1986 : 213) disebutkan, konsep fungsi mempunyai tiga arti di dalam penggunaannya, yaitu :

1. Menerangkan adanya hubungan antara suatu hal dengan tujuan tertentu 2. Dalam pengertian korelasi antara hubungan yang satu dengan

hubungan yang lainnya

3. Menerangkan adanya hubungan yang terjadi antara satu hal dengan yang lain dalam suatu sistem yang berintegrasi.

Koentjaraningrat (1984 : 29-30) mempertegas lagi tentang konsep fungsi tersebut, yaitu bahwa fungsi adalah suatu perbuatan yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan suatu masyarakat di mana keberadaan sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan sosial. Kesenian tradisional dalam kaitannya dengan fungsi, berarti bagaimana suatu kesenian tradisional yang diciptakan oleh suatu masyarakat dapat mempunyai makna dan arti penting bagi masyarakatnya. Dengan demikian kesenian tradisional yang hidup dalam kelompok masyarakat tertentu memiliki fungsi tertentu pula. Demikian Sedyawati dan Sapardi (1983 : 138) berpendapat, jelas kesenian tertentu mempunyai kelompok-kelompok tertentu dan fungsi-fungsi yang berbeda dalam masyarakatnya.

(49)

dengan sejarah timbulnya kesenian itu sendiri, sedangkan Sedyawati (1981:61) mengemukakan bermacam peranan bisa dipunyai kesenian dalam kehidupan dan peranan itu ditentukan oleh keadaan masyarakatnya, berarti fungsi kesenian tradisional selain berhubungan dengan sejarah timbulnya kesenian itu, juga berhubungan dengan keadaan masyarakatnya.

Hal tersebut dapat dijumpai dengan melihat keadaan masyarakat di daerah pedesaan. Sebagian besar warganya masih membutuhkan suatu bentuk kesenian tradisional karena suatu adat atau tradisi. Kesenian ini bersifat sakral atau suci dan masih terikat kuat dengan suatu kepercayaan, sehingga berfungsi ritual. Jazuli (1994:96) menjelaskan, di daerah pedesaan yang belum terjamah oleh produksi teknologi modern dan gaya hidup kekotaan, kesenian tradisional yang berfungsi ritual masih sering dilakukan, seperti pertunjukan wayang kulit untuk ruwatan dan lain-lain.

(50)

Apabila kita melihat keadaan masyarakat di daerah perkotaan, sebagian besar masyarakatnya lebih cenderung membutuhkan suatu bentuk kesenian hanya untuk hiburan semata. Hal ini karena adat atau tradisi di daerah perkotaan sudah tergeser oleh pengaruh dari luar. Apabila dijumpai suatu bentuk kesenian tradisional yang berfungsi ritual, hal ini sudah sangat jarang. Namun sebaliknya, kesenian tradisional yang ada di daerah perkotaan sudah bergeser fungsinya menjadi suatu bentuk tontonan yang sifatnya sebagai hiburan.

Hiburan berarti mempunyai keterkaitan dengan perasaan pada diri manusia. Jadi kesenian tradisional menitikberatkan pada perasaan manusia, yaitu perasaan puas. Kepuasaan perasaan itu diperoleh bagi para penonton maupun pelakunya. Bagi para penonton akan merasakan kepuasan yang bersifat kesenangan atau kegembiraan setelah menikmati kesenian tersebut. Sedangkan bagi para pelaku kesenian, akan mendapat kepuasan dengan menyalurkan kesenangannya melalui pertunjukan kesenian, dengan mengembangkan ketrampilannya dan dapat menyenangkan hati penontonnya.

Apabila kesenian tradisional digunakan untuk suatu upacara atau untuk keperluan tertentu, maka hal itu hanya merupakan perlengkapan atau sebagai rangkaian setelah upacara itu selesai, misalnya : untuk perlengkapan acara perayaan hari ulang tahun, acara perkawinan, khitanan, bersih desa dan sebagainya.

