• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Sri Soemantri tentang Pembatas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemikiran Sri Soemantri tentang Pembatas"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Pemikiran Sri Soemantri tentang

Pembatasan-Pembatasan dalam Mengubah Undang-Undang Dasar:

Kontekstualisasi dengan Keberadaan Klausul yang Tak

dapat Diubah dalam UUD 1945 Pasca Amandemen

1

Abdurrachman Satrio2

Latar Belakang

Memperbincangkan pemikiran Sri Soemantri diantara deretan pemikir hukum Indonesia tentu saja tak dapat kita lepaskan dari hukum tata negara, khususnya hukum

konstitusi. Betapa tidak, sebab beliau merupakan seorang pejuang konstitusi par

excellence yang sepanjang hayatnya selalu ikut serta memperjuangkan perkembangan konstitusi Indonesia, hal itu dapat kita lihat dalam keikutsertaannya sebagai anggota termuda Konstituante yang bertugas menyusun konstitusi baru bagi Indonesia antara tahun 1955-1959 dan juga dalam keikutsertaannya sebagai Ketua Komisi Konstitusi dalam

amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada tahun 1999-2002.3 Bahkan apabila

tak cukup, selain berkontribusi secara praktik dalam keikutsertaannya menyusun konstitusi bagi Indonesia di kedua momen tersebut, beliau juga ikut serta berkontribusi secara keilmuwan dalam perkembangan teoritis mengenai kajian konstitusi Indonesia,

ak i elalui pe elitia dise tasi a pada tahu e judul Pe sepsi Te hadap

Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar

a g ke udia e jadi masterpiece beliau dan menjadi sebuah buku wajib bagi mahasiswa-mahasiswa fakultas hukum di Indonesia. Melalui disertasinya tersebut, beliau memperkenalkan banyak pemahaman baru saat itu mengenai bagaimana seharusnya prosedur serta sistem perubahan konstitusi dalam UUD 1945 dijalankan yang kemudian hal ini mempengaruhi banyak anggota MPR ketika mengubah UUD 1945 pada tahun 1999-2002.

Melalui tulisan ini sendiri penulis hendak membedah salah satu pemikiran beliau

mengenai perubahan atau amandemen konstitusi yang ada dalam disertasinya,4 yaitu

mengenai pembatasan-pembatasan dalam mengamandemen UUD 1945, yang kemudian pemikiran-pemikiran beliau mengenai pembatasan dalam mengamandemen UUD 1945 tersebut akan penulis coba kontekstualisasikan dengan keberadaan dari klausul yang tidak

1

Tulisan ini penulis persembahkan sebagai hadiah ulang tahun ke-90, bagi kakek sekaligus inspirasi penulis dalam mendalami Hukum Tata Negara, Prof. Dr. R.T. Sri Soemantri Martosoewignjo, S.H.

2

Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Unpad, mengambil program kekhususan Hukum Tata Negara.

3

Jelasnya dapat dibaca dalam buku biografi beliau. Lihat Purnama Kusumaningrat dan Hikmat Kusumaningrat,

Mengawal Konstitusi Pengabdian Seorang Guru Besar, Bandung: Unpad Press, 2006.

4

(2)

dapat diubah dalam UUD 1945 pasca amandemen. Mengingat bahwa sebelum adanya klausul yang tak dapat diubah dalam UUD 1945, beliau dalam disertasinya beranggapan jika bentuk pembatasan dalam mengamandemen konstitusi dicerminkan dengan keberadaan klausul yang tak dapat diubah, kini pasca amandemen terhadap UUD 1945 keberadaan klausul yang tak dapat diubah justru baru muncul di dalam UUD 1945. Oleh karena itulah melalui tulisan ini penulis mencoba mencari tahu seperti apa pemikiran seorang Sri Soemantri mengenai pembatasan dalam mengamandemen UUD 1945? Serta bagaimana relevansi pemikiran tersebut apabila dikontekstualisasikan dengan keberadaan klausul yang tak dapat diubah dalam UUD 1945 pasca amandemen?

Pembahasan

1. Pembatasan-Pembatasan dalam Mengubah Undang-Undang Dasar

Di mata Sri Soemantri, kewenangan MPR untuk mengubah UUD 1945 merupakan

se uah asalah huku a g e ga du g aspek politik ,5

mengapa demikian? Sebabnya meski wewenang MPR untuk mengubah UUD 1945 termasuk kedalam ruang lingkup

hukum tata negara dan hukum konstitusi Indonesia,6 namun beliau tidak menutup mata

bahwa kewenangan mengubah UUD 1945 amat erat kaitannya dengan ilmu politik, hal itu dapat dilihat dari kutipan yang diambil dari buku beliau berikut:

Telah diketahui, ah a e gu ah U da g-Undang Dasar merupakan

kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perkataan kekuasaan ini sama dengan

power dalam bahasa Inggris... kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam arti luas merupakan tindakan nyata dari kekuasaan negara... MPR sebagai pelaksana kekuasaan (dalam) negara dapat memaksa pihak lain untuk mematuhi keputusannya... Dengan demikian kekuasaan MPR untuk mengubah Undang-Undang Dasar juga merupakan bidang studi ilmu politik. Walaupun demikian, tinjauan yang dilakukan bukan bersumber pada peraturan-peraturannya, melainkan pada

perbuatan-perbuatannya atau tindakan-ti daka a. 7

Dikarenakan melihat kewenangan mengubah UUD 1945 sebagai kekuasaan yang dimiliki oleh MPR, maka tak salah jika kemudian Sri Soemantri menganggap bahwa kewenangan tersebut merupakan pelaksana dari kedaulatan rakyat. Pandangannya yang menganggap kewenangan mengubah UUD 1945 sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dalam disertasinya itu juga didasari oleh bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang pada masa

itu elu di a a de e da e ataka ah a Kedaulata adalah di ta ga ak at da dilakuka sepe uh a oleh Majelis Pe us a a ata ‘ak at. 8

5

Lihat Ibid., hlm. 177-179.

