• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KONSEPTUALISASI TEMA-TEMA KOTAGEDE 4.1. Kotagede Sebagai Ruang Komunikasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB IV KONSEPTUALISASI TEMA-TEMA KOTAGEDE 4.1. Kotagede Sebagai Ruang Komunikasi"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

131

BAB IV

KONSEPTUALISASI TEMA-TEMA KOTAGEDE

4.1. Kotagede Sebagai Ruang Komunikasi

Keberadaaan ruang publik, ruang kebersamaan, dan ruang perjumpaan yang terdapat di Kawasan Kotagede menambah keunikan Kotagede sebagai suatu Kawasan yang memiliki nilai sejarah. Ruang publik, kebersamaan dan perjumpaan baik formal maupun informal seperti papan Koran, pos kamling, pendopo, balai RW, pasar maupun objek peninggalan sejarah lainnya di Kotagede memberikan warna yang menggambarkan adanya interaksi sosial antar warga Kotagede maupun dengan masyarakat luar yang kebetulan berada di Kotagede. Interaksi sosial terjadi karena masing-masing individu memiliki kebutuhan untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya karena kebutuhan sosial. Adanya interaksi sosial antar warga Kotagede maupun dengan masyarakat luar tersebut membentuk aktivitas komunikasi baik formal maupun informal.

(2)

132 Aktivitas komunikasi yang terjadi di Pasar Legi Kotagede terjadi hampir sepanjang hari dimana puncak aktivitas terjadi pada pagi hari terutama pada hari pasaran Legi dalam penanggalan Jawa.

Kampung Alun-alun dan situs peninggalan sejarah Mataram lainnya yaitu Masjid Gede Mataram dan juga sendang merupakan ruang interaksi dengan dimensi yang cukup besar namun intensitas interakasi dan aktivitas sosial didalamnya tidak seintensif yang terjadi di Pasar Legi Kotagede. Kampung Alun-alun dengan sistem sosial yang masih berupa perkampungan dan didukung oleh bentuk pemukiman yang saling berdekatan memunculkan banyaknya interaksi dan aktivitas sosial yang terbentuk. Aktivitas sosial dan interaksi antar warga Kampung Alun-alun terjadi pada jalan kampung. Jalan kampung Alun-alun yang sempit dan hanya bisa dilalui kendaraan roda dua dengan kecepatan minimal menjadikan interaksi sosial yang terjadi semakin intensif. Kondisi tersebut juga didukung dengan keberadaan “tritisan” atau tempat duduk depan rumah sehingga

pemilik rumah akan bertegur sapa dengan warga yang melintas didepan rumah. Oleh karena itu jalanan tersebut menjadi ruang sosial sebagai wadah aktivitas warga kampung Alun-alun. Warga saling bertegur sapa dan berinteraksi sehingga jalan kampung ini menjadi ruang komunikasi antar warga. Aktivitas komunikasi yang terjadi pada jalan Kampung Alun-alun terjadi hampir sepanjang hari. Lain halnya dengan Kampung Alun-alun, interaksi sosial yang terjadi di masjid Gede Mataram dan Sendang, sifatnya lebih kondisional, hal ini dikarenakan aktivitas yang terjadi di masjid Gede Mataram banyak terjadi seusai sholat dan setiap ada pengajian jama’ah masjid, sedangkan untuk sendang, waktu aktivitasnya dipengaruhi oleh pengunjung yang menginginkan untuk ritual mandi atau sekedar berkunjung.

(3)

133 masyarakat. Aktivitas komunikasi tersebut, berupa komunikasi satu arah dan juga komunikasi banyak arah yang terjadi antar individu dengan jumlah yang tidak begitu banyak, dimana aktivitas yang terjadi pada lokasi papan Koran adalah diskusi antar warga masyarakat seusai membaca Koran. Aktivitas komunikasi pada lokasi papan Koran terjadi hampir sepanjang hari dengan waktu optimal seusai waktu shalat dan pada sore hari yang merupakan waktu senggang warga. Aktivitas dan interaksi sosial yang terjadi di Pendopo lebih bersifat kondisional. Hal ini dikarenakan, pendopo yang terdapat di Kawasan Kotagede merupakan tempat perayaan yang sering digunakan untuk acara hajatan dan perayanaan acara kampung.