(51)

menyampaikan pesan-pesan tertentu kepada khalayak. Pesan-pesan yang disampaikan dapat berwujud ajaran, nasehat, kritikan, ataupun yang lainnya. Ajaran-ajaran tersebut dapat diperoleh melalui bentuk-bentuk perwujudan dari penyajian kesenian tradisional tersebut, misalnya dari dialog-dialognya, rangkaian geraknya, isi ceritanya, dan lain-lain. Jadi pada dasarnya kesenian tradisional berfungsi sebagai media komunikasi dan bahkan sebagai media atau sarana yang ampuh untuk mendidik, mengkritik, atau menyarankan, serta untuk memberikan bimbingan-bimbingan kepada masyarakatnya.

3. Nilai Simbolis

Kesenian sebagai salah satu unsur universal dari kebudayaan (konsep Malinowski), keberadaannya memang dapat disebut sebagai multi fungsi, karena di samping sebagai alat ekspresi, juga dapat mengandung nilai-nilai dan norma-norma secara simbolik. Tradisi sebagai sumber gagasan dan ide, titik tolak dalam menyampaikan pesan-pesan moral.

Menurut Rohidi (1993), dalam kebudayaan setiap karya yang diciptakan manusia mempunyai tujuan dan menandakan nilai-nilai tertentu atau menunjukkan maksud serta gagasan tertentu. Setiap benda di alam disentuh dan dikerjakan manusia sehingga menjadi bentuk yang baru yang dimuati dengan nilai-nilai untuk disampaikan kepada pengguna atau penikmatnya.

(52)

pola-pola yang diperoleh dan dipindahkan dengan simbol-simbol yang merupakan hasil karya manusia yang perwujudannya berupa benda-benda buatan manusia. Semua yang ada sebagai hasil budaya manusia sebenarnya dikemukakan dengan simbol-simbol. Dijelaskan pula oleh Ernest Cassirer bahwa manusia tidak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung tetapi melalui berbagai simbol (Herusatoto 1987:10).

Menurut Rohidi (1996:30) manusia hidup di dalam aura atau lingkungan budaya yang penuh dengan simbol-simbol yang dipahami dan dihayati bersama dalam kelompok masyarakatnya. Manusia dalam kehidupannya mampu menciptakan, menampung, menggunakan, dan menginterpretasikan simbol sebagai saran komunikasi dengan sesamanya atau dengan yang “ infra human”, dan maknanya dengan serta merta dapat dipahami bersama. Manusia hidup dalam belantara simbol dan berpedoman pada sistem simbol yang dimiliki masyarakat.

Websters (dalam Bastomi 1992:53) mengartikan simbol sebagai suatu pengertian atau pernyataan pikiran khususnya yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang dinyatakan. Simbol hanya dapat dimengerti dalam konteks yang ditafsirkan oleh kebudayaannya sendiri, bersifat mana suka tidak sama dengan yang ditandai (Gorys Keraf dalam Rohidi, 1993).

(53)

pengguna simbol-simbol tersebut (Rohidi dan Syakir, 1993 :22). Simbol-simbol yang ada mempunyai kekuatan membentuk konsep dari sesuatu benda atau gagasan yang ditandainya, berkaitan dengan hal itu, karya seni yang diciptakan seniman juga memuat nilai-nilai simbolis untuk disampaikan kepada penikmatnya. Karya seni merupakan perangkat simbol pengungkapan perasaan atau simbol ekspresif.

Sebagai forma atau bentuk simbolis, karya seni benar-benar telah mengalami transformasi. Karya seni bukan sekadar pemindahan bentuk begitu saja, tetapi telah melewati interpretasi penciptaannya. Karya seni itu tidak semata-mata penandaan yang menyerupai atau mirip sesuatu yang ditandai, tetapi lebih jauh karya seni harus merupakan simbol, dengan kata lain wujud yang tampil sebagai karya seni harus mengandung makna yang lepas dari yang ditandai, karya seni itu mampu berbicara tentang sesuatu yang mendalam dan menyentuh perasaan estetis (Rohidi, 1993).