6

Beliau e gutip pe dapat da i O. Hood Phillips dala uku a Co stitutio al a d Ad i ist ati e La a g

e ataka ah a Mo e “pesifi all , o stitutio al la e a es that pa t of a ou t s la , hi h elates to

following topics, among others and the procedure (if any) for amending the constitution. Dala Ibid., hlm. 177.

7

Ibid., hlm. 178-179.

8

(3)

Meski beranggapan bahwa kewenangan mengubah UUD 1945 sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, namun beliau juga mempersoalkan mengenai perlunya pembatasan dalam mengubah UUD 1945, mengingat bahwa saat itu dalam UUD 1945 tidak terdapat larangan untuk mengubah bagian manapun dalam UUD 1945. Menurutnya dengan tidak adanya ketentuan yang melarang mengubah suatu bagian dalam UUD 1945, hal itu membuat dapat diubah atau tidaknya bagian-bagian tertentu dari UUD 1945 menjadi amat bergantung pada kekuatan-kekuatan politik yang terdapat dalam masyarakat dan

MPR.9 Dari situlah Sri Soemantri mempersoalkan mengenai dapat diubah atau tidaknya

beberapa ketentuan yang terdapat di UUD 1945 seperti bentuk pemerintahan, bentuk

negara, Pasal 29 ayat (2), dan Pembukaan UUD 1945, dengan alasan berikut:10

1. Masalah bentuk pemerintahan dan bentuk negara tak dapat dilepaskan dari

sejarah pergerakan nasional Indonesia. Bentuk pemerintahan republik maupun bentuk negara kesatuan ialah bagian-bagian dari tujuan kemerdekaan yang diperjuangkan bangsa Indonesia.

2. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 mengatur permasalahan agama dan kepercayaan

yang merupakan hasil musyawarah dari golongan Islam dan golongan kebangsaan.

3. Pembukaan UUD 1945 berisi dasar negara yakni Pancasila dan berasal dari

Piagam Jakarta, yang juga merupakan hasil musyawarah antara golongan Islam dan kebangsaan.

Lebih lanjut, Sri Soemantri beranggapan bahwa dapat diubah atau tidaknya suatu ketentuan yang ada di UUD 1945 hanya dapat diatur dalam Undang-Undang Dasar itu

sendiri, tidak oleh peraturan perundang-undangan lainnya,11 pandangannya tersebut

tentunya menunjukan bahwa menurutnya pembatasan dalam mengubah suatu konstitusi diwujudkan dengan adanya klausul yang dinyatakan tak dapat diubah didalamnya. Berpijak dari perspektif demikian maka kemudian Sri Soemantri dalam sebuah tulisannya

yang lain berjudul Sistem Perubahan Konstitusi dan Konsekuensi Penerapannya di

Indonesia yang ditulisnya sekitar tahun 1990-an menjelang sidang perubahan UUD 1945 menggagas agar dijadikannya Pembukaan UUD 1945 dan bentuk pemerintahan republik

sebagai klausul yang tak dapat diubah dalam UUD 1945.12

2. Keberadaan Klausul yang Tidak Dapat Diubah dalam UUD 1945 Pasca Amandemen Setelah amandemen terhadap UUD 1945 kini gagasan dari Sri Soemantri agar terdapat pembatasan untuk mengubah, yang diatur di dalamnya menjadi suatu kenyataan, dengan dijadikannya bentuk pemerintahan republik dan Pembukaan UUD

9

Ibid., hlm. 180-183.

10

Ibid., hlm. 184.

11

Pendapat demikian dinyatakan Sri Soemantri dalam disertasinya sebagai tanggapannya atas keberadaan Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah oleh siapapun juga termasuk MPR hasi pemilihan umum. Ibid., hlm. 195-201.

12

Dala tulisa a eliau e ataka ah a Le ih tepat lagi, apa ila ada a a de e a g e ataka ah a

(4)

