• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknologi Pemupukan Dan Kultur Teknis Ya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Teknologi Pemupukan Dan Kultur Teknis Ya"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 1

TEKNOLOGI PEMUPUKAN DAN KULTUR TEKNIS

YANG ADAPTIF TERHADAP ANOMALI IKLIM

PADA TANAMAN TEH

Yati Rachmiati, Karyudi, Bambang Sriyadi,

Salwa Lubnan Dalimoenthe, Pudjo Rahardjo, dan Eko Pranoto

Pusat Penelitian Teh dan Kina

Ringkasan

(2)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 2

PENDAHULUAN

Tanaman teh merupakan tanaman tahunan, para ahli tanaman memberi nama antara lain Camellia theifera, Thea sinensis, Camellia thea, dan terakhir dikenal dengan sebutan Camellia sinensis (L) O. Kuntze. Tanaman ini tersebar di kawasan Asia Tenggara hingga India, pada garis lintang 30º sebelah Utara maupun Selatan khatulistiwa. Selain tanaman teh yang dikonsumsi sebagai minuman, genus Camellia mencakup juga banyak jenis-jenis tanaman hias. Kondisi optimal penanaman teh adalah pH 4,5–5,6, suhu 12–25ºC, kelembaban nisbi 70–80%, intensitas sinar matahari 70–80%, lama penyinaran matahari 3–6 jam, curah hujan 2.000–4.000 mm/thn dengan maksimal bulan kering selama 2 (dua) bulan, suhu daun < 35ºC, dan lama penyinaran matahari 4 jam/hari (Tim PPTK, 2006). Tanaman teh memerlukan air dalam jumlah yang cukup banyak, karena tanaman teh peka terhadap kekringan sehingga hanya cocok pada daerah yang mempunyai curah hujan yang cukup tinggi dan merata sepanjang tahun. Pada musim kering yang terjadi setiap tahun, baik yang normal (<2 bulan) maupun panjang (>3 bulan) dapat menyebabkan penu-runan produksi sebesar 40-60% dan kematian tanaman 20-40% (Wibowo, et al.,1998).

Tanaman teh di Indonesia yang dibudidayakan di lahan kering kebutuhan airnya sangat tergantung pada air hujan, Jumlah curah hujan minimal untuk pertumbuhan tanaman teh adalah 1.150–1.400 mm/tahun terbagi merata sepanjang tahun (Carr, 1972 dan Eden 1976), jika periode kering lebih dari dua bulan maka akan terjadi gangguan pertumbuhan dan kehilangan produksi yang besar (Eden,1976). Menurut Keegel (1965), pucuk teh berbeda kadar airnya pada setiap musim yaitu pada musim kemarau sebesar 70% dan musim penghujan sebesar 83%. Meskipun jumlah kebutuhan air yang besar tersebut tidak seluruhnya dimanfaatkan untuk pertumbuhan pucuk, tanaman teh membutuhkan curah hujan yang tinggi dan merata terutama untuk evapo-transopirasi dan mempertahankan kelembaban udara agar tetap tinggi. Oleh karena itu, jika selama 2 (dua) bulan berturut-turut curah hujan kurang dari 50 mm (biasa disebut dengan kekeringan pada areal perkebunan teh), maka dapat mengakibatkan produksi pucuk berkurang (Eden, 1976). Dasar perhi-tungan defisit air di perkebunan teh menghasilkan (TM) pada tanah serasi dan serasi bersyarat adalah sebagai berikut:

(3)

ter-Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 3 hambat, dan bila kadar air kurang dari 15% akan menyebabkan kematian pada tanaman teh karena terjadinya defisit ketersediaan air (Darmawijaya,1982). Apabila terjadi faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti periode musim kemarau dan kandungan air tanah yang rendah akan menimbulkan kerusakan pada tanaman mulai dari penurunan pertumbuhan sampai yang menyebabkan kematian. Dalam 1 ha lahan bersuasana jenuh tersedia air sebesar 147 x 10.000 l = 147 x 104 mm hujan. Apabila tidak ada hujan sama sekali, jumlah air tersebut akan habis/defisit setelah 147/6 hari = 24.5 hari. Secara teoritis pada bulan-bulan yang curah hujannya kurang dari 147 mm, sudah dapat disebut sebagai bulan defisit. Bilamana masih terdapat hujan lebih dari 100 mm/bulan, defisit tersebut belum menimbulkan penurunan produksi berarti (Wibowo, dkk 1998). Disamping itu diperkirakan bahwa ta-naman teh produktif yang luasnya 1 (satu) hektar dapat menguapkan air (transpirasi) sebanyak 25.400 liter/hari (Eden, 1976). Jumlah tersebut diang-gap setara dengan curah hujan sebesar 930 mm/tahun, sesuai dengan per-kiraan Chang and Wu (1971) bahwa 1 (satu) batang tanaman teh produktif dapat mengkonsumsi air setara dengan 1,34–2,66 mm/hari pada suhu udara 10-28ºC.

Kelembaban udara minimal untuk tanaman teh adalah 70%, kelembaban udara berkaitan erat dengan temperatur. Sumber kelembaban adalah air hujan Carr (1972) membuktikan bahwa jika tidak turun hujan dalam waktu yang lama akan menyebabkan Relatif Humidity (RH) yang sangat rendah dan dapat menyebabkan tanaman teh mengalami cekaman air sehingga laju pertumbuhan pucuk tertekan. Dampak dari cekaman air tersebut yaitu ber-kurangnya tegangan sel (turgor) dan peningkatan konsentrasi cairan pada jaringan Sap. Konsentrasi cairan Sap meningkat 0,6% setiap RH udara turun 10% dan ternyata konsentrasi Sap tersebut berpengaruh terhadap laju pertum-buhan pucuk. Laju pertumpertum-buhan terbesar yaitu pada konsentrasi cairan Sap 8– 9% dan mulai berkurang pada konsentrasi 10% yang selanjutnya pucuk akan menjadi layu.

