• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia suatu analisis simulasi kebijakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia suatu analisis simulasi kebijakan"

Copied!
225
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK TRANSFER FISKAL TERHADAP

KEMISKINAN DI INDONESIA :

SUATU ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN

DISERTASI

Oleh :

MUANA NANGA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

MUANA NANGA. Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan (BUNGARAN SARAGIH, sebagai Ketua; MANGARA TAMBUNAN, BONAR M. SINAGA, ROBERT A. SIMANJUNTAK, dan ANNY RATNAWATI, sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Kemiskinan masih merupakan masalah yang serius dan memiliki keterkaitan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk me ngatasi masalah kemiskinan tersebut. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan melalui transfer fiskal merup akan salah satu kebijakan pemerintah, yang langsung ataupun tidak langsung dapat memberi dampak terhadap kemiskinan di Indonesia.

Secara umum, tujuan penelitian adalah untuk menganalisis (1) faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan, dan (2) dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan. Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan yang dibangun terdiri dari 6 blok yaitu : fiskal, output, tenaga kerja, pengeluaran per kapita, distribusi pendapatan, dan kemis-kinan. Studi menggunakan pendekatan ekonometrik dengan model sistem persamaan simultan yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 7 persamaan identitas. Model diestimasi menggunakan metode 2SLS dan dampak transfer fiskal dianalisis meng-gunakan simulasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) transfer fiskal di Indonesia memiliki dampak yang cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan kemiskinan, dan (2) kemiskinan ternyata sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pen-dapatan, dan hal itu ditunjukkan oleh berbagai ukuran kemiskinan yang memiliki hubungan yang responsif atau elastis terhadap perubahan dalam indeks Gini.

Sejalan dengan hasil penelitian, untuk memecahkan persoalan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di masa-masa mendatang, maka kebijakan pembangunan yang lebih memihak kaum miskin harus diberi prioritas tinggi di dalam kebijakan pembangunan secara keseluruhan.

(3)

ABSTRACT

MUANA NANGA. The Impact of Fiscal Transfer on Poverty in Indonesia : A Policy Simulation Analysis. (BUNGARAN SARAGIH, as Chairman; MANGARA TAMBUNAN, BONAR M. SINAGA, ROBERT A. SIMANJUNTAK, and ANNY RATNAWATI as Members of the Advisory Committee)

Poverty has always been a serious problem until now, and it is closely related with economic growth and income distribution. Various efforts have been conducted to solve these problems. Fiscal decentralization policy in the form of fiscal transfers may be one of the government policies that are directly or indirectly expected to have any impact on poverty in Indonesia.

Generally, the study is aimed to analyze (1) factors affecting poverty, and (2) the impact of fiscal transfers on poverty in Indonesia. The model of fiscal transfers and poverty that is designed consists of 6 blocks : fiscal, output, labor, per capita expenditure, income distribution, and poverty. The analysis uses an econometric approach with a simultaneous equations model that is consists of 20 structural equations and 7 ident ity equations. The model is estimated using the 2SLS method and the impact of transfer fiscal is analysed using simulation.

The results of the study shows that (1) fiscal transfer in Indonesia has impact that tends to worsen income inequality and poverty, and (2) poverty is actually influenced more by income inequality, and it is reflected by various poverty measures that are more responsive or elastic to changes in Gini index.

In line with the results, in order to solve the income inequality and poverty problems in the future, the more pro-poor development policies must be given top priority in overall development policy.

(4)

©Hak Cipta milik Muana Nanga, tahun 2005 Hak cipta dilindungi

(5)

Judul Disertasi : Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi Kebijakan

Nama Mahasiswa : Muana Nanga Nomor Pokok : 985011

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc. Ketua

Prof. Dr. Mangara Tambunan, MSc. Dr. Bonar M. Sinaga, MA. Anggota Anggota

Dr. Robert A. Simanjuntak, MA. Dr. Anny Ratnawati, MS. Anggota Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor

(6)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang hanya atas perkenanNya sajalah penulisan disertasi yang berjudul “Dampak Transfer Fiskal Terhadap Kemiskinan di Indonesia : Suatu Analisis Simulasi

Kebijakan” ini boleh terselesaikan dengan baik. Topik yang penulis angkat sebagai judul

disertasi ini merupakan sesuatu yang sedang hangat dan menjadi perhatian tidak saja di Indonesia, akan tetapi juga pada tingkat internasional. Transfer fiskal merupakan hal yang penting dalam konteks desentralisasi fiskal yang sedang dijalankan di Indonesia, dan kemiskinan juga merupakan issue yang saat ini sedang mendapatkan perhatian yang sangat besar dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Sejak diluncurkannya desentralisasi fiskal awal 2001 yang lalu, telah diikuti dengan kucuran dana atau transfer fiskal dari Pusat ke Daerah, yang dalam tahun 2002 lalu besarnya kira-kira 5.5 persen dari PDB. Dengan adanya bantuan atau transfer fiskal yang jumlahnya terus meningkat ini, diharapkan pemerintah daerah dapat memacu pembangunan di wilayah-nya masing-masing, termasuk di dalamwilayah-nya untuk menanggulangi kemiskinan yang ada di daerah-daerah.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang berharga bagi para pembuat kebijakan, baik di Pusat maupun di Daerah dalam merancang kebijakan transfer fiskal yang dapat memberi manfaat luas kepada masyarakat, terutama penduduk miskin di tanah Air yang dalam tahun 2004 lalu jumlahnya diperkirakan masih 36.2 juta jiwa atau merupakan 16.66 persen dari total penduduk Indonesia. Dengan kebijakan transfer fiskal yang tepat, mudah-mudahan masalah kemiskinan di Indonesia dapat ditekan sampai ke tingkat yang serendah mungkin.

Terselesaikannya penulisan disertasi ini tentu ada banyak sekali pihak yang ikut berkontribusi di dalamnya, baik langsung maupun tidak langsung. Melalui kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memungkinkan penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini dengan baik.

Penulis sangat berhutang budi kepada kedua orang tua tercinta (ayahanda U. S. Padjukang, almarhum dan ibunda Rambu. B. Emu, almarhumah), dan kepada ’Tamu

(7)

penulis masih kecil hingga menjadi orang seperti sekarang ini. Penulis juga berhutang budi kepada Bapak Ngadimun (Almarhum) dan ibu mertua Ny. Ngadimun Diarto atas segala dukungan mereka kepada penulis selama ini.

Kepada keluarga, istri dan ketiga putri tercinta (Nana, Ade, dan Pita), penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus atas kesetiaan dan kasih sayang kalian. Biarlah itu semua menjadi kenangan tersendiri yang tak akan pernah terlupakan. Kalian sungguh telah menjadi ’spirit builder’ bagi saya dalam menjalani proses panjang

penyelesaian studi ini.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. John JOI Ihalauw dan Prof. Dr. Hendrawan Supratikno, MBA, yang ketika itu masih menjabat masing-masing sebagai Rektor UKSW dan Dekan FE-UKSW, telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Doktor (S3) di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. John Titaley, yang ketika masih menjabat sebagai Rektor UKSW telah banyak memberikan dukungan kepada penulis.

Kepada Prof. Dr. Khris Herawan Timotius, melalui kesempatan ini saya mengucap-kan selamat atas pengangkatan Bapak sebagai Rektor UKSW periode 2004 - 2008, dan terima kasih atas dukungan bapak yang ketika itu menjabat sebagai Pembantu Rektor I pada masa kepemimpinan Rektor Prof. Dr. John JOI Ihalauw.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah Program Doktor di IPB. Banyak hal yang penulis dapatkan selama meng-ikuti pendidikan Doktor di IPB.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus disampaikan kepada Komisi Pembimbing yang diketua oleh Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc, dengan anggota masing-masing Prof. Dr. Mangara Tambunan, MSc, Dr. Bonar M. Sinaga, MA, Dr. Anny Ratnawati, MS, dan Dr. Robert A. Simanjuntak, MA, yang telah membimbing dan memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis selama proses penulisan disertasi ini. Semoga kebaikan bapak-bapak dan ibu, kiranya Tuhan sendirilah yang membalasnya.

Kepada Dr. Hermanto Siregar, MEc, Suahasil Nazara, PhD, dan Sudarno Sumarto, PhD, yang telah berkenan bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus, kiranya Tuhan sendirilah yang membalas kebaikan Bapak-bapak sekalian.

(8)

satu per satu, yang langsung atau tidak langsung telah memberikan dukungan selama penulis mengikuti program Doktor di IPB.

Terima kasih juga disampaikan kepada Ir. Umbu Mehang Kunda, dan Umbu Tamu Kalaway, SH, MSi, yang dalam kapasitas mereka sebagai Ketua dan Sekretaris Pelaksana Kegiatan YPTKSW untuk STIE Kristen Wira Wacana, telah memberikan kelonggaran waktu kepada penulis untuk menyelesaikan studinya.