1945 sebagai klausul yang tak dapat diubah. Hal itu dapat kita lihat dalam Pasal 37 UUD 1945 pasca amandemen yang menyatakan secara eksplisit bahwa khusus mengenai

bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan,13 serta

secara implisit bahwa perubahan hanya dapat dilakukan terhadap Pasal-Pasal saja tidak

kepada Pembukaan UUD 1945.14 Dengan dinyatakannya bentuk Negara Kesatuan

Republik Indonesia dan Pembukaan UUD 1945 sebagai ketentuan yang tak dapat diubahbukan berarti selesainya persoalan mengenai pembatasan dalam mengubah UUD 1945, justru hal itu menimbulkan permasalahan baru yakni, bagaimana jika suatu saat MPR tidak mengindahkan larangan mengubah kedua klausul tersebut dan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang substansinya bertentangan atau mengubah kedua klausul yang tak dapat diubah? Atau dapat saja MPR melakukan perubahan terlebih dahulu terhadap larangan mengubah kedua klausul tersebut baru setelah itu melakukan perubahan terhadapnya. Tentunya permasalahan-permasalahan di atas perlu untuk dijawab mengingat sampai saat ini UUD 1945 tidak memiliki jawaban terhadapnya. Selain itu menarik pula untuk mengetahui seperti apa pemikiran Sri Soemantri sebagai salah seorang yang pertama-tama menggagas dijadikannya kedua klausul tersebut sebagai klausul yang tidak dapat diubah untuk membatasi kekuasaan MPR mengubah UUD 1945 terhadap permasalahan-permasalahan di atas, apakah beliau memiliki jawaban jika suatu saat timbul permasalahan seperti yang dipertanyakan di atas? Maka dari itu guna menjawabnya kita harus mengetahui pula terlebih dahulu apa alasan yang melatarbelakangi adanya klausul yang tak dapat diubah dalam konstitusi atau undang-undang dasar.

A. Sejarah Keberadaan Klausul yang Tak Dapat Diubah

Pada dasarnya gagasan Sri Soemantri untuk mengadakan klausul yang tak dapat diubah dalam UUD 1945 bukanlah sesuatu yang baru, bahkan gagasannya dapat dikatakan dipengaruhi oleh keberadaan klausul semacamnya yang terdapat di

konstitusi-konstitusi negara lain,15 sebabnya keberadaan klausul yang tak dapat diubah tersebut

telah dikenal sejak lama dalam konstitusi-konstitusi yang ada di dunia. Tercatat sejak abad ke-18 klausul macam itu sudah terdapat dalam konstitusi dua wilayah bekas koloni Inggris yang nantinya menjadi negara bagian Amerika Serikat yaitu Konstitusi Delaware 1776 dan

Konstitusi New Jersey 1776.16 Lebih lanjut Amerika Serikat dan Perancis dua negara yang

banyak dianggap sebagai negara pelopor keberadaan konstitusi tertulis modern di dunia juga mengadopsi gagasan tersebut dalam konstitusinya, tercatat sejak dibentuknya pada

13

Lihat Pasal a at a g e ataka ah a Khusus e ge ai e tuk Negara Kesatuan Republik Indonesia

tidak dapat dilakuka pe u aha . 14

Ayat-ayat dalam Pasal 37 UUD 1945 hanya mengakomodir mekanisme perubahan pada pasal-pasal saja, padahal dalam Pasal II Aturan Tambahan dinyatakan bahwa UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal -pasal, sehingga dapat disimpulkan bahwa perubahan yang dapat dilakukan hanya terhadap pasal-pasal saja tidak kepada Pembukaan.

15

Hal ini dapat kita amati dari pandangannya mengenai pembatasan dalam mengubah suatu konstitusi, dima na beliau mencontohkan larangan mengubah bentuk pemerintahan republik Perancis sebagai bentuk pembatasan dalam mengamandemen konstitusi. Lihat Sri Soemantri, Loc. Cit., hlm. 181.

16

(5)

tahun 1787 Konstitusi Amerika Serikat dalam Article V-nya memiliki larangan secara eksplisit untuk tidak menghilangkan kedudukan negara bagian secara seimbang di Senat

tanpa persetujuan negara bagian terlebih dahulu.17 Sementara itu berbeda dengan

Amerika Serikat, Perancis sejak Konstitusi Republik Ketiga-nya yang dibentuk pada tahun 1875, sampai dengan Konstitusi Republik Keempat, dan Kelima-nya menjadikan bentuk

pemerintahan republik yang dianutnya sebagai klausul yang tak dapat diubah.18

Dalam perkembangannya saat ini pun keberadaan dari klausul yang tak dapat diubah dalam undang-undang dasar semakin lazim dimiliki oleh konstitusi-konstitusi yang ada di dunia, yang di dalamnya tercatat 53% (76 dari 103) konstitusi-konstitusi yang dibentuk antara tahun 1989-2013 memasukkan klausul tersebut. Dengan semakin lazimnya keberadaan klausul seperti diatas dalam konstitusi-konstitusi dunia, maka tak ayal lagi jika

saat ini hal itu dianggap sebagai tren universal dari konstitusi-konstitusi dunia.19

Meluasnya pengaruh keberadaan klausul seperti diatasmembuat saat ini terdapat banyak

istilah terhadap klausul tersebut, seperti unamendable provision, eternal clauses, dan

immutable principle namun menurut penulis dengan mengutip pendapat Yaniv Roznai

lebih tepat apabila klausul tersebut diistilahkan dengan unamendable provision,

mengingat dia tidak bersifat abadi (eternal) karena bagaimanapun juga meski ia dibentuk

guna membatasi kekuasaan untuk mengamandemen, namun ia tetap dapat diubah

melalui cara-cara yang sifatnya ekstra konstitusional.20Jadi dapat dikatakan bahwa

keberadaan suatu klausul yang tak dapat diubah tidak berarti ia menjadi kekal dan tak dapat diubah sama sekali, ia masih dapat diubah hanya saja tidak menggunakan cara-cara perubahan seperti biasanya.

