• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFORMATIO IN PEIUS SEBAGAI ALASAN PERMO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REFORMATIO IN PEIUS SEBAGAI ALASAN PERMO"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

REFORMATIO IN PEIUSSEBAGAI ALASAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN PENGADILAN PAJAK

UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN SUBSTANTIF DALAM INTEGRASI GLOBAL

Lomba Karya Tulis Ilmiah

Diponegoro Law Fair 2015

BAHARUDDIN LOPA

Disusun Oleh:

FATCHUR ROCHMAN (NIM 120710101144) MUHAMMAD RIZAL R. (NIM 120710101282)

YUNI AMALIA (NIM 130710101107)

UNIVERSITAS JEMBER JEMBER

(2)

REFORMATIO IN PEIUSSEBAGAI ALASAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN PENGADILAN PAJAK

UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN SUBSTANTIF DALAM INTEGRASI GLOBAL

Lomba Karya Tulis Ilmiah

Diponegoro Law Fair 2015

BAHARUDDIN LOPA

Disusun Oleh:

FATCHUR ROCHMAN (NIM 120710101144) MUHAMMAD RIZAL R. (NIM 120710101282)

YUNI AMALIA (NIM 130710101107)

UNIVERSITAS JEMBER JEMBER

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini yang berjudul : REFORMATIO IN PEIUS SEBAGAI ALASAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI ATAS PUTUSAN

PENGADILAN PAJAK UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN

SUBSTANTIF DALAM INTEGRASI GLOBAL dengan baik tanpa suatu halangan yang berarti.

Karya Tulis Ilmiah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:

1. Allah SWT sebagai Sang Khaliq yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya;

2. Ayah dan Ibunda penulis yang selalu memberikan doa dan dukungan; 3. Bapak Rektor Universitas Jember, Drs. Moh. Hasan, M.Sc., Ph.D.

4. Bapak Penjabat Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr. Nurul Ghufron, S.H., M.H.;

5. Ibu Dosen Pembimbing, Rosita Indrayati, S.H., M.H. yang senantiasa memberi nasehat serta membimbing penulis; dan

6. Rekan-rekan UKMF FK2H (Forum Kajian Keilmuan Hukum) Fakultas Hukum Universitas Jember yang turut serta membantu kami berdiskusi.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, sehingga sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah yang akan datang. Semoga dapat memberikan wawasan dan informasi, serta sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pe-merintah, masyarakat, mahasiswa serta para pihak yang tertarik dan berminat terhadap permasalahan yang dihadapi.

Jember, 01 November 2015

(5)

iv DAFTAR ISI

HALAMAN AWAL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

RINGKASAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ...4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...6

2.1 Pengadilan Pajak ...6

2.1.1 Eksistensi Pengadilan Pajak di Indonesia ...6

2.1.2 Peninjauan Kembali dalam Peradilan Pajak ...8

2.2 Keadilan Substantif ...10

2.3 Reformatio In Peius...12

BAB III METODE PENULISAN ...13

3.1 Tipe Penelitian ...13

3.2 Pendekatan Masalah ...14

3.3 Sumber Bahan Hukum ...15

3.3.1 Bahan Hukum Primer ...15

3.3.2 Bahan Hukum Sekunder ...15

3.3.3 Bahan Non Hukum ...16

3.4 Analisis Bahan Hukum ...16

BAB IV PEMBAHASAN ...18

(6)

4.2 Pengaturan di Masa Mendatang mengenai Alasan Permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak dalam Rangka

Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Integrasi Global ...24

BAB V PENUTUP ...32

5.1 Kesimpulan ...32

5.2 Rekomendasi ...32

DAFTAR PUSTAKA

(7)

vi RINGKASAN

Penghasilan Negara berasal dari masyarakat melalui pungutan pajak dan atau hasil kekayaan alam yang terkandung di dalam Negara. Penghasilan tersebut untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan individu dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara merata. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting. Disamping adanya proses pemungutan pajak, pasti terdapat sengketa pajak yang menjadi faktor penghambat. Dengan adanya permasalahan tersebut, maka instrumen yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yakni melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Merujuk pada pasal 91 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak memberikan pengecualian untuk putusan yang memuat menambah jumlah pajak yang dibebankan kepada Penggugat tidak dapat dilakukan Peninjauan Kembali. Artinya, adanya pembatasan terhadap para Pemohon Banding atau Penggugat untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak serta tidak adanya upaya hukum yang disediakan oleh Negara untuk wajib pajak sebagai para pencari keadilan dalam sengketa pajak. Hal ini tentu tidak sesuai dengan tujuan pembentukan pengadilan pajak dan tidak mencerminkan legal justice, moral justice, dan social justice. Pada hakikatnya, hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum agar para pencari keadilan dalam sengketa pajak mendapatkan keadilan subtantif.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan memberikan solusi konstruktif dari pemasalahan yang dibahas. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dan Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, sekunder, dan non hukum yang relevan dengan judul dari penelitian ini sedangkan untuk metode analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah menggunakan analisis deduktif.

Hasil yang diperoleh secara keseluruhan dari penelitian ini adalah merekonstruksi pengaturan terhadap peninjauan kembali dalam Pengadilan Pajak

untuk mewujudkan keadilan substantif dalam integrasi global, yaitu melalui penerapanreformation in peius.

(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang tercantum dalam Alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Namun, pembangunan nasional yang berkesinambungan dan

berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air memerlukan dana yang memadai, terutama dari sumber perpajakan. Pajak memiliki peran yang sangat vital bagi pembangunan Indonesia, karena pajak menyumbang sekitar Rp1.099,94 Triliun atau sekitar 73,23% dari seluruh penerimaan Negara pada Tahun 2013.1

Timbulnya sengketa perpajakan sebagai konsekuensi atas peningkatan jumlah Wajib Pajak dan pemahaman atas hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Bahkan, jumlah sengketa pajak yang masuk ke Pengadilan Pajak cenderung mengalami peningkatan dalam sepuluh tahun terakhir. Pada level Peninjauan Kembali (PK) perkara Tata Usaha Negara di Mahkamah Agung, kasus pajak menempati urutan pertama. Dari total akumulasi dari tahun ke tahun, berkas yang masuk hingga akhir 2013 adalah sebanyak 17.914, sementara untuk permohonan peninjauan kembali (PK) atas putusan pengadilan pajak sebesar 1.149.2

Sengketa pajak yang timbul memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Hal ini dikarenakan pajak memegang peran penting dan strategis dalam penerimaan negara sehingga dalam penyelesaian sengketa sajak diperlukan jenjang pemeriksaan ulang vertikal yang lebih ringkas untuk mengurangi inefisiensi akibat potensi pengulangan pemeriksaan menyeluruh pada setiap jenjang pemeriksaan ulang vertikal. Oleh

1

Direktorat Jenderal Pajak RI. http://www.pajak.go.id/content/news/peran-pajak-terhadap-pembangunan-nasional-dan-daerah, diakses Senin, 26 Oktober 2015 pukul 21.53 wib.

2

(9)

2

karena itu, Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak), sebagai langkah untuk menyelesaikan sengketa pajak tersebut.