Balai RW yang terdapat di Kawasan Kotagede, merupakan ruang pelayanan, pendidikan dan pelatihan. Balai RW yang memiliki fungsi demikian menjadikannya sebagai ruang interaksi dan komunikasi antar warga. Warga bertukar informasi dan terjadi hubungan timbal balik. Pos kamling yang terdapat di Kawasan Kotagede merupakan ruang publik yang terbuka yang bersifat resposif dan merupakan ruang interaksi dengan dimensi yang luas. Pos kamling yang merupakan tempat berkumpulnya warga secara rutin juga mewadahi aktivitas warga lainnya seperti tempat kumpul acara perayaan, nonton bareng, bermain anak dan tempat berjualan pedagang keliling sehingga bersifat multifungsi. Aktivitas-aktivitas tersebut mendorong adanya interaksi sosial yang membentuk ruang komunikasi.

4.2. Kotagede sebagai Ruang Elastis

(4)

134 masyarakat memanfaatkan ruang-ruang kota. Pasar, Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Pedagang Keliling merupakan perwujudan dari modus produksi ekonomi yang berperan penting sebagai simpul-simpul kegiatan dan aktifitas ekonomi di kota.

Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang yang berdagang di tempat - tempat pusat keramaian seperti di sekitar pasar, rumah sakit, sekolah dan ditrotoar jalan yang ramai. Pedagang kaki lima bersifat non permanen dengan membuka lapak, membuat tenda dan parkir gerobaknya hanya sementara ketika berdagang. Pedagang Kaki lima ada ketika keramaian terjadi dia menghampiri, ketika sunyi dia pergi. Tujuan menjadi pedagang PKL untuk menghampiri pusat keramaian dengan sewa tempat atau lapak yang murah. PKL selain di sekitar bahu jalan pasar, berjualan di trotoar jalan utama kotagede, di halaman toko, dan lapangan karang.

Sedangkan pedagang keliling adalah pedagang yang menjual barang dagangannya secara keliling, keluar masuk kampung dengan berjalan kaki, menggunakan moda trasportasi sepeda, sepeda motor ataupun gerobak. Barang yang dijual mayoritas adalah kebutuhan sehari-hari seperti sayuran, jajanan pasar, perabot rumah tangga, dan lain-lai. Baik PKL maupun pedagang keliling sangat mudah dijumpai setiap saat di setiap sudut ruang Kotagede.

Pedagang keliling dan pedagang kali lima sebagai salah satu komponen perdagangan yang meramai. Pedagang Kaki Lima membentuk dan menjadi pasar pada waktu tertentu dan di tempat – tempat tertentu yang berakibat elastisitasnya ruang sarana sosial di Kotagede. Secara sederhana, dapat dianalogikan bahwa keberadaan PKL dan pedagang keliling yang sangat mudah dijumpai setiap saat di setiap sudut Kotagede dimana terjadi perjumpaan antara penjual dan pembeli dalam interaksi perniagaan menjadikan setiap ruang Kotagede merupakan ruang pasar.

(5)

135 hanya berada di dalam pasar, namun meluas di area luar pasar. Keberadaannya sebagai pedagang temporer yang tidak setiap waktu berada di kawasan pasar, membentuk elastisitas ruang komersial pasar, dimana perluasan ruang komersial tergantung dari banyaknya jumlah PKL maupun pedagang keliling yang menggelar lapak atau mangkal di area kawasan pasar.

Perluasan ruang komersial pasar sebagai bentuk elastisitas ruang akan lebih terlihat pada saat hari pasaran Jawa Legi. Pada saat itu, ruang komersial di Kotagede tidak lagi terpusat di pasar tapi mengalami perluasan ke jalan-jalan di kawasan Kotagede. Dalam kondisi tersebut dapat dilihat bagaimana aktifitas perdagangan mengubah ruang-ruang Kotagede yang sebelumnya bukan kawasan perdagangan bertransformasi menjadi ruang ekonomi. Unit-unit pedagang kecil berdatangan dan menempatkan posisinya untuk membuka lapak masing-masing di sepanjang ruas jalan. Ruang-ruang yang semula merupakan infrasruktur seperti jalan, pendopo, dll bertransformasi menjadi tempat parkir atau tempat para pedagang menggelar barang dagangannya. Pada kondisi ini, pola ruang kawasan kotagede eksisting menjadi tidak jelas dikarenakan tumpang tindih dengan pola ruang yang dibentuk oleh para pedagang dalam menggelar barang dagangannya. Proses perluasan ruang komersial ini dimulai sekitar pukul 06.00 pagi dan mencapai puncaknya pada sekitar pukul 09.00 pagi dengan ditandai mulai berdatangannya pedagang emporer maupun pembeli yang berasal dari beberapa kota di sekitar Kotagede maupun luar kota.