B. Latar Belakang keberadaan Klausul yang Tak Dapat Diubah dalam UUD 1945 Lazimnya keberadaan dari klausul yang tak dapat diubah dalam suatu konstitusi menurut Roznai dilatar belakangi oleh kehendak untuk melindungi nilai-nilai esensial atau fundamental yang dianggap sebagai identitas suatu konstitusi dari perubahan terhadapnya, karena keberadaannya dianggap amat vital bagi eksistensi suatu konstitusi

17

Larangan dalam ArticleV Ko stitusi A e ika “e ikat e u i: Provided that no Amendment which may be made prior to the Year one thousand eight hundred and eight shall in any Manner affect the first and fourth Clauses in the Ninth section of the first Article (tidak berlaku lagi semenjak tahun 1808); and that no State without its Consent, shall be deprived of its equal Suffrage in the Senate. ; Pe jelasa e ge ai la a ga te se ut dapat

dilihat dalam Lester B. Orfield, The Amending of the Federal Constitution, Michigan: The University of Michigan Press, 1942, hlm. 83-84.

18

Article Ko stitusi ‘epu lik Keli a Pe a is : ...The Republican form of government shall not be the object of any amendment

19

Lihat Yaniv Roznai, Unconstitutional Constitutional Amendments: A Study of the Nature and Limits of Constitutional Amendment Power, London: Unpublished Dissertation, 2014, hlm. 28.

20

Me u ut ‘oz ai While unamendable provision serve as a mechanism for limiting the amendment power, they do not and cannot limit the primary constituent power. Even unamendable provisions are subject to change introduced by extra constitutional forces. Lihat Ya i ‘oz ai, Unamendability and The Genetic...., Op. Cit, hlm. 4; Bandingkan dengan pendapat Ulrich Preuss yang menyebutnya sebagai eternity clauses karena menurutnya

..unamendable stipulations of the constitution were designed to exist forever, which is why..is usually called the

(6)

dan negara.21Maka itulah keberadaan klausul yang tak dapat diubah (unamendable provision) memiliki kaitan yang erat dengan konsep identitas konstitusi. Mengapa

de ikia ? Hal itu dise a ka ka e a ide titas ko stitusi e upaka kode ge etik da i

suatu konstitusi yang membedakannya dengan konstitusi lainnya, dan apabila identitas ini

diganti akan mengakibatkan suatu konstitusi menjadi konstitusi yang berbeda.22 Sebagai

kode genetik dari suatu konstitusi yang membedakannya dengan konstitusi lainnya, tak bisa dipungkiri jika kemudian konsep identitas konstitusi ini meskipun berkembang namun

bersifat resisten terhadap sesuatu yang dapat menghancurkannya.23Dalam pada itulah

keberadaan dari klausul yang tak dapat diubah menjadi pembatas terhadap perubahan

yang dilakukan bagi identitas konstitusinya.24

Disebabkan oleh keberadaannya yang ditujukan untuk melindungi identitas konstitusi, maka tak terelakkan jika kemudian konten dari klausul yang tidak dapat diubah dalam konstitusi suatu negara menjadi berbeda-beda antara satu dan lainnya, karena hal yang dianggap sebagai identitas konstitusi tentunya saling berbeda antara satu konstitusi dan konstitusi lainnya tergantung dengan lembaran sejarah serta komitmen politik yang

menyertai perkembangannya.25 Sekalipun berbeda-beda, akan tetapi sebenarnya konten

dari masing-masing klausul yang tak dapat diubah sebagai pelindung identitas konstitusi suatu negara dapat dikelompokan lagi kedalam dua macam nilai, yang mana hal itu tertampak dari pandangan Dainius Zalimas Presiden Mahkamah Konstitusi (MK) Lithuania, yakni:26

Eternity clause may be used in order to safeguard two types of values, relevant to the nations constitutional identity. The first group is universal values, such as democracy, natural, and inaliable human rights and the rule of law. Another group is pa ti ula isti alues, efle ti g su h pa ti ula featu es of a atio s o stitutio al identity as federalism, the role of religion in agiven society, or certain principle concerning the division of power.

21

Lihat pendapat Yaniv Roznai yang menyatakan bahwa salah satu alasan dari keberadaan unamendable provision

ialah to preserve its own existence and identity. Presumably, constitution makers regarded the content of spesific

p o isio s to e so pi otal to the esse e of the o stitutio o to the state s e iste e a d ide tit that the

should endure for generations. Dala Ya i ‘oz ai, Unamendability and The Genetic ...., Loc. Cit., hlm. 4.

22

Lihat pe dapat Ya i ‘oz ai a g e ataka ah a The o stitutio al ide tit is the o stitutio ge eti

ode ...Cha gi g this ide tit ould esult i the fo atio of a e o stitution. Dala Ya i ‘oz ai, Toward Theory of Unamendability , Public Law & Legal Theory Research Paper Series Working Paper No. 15-12, New York University School of Law, May 2015, hlm. 33

23

Gary Jeffrey Jacobsohn, Contitutional Identity, Cambridge: Harvard University Press, 2010 hlm. 7.

24

Ibid., hlm. 6.

