• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENUMPANG MOBIL PRIBADI SEBAGAI ANGKUTAN UMUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENUMPANG MOBIL PRIBADI SEBAGAI ANGKUTAN UMUM"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PENUMPANG MOBIL PRIBADI SEBAGAI ANGKUTAN UMUM

Oleh

ADAM TIANSYAH

Transportasi sangat diperlukan oleh setiap manusia baik secara pribadi maupun berkelompok untuk membantu aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Transportasi darat dapat menggunakan berbagai jenis kendaraan roda empat milik pribadi ataupun angkutan umum. Kendaraan roda empat yang digunakan sebagai angkutan umum harus memiliki izin usaha, izin operasional, izin trayek dan izin uji kelayakan dari kendaraan, hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 UULLAJ dan juga diatur dalam buku I Bab V bagian 2 dan 3 Pasal 90 sampai dengan 98 KUHD. Ketentuan yang terdapat dalam KUHD bersifat Lex Generalis. Selain itu, adanya perbedaan yang signifikan dalam hal tanggungjawab oleh pengusaha mobil pribadi sebagai angkutan umum dan resmi jika mengalami kecelakaan lalu lintas ataupun wanprestasi. Oleh karena itu akan diteliti terkait proses melegalitaskan usaha, penyelenggaraan, serta tanggungjawab para pengusaha mobil pribadi sebagai angkutan umum dalam melakukan kegiatan usaha pengangkutan

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian normatif dengan tipe penelitian yang bersifat deskriptif. Pendekatan masalah dilakukan melalui pendekatan normatif terapan dengan tipe live-case study. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, studi dokumen serta wawancara. Pengolahan data dilakukan melalui identifikasi data dan sistematika data. Data yang telah diperoleh dan diolah kemudian dianalisis secara kualitatif.

(2)

sebagai angkutan umum tidak melegalkan usahanya sehingga tidak adanya kekuatan hukum dalam mengatur tanggungjawab para pengusaha mobil pribadi yang digunakan sebagai angkutan umum jika terjadi kecelakaan lalu lintas maupun wanprestasi. Dalam hal ini mereka juga melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 48 Ayat 1 sampai 3 Tentang Kelayakan Kendaraan Untuk Beroperasi dan Pasal 237 UULLAJ Tentang Keasuransian Penumpang. (3) Namun, secara umum sesuai dengan Pasal 1365 KUHPdt perjanjian yang diadakan oleh pengusaha dengan penumpang dapat mengikat walaupun dilakukan secara lisan. Sehingga walaupun penumpang tidak dapat mengklaim asuransi kepada Jasa Raharja, penumpang tetap dapat mengklaim tanggungjawab kepada pengusaha kendaraan mobil pribadi sebagai angkutan umum.

(3)

A. Latar Belakang

Transportasi merupakan sarana yang dibutuhkan banyak orang sejak jaman dahulu dalam melaksanakan kegiatannya yang diwujudkan dalam bentuk angkutan. Pengangkutan terbagi dalam dua hal, yaitu pengangkutan orang dan/atau barang yang peruntukannya untuk umum atau pribadi. Mengenai jalurnya bisa melalui udara seperti pesawat terbang, laut atau perairan seperti kapal atau perahu, dan darat seperti mobil, pedati dan sebagainya. Kegiatan dari transportasi memindahkan barang (commodity of goods) dan penumpang dari satu tempat (origin atauport of call) ke tempat lain atauport of destination, maka dengan demikian pengangkut menghasilkan jasa angkutan atau dengan kata lain produksi jasa bagi masyarakat yang membutuhkan sangat bermanfaat untuk pemindahan/ pengiriman barang-barangnya.

(4)

dikarenakan dapat kita jumpai bentuk perlindungan untuk penumpang yang tertulis di dalam tiket jika angkutan yang ia tumpangi mengalami kecelakaan lalu lintas. Bentuk perlindungan biasanya berupa ganti kerugian yang timbul akibat kecelakaan oleh pihak asuransi yang bekerja sama dengan perusahaan angkutan tersebut. Bentuk perjanjian ini sering terjadi dalam angkutan luar daerah baik darat, laut, maupun udara.

Dalam perjalanannya pengangkutan darat dengan kendaraan bermotor mulai dipergunakan untuk pelayanan umum selain digunakan untuk pribadi. Angkutan umum untuk kendaraan beroda empat di darat seperti bis kota atau antar kota/ pulau, travel, taksi, angguna (angkutan serba guna), angkudes (angkutan pedesaan), dan sebagainya mulai banyak terjadi dengan waktu. Hal ini diatur oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang lalu lintas angkutan jalan (UULLAJ). Hal tersebut diatur dalam izin trayek, izin usaha angkutan, izin operasional, kelayakan angkutan umum beserta persyaratan lain yang ditentukan.

(5)

hitam tidak seharusnya dipergunakan sebagai angkutan umum akan tetapi sebagai angkutan pribadi sesuai dengan ketentuan UULLAJ. Banyaknya mobil pribadi sebagai angkutan umum dari hari ke hari mengakibatkan persaingan tidak sehat dengan angkutan umum resmi. Di pihak angkutan umum resmi, kendaraan yang menggunakan pelat berwarna hitam dianggap melakukan penyerobotan yaitu mengambil bagian rezeki atau penumpang yang seharusnya didapat oleh angkutan umum resmi.

Selain itu mobil pribadi sebagai angkutan umum dapat menerapkan tarif angkutan sendiri terhadap penumpang karena tidak mengacu pada ketentuan tarif yang ditentukan oleh UULLAJ. Ketentuan tarif hanya berlaku bagi angkutan umum resmi berpelat kuning. Ditambah lagi penumpang tidak dijamin dengan asuransi jiwa, hal ini dapat merugikan penumpang sebagai konsumen. Konsumen adalah setiap pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga dan tidak mengambil untuk memproduksi barang atau jasa lain atau memperdagangkannya kembali. Mobil pribadi yang dijadikan angkutan umum cenderung tidak membayar retribusi, tidak masuk terminal dan tidak menggunakan jasa pelayanan uji kendaraan. Mereka tidak mempunyai aturan dalam soal itu, sehingga pemerintah dirugikan. Jika semuanya memenuhi aturan, dana yang mungkin diperoleh pemerintah cukup besar. Ditambah lagi daya jelajah kendaraan yang bisa masuk kota dan pelosok yang tidak bisa dimasuki angkutan umum resmi.