(6)

136 4.3. Kotagede sebagai Ruang Sejarah dan Simbol

Dalam perkembangan zaman yang semakin modern ini, masyarakat

yang hidup dalam Bangsa ini dituntut untuk tidak melupakan sejarah yang

pernah terjadi dan tercatat sebagai kearifan lokal yang harus dilestarikan

sehingga kelak menjadi bekal bagi generasi-generasi yang akan datang.

Terlepas dari itu, Kotagede ialah wilayah yang dimana terdapat sisi

sejarah yang mungkin saat ini tidak boleh dilupakan, karena memang ini

adalah suatu bentuk kekayaan budaya yang benar-benar harus di lestarikan.

Dalam dewasa ini Kotagede menjadi salah satu Ruang Sejarah yang

terbukti bahwa adanya suatu bentukan ruang dan pemukiman sebagai

peninggalan dari masa-masa sebelumnya. Yang menjadi pembahasan dalam

penelitian fenomenologi ini, bagaimana sebagai peneliti mencoba

mengupas mengenai ruang sejarah dan simbol yang melekat pada esensi

ruang sejarah yang saat ini menjadi kekayaan budaya Kotagede.

Mengenai ruang sejarah di Kotagede atau Kotagede sebagai ruang

sejarah, ini memang dalam etimologinya berbeda, karena dalam pengertian

ruang sejarah di Kotagede memberikan pandangan sebagai objek yang

melekat terhadap sejarahnya, sedangkan Kotagede sebagai ruang

memberikan pandangan yang lebih dimaksudkan dalam berbagai aspek,

sehingga bukan hanya bagaimana terbentuknya jalan-jalan kecil dengan

tembok yang tinggi seperti yang menyerupai labirin. Tetapi bagaimana

dilihat sebagai suatu ruang yang bukan hanya dilihat dari pembentukan

pemukiman saja melainkan bagaimana dilihat dari aspek simbol-simbol

yang melekat pada aspek sejarahnya, dalam hal ini ialah Masjid, Makam

para raja serta tokoh-tokoh, dan sendang atau tempat pemandian para

(7)

137 Yang sudah dikatakan diawal, bagaimana proses keberlanjutan

Kotagede sebagai ruang sejarah dan serta bagaimana simbol yang melekat

pada ruang sejarah ini menjadi suatu nilai yang harus di telusuri, sehingga

peneliti mencoba melihat dari sisi objeknya yang di gambarkan dengan

terbentuknya pemukiman-pemukiman Masyarakat Kotagede yang begitu

memilki kekhas-an dengan diperlihatkan terbentuknya Pagar Tembok tinggi

dan membentuk suatu ruang privasi yang menurut penelitian ini ialah

bagaimana pagar tembok tinggi memiliki baberapa pandangan mengenai

hal ini. Tetapi pada kesimpulannya bahwa peneliti bisa menarik garis lurus

dan menemukan sedikit benang merahnya, mengenai terbentuknya suatu

konsep pemukiman yang konteksnya ialah bagaimana ruang ini memiliki

konsep itu karena memang suatu bentuk kebutuhan dan perlindungan.

Kebutuhan karena mayoritas pekerja Kotagede pada zaman itu, memang

sebagai pekerja pengrajin perak. Dan pada sisi perlindungannya memang

terbukti bahwa menurut informasi yang didapatkan bahwa pada zaman dulu

banyak sekali terjadi pencurian di Kotagede, sehingga terbentuklah sisi

ruang seperti yang ada sekarang ini. Kalau dalam sisi arsitekturnya ialah

bagaiamana bentuk mengikuti fungsinya.

Selain daripada itu bagaimana dilihat pola ruangnya yang menjadi

suatu nilai yang melekat pada bagian sejarah Kotagede yang tidak bisa

terlepas dari pengamatan peneliti mengenai ruang juga sebagai simbol,

maka dalam penelitian ini peneliti akan membahas juga mengenai Masjid,

Pemakaman para Raja dan para Tokoh, Langgar Dhuwur dan Sendangan

atau tempat pemandian para kalangan kerajaan.

Secara semiotika bahwa pemkanaan mengani objek yang berbentuk

sebagai fisik maupun non fisik dilihat dengan pandangan objektif bukan

(8)

138 bahwa pemaknaan itu menjadi suatu nilai yang berharga dan sebagai simbol

yang tetap akan melekat sebagai bagian dari ruang sejarah Kotagede.