Penulis juga menyampaikan terima yang tulus kepada rekan-rekan pimpinan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Kristen Wira Wacana Sumba, yaitu Saudari Yulita Milla Pakereng, SE, MM, Alinny Namilana Rambu Hutar, SE, dan Ir. Frans Wila, atas dukungan-nya selama penulis menyelesaikan disertasidukungan-nya. Kepada seluruh staff pengajar dan pegawai STIE Kristen Wira Wacana Sumba, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kakak Drs. Laiya Gauru, MSi dan keluarga di Kupang atas dukungan mereka selama ini. Kakak adalah perintis jalan dan contoh bagi penulis dalam mengarungi dunia pendidikan tinggi.

Teman-teman seangkatan, teristimewa Dr. Sahri Muhammad, Dr. Wayan R. Susila, Dr. Ratlan Pardede, Dr. Widarto Rachbini, Dr. Made Dewa Brata, Ir. Mustafa Geteng, MSi, dan Dr. Caroline B. Pakasih, penulis menyampaikan terima kasih atas kebersamaannya.

Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Saudara Ir. Rasidin Karo-Karo Sitepu, MSi yang telah membantu dalam pengolahan data dan membagi ilmunya kepada penulis.

Segala kekurangan yang terdapat di dalam disertasi ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Masukan dari berbagai pihak sudah tentu sangat diharapkan agar disertasi ini semakin mendekati kesempurnaan.

Bogor, Desember 2005

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN .………....….. 1

1.1. Latar Belakang ………..………...……..……… 1

1.2. Rumusan Masalah ……….. 5

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….…………. 13

1.4. Ruang Lingkup, Keunggulan dan Keterbatasan Penelitian ...….. 14

1.5. Sistematika Pembahasan ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN STUDI TERDAHULU ……...…... 18

2.1. Transfer Fiskal Antar Tingkat Pemerintahan ……....…………... 18

2.2. Kemiskinan ………..………...………..………... 30

2.2.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan ...…………...………... 30

2.2.2. Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan …...…...…... 34

2.3. Kaitan Antara Transfer Fiskal dan Pengurangan Kemiskinan ... 44

III. KERANGKA TEORITIS ... 51

3.1. Dekomposisi Perubahan Total Dalam Kemiskinan : Efek Pertum- Buhan versus Efek Ketimpangan ... 58

3.1.1. Efek Pertumbuhan ... 59

3.1.2. Efek Ketimpangan ... 60

3.1.3. Trade-off Antara Ketimpangan dan Kemiskinan ... 61

3.2. Kemiskinan Agregat, Rural dan Urban ………. 62

3.3. Kemiskinan dan Pertumbuhan Agregat ... 64

3.4. Kemiskinan dan Pertumbuhan Sektoral ... 66

IV. METODOLOGI …….………...………...…. 69

(10)

4.2. Spesifikasi Model ... 70

4.2.1. Blok Fiskal . ...………...………...….. 70

4.2.2. Blok Output ……...……….…...…... 72

4.2.3. Blok Tenaga Kerja …...…...…...………... 73

4.2.4. Blok Pengeluaran Rata-rata Per Kapita ...…….…... 73

4.2.5. Blok Distribusi Pendapatan ..…...…..………... 74

4.2.6. Blok Kemiskinan ...………..…...………... 75

4.3. Prosedur Estimasi Model ... 75

4.3.1. Identifikasi Model ... 76

4.3.2. Metode Estimasi Model ... 77

4.3.3. Validasi Model ... 78

4.3.4. Simulasi Model ... 80

4.4. Data dan Sumber ...…...………...…... 81

V. GAMBARAN UMUM TRANSFER FISKAL DAN KEMISKINAN DI INDONESIA ... 84

5.1. Profil Transfer Fiskal di Indonesia ... 84

5.1.1. Bagi Hasil ……....……...……….…. 84

5.1.2. Subsidi Daerah Otonom ………...…….………..….. 90

5.1.3. Bantuan Pembangunan ………...…..…..……. 92

5.2. Profil Kemiskinan di Indonesia ... 99

5.2.1. Profil Kemiskinan Secara Nasional ... 99

5.2.2. Profil Kemiskinan Regional ... 101

5.2.3. Profil Kemiskinan Sektoral ... 103

VI. KERAGAAN MODEL DAN PEM BAHASAN ……...…... 106

6.1. Keragaan Blok Fiskal ...…………...……...……….. 107

6.2.1. Penerimaan Daerah ………...…...……. 107

6.2.2. Pengeluaran Daerah ...……… 108

6.2. Keragaan Blok Output ...……….. 110

6.3. Keragaan Blok Tenaga Kerja ………... 115

(11)

6.5. Keragaan Blok Distribusi Pendapatan ………... 119

6.6. Keragaan Blok Kemiskinan …...………...…... 122

VII. DAMPAK TRANSFER FISKALTERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA ……...…... 130

7.1. Dampak Kenaikan Bagian Bagi Hasil Pajak (BHPJK) sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia …..……... 131

7.2. Dampak Kenaikan Bagian Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia ... 133

7.3. Dampak Kenaikan Dalam Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia …....….…... 135

7.4. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHPJK) dan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Masing-masing Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia ... 138

7.5. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak (BHPJK) Sebesar 10 Persen dan Kenaikan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia ... 140

7.6. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Sebesar 10 Persen dan Kenaikan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia …..… 141

7.7. Dampak Kenaikan Dalam Bagi Hasil Pajak (BHPJK), Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBPJK) Masing-masing Sebesar 10 Persen dan dan Kenaikan Dana Alokasi Umum (DAUK) Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia ... 143

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ……….. 149

8.1. Kesimpulan ……...………...………...………… 149

8.2. Implikasi Kebijakan ...………. 152

8.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 154

DAFTAR PUSTAKA ……….…………. 156

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Efek-efek Makroekonomi Kenaikan Transfer …….…...………. 25 2. Penerimaan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Kabupaten/Kota di

Indonesia, Tahun 1993/1994 – 2002 ... 88 3. Penerimaan Bagi Hasil Pajak (PBB) Kabupaten/Kota di Indonesia Ber-

Dasarkan Provinsi, Tahun 1999/2000 - 2002 ... 89 4. Penerimaan Bagi Hasil Bukan Pajak (IHH/IHPH) Kabupaten/Kota di

Indonesia Berdasarkan Provinsi, Tahun 1999/2000 - 2002 ... 90 5. Jumlah dan Kontribusi Subsidi Daerah Otonom (SDO) Untuk Kabupaten/

Kota di Indonesia, Tahun 1996/1997 - 1999/2000 ... 91 6 Jumlah dan Share DAU Dalam Penerimaan APBD Kabupaten/Kota di

Indonesia, Tahun 1999-2002 ... 97 7. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun 1976-2004 100 8. Jumlah dan Pensentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi, Tahun 2004 102 9. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penerimaan Daerah ……….. 107 10. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Pengeluaran Daerah ………. 109 11. Hasil Estimasi Parameter Persamaan PDRB ………... 111 12. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penyerapan Tenaga Kerja ……... 116

13. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Pengeluaran Per Kapita Perdesaan

(13)

Kemiskinan di Indonesia ...….… 132 19. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak Sebesar 10 Persen

Terhadap Kemiskinan di Indonesia ... 134 20. Dampak Kenaikan Dana Alokasi Umum Sebesar 1.25 Persen

Terhadap Kemiskinan di Indonesia ... 136 21. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Masing-masing

Sebesar 10 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia ... 139 22. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi

Umum Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di Indonesia ... 140 23. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Bukan Pajak Sebesar 10 Persen dan

Dana Alokasi Umum Sebesar 1.25 Persen Terhadap Kemiskinan di

Indonesia ... 142 24. Dampak Kenaikan Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak

Masing-masing Sebesar 10 Persen dan Dana Alokasi Umum Sebesar

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Nama dan Keterangan Peubah Yang Digunakan …...…... 166 2. Data dan Sumber ... 167 3. Program Komputer Estimasi Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan

Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur Syslin Metode 2 SLS ... 183 4. Hasil Estimasi Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan Menggunakan

SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SYSLIN Metode 2SLS ... 184 5. Program Komputer Validasi Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan

Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMNLIN Metode Newton 204 6. Hasil Validasi Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan Menggunakan

SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMLIN Metode Newton ... 206 7. Program Komputer Simulasi Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan

Menggunakan SAS/ETS Versi 6.12 Prosedur SIMLIN Metode Newton .. 212 8. Contoh Hasil Simulasi Skenario Kebijakan S1 : Bagi Hasil Pajak

(BHPJK) Dinaikan Sebesar 10 Persen ... 214 9. Hasil Lengkap Simulasi Model Tranfer Fiskal dan Kemiskinan Meng-

(15)

I. PENDAHULUAN

Dalam bagian ini diuraikan berturut-turut latar belakang; rumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitian; ruang lingkup, keunggulan, dan keterbatasan; dan sistematika pembahasan.