(6)

sebagian contoh pada trayek Bakauheni –Tanjung Karang, mobil pribadi sebagai angkutan umum yang disebut sebagai taksi gelap oleh masyarakat sering dipergunakan sebagai dengan modus mobil rental atau mobil carteran sehingga mereka terlepas dari permasalahan administrasi.

Jumlah mobil pribadi yang digunakan sebagai angkutan umum pun sangat sulit di data karena dalam praktiknya seorang pengusaha mobil pribadi dapat menggunakan dua mobil yang berbeda pada hari yang sama. Hal ini dikarenakan agar para petugas yang berwenang sulit untuk mengidentifikasi sehingga para pengusaha tidak tertangkap.

Di lain pihak, konsumen pun sering menjadi pihak yang lemah dalam memilih travel yang ingin mereka gunakan untuk mencapai tempat tujuan. Hal ini dimungkinkan karena kurangnya pengetahuan para penumpang mengenai perlindungan terhadap penumpang angkutan umum jika terjadi kecelakaan lalu lintas ataupun wanprestasi dalam mencapai tujuan. Penumpang sering di arahkan secara paksa oleh oknum mobil pribadi yang dijadikan sebagai angkutan umum sehingga para penumpang tidak dapat menolak untuk menaiki mobil yang beroperasi secara ilegal.

(7)

Melihat dari pemaparan diatas, maka kita dapat melihat betapa rancunya praktik dalam dunia pengangkutan darat. Namun keberanian para pengusaha mobil pribadi sebagai angkutan umum untuk beroperasi melayani jalur-jalur umum dan turun ke jalan karena banyak diantaranya dibantu oleh oknum petugas itu sendiri dalam pelaksanaannya secara nyata. Tidak jarang pula awak atau pengusaha dari mobil pribadi sebagai angkutan umum memberikan semacam imbalan kepada oknum petugas lalu lintas dan angkutan jalan agar mereka dapat mulus beroperasi di jalan tanpa hambatan apapun.

Berdasarkan uraian di atas, maka penyaji sangat tertarik utntuk meneliti dan mengkaji tentang bagaimana norma dan aturan mengenai kendaraan mobil pribadi yang dijadikan bagian dari angkutan umum dalam praktiknya yang berjalan secara diam-diam namun umum di praktik kesehariannya, dalam bentuk skripsi dengan judul : “Perlindungan Konsumen Terhadap Pengusaha Mobil Pribadi Sebagai Angkutan Umum

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah syarat dan prosedur perizinan pendiriantravel?

2. Bagaimanakah penyelenggaraan mobil pribadi yang digunakan Sebagai Angkutan Umum?

(8)

C. Tujuan Penelitian :

Berdasarkan rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi lengkap, rinci, dan sistematis tentang:

1. Syarat dan perosedur perizinan dalam mendirikan usahatravel;

2. Penyelenggaraan mobil pribadi yang digunakan sebagai angkutan umum; 3. Perlindungan konsumen mobil pribadi yang digunakan sebagai angkutan

umum;

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penilitian ini adalah :

1. Kegunaan Teoritis

a. Sebagai sumbangan dalam konteks pemikiran dan pengetahuan ilmu hukum, khususnya hukum pengangkutan niaga yang dilihat dari pelaksanaan praktek mobil pribadi yang digunakan sebagai angkutan umum;

b. Sebagai sumber informasi dan pemberdaharaan karya ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dalam hal praktek pengangkutan darat.

2. Kegunaan Praktis

a. Sebagai media pelatihan dan pengembangan wawasan penulis khususnya mengenai praktik pengangkutan darat;

(9)
(10)

A. Hukum Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi, yang ditunjang dengan perkembangan zaman dan kemajuan tekhnologi. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.

(11)

Halim Barkatullah1, posisi konsumen yang lemah ini didasarkan beberapa argumentasi, yaitu:

a. Dalam masyarakat modern, menawarkan berbagai jenis produk baru dari hasil kemajuan tekhnologi dan manajemen. Barang-barang diproduksi secara masal.

b. Terdapat perubahan – perubahan mendasar dalam pasar konsumen, dimana konsumen sering tidak mendapat posisi tawar untuk melakukan evaluasi yang memadai terhadap produk barang dan jasa yang diterimanya. Konsumen hampir – hampir tidak dapat diharapkan memahami sepenuhnya penggunaan produk–produk canggih yang tersedia.

c. Metode pengiklanan modern melakukan disinformasi kepada konsumen dari pada memberikan informasi secara objektif.

d. Pada dasarnya konsumen berada dalam posisi tawar yang tidak seimbang, karena kesulitan dalam memperoleh informasi yang memadai.

e. Gagasan paternalism melatar belakangi lahirnya undang–undang perlindungan hukum bagi konsumen, dimana terdapat rasa tidak percaya terhadap kemampuan konsumen melindungi diri sendiri akibat resiko keuangan yang dapat diperkirakan atau resiko kerugian fisik.

Menurut Troelstrup dalam buku Abdul Halim Barkatullah2, posisi tawar menawar yang lemah bagi konsumen disebabkan oleh:

a. Terdapat lebih banyak produk, merk, dan cara penjualannya; 1

Abdul Halim Barkatullah, 2004, Hukum Pengangkutan Darat dan Udara Sinar Grafika, Bandung, hal. 45

2Ibid

(12)

b. Daya beli konsumen semakin meningkat;

c. Lebih banyak merk yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui oleh semua orang;

d. Model–model produk lebih cepat berubah;

e. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam–macam;

f. Iklan yang menyesatkan;

g. Wanprestasi oleh.

Lemahnya posisi tawar menawar dari konsumen menyebabkan hukum perlindungan konsumen menjadi penting. Sebagai bentuk perlindungan bagi konsumen dibentuklah Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Perlindungan konsumen merupakan masalah bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterikatan dan saling ketergantungan antara konsumen, dan pemerintah3.

Penjelasan undang-undang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimasudkan untuk mematikan usaha para tetapi justru sebaliknya. Sebab perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapai saingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.

3

(13)

Pasal 1 Angka 1 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan:

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pengertian mengenai perlindungan konsumen juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 merupakan peraturan pelaksana dari Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pengertian perlindungan konsumen juga terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan yang terdapat Peraturan Pemerintahan Nomor 58 Tahun 2001 adalah sama, perlindungan konsumen adalah upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Perlindungan hukum terhadap konsumen adalah segala upaya hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam memberi perlindungan hukum kepada konsumen. Perlindungan hukum terhadap konsumen menjadi penting manakala hak konsumen dilanggar dan tidak memenuhi kewajibannya.

2. Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen mempunyai tujuan untuk melindungi konsumen secara langsung dan pelaku usaha secara tidak langsung. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa Perlindungan konsumen bertujuan:

(14)

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

e. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

f. Menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; g. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

(15)

Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

1. Asas manfaat;

dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan secara keseluruhan.

2. Asas keadilan;

dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan;

dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen;

dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan kenyamanan kepada penumpang dalam menggunakan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum;

(16)

Kelima asas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bila diperhatikan substansinya dapat dikelompokkan menjadi tiga asas yang berlaku antara lain:

1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen ataupun penumpang.

2. Asas keadilan yang meliputi asas keseimbangan. 3. Asas kepastian hukum.

Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi.

Adanya hukum perlindungan konsumen dengan Undang–Undang Perlindungan Konsumen menjaminan kepada konsumen berupa kepastian hukum atas perlindungan konsumen. Hal tersebut dikarenakan kedudukan konsumen lebih lemah dibandingkan dengan pelaku usaha. Hukum perlindungan konsumen dapat dijadikan sarana pendidikan baik itu secara langsung maupun tidak langsung, baik bagi konsumen maupun sehingga apa yang menjadi tujuan hukum perlindungan konsumen dapat tercapai.

(17)

dalam memilih dan menggunakan produk/jasa yang diberikan oleh para pelaku usaha.

B. Hukum Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Perjanjian adalah satu bentuk peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau keduanya berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sesuatu hal yang

harus dilaksanakan dinamakan “prestasi”, yang dapat berupa: a. Menyerahkan suatu barang,

b. Melakukan suatu perbuatan, atau c. Tidak melakukan suatu perbuatan

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan suatu perikatan. Memang perikatan itu paling banyak oleh suatu perjanjian, tetapi juga ada sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber-sumber lain ini tercangkup dengan nama undang-undang. Jadi ada perikatan yang lahir dari

“perjanjian” dan ada perikatan yang lahir dari “undang-undang”.

Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang/pihak, dimana orang/pihak mempunyai hak untuk menuntut sesuatu hal dari pihak lain, sedangkan orang atau pihak lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.

(18)

2. Bentuk Perjanjian

KUH perdata memberikan kebebasan kepada pihak-pihak apakah membuat kontrak secara tertulis atau lisan. Baik tertulis maupun lisan mengikat asalkan memenuhi syarat yang diatur dalam pasal 1320 KUHPdt. Jadi, kontrak tidak harus dibuat secara tertulis. Kontrak lisan di dalam bisnis disukai karena jika terjadi sengketa sulit dijadikan sebagai alat bukti. Pembuktian kontrak lisan dapat dilakukan dengan saksi-saksi. Para saksi adalah manusia yang tak luput dari lupa, sifat yang tidak jujur, atau meninggal dunia.

Namun terdapat beberapa macam kontrak tertentu yang wajib dibuat secara tertulis. Kewajiban demikian ditentukan dalam perundang-undang. Misalnya, transaksi atas tanah (jual beli, hibah, tukar, menukar, dan sebagainya) harus dibuat secara tertulis di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan ketentuan hukum agraria yang berlaku.

(19)

C. Hukum Pengangkutan Niaga

1. Terjadinya perjanjian pengangkutan

Pengaturan mengenai pengangkutan darat dengan kendaraan bermotor terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, selain itu juga diatur dalam Buku I Bab V Bagian 2 dan 3 Pasal 90 s/d Pasal 98 Kitab Undang -Undang Hukum Dagang (KUHD). Ketentuan yang terdapat dalam KUHD bersifat Lex Generalis, artinya berlaku umum untuk semua jenis pengangkutan darat dengan kendaraan bermotor.

Untuk terjadinya pengangkutan terlebih dahulu diperlukan adanya perjanjian. Perjanjian pengangkutan orang tidak diatur secara jelas dalam undang - undang (UU). Namun secara umum perjanjian telah diatur dalam Bab I s/d Bab III Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) yaitu tentang perikatan. Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPdt adalah sebagai berikut:”Perjanjian adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang lain atau lebih”.

(20)

prestasi yang diberikan oleh pengangkut. Kewajiban dan hak yang diberikan secara timbal balik sesuai dengan Pasal 186 UULLAJ, yang berbunyi:

“Pengusaha angkutan umum wajib mengangkut orang dan/atau barang, setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh penumpang dan/ataupengirim barang.”

Agar supaya perjanjian mengikat kedua belah pihak maka terlebih dahulu diperlukan adaanya syarat sahnya perjanjian seperti tercantum dalam Pasal 1320 KUHPdt, antara lain:

Pengangkut dan penumpang sepakat mereka mengikatkan diri. Hal ini berarti baik pengangkut maupun penumpang mempunyai kemampuan yang bebas untuk mengikatkan diri. Kesepakatan ini dapat dilakukan secara tegas yaitu dengan tertulis ataupun lisan dan kesepakatan diam-diam. Kesepakatan ini dilakukan secara tulus, dalam arti kesepakatan ini terjadi bukan karena adanya suatu paksaan, ancaman, ataupun penipuan. Kesepakatan secara diam-diam ini cukup ditindak lanjuti dengan adanya suatu tindakan.

Hal dapat dibuktikan dalam praktek pengangkutan penumpang, pengangkut (dalam hal ini yang dilakukan oleh pengemudi) dan penumpang tidak perlu menyatakan secara lisan adanya persetujuan kehendak bahwa telah terjadi perjanjian pengangkutan. Penumpang cukup melakukan tindakan yaitu naik ke dalam angkutan dan pengangkut akan mengangkut penumpang sampai di tempat tujuan dengan selamat dan penumpang akan membayar biaya angkutan sesuai dengan tarif yang ditentukan.

(21)

bawah curatele, maka perjanjian tetap sah, namun dapat dibatalkan oleh orang tua atau walinya. Misalnya saja yang terjadi pada praktek pengangkutan orang bahwa anak-anak dapat membuat perjanjian pengangkutan menurut kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Perjanjian yang dibuat antara pengangkut dengan anak-anak tetap sah, selama tidak ada pembatalan yang dilakukan oleh orang tua atau walinya. Hal ini sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam Pasal 3 UULLAJ dan fungsi pengangkutan itu sendiri yaitu memberikan nilai guna bagi semua lapisan masyarakat yang mempergunakan jasa pengangkutan.