(54)

Seni yang bersifat simbolik telah dikenal manusia sejak jaman pra sejarah seperti yang dijelaskan Soedarso (1990:14), bahwa seni pra sejarah bersifat simbolik, setiap bentuk selalu memiliki makna dan arti perlambangan tertentu, demikian juga macam-macam warna yang sudah dikenal pada saat itu. Tingkah laku simbolik dan tingkah laku pertanda atau pula tingkah laku yang berasaskan ekspresi sesaat, dalam tingkah laku aktual umumnya seringkali sulit untuk dibedakan. Bagaimana pun, yang jelas tingkah laku simbolik berkembang kemudian sebagai bentuk khusus setelah tingkah laku yang berasaskan ekspresi sesaat. Oleh itu, seseorang ibu yang menangis karena tertimpa malapetaka belum boleh disebut simbolik. Tingkah lakunya hanya merupakan tanda kesedihan kesendiriannya saja. Tetapi apabila peristiwa itu dimainkan oleh seorang pelakon wayang yang terkenal karena watak permainannya, maka ia menjadi simbolik.

(55)

D. Model Kerangka Teoritis

BAGAN 1

MODEL KERANGKA TEORETIS

(diadaptasi dari Model R.T. Rohidi 2000 : 18)

Kebudayaan

sebagai pedoman

Pranata Sosial

Sumber Daya

lingkungan alam-fisik sosial budaya

Kebutuhan

sosial budaya

Perilaku

pola perilaku

Upacara Bersih Desa

Bentuk

(56)

40

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ilmiah adalah suatu metode yang harus taat dan patuh kepada hukum logika. Penelitian ilmiah mmerupakan suatu proses yang terdiri dari eksperimentasi atau observasi untuk memperoleh data dan pemberian argumentasi atas postulat yang telah diterima untuk menyatakan interelaasi antar data serta hubungan antara fakta data dengan pengetahuan ilmiah yang telah ada. Apabila ada kegiatan yang hanya pengumpulan data, menjalin data atau sekadar memindahkan informasi saja berarti kegiatan tersebut bukan penelitian (Dwidjowinoto 1990:4).

Supranto (1992:1) menjelaskan bahwa penelitian adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menemukan suatu kebenaran. Kebenaran itu dibuktikan dengan fakta yang berupa data, yaitu yang diperoleh dari suatu peristiwa atau suatu keadaan yang telah atau sedang terjadi. Dari data tersebut, akan memecahkan suatu persoalan atau dapat diambil suatu keputusan serta akan diperoleh suatu gambaran tentang suatu keadaan.

(57)

bukan angka-angka. Artinya, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini tidak berkenaan dengan angka-angka dengan tujuan memberi gambaran dan uraian tentang kondisi fenomena, dengan demikian penelitian ini dalam pembahasan mengarah tentang segala sesuatu, seluk-beluk upacara bersih desa Tanjungsari di desa Dlimas.

Menurut Rusyadi (1996:180 ) penelitian kualitatif mengutamakan kualitas data, oleh karena itu tehnik pengumpulan datanya banyak menggunakan teknik wawancara yang berkesinambungan dan observasi langsung. Sedangkan penelitian kualitatif yang dimaksud adalah penelitian yang proses ferivikasinya tidak mengutamakan pada angka-angka tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara empiris (Semi 1993 : 23).

(58)

Penelitian yang bersifat deskriptif tersebut mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran atau menguraikan tentang sifat-sifat suatu individu, kelompok, atau pun keadaan dan obyek tertentu secara tepat, yaitu dalam hal ini yang berkaitan dengan Upacara Bersih Desa Tanjungsari. Jadi dalam penelitian ini lebih mementingkan pada kedalaman pembahasan dan uraian tentang bentuk-bentuk Upacara Bresih Desa Tanjungsari dan keberadaannya yang terjadi.