1.1. Latar Belakang

Tujuan pembangunan ekonomi bukanlah hanya semata-mata untuk mencipta-kan pertumbuhan ekonomi (GDP) yang setinggi-tingginya seperti yang terjadi selama dasawarsa 1950-an dan 1960-an, namun lebih luas daripada itu. Dudley Seers (1977) mengatakan bahwa tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi adalah penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, dan penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang. Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi memang tetap dianggap sebagai faktor yang penting (necessary condition). Pembangunan memerlukan GNP yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat (Todaro dan Smith, 2003). Nafziger (1997) bahkan menganggap pertumbuhan ekonomi itu sebagai faktor yang sangat penting yang ikut berkontribusi dalam pengurangan kemiskinan (economic growth is the most

important factor contributing to poverty reduction).

(16)

levels of living) di negara-negara sedang berkembang, oleh PBB dianggap tetap meru-pakan tantangan besar bagi upaya-upaya pembangunan. Penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan bahkan dianggap merupakan inti dari semua masalah pembangunan dan merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di banyak negara. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menempatkan pengha-pusan kemiskinan dan kelaparan pada urutan pertama dari kedelapan tujuan pemba-ngunan milenium (Millennium Development Goals) yang dicanangkan pada tahun 1990 yang lalu (World Bank, 2004).

Di Indonesia send iri, kemiskinan hingga saat ini masih dianggap sebagai per-soalan serius, meskipun jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan yang signifikan terutama selama dasawarsa 1970-an hingga pertengahan dasawarsa 1990-an. Data yang tersedia menunjukkan pada tahun 1976, jumlah penduduk miskin diperkirakan sebanyak 54.2 juta jiwa atau 40.08 persen dari jumlah penduduk, dan telah berkurang menjadi 22.5 juta jiwa atau 11.34 persen dari total penduduk pada tahun 1996 (BPS, 2002). Hal ini menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1976 -1996 itu, jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan rata-rata sekitar 6.50 persen per tahun. Penurunan jumlah penduduk miskin yang lebih besar lagi terjadi di daerah perdesaan yang mencapai rata-rata 7.26 persen per tahun, sementara di daerah perkotaan hanya turun dengan 3.11 persen per tahun.

(17)

pertumbuhan ekonomi sebesar 6.91 persen di lain pihak, itu berarti kemiskinan di Indonesia memiliki hubungan yang hampir elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi, dengan koefisien elastisitas sebesar -0.94. Hal ini menunjukkan kalau laju pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan sebesar 5 persen, maka jumlah penduduk miskin akan mengalami penurunan sebesar 4.7 persen. Fakta ini sekaligus menunjuk-kan bahwa kemiskinan di daerah perdesaan memiliki hubungan yang jauh lebih elastis dengan laju pertumbuhan ekonomi, dibandingkan dengan kemiskinan di perkotaan. Koefisien elastisitas kemiskinan di perdesaan terhadap laju pertumbuhan ekonomi adalah sebesar -1.05, lebih besar daripada satu, yang berarti elastis; sebaliknya elastisitas kemiskinan di perkotaan terhadap laju pertumbuhan ekonomi hanya sebesar -0.45, lebih kecil daripada satu, yang berarti tidak elastis (inelastis).

Namun krisis moneter yang berawal dari melemahnya nilai tukar rupiah ter-hadap dollar Amerika Serikat yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 langsung atau tidak langsung telah menyebabkan jumlah dan persentase penduduk kembali mengalami peningkatan. Dengan menggunakan metode perhitungan kemis-kinan tahun 1998, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 1996 adalah sebanyak 34.5 juta jiwa atau sekitar 17.7 persen dari jumlah penduduk dan pada tahun 2004 sebanyak 36.2 juta atau 16.67 persen dari total penduduk. Dengan kata lain, selama kurun waktu 1996 - 2004, jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami peningkatan rata-rata sebesar 0.62 persen per tahun, dan di daerah perkotaan ke-naikannya bahkan mencapai rata-rata sebesar 2.34 persen per tahun.

(18)

diperlukan upaya-upaya pemecahan yang lebih serius pula di masa-masa mendatang. Untuk memecahkan persoalan kemiskinan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan program, baik yang bersifat umum maupun yang khusus diadakan untuk mengatasi persoalan kemiskinan itu.

Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa untuk dapat merumuskan kebijakan dan program-program yang efektif untuk memerangi sumber-sumber kemiskinan, maka terlebih dahulu diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai siapa saja yang termasuk dalam kelompok miskin itu, termasuk ciri-ciri mereka. Salah satu generalisasi yang paling valid mengenai penduduk miskin adalah bahwa mereka pada umumnya bertempat tinggal di daerah perdesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional.

Dalam kaitan ini, Todaro dan Smith (2003) mendeskripsikan dengan sangat baik siapa sesungguhnya kaum miskin (the poor) itu sebagai berikut :

Mereka ini berjumlah lebih dari tiga perempat total penduduk dunia yang kini hampir mencapai 6 milyar jiwa, nasibnya jauh kurang beruntung karena sehari-harinya harus hidup dalam kondisi serba kekurangan. Mereka tidak memiliki rumah sendiri, dan kalaupun punya, ukurannya begitu kecil. Persediaan makanan yang ada juga acapkali tidak memadai. Kondisi kesehatan mereka pada umumnya tidak begitu baik atau bahkan buruk, dan banyak dari mereka yang buta huruf, serta menganggur. Masa depan mereka untuk mencapai suatu kehidupan yang lebih baik biasanya suram, atau sekurang-kurangnya tidak menentu.

(19)

depan. Singkatnya, kemiskinan adalah masalah serba kekurangan dan merupakan fenomena yang banyak terjadi di daerah-daerah perdesaan (rural phenomenon) pada umumnya dan sektor pertanian khususnya.

Dengan pemahaman yang memadai terhadap masalah kemiskinan termasuk berbagai faktor penyebabnya, maka diharapkan para pembuat kebijakan dapat meru-muskan kebijakan dan program yang tepat sasaran, sehingga masalah kemiskinan dapat dipecahkan atau setidak-tidaknya dapat dikurangi sampai pada tingkat yang serendah mungkin. Sangat ironis memang, Indonesia yang dikenal memiliki dan kaya akan sumberdaya alam, namun ternyata memiliki jumlah penduduk miskin yang tidak sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah di dalam strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia selama ini. Apa yang salah dan mengapa itu terjadi, tentu bukan menjadi perhatian dari studi ini.

Namun adanya fakta dimana di satu sisi pemerintah telah banyak melakukan upaya penanggulangan kemiskinan, tetapi di sisi yang lain kemiskinan ternyata masih saja menjadi persoalan serius yang dihadapi Indonesia telah mendorong penulis untuk melakukan suatu kajian tentang kemiskinan di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

(20)

Pertama, adalah pendekatan yang berorientasi kepada harta atau aset ( assets-oriented approaches) yang ditujukan untuk meningkatkan kuantitas dari assets yang dimiliki oleh kaum miskin (the poor). Pendekatan ini dilakukan melalui landreform atau dengan menciptakan institusi-institusi yang memungkinkan kaum miskin itu memiliki akses terhadap peluang-peluang untuk melakukan akumulasi asset lebih lanjut, misalnya melalui pemberian kredit yang disubsidi (subsidized credit) atau memperluas akses mereka terhadap pendidikan dasar (primary education).

Kedua, adalah pendekatan atau strategi peningkatan permintaan (demand generating strategies) yang ditujukan untuk meningkatkan volume penjualan tenaga kerja dari kaum miskin tersebut, yang umumnya terdiri dari tenaga kerja yang tidak terampil (unskiled labor). Dengan kata lain, strategi ini bertujuan untuk menghasilkan suatu peningkatan yang pesat dalam permintaan baik absolut maupun relatif terhadap tenaga kerja tidak terampil yang dimiliki kaum miskin itu. Namun, sejauh mana aset yang dimiliki kaum miskin itu dapat dimonetisasi (monetized) pada pasar sangat ber-gantung pada strategi pembangunan yang dipilih dan institusi-institusi yang memung-kinkan kaum miskin tersebut memiliki akses terhadap pasar faktor produksi.