25

Me u ut Ja o soh Identity emerges dialogically and represents a mix of political aspirations and commitments

(7)

Berdasar dari pendapat Zalimas tersebut, jika kita meninjaunya dalam konteks Indonesia maka keberadaan klausul yang tidak dapat diubah di UUD 1945 akan masuk dalam kategori nilai yang kedua, sebabnya baik Pembukaan UUD 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) keduanya merupakan nilai yang sifatnya partikularistik dan mencerminkan identitas konstitusi asli bangsa Indonesia, hal itu pun dapat kita amati dari alasan yang melatarbelakangi mengapa kedua klausul tersebut dijadikan sebagai klausul yang tak dapat diubah dalam proses amandemen UUD 1945 yang berlangsung antara tahun 1999-2002. Untuk Pembukaan UUD 1945 alasannya ialah karena kedudukannya sebagai kontrak bernegara yang substansinya berupa cita-cita, filosofi, dan tujuan bernegara yang kemudian melandasi isi dari Pasal-Pasal UUD 1945, sehingga apabila ia diubah anggota-anggota MPR beranggapan sama saja dengan mengubah Negara Indonesia, karena itu Pembukaan dijadikan klausul yang tak dapat

diubah.27 Sedangkan mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia alasan yang

dikemukakan ialah karena ketentuan yang menyatakan Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan dan bentuk Pemerintahan Republik dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 merupakan prinsip dasarnya, yang apabila diubah sama saja dengan mengubah UUD 1945

menjadi konstitusi yang berbeda.28

Apabila dicermati, ternyata kedua alasan diatas memiliki kesesuaian dengan konsep identitas konstitusi yang dijabarkan Biljana Kostadinov seorang pakar hukum tata negara

asal Kroasia, menurutnya identitas konstitusi memiliki dua macam konsep. Pertama, ialah

identitas konstitusi yang berkaitan dengan identitas nasional suatu negara, identitas konstitusi ini merupakan suatu konsep yang bersifat psikologis dan sosiologis karena berkaitan dengan nilai-nilai kolektif yang menyatukan suatu bangsa atau negara, yang kemudian diciptakan atau diperkuat oleh konstitusi, beliau mencontohkan identitas konstitusi ini dengan pernyataan kemerdekaan suatu bangsa yang terdapat dalam

pembukaan konstitusinya. Kedua, ialah konsep identitas konstitusi yang bersifat legal dan

merupakan prinsip-prinsip konstitusi atau ketatanegaraan yang bersifat pokok, prinsip ini bersifat pokok karena bukan menentukan mengenai identitas bangsa atau budaya

melainkan konstitusi itu sendiri, contoh dari identitas konstitusi yang bersifat legal ini

dapat dilihat dari prinsip-prinsip yang menjadi struktur fundamental dalam satu konstitusi

dan membedakannya dengan konstitusi lainnya.29

Dari pendapat Kostadinov di atas apabila dielaborasikan dengan konteks Indonesia dapat dikatakan bahwa alasan yang melatarbelakangi Pembukaan UUD 1945 dijadikan sebagai klausul yang tidak dapat diubah. Haal ini disebabkan karena ia merupakan identitas konstitusi dalam konsep yang pertama yakni sebagai identitas nasional karena

27

Anggapan anggota-anggota MPR bahwa mengubah Pembukaan sama dengan mengubah Negara Indonesia ini dapat dilihat dalam Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Buku II tentang Sendi-Sendi Fundamental Negara), Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.

28

Hal ini dapat dilihat dari pendapat salah satu anggota MPR I Dewa Gde Palguna pada masa sidang perubahan UUD 1945 sehingga akhirnya rumusan tersebut melahirkan larangan mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih jelasnya lihat dalam Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Buku X tentang Perubahan UUD, Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan),Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hlm. 146-147.

29

(8)

substansinya yang berisi pernyataan kemerdekaan Indonesia sehingga ia dianggap sebagai nilai-nilai kolektif yang menyatukan suatu bangsa dan negara (dalam hal ini ialah Indonesia karena kedudukannya sebagai kontrak bernegara). Sementara itu sedangkan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk ke dalam identitas konstitusi dalam konsep yang kedua karena ia merupakan prinsip dasar dari UUD 1945 yang menentukan seperti apa struktur UUD 1945 terbentuk dan apabila diubah dianggap sama dengan mengganti UUD 1945 dengan konstitusi baru.

C. Permasalahan Apabila MPR Mengubah Kedua Klausul yang Tak Dapat Diubah dalam UUD 1945

Setelah diteliti lebih jauh ternyata ditemukan bahwa latar belakang Pembukaan UUD 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dijadikan sebagai klausul yang tak dapat diubah, disebabkan karena keduanya dianggap memiliki kedudukan yang fundamental sebagai identitas konstitusi Indonesia. Kemudian timbul permasalahan, bagaimana jika suatu saat MPR melakukan amandemen yang substansinya mengubah atau bertentangan dengan kedua klausul tersebut? permasalahan ini tentunya harus dijawab mengingat bahwa sampai saat ini UUD 1945 tidak memberi jawaban terhadapnya. Dalam pandangannya mengenai keberadaan klausul yang tidak dapat diubah, Sri Soemantri sebagai salah seorang yang menggagas dijadikannya kedua klausul tersebut sebagai klausul yang tidak dapat diubah. Dalam disertasinya dengan mengambil contoh keberadaan larangan mengubah bentuk pemerintahan republik dalam Konstitusi Perancis, Soemantri pernah berpendapat bahwa pembatasan tersebut merupakan sebuah pembatasan politik. Dikarenakan menurutnya meski ada pembatasan belum berarti tidak adanya kemungkinan mengubah semua bagian konstitusi. Seandainya sebagian besar kekuatan politik yang ada di rakyat Perancis dan partai politiknya menghendaki diubahnya

