• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanan pembagian harta gono gini dal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanan pembagian harta gono gini dal"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya manusia mempunyai naluri/keinginan untuk mempunyai keturunan atau generasi. Dalam hal ini tentunya hal yang tepat untuk mewujudkanya adalah dengan melangsungkan perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu cara membina hubungan sebuah keluarga, karena perkawinan mutlak diperlukan, dan menjadi syarat terbentuknya sebuah keluarga.

Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak suami dan istri, akan senantiasa diharapkan berjalan dengan baik, kekal dan abadi yang didasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai pula dengan tujuan perkawinan itu sendiri berdasarkan Undang-Undang No.1 tahun 1974, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri degan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhan Yang Maha Esa.

(3)

istri. Pada dasarnya dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) menganut adanya asas monogami dalam perkawinan. Hal ini disebut dengan tegas dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Namun demikian, asas monogami dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bersifat mutlak, artinya hanya bersifat pengarahan pada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersulit dan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapus sama sekali sistem poligami.

(4)

poligami. Khusus yang beragama Islam harus mendapat ijin dari pengadilan agama sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam dan yang beragama selain Islam harus mendapat ijin dari pengadilan negeri. Jadi hal ini tergantung dari agama yang dianut dan pengadilan yang berkompeten untuk itu.

Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Untuk beristri lebih dari satu orang dengan ketentuan jumlah istri dalam waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai 4 orang. Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu, di samping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pengadilan agama baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan:

(5)

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Di samping syarat-syarat tersebut yang merupakan alasan untuk dapat mengajukan poligami juga harus dipenuhi syarat-syarat menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yaitu :

1. Adanya persetujuan dari istri

2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri dan anak-anaknya

3. Ada jaminan bahwa suami berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya.

Mengenai persyaratan persetujuan dari istri yang menyetujui suaminya poligami dapat diberikan secara tertulis atau secara lisan akan tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan dari istri pada sidang Pengadillan Agama. Persetujuan dari istri yang dimaksudkan tidak diperlukan bagi suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian dan apabila tidak ada khabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.

(6)

namun dalam keadan tertentu lembaga perkawinan yang berasaskan monogami sulit dipertahankan.sehingga dalam keadaan yang sangat terpaksa dimungkinkan seorang laki-laki memiliki istri lebih dari seorang berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Perkawinan. Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang harta benda dalam perkawinan yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung menjadi harta bersama. Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama dibagi antara suaml istri dengan pembagian yang sama. Dalam hal seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari seorang maka akan timbul suatu sengketa mengenai harta bersama tersebut, sehingga diperlukanlah suatu aturan yang jelas mengenai penetapan dan pembagian harta tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang yang ada penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Peradilan adalah kekuasaan Negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan.1

(7)

Meskipun demikian, hal itu tidak mengurangi makna dan penerapan hukum yang berkenaan dengan harta yang diperoleh suami-isteri selama perkawinan. Harta tersebut melembaga menjadi harta bersama antara suami-isteri, selama ikatan perkawinan masih berlangsung tanpa mempersoalkan suku dan stelsel keluarga suami-isteri.2 Umumnya setiap pasangan suami istri mendambakan terciptanya rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah. Salah satu faktor penunjang terwujudnya rumah tangga yang sesuai dengan konsep Islam ini adalah sebuah harta kekayaan yang merupakan

Zinatul al- hayat, baik harta yang bergerak maupun harta yang tidak bergerak, bahkan termasuk di dalamnya surat-surat berharga dan intelektual, dikarenakan kekayaan harta bersama itu berperan sebagai pelengkap kebahagiaan. Namun, Apabila rumah tangga mengalami kondisi disharmonis maka adanya kemungkinan timbul adanya perselisihan dan pertengkaran yang cukup besar atau tidak dapat di atasi (out of control), kemungkinan besar peluang kondisi rumah tangga mengarah pada kondisi bubarnya perkawinan (broken marriagge).

(8)

suami istri yang bersengketa untuk menuangkan semua argumentasi dan unek-unek mereka, lebih khususnya dalam rangka mewujudkan keinginan masing-masing para pihak untuk menguasai harta tadi. Dengan demikian, adanya KHI tersebut semua produk hukum yang keluar dari lingkungan peradilan agama harus berpedoman dan mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI dan dalam proses beracaranya berpedoman pada hukum acara peradilan agama. Berdasarkan pasal 86 ayat (1) hukum acara peradilan agama menyebutkan bahwa penetapan harta bersama hanya bisa dibagi ketika ada perceraian dan permohonan mengenai pembagian harta bersama suami istri hanya dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceeraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan berdasarkan pra survey dalam perkara ijin poligami Pengadilan Agama Kota Malang dalam putusan perakara permohonan izin poligami Hakim PA Malang dengan pertimbangan hukumnya mengabulkan penetapan pembagian harta bersama tanpa ada perceeraian. Sehingga penulis tertarik untuk memilih putusan PA Malang untuk dijadikan objek penelitian dalam tesis ini.

(9)

barang yang menjadi kekayaan yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hukum perkawinan berlangsung atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.4

Sampai sekarang, penggunaan berbagai macam istilah tersebut masih mewarnai praktek peradilan. Meskipun Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 sudah memberi istilah yang harus dibakukan dalam kehidupan hukum dan peradilan, kesatuan istilah belum tercapai. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi makna dan penerapan hukum yang berkenaan dengan harta yang diperoleh suami-isteri selama perkawinan.

Menurut Pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh, baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatur harta kekayaan dalam perkawinan di dalam Bab VII