(21)

strategi yang pertama. Ada beberapa alasan yang dikemukakan Mellor, mengapa strategi ADLI atau disebutnya juga sebagai ”agriculture-and employment-led

strategy, lebih superior dibandingkan dengan strategi labor intensive manufacturing, diantaranya adalah (1) sektor pertanian lebih padat tenaga kerja (labor intensive) daripada sektor manufaktur; (2) kenaikan di dalam pendapatan pertanian menghasil-kan ’high leakages’ ke dalam permintaan akan labor intensive manufactures pada sisi konsumsi dan permintaan akan input sektor manufaktur pada sisi produksi; (3) ekspansi di dalam produksi pertanian bersifat less import-intensive daripada suatu kenaikan yang sama di dalam produksi manufaktur; (4) infrastruktur pertanian yang diperlukan untuk meningkatkan produktifitas pertanian (jalan, irigasi, dan fasilitas drainase) memiliki labor-output ratio yang tinggi. Strategi ADLI memiliki implikasi yang penting bagi kebijakan harga, yaitu strategi pembangunan pertanian memerlu-kan suatu kebijamemerlu-kan harga (price policy) yang memungkinkan para petani tersebut dapat menangkap sebagian dari manfaat yang dihasilkan oleh peningkatan di dalam produktifitas pertanian. Oleh karena itu, hal yang tersebut terakhir memiliki makna bahwa suatu kebijakan terms of trade yang membagi manfaat pendapatan (income

benefits) yang diperoleh dari meningkatnya output, harus lebih adil (more equitably) diantara kelompok rural dan urban.

(22)

meningkatkan upah dari kaum miskin, dan hal ini hanya bisa terjadi kalau ada kenaikan dalam permintaan terhadap tenaga kerja dari kaum miskin tersebut. Sementara, efek dari kebijakan peningkatan harga tersebut terhadap upah (price of

labor) dari kaum miskin sangat tergantung pada bagaimana pasar tenaga kerja (labor market) itu bekerja, dan organisasi kelembagaan (institutional organization) dari pasar tenaga kerja tersebut.

Strategi ini menekankan pentingnya peningkatan harga dari barang-barang yang dihasilkan dengan tenaga kerja dari kaum miskin (labor of the poor) tersebut, termasuk peningkatan di dalam harga relatif dari output pertanian (agricultural terms of trade) yang diharapkan dapat memberi manfaat kepada kaum miskin termasuk pekerja-pekerja yang tidak memiliki lahan. Selain itu, juga ditekankan akan penting-nya peningkatan produktifitas dari kaum miskin tersebut, yang dapat dilakukan melalui : (1) investasi dalam sumberdaya manusia (human capital investments) seperti investasi dalam nutrisi, pendidikan, dan kesehatan, yang tidak saja meningkat-kan kesejahteraan kaum miskin secara langsung, ameningkat-kan tetapi juga dapat meningkatmeningkat-kan kapasitas atau kemampuan dari tenaga kerja produktif mereka; (2) peningkatan jumlah dari ’complementary assets atau resources’ yang digunakan oleh kaum miskin (seperti lahan dan kapital); dan (3) peningkatan ’land-augmenting investments’ atau pengenalan perubahan tekno logi yang dapat meningkatkan produktifitas.

(23)

maupun PKT merupakan program yang secara langsung ditujukan pada pada upaya penanggulangan kemiskinan melalui penentuan sasaran pemanfaat program, yaitu penduduk miskin dan sasaran lokasi, yaitu wilayah/kawasan miskin.

Adapun program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan selama ini diantaranya adalah (1) program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dimulai pada tahun anggaran 1994/1995; (2) program pembangunan prasarana pendukung desa tertinggal (P3DT) yang merupakan pendukung program IDT, yang dimulai tahun anggaran 1995/1996; (3) program pengembangan kecamatan (PPK) yang dimulai tahun anggaran 1998/1999; (4) program penanggulangan kemikinan di perkotaan (P2KP), yang diluncurkan pada tahun anggaran 1999/2000; (5) program pengem-bangan kawasan desa kota terpadu atau ’poverty alleviation through rural urban

linkages’ (PARUL); (6) program pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat (PSEM); (7) program pemberdayaan daerah dalam mengatasi dampak krisis ekonomi (PDMDKE) yang dilaksanakan sejak tahun anggaran 1998/1999; program beras murah untuk penduduk miskin (Sumodiningrat, et al, 1999; Sumodiningrat, 1999; Sumodiningrat, 2001; Daly dan Fane, 2002; Yudhoyono dan Harniati, 2004).

(24)

terwujud-nya kesejahteraan masyarakat. Dalam bagian lain penjelasan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dikatakan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu ber-orientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat tersebut hanya dimungkinkan kalau terjadi peningkatan di dalam pen-dapatan masyarakat atau penurunan dalam tingkat kemiskinan absolut, distrib usi pendapatan semakin merata, dan tingkat penyerapan tenaga kerja (employment level) yang terjadi di dalam perekonomian semakin meningkat.

Secara umum, pelaksanaan desentralisasi fiskal bertujuan untuk (1) mening-katkan efisiensi pengalokasian sumberdaya nasional maupun kegiatan pembangunan daerah; (2) memperbaiki struktur fiskal dan memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional; (3) meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat Daerah; (4) memperbaiki kese-imbangan fiskal antar Daerah dan memastikan adanya pelayanan masyarakat yang berkualitas; dan (5) menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat (Sidik, 2004). Khususnya berkaitan dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan sosial, tersirat di dalamnya tujuan untuk mengurangi kemiskinan dengan berbagai dimensinya, seperti ketimpangan pendapatan, pengangguran, pendapatan yang rendah, dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, dan lain sebagainya.

Transfer fiskal antar berbagai tingkat pemerintahan (intergovernmental fiscal

(25)

yang sangat penting dari kebijakan desentralisasi fiskal, terutama dalam era otonomi daerah dewasa ini. Dengan otonomi yang titik beratnya diletakkan pada Daerah Tingkat II atau Kabupaten/Kota, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih besar di dalam menggali, mengembangkan dan memanfaatkan dana-dana yang di-miliki, baik yang berasal dari sumber-sumber daerah sendiri (PAD) maupun yang berasal dari bantuan atau alokasi dari Pemerintah Pusat, termasuk bagi hasil pajak, bagi hasil SDA, DAU dan DAK. Dengan demikian diharapkan berbagai bentuk transfers tersebut dapat memiliki dampak yang signifikan dalam menggerakkan roda perekonomian Daerah, termasuk dalam pengurangan penduduk miskin di daerah yang jumlahnya masih sangat besar. Daerah memiliki hubungan yang dekat dan lebih mengenal kondisi masyarakatnya, sehingga kalau berbagai dana transfer dari Pusat dipercayakan kepada Pemerintah Daerah, maka ada harapan penggunaan dana-dana tersebut akan menjadi lebih efektif. Namun, hal ini bisa terjadi dengan asumsi kalau Daerah didukung dengan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas dan kelem-bagaan yang memadai. Selain itu, berbagai bantuan harus digunakan atau dialokasi-kan untuk pembangunan sektor-sektor yang memang memiliki keterkaitan langsung dengan masalah kemiskinan, seperti sektor pertanian; sektor kesehatan; sektor pen-didikan; usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM); pembangunan infrastruktur perdesaan, dan lain-lain.

(26)

Sebagai gambaran, dalam APBD Kabupaten/Kota dan APBD Provinsi, sektor per-tanian hanya mendapatkan alokasi dana masing-masing sebesar 4.80 persen dan 4.39 persen per tahun selama kurun waktu 1999-2002. Sementara dalam APBN, dana yang dialokasikan untuk pembangunan sektor pertanian rata-rata hanya sebesar 4.47 persen selama kurun waktu 2000-2002. Kondisi ini sungguh ironis mengingat sektor perta-nian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional Indonesia karena peranannya dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB) dan pencip-taaan lapangan kerja yang masih dominan. Bukankah sektor pertanian merupakan sektor yang menjadi prioritas utama dalam pembangunan di bidang ekonomi sebagai-mana diasebagai-manatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) ?

(27)

Bertitik tolak dari uraian di atas, selanjutnya dapat dirumuskan berbagai per-soalan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana dampak transfer fiskal yang terdiri dari bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, dan dana alokasi umum (DAU) terhadap kemiskinan di Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan ?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan ?

3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketimpangan dalam distribusi penda-patan di Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan ?

4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja perekonomian daerah, baik dilihat dari sisi output (PDRB) maupun dari sisi penyerapan tenaga kerja ?

5. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja fiskal daerah, baik dilihat dari sisi penerimaan maupun pengeluaran ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum dari penelitian yang dilakukan adalah untuk menganalisis (1) faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan, dan (2) dampak dari transfers fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia.

Sedangkan tujuan khusus dari penelitian adalah :

(28)

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan.

4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi output (PDRB) dan penyerapan tenaga kerja.

5. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal daerah, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran daerah.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai rujukan bagi pemerintah, baik pemerintah Pusat maupun pemerintah Daerah dalam penanggulangan masalah kemiskinan, yang dilakukan khususnya melalui transfer fiskal yang merupakan instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia.

2. Sebagai referensi bagi studi-studi lain tentang isu yang sama di masa-masa yang akan datang.

3. Bagi penulis penelitian selain untuk memenuhi sebagian persyaratan yang dituntut dalam menyelesaikan program doktor, sekaligus juga merupakan suatu ‘academic exercise’ dari ilmu yang diperoleh penulis selama mengikuti program doktor.