B. Penentuan Lokasi dan Sasaran Penelitian 1. Lokasi penelitian

Lokasi adalah tempat atau arena. Lokasi yang dijadikan penelitian dalam penulisan tesis ini yaitu :

Dukuh Dlimas, Desa Dlimas, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten.

(59)

2. Sasaran penelitian

Sasaran yang dijadikan obyek penelitian adalah prosesi upacara bersih desa Tanjungsari, yaitu urutan pementasan tari tayub, iringan, tata rias dan tata kostum dan tempat pementasan. Sejarah singkat terjadinya upacara bersih desa Tanjungsari. Fungsi dan makna simbolis bagi masyarakat.

C. Teknik Pengumpulan Data

Mengumpulkan data berarti mengadakan penelitian untuk mengetahui karakteristik elemen-elemen yang menjadi obyek penelitian. Teknik pengumpulan data adalah mencatat peristiwa atau kejadian, karakteristik elemen, atau mencatat nilai variabel (Supranto 1992:22 ). Untuk mendapatkan data, diperlukan beberapa teknik yang dianggap relevan dan penting dalam penelitian, agar sumber data dapat bermanfaat dan dapat menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian.Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian tesis ini, yaitu dengan :

1. Studi Pustaka

Sumber data yang diperoleh melalui buku-buku, makalah, catatan-catatan, transkrip atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan tesis. Tujuannya yaitu :

(60)

2. Untuk menambah informasi dan masukan guna menguji pendapat atau informasi yang diberikan oleh narasumber.

2. Studi Lapangan

Sumber data yang diperoleh dengan menggunakan teknik sebagai berikut : (a) teknik wawancara, (b) teknik observasi, dan (c) teknik dokumentasi.

a) Teknik wawancara

Wawancara adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Terwawancara tersebut adalah informan atau responden, yaitu orang yang menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan lisan maupun pertanyaan tertulis (Arikunto 1992:102 dan 126). Mereka yang diwawancarai adalah para tokoh dan para pendukung Upacara Bersih Desa Tanjungsari serta mereka yang secara teoritis memehami tentang sejarah dan fungsi Upacara bersih desa dengan bentuk-bentuk penyajiannya.

(61)

observasi/pengamatan, dengan menggunakan berbagai macam pertanyaan yang telah disusun dan ditetapkan sebelumnya.

Sedangkan wawancara tidak terarah yaitu wawancaara yang digunakan pada tahap awal penelitian atau pada setiap kesempatan atau pun pada waktu kapan saja, yang bersifat bebas dan santai guna mencari informasi secara umum. Wawancara tidak terarah digunakan untuk mengetahui berbagai macam informasi atau keterangan yang tidak terduga dan keterangan yang tidak dapat diketahui jika hanya menggunakan wawancara terarah.

Dari hasil wawancara peneliti memperoleh data atau informasi langsung dari informan yang lebih lengkap dengan hasil penelitian yang valid, yaitu memperoleh kejelasan informasi secara lisan dan mendasar dari para informan atau responden yang dianggap mampu untuk memberikan informasi tentang hal-hal yang dikaji dalam penelitian tesis, yaitu mengenai upacara bersih desa.

Untuk menciptakan kondisi yang wajar, alamiah dan komunikasi yang akrab, wawancara dilakukan tidak terstruktur dengan ketat, wawancara dilakukan secara spontan tanpa ada perjanjian resmi, bahkan banyak dilakukan pada waktu pelaksanaan upacara bersih desa Tanjungsari di Desa Dlimas.

(62)

yang dikaji, dan pertanyaan diusahakan lebih banyak memberi kesempatan pada informan mengeluarkan pendapat atau keterangan yang terinci dan jelas ( wawancara terbuka ). Teknik wawancara terbuka dan mendalam dilakukan terhadap para informan.