Dalam memutus sengketa pajak, Pengadilan Pajak dapat memberikan putusan yang merugikan atau mengurangi kedudukan atau kepentingan hukum penggugat dari keadaan sebelum penggugat mengajukan gugatannya. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 80 ayat (1) huruf c yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak dapat berupa menambah Pajak yang harus dibayar oleh Penggugat. Putusan tersebut digunakan apabila fakta hukum menunjukan bahwa kewajiban pajak Penggugat yang sebenarnya lebih besar daripada nilai kewajiban

pajak yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang digugat atau yang diajukan suatu keberatan oleh Penggugat kepada Pengadilan Pajak.3

Dalam sistem Peradilan Pajak, putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Satu-satunya upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak adalah peninjauan kembali. Namun, Pasal 91 huruf c memberikan pengecualian bahwa untuk putusan yang memuat menambah jumlah pajak yang dibebankan kepada Penggugat tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Dengan demikian, putusan yang berupa “menambah jumlah pajak yang dibebankan kepada Penggugat” langsung memiliki kekuatan hukum yang tetap,

dan tidak ada upaya hukum yang disediakan oleh negara untuk Wajib Pajak atau penanggung pajak sebagai para pencari keadilan dalam sengketa pajak.

Dalam paradigma hukum progresif, hukum harus selalu hadir menyesuaikan kebutuhan manusia dengan semangat zamannya. Hukum tidak hanya berorientasi terhadap apa yang menjadi kebutuhan manusia saat ini, tetapi juga harus menjangkau kebutuhan manusia di masa mendatang.4 Hal ini berarti bahwa hukum harus merespon kebutuhan manusia, bukan hanya untuk mengatasi kasus-kasus yang terjadi saat ini tetapi juga harus memiliki kepekaan untuk

3

Gatot Supramono. 2010. Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan Perhitungan. Yogyakarta: Andi Offset, hal: 17.

4

(10)

menyelesaikan hal-hal yang mungkin akan di masa mendatang. Sebagai contoh kasus (hipotetik) adalah terjadinya hakim Pengadilan Pajak melakukan kesalahan dalam melakukan penghitungan nilai pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak sehingga Wajib Pajak atau penanggung pajak membayar pajak lebih besar daripada nilai pajak yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Putusan yang dibuat atas kesalahan tersebut tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Hal ini dikarenakan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak tidak menjadikan kekhilafan hakim sebagai alasan permohonan penunjauan kembali. Selain itu, putusan tersebut termasuk dalam pengecualian dalam alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang diatur dalam Pasal 91 huruf c

UU Pengadilan Pajak.

Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa pengadilan bukanlah diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian abstrak, yaitu hal yang memberikan keadilan. Hal ini berarti bahwa tugas pengadilan atau hakim dalam memberikan keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan, kongkritnya kepada yang mohon keadilan, apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.5Demikian pula dengan Pengadilan Pajak. Pengadilan Pajak haruslah memberikan keadilan kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak sebagai pencari keadilan dalam sengketa pajak. Dengan demikian, Sistem Peradilan Pajak haruslah memberikan akses seluas-luasnya bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak untuk memperoleh keadilan.

Berdasarkan uraian diatas, Pengadilan Pajak merupakan institusi pengadilan

yang digunakan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak untuk mencari keadilan

dalam sengketa pajak. Namun, upaya hukum yang disediakan dalam Pengadilan

Pajak, dalam hal ini peninjauan kembali (PK), kurang memadai dalam upaya

memberi keadilan bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Hal tersebut

menunjukkan bahwa terdapat legal gaps antara tujuan pembentukan Pengadilan Pajak dengan upaya hukum yang tersedia didalamnya. Oleh karena itu, perlu

5

(11)

4

adanya rekonstruksi pengaturan terhadap peninjauan kembali dalam Pengadilan Pajakuntuk mewujudkan keadilan substantif dalam integrasi global.

1.2. Rumusan Masalah

Sebagai satu-satunya upaya hukum yang disediakan dalam sistem peradilan pajak, peninjauan kembali merupakan ujung tombak bagi para pencari keadilan apabila terdapat putusan Pengadilan Pajak yang dirasakan tidak memberikan keadilan bagi dirinya. Namun, upaya hukum tersebut tidak dapat ditempuh

terhadap putusan Pengadilan Pajak yang berupa menambah pajak yang dibayar oleh Penggugat. Padahal, tidak tertutup kemungkinan adanya kesalahan hakim dalam melakukan penghitungan terhadap pajak yang harus dibayar oleh Penggugat.

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam karya tulis ilmiah ini, yaitu sebagai berikut:

1. Apakah alasan permohonan Peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c sudah sesuai dengan tujuan pembentukan Pengadilan Pajak?

2. Bagaimana pengaturan di masa mendatang mengenai alasan permohonan Peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak dalam rangka mewujudkan keadilan substantif dalam integrasi global?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, adalah:

1. Sebagai tujuan akademis, yaitu untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Diponegoro Law Fair 2015 yang diselenggarakan oleh Komunitas Riset dan Debat (KRD) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

2. Sebagai tujuan deskriptif, yaitu untuk mengetahui dan menganalisis kelemahan-kelemahan alasan permohonan Peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c dalam rangka mewujudkan keadilan substantif dalam integrasi

(12)

3. Sebagai tujuan edukatif, yaitu untuk mempelajari pembaharuan hukum yang berkaitan dengan alasan permohonan Peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak dalam rangka mewujudkan keadilan substantif dalam integrasi global.

Adapun manfaat yang ingin dicapai penulis, adalah:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai referensi mengenai alasan permohonan Peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak dalam rangka mewujudkan keadilan substantif dalam integrasi global.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran dan bahan masukan bagi DPR dan Presiden, selaku lembaga yang berwenang untuk membuat undang-undang yang berkaitan dengan Pengadilan Pajak.

(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengadilan Pajak

2.1.1 Eksistensi Pengadilan Pajak di Indonesia

Dalam sebuah negara hukum, lembaga peradilan menjadi sangat penting karena dalam sejarah, selalu ada pihak-pihak baik penyelenggaraan negara/ pemerintahan maupun rakyat yang melanggar ketentuan hukum.6 Pendapat yang senada diungkapkan oleh Sjachran Basah, bahwa peradilan merupakan salah satu unsur penting dari negara hukum yang menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum.7

Pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara langsung dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan demikian itu dalam kata sehari-hari hanya dapat berupa penggarongan, perampokan, pencopetan (dengan paksa), atau pemberian hadiah dengan sukarela dan ikhlas (tanpa paksaan).8Falsafah pajak yang dianut oleh Inggris sama dengan

di Indonesia yaitu “No Taxation Without Representation” dan juga di Amerika

“Taxation Without Representation is Roberry”.

Hubungan hukum antara Negara dengan Wajib Pajak ini dapat

menimbulkan permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa pajak. Lembaga yang menyelesaikan sengketa pajak salah satunya adalah Pengadilan Pajak.

Pengadilan pajak sebagaimana yang diatur dalam UU Pengadilan Pajak, merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan apabila terjadi sengketa pajak dengan fiskus atau pemungut pajak.9 Hal ini memberikan gambaran bahwa tugas

6

Galang Asmara. 2006. Peradilan Pajak dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak di Insonesia. Yogyakarta: LaksBang Pressindo, hal: 1.