1.4. Ruang Lingkup, Keunggulan dan Keterbatasan Penelitian

(29)

transfer fiskal seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam. Kemiskinan dilihat dari berbagai ukuran, seperti tingkat kemiskinan (headcount ratio), indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index), dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index), baik untuk daerah per-desaan maupun perkotaan.

Ruang lingkup studi mencakup 25 Provinsi (tidak termasuk DKI dan Provinsi yang baru terbentuk) di Indonesia dan menggunakan data panel yaitu gabungan antara data time series tahunan (1999-2002) dan data cross-section (25 Provinsi).

Studi tentang bantuan atau transfer fiskal di Indonesia telah banyak dilakukan para ahli. Namun, sejauh yang penulis ketahui, di Indonesia belum pernah ada studi yang mencoba mengkaitkan transfer fiskal dengan masalah kemiskinan. Studi-studi tentang bantuan pusat yang dilakukan selama ini lebih banyak mengkaitkan bantuan atau transfer fiskal dengan upaya fiskal daerah (tax effort), pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan ketimpangan antardaerah (interregional disparity)1. Oleh karena itu, apa yang dilakukan penulis merupakan kontribusi yang sangat penting dan sekaligus menjadi keunggulan dari studi ini.

Keterbatasan utama dari studi ini terutama berkaitan dengan ketersediaan data dimana untuk beberapa peubah tepaksa harus digunakan proksi atau bahkan dilaku-kan estimasi untuk mendapatdilaku-kan data yang diperludilaku-kan. Data fiskal yang digunadilaku-kan adalah data fiskal gabungan (fiscal consolidated) kabupaten/kota dari masing-masing Provinsi. Oleh karena itu, tentu kurang mampu untuk merepresentasikan kondisi fiskal yang sesungguhnya dari masing-masing kabupaten/kota yang ada.

(30)

Ketidak-tersediaan data untuk beberapa peubah seperti data pendapatan per kapita menurut desa-kota dan data penyerapan tenaga kerja menurut Provinsi meru-pakan keterbatasan lain yang dihadapi dalam studi ini. Oleh karena itu, dalam per-samaan untuk indeks Gini dan pengeluaran per kapita baik untuk daerah perdesaan maupun perkotaan terpaksa digunakan data pendapatan per kapita regional sebagai proksi. Selain itu, data penyerapan tenaga kerja khususnya untuk tahun 2000 dan 2001, ternyata tidak disajikan menurut Provinsi, tetapi menurut Pulau dan nasional. Untuk mendapatkan data penyerapan tenaga kerja masing-masing Provinsi, penulis terpaksa harus melakukan estimasi, dengan menggunakan metode alokasi seperti banyak digunakan dalam perhitungan PDRB kabupaten/kota kalau data yang tersedia hanya data PDRB Provinsi saja.

Series waktu yang hanya empat tahun (1999 – 2002) dimana ketika penelitian dilakukan kebijakan desentralisasi fiskal baru berjalan dua tahun, juga dapat di-pandang sebagai suatu keterbatasan lain dari studi ini. Dalam kurun waktu hanya dua tahun sudah tentu akan sangat sulit untuk melihat bagaimana sesungguhnya dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal termasuk di dalamnya transfer fiskal terhadap kemiskinan yang menjadi fokus utama dalam studi ini.

1.5. Sistematika Pembahasan

(31)

Dalam bagian pertama diuraikan mengenai latar belakang; rumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitian; ruang lingkup, keunggulan, dan keterbatasan pene-litian; dan sistematika pembahasan.

Dalam bagian kedua dibahas mengenai transfer fiskal antar tingkat pemerin-tahan; kemiskinan yang mencakup konsep dan ukuran kemiskinan, faktor-faktor penentu kemiskinan; dan kaitan antara transfer fiskal dan pengurangan kemiskinan.

Dalam bagian ketiga dikemukakan kerangka teoritis yang membahas de-komposisi perubahan kemiskinan, baik dilihat dari penyebab (growth effect versus

inequality effect), menurut wilayah (rural versus urban), dan menurut sektor (perta-nian, industri dan jasa).

Dalam bagian keempat diuraikan metodologi yang digunakan yang mencakup kerangka pemikiran; spesifikasi model; prosedur estimasi model; serta data dan sumber yang digunakan.

Dalam bagian kelima dikemukakan mengenai profil transfer fiskal dan kemis-kinan Indonesia, yang mencakup profil kemiskemis-kinan secara nasional, profil kemiskemis-kinan secara regional, dan profil kemiskinan sektoral.

Dalam bagian keenam dikemukakan hasil estimasi model yang membahas mengenai keragaan dari masing-masing blok yang ada dalam model beserta pemba-hasannya.

Dalam bagian ketujuh dikemukakan hasil simulasi kebijkan dampak transfer fiskal di Indonesia terhadap kemiskinan beserta pembahasannya.

(32)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bagian ini akan dikemukakan tinjauan pustaka yang membahas issue-issue yang terkait dengan topik penelitian yaitu transfer fiskal antara tingkat peme-rintahan, kemiskinan, serta kaitan transfer fiskal dan pengurangan kemiskinan.

1.2. Transfer Fiskal Antar Tingkat Pemerintahan

Hubungan fiskal antar berbagai tingkat pemerintahan (intergovernmental

fiscal relations) merupakan salah satu unsur yang sangat penting di dalam program desentralisasi fiskal. Hubungan fiskal antar tingkat pemerintahan menggambarkan hubungan keuangan (financial relations) diantara berbagai tingkat pemerintahan, yang meliputi berbagai aktivitas keuangan pemerintah seperti perpajakan, penge-luaran, pinjaman, subsidi, transfer dan hibah. Transfer fiskal antar tingkat peme-rintahan (intergovernmental fiscal transfers) yang terdiri atas hibah (grants), dan bagi hasil (revenue-sharing) merupakan sumber penerimaan yang dominan bagi tingkat pemerintah subnasional di banyak negara sedang berkembang, dan desain dari transfer tersebut memiliki pengaruh terhadap efisiensi dan keadilan atau pemerataan (equity) penyediaan jasa-jasa lokal dan kesehatan fiskal dari pemerintah subnasio nal. Oleh karena itu, maka desain dari transfer dianggap merupakan faktor yang sangat penting bagi keberhasilan desentralisasi fiskal (Litvack, Ahmad, dan Bird, 1998).

(33)

berbagai tujuan, baik untuk tujuan efisiensi (efficiency) ataupun tujuan pemerataan (equity). Selain itu, grants juga dapat diberikan untuk mendorong jenis pengeluaran tertentu dari tingkat pemerintahan yang lebih rendah, atau untuk meningkatkan daya beli (purchasing power) mereka (Boadway dan Wildasin, 1988).

Secara umum, terdapat beberapa argumen ekonomi (economic argument) yang mendorong pemerintah untuk melakukan transfers fiskal antar tingkat pemerin-tahan (Boadway dan Wildasin, 1988; Shah, 1991; Winker, 1994; Parker, 1995; Rao dan Singh, 1998; Litvack dan Seddon, 1999), Schroeder and Smoke (2002) yaitu : 1. Adanya kesenjangan fiskal (fiscal gap). Bantuan atau transfer fiskal, yang

diberikan dalam hal ini ditujukan untuk mengoreksi ’fiscal gap’ tersebut yaitu ketidakseimbangan fiskal yang terjadi antara kemampuan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaannya dan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.

2. Adanya ketidakadilan fiskal (fiscal inequity). Suatu negara yang meng-anut kemerataan fiskal horizontal (horizontal fiscal equity) perlu melakukan koreksi terhadap ketidakadilan yang secara alamiah muncul di dalam suatu sistem yang desentralistik.

3. Adanya inefisiensi fiskal (fiscal inefficiency). Argumen untuk melakukan transfer didorong oleh kenyataan bahwa perbedaan serupa yang menimbulkan ketidak-adilan fiskal (fiscal inequality) juga dapat menyebabkan inefisiensi fiskal (fiscal

inefficiency).

(34)

(spillover) keluar jurisdiksi yang memberikan manfaat kepada yang tidak mem-berikan kontribusi pada biaya dan karena yang bukan penduduk (nonresident) datang ke lokalitas dan ikut menikmati jasa-jasa publik yang disediakan. Bantuan dalam hal ini dapat digunakan untuk mengoreksi inefisiensi yang terjadi akibat adanya spillovereffect dari bantuan tersebut.

5. Untuk harmonisasi fiskal (fiscal harmonization). Sampai pada tingkat tertentu, redistribusi merupakan tujuan dari pemerintah pusat, yang berarti terdapat suatu kepentingan nasional di dalam redistribusi yang terjadi sebagai akibat dari penye-diaan jasa publik oleh pemerintah subnasional. Harmonisasi pengeluaran dapat diikuti dengan penggunaan (nonmatching) ‘conditional grants’, yang menyedia-kan kondisi yang mencerminmenyedia-kan efisiensi nasional dan keadilan, dan bahwa suatu pinalti finansial adalah berkaitan dengan kegagalan untuk mencapai tujuan. 6. Untuk menjamin tercapainya standar minimum pelayanan (common minimum

standard of services) antardaerah yang memungkinkan daerah-daerah miskin menyediakan tingkat pelayanan yang dapat diterima.