Suatu sebab tertentu, perjanjian suatu sebab tertentu dan obyek perjanjian harus diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak. Kaitannya dengan perjanjian pengangkutan, maka obyek perjanjian atau prestasi di sini adalah pengangkut menyelenggarakan pengangkutan bagi penumpang dengan selamat sampai di tempat tujuan dan penumpang membayar ongkos angkutan pada waktu naik atau turun dari angkutan.

Suatu sebab yang halal, dalam arti bahwa pengangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak dilarang oleh UU, baik itu menyangkut tujuan dan fungsi pengangkutan itu sendiri.

(22)

adanya perjanjian penangkutan, tidak adanya karcis penumpang perjanjian pengangkutan tidak akan batal.4

Mengenai kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan dianggap sebagai hukum perdata yang tidak tertulis, yaitu perbuatan yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. berupa kewajiban sebagaimana seharusnya pihak-pihak harus berbuat; b. tidak bertentangan dengan UU atau kepatutan;

c. diterima oleh pihak-pihak karena adil dan masuk akal (logis); d. menuju pada akibat hukum yang dikehendaki oleh para pihak.5

Adapun contoh lain yang berlaku sebagai kebiasaan dalam praktek pengangkutan diantaranya adalah mengenai tempat pemberhentian angkutan. Dalam pasal 9 ayat (1) UULLAJ jo. Pasal 1 butir 11 PP No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan ditetapkan bahwa terminal merupakan sarana transportasi jalan untuk memuat dan menurunkan penumpang. Namun jika ada penumpang yang turun atau naik bukan di terminal maka hal itu dianggap naik dan turun di terminal dan biaya angkutan dibayar penuh.

Dengan ditentukannya kebiasaan yang berlaku dalam praktek pengangkutan dan telah terpenuhinya syarat sahnya suatu perjanjian, maka hal dianggap telah terjadi perjanjian pengangkutan. Mengenai segala akibat hukum yang timbul dari perjanjian yaitu kewajiban dan hak para pihak akan mengikat kedua belah pihak baik pengangkut maupun penumpang. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 1338 4

Purwosutjipto, 1995,Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 3 Hukum Pengangkutan, Djambatan, Jakarta, hal. 10.

5

(23)

KUHPdt, dimana “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU

bagi mereka yang membuatnya”.

Yang menjadi inti dalam suatu pengangkutan khususnya pengangkutan orang pengangkutannya adalah suatu perjanjian antara pengangkut dengan penumpang yang menggunakan suatu perjanjian timbal balik dalam bentuk karcis yang dibeli oleh penumpang sesuai dalam Pasal 43 Ayat (2) UULLAJ menyatakan bahwa karcis penumpang merupakan bukti terjadinya pengangkutan dan pembayaran biaya angkutan.

2. Asas yang berlaku dalam pengangkutan

Asas hukum merupakan obyek kajian yang berupa landasan filosofis (fundamental form) dan menjadi dasar ketentuan mengenai penangkutan yang menyatakan kebenaran, keadilan dan kepatutan yang berlaku dalam pengangkutan. Asas yang berlaku dalam pengangkutan adalah asas yang bersifat publik dan asas yang bersifat perdata.

(24)

yang bersifat perdata merupakan landasan hukum yang hanya berlaku bagi para pihak yang telah membuat perjanjian pengangkutan yaitu pengangkut dan penumpang. Asas yang bersifat perdata ini didasarkan pada Pasal 186 UULLAJ yakni: Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang.

Berdasarkan pasal, maka asas yang terdapat pada asas hukum perdata antara lain: asas konsensus, koordinatif, asas pelayanan berkala (melakukan pekerjaan), pembuktian dengan dokumentasi dan retensi. Dalam asas konsensus, pengangkutan orang tidak diisyaratkan dengan adanya perjanjian secara tertulis, cukup adanya kesepakatan para pihak, maka perjanjian sudah ada dan mengikat para pihak. Kesepakatan yang terjadi biasanya dilakukan secara diam-diam dan cukup ditindak lanjuti dengan suatu perbuatan.

(25)

Asas pembuktian dokumen, setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen. Dokumen merupakan tanda bukti adanya perjanjian pengangkutan, kecuali jika ditentukan kebiasaan yang berlaku umum. Misalnya yang terjadi pada angkutan umum travel dimana untuk tanda bukti adanya perjanjian tidak diterbitkan karcis penumpang.

Asas retensi yaitu bahwa pengangkut tidak mempunyai hak untuk menahan barang angkutan bila penerima tidak membayar angkutan. Asas ini tidak berlaku pada pengangkutan orang karena tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan pengangkutan itu sendiri. Berdasarkan penjelasan asas yang bersifat perdata merupakan asas hukum yang berlaku umum pada pengangkutan, kecuali ditentukan lain. Dimana dalam pengangkutan dikenal juga kebiasaan yang berlaku, khususnya pada angkutan penumpang dan kebiasaan itu dianggap sebagai hukum perdata tidak tertulis.

Dalam asas hukum yang berupa kajian filosofis, pengangkutan itu memang diperuntukan bagi masyarakat umum, sehingga harus mengutamakan pelayanan dan keamanan yang berdasarkan asas keterpaduan dimana kedudukan antara pengangkut dan penumpang itu sejajar dan bersifat koordinasi.

(26)

3. Para pihak dan hubungan hukum dalam perjanjian pengangkutan dengan angkutan umum

Sebelum membicarakan mengenai hubungan hukum, maka terlebih dahulu perlu diketahui para pihak yang terkait dalam pengangkutan. Mengenai para pihak ini dapat dikemukakan bahwa ada tiga pihak yang terkait, yaitu pengusaha angkutan, pengemudi dan penumpang. Pada dasarnya perjanjian pengangkutan terjadi antara pengusaha angkutan dengan penumpang. Berdasarkan Buku I Bab V bagian Ketiga KUHD tentang pengangkutan darat dan perairan darat, yang dimaksud dengan pengangkut adalah bukanlah sopir pada mobil atau nahkoda pada kapal, tetapi majikan dari sopir atau nahkoda yang menjadi pihak dalam perjanjian pengangkutan.6

(27)

Sedangkan Perusahaan Angkutan Umum berdasarkan Pasal 1 Ayat (21) UULLAJ adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum. Ini dimaksudkan bahwa pengangkut harus merupakan badan hukum yang berbentuk perusahaan bukan merupakan usaha perseorangan hal ini merupakan ketentuan yang berbeda dari UULLAJ yang lama dimana kepemilikan terhadap usaha angkutan umum bisa dimiliki perseorangan.