7

Ibid.,hal: 3. 8

Soemitro, Rochmat. 1998.Asas dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika Aditama, hal: 8.

9

(14)

dari Pengadilan Pajak adalah memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang pengadilan pajak.

Menurut Istiani, Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan penerimaan pajak pusat, pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya, terkadang dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan terhadap para Wajib Pajak itu sendiri. 10 Karenanya, masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa perpajakan sehingga dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk menanganinya.

Selanjutnya menurut Galang Asmara, kebutuhan adanya suatu lembaga Peradilan Pajak didasarkan pada dua hal sebagai berikut :11

1. Lembaga Peradilan Pajak dan Konsep Negara Hukum

Keberadaan lembaga peradilan pajak bila dikaitkan dengan konsep Negara Hukum adalah untuk menegakkan konsep Negara Hukum itu sendiri yang menghendaki adanya penegakkan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyatnya atau penduduk negara.

Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu kondisi dari suatu tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada tingkat kualitas yang dianggap baik atau paling baik.12Pembangunan yang dilaksanakan tentu saja pembangunan yang memiliki pijakan hukum yang jelas, bisa dipertanggung-jawabkan, terarah serta proporsional.

2. Perlindungan Pajak dan Perlindungan Hukum Bagi Rakyat

Lembaga Peradilan Pajak sebagai salah satu lembaga perlindungan hukum terutama berfungsi di dalam memberikan perlindungan terhadap Wajib Pajak dan penanggung pajak dari tindakan pemerintah di dalam memungut pajak terhadap rakyat. Lembaga peradilan pajak disini berperan di dalam menyelesaikan sengketa pajak, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak dan penanggung pajak dengan pejabat yang

10

Nisa Istiani.Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. http://www.pemantauanperadilan.com/detil diakses Minggu, 25 Oktober 2015 pukul 12.00 WIB.

11

Galang Asmara,Op.Cit., hal: 8-12. 12

(15)

8

berwenang. Munculnya Pengadilan Pajak tidak terlepas suatu proseslegal reform(pembaharuan hukum) dalam hukum perpajakan yang sebelum dirasakan tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat sebagai Wajib Pajak.

2.1.2. Peninjauan Kembali dalam Peradilan Pajak

Menurut Rochmat Soemitro, peradilan merupakan suatu kekuasaan (dalam arti functie) yang berdiri sendiri berdampingan dengan kekuasaan lainnya.13 Sedangkan Sjachran Basah berpendapat bahwa peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum,

menentukan hukum “in concreto” dalam mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materill, dengan menggunakan cara prosedural yang diterapkan hukum formal.14

Rochmat Soemitro, merumuskan peradilan pajak sebagai suatu proses dalam hukum pajak yang bermaksud memberikan keadilan dalam sengketa pajak, baik kepada wajib pajak maupun kepada pemungut pajak (pemerintah), sesuai dengan ketentuan undang-undang (hukum positif). Proses itu merupakan

rangkaian perbuatan yang harus dilakukan oleh wajib pajak atau oleh pemungut pajak di hadapaan suatu instansi (administrasi atau pengadilan) yang berwenang

mengambil keputusan untuk mengakhiri sengketa. Sejalan dengan rumusan tersebut, peradilan pajak mencakup hal yang luas, meliputi baik peradilan untuk penyelesaian perkara tindak pidana fiscal maupun yang mengenai sengketa (administrasi pajak) yakni sengketa yang timbul karena tidak adanya kecocokan tentang jumlah utang pajak yang harus dibayar, yang terjadi antara wajib pajak dengan fiskus.15

Peninjauan kembali dalam perkara di bidang perpajakan ialah upaya hukum luar biasa yang merupakan sarana untuk memeperbaiki putusan hakim pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

13

Rochmat Soemitro. 1976. Masalah Peradilam Administrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia.Bandung-Jakarta: Eresco, hal: 4.

14

Sjachran Basah. 1989. Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung: Alumni, hal: 23.

15

(16)

Pengajuan peninjauan kembali tidak menghalangi pelaksanaan/eksekusi putusan pengadilan pajak dan dapat dilakukan, baik sebelum maupun sesudah eksekusi selama jangka waktu pengajuan masih terpenuhi.16 Adanya kesempatan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung ini memecahkan masalah berupa keluhan para pemohon banding/gugatan pencari keadilan maupun terbanding/tergugat.

Pelaksanaan Peninjauan Kembali sesuai dengan Pasal 90 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan Peninjauan Kembali adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Dengan demikian, jelas bahwa seluruh pengaturan Peninjauan Kembali di dalam

Undang-Undang Mahkamah Agung berlaku seluruhnya kecuali yang telah diatur secara tersendiri dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak.

Upaya hukum berupa permohanan Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa, di mana untuk dapat mengajukan permohonan tersebut telah dibatasi apa yang menjadi alasannya. Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak juga mengatur hal ini, di mana permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut :17

a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim Pidana dinyatakan palsu;

b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda;

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pengadilan Pajak; d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa

dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau

e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berbeda.

16

Jamal Wiwoho dan Lulik Djatikumoro. 2004. Dasar-Dasar Penyelesaian Sengketa Pajak. Bandung: Citra Aditya Bakti, hal: 121.

17

(17)

10

Berdasarkan kelima alasan-alasan pengajuan permohonan peninjauan kembali maka, fokus penulisan dalam karya tulis ini membahas mengenai Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak.

2.2. Keadilan Substantif

Publik sejauh ini merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim harus mampu menjadiliving interpretator

untuk menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar la bouche de la loi (corong

undang-undang). Permasalahan sebagaimana tergambar pada uraian tersebut agaknya memang tidak dapat dilepaskan dari dikotomi antara keadilan substantif dan

keadilan prosedural.

Keadilan substantif di dalamBlack’s Law Dictionary 7th Edition dimaknai sebagai: “Justice Fairly Administered According to Rules of Substantive Law,

Regardless of Any Procedural Errors Not Affecting The Litigant’s substantive

Rights”.18(Keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif Penggugat). Hal Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran prosedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa

18

(18)

keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.

Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai fundamental yang terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang menitikberatkan kepada aspek prosedural akan di nomorduakan. Secara teoritik, kedalilan substantif dibagi ke dalam empat bentuk keadilan, yakni kedailan distributif, kedalian retributif, keadilan komutatif, dan keadilan korektif. Keadilan distributif menyangkut pengaturan dasar segala sesuatu, buruk baik dalam mengatur masyarakat. Berdsarkan keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk menciptakan hubungan yang adil antara dua pihak dengan mendapat kesempatan yang sama untuk

memperoleh keadilan.