klausul yang dilarang untuk diubah hal itu dapat saja dilakukan.30

Pandangan Sri Soemantri demikian jika diterapkan untuk Indonesia saat ini terkesan amat realistis karena memang benar bahwa dapat diubah atau tidaknya Pembukaan UUD 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia ditentukan pada kehendak politik dari sebagian besar rakyat dan partai-partai politik di Indonesia, sehingga jika mereka memang menghendakinya perubahan tersebut dapat saja mereka lakukan baik itu melalui cara konstitusional lewat MPR sebagai lembaga yang berwenang mengubah UUD 1945, maupun melalui cara-cara lainnya diluar itu (ekstra konstitusional). Namun seperti telah dijelaskan sebelumnya mengingat begitu fundamentalnya substansi dari kedua klausul yang tidak dapat diubah tersebut, lebih tepat jika perubahan yang dilakukan dan substansinya bertentangan terhadap keduanya dilakukan oleh mayoritas kekuatan politikhanya melalui cara ekstra konstitusional (tidak melalui prosedur perubahan yang terdapat dalam konstitusi yakni oleh MPR). Alasannya mengubah klausul tersebut sama saja dengan mengubah prinsip-prinsip dasar dari sebuah konstitusi yang berarti sama saja dengan menggantinya menjadi konstitusi yang berbeda (bahkan mengubahnya menjadi

30

(9)

negara yang berbeda), padahal terdapat perbedaan antara mengubah konstitusi dengan mengganti konstitusi yang mana kewenangan MPR hanyalah mengubahnya bukan

menggantinya.31

Dalam pada itulah mengingat mengubah kedua klausul tersebut berimplikasi besar pada eksistensi UUD 1945, maka pandangan Sri Soemantri di atas apabila dikontekstualisasikan untuk keadaan saat ini dapat dikatakan masih belum mampu menjawab sebagian besar permasalahan yang timbul bilamana dalam praktiknya ternyata mayoritas kekuatan politik melalui MPR melakukan perubahan yang substansinya bertentangan dengan kedua klausul yang tak dapat diubah. Agar keberadaan klausul tersebut tidak menjadi macan kertas belaka yang eksistensinya amat bergantung pada kekuatan-kekuatan politik semata, mungkin perlu dilihat praktik yang saat ini banyak terjadi di negara-negara lain. Dikarenakan ternyata saat ini terdapat fenomena di banyak negara yang mana pengadilan konstitusinya menyatakan diri berwenang untuk menguji

konstitusionalitas amandemen yang dilakukan terhadap konstitusinya,32 tercatat

pengadilan konstitusi di beberapa negara seperti Turki, Jerman, India, Chile, Kolombia, dan Brazil menyatakan diri memiliki kewenangan tersebut bahkan tanpa didasari

kewenangan tersebut dalam konstitusinya.33

Salah satu sebab mengapa pengadilan konstitusi yang ada di beberapa negara di atas menyatakan diri berwenang menguji konstitusionalitas amandemen ialah untuk

melindungi keberadaan klausul yang tidak dapat diubah dalam konstitusinya.34 Contohnya

di Jerman dan Turki dimana Mahmakah Konstitusi di kedua negara tersebut meskipun oleh konstitusinya tak dinyatakan memiliki kewenangan menguji konstitusionalitas dari substansi amandemen terhadap konstitusinya (khusus MK Turki dalam konstitusinya hanya diberi kewenangan menguji prosedur dan tata cara amandemen saja). Akan tetapi, MK dikedua negara tersebut menyatakan diri dapat menguji konstitusionalitas substansi amandemen terhadap konstitusinya dengan dalih untuk melindungi klausul yang tidak

dapat diubah di dalamnya.35 Namun patut diingat bahwa MK di Turki dan Jerman meski

31

Perbedaan antara mengubah dengan mengganti ini dapat dilihat dalam pendapat Carl Schmitt yang menyatakan

The autho it to a e d the o stitutio g a ted o stitutio al legislatio , ea s that othe o stitutio al

provisions can substitute for individual or multiple ones. They may do so, however, only under the presupposition that the identity and continuity of the constitution as an entirety is preserved. This means the authority for constitutional amendment contain only the grant authority to undertake changes, additions, extensions, deletions, etc., in constitutional provisions that preserve the constitution itself. It is not the authority to establish a new

o stitutio . Dalam Carl Schmitt, Constitutional Theory (Translated by Jeffrey Seitzer), Durham and London: Duke University Press, 2008, hlm. 150.

32

Lihat Yaniv Roznai, Unconstitutional Constitutional Amendment (Migration and Success of Constitutional Idea) ,

The American Journal of Comparative Law, Vol. 61, 2013; Kemal Gozler, Judicial Review of Constitutional Amendment A Comparative Study, Bursa: Ekin Press, 2008; Aharon Barak, Unconstitutional Constitutional Amendment , Israel Law Review, Vol. 44: 321, 2011; Gabor Halmai, Unconstitutional Constitutional Amendments: Constitutional Court as Guardians of the Constitution? , Constellation Volume 19, Issue 2, 2012.