Pada umumnya pengangkutan penumpang dengan angkutan umum travel ini kebanyakan diselenggarakan oleh pengusaha angkutan yang tidak berstatus badan hukum melainkan dimiliki pengusaha secara perseorangan. Hal ini tentunya untuk saat ini dianggap melanggar.

Pihak lain yang terkait dalam pengangkutan yaitu pengemudi. Adapun pengemudi menurut Pasal 1 Ayat (23) UULLAJ, Pengemudi adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. Pengertian lainnya terdapat dalam Butir 12 PP No. 44 tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi adalah “Orang yang mengemudikan kendaraan

bermotor atau orang yang secara langsung mengawasi calon pengemudi yang

sedang belajar mengemudikan kendaraan bermoor.” Untuk menjadi pengemudi,

(28)

Di sini pengemudi merupakan pihak yang menngikatkan diri untuk melakukan pengangkutan atas perintah pengusaha angkutan dengan imbalan gaji atau upah. Jika pegemudi di sini merupakan pihak yang mengikatkan diri untuk membayar biaya angkutan atas dirinya yang diangkut. Dengan demikian maka penumpang merupakan individu atau perorangan yang berstatus sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban dalam perjanjian pengangkutan, yaitu penumpang berhak mendapatkan pelayanan jasa angkutan dengan selamat sampai di tempat tujuan, serta berkewajiban membayar ongkos angkutan.

Setelah mengetahui para pihak yang terkait dengan pengangkutan penumpang, maka selanjutnya dapat dikemukakan mengenai hubungan hukum yang terjadi antara pihak pengusaha angkutan dengan pengemudi dan pengangkut dengan penumpang.

Hubungan hukum yang terjadi antara pengangkut dan pengemudi ini berdasarkan perjanjian kerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan dalam Pasal 1601 buku ketiga bab VII bagian kesatu KUHPdt. Adapun perjanjian kerja menurut KUHPdt yaitu perjanjian antara pihak yang satu (pengemudi) mengikatkan dirinya dibawah perintah majikan (pengusaha angkutan) untuk suatu waktu melakukan pekerjaan atau melaksanakan pengangkutan.

Sedangkan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (14) bahwa: “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat

(29)

Adapun sifat dari perjanjian kerja yang terjadi diantara pengusaha angkutan dan pengemudi adalah hubungan yang bersifat subordinasi atau bertingkat dan pemberi kuasa. Subordinasi berarti bahwa pengusaha angkutan mengikatkan dirinya untuk menyediakan jasa angkutan dan berkewajiban membayar upah bagi pengemudi. Namun adakalanya hubungan yang terjadi adalah pemberian kuasa, maksudnya bahwa pengemudi diberikan kuasa oleh pengangkut untuk melakukan kegiatan pengangkutan, yaitu mengangkut penumpang yang mempergunakan jasa angkutan dan pengemudi akan menyetorkan sejumlah uang yang telah ditetapkan oleh pengusaha angkutan setiap harinya.

Sedangkan berdasarkan perjanjian pengangkutan, penumpang mempunyai hubungan hukum yang sejajar atau koordinasi dengan pengangkut. Hal ini berarti bahwa penumpang bukanlah bawahan pengangkut dan pengangkut bukan atasan penumpang, demikian sebaliknya. Penumpang merupakan pihak yang bebas untuk mempergunakan jasa angkutan sesuai dengan kebutuhannya, sedangkan pengangkut merupakan pihak yang menyelenggarakan pengangkutan.

4. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pengangkutan

Perjanjian yang dibuat para pihak dalam pengangkutan orang menimbulkan hak dan kewajiban yang diberikan secara timbal balik antara pengangkut dan pengemudi dan pengangkut dengan penumpang.

(30)

pengusaha angkutan berhak mendapatkan uang angkutan dan berhak memerintahkan pengemudi untuk menyelenggarakan pengangkutan. Secara umum tentang kewajiban majikan dan buruh atau pengusaha dengan angkutan dengan pengemudi diatur dalam Pasal 1602 dan Pasal 1603 KUHPdt.

Dengan demikian pengusaha angkutan mempunyai kewajiban untuk menjamin keselamatan baik dari awak kendaraan maupun pengguna jasa angkutan itu. Kewajiban mengasuransikan awak kendaraan maupun penumpang pengguna jasa angkutan sebagai langkah represif jika terjadi kecelakaan lalu lintas di jalan. Akan tetapi sebenarnya langkah preventif juga harus dilakukan oleh pengusaha angkutan seperti memelihara dan menjaga fasilitas dan kelalaian armada angkutan, agar dapat dipergunakan oleh penumpang dan untuk menghindari terjadinya resiko kerugian atas pemakaian jasa angkutan bagi penumpang maupun pihak ketiga. Fasilitas dan kelaikan berkaitan dengan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan, termasuk pemenuhan terhadap syarat ambang batas gas emisi, kebisingan, dan sebagainya, karena pemeliharaan fasilitas dan kelaikan armada angkutan ini erat kaitannya dengan kenyamanan bagi penumpang dalam mempergunakan jasa angkutan. Hal ini sesuai dengan bunyi dari Pasal 48 UULLAJ Ayat (1) sampai (3).

Sedangkan mengenai kenyamanan dan keamanan penumpang dalam mempergunakan fasilitas angkutan dapat ditegaskan pada Pasal 34 UULLAJ,

yang menyatakan bahwa “Pengangkutan orang dengan kendaraan bermotor wajib

menggunakan kendaraan bermotor untuk penumpang.”

(31)

yang bermotor (Bus, mobil penumpang, sepeda motor) maupun tidak bermotor yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan (Pasal 1 Ayat (9) UULLAJ) seperti delman dan becak.

Dengan demikian tidak diperkenankan bagi pengangkut untuk mengangkut penumpang dengan menggunakan alat pengangkutan barang, kecuali telah memenuhi persyaratan untuk mengangkut penumpang. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Keputusan Menteri Perhubungan No. KM/84/1999 tentang Penyelenggaraan Angkutan Jalan di Jalan dengan Kendaraan Bermotor yang intinya menyatakan bahwa mobil penumpang umum harus dilengkapi dengan ruang bagasi tersendiri atau barang milik penumpang dapat disimpan dalam tempat khusus yang disediakan dengan tidak mengganggu kenyamanan penumpang. Dalam melakukan penyelenggaraan pengangkutan ini, pengangkut juga harus memperhatikan mengenai tata cara mengangkut dan batas maksimum penumpang yang akan diangkut.