Perkebunan teh umumnya terdapat dilahan kering yang mengandalkan kebutuhan airnya dari air hujan, dengan terjadinya perubahan iklim dan kerusakan daur hidrologi menyebabkan pasokan air semakin tidak menentu. Secara kuantitas permasalahan air bagi pertanian adalah ketidaksesuaian distribusi air antara kebutuhan dan pasokan menurut waktu dan tempat. Pa-sokan air sulit diprediksi karena tergantung dari sebaran curah hujan sepan-jang tahun yang sebarannya tidak merata. Untuk mengatasinya diperlukan upaya salah satunya dengan cara memanen air (water harvesting) dimusim hujan sebagai suplesi irigasi di musim kemarau.

(4)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 4 menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas karena tererosi setebal 30 cm dan di dataran rendah dengan naiknya temperatur, defisit lengas tanah, defisit karena tekanan penguapan air yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuh-an dpertumbuh-an produksi teh. Konsekuensi perubahpertumbuh-an iklim akpertumbuh-an berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, Indonesia sebagai negara di kawasan tropis dampak yang paling berpengaruh adalah pergeseran musim, seperti mundur-nya musim kemarau atau musim hujan. Hujan merupakan faktor iklim yang sulit diduga, curah hujan yang tinggi dapat menyebabkan banjir, tetapi sebaliknya curah hujan yang rendah justru dapat mengakibatkan kekeringan. Kejadian tersebut selalu terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia (Boer, 2001). Pramudia (2002) menilai bahwa terdapat korelasi nyata antara fenomema ENSO dan curah hujan di Jawa Barat yang didasarkan dari anomali suhu muka laut dengan anomali curah hujan. Hal ini semakin menguatkan bahwa El Nino memiliki hubungan yang erat terhadap ketersediaan air terutama di areal perkebunan.

Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) memiliki kaitan yang sangat kuat terhadap cuaca atau iklim global yang dapat mempengaruhi kehidupan dibumi. Selama kejadian El Nino, beberapa wilayah Asia Tenggara terutama di Indonesia dan Australia mengalami penurunan curah hujan yang sangat signifikan. Periode terjadinya El Nino sebelum tahun 1990-an berulang sekitar 5-7 tahun sekali. Tetapi, setelah tahun tersebut periodenya terjadi semakin dekat menjadi 2-3 tahun sekali. Badan Meteorologi dan Geofisika Indonesia tahun 1997 menyebutkan bahwa selama 30 tahun terakhir fenomena El Nino terjadi yaitu pada tahun 1972, 1977, 1982, 1987, 1991, 1994, dan 1997. Fenomena kekeringan akibat El Nino sampai 1997 tersebut telah terjadi di perkebunan teh.

Pada saat terjadi El Nino, angin pasat sepanjang Pasifik Ekuator melemah sehingga kolom air hangat di wilayah perairan laut Indonesia dan Papua New Guinea bergerak ke arah timur menuju benua Amerika. Air laut yang hangat ini kemudian memanaskan dan meningkatkan kelembaban udara di atasnya, sehingga udara di atas Lautan Pasifik Barat lebih basah. Hal ini sebaliknya terjadi di Indonesia, sebab pergerakan kelembaban atmosfer justru menjauhi Indonesia sehingga menyebabkan rendahnya curah hujan di wilayah Indonesia. Sebaran curah hujan di Indonesia pada saat peristiwa El Nino tahun 1997 menunjukkan sebagian besar Pulau Sumatera bagian selatan dan Pulau Kalimantan bagian barat serta Pulau Jawa bagian tengah mengalami penurun-an jumlah curah hujpenurun-an bulpenurun-anpenurun-an hingga 200 mm.

(5)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 5 musim kemarau kesatu antara bulan (Maret-Juni) sekitar 20% dan pada musim kemarau kedua antara bulan (Juli-Oktober) hampir mencapai 50%. Pada tahun La Nina peningkatan hujan pada musim hujan sekitar 15%, pada musim kemarau pertama mencapai 23% dan pada musim kemarau ketiga mencapai 52% (Las et al., 1999). Dampak selanjutnya adalah menurunnya ketersediaan air dan produksi pertanian (pangan) serta perkebunan, meningkatnya kebakar-an hutkebakar-an/lahkebakar-an dkebakar-an bahkkebakar-an pemukimkebakar-an. Musim kemarau ykebakar-ang lebih kering dkebakar-an lebih panjang juga menyebabkan makin langkanya sumber air bersih yang berdampak pada kesehatan masyarakat dan juga ketersedian air bagi lahan pertanian.

Salah satu indikator yang dapat dipakai dalam menentukan periode terjadinya iklim ekstrim tersebut adalah suhu muka laut (Sea Surface Temperature) SST di wilayah Pasifik. Turunnya produksi perkebunan teh di Jawa Barat tahun 2006 diduga sangat berkaitan erat dengan kondisi iklim global. Pada saat tersebut terjadi kekeringan yang ekstrim akibat fenomena El Nino. Peristiwa ini ditandai dengan meningkatnya anomali suhu muka laut pada saat mulai musim penghujan di Indonesia. Akibatnya, terjadi keterlam-batan musim hujan di Indonesia dan jumlah curah hujan pada musim tersebut di bawah normal. Dampaknya terhadap perkebunan teh adalah menurunnya produksi dibeberapa kebun, kurang lebih sebesar 20-30% bila dibandingkan dengan kondisi normal. Pengamatan terhadap kekeringan yang pernah terjadi seperti dilaporkan (Darmawijaya, 1982) Kebun Wonosari produksi menurun sampai 42%. Di Jawa Barat pada tahun tersebut di kebun dataran rendah terjadi penurunan produktivitas yang signifikan terutama pada kebun yang memiliki tanah dengan jeluk mempan yang dangkal dan kadar bahan organik yang rendah.