33

Khusus mengenai Turki di dalam konstitusinya diberikan kewenangan menguji konstitusionalitas amandemen, namun pengujian yang dilakukan hanya sebatas pengujian terhadap prosedur amandemen. Baca Kemal Gozler,

Op. Cit., hlm. 34-40.

34

Aharon Barak, Op. Cit., hlm. 333.

35

(10)

menyatakan diri memiliki kewenangan tersebut tanpa dinyatakan oleh konstitusinya, namun MK di kedua negara tersebut dapat menyatakan diri berwenang menguji konstitusionalitas amandemen disebabkan dalam konstitusi kedua negara tersebut, proses amandemen dilakukan melalui undang-undang yang secara khusus menyatakan

ketentuan yang akan diamandemen.36 Dari situlah kedua MK tersebut menafsirkan bahwa

mereka berwenang menguji konstitusionalitas amandemen karena hal itu termasuk yurisdiksi mereka dalam menguji undang-undang dengan menyamakan undang-undang mengenai perubahan konstitusi dengan undang-undang biasa.

Oleh sebab itulah jika hendak menerapkan gagasan memberi MK kewenangan menguji konstitusionalitas perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hal itu hanya mungkin dilakukan apabila kewenangan tersebut diberikan oleh UUD 1945 sendiri, hal itu pun telah sejak lama diingatkan oleh Sri Soemantri bahwa pembatasan terhadap kewenangan MPR mengubah UUD 1945 hanya mungkin diatur dalam UUD 1945 saja. Selain itu, perlu juga dilakukan banyak kajian lebih lanjut terhadap gagasan tersebut karena dalam praktiknya cukup banyak pula pendapat yang mengkritisinya, salah satu kritikan yang cukup berpengaruh ialah melalui pendapat yang menyatakan bahwa amandemen konstitusi merupakan pelaksana kedaulatan rakyat sehingga pelaksanaannya

tidak dapat dibatasi oleh pengadilan.37 Pendapat demikian pun hampir senada dengan

pandangan Sri Soemantri di dalam disertasinya yang menyatakan dalam konteks Indonesia bahwa kewenangan MPR mengubah UUD 1945 merupakan bentuk pengejawantahan kedaulatan rakyat. Hanya saja patut diingat bahwa pandangan Sri Soemantri demikian didasarkannya pada UUD 1945 sebelum amandemen yang masih menempatkan MPR sebagai pelaksana penuh kedaulatan rakyat. Kini pasca amandemen dengan dinyatakannya kedaulatan ialah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.38 Maka saat ini dapat dikatakan bahwa kedaulatan rakyat justru

terkejawantahkan melalui penegakan nilai-nilai yang ada di UUD 1945. Di sinilah gagasan untuk memberikan kewenangan bagi MK untuk menguji konstitusionalitas amandemen yang dilakukan MPR guna melindungi prinsip-prinsip fundamental UUD 1945 yang

1982 memiliki klausul yang melarang mengubah bentuk pemerintahan Republik serta pernyataan bahwa Turki merupakan negara demokrasi, sosialis, dan sekuler dalam konstitusinya. Dalam putusannya pada tahun 2008 MK Turki membatalkan amandemen yang dilakukan pada konstitusinya yang menjadi dasar dihapuskannya larangan menggunakan jilbab bagi pelajar wanita ketika memasuki sekolah, dengan alasan hal itu bertentangan dengan karakter sekuler Turki yang dilarang untuk diubah. Jelasnya baca Aharon Barak, Op. Cit, hlm. 325.

36

Lihat Pasal 79 (1) German Basic Law a g e ataka This Constitution can be amended only by statutes which expressly amend or suplement the text thereof. ; Lihat juga Pasal Constitution of the Republic of Turkey.

37

Pandangan ini dimunculkan oleh Mahkamah Agung Irlandia saat Amandemen ke 14 dari Konstitusi Irlandia Tahun 1937, amandemen ini digugat kepada Mahkamah Agung Irlandia karena dianggap bertentangan Amandemen ke-8 serta prinsip Natural Law yang dimiliki Konstitusi Irlandia, namun saat itu Mahkamah Agung Irlandia menolak

e guji a a de e te se ut de ga tegas da e ataka No organ of the State, including this Court, is competent to review or nullify a decision of the people . Na u patut dii gat ah a alasa e gapa Mahka ah

Agung Irlandia berargumen demikian sangat mungkin disebabkan karena proses amandemen Konstitsi di Irlandia yang mengikutsertakan rakyat melalui refrendum dalam proses penerimaannya. Selengkapnya dapat dilihat dalam Gabor Halmai, Op. Cit., hlm. 191; Gary Jeffrey Jacobsohn, An Unconstitutional Constitution? A Comparative Perspective , I t l J Co La , Vol. 4, No 3 (July 2006), hlm. 468-469.

38

(11)

terdapat dalam klausul yang tidak dapat diubah mungkin dapat menjadi jawaban guna melindungi keberadaannya.