7. Untuk mewujudkan tujuan stabilisasi. Bantuan antar tingkat pemerintahan juga dapat digunakan untuk membantu dalam mewujudkan stabilisasi ekonomi. Hibah atau bantuan dapat ditingkatkan ketika kegiatan ekonomi menurun untuk men-dorong pengeluaran lokal dan sebaliknya dikurangi pada saat kegiatan ekonomi meningkat. Bantuan model merupakan instrumen yang tepat untuk mewujudkan tujuan stabilisasi.

(35)

terhadap jurisdiksi lain; (2) pemerataan (equalization) fiskal antarjurisdiksi; dan (3) meningkatkan/ memperbaiki sistem pajak secara menyeluruh. Selanjutnya, dikatakan bahwa hibah dapat dibedakan ke dalam dua bentuk utama, yaitu hibah atau bantuan bersyarat (conditional grants) dan hibah tak bersyarat (unconditional grants) [lihat juga Boadway dan Wildasin, 1988; Cullis dan Jones, 1992; Rosen, 1992; Bahl dan Linn, 1992)]. Bantuan bersyarat atau disebut juga bantuan khusus (specific grants) adalah bantuan yang memiliki persyaratan tertentu yang terkait di dalam bantuan tersebut, dan diberikan untuk mendorong pemerintah daerah dalam menambah barang dan jasa publik tertentu. Dalam kasus bantuan khusus ini, pemerintah daerah tidak memiliki kebebasan dalam pengalokasian dana karena penggunaan dana tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sedangkan yang dimaksud dengan bantuan yang tak bersyarat atau lebih dikenal dengan bantuan umum (general grant) atau bantuan blok (block grant) adalah jenis bantuan yang tidak dikaitkan dengan program pengeluaran tertentu. Ciri khusus yang menjadi kekuatan jenis bantuan ini adalah dapat meningkatkan sumberdaya lokal dan sekaligus mempertahankan pilihan fiskal yang ada dalam kewenangan pemerintah daerah. Dalam kasus bantuan blok ini, pemerintah daerah memiliki keleluasan dalam mengalokasikan dana yang diterima ke dalam berbagai kemungkinan pengeluaran yang sesuai dengan pilihan dan kepen-tingan daerah yang bersangkutan.

(36)

jumlah barang I dan J yang dikonsumsi masing-masing adalah I1 dan J1. Apabila ada

bantuan dari pemerintah pusat dalam bentuk block grant, maka garis anggaran (budget line) dalam gambar 1 akan bergeser dari AB menjadi CD posisi pemerintah daerah sekarang berada di titik N dan jumlah barang I dan J yang dikonsumsi menjadi I2 dan J2.

Barang J Barang J

C L2

L1 L1

A

A L2

J2 N J1 M

J1 M

J2 N’

0 I1 I2 B D 0 I1 I2’ B D’

[image:36.612.109.515.206.434.2]

Barang I Barang I

Gambar 1. Block Grant Gambar 2. Specific Grant

Jadi konsumsi pemerintah daerah baik untuk barang I maupun barang J meningkat dan hal ini menunjukkan pula bahwa kepuasan dari pemerintah daerah kini bertambah karena berada pada indifference curve yang lebih tinggi yaitu L2 dimana

L2 > L1. Sebaliknya, apabila pemerintah pusat kini memberikan bantuan dalam

bentuk bantuan spesifik (specific grant), maka dampak yang ditimbulkan adalah berupa penurunan harga (biaya produksi barang I dan karena itu budget line bergeser dari AB ke AD’. Posisi peme rintah daerah kini berada di titik N’ dan jumlah barang I yang dikonsumsi menjadi I2’, yang berarti bantuan spesifik meningkatkan produksi

(37)

daerah karena sekarang berada di titik N’ yang terletak pada indifference curve L2

dimana L2 > L1. Namun demikian, dampak dari spesifik grant ini tidak dapat

diprediksi secara langsung karena hal ini sangat tergantung pada bentuk indifference

curve maupun income dan price elasticity of demand dari kedua jenis barang tersebut (barang I dan barang J). Price effect dari subsidi atau bantuan cenderung menurunkan produksi barang J, tetapi income effect-nya adalah kebalikannya, yaitu cenderung meningkatkan produksi barang J tersebut.

Dalam beberapa kasus seperti tampak dalam Gambar 2, efek netto yang di-timbulkan oleh bantuan spesifik adalah penurunan secara absolut di dalam produksi J. Jadi, perbedaan diantara kedua jenis bantuan tersebut adalah bahwa block grant dampaknya terhadap produksi atau konsumsi dapat diprediksi secara langsung, sedangkan “specific grant” tidak dapat. Selain itu, kalau “block grant” hanya meng-hasilkan “income effect”, sedangkan “specific grant” selain “income effect” juga menghasilkan “substitution effect” dan “price effect” (Prud’homme, 1987).

(38)

Pertanyaan lebih jauh menyangkut bantuan atau transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah bagaimanakah sesungguhnya dampak transfers itu terhadap keseimbangan makroekonomi suatu negara ? Dalam hubungan ini, Bird dan Fiszbein (Bird dan Vaillancourt, 1998) mengemukakan bahwa efek keseluruhan dari bantuan atau transfer sangat tidak tergantung pada jumlah transfer, tetapi pada apa yang terjadi dengan pengeluaran-pengeluaran nasional dan apa yang terjadi dengan penerimaan-penerimaan subnasional nontransfer. Kenaikan transfer menurut mereka bisa menyebabkan salah satu dari tiga kemungkinan berikut terjadi pada penerimaan pemerintah subnasional. Pertama, penerimaan mungkin menurun (kemalasan fiskal, atau “fiscal laziness” penurunan upaya fiskal, atau efek substitusi dari transfer);

kedua, penerimaan tetap sama pada tingkatan sebelum adanya kenaikan transfer (flypaper effect); atau ketiga, kenaikan penerimaan transfer mungkin sungguh-sungguh menaikkan penerimaan sendiri (PAD) dari pemerintah lokal (efek stimulatif bantuan). Dengan perkataan lain, reaksi lokal terhadap transfer mengisyaratkan tidak adanya perubahan skala pengeluaran dan defisit sektor pemerintah (flypaper effect), atau bahkan terdapat kenaikan pada skala pengeluaran lokal, tetapi bukan pada sisi defisit (stimulasi).

(39)
[image:39.612.124.536.259.429.2]

akan meningkat karena adanya kenaikan transfer, jika pengeluaran nasional tidak turun dalam jumlah yang sama (atau mungkin juga pajak-pajak subnasional, dan juga penerimaan sendiri - yang dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran subnasional – akan turun lebih dari transfer). Dalam Tabel 1 ditunjukkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, dimana pengeluaran nasional dan penerimaan-penerimaan sub-nasional merupakan peubah eksogen yang penting.

Tabel 1. Efek-efek Makroekonomi Kenaikan Transfer

Pengeluaran pemerintah nasional

(diluar transfer), Gn - - - 0 0 0 + + +

Pengel. Pemerintah subnasional

(termasuk transfer), Gs + + + + + + + + +

Total pengel. sektor pemerintah,

(Gs + Gs) ? ? ? + + + ++ ++ ++

Penerimaan sendiri subnasional, Ts - 0 + - 0 + - 0 +

Defisit subnasional termasuk

transfer, (Gs – Ts) + 0 - + 0 - + 0 -

Defisit nasional di luar transfer

(Gn–Tn), Tn diasumsikan konstan - - - 0 0 0 + + +

Total defisit sektor pemerintah (mengingat Tn konstan, variasi mengikuti Gt – Ts)

? - -- + 0 - ++ + ?

Keterangan : + = meningkat; 0 = tidak berubah; ++ = kenaikan yang kuat; = penurunan yang kuat; ? = tidak diketahui tergantung pada nilai relatif imbangan perubahan-perubahan.

Sumber : Bird dan Fiszbein (Bird dan Vaillancourt, 1998), table 6.4.