Daftar informan atau nara sumber tersebut di bawah ini : 1. Hadi Sukamto (66 tahun), penanggung jawab upacara Bersih

Desa sekaligus sesepuh di desa tersebut.Ia memberikan informasi tentang kegiatan Upacara Bersih Desa dan fungsi Tayub dalam kehidupan masyarakat Dlimas.

2. Marsiman (64 tahun), mantan lurah dan juga sebagai sesepuh di desa tersebut. Ia memberikan informasi tentang peranan Tayub dalam Upacara Bersih Desa.

3. Slamet Sumo Wijoyo (67 tahun), sesepuh di Desa Dlimas dan generasi kedua yang mengetahui asal usul upacara Bersih Desa diadakan dan dibentuknya tari Tayub. Ia memberikan informasi/keterangan tentang asal mula tari Tayub terbentuk dan sejarah tentang pepundhen desa.

4. Winarni (22 tahun), penari Tayub. Memberikan informasi tentang rias dan busana tari Tayub.

(63)

b) Teknik observasi

Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap lokasi dan sasaran penelitian yang disertai dengan pencatatan secara sistematis. Di dalam penelitian ini, peneliti tidak aktif dalam kegiatan dan tugas yang sedang dilakukan oleh subyek, tetapi peneliti hanya mengadakan pengamatan dan pencatatan terhadap obyek di tempat berlangsungnya peristiwa tersebut.

Partisipasi yang dilakukan peneliti yaitu dengan melibatkan diri secara sosial, terutama pada saat rapat panitia, persiapan upacara, dan peneliti mengamati secara langsung dengan penelitian terhadap bentuk penyajian upacara bersih desa Tanjungsari dengan tujuan mendapatkan gambaran yang tepat mengenai obyek penelitian dan mengetahui sejauh mana keberadaan data dan informasi yang dikumpulkan. Hal-hal yang diamati adalah urutan penyajian, bentuk pementasan tari tayub dari mulai gerak, iringan, tata rias dan tata kostum, lokasi upacara serta properti upacara.

c) Teknik Dokumentasi

(64)

dari sumber buku-buku cetak, majalah, surat kabar, catatan-catatan, notulen rapat, agenda, transkrip ataupun dari sumber dokumen lain.

Agar penelitian ini terjaga validitasnya maka pada saat persiapan dan pelaksanaan upacra peneliti mengambil gambar/foto dengan alat bantu kamera dan rekaman dialog serta iringan dengan menggunakan alat bantu tape recorder dan kaset, serta menggunakan handycame untuk merekam proses jalannya upacara bersih desa

Tanjungsari di Desa Dlimas. Hal ini sebagai bukti otentik terhadap suatu adegan atau pementasan upacara bersih desa.

Hasil dari teknik dokumentasi ini digunakan untuk melengkapi atau sebagai data pendukung terhadap data lain dalam penulisan tesis ini sehingga diharapkan dapat mencapai hasil yang optimal.

D. Keabsahan Data

Validitas pada penelitian kualitatif dinyatakan dalam kredebilitas. Menurut Moleong (1998), ada empat kualifikasi, yaitu : (1) kepercayaan, (2) keteralihan, (3) kebergantungan, (4) kepastian. Kredebilitas dalam penelitian dilakukan dengan teknik (1) perpanjangan keikutsertaan, (2) ketekunan pengamatan, dan (3) trianggulasi.

(65)

Dlimas. Peneliti dengan cermat mengadakan wawancara lebih dari satu kali pertemuan dari beberapa nara sumber yang ada.

E. Teknik Analisis Data

Menganalisis data merupakan suatu kegiatan penelitian untuk memperoleh suatu kesimpulan dari masalah-masalah yang dikaji dalam penulisan tesis. Sebelum memperoleh suatu kesimpulan, dilakukan teknik sebagai berikut :

Informan atau pun data-data yang secara kolektif telah terkumpul diorganisasi ke dalam suatu bentuk catatan-catatan. Kemudian catatan-catatan tersebut dianalisis dengan melakukan langkah-langkah : mereduksi, mengklasifikasikan sesuai dengan masing-masing bagian kemudian mendeskripsikan.

Setelah dideskripsikan, agar hasil penelitian atau kesimpulan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan, maka dilakukan langkah interpretasi.

(66)

50

BAB IV

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Lokasi dan Keadaan Tanah

Dukuh Dlimas merupakan wilayah dataran rendah dengan keadaan tanah yang subur dan cocok untuk pertanian. Keadaan udara cukup stabil dengan suhu udara rata-rata 26 derajat celcius, pada siang hari tidak begitu panas dan pada malam hari juga tidak begitu dingin. Banyaknya curah hujan yang terjadi setiap tahunnya 348 milimeter per tahun. Keadaan topografi tanahnya relatif datar, meski ada sedikit kemiringan ke arah selatan. Ketinggian rata-rata 143 m diatas pennukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1.776 mm/ tahun. Prasarana irigasi pertanian didaerah ini masih setengan teknis (Monografi Desa Dlimas 2004).

(67)

oleh pagar batu bata, tetean ( pagar dari tumbuan ) maupun pagar dari bambu. Di halaman rumah penduduk ditanami pohon buah-buahan (mangga, belimbing, jambu, pepaya, rambutan), tanaman toga, dan tanaman bunga.

Kondisi jalan di Dukuh Dlimas sudah cukup baik yaitu berupa jalan corcoran. Jalan ini terwujud atas bantuan dari pemerintah (Bandes), gotong

royong penduduk (iuran), dan kas dukuh (termasuk bantuan dari para dermawan pada waktu pelaksanaan upacara Bersih Desa Tanjungsari). Penyelesaian jalan ini juga dikerjakan oleh penduduk secara gotong royong.

Lokasi Dukuh Dlimas berada di antara dua pusat kebudayaan yaitu Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Jarak Dukuh Dlimas dengan ibukota Kecamatan Ceper cukup dekat yaitu sekitar 2 kilometer. Jarak Dukuh Dlimas dengan Ibukota Kabupaten Klaten sekitar 7 kilometer dan jarak dengan Ibukota Propinsi Jawa Tengah (Semarang) kurang lebih 108 kilometer. Adapun batas-batas wilayah Dukuh Dlimas adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pokak dan Desa Kujon. 2. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Jambu Kulon dan Desa Klepu. 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Dukuh Betro.

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Ceper.

(68)

Dukuh Dlimas tidak difungsikan dengan baik meskipun masing-masing rumah sudah diberi nomor oleh petugas. Untuk menunjuk rumah seseorang cukup dengan menyebutkan warna dinding rumah, warna pagar, warna pintu, posisi rumah, jabatan pemilik rumah atau nama pemilik rumah. Kondisi jalan di Dukuh Dlimas cukup bersih karena setiap pagi dan sore hari penduduk secara rutin membersihkan jalan yang berada di depan rumah masing-masing. Semua itu menandakan bahwa Dukuh Dlimas warganya masih sederhana dalam kehidupannya. Walaupun mereka petani, tetapi kehidupan masyarakat Dukuh Dlimas tidak ketinggalan dengan kehidupan di desa lain yang sudah maju. Berhubung letaknya yang relatif dekat dengan kota Yogyakarta dan transportasinya lancar, maka daerah ini dapat dikatagorikan sebagai daerah pinggiran kota atau daerah tradisional.

Penduduk dan Mata Pencaharian

Menurut daftar monografi Warga Dusun Dlimas pada tahun 2004/2005 seluruhnya 4204 jiwa, terdiri dari laki-laki 2096 jiwa dan perempuan 2108 jiwa. Jumlah kepala keluarga (kk) seluruhnya 38 kepala keluarga. Dari 1.669 jiwa yang berdomisili di Dusun Dlimas sekitar 1.425 jiwa, sedangkan sisanya berada di perantauan.

Tabel 1 : Penduduk berdasarkan jenis kelamin

No Jenis kelamin Jumlah

1 Laki-laki 2096

2 Perempuan 2108

Jumlah 4204

(69)

Tingkat kemajuan dan kemakmuran, dapat dilihat keadaan fisik masyarakatnya. Tingkat kemajuan masyarakat salah satunya dapat diperhatikan dari tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan masyarakat tergolong cukup bagus. Tingkat pendidikan warga Dlimas sudah bagus, dari tabel di bawah ini kita juga dapat melihat penggolongan usia yang setaraf dengan masa pendidikan. Sebagian besar penduduk berada di usia 20 tahun ke atas yaitu, 2873 jiwa taraf usia pekerja atau orang tua, dan 1331 jiwa berada di usia sekolah.

Kepercayaan desa Dlimas sangat majemuk, tetapi meskipun berlainan kepercayaan masyarakat desa Dlimas tetap selalu menjaga kerukunan. Hal ini dapat dibuktikan dalam persiapan sampai selesai perayaan upacara bersih desa antar warga selalu bekerja sama, bersatu dan bergotong royong melestarikan warisan para leluhur.

Tabel 2 : Penduduk berdasarkan agama

No Agama Jumlah

Sumber : Monografi Dusun Dlimas tahun 2004/2005

(70)

Mata pencaharian warga Dlimas sebagian besar sebagai buruh, walau pun sebagai buruh mereka dapat menyekolahkan anaknya sampai ke jenjang SMA bahkan ada yang sampai ke perguruan tinggi. Warga Dlimas merasa yakin dengan mengadakan upacara tersebut akan selalu mendapat perlindungan dan rejeki yang melimpah dari Tuhan Yang Maha Esa dengan mendoakan pepundhennya yang bernama Nyai Tanjung Sari. Di samping itu yang menjadi tolok ukur meningkatnya perekonomian adalah keadaan rumah. Keadaan rumah di Dusun Dlimas menurut bahan bangunannya sudah baik karena sebagian besar sudah permanen.

(71)

tangan. Limbahnya dibuat lubang yang tertutup atau resapan, sehingga lingkungan rumah dan pakaian warga bersih dan sehat.

Kehidupan sosial warga berupa organisasi-organiasi sosial merupakan alat berkomunikasi antar warga, warga masyarakat tetap bertoleransi dalam hal membina kerukunan beragama. Agama yang dianut oleh warga Dlimas yaitu Islam, Kristen, Katolik dan Hindu. Penduduk Dlimas mayoritas beragama Islam dengan jumlah 3527 jiwa, agama Katholik 307 jiwa, agama Kristen 273 jiwa, dan agama Hindu 97 jiwa. Meskipun mereka berbeda agama mereka tetap hidup rukun, aman dan damai.

Pola Perkampungan

Pola perkampungan atau sering disebut pola tempat tinggal di pedesaan, dapat dibedakan menjadi 3 macam (Bintarto,1967:97-98)

1. Nucleated agricultural village community, yaitu pola perkampungan di mana rumah-rumah penduduk terletak menggerombol saling berdekatan, dengan tanah pertanian yang jauh dari perumahannya.

2. Line village community, yaitu pola perkampungan di mana rumah-rumah penduduk merupakan satu deretan memanjang yang terletak dikanan atau di kiri jalan atau sungai. Tanah pertaniannya yang tidak luas berada di belakang perumahan.

(72)

Ketiga pola perkampungan ini terdapat pada perkampungan masyarakat Jawa, masing-masing tergantung dengan lingkungan alamnya, misalnya keadaan topografi, iklim dan tanah. Pola perkampungan di desa Dlimas, menurut keadaan daerah dan kaitannya dengan ketiga macam. Pola perkampungan di atas, termasuk pola perkampungan yang menggerombol atau memadat. Hal ini berarti lokasi pemukiman berbeda dengan lokasi tanah pertaniannya.

Khusus mengenai posisi rumah, dalam satu unit pemukiman tidak harus menghadap ke suatu arah tertentu (menurut kepercayaan tradisional) tetapi telah terjadi perubahan-perubahan yaitu menghadap jalur jalan yang ada. Bentuk rumah di daerah tersebut semuanya beratap genting. Bentuk rumah ada ‘Limasan’, ‘Macan Njerum’, ‘Kampung’, ‘Joglo’. Dinding terbuat dari ‘tembok’, ‘papan kayu’, ‘kotangan’ (separuh tembok separuh gedheg), ‘gedheg’ (anyaman bambu). Bangunan lantai tegel dan ubin.

Sistem Kepercayaan

(73)

cara kehidupan masyarakatnya. Mengenai upacara selamatan Geertz Clifford (1981: 13) berpendapat bahwa :

Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia; ia melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya.

Jadi tidak hanya saja dalam masyarakat pedesaan yang mengenal kegiatan selamatan tetapi kegiatan ritual telah dikenal di seluruh dunia. Apalagi Dukuh Dlimas yang masyarakatnya masih menjunjung tinggi hal-hal yang berbau ritual maka wajar bila selamatan sebagai ritus mereka, sehingga melalui kegiatan dapat pula dipakai sebagai sarana sosial.

(74)

Sebagai masyarakat Jawa (kejawen), penduduk Desa Dlimas, ada juga yang menganut suatu kepercayaan sebagai pedoman hidup mereka. Kepercayaan sebagai ajaran-ajaran kebajikan, menjauhi sifat buruk manusia dan menjalin hubungan persaudaraan terhadap sesama. Kepercayaan mereka juga mengarah pada sesuatu yang bersifat mistik seperti halnya mereka melakukan upacara Bersih Desa di suatu tempat yang dianggap sakral, dengan begitu mereka percaya terhadap roh atau kekuatan gaib untuk membantu kesuburan dan keselamatan para warga Desa Dlimas.

Kehidupan Sosial Budaya

Gambar

Tabel 5 : Ladrang “Asmaradana” Sl. Pt. Manyura mengiringi Beksan
Gambar  Bagan 1 Model Kerangka Teoritis  .....................................................
Tabel 1 : Penduduk berdasarkan jenis kelamin
Tabel 2 : Penduduk berdasarkan agama
+6

Referensi

Dokumen terkait

Secara langsung komunikasi akan lebih efektif apabila ada pihak pertama dan kedua. Apabila pihak pertama berbicara maka pihak kedua menjadi penyimak atau sebaliknya.

Sehingga dalam penelitian ini yang dimaksud dengan model jaringan dakwah yaitu suatu model promosi yang digunakan oleh KSPPS Sri Sejahtera Jawa Timur dalam

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa terdapat hubungan atau pengaruh yang kuat antara variabel kualitas produk (X1) dan daya tarik

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam Peraturan Daerah Kabupaten Rokan Hulu Nomor 8 Tahun 2007 tentang Badan Usaha Milik Desa adalah usaha desa yang didirikan

Peneliti telah berusaha semaksimal mungkin mencurahkan segenap kemampuan dan kesabarannya untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Keterampilan Dasar

Internasional, UNHCR., hlm 6. hukum perlindungan pengungsi internasional. Konvensi ini juga mengkualifikasi siapa saja yang dapat masuk kategori sebagai pengungsi

Sistem persediaan bisa diartikan sebagai serangkaian kebijakan dan pengendalian yang memantau dan memonitor jumlah dan tingkat persediaan agar bisa menentukan tingkat

4.10 Jumlah Menggunakan Jasa Angkutan dan Rata-Rata Menggunakan untuk Bandung City Tour Dikaitkan dengan Jenis Biro Perjalanan Wisata