Menurut Bambang Sutiyoso bahwa para pencari keadilan (justiciabellen) tentu sangat mendambakan perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim-hakim yang professional dan memiliki integritas moral yang tinggi, sehingga dapat melahirkan putusan-putusan yang tidak saja mengandung aspek kepastian hukum (keadilan prosedural), tetapi juga berdimensikan legal justice, moral justice dan social justice. Karena keadilan itulah yang menjadi tujuan utama yang hendak dicapai dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.19

2.3.Reformatio in Peius

Secara gramatikal reformatio in peius memiliki dua kata dasar yaitu

reformatioyang berartichangeatau perubahan, danpeiusyang berartiworseatau lebih buruk, sehingga jika diartikan kata demi kata artinya adalah perubahan menjadi lebih buruk. Di Indonesia, Reformatio in peius diartikan sebagai diktum putusan yang justru tidak menguntungkan Penggugat. Dalam mengartikan

reformatio in peius, buku II Mahkamah Agung tidak membedakan apakah yang dimaksud dengan diktum putusan adalah diktum putusan pengadilan tingkat

19

(19)

12

pertama, pengadilan tingkat banding atau kasasi, sehingga oleh karenanya dapat diartikan sebagai diktum putusan di segala tingkat peradilan.20

Sebagaimana asas dari reformatio in peius dimana yang memungkinkan Hakim meluruskan tindakan Tergugat yang berakibat amar putusan justru semakin tidak menguntungkan Penggugat, maka obyek gugatan yang dianggap tidak tepat tersebut memang sudah seharusnya dibatalkan terlebih dahulu untuk kemudian dicabut dan diterbitkan surat keputusan yang baru yang isinya semakin tidak menguntungkan Penggugat sesuai dengan kesalahannya.21

20

Mahkamah Agung RI. 2009. Buku II Mahkamah Agung RI tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara, hal: 82.

21

(20)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan faktor penting dalam penulisan yang bersifat ilmiah. Hal ini dikarenakan metode penelitian merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam upaya untuk mencari dan menemukan kebenaran melalui penelitian secara ilmiah.22 Lebih lanjut, Dyah Ochtorina Susanti mengungkapkan bahwa metode merupakan cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.23

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.24 Dengan demikian, metode penelitian hukum merupakan cara kerja untuk memahami aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Sehubungan dengan hal tersebut, agar tercipta suatu karya tulis ilmiah yang sistematis dan terarah untuk menghasilkan argumentasi yang dapat dipertangungjawabkan, maka dalam penelitian karya tulis ilmiah ini akan digunakan metode penelitian sebagai berikut:

3.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang dipergunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah penelitian hukum. Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa:25

“Lalu, apakah perlu istilah penelitian hukum normatif? Menurut pendapat saya tidak perlu karena istilah legal research atau bahasa Belandarechtsonderzoek selalu normatif. Sama halnya dengan istilah yuridis-normatif yang sebenarnya juga tidak dikenal dalam penelitian hukum. Jika type penelitian harus dinyatakan dalam suatu tulisan, cukup dikemukakan bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum. Dengan pernyataan demikian sudah jelas bahwa penelitian tersebut

22

Dyah Ochtorina Susanti. 2014.Penelitian Hukum, Jember: Fakultas Hukum Universitas Jember, hal: 3

23

Ibid., hal: 25 24

Peter Mahmud Marzuki. 2013. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal: 60.

25

(21)

14

bersifat normatif.”

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji konsep-konsep hukum yang kemudian dirumuskan sebagai suatu gagasan yang dapat direalisasikan dalam kerangka berjalannya aktivitas hidup bermasyarakat secara tertib. Dengan demikian, karya tulis ilmiah ini dimaksudkan untuk merumuskan kembali alasan permohonan peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak sehingga dapat mendukung tercapainya keadilan subtantif dalam integrasi global.

3.2 Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian.26 Dalam pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) digunakan untuk menbahas rumusan masalah nomor 1 (satu) yang berkaitan dengan kesesuaian alasan permohonan peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak terhadap tujuan pembentukan Pengadilan Pajak, sedangkan pendekatan konseptual (conseptual approach) digunakan untuk menemukan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan berkaitan dengan isu hukum yang dikaji oleh penulis. Selain itu, pendekatan konseptual (conseptual approach) juga digunakan untuk menbahas rumusan masalah nomor 2 (dua) yang berkaitan dengan pembaharuan hukum terhadap alasan permohonan peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak dalam rangka mewujudkan keadilan substantif dalam

integrasi global.

26

(22)

3.3 Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan sarana dan alat dari suatu penelitian yang digunakan untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber hukum yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini, yaitu :

3.3.1 Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer mempunyai sifat autoritatif, yang artinya mempunyai

otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.27 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian karya tulis ilmiah ini, terdiri dari:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;

5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman;

3.3.2 Bahan Hukum Sekunder

Sumber bahan hukum sekunder merupakan sumber bahan hukum yang yang diperoleh dari semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum tersebut meliputi literatur ilmiah, buku-buku,

27

(23)

16

kamus hukum, jurnal hukum, serta komentar-kementar atas putusan pengadilan.28 Sumber bahan hukum sekunder digunakan untuk memberikan semacam

“petunjuk” bagi penulis ke arah mana penulis melangkah dan sebagai panduan

berpikir dalam menyusun argumentasi untuk membahas isu hukum yang dikaji oleh penulis. Sumber bahan hukum sekunder yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah sebagaimana yang tercantum dalam daftar pustaka.

3.3.3 Bahan Non Hukum

Bahan non hukum merupakan bahan yang digunakan sebagai penunjang dan

yang memberikan petunjuk maupun kejelasan terhadap hukum primer dan sekunder. Bahan non hukum dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan penelitian. Bahan non hukum dapat berupa buku, jurnal, laporan, penelitian, dan lain-lain (buku-buku politik, ekonomi, teknik, filsafat, kedokteran, kebudayaan, dan lain-lain) sepanjang relevan dengan objek penelitian yang dibahas.29 Dalam penelitian ini, bahan non hukum yang digunakan berupa buku pedoman penulisan karya ilmiah, laporan penelitian non hukum atau jurnal non hukum dan bahan-bahan lainnya sepanjang mempunyai relevansi dengan isu hukum yang dibahas dalam karya tulis ilmiah ini.

3.4 Analisis Bahan Hukum

Metode analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah menggunakan analisis deduktif, yaitu cara melihat suatu permasalahan secara umum sampai dengan pada hal-hal yang bersifat khusus untuk mencapai preskripsi atau maksud yang sebenarnya. Langkah selanjutnya yang digunakan dalam melakukan suatu penelitian hukum adalah :30

1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;

2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum yang dipandang mempunyai relevansi;

28

Ibid., hal: 195-196. 29

Ibid., hal: 204-206. 30

(24)

3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan;

4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dan menjawab isu hukum; dan

5. Memberikan perskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.

Sesuai dengan langkah-langkah diatas, sebelumnya penulis mengidentifikasi fakta hukum dan telah menetapkan isu hukum yang akan dibahas. Selanjutnya, penulis mengumpulkan bahan-bahan yang relevan dengan bahan hukum yang relevan dengan isu yang akan dibahas, dan melakukan telaah terhadap isu hukum yang akan dibahas. Isu hukum yang akan dianalisis oleh penulis adalah alasan permohonana peninjauan kembali sebagaimana yang diatur dalam Pasal 91 huruf

c UU Pengadilan Pajak. Penulis akan menganalisis dengan menggunakan analisis deduktif untuk menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dan menjawab isu hukum, serta memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.