(6)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 6 Peningkatan suhu yang terjadi akibat pemanasan global akan menghenti-kan proses metabolisme tanaman teh. Hal ini dikarenamenghenti-kan amenghenti-kan menutupnya stomata dan terhentinya fotosintesis, seperti yang ditampilkan pada Tabel 1 berikut.

TABEL 1

Kondisi suhu udara optimal untuk fotosintesa

No. Suhu udara (oC) Pengaruh suhu udara pada pertumbuhan pucuk

1 12-25 Pertumbuhan

2 19-21 Pertumbuhan optimal

3 27-32 Stomata menutup

4 34 Fotosintesa berhenti

(Sumber: Widayat, 2012)

(7)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 7 TABEL 2

Strategi Adaptasi

MASALAH DAMPAK PROGRAM TEKNOLOGI

Kekeringan El Nino – Air terbatas – Pengelolaan pohon pelindung

– Tanaman layu – Pemangkasan tanaman teh

– Tanaman mati – Pemupukan setelah kemarau

– Kehilangan hasil – Pengendalian hama dan gulma

– Irigasi, fertigasi, pemanfaatan embung

– Grafting

– Mulsa dan bahan organik

Peningkatan kelembaban La Nina

– Erosi lapisan topsoil tanah – Pangkasan tanaman teh

– Aplikasi biofertilizer

– Meningkatnya penyakit Blister blight

– Pengendalian hama dan penyakit

– Rorak, parit drainase, dan mulsa

– Pengelolaan pohon pelindung (Topping)

(8)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 8

FENOMENA DAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

TERHADAP PERKEBUNAN TEH

Akibat terjadinya perubahan iklim, hal yang mendasar terjadi adalah perubahan intensitas dan frekuensi curah hujan. Oleh karena itu, dampak yang terjadi di antaranya akibat curah hujan yang berkepanjangan, seperti erosi lapisan topsoil tanah, meningkatnya penyakit Blister Blight, dan penyi-naran matahari yang berkurang, sehingga menurunkan proses fotosintesa tanaman yang berdampak pada penurunan produktivitas. Sedangkan dampak yang terjadi akibat kemarau panjang adalah defisit atau kekurangan air. Peningkatan evapotranspirasi tanaman seiring dengan peningkatan suhu ling-kungan berarti kebutuhan air bagi tanaman akan semakin tinggi. Beberapa tanaman dalam menghadapi perubahan iklim yang terjadi agar tetap bertahan hidup dengan menggugurkan sebagian daunnya. Akan tetapi tanaman teh tidak dapat melakukannya, oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan perdu (bush management) daun pemeliharaan untuk mengurangi kehilangan hasil, kerusakan atau mencegah kematian. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi kehilangan hasil adalah dengan pengaturan pola pemangkasan tanaman (Sukasman.1992). Pada tanaman teh yang pengambilan hasilnya pada fase vegetatif kekurangan air akan merangsang fase generatif, beberapa tanggapan tanaman terhadap kekeringan menurut Sukasman (1992) sebagai berikut:

1) Layu sementara: Pucuk dan bagian-bagian daun yang muda layu siang hari, disebabkan pola harian defisit air dan tidak menimbulkan kerusakan, jika kadar air tanah terlalu rendah sehingga transpirasi tidak dapat diim-bangi oleh penyerapan air dan menyebabkan menutupnya stomata pada daun sehingga transporasi berhenti maka akan terjadi layu sementara, pertumbuhan berhenti, dan terjadi penurunan produksi. Namun akan segera pulih apabila ada penambahan kandungan air.

2) Layu permanen: Rendahnya kadar air tanah dimana tanaman berakar, hilangnya air melalui transpirasi tidak dapat diimbangi oleh absorpsi air oleh akar, maka akan terjadi layu permanen. Pertumbuhan berhenti dan tidak ada produksi, gejala ini dapat disembuhkan jika tanah diberi air yang cukup.

3) Gugur daun: Jika kondisi layu permanen berlangsung lama disertai suhu udara tinggi dan kelembaban nisbi rendah, maka akan terjadi proses pemindahan air dari daun-daun tua kedaun yang lebih muda. Proses ini ditandai dengan gugurnya daun pemeliharaan lapisan bawah.

(9)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 9 tumbuh aktif, misalnya pucuk dan ranting muda. Gejala ini akan segera kelihatan dari mengeringnya bagian-bagian tanaman tersebut.

5) Mati ranting dan cabang tua: Ranting dan cabang akan segera kehabisan cadangan hara jika tidak terjadi aliran air dan hara dari bawah ke atas. Selanjutnya cabang-cabang dan ranting ini akan segera mati.

6) Mati cabang besar dan batang: Sejak terjadinya layu sementara maka stomata pada daun telah menutup sehingga tidak terjadi fotosintesis. Oleh karena itu akan terjadi pembongkaran cadangan hara dalam akar. Cabang dan batang sudah mati sebelum seluruh cadangan dalam akar akan habis.

Pada musim kemarau penyerapan air oleh akar sangat terbatas, sehingga penyerapan unsur hara juga sangat terbatas. Saat lengas tanah kurang, tanaman kehilangan air lebih banyak dibanding yang dapat diserap oleh akar, sehingga daun akan mulai layu dan stomata menutup, fotosintesis menurun atau terhenti. Berhentinya fotosintesis akan menyebabkan berkurangnya pro-duksi karbohidrat. Untuk menyerap hara akar memerlukan karbohidrat sebagai energi sehingga stress karena kekurangan air akan berakibat berkurangnya penyerapan C02, air dan hara. Proses pertumbuhan jaringan tanaman membu-tuhkan hara yang diserap dari tanah antara lain N, P, K, dan Mg yang berperan dalam aktivitas metabolisme dan pertumbuhan sel sehingga berkurangnya penyerapan hara menyebabkan pertumbuhan tanaman secara keseluruhan terhambat. Pengaruh stress air terhadap penyerapan hara bervariasi tergan-tung jenis hara dan spesies tanaman, namun penurunan produksi akibat kemarau lebih disebabkan oleh defisit air dibanding berkurangnya penyerapan hara, sehingga perlakuan pupuk yang tepat dari sejak sebelum kemarau akan lebih bermanfaat untuk tanaman dalam menghadapi stress kekurangan air. Pengaruh penurunan penyerapan hara dibanding terhadap penurunan produksi yang sudah diamati oleh Yamada,Y.1994 ada beberapa tipe yaitu:

1) Tipe A: penurunan penyerapan hara > penurunan pertumbuhan.

2) Tipe B: penurunan penyerapan hara = penurunan pertumbuhan. 3) Tipe C: penurunan penyerapan hara < penurunan pertumbuhan.

(10)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 10 yang tinggi level komponen-komponen molekul terlarut sedangkan sintesa komponen-komponen molekul tinggi melambat, sehingga terjadi perubahan konsentrasi karbohidrat, asam amino bebas, dan protein. Glukose dan fruktose sebagai komponen utama gula tidak larut memperlihatkan penurunan sebagai akibat dari menurunnya fotosintesis terutama disebabkan oleh menutupnya stomata akibat stress air. Kandungan N total, N protein, dan N asam amino bebas umumnya menurun pada semua jaringan tanaman karena terjadinya penurunan absorpsi no. 3. Gejala kekurangan hara setelah kemarau pada tanaman teh umumnya terlihat pada daun tua dan di lapangan menunjukkan yang dominan adalah magnesium, Sulfur, dan Kalium. (Rachmiati dan A. A. Salim, 2006).

Dalam Gambar 1 menunjukkan data bulanan selama 4 tahun mulai tahun 2009-2012 di salah satu perkebunan teh dataran tinggi yang menunjukkan bahwa selama musim kemarau produktivitas pucuk teh pasti mengalami penu-runan. Mulai bulan Mei-Juni curah hujan sudah berkurang dan defisit neraca air dimulai bulan Juli sampai dengan September. Oleh karena itu, perlu ren-tang waktu melakukan aplikasi irigasi semenjak curah hujan menurun dengan suatu teknologi irigasi yang tepat dan menguntungkan yang bisa mengurangi kerugian akibat musim kemarau. Walaupun disisi lain, ketika curah hujan terlalu banyak, produksi pucuk juga menurun. Di bulan Februari terjadi penu-runan produksi, hal ini karena faktor cuaca dimana panjang penyinaran mata-hari berkurang selama musim hujan tinggi. Oleh karena itu, untuk memenuhi neraca air di jeluk perakaran diperlukan teknologi yang tepat di perkebunan teh dengan aplikasi Mobile Overhead Sprinkler System.

Gambar 1

Fluktuasi produktivitas tanaman teh perkebunan dataran tinggi selama 4 tahun

(11)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 11

TEKNOLOGI SAAT TERJADI ANOMALI IKLIM LA NINA

1. PEMANGKASAN TANAMAN TEH

Pemangkasan tanaman pokok dilakukan untuk membentuk cabang baru, membuang cabang yang sakit dan untuk meningkatkan kesehatan tanaman. Pemangkasan bertujuan untuk menjaga stabilitas produksi. Pemangkasan tanaman pokok sebaiknya dilakukan dengan penggarpuan 100% atau 50% (zigzag) dari seluruh areal. Pemangkasan tanaman teh sebagai tanaman pokok dapat dilakukan dengan dua cara:

1) Untuk kebun yang menganut tahun pangkas 4 tahun pemangkasan dapat dilakukan 25% dari luas areal.

2) Sedangkan untuk kebun yang menganut tahun pangkas tiga tahun pemang-kasan dapat dilakukan 33%.

2. APLIKASI BIOFERTILIZER

Permasalahan utama penggunaan pupuk anorganik pada perkebunan adalah sangat tergantung dari keadaan iklim, khususnya curah hujan. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan data iklim yang dapat diperoleh melalui Stasiun Cuaca Otomatis. Alternatif lain pemenuhan beberapa unsur hara adalah mela-lui pemupukan hayati (biofertilizer), baik yang bersifat simbiotik maupun non simbiotik, hal ini dikarenakan mikroba-mikroba tersebut dapat terus berman-faat selama tanaman teh tumbuh. Dengan diaplikasikannya biofertilizer pada musim hujan, maka menjadi antisipasi sebagai penyedia unsur hara ketika pemupukan tidak dapat dilakukan ketika terjadinya musim kemarau. Beberapa mikroba yang diketahui efektif sebagai sumber unsur hara Nitrogen di antara-nya Azotobacter sp dan bakteri endofitik spesial tanaman teh. Dengan uji perbandingan ortogonal diperoleh bahwa Azotobacter sp indigen yang terbaik adalah mikroba dengan kode II-1, sedangkan mikroba eksogen terbaik dalam menghasilkan nitrogen total tanah pada areal pertanaman teh adalah Azoto-bacter sp dengan kode A. kedelai II. Dari beberapa tahap penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Azotobacter sp Indigen memiliki populasi sebesar 32,88% dan kapasitas penambatan nitrogen sebesar 7,67% yang lebih tinggi dibandingkan Azotobacter sp eksogen dalam pertumbuhannya pada tanah Andisol areal pertanaman teh yang memiliki pH 4,5–5,6 (Pranoto dan Mieke, 2014).

3. PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

(12)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 12 sedangkan jika curah hujan <300 ml/bulan menggunakan fungisida kontak. Kedua fungisida tersebut dapat divariasikan dengan tingkat serangan cacar daun. Pengendalian Helopeltis dapat dilakukan secara preventif, pada keada-an La Nina perkembkeada-angkeada-annya lebih dominkeada-an karena tempat hidupnya relatif mendukung. Pengendalian gulma secara kimiawi/manual dilakukan untuk menekan kompetisi dengan tanaman pokok, mengurangi tanaman inang ter-utama untuk hama Helopeltis.

4. RORAK, PARIT DRAINASE, DAN MULSA

Untuk tanaman menghasilkan dibuat parit-parit drainase yang diprioritas-kan pada areal-areal kebun yang drainasenya kurang baik agar tidak terjadi genangan air dengan ukuran kedalaman ±40 cm dan lebar 40-50 cm serta panjang 2 m. Agar air run off dan serasah halus dapat ditampung, perlu dibuat rorak dangkal sedalam 5–7 cm setiap 2-3 baris tanaman. Sedangkan untuk TBM pembuatan rorak dengan panjang 2 m, kedalamam 40 cm dan lebar 40 cm. Apabila rorak telah terisi penuh, maka dibuat rorak baru pada baris tanaman lainnya. Untuk mencegah terjadinya erosi terutama di areal tanaman baru dan terbuka perlu memberi mulsa dengan bahan yang ada seperti serasah pangkasan.

5. PENGELOLAAN POHON PELINDUNG (TOPPING)

Pemangkasan tanaman pelindung bertujuan untuk memberikan cahaya yang cukup dan mengurangi kelembaban. Pemangkasan 100% diprioritaskan terlebih dahulu untuk areal kantong cacar daun (Blister Blight). Sedangkan blok kebun bukan kantong cacar dapat dilakukan bertahap. Ketentuan tentang pengelolaan pohon pelindung adalah sebagai berikut:

1) Ketinggian dari permukaan tanah minimal 8 m, dan dari tanaman teh minimal 5 m.

(13)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 13

TEKNOLOGI SAAT TERJADI ANOMALI IKLIM EL NINO

1. POHON PELINDUNG

Keberadaan pohon pelindung tetap pada areal tanaman teh menghasil-kan (TM) dapat menurunmenghasil-kan suhu udara, meningkatmenghasil-kan kelembaban relatif (RH) dan menurunkan intensitas cahaya pada musim kemarau, sehingga iklim mikro terjaga tetap sesuai untuk pertumbuhan tanaman teh, dapat menekan serangan populasi hama dan meningkatkan populasi musuh alami. keberadaan pohon pelindung tetap pada areal tanaman teh menghasilkan dapat mening-katkan produksi pucuk teh sebanyak 20% pada musim hujan dan 55% pada musim kemarau. Pengelolaan pohon pelindung adalah sebagai berikut:

1) Pohon pelindung sementara

4-5 bulan sebelum datangnnya El Nino tanaman pelindung sementara telah ditanam pada areal TBM sehingga kerapatannya terjaga setiap 2 baris tanaman memanjang sesuai dengan barisan tanaman teh. Tanaman pelin-dung sementara dapat berupa Tephrosia atau Crotalaria sp sebanyak 8-10 kg/ha.

Untuk TBM, penanaman pohon pelindung sementara dapat menggunakan Clotalaria, Tephrosia, Mogania, dan Seisbania. Kebutuhan biji (bibit) 8–12 kg/ha. Ditanam di antara dua baris tanaman teh dengan jarak tanam da-lam barisan 50 cm. menjelang musim kering dilakukan penjarangan de-ngan pangkasan sehingga pelindung sementara yang ditinggal berjarak 1 m dan tinggi pangkasan 50 cm. Pelaksanaan penanaman pohon pelindung sementara bersamaan dengan penanaman bibit teh.

2) Pohon pelindung tetap

Tanaman pelindung tetap dapat diprioritaskan pada areal yang peka terhadap kekeringan. Penanaman pohon pelindung dapat dilakukan tanam-an teh baru berumur 2-3 tahun setelah ttanam-anam. Jarak pelindung tetap dengan jarak tanaman 10 x 10 m, dengan jenis tanaman pelindung yang dapat digunakan antara lain Grevilia robusta, Acacia decurens, Mindi (Melia Azedarach) dan lainnya.

(14)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 14 3) Pengelolaan pohon pelindung

Pemangkasan bentuk dilakukan pada saat lilit batang tanaman pelindung mencapai 60 cm atau ketinggian 7 m, dengan cara memotong dan mem-biarkan empat cabang mengarah ke mata angin. Pemangkasan pemelihara-an dilakukpemelihara-an pada awal musim penghujpemelihara-an dengpemelihara-an cara mempemelihara-angkas cabang-cabang baru 5 cm di atas pangkasan lama. Pelaksanaan penanaman pohon pelindung tetap bersamaan dengan penanaman bibit teh.

2. IRIGASI, FERTIGASI DAN PEMANFAATAN EMBUNG

Transpirasi tanaman teh belum menghasilkan (TBM) berkisar 0,5–1,5 mm/hari dan tanaman menghasilkan (TM) 3,5–4,0 mm air/hari. Sedangkan nilai total evavotranspirasi mencapai 6,5 ml air/hari. Untuk memenuhi keku-rangan air pada musim kemarau, apabila terdapat sumber air, maka dapat dilakukan irigasi baik teknologi surface irrigation atau overhead irrigation. Teknologi irigasi dapat bermanfaat ganda dengan fungsi sebagai fertigasi dan pestigasi. Embung atau teknologi water harvesting lainnya ketika musim hujan dapat dimanfaatkan ketika terjadinya musim kemarau sebagai sumber air.

Aplikasi pemupukan dengan menggabungkannya dengan menggunakan teknik irigasi dikenal dengan istilah fertigasi. Walworth (2013) mengatakan bahwa fertigasi menggunakan urea tidak direkomendasikan karena dapat meningkatkan pH air, melepaskan kalsium tetapi meninggalkan natrium dalam larutan. Pilihan yang baik untuk fertigasi adalah urea ammonium nitrate, yaitu campuran urea dan amonium nitrate yang dilarutkan pada air, umumnya mengandung 32% nitrogen yang dikenal dengan UAN-32. Pada prinsipnya, unsur hara yang diberikan melalui fertigasi dapat diserap tanaman melalui daun secara langsung seperti halnya pemupukan lewat daun (foliar appli-cation) dan juga secara tidak langsung melalui kelarutannya di dalam tanah. Akan tetapi, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemu-pukan melalui daun adalah sebagai berikut:

1) Pemupukan lewat daun dilakukan pada saat stomata membuka dan embun pada daun sudah mengering, (umumnya pagi jam 8.00-10.00). Tidak melakukan pemupukan pada saat curah hujan atau sinar matahari tinggi. 2) Pemupukan lewat daun dilakukan pada masa menjelang musim kemarau

dan pada awal musim hujan. Aplikasi 3-4 kali sebelum musim kering (April-Mei) dan 3-4 kali awal musim hujan (September-Oktober).

3) Pemupukan lewat daun tidak boleh dilakukan pada musim kemarau atau suhu permukaan daun >23OC.

(15)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 15 3. MULSA DAN BAHAN ORGANIK

Penambahan bahan organik 2–7% mampu menaikkan kapasitas simpan air (water holding capacity) sebesar 6,3% ±0,8% g air/g tanah dalam kondisi kering angin untuk setiap persen kenaikan bahan organik yang dilakukan sebelum musim kemarau. Pemberian mulsa dan bahan organik harus dilakukan beberapa bulan sebelum musim kemarau supaya saat kemarau terjadi bahan organik dan mulsa tersebut sudah dapat berfungsi. Tanaman penutup tanah yang dapat digunakan antara lain Arachis pintoi dan Mimosa invisa. Arachis pintoi ditanam dua baris di antara barisan tanaman teh, dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Kebutuhan bibit stek panjangnya 15 cm sebanyak 67.000 stek/ha. Setiap tiga bulan dilakukan penyiangan teh dengan cara piringan diameter 40 cm. Setiap enam bulan Arachis pintoi dipangkas sampai permukaan tanah. Serasah ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan organik dan dimanfaatkan untuk menghambat evaporasi. Mimosa invisa ditanam dua baris di antara barisan tanaman teh dengan jarak dalam barisan 25 cm. kebutuhan biji 0.5 kg/ha. Waktu penanaman bersamaan dengan penanaman bibit teh. Selain itu, mulsa dapat diperoleh dari serasah pangkasan pohon pelindung sementara, serasah penutup tanah, dan serasah lainnya yang tersedia. Serasah tersebut dihampar-kan pada gawangan teh setebal 5 cm dan tidak menyentuh tanaman teh pada akhir musim hujan.

Untuk TBM mulsa, sisa gulma, atau jerami dapat diberikan di bawah tanaman memanjang sesuai dengan barisan tanaman. Untuk tanaman tahun pangkas 1 tahun sisa pangkasan dapat diletakan pada setiap 2 baris tanaman secara memanjang. Ketebalan mulsa 10-15 cm.

4. PEMANGKASAN, PEMBENTUKAN DAUN PEMELIHARAAN DAN PEMUPUKAN SEBELUM PANGKAS

(16)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 16 5. PERLAKUAN PUPUK ZN, K DAN ZPT MENJELANG KEMARAU

Untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap stress air pada tanam-an teh dilakuktanam-an pemupuktanam-an K dengtanam-an dosis 120–240 kg K2O/ha/thn dan ZPT 2–4%. Pupuk mikro Zn perlu diberikan pada awal musim hujan dengan konsen-trasi 2% setelah pemetikan saat cuaca memungkinkan.

6. PEMUPUKAN SETELAH KEMARAU

Pelaksanaan pemupukan semester ke-2 setelah kemarau, dosis pemupuk-an disesuaikpemupuk-an sebagai berikut:

1) Tanaman yang relatif tidak terkena dampak kekeringan atau kekeringan ri-ngan, aplikasi pupuk terakhir dapat diberikan seluruhnya (100% dosis apli-kasi terakhir) dan apliapli-kasi pupuk sebelumnya yang tidak sempat diberikan tidak perlu ditambahkan, sehingga dosis pupuk setahun tidak penuh 100%.

2) Tanaman yang mengalami kekeringan sedang, aplikasi pupuk terakhir dibe-rikan hanya 80% dosis.

3) Tanaman yang mengalami kekeringan berat, aplikasi pupuk terakhir diberi-kan hanya 50% dosis pupuk terakhir saja.

4) Pupuk mikro Zn perlu diberikan pada awal musim hujan dengan konsen-trasi 2% setelah pemetikan saat cuaca memungkinkan.

7. PENGENDALIAN HAMA DAN GULMA

Untuk tanaman belum menghasilkan (TBM) atau pada tanaman Tahun Pangkas 1 tahun rorak dibuat dengan ukuran panjang 2 meter lebar 40 cm dan dalam 40 cm. Rorak diisi dengan serasah pangkasan, sisa-sisa gulma atau pupuk kandang. Rorak dibuat setiap 2 baris tanaman teh memanjang, atau jumlah rorak 50% dari luas areal. Pada keadaan kering sebaiknya pengendalian gulma dilkukan dengan strip weeding untuk keadaan gulma yang penutupan-nya lebih dari 80%. Untuk areal tanaman teh dengan penutupan di bawah 50% sebaiknya dilakukan pengendalian setelah tiba pada awal musim hujan.

8. GRAFTING

(17)

diban-Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 17 ding tanaman lainnya baik dari seedling ataupun asal klon di antaranya Klon TRI 2025, TRI 2024, SA 35, GD 1, PS 1. Untuk mendapatkan bibit tahan keke-ringan dapat dilakukan dengan cara sambungan (grafting) yang sudah dilaku-kan di India, di Indonesia sudah mulai dirintis (Purnama, 2002) dan perlu dikembangkan sebagai cara alternatif memperoleh bahan tanaman tahan kekeringan. Untuk mendapatkan bahan tanaman yang tahan kekeringan de-ngan cara sambude-ngan (grafting), yaitu menggunakan batang bawah yang tahan terhadap kekeringan dan batang atasnya yang memiliki produktivitas tinggi.

Penyambungan pada tanaman teh untuk menghasilkan tanaman campur-an telah biasa dilakukcampur-an di India dcampur-an Srilcampur-angka. Menurut Khatiravetpillai,1988 di masa lalu penyambungan dilakukan sebagai usaha untuk (1) meneliti hubungan masa dorman; (2) mendorong tunas asal dari klon yang diinginkan ke tanaman tua asal biji; dan (3) mendapatkan produksi tinggi dalam menghadapi keadaan kekeringan dengan menyambung tanaman pada batang induk yang sesuai. Grafting merupakan salah satu cara dari Graftage yaitu menggabung-kan dua struktur batang yang terpisah, keberhasilannya sangat ditentumenggabung-kan oleh kontak kambium dari kedua batang tersebut. Kedua struktur batang tersebut harus kompatibel supaya tanaman dapat hidup. Salah satu alasan dilakukan graftage adalah memanfaatkan sistem perakaran tanaman yang tahan terhadap keadaan yang kurang menguntungkan.

(18)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 18 9. USAHA PENYEMBUHAN AKIBAT KEKERINGAN

Setelah hujan turun pada minggu pertama tanaman teh yang menderita akan mengalami gugur daun. Usaha penyembuhan yang dapat dilakukan adalah:

1) Pemupukan: dilakukan setelah 7 hari berturut-turut curah hujan 60 mm, dan saat pemberian tergantung tingkat kerusakan:

- Kerusakan ringan, 2 minggu sesudahnya. - Kerusakan sedang, 4 minggu sesudahnya.

- Kerusakan berat sesudah pertumbuhan tunas baru kuat (1–1,5 bulan sesudahnya).

2) Pemetikan: ringan atau ditunda agar tanaman menjadi sehat kembali dengan di dukung daun pemeliharaan yang memadai.

3) Pemangkasan: baru dilakukan setelah cadangan pati dalam akar normal. 4) Pemberantasan hama: sebagai akibat parasit dan predator yang sebagian

besar mati di musim kemarau, pada awal musim hujan hama meningkat dan tanaman teh masih lemah. Oleh karena itu pengendalian hama perlu di kendalikan secara intensif.

DAFTAR PUSTAKA

Boer, R. 2001. Final Report: Inventory of climate extreme impact (ENSO) on agriculture: Indonesian case. Asian Disaster Preparedness Center (ADPC). Thailand. Bangkok.

Bore, J.K, W.K. Ng'etich. 2001. Effects of Ergostim 0n Tea Plant Recovery From Drought. Tea. 22(2) :74-78

Carr, M.K.V.1972.The Climate Requirement of Tea Plant. A Review. Expl. Agric. 8:1-4 Printed in Great Britain

Caliman,.J.P. 1992. Kelapa Sawit Dan Deficit Air: Produksi Dan Cara Mengatasi. Lokakarya Kiat Menghadapi Kemungkinan Musim kemarau Panjang tahun 1992, 19-20 Februari. Bandung.29 hal

Chang, P.C.M. and C.T. Wu. 1971. Studies on the effect of soil moisture control and irigation of tea plant. Water and the tea plant. Tea Res. Inst. East Africa Proc. Symp. March 1971:139-144

(19)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 19 Darmawijaya, I.M., 1982. Pengaruh kekeringan terhadap Tanaman Teh. PPTK.

18 hal.

Eden.T. 1976. Tea (3rd Edition). Longmans Group Ltd.London. 236 pp

Las, I., R. Boer, H. Syahbudin, A. Pramudia. 1999. Analisis peluang penyimpangan iklim dan ketersediaan air pada wilayah pengembangan IP Padi 300. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Laporan Proyek ARMP-II, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 155p (tidak dipublikasikan).

Manivel, L. 1999. Physiology of Tea Productivity. Global and advance of Tea Science: 463-480

Purnama, R. 2002. Sambungan (grafting) di pembibitan teh untuk mendapatkan bahan tanaman (bibit) yang tahan kekeringan. Laporan Proyek Penelitian APBN tahun 2002

Pramudia, A. 2002. Analisis sensivitas tingkat kerawanan produksi padi di pantai utara Jawa Barat terhadap kekeringan dan El Nino. Thesis Program Pascasarjana IPB. Bogor. 92p.

Pranoto, E. Dan Mieke R. S., 2014. Pengujian Pertumbuhan dan Kapasitas Azotobacter sp Indigen dan Eksogen secara in-vitro pada Tanah Andisol Areal Pertanaman Teh. (Diajukan pada Jurnal PPTK Gambung tahun 2014).

Rahardjo, P., 2013. Laporan Akhir. Penggunaan Teknologi Irigasi “Mobile Overhead Sprinkler System” di Perkebunan Teh yang Menguntungkan. PPTK Gambung, Bandung.

Rachmiati, Y. Dan A. Agus Salim. 2006. Pemupukan Pasca Kemarau Pada Tanaman Teh. Pertemuan Teknis Teh Akhir tahun 2006. Bandung 11 Desember 2006. 8 hal

Rachmiati, Y., 2010. Pengelolaan Tanaman Teh dan Lingkungan secara Terpadu untuk Mengurangi Risiko Kemarau. Laporan APBN tahun 2010. PPTK Gambung

(20)

Teknologi pemupukan dan kultur teknis yang adaftif terhadap anomali iklim pada tanaman teh 20 Sukasman, 1996. Pengujian Pohon lamtoro tahan kutu (hantu) sebagai sarana pengendalian hayati Helopeltis pada perkebunan teh sekaligus meningkatkan keuntungan 40% atau lebih bagi perkebunan. Prosiding seminar sehari alternatif pengendalian hama teh secara hayati. Pusat Penelitian teh dan kina, Gambung. Bandung

Sukasman.1992. Pengaruh Kemarau Panjang Terhadap Tanaman Teh Dan Usaha Penanggulangannya. Warta Teh dan Kina 3(3/4): 73-88

Sukasman dan Syafruddin Mahmud, 1988. Pemangkasan Tanaman Teh pada Periode kering dan permasalahanya. Seminar Mingguan BPTK Gambung.

Tim PPTK, 2006. Petunjuk Kultur Teknis Tanaman Teh. Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Bandung

Walworth, J., 2013. Nitrogen in Soil and The Environment. The University of Arizona, USA

Wibowo, Z.S., dan Y. Rachmiati. 1993. Konservasi Air Di Perkebunan Teh. Prosiding Seminar Konservasi tanah dan Air Kunci Pemberdayaan Petani dan pelestarian Sumberdaya Alam. Yogyakarta 27-28 Oktober 1993: hal 108-113

Wibowo, Z.S., A.Agus Salim, Nyanjang R., dan Dahman. 1998. Irigasi Tepat Guna di Perkebunan Untuk Mencegah Kehilangan Produksi Pada Musim Kering. Laporan hasil penelitian APBN TA/1997/1998. Tidak dipublikasikan

Wibowo, Z.S., M. Isa Darmawijaya, Pudjo Rahardjo dan E.H. Pasaribu. 1992. Daya Sangga Tanah-Tanah Teh Terhadap Air dan Beberapa Konservasinya Dalam Menyongsong Musim Kering 1992. Lokakarya Kiat Menghadapi Kemungkinan Musim kemarau Panjang tahun 1992, 19-20 Februari. Bandung. 11 hal

Widayat, W., 2012. Pentingnya Perubahan Iklim terhadap Pertumbuhan Pertanaman Teh. Pertemuan Teknis Teh. Bandung, 13 September 2012.

Widayat, W. dan Erwan. 2006. Kajian Produksi Teh tahun 2006 dan langkah Penanganannya tahun 2007. Pertemuan Teknis Teh Akhir tahun 2006, Bandung, 11 Desember 2006. 18 halaman

Gambar

TABEL 1 Kondisi  suhu udara optimal untuk fotosintesa
TABEL 2 Strategi Adaptasi
Gambar 1 Fluktuasi produktivitas tanaman teh perkebunan dataran tinggi selama 4 tahun

Referensi

Dokumen terkait

TCS menyebabkan kehilangan fungsi progresif pada atau dibawah level medula spinalis yang mengalami gangguan disertai atau tanpa nyeri pada lumbal bagian bawah.. Kelainan ini

Berkaitan dengan objek penelitian yaitu Masjid Agung Baitussalam Purwokerto, sampai saat ini peneliti belum dapat menemukan buku yang berkaitan langsung dengan

1. Seseorang yang memberikan pernyataan palsu. Korban yang bergantung pada pernyataan, dan 3. Perlu dicatat bahwa orang yang berada di internal maupun eksternal organisasi

maupun dorongan berupa scaffolding pada mahasiswa untuk bekerja sama dalam kelompok. Karena persentase ketuntasan secara klasikal pada siklus I , maka dapat

1) Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi,

Perkembangan dari lesi kontusio serebri adalah (1) Komponen perdarahan berkembang; penyatuan fokus –fokus perdarahan kecil dapat terjadi; komponen perdarahan dari kontusio

Misalkan dilihat dari proporsi penempatan asset bank dalam bentuk penempatan dana pada BI (SBI), surat-surat berharga, dan kredit dari kelima bank yang mempunyai ranking tinggi

Untuk dapat menentukan lokasi Terminal Penumpang di suatu wilayah dapat menggunakan Sistem Informasi Geografis dengan perpaduan dari data spasial berupa citra