(32)

mempergunakan fasilitas dan penyelenggaraan jasa angkutan umum. Serta Pasal 187 UULLAJ yang mencantumkan kewajiban pengangkut untuk mengembalikan biaya angkutan jika terjadi pembatalan dalam proses pengangkutan.

Dengan mentaati perjanjian pengangkutan, maka pengangkut harus beritikad baik dalam menyelenggarakan pengangkutan dari mulai diangkutnya penumpang sampai diturunkannya penumpang. Dan sudah selayaknya apabila kewajiban-kewajiban dapat dipenuhi baik oleh pengusaha angkutan dan pengemudi. Agar dalam menyelenggarakan pengangkutan, penumpang mendapat pelayanan yang sesuai dengan tujuan dan fungsi dari pengangkutan itu sendiri, yaitu dapat memberikan nilai guna bagi masyarakat yang mempergunakan jasa angkutan umum dengan selamat sampai ditempat tujuan tanpa menimbulkan kerugian, baik kerugian materiil maupun kerugian imateriil bagi penumpang.

Terkadang dalam mengemudikan kendaraan banyak hal yang tidak diinginkan saat mengemudi, yakni terjadinya kecelakaan. Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. (Pasal 1 Ayat (24) UULLAJ).

Disebutkan dalam Pasal 231 UULLAJ bahwa Pengemudi Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas, wajib:

a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya; b. memberikan pertolongan kepada korban;

c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan

(33)

Berdasarkan pasal maka setiap pengemudi sesudah terjadinya kecelakaan karena suatu peristiwa yang melibatkan kendaraannya diharuskan untuk menghentikan kendaraannya, apabila dalam peristiwa mengakibatkan penumpang atau pihak ketiga meninggal, luka, atau menderita kerugian. Dan berusaha agar korban kecelakaan itu segera mendapat pertolongan, dan langkah berikutnya adalah melaporkan kejadian kepada pihak Kepolisian serta diwajibkan kepadanya untuk memberikan keterangan yang sebenar-benarnya mengenai peristiwa kecelakaan yang terjadi.

Tanggung jawab pengangkut dipertegas dalam Pasal 14 PP No. 17 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, yang menyatakan bahwa:

Pembayaran ganti kerugian pertanggungan berdasarkan PP ini tidak mengurangi tanggung jawab pengangkut dan/atau pihak yang dapat dipersalahkan menurut hukum pidana, perdata atau perjanjian internasional yang bersangkutan dengan kecelakaan yang terjadi.

(34)

Dengan demikian sudah sepatutnya pengusaha angkutan dibebankan tanggung jawab terhadap setiap kerugian yang diderita penumpang yang timbul karena pemakaian jasa angkutan umum, karena dalam pelaksanaan pengangkutan keselamatan penumpang pada dasarnya dalam tanggung jawab pengusaha angkutan. Dengan adanya beban tanggung jawab ini, pengangkut diharapkan supaya berhati-hati dalam menyelenggarakan pengangkutan.

Dalam perjanjian ada beberapa hal yang bukan tanggung jawab pengangkut, artinya apabila timbul kerugian pengangkut dibebaskan dari pembayaran ganti rugi. Beberapa hal antara lain:

a. keadaan memaksa;

b. cacat pada barang penumpang itu sendiri; c. kesalahan atau kelalaian penumpang itu sendiri.

Ketiga hal ini diakui dalam UU maupun doktrin ilmu hukum, diluar hal pengangkut tetap bertanggung jawab.9

Mengenai tanggung jawab pengangkut atau pengusaha angkutan tidak hanya terbatas pada tanggung jawab terhadap penumpang, tapi juga bertanggung jawab terhadap kelalaian buruhnya (pengemudi) dalam menjalankan pengangkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 1367 KUHPdt dan Pasal 523 KUHD. Adapun bunyi Pasal

1367 KUHPdt Ayat (1) adalah “Setiap orang tidak saja bertanggung jawab untuk

kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kerugian dari perbuatan orang yang menjadi

tanggungannya….”. Sedangkan Pasal 523 KUHD berbunyi bahwa “Si pengangkut

9

(35)

harus menanggung segala perbuatan dari mereka yang dipekerjakannya dan segala benda yang dipakainya dalam menyelenggarakan pengangkutan.”

Berdasarkan kedua pasal, pengangkut tetap mempunyai tanggung jawab terhadap buruhnya apabila terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan kerugian bagi penumpang maupun pihak ketiga. Ini berarti pengangkut tidak dapat membebaskan dirinya dari kerugian yang disebabkan kelalaian buruhnya dan bertanggung jawab terhadap untuk membayar kerugian yang dialami oleh penumpang.

Mengenai tanggung jawab ini pada hukum pengangkutan di Indonesia dikenal adanya prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan tanggung jawab dari praduga. Tanggung jawab karena kesalahan (Fault Liability). Menurut prinsip ini setiap pengangkut bertanggung jawab membayar segala kerugian secara materi yang timbul akibat kesalahan atau kelalaian pengangkut. Jadi beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip seperti disebutkan dalam Pasal 192 Ayat (4) yakni:“Pengangkut tidak bertanggung jawab

atas kerugian barang bawaan Penumpang, kecuali jika Penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian

pengangkut.” Prinsip tanggung jawab ini juga diatur secara umum (lex generalis) pada Pasal 1365 KUHPdt. Dimana pasal-pasal menyatakan bahwa pengemudi dan pengusaha angkutan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang atas kelalaiannya dalam melaksanakan palayanan angkutan.

(36)

yang diderita penumpang dan/atau pihak ketiga, yang timbul karena kelalaian atau kesalahan pengemudi dalam mengemudikan kendaraan bermotor dimana hal menegaskan tanggung jawab pengangkut ini mulai berjalan pada saat penumpang naik ke angkutan sampai diturunkannya penumpang dari angkutan. Untuk itu dalam penanggung kerugian biasanya antara pengusaha angkutan dan pengemudi sama-sama bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang. Akan tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia akan

dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi. Yang dimaksud “tidak

bersalah” adalah tidak melakukan kelalaian dan telah berupaya untuk melakukan

tindakan untuk menghindari kerugian atau peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian itu tidak dapat dihindari. Pada prinsip ini beban pembuktian beban pembuktian diletakkan pada pihak pengangkut, bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan oleh pengangkut. Mengenai prinsip tangung jawab praduga adalah pengecualian. Maksudnya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah atau lalai maka ia akan dibebaskan dari tanggung jawab. Prinsip ini terkandung dalam Pasal 234 Ayat (3) UULLAJ. Yang dimaksud dengan “keadaan memaksa” dalam pasal ini seperti