(25)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. Alasan Permohonan Peninjauan Kembali Atas Putusan Pengadilan Pajak Sebagaimana Yang Tercantum Dalam Pasal 91 Huruf C Dalam Tujuan Pembentukan Pengadilan Pajak

Tujuan dan fungsi merupakan landasan dan dasar tertinggi bagi terciptanya sebuah aturan hukum. Tanpa tujuan dan fungsi yang jelas dari suatu aturan

hukum, maka keberlakuan hukum tersebut akan menjadi tidak jelas dan tidak bisa maksimal dalam hal penerapannya.1 Satjipto Rahadjo berpendapat bahwa hukum merupakan suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.2 Selain itu, hukum bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dan ketertiban, dan juga digunakan sebagai sarana untuk mencapai keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman dalam hati setiap orang, dan jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan. Dengan demikian, hukum tidak hanya harus mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum, tetapi juga harus mencarikan keseimbangan antarkepentingan yang bertentangan satu dengan yang lain.3 Oleh karena itu, setiap ketetapan dan aturan hukum pasti memiliki tujuan dan fungsi luhur, yaitu untuk mewujudkan keadilan.

Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan penerimaan pajak pusat, pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya, terkadang dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan terhadap para Wajib Pajak itu sendiri. Karenanya, masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa perpajakan sehingga

1

Hasanudin Yanggo. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, hal: 50.

2

Romli Atmasasmita. 2012.Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Yogyakarta: Genta Publishing, hal: 89.

3

(26)

dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk menanganinya.

Dalam sistem peradilan pajak, Pengadilan Pajak adalah pengadilan yang pertama dan terakhir dalam memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa pajak. Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal banding dan kasasi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 80 ayat 2 UU Pengadilan Pajak yang menjelaskan bahwa Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas sengketa pajak dan terhadap putusannya tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Dengan demikian, satu-satunya upaya hukum yang tersedia adalah upaya hukum luar biasa yang berupa peninjauan

kembali yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 93 UU Pengadilan Pajak.

Instrumen peninjauan kembali merupakan bentuk komitmen nyata dari pemerintah untuk mewujudkan penyelenggaraan penyelesaian Sengketa Pajak yang dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana sebagaimana yang terdapat dalam Paragraf 2 Penjelasan Umum UU Pengadilan Pajak. Peninjauan kembali merupakan instrumen yang diberikan negara agar sengketa pajak yang terjadi antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya. Dengan demikian, prosedur peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak harus dapat mengakomodir nilai-nilai keadilan, termasuk alasan permohonan peninjauan kembali.

Alasan permohonan peninjauan kembali telah ditentukan dalam Pasal 91 UU Pengadilan Pajak, yang salah satunya adalah dikabulkannya suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut kecuali putusan yang berupa mengabulkan sebagian atau seluruhnya dan menambahkan pajak yang harus dibayar. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Hakim Pajak itu tidak dapat memutus ultra petita atau memutus lebih dari yang dituntut dalam surat gugat. Namun, Hakim Pajak dapat memberikan putusan yang semakin memberatkan posisi Penggugat melalui putusan yang berupa menambah jumlah

(27)

Berdasarkan Pasal 2 UU Pengadilan Pajak, Pengadilan Pajak didefinisikan sebagai badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Pasal tersebut secara eksplisit menegaskan bahwa tujuan dari pembentukan Pengadilan Pajak adalah untuk mewujudkan keadilan bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak dalam sengketa pajak. Hal ini berarti bahwa sistem peradilan pajak harus menjamin dan mengakomodir nilai-nilai keadilan sehingga tidak ada orang yang merasakan ketidakadilan di hadapan hukum. Dengan demikian, segala prosedur dalam sistem peradilan pajak, termasuk peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak, harus mencerminkan asas keadilan.

Pada hakikatnya, permohonan peninjauan kembali dapat memenuhi dimensi

legal justice. Hal ini dikarenakan para pihak yang bersengketa memiliki hak yang

sama untuk melakukan peninjauan kembali sebagaimanan yang tercantum dalam Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak. Dengan demikian, hal tersebut sesuai dengan filosofilegal justice yang menginginkan penegakkan dan perlakuan yang adil dan merata dari semua individu berdasarkan hukum. Namun sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pengaturan mengenai peninjauan kembali ditentukan secara limitatif dalam UU Pengadlilan Pajak sehingga dimensi legal justice bukan hanya harus diejawantahkan dalam para pihak yang dapat mengajukan peninjauan kembali, tetapi juga dalam alasan permohonanan peninjauan kembali tersebut.

Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak merupakan bentuk pengurangan terhadap hak-hak dari Wajib Pajak atau penanggung Pajak selaku justiciabellen. Hal ini dikarenakan putusan yang memberatkan Wajib Pajak atau penanggung Pajak tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Tidak dapat diajukannya putusan yang bersifatreformatio in peuissebagai alasan permohonan peninjauan kembali dalam sistem peradilan pajak di Indonesia merupakan perlakuan tidak adil ketika fiskus dapat mengajukan peninjauan kembali pada putusan yang meringankan Wajib Pajak atau penanggung pajak, misalkan putusan yang berisi pembatalan terhadap

(28)

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 80 ayat (1) huruf f UU Pengadilan Pajak.

Menurut Hart, prinsip umum legal justicemenuntut bahwa para individu di hadapan yang lainnya berhak atas kedudukan relatif berupa kesetaraan atau

ketidaksetaraan tertentu yang dijabarkan melalui postulat “perlakukan hal-hal serupa dengan cara yang serupa dan perlakukanlah hal-hal yang berbeda dengan

cara yang berbeda”.4 Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak memberikan kedudukan yang setara terhadap pihak yang bersengketa dalam Pengadilan Pajak. Hal ini dikarenakan fiskus dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali

terhadap putusan yang meringankan Wajib Pajak atau penanggung Pajak, sedangkan Wajib Pajak atau penanggung Pajak tidak dapat mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan yang memberatkan dirinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak mengandung dimensilegal justice.

Berkaitan dengan moral justice, moral justice (keadilan moral) tidak lain dari keadilan berdasarkan moralitas, yaitu standar baik dan buruk. Aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat merupakan aturan-aturan yang sesuai norma-norma moral yang dianut masyarakat. Bahkan, Satjipto Rahardjo berpendapat

bahwa “hukum yang hukum” dan bukan “hukum yang bukan hukum” adalah

hukum yang sarat dengan nilai-nilai moral, bukan yang sekedar diadakan untuk kepentingan pihak berkuasa.5

Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak merupakan bentuk penegasian terhadap hukum yang sarat dengan nilai-nilai moral bangsa Indonesia. Dengan mengikrarkan diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, Bangsa Indonesia berkomitmen bahwa segala hal yang ada di Indonesia harus memberikan ruang dan kesempatan bagi setiap orang untuk

4

H. L. A. Hart. 2010.Konsep hukum. Bandung: Nusamedia, hal: 197-198. 5

(29)

mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan adil. Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak memang akan dapat membuat proses penyelesaian sengketa perpajakan melalui Pengadilan Pajak dapat dilakukan secara cepat, karena sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi pasal tersebut tidak cukup mengakomodir kepentingan para pencari keadilan. Hal ini dikarenakan upaya hukum tersebut tidak dapat ditempuh terhadap putusan pengadilan pajak yang berupa menambah pajak yang dibayar oleh penggugat. Padahal, tidak tertutup kemungkinan adanya kesalahan hakim dalam melakukan penghitungan terhadap pajak yang harus dibayar oleh penggugat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak mencerminkan dimensi moral

justice.