Kesimpulan

Sejak lama Sri Soemantri menggagas perlunya pembatasan dalam mengubah UUD 1945 yang berupa larangan untuk mengubah dua klausul yang ada di dalamnya yakni Pembukaan UUD 1945 dan bentuk pemerintahan republik. Kini pasca amandemen gagasan yang dicita-citakannya terwujud dengan dijadikannya Pembukaan UUD 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai klausul yang tak dapat diubah dalam UUD 1945. Menurut beliau keberadaan klausul yang tidak dapat diubah seperti diatas merupakan sebuah pembatasan politik, sebab sekalipun dinyatakan tidak dapat diubah, eksistensi klausul tersebut dapat saja berakhir jika saja mayoritas kekuatan politik yang ada menghendakinya untuk diubah. Pandangan beliau mengenai eksistensi klausul yang tidak dapat diubah tersebut terkesan amat realistis karena bagaimanapun juga mayoritas kekuatan politik dapat saja mengubahnya jika berkehendak demikian. Namun menilik substansi kedua klausul tersebut yang ternyata mengandung identitas konstitusi Indonesia, agaknya akan lebih tepat jika perubahan terhadap kedua klausul tersebut oleh kehendak mayoritas kekuatan politik yang ada hanya dilakukan secara ekstra konstitusional saja, dan tidak melalui MPR mengingat kewenangan yang dimiliki MPR hanyalah mengubah UUD 1945 bukan menggantinya.

Oleh karena itulah mengingat pandangan beliau yang masih amat menggantungkan

eksistensi kedua klausul tersebut terhadap political will mayoritas kekuatan politik.

Tampaknya apabila dikontekstualisasi untuk saat ini hal itu belum mampu menjawab keseluruhan permasalahan yang timbul, terutama apabila MPR sebagai lembaga yang secara konstitusional berwenang mengubah UUD 1945 melakukan amandemen yang mengubah ataupun substansinya bertentangan dengan kedua klausul tersebut, dengan menengok praktik yang banyak dilakukan di negara-negara lain mungkin gagasan memberikan kewenangan bagi MK untuk menguji konstitusionalitas amandemen UUD 1945 dapat menjadi jawaban demi mencegah terdapatnya amandemen oleh MPR yang substansinya mengubah kedua klausul yang tidak dapat diubah.

Daftar Pustaka Buku

Carl Schmitt, Constitutional Theory diterjemahkan oleh Jeffrey Seitzer, Duke University

Press, Durham and London, 2008.

Gary Jeffrey Jacobsohn, Contitutional Identity, Harvard University Press, Cambridge, 2010.

Purnama Kusumaningrat dan Hikmat Kusumaningrat, Mengawal Konstitusi Pengabdian

Seorang Guru Besar, Unpad Press, Bandung, 2006.

Kemal Gozler, Judicial Review of Constitutional Amendment A Comparative Study, Ekin

Press, Bursa, 2008.

(12)

Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014.

---, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, PT Alumni, Bandung, 2006 (Edisi

Kedua).

Tim Penyusun, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (Buku II tentang Sendi-Sendi Fundamental Negara), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010.

---, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (Buku X tentang Perubahan UUD, Aturan Peralihan, dan Aturan Tambahan), Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010.

Jurnal, Makalah, Artikel

Aha o Ba ak, U o stitutio al Co stitutio al A e d e t , Israel Law Review, Vol. 44: 321, 2011.

Bilja a Kostadi o , Co stitutio al Ide tit , Iustinianus Primus Law Review, Vol. 3:1, 2012.

Ga o Hal ai, U o stitutio al Co stitutional Amendments: Constitutional Court as

Gua dia s of the Co stitutio ? , Constellation, Volume 19, Issue 2, 2012.

Ga Jeff e Ja o soh , A U o stitutio al Co stitutio ? A Co pa ati e Pe spe ti e ,

International Journal of Constitutional Law, Vol. 4, No 3 (July 2006).

Ul i h P euss, The I pli atio of Ete it Clause i Ge a , Israel Law Review, Vol. 44: 429, 2011.

Ya i ‘oz ai, U a e da ilit a d Co stitutio Ge eti Code , European Review of Public Law (Forthcoming), 2015.

---, Unconstitutional Constitutional Amendments: A Study of the Nature and Limits

of Co stitutio al A e d e t Po e , London School of Economic and Political Science: Unpublished Dissertation, 2014.

---, To a d Theo of U a e da ilit , Public Law & Legal Theory Research Paper

Series Working Paper No. 15-12, New York University School of Law, May 2015.

---, U o stitutio al Co stitutio al A e d e t Mig atio a d “u ess of

Co stitutio al Idea , The American Journal of Comparative Law, Vol. 61, 2013.

SumberLain

Dainius Zalimas, Eternity Clause: a Safeguard of Democratic Order and Constitutional

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa pokokkebijakan ekonomi makro yang akan dilaksanakan dalam tahun 2005 mencakup; (l) memaksimalkan implemeqtasi Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2003 tentang Paket

[r]

[r]

[r]

With test impact analysis, as you make code changes, you can view which tests are impacted by the code change — not just unit tests, but even manual tests that have been

Jika berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan

Melihat pentingnya bimbingan pranikah bagi calon pengantin maka Kantor Urusan Agama Kecamatan Weleri perlu melakukan usaha-usaha yang dapat meningkatkan pelaksanaan

Kepadatan, volume, dan motilitas sperma perlakuan ECJ dan 17α -metiltestosteron lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (p<0,05) pada minggu ke-8, namun kadar spermatokrit