Dalam pembahasan yang pertama mengenai simbol yang melekat

pada ruang sejarah Kotagede ini, peneliti memulainya dari Masjid Gedhe

yang menjadi simbol ke-Islaman dan menjadi suatu saksi berdirinya

idiologi organisasi Masyarakat Muhammadiyah di Kotagede, sehingga

dalam pandangan ini, orang mengenal Kotagede maka yang paling pertama

ada dibenak ialah Muhammmadiyah dan sejarahnya Mataram, maka dari itu

Masjid menjadi salah satu simbol yang hadir sebagai kaitanya dengan ruang

sejarah di Kotagede. Selain daripada itu juga Masjid Gedhe memang berada

dalam kompleks Makam dan Sendangan.

Dengan ini membuktikan bahwa adanya keterkaitanya suatu

pengolompokan budaya yang menjadikan simbol Kotagede sebagai ruang

sejarah, karena menurut peneliti, adanya suatu pandangan menganai dua hal

ini yang berbeda, kenapa, karena masyarakat yang berkunjung ke Kotagede

bukan hanya ke Masjidnya melainkan ke Pemakaman, Masjid Gedhe

sebagai salah satu simbol berdirinya pemahaman Muhammadiyah yang

tidak sependapat dengan adanya peziarah yang berziarah dan meminta

sesuatu tanpa ada usaha dalam tindakan kehidupannya di makam-makam

tersebut, sampai bisa menginap berhari-hari disana. Ini pandangan menurut

paniliti mempunyai unsur dualistik yang dipersatukan melalui semiotika

atau simbol keluhuran yang tidak terlepas dari perbedaan yang saling

menghargai satu sama lain, sehingga menjadi bagian dari ruang sejarah

yang patut diakui dengan keanekaragaman pemahamannya.

Selain dari itu adanya langgar dhuwur yang menjadi suatu entitas dan

simbol terhadap pemahaman aliran Agama Islam serta fungsi untuk

(9)

139 jelaskan pada Sub Bab 3.7 yang mengenai langgar dhuwur, telah

menjelaskan bagaimana sehingga adanya konsep rancangan langgar dhuwur

yang memiliki suatu nilai terhadap kaitanya antara kehidupan manusia dan

Penciptanya. Dan juga sendangan yang sebagai pemandian para kalangan

kerajaan yang menjadi bentuk simbol pembersihan diri bagi para kalangan

kerajaan. Tetapi pada dewasa ini sudah beralih fungsi dengan adanya

pembukaan pemandian secara umum yang terorganisir oleh pengelolah dan

penjaga sandangan. Diketahui bahwa adanya suatu nilai yang bergeser pada

kebutuhan masyarakat bukan lagi hanya dalam keluarga kerajaan saja.

Tetapi terlepas dari itu semua masyarakat meyakini adanya nilai yang masi

tertanam dalam pemahaman yang konteksnya ialah pemandian sebagai

simbol pembersihan diri, maka dari itu Kotagede memang menyediakan

kekayaan pemahaman budaya yang berpengaruh terhadap ruang-ruang yang

tidak terlepas dari simbol-simbolnya, mau itu secara fisik maupun

non-fisik.

Secara keseluruhan yang dapat disimpulkan oleh peneliti mengenai

Kotagede sebagai Sejarah dan simbol, ialah bagaimana dilihat dari

keterkaitan antara ruang yang menjadi kekhas-an dan simbol yang menjadi

suatu penyatuan budaya yang telah ditinggalkan oleh para

leluhur-leluhurnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya pembentukan pola

ruang-ruangnya yang menempel pada simbol-simbol yang menjadi suatu

penyatuan budaya dan sejarahnya.

4.4. Kotagede sebagai Ruang Desa – Kota

(10)

140 milik warga. Penggunaan lahan dari setiap orang juga masih cukup luas, hal tersebut dibuktikan dengan adanya beberapa rumah yang masih memiliki pekarangan yang luas. Sehingga perbandingan lahan dengan manusia masih cukup besar di wilayah ini. Kemudian dari segi kepadatan dan kerapatan bangunan, antara satu bangunan dengan bangunan lainnya masih memiliki space yang luas. Selain masih ditemukannya beberapa lahan sawah, beberapa vegetasi seperti pohon kelapa dan pisang juga masih ditemukan di sekitar wilayah Kotagede Bantul. Jaringan jalan yang dimiliki juga cukup lebar, sekitar 2 hingga 5 meter dengan perkerasan yang beragam. Beberapa karakteristik yang dimiliki Kotagede Bantul tersebut sebagian besar menjelaskan ciri-ciri wilayah pedesaan. Sehingga dari beberapa karakteristik tersebut mencerminkan bahwa Kotagede Bantul lebih bersifat ke pedesaan.

Sedangkan pada wilayah Kotagede Yogyakarta, guna lahan didominasi oleh permukiman dan perdagangan. Jaringan jalan di wilayah ini juga cenderung sempit jika dibandingkan dengan Kotagede Bantul dan bahkan membentuk lorong kecil. Kepadatan bangunan yang ada di wilayah ini juga cukup tinggi dan jarak antara satu bangunan dengan bangunan lainnya lebih rapat jika dibandingkan dengan kondisi yang ada di wilayah Kotagede Bantul. Jenis vegetasi yang ada di Kotagede Yogyakarta juga tidak sebanyak yang ada di Kotagede Bantul. Selain itu mayoritas masyarakatnya bekerja dibidang perdagangan dan pengrajin perak. Beberapa karakteristik yang dimiliki Kotagede Yogyakarta ini sebagian besar memang menjelaskan ciri-ciri wilayah perkotaan. Oleh karena itu, beberapa karakteristik yang telah dijelaskan tersebut mencerminkan bahwa Kotagede Yogyakarta lebih bersifat ke perkotaan.

(11)

141 disebabkan karena semakin lama, para penduduk terus mendirikan bangunan-bangunan di setiap kapling tanah yang ada. Sehingga hal tersebut juga mempengaruhi kerapatan bangunan di wilayah tersebut. Jalan yang ada juga awalnya terbentuk dari kesadaran dan kebutuhan akses warga di setiap kapling. Oleh karena itu, kondisi lebar jalan dipengaruhi oleh kesadaran warganya dalam memberikan tanah yang dimiliki untuk pembuatan jalan.

Setelah Perjanjian Giyanti, mengakibatkan pembagian wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dimpimpin oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Pemecahan menjadi dua wilayah ini juga terjadi di Kotagede, yaitu Kotagede Surakarta atau biasa disingkat dengan Kotagede SKA yang masuk ke dalam administrasi Surakarta dan Kotagede Yogyakarta yang masuk dalam administrasi Yogyakarta. Mulai tahun 1953 (setelah kemerdekaan RI) Kotagede Surakarta berubah menjadi Kelurahan Jagalan yang masuk dalam administrasi Kabupaten Bantul dan tidak lagi menjadi wilayah administrasi Surakarta. Serta untuk Kotagede Yogyakarta, yaitu Kelurahan Prenggan dan Kelurahan Purbayan masuk ke dalam wilayah administrasi Kota Yogyakarta. Sehingga hal ini secara tidak langsung menjadi salah satu penyumbang pembentuk pola ruang di Kawasan Kotagede. Hal ini dikarenakan masyarakat yang tinggal di Kelurahan Jagalan dulunya merupakan warga Kasunanan Surakarta yang meskipun satu asal dengan Kasultanan Yogyakarta, namun pada dasarnya mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Meskipun ada perbedaan karakteristik, namun mereka tetap hidup rukun dan harmonis di Kawasan Kotagede.

(12)
(13)

143

BAB V

TEORISASI: KOTAGEDE SEBAGAI RUANG SEJARAH

YANG “DUALISTIK –

HARMONIS

Kotagede yang memiliki latar belakang sejarah sebagai ibukota Kerajaan Mataram Islam, dengan situs-situs sejarah yang masih terjaga dengan baik sebagai warisan (heritage) menjadikan Kotagede sebagai Kawasan Cagar Budaya yang sangat bernilai. Warisan tersebut tidak hanya berupa bangunan maupun benda pusaka, melainkan juga berupa pusaka budaya yang berupa tradisi dan nilai. Bangunan pusaka yang terdapat di Kawasan Kotagede seperti sisa-sisa keraton, benteng, cepuri, masjid, makam, pasar dan pemukiman kuno tidak hanya bernilai fisik namun memberikan pengaruh terhadap sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Kotagede.

Aktivitas dan keseharian masyarakat Kotagede masih mencerminkan adanya pengaruh dari latar belakang sejarah dan budaya. Simbol budaya seperti agama, kesenian dan filsafat yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Kotagede menunjukan bahwa nilai sejarah Kotagede masih melekat dalam sistem kehidupan masyarakat. Sejarah pembagian Kerajaan Mataram menjadi Ngayogyokarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat berdasarkan perjanjian Giyanti secara langsung maupun tidak langsung juga memberikan pengaruh terhadap tata kehidupan masyarakat, yang menyangkut sosial ekonomi, tradisi bahkan dalam hal pembagian wilayah administrasi.

(14)

144 adanya pergesekan dan bahkan memberikan warna dalam interaksi sosial masyarakat Kawasan Kotagede yang membentuk ruang komunikasi yang elastis.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan kajian teori dapat disimpulkan bahwa faktor yang menghambat penguasaan keterampilan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) guru