Dalam konteks social justice, aturan hukum harus mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial berdasarkan prinsip kemanusiaan dan keadilan atau kesepakatan antara pihak yang terlibat. Konsep social justice dimaksudkan agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam kerja sama tersebut. Konsep ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu interpretasi terhadap situasi awal/original position atas persoalan pilihan yang ada, dan adanya seperangkat prinsip yang akan disepakati.6

Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak memberikan posisi yang tidak seimbang antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan fiskus. Dengan tidak memberikan akses bagi permohonan peninjauan kembali atas putusan yang berupa penambahan pajak yang harus dibayar, UU Pengadilan Pajak telah meletakkan dasar-dasar diskriminasi terhadap hak-hak dasar individu. Sebagailex specialis terhadap UU Pengadilan Tata Usaha Negara, UU Pengadilan Pajak juga mengemban tugas mulia untuk memberikan perlindungan kepada para pencari keadilan dengan menegaskan status quo awal bahwa antara fiskus dan Wajib Pajak atau penanggung Pajak adalah setara sebagaimana filosofi dalam Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa situasi

6

(30)

awal/original position Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan fiskus dalam alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak mengandung kesetaraan.

Esensi dari pembentukan pengadilan pajak adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan penyelesaian Sengketa Pajak yang dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Berkaitan dengan esensi tersebut, prinsip yang disepakati dalam pengadilan pajak adalah prinsip keadilan. Menjadikan peninjauan kembali sebagai satu-satunya upaya hukum yang dapat digunakan terhadap putusan pengadilan pajak merupakan cara yang paling efektif untuk mewujudkan peradilan pajak yang memiliki prosedur dan

proses yang cepat, murah, dan sederhana. Namun, hal tersebut tidak boleh menegasikan asas keadilan yang menjadi landasan dalam penyelesaian sengketa pajak. Alasan permohonan peninjauan kembali sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak sesuai dengan makna kesetaraan dalam konsep keadilan sebagaifairness, karena fiskus memiliki posisi yang lebih tinggi daripada Wajib Pajak atau penanggung Pajak dimana terdapat putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan peninjauan kembali oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak.

(31)

4.2. Pengaturan di Masa Mendatang mengenai Alasan Permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak dalam Rangka Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Integrasi Global

Pada era global, Indonesia dihadapkan pada pangsa pasar yang terbuka dan luas dimana pertukaran barang dan jasa masuk sebebas-bebasnya. Padangan mengenai globalisasi sebagai proses transformasi bebas hambatan dan mekanismenya di serahkan pada pangsa pasar sebebas-bebasnya padahal tidak

demikian, globalisasi sesungguhnya diibaratkan dengan “pagar rumah” yang

terbuka, namun dalam rumah tersebut tetap mempunyai aturan main yang harus

diikuti oleh para “tamu” yang datang ke “rumah” tersebut. Dalam konsep “pagar

rumah” tersebut menandakan bahwa kehidupan suatu kelompok masyarakat tidak satu pun yang membiarkan kehidupannya dan teritorialnya tanpa hukum.

Sejatinya suatu Negara mempunyai kedaulatan yang mana Negara lain tidak bisa mencampuri urusan dalam negeri karena, aturan main itu di ciptakan oleh

“tuan rumahnya”. Sistem global tidak berlangsung bebas kontrol dari suatu

Negara karena globalisasi bukan merupakan jalan tanpa mekanisme. Mekanisme tersebut sebagai petunjuk hubungan antar Negara dengan Negara lain yang di bangun atas perjanjian-perjanjian yang telah di sepakati. Ketika Negara sepakat akan melakukan suatu usaha di dalamnya berarti Negara tersebut sepakat dan telah siap untuk tunduk pada hukum Negara tersebut. seperti halnya di Indonesia, ketika investor asing menanamkan modalnya dan mendirikan usaha-usaha di Indonesia maka investor asing tersebut wajib membayar pajak sebagaimana hal ini telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pembayaran Pajak.

(32)

besarnya pajak yang akan dipungut.7 Hal tersebut mengacu pada Pasal 23 ayat (2)

UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segala pungutan pajak harus berdasarkan

undang-undang”. Sebaliknya bila ada pungutan yang namanya pajak, tetapi tidak

berdasarkan undang-undang maka pungutan tersebut bukanlah pajak, tetapi lebih tepat disebut dengan perampokan (taxation without representation is robbery).

Setiap anggota masyarakat khususnya masyarakat yang tergolong sebagai wajib pajak pada dasarnya harus patuh dan mau melunasi kewajibannya untuk melunasi utang pajaknya dengan baik dan benar untuk meratakan pendapat masyarakat. Hal ini merupakan hal yang sangat vital karena sifatnya mikro dan khusus/tertentu serta mempunyai bidang tersendiri dalam suatu lingkup yang lebih

besar (makro), yaitu keuangan Negara dan hal ini adanya keterkaitan dan ketergantungan, antara pemungutan pajak merupakan perwujudan pengabdian masyarakat dan tidak terlepas dari peran serta wajib pajak di satu pihak. Di lain pihak, tanpa adanya wajib pajak dan peran serta mereka untuk membayar pajak, pemungutan pajak tidak akan terlaksana.

Pemungutan pajak terhadap Wajib Pajak diawali dengan adanya surat ketetapan pajak (SKP) yang dikeluarkan oleh aparatur pajak (fiskus) mengenai jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak. Sifat interdependensi ini diwujudkan di dalam sistem pengadilan pajak nasional yang bersifat pengabdian dan pengawasan atas pelaksanaan keputusan yang diambil oleh birokrat atau eksekutif, dan berdasarkan keadilan dan kebenaran.

Dalam praktik, surat ketetapan pajak tersebut menimbulkan suatu sengketa atau perselisihan. Sengketa pajak terjadi karena adanya ketidaksamaan persepsi atau perbedaan pendapat mengenai penetapan pajak terutang yang diterbitkan oleh fiskus.8 Perbedaan penetapan pajak tersebut dapat berupa perbedaan mengenai jenis maupun jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak.

7

Wirawan B. Ilyas. 2014.Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat, hal: 13 8

(33)

6 Penyelesaian sengketa pajak di Indonesia menjadi kompetensi absolut dari pengadilan pajak (untuk banding dan gugatan).9 Berbeda halnya dengan upaya keberatan yang menjadi kewenangan dari kantor pajak yang mengeluarkan SKP. Karakteristik keputusan Pengadilan Pajak berbeda dengan keputusan yang dikeluarkan oleh eksekutif sebagai tingkat pertama. Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa Pajak. Oleh karena itu, keputusan Pengadilan Pajak bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Hal tersebut tidak menutup kemungkinan tidak ada upaya hukum terhadap putusan pengadilan pajak, maka diperlukan lembaga peninjauan kembali.

Lembaga peninjauan kembali (herzeining) hadir sebagai suatu upaya hukum luar biasa yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak apabila keputusan Pengadilan Pajak dinilai kurang memuaskan. Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dinyatakan bahwa:

Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar biasa, di samping akan mengurangi jenjang pemeriksaan ulang vertikal, juga penilaian terhadap kedua aspek pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum dan aspek fakta-fakta yang mendasari terjadinya sengketa perpajakan, akan dilakukan sekaligus oleh Mahkamah Agung.