(40)

Penelitian tentang peranan bantuan atau transfer fiskal antar tingkat peme-rintahan telah banyak dilakukan para ahli, diantaranya adalah :

Pertama, adalah penelitian yang dilakukan oleh Hirawan (1993) yang

meng-kaji tentang dampak pemberian alokasi dana (bantuan Inpres) terhadap perkem-bangan perekonomian daerah. Dengan menggunakan analisis korelasi ditemukan bahwa koefisien korelasi antara Inpres baik yang bersifat blok maupun spesifik dengan peubah penduduk adalah yang paling besar dibandingkan dengan peubah-peubah luas wilayah, PDRB per kapita, dan PAD per kapita. Dengan melakukan analisis regresi juga diperoleh hasil bahwa pengaruh penduduk terhadap Inpres adalah nyata secara statistik. Sebaliknya, peubah PDRB per kapita, dan PAD per kapita yang pada dasarnya juga dapat mencerminkan kemampuan dan potensi daerah, tidak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap alokasi Inpres. Selain itu, studi tersebut juga mengungkapkan bantuan Inpres, khususnya yang bersifat blok (block

grant) secara statistik berpengaruh nyata terhadap perekonomian daerah, khususnya terhadap peubah PDRB dan tenaga kerja.

Kedua, adalah penelitian yang dilakukan Wuryanto (1996) yang mengkaji

mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap kine rja perekonomian di Indonesia dengan menggunakan pendekatan interregional CGE. Penelitian tersebut menghasil-kan beberapa temuan, yaitu :

(41)

2. Pada tingkat nasional, besaran (magnitudes) ekspansi GDP yang berasal dari alokasi seluruh tambahan transfer blok pada program-program prasarana sosial jauh lebih besar dibandingkan yang berasal dari alokasi seluruh tambahan transfer blok tersebut pada program-program pembangunan ekonomi.

3. Pada tingkat regional, studi ini menemukan bahwa kinerja ekonomi Jawa umum-nya lebih baik ketika tambahan transfer dialokasikan untuk program pemba-ngunan prasarana sosial, tetapi sebaliknya kinerja ekonominya cenderung lebih jelek ketika tambahan transfer dialokasikan untuk jenis program pembangunan prasarana ekonomi, dan hal yang sebaliknya berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa.

4. Berkaitan dengan program Inpres, penulis menyaran-kan beberapa hal sebagai berikut : (a) program Inpres dapat diperlakukan sebagai suatu kebijakan fiskal yang penting (key fiscal policy) menuju kepada suatu sistem yang lebih desentralistik di masa-masa yang akan datang; (b) reformasi sistem fiskal yang ada menuju kepada sistem fiskal yang desentralistik secara penuh masih tetap merupakan kebijakan fiskal yang sangat penting, dan oleh karenanya perlu dilan-jutkan; (c) program Inpres yang ada sekarang perlu diperbaharui dan diseder-hanakan; dan (d) implementasi program Inpres hendaknya berjalan dibawah suatu sistem alokasi yang terpadu yang dirancang berdasarkan atas berbagai kondisi spesifik dan kapabilitas regional yang ada.

Ketiga, adalah studi Brodjonegoro, et al (2001) yang melakukan simulasi

(42)

peubah target (target variables) adalah disparitas antar daerah (koefisien variasi pen-dapatan regional per kapita antar daerah), pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan PDRB), dan permintaan agregat di daerah (perubahan yang terjadi pada peubah konsumsi dan investasi, menemukan bahwa :

1. Hasil simulasi model yang memasukkan alokasi bagi hasil SDA saja sebagai peubah shock menghasilkan koefisien variasi PDRB yang meningkat dibanding-kan dengan simulasi historis. Sementara itu hasil yang sebaliknya justru ditunjukkan oleh simulasi model yang memasukkan DAU saja sebagai peubah

shock, dimana terjadi penurunan koefisien variasi PDRB dibandingkan simulasi historis. Dalam konteks ini, DAU sebagai bantuan yang berfungsi untuk menye-imbangkan kesenjangan fiskal antar daerah terlihat cukup efektif.

2. Penyebab dari memburuknya keseimbangan antar daerah karena bagi hasil SDA adalah persebaran SDA yang sangat tidak merata, dimana paling tidak ada 10 Provinsi yang akan mendapatkan bagian yang relatif kurang berarti, sementara itu hanya 7 Provinsi (Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Kaltim, Kalteng, Maluku dan Irian Jaya) yang mendapatkan bagian sangat signifikan baik secara absolut maupun relatif (terhadap PDRB).

(43)

bagi hasil SDA dan DAU menyebabkan peningkatan yang pesat untuk konsumsi dan investasi. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan alokasi bagi hasil SDA dan DAU merupakan kebijakan yang saling terkait dan dampaknya terhadap per-ekonomian makro cukup besar.

Keempat, adalah studi dari Brodjonegoro dan Martinez (2002) yang

meng-kaji dampak transfers (DAU) (sebagai persentase dari pengeluaran daerah) terhadap

tax effort (merupakan rasio antara pajak dan retribusi dengan PDRB) dengan meng-gunakan beberapa peubah kontrol termasuk PDRB per kapita, baik untuk Kabupaten/ Kota maupun Provinsi masing-masing untuk tahun 2001 dan 2002. Hasil estimasi menunjukkan bahwa DAU berpengaruh nyata terhadap tax effort hanya untuk kasus Provinsi; sedangkan untuk kasus Kabupaten/Kota DAU tidak berpengaruh nyata. Sebaliknya, PDRB per kapita memiliki pengaruh nyata terhadap tax effort dan itu hanya terjadi pada kasus Kabupaten/Kota, tetapi tidak pada kasus Provinsi.

(44)

Hal yang sebaliknya, terjadi pada bagi hasil pajak dan bagi hasil SDA, dimana kedua- nya memiliki dampak yang cenderung bersifat ‘disequalizing’ terhadap PAD per kapita, kecuali untuk Kabupaten/Kota pada tahun 2002 dimana koefisien variasi PAD per kapita lebih kecil setelah adanya alokasi bagi hasil pajak.

Kenyataan yang agak kontradiktif berkaitan dengan peranan DAU sebagai ‘equalizing factors’ diperlihatkan oleh hasil estimasi koefisien regresi dimana justru alokasi DAU cenderung meningkat bersama-sama dengan PDRB per kapita. Hasil estimasi menunjukkan bahwa PDRB per kapita memiliki pengaruh yang positif dan nyata terhadap alokasi DAU, baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, kecuali pada tahun 2002 untuk kasus Provinsi. Hal ini berarti bahwa daerah yang kaya memperoleh alokasi DAU yang semakin besar pula. Kecenderungan yang sama juga terjadi untuk tax effort, dimana tax effort Kabupaten/Kota justru memperlihat-kan pengaruh yang positif dan nyata terhadap alokasi DAU, yang berarti Kabupaten/ Kota yang memiliki tax effort yang tinggi akan mendapatkan alokasi DAU yang semakin besar. Hal ini akan berarti bahwa ketimpangan fiskal antardaerah akan semakin melebar.

2.1. Kemiskinan

2.1.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan

(45)

Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and

not being able to go to school and not knowing to know how to read.

Poverty is not having job, is fear for the future, living one day at a

time. Poverty is losing a child to illness bring about by unclean water.

Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom.

Walaupun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, tingkat pendidikan dan kesehatan yang dapat diterima, yang mana kesemuanya berada dalam lingkup dimensi ekonomi. Asset dalam hal ini mencakup ‘human assets, natural

assets, physical assets, financial assets, dan social assets’ (World Bank, 2000). Ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and asset) bahkan telah dilihat salah satu penyebab utama dari kemiskinan tersebut.

Menurut Chambers (1996), kemiskinan terutama di daerah perdesaan (rural poverty) adalah masalah ketidakberdayaan (powerlessness), keterisolasian (isolation), kerentanan (vulnerability) dan kelemahan fisik (physical weakness), dimana satu sama lain saling terkait dan mempengaruhi. Namun demikian, kemiskinan menurut Chambers merupakan faktor penentu yang memiliki pengaruh paling kuat daripada yang lain-lainnya (poverty is a strongly determinant of the others).

(46)

mem-bayar jasa atau layanan kesehatan. Kemiskinan juga menyumbang terhadap keter-isolasian (isolation) yang dikarenakan ketidakmampuan untuk membayar biaya pen-didikan, membeli sebuah radio atau sepeda untuk melakukan perjalanan ke tempat kerja, atau untuk tinggal di dekat pusat desa atau jalan utama. Selain itu, kemiskinan juga menyumbang terhadap kerentanan (vulnerability) melalui ketiadaan asset (lack

of assets) untuk membayar pengeluaran yang semakin besar, atau untuk memenuhi keperluan-keperluan yang bersifat darurat (contigencies); dan kemiskinan juga menyumbang terhadap ketidakberdayaan (powerlessness) yang dikarenakan ketidak-cukupan kekayaan (lack of wealths) yang terjadi bersama-sama dengan rendahnya status, dimana kaum miskin tidak memiliki suara (the poor have no voice).

Kelemahan fisik dari sebuah rumahtangga dapat memberikan konrtibusi ter-hadap kemiskinan melalui beberapa cara, salah satu diantaranya adalah melalui produktivitas yang rendah dari tenaga kerja yang lemah. Keterisolasian dalam arti ketiadaan pendidikan, keterpencilan, dan ketiadaan kontak dengan dunia luar, telah ikut melestarikan kemiskinan. Kerentanan merupakan bagian dari banyak kaitan yang ada, yang berhubungan dengan kemiskinan, kelemahan fisik, keterisolasian, dan ketidakberdayaan. Singkatnya, saling keterkaitan diantara berbagai aspek kemiskinan tersebut atau yang oleh Chambers (1996) sebut sebagai klaster ketidakberuntungan ‘the clusters of disadvantage’ telah membentuk suatu lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal (the vicious circle of poverty) atau ‘the deprivation trap’.

(47)

hidup tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan yang dimiliki seseorang atau suatu keluarga. Artinya, ketika tingkat pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum, maka orang atau keluarga tersebut dapat dikatakan miskin. Hal ini berarti diperlukan suatu tingkat pendapatan minimum yang memungkinkan seseorang atau suatu keluarga itu dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya. Dengan kata lain, kemiskinan dapat diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang atau keluarga tersebut dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimumnya. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin atau biasa disebut sebagai garis kemiskinan (poverty line).

Untuk mengukur kemiskinan ada beberapa ukuran atau indeks yang sering digunakan para ahli selama ini, diantaranya adalah :

(48)

tingkat keparahan kemiskinan itu sendiri. Sementara persentase dari penduduk yang miskin tersebut tidak menggambarkan intensitas dari kemiskinan.

Kedua, adalah poverty gap index (P1), yang mengukur kedalaman kemiskinan (the depth of poverty) di dalam suatu wilayah, dan indeks ini mengestimasi jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Ukuran ini menggambarkan jarak rata-rata (mean distance) dibawah garis kemiskinan yang dinyatakan sebagai suatu proporsi terhadap garis kemiskinan tersebut. Rata-rata disini adalah rata-rata dari penduduk secara keseluruhan, dan penduduk yang tidak miskin (nonpoor) dianggap sebagai memiliki poverty gap sama dengan nol (Ravallion and Bidani, 1994).Ukuran ini merupakan indikator yang baik tentang kedalaman kemiskinan, dan dengan menggu-nakan ukuran atau indeks kedalaman kemiskinan ini, pemerintah sebagai pembuat kebijakan dapat memperkirakan besarnya dana yang diperlukan untuk pengentasan kemiskinan. Namun demikian, ukuran ini masih memiliki kelemahan karena meng-abaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan diantara penduduk miskin.

Ketiga, adalah squared poverty gap (P2) yang menunjukkan kepelikan atau keparahan kemiskinan di dalam suatu wilayah. Secara sederhana, indeks P2 ini, dapat didefinisikan sebagai rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan (squared poverty

(49)

ini sering juga dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity

index).

Suatu ukuran kemiskinan yang baik menurut Kakwani (2000), harus memper-hitungkan atau memasukkan tiga indikator kemiskinan sebagai berikut, yaitu : (1) persentase penduduk miskin, (2) jurang kemiskinan agregat, dan (3) distribusi pen-dapatan diantara penduduk miskin.

2.1.2. Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional, yang berarti tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi saja seperti ketiadaan pendapatan dan asset (lack of income and assets), akan tetapi terkait dengan aspek-aspek lainnya, seperti aspek sosial budaya, politik, kelemba-gaan, dan sebagainya. Hal ini berarti pula bahwa tingkat kemiskinan di dalam suatu negara, tidak hanya ditentukan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi saja, akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomi.

Dalam tataran konsep, ada dua kelompok pandangan (cluster of views) yang mengidentifikasi sebab musabab dari kemiskinan, terutama kemiskinan di daerah per-desaan (rural poverty). Kedua pandangan tersebut adalah :

Pertama adalah kelompok pandangan ekonomi politik (political economy

(50)

proses tersebut beroperasi melalui tiga tingkatan. Pada tingkat global atau inter-nasional, munculnya kemiskinan merupakan akibat dari adanya hubungan pertukaran yang bersifat eksploitatif dan tidak seimbang (exploitation and unequal exchange) antara negara-negara kaya di satu pihak dan negara-negara miskin di lain pihak. Dengan hubungan pertukaran yang eksploitatif dan tidak seimbang itu, negara-negara kaya telah membuat negara-negara miskin menjadi tetap miskin dan pada saat yang sama mereka memperoleh manfaat dari investasi modal dan ekspatriasi keuntungan. Pada tingkat nasional atau internal, kemiskinan perdesaan itu muncul sebagai akibat dari ulah berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama kelompok kepen-tingan di daerah urban (urban interest groups) seperti urban middle class yang selalu berusaha untuk memperoleh keuntungan dengan mengorbankan kepentingan daerah perdesaan melalui pergeseran di dalam rural-urban terms of trade (pangan murah untuk kota, dear goods untuk desa), dan melalui investasi pada industri-industri dan jasa-jasa di perkotaan. Sedangkan pada tingkat lokal (perdesaan) , kemiskinan perde-saan muncul sebagai akibat dari ulah para elit lokal - yang terdiri dari tuan tanah (landowners), para pedagang (merchants), para pelepas uang (money lenders), dan birokrat – yang terus mengkonsolidasikan kekuasaan dan kekayaan mereka.

(51)

kelompok kaya dan berkuasa menjadi semakin kaya dan kuat (get richer and more

powerful), sementara kelompok miskin secara relatif maupun absolut menjadi semakin miskin dan lemah (become poorer and weaker).

Kedua adalah kelompok pandangan ekologi fisik (physical ecology cluster of

(52)

Pertama, adalah studi dari Dollar dan Kraay (2001) yang meneliti 92 negara

sedang berkembang antara periode 1950s - 1990s. Dalam studi ini ditemukan bahwa (1) elastisitas dari pendapatan rata-rata dan pendapatan rata-rata dari kuintil termiskin mendekati 1, yang berarti bahwa pertumbuhan ekonomi tidak memiliki dampak yang sistematis terhadap ketimpangan pendapatan; (2) tidak terdapat hubungan yang sistematis diantara indikator kebijakan dan indikator kualitas institusi dengan pen-dapatan dari kaum miskin.

Kedua adalah studi yang dilakukan oleh Ravallion (2001) di 50 negara

sedang berkembang dalam tahun 1990s, dan ditemukan bahwa (1) terdapat hubungan yang negatif diantara pertumbuhan kemiskinan dengan pertumbuhan pendapatan rata-rata dengan koefisien elastisitas sebesar -2.5; (2) tidak terdapat hubungan yang sistematis diantara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan; (3) per-tumbuhan ekonomi akan me miliki dampak mengurangi kemiskinan yang kuat jika tingkat ketimpangan awal pendapatan rendah; dan (4) terdapat tanda konvergen di dalam ketimpangan pendapatan antar negara di dunia.

Ketiga, adalah studi yang dilakukan Adams (2002, 2004) yang mencoba

mengestimasi hubungan antara pertumbuhan di dalam pendapatan rata-rata (mean

(53)

signifikan. Koefisien elastisitas dengan menggunakan pendapatan rata-rata dan 1 dollar per hari sebagai ukuran tingkat kemiskinan, adalah sebesar -5.75 kalau negara-negara Asia Tengah dan Eropa Timur dimasukka

Gambar

Gambar 1.  Block Grant                                  Gambar 2. Specific Grant
Tabel 1. Efek-efek Makroekonomi Kenaikan Transfer
Gambar  3.  Kaitan Konseptual Antara  Desentralisasi dan Pengurangan Kemiskinan
Gambar 4. Kurva Lorenz
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Dalam hal keadaan di mana sewaan itu secara nyata meletakkan kewajipan membaiki kerosakan akibat rosak dan rosot biasa ke atas tuan tanah, penyewa bertanggungjawab untuk

Perusahaan telah memiliki kebijakan mengenai implementasi EAFM dan peraturan lain yang terkait dengan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan. Perusahaan Belum dilaksanakan

Dari hasil perhitungan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa terjadi kesesuaian antara hasil perhitungan subjek saat menghitung tinggi menara 1 dan menara 2 dengan

Dalam peramalan data runtun waktu IHSG, peneliti menggunakan dasar fuzzy time series sebagai metode peramalan dan kriteria MSE dan MAPE untuk mengukur tingkat akurasi serta

Abstract — Given edge weighted graph G(V,E) (all weights are nonnegative) where vertices can represent terminals, cities, etc., and edges can represent cables, road,

Sistematika penulisan artikel hasil penelitian empiris (berbasis riset) terdiri dari Judul, Nama Penulis, Abstrak, Pendahuluan, Metode, Hasil dan Pembahasan, Simpulan dan

Dengan dibuatnya mesin penggiling biji jarak ini, maka dapat mengurangi penggunaan tenaga manusia, guna meningkatkan kefektifan kerja agar tercapai produktifitas yang tinggi

Penandatanganan perjanjian kerjasamaantara Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan dengan satuan pendidikan yang terakreditasi, atau lembaga sertifikasi lainnya yang sah