(37)

D. Kerangka Pikir

Untuk memperjelas dari pembahasan penelitian ini, maka penulis membuat kerangka pikir sebagai berikut:

Keterangan:

UU No. 22 Tahun 2009 memberi kewenangan kepada Dinas Perhubungan Provinsi Lampung untuk mengawasi, melakukan penyelidikan atau pemeriksaan dan memutus perkara pelanggaran yang dilakukan oleh para travelresmi ataupun gelap, juga melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat. Pengusaha mobil pribadi sebagai angkutan umum enggan untuk mendaftarkan usaha yang dijalankan kepada Dinas Perhubungan Provinsi Lampung dikarenakan haruslah memiliki beberapa prosedur yang tidak dapat para mobil pribadi sebagai angkutan umum ini penuhi. Berdasarkan hal tersebut jika mobil pribadi sebagai angkutan umum melakukan kegiatan usahanya, maka para penumpang yang menggunakan jasa angkutan itu tidaklah dilindungi oleh perusahaan jasa asuransi dan tidak dilindungi secara hukum oleh undang-undang. Terdapat perbedaan secara signifikan antara tanggung jawab pengusaha travel resmi dengan travel ilegal. Dimana pengusaha

UU No. 22 Tahun 2009

Dinas Perhubungan Provinsi Lampung

Pengusaha Mobil Pribadi Sebagai Angkutan Umum

(38)
(39)

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan suatu cara kerja atau metode agar dapat memahami tujuan penelitian sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya

A. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang -undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.10Pengkajian bertujuan untuk memastikan apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum itu sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan kata lain, apakah ketentuan undang - undang telah dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan mencapai tujuannya atau tidak. Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif-terapan, yang mengkaji peraturan perundang - undangan serta perlindungan keselamatan penumpang, terkait dengan mobil pribadi yang digunakan sebagai angkutan umum.

10

(40)

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitiam hukum yang bersifat memaparkan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.11 Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan memaparkan secara lengkap, jelas, dan sistematis hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian sebagai karya ilmiah mengenai pelaksanaan perlindungan konsumen terhadap penumpang kendaraan pribadi sebagai angkutan umum.

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian.12 Sesuai dengan jenis penelitian yaitu hukum normatif, maka pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan normatif-terapan (applied law approach). Untuk menggunakan pendekatan normatif terapan, terlebih dahulu merumuskan masalah dan tujuan penelitian. Masalah dan tujuan perlu dirumuskan secara rinci, jelas, dan akurat. Tipe pendekatan normatif-terapan yang digunakan adalah Live-Case Study, yaitu pendekatan studi kasus pada peristiwa hukum yang masih berlangsung atau belum selesai atau belum berakhir.13

(41)

D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada mobil-mobil pribadi yang digunakan sebagai angkutan umum yang sering beroperasi di trayek Bakauheni–Bandar Lampung.

E. Data dan Sumber Data

Dalam penelitian ini tidak akan terlepas dari data-data pendukung sesuai dengan tujuan penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

1. Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari studi lapangan meliputi data perilaku terapan dari ketentuan normatif terhadap peristiwa hukum in concreto. Data primer didapat dari lokasi penelitian dengan cara wawancara.

2. Data Sekunder adalah data yang bersumber dari perUndang - Undangan, yurisprudensi, dan buku literatur hukum atau bahan hukum tertulis lainnya yang terkait. Data sekunder dalam penelitian terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer,

Bahan hukum Primer yaitu beberapa peraturan perUndang - Undangan antara lain: (1) Kitab Undang - Undang Hukum Perdata

(2) Undang - Undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan (3) Undang–Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen b. Bahan Hukum Sekunder

(42)

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti surat kabar, kamus hukum dan pedoman penulisan karya ilmiah.

F. Metode Pengumpulan Data

Berdasarkan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, maka metode penumpulan data yang digunakan adalah:

1. Studi Pustaka

Studi Pustaka adalah pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Adapun cara yang dilakukan yaitu dengan mengidentifikasi data sekunder yang diperlukan, inventarisasi data yang sesuai dengan rumusan masalah, mengutip literatur dan undang - undang yang berhubungan dengan materi penelitian.

2. Studi dokumen

Studi Dokumen adalah dengan cara membaca, menelaah, dan mengkaji dokumen perjanjian antara penumpang dengan angkutan umum serta dokumen lain yang berkaitan dengan pelaksanaan perlindungan konsumen.

3. Wawancara

(43)

pertanyaan lisan untuk dijawab dan pertanyaan secara tertulis langsung antara pencari data dan sumber data.

G. Metode Pengolahan Data

Tahap-tahap pengolahan data di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi data

Identifikasi data yaitu menelaah data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan.

2. Sistematika data

Sistematika data adalah penelusuran data berdasarkan urutan data yang telah ditentukan sesuai dengan ruang lingkup pokok bahasan secara sistematis.

H. Analisis Data

(44)

A. Kesimpulan

1. Proses untuk melegalitaskan usaha pengangkutan wajib mengikuti berbagai urusan administrasi beserta uji kelayakan kendaraan. Selain itu, para pengusaha diwajibkan mendaftarkan usaha mereka dalam perusahaan keasuransian. Dan setelah itu, baru diizinkan untuk melakukan kegiatan usaha dalam pengangkutan.

(45)

3. Perlindungan Konsumen terhadap penumpang mobil pribadi sebagai angkutan berupa ganti kerugian berdasarkan kedua dua belah pihak dengan dasar kekeluargaan.

B. Saran

(46)

Oleh

ADAM TIANSYAH

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(47)

(Skripsi)

Oleh

ADAM TIANSYAH

0912011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(48)

Halaman A. Hukum Perlindungan Konsumen ... 8

1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen ... 8

2. Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen ... 11

B. Hukum Perjanjian ... 15

1. Pengertian Perjanjian ... 15

2. Bentuk Perjanjian ... 16

C. Hukum Pengangkutan Niaga ... 17

1. Terjadinya Perjanjian Pengangkutan ... 17

2. Asas Yang Berlaku Dalam Pengangkutan... 21

3. Para Pihak Dan Hubungan Hukum Dalam Perjanjian Pengangkutan Dengan Angkutan Umum ... 24

4. Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pengangkutan ... 27

F. Metode Pengumpulan Data ... 40

G. Metode Pengolahan Data... 41

(49)

B. Penyelenggaraan Mobil Pribadi Yang Digunakan Sebagai

Angkutan Umum... 62 C. Perlindungan Konsumen serta Tanggung Jawab Pengusaha

Mobil Pribadi Sebagai Angkutan Umum... 65

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 70

(50)

Harahap, M Yahya,Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982. Muhammad, AbdulKadir.,Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004

Muhammad, Abdulkadir,Hukum Pengangkutan Niaga, Alumni, Bandung, 1982. Subagiyo, Dwi Tatak,Keberadaan Perjanjian Partisipan, Perspektif, edisi April, PPH FH Univ.Wijaya Kusuma , Surabaya, , 2002.

Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987.

Panggabean, Henry P.,Penyalahgunaan Keadaan, Liberty, Yogyakarta, 1991. Purwosutjipto,Pengertian Pokok Hukum Dagang IndonesiaJilid 3Hukum Pengangkutan, Djambatan, Jakarta, 1995.

(51)

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT, dan berkat rahmat serta hidayah Allah SWT penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul “Perlindungan Konsumen Terhadap Penumpang Mobil Pribadi Sebagai Angkutan Umum” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan ilmu pengetahuan, bimbingan, dan masukan yang bersifat membangun dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H, M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Ratna Syamsiar, S.H, M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan, motivasi dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;

(52)

6. Bapak Depri Liber Sonata. S.H., M.H., selaku Dosen Pembahas II yang juga telah memberikan saran dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;

7. Bapak Charles Jackson, S. H, M. H., selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menjalankan studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi untuk memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuannya selama penulis menyelesaikan studi;

9. Keluargaku semuanya papa, mama, aa Guntur Lesmana, S.Kom., mba Siska Liana, S.H , mba dr. Dewi Nurfiana, mas dr. Bayu Maulana, Abang Benny Wijaya, S.H, kakak Faiz, Mamas Arai, Mamas Arman, ama Adek Rangga buat semangat dan dukungannya ^^)

10. For Pamela Logdat, My sister from Philipina. Thanks for the spirit and motivation hence I finished this thesis.

11. Buat Lathifa Indraningtyas, Ezed qyoko, dan Mustika Niluhputu Terima kasih atas bantuan, semangat, serta motivasi dalam pengerjaan skripsi ini.

12. Untuk teman-temanku tercinta dan tergila di Fakultas Hukum: Handi Ewok, Arga-“nteng”, andhika, Rivan, Ijal, Adenty, M.Noor, and Citra Ratu atas dukungan dan semangat kebersamaan yang telah terjalin selama ini;

(53)

atas kebersamaannya, semoga kita bisa berkumpul lagi dengan “baju kebesaran” masing-masing. Amin.

15. Semua keluarga Pusat Studi Bantuan Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan, doa dan dukungannya selama ini.

16. Semua teman-teman jurusan perdata ekonomi Angkatan 2009 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan, dukungan, dan kerjasamanya; 17. Staf keperdataan: Mas Tarno, mas Tris, dan mba Siti atas segala bantuannya; 18. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu

penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, 16 Februari 2013 Penulis,

(54)

Nama Mahasiswa :Adam Tiansyah No. Pokok Mahasiswa : 0912011001

Bagian : Hukum Keperdataan Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Ratna Syamsiar, S.H, M.H Siti Nurhasanah, S.H, M.H NIP 19550428 198103 2 001 NIP 19718211 199802 2 001

2. Ketua Bagian Hukum Keperdataan

(55)

1. Tim Penguji

Ketua :Ratna Syamsiar, S.H, M.H ………

Sekretaris/Anggota :Siti Nurhasanah, S.H, M.H ………

Penguji

Bukan Pembimbing :Dr. Nunung Rodliyah, M.A ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP 196211091987031003

(56)

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung, pada tanggal 07 September 1990, yang merupakan anak empat dari empat bersaudara pasangan Bapak Drs. Andi Ansyori, S.H.,M.H. dan Ibu Tri Mawarni, S.sos.,S.pd, M.M.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Trisula II Rawa laut pada tahun 1995-1996, Sekolah Dasar Negeri 2 (Teladan) Rawa Laut pada tahun 1996-2003, dilanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Tanjung Karang pada tahun 2003-2006, dan diteruskan ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2006-2009.

(57)

“Jika kamu sudah berazzam/bertekad bulat, maka bertawakkallah pada Allah..” (QS. 3: 159)

“Jadilah pribadi yang baik, jalani proses untuk menjadi baik, evaluasi kebaikan secara terus-menerus, dan lihatlah apa yang akan terjadi……”

(58)

Dengan segala kerendahan hati...

Skripsi ini aku persembahkan kepada kedua orang tuaku,

yang telah mendidik dan membesarkan diriku dengan penuh kasih sayang, kesabaran dan keikhlasan hati hingga saat ini, serta senantiasa mendoakan

untuk keberhasilanku.

untuk ayahku, Drs. Andi Ansyori, S.H.,M.H. dan ibuku Tri Mawarni, S.pd, M.M. terima kasih atas pengorbananmu…Adam bangga dan selalu bersyukur terlahir

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada histologi ginjal tampak bahwa perlakuan porang yang berasal dari Sumber Baru dan Sumber Bendo menunjukkan adanya.. kerusakan sel hepar sekitar 25

Populasi sampel adalah seluruh penderita diabetes mellitus tipe 2 baik dengan atau tanpa penyakit penyerta yang tercatat sebagai pasien yang menjalani

Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah di Kota Semarang dilihat dari lima tepat yang perlu dipenuhi dalam keefektifan suatu pelaksanaan program, yaitu ketepatan kebijakan,

Sistem smart grid adalah konfigurasi dari berbagai sumber energi yang berasal dari pembangkit energi terbarukan maupun tidak terbarukan membentuk suatu sistem yang

Faizal juga tidak mengamalkan Tri Karma Adhyaksa. Perbuatannya jelas-jelas bertentangan dengan satya. Artinya dalam menjalankan tugasnya Faizal tidak

Maka dari itu penulis mengambil judul “Perbedaan Hasil Belajar Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Dengan Menggunakan Metode Konvensional Dan Metode NHT (Numbered

Saya mengharapkan kesediaan Anda untuk dapat mengisinya sesuai dengan diri Anda, sebab dalam kuesioner ini tidak ada jawaban yang benar ataupun salah.. Saya

menggambarkan ciri khas TNGC , namun belum tersedia di lokasi ekowisata. 5) Ekowisatawan berminat untuk menggunakan jasa pemandu, namun informasi tentang keberadaan