Pengajuan peninjauan kembali tidak menghalangi pelaksanaan/eksekusi putusan pengadilan pajak dan dapat dilakukan, baik sebelum maupun sesudah eksekusi selama jangka waktu pengajuan masih terpenuhi.10 Adanya kesempatan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung ini memecahkan masalah berupa keluhan para pemohon banding/gugatan pencari keadilan maupun terbanding/tergugat karena telah ada upaya perbaikan mengenai putusan pengadilan pajak. Jadi, keberadaan peninjauan kembali bertujuan sebagai sarana terakhir (ultimum remedium) yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa pajaknya apabila

9

Muhammad Djafar Saidi. 2007 Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Jakarta: Rajagrafindo Persada, hal: 60-62.

10

(34)

upaya hukum yang telah dilakukan (mulai keberatan, banding dan gugatan) hasilnya tidak memuaskan bagi dirinya.

Peninjauan kembali pada hakikatnya menerapkan asas kepatutan/billijheid

semestinya dapat dijadikan sarana untuk membetulkan kekeliruan sekaligus melindungi sikap tindakan Penjabat Pajak maupun Hakim dalam menerapkan peraturan perundang-undangan perpajakan.11 Oleh karena itu, menjadi kewenangan Mahkamah Agung sebagai pucuk tertinggi pemutus terakhir para pihak yang bersengketa melalui putusan peninjauan kembali.

Peninjauan Kembali dapat diajukan jika ada novum atau bukti baru yang ditemukan, kemudian setelah perkara diputus dan telah mempunyai kekuatan

hukum tetap. Apabila dilihat dalam Pasal 91 huruf c mengenai alasan-alasan pengajuan peninjauan kembali dalam pengadilan pajak disebutkan bahwa:

“Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang

dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf

c.” Selanjutnya dalam Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c disebutkan bahwa:

“Putusan pengadilan pajak dapat berupa: b. mengabulkan sebagian atau

seluruhnya; c. menambah Pajak yang harus dibayar.” Menurut hemat penulis,

ketentuan tersebut menimbulkan suatu ketidakadilan dan tidak adanya kepastian hukum bagi Wajib Pajakan sich, tetapi juga bagi masyarakat secara luas.

Ketidakadilan dan tidak adanya kepastian hukum yang terdapat dalam ketentuan diatas muncul karena dinegasikannya beberapa syarat yang seharusnya dapat dijadikan sebagai alasan-alasan diajukannya peninjauan kembali. Dalam Pasal 91 huruf c terdapat terdapat frasa “kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c.” Makna yang terkandung dalam frasa tersebut

memberikan isyarat bahwa beberapa putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan pajak tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Padahal, setiap putusan yang dihasilkan oleh para hakim tidak pernah lepas dari kekeliruan atau kekhilafan. Maka akibatnya keadilan yang ditutup oleh kepastian hukum.

11

(35)

8 Kekeliruan atau kekhilafan hakim dalam putusannya telah mengakibatkan putusan yang tidak menguntungkan (reformation in peius) dan kerugian terhadap Pemohon Banding atau Penggugat. Meskipun penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi (pengadilan) menghasilnya putusan yang bersifat menang atau kalah (win or lose). Dalam praktik, putusan pengadilan pajak justru menambah jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak. Hal tersebut jelas telah merugikan Pemohon Banding atau Penggugat.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum yang mengatur mengenai pajak masuk dalam ranah hukum publik. Hal tersebut berarti pada hakikatnya setiap penyelesaian sengketa pajak yang timbul adalah untuk melindungi kepentingan

publik/umum. Sehingga keadilan yang dicari adalah keadilan substantif. Mengutip

pernyataan Satjipto Rahardjo bahwa, “pengadilan boleh dikatakan sebagai suatu

badan yang memutuskan keadilan berdasarkan aturan dan prosedur yang sudah ditentukan. Maka sejak saat itu pula kita berbicara tentang adanya dua macam keadilan yaitu keadilan substansial (substantial justice) dan keadilan formal (legal justice).”12 Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi asas equality before the law, sudah seharusnya penegakan hukum harus selalu berorientasi terhadap tujuan utama dalam hukum yaitu keadilan.

Ketentuan dalam Pasal 91 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak secara in concreto telah menimbulkan permasalahan hukum terhadap para pencari keadilan (justitiabellen) yang merasa bahwa putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan pajak telah jauh dari makna keadilan. Keterbatasan syarat yang secara formal-prosedural telah diatur dalam Pasal a quo

menghasilkan putusan yang tidak berpihak kepada keadilan substantif. Alasan pengajuan peninjauan kembali atas putusan pengadilan pajak haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk mencapai dan menegakkan hukum dan

keadilan. Sesuai dengan kredo yang dikenal dalam ilmu hukum, yaitu “fiat justitia

ruat coelum” (hukum harus ditegakkan sekalipun langit runtuh).

12

(36)

Upaya pencapaian kepastian hukum (rechtzekerheid) sangat layak diadakan pembatasan, namun upaya untuk pencapaian keadilan hukum (rechtvaardigheid) tidaklah demikian, karena keadilan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar, lebih mendasar dari kebutuhan manusia tentang kepastian hukum. Kebenaran materiil mengandung semangat keadilan sedangkan norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan. Oleh karena itu, upaya hukum untuk menemukan kebenaran materiil dengan tujuan untuk memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pada prinsipnya, penyempurnaan terhadap Peninjauan Kembali dengan

memasukkan konsep reformatio in peius ke dalam alasan peninjauan kembali dengan menghasilkan suatu kebenaran. Bahkan dengan adanya rumusan konsep

reformatio in peiussemua putusan pengadilan pajak dapat memperoleh kebenaran dan berkeadilan substantif. Menurut teori kebenaran pragmatis, bahwa suatu pernyataan atau pemikiran dikatakan benar apabila dapat mendatangkan manfaat atau kegunaan pada banyak orang. Manfaat atau kegunaan yang dimaksud berarti dapat dilaksanakan dan ditindaklanjuti dalam perbuatan secara nyata. Dalam hal ini ketika konsep reformatio in peius dimasukkan ke dalam alasan peninjauan kembali putusan hakim maka dapat mengantarkan manusia pada kesejahteraan dan membuat manusia bahagia untuk terwujudnya keadilan substantif.

(37)

raga masyarakat tersebut memiliki semangat untuk mendapatkan keadilan substantive secara penuh.

Reformatio in peius sudah menjadi keniscayaan yang harus diterima oleh Wajib Pajak apabila dictum hakim dalam putusannya menambah jumlah pajak yang harus dibayarkannya. Hakim niscaya merupakan seorang tokoh sentral dalam pengadilan. Melalui putusan-putusannya, keadilan diberikan kepada para pencari keadilan atau masyarakat. Apabila putusan tidak mengadung makna keadilan, sudah seharusnya putusan tersebut harus dapat digugat. Pengadilan dan sistem peradilan yang ada dirasakan tidak memadai lagi untuk menyalurkan keinginan masyarakat memperoleh keadilan.13 Dengan demikian, pengadilan dan hakimnya tidak steril terhadap pikiran, ide-ide dan gagasan-gagasan yang berkembang di sekelilingnya.

Ketentuan dalam pasal a quo sangat jelas mengurangi hak-hak masyarakat yang dijamin oleh UUD 1945. Prinsipequality before the lawyang terdapat dalam salah satu ciri negara hukum terciderai dengan adanya pengecualian aturan yang formal-prosedural yang tidak menciptakan keadilan substantif bagi para pencari keadilan. Senada dengan itu, menurut Satjipto Rahardjo menegaskan bahwa:14

Penegakan hukum pada hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial yaitu keadilan. Namun, semenjak hukum modern digunakan, pengadilan bukan lagi tempat untuk mencari keadilan (searching of justice). Pengadilan tidak lebih hanya menjadi lembaga yang berkutat pada aturan main dan prosedur. Hukum kemudian tidak lagi dapat menyediakan keadilan sebagai trade mark-nya selama ini. Keadilan telah main secara dramatis di lembaga-lembaga peradilan dibawah rezim hukum modern. Lembaga peradilan yang semula sebagai house of justice harus berubah menjadi tempat untuk menerapkan peraturan perundang-undangan dan prosedur.

Dari ungkapan pernyataan diatas, jelas memberikan gambaran bahwa keadilan berada ditangan hakim di pengadilan pajak. Namun, keadilan tidak dapat dicapai sebagai akibat dari adanya pembatasan syarat atau alasan untuk dilakukannya upaya peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan pajak.

13

Ibid., hal. 155. 14

(38)

Mengingat hukum bukanlah tujuan dari manusia, melainkan hukum hanyalah alat. Sehingga keadilan substantif harus lebih didahulukan ketimbang keadilan prosedural, hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi bagi problem-problem kemanusiaan.15

Parameter keadialan substantif tidak hanya dilihat dari prinsip equality before the law dan moral justice, tetapi juga social justice. Aturan hukum harus mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental yang berdasarkan prinsip kemanusiaan dan keadilan atau kesepakatan antara pihak yang terlibat serta mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental dan menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial berdasarkan prinsip kemanusiaan dan keadilan

atau kesepakatan antara pihak yang terlibat. Berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak semua pihak berhak untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) yang mana pada posisi awal menurut Pasal 91 huruf c pihak fiskus terdapat ketimpangan dimana pihak fiskus dapat melakukan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang dapat meringankan wajib pajak sedangkan wajib pajak tidak dapat melakukan Peninjauan kembali terhadap putusan yang memberatkan dirinya. Secara otomatis, agar terciptanya kesetaraan maka konsep reformatio in peius sangat tepat apabila dimasukkan ke dalam alasan permohonan Peninjauan Kembali untuk mewujudkan keadilan substantif.

15

(39)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan dan setelah dianalisis permasalahan, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Alasan permohonan Peninjauan Kembali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak tidak sesuai dengan tujuan

pembentukan Pengadilan Pajak. Hal ini dikarenakan alasan tersebut tidak mencerminkanlegal justice,moral justicesertasocial justice; dan 2. Adanya Pasal 91 huruf c UU Pengadilan Pajak telah memberikan

pembatasan terhadap para Pemohon Banding atau Penggugat untuk mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu rekonstruksi dalam alasan permohonan peninjauan kembali sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan subtantif dalam integrasi global, yaitu melalui penerapanreformatio in peius.

5.2 Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

1. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Dewan Perwakilan Rakyat sebagai Lembaga Legislatif bersama-sama dengan Presiden perlu merekonstruksi ketentuan dalam Pasal 91 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Semula

berbunyi : “c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau

lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80

ayat (1) huruf b dan huruf c”maka frasa dalam pasal tersebut harus dirubah

menjadi “c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau

(40)

kembali sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan substantif dengan penerapanreformatio in peius; dan

2. Hakim dalam Pengadilan Pajak

Hakim dalam Pengadilan Pajak yang sekarang masih sangat kental dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa pajak. Namun, untuk masa yang akan datang

mindset” hakim yang sangat kaku dan normatif-prosedural harus dirubah menjadi living interpretator dan tidak terbelenggu oleh kekuatan normatif-prosedural saja yang ada dalam undang-undang, karena pada dasarnya

(41)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Asmara, Galang. 2006. Peradilan Pajak dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak di Insonesia. Yogyakarta: LaksBang Pressindo

Atmasasmita, Romli. 2012.Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif. Yogyakarta: Genta Publishing

Basah, Sjachran. 1989. Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung: Alumni

Faisal. 2014.Memahami Hukum Progresif, Yogyakarta: Penerbit Thafa Media Garner, Bryan A. (ed.). 1999. Black s Law Dictionary, 7th Edition, Amerika:

West Group

Hart ,H. L. A. 2010.Konsep hukum. Bandung: Nusamedia

Kansil, CST. 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Marzuki, Peter Mahmud. 2013. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Mertokusumo, Sudikno. 1983. Sejarah Pengadilan dan Perundang-undangannya

Sejak Tahun 1942 dan Apakah Manfaatnya Bagi Kita Bangsa Indonesia,

Yogyakarta: Liberty

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti

Rahardjo, Satjipto. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas Media Nusantara

_____________. 2010. Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Yogyakarta: Genta Publishing

_____________. 2013. Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing

Rawls, John. 2006.A Theory of Justice, Teori Keadilan. diterjemahkan oleh Uzair

(42)

Soemitro, Rochmat. 1976.Masalah Peradilam Administrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia.Bandung-Jakarta: Eresco

______________. 1998. Asas dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika Aditama

Sugiharti, Dewi Kania. 2005. Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama

Suparni, Niniek. 1992. Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan,Jakarta: Sinar Grafika

Supeno, Hadi. 2010. Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hal: 197.

Supramono, Gatot. 2010. Perpajakan Indonesia: Mekanisme dan Perhitungan. Yogyakarta: Andi Offset

Susanti, Dyah Ochtorina. 2014. Penelitian Hukum, Jember: Fakultas Hukum Universitas Jember

Syofyan, Syofrin. 2004Hukum Pajak dan Permasalahannya, Bandung: Refika Aditama

Wiwoho, Jamal. 2004. Dasar-Dasar Penyelesaian Sengketa Pajak. Bandung: Citra Aditya Bakti

Yanggo, Hasanudin. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana

(43)

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman

JURNAL

Permana, Tri Cahya Indra. 2013.Reformatio in Peius. Surabaya: PTUN Surabaya Sutiyoso, Bambang.. (2010). Mencari Format Ideal Keadilan Putusan dalam

Peradilan. Jurnal Hukum. 17(2), 221-235

Mahkamah Agung RI. 2009. Buku II Mahkamah Agung RI tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara

INTERNET

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu tidak dapat diterimanya permohonan banding Pemohon Banding (sekarang Pemohon Peninjauan

Bahwa selanjutnya, berdasarkan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak, pengajuan Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak ke Mahkamah Agung Republik Indonesia,

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum dan Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan seluruh

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding

Surat bukti (novum) menurut hukum sebagai alasan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara perdata berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Juncto Undang-undang

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang menolak permohonan Banding Pemohon

Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak dapat dibenarkan, karena pertimbangan hukum dan Putusan Pengadilan Pajak yang menolak Permohonan Banding Pemohon Banding

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu koreksi Pemohon Peninjauan Kembali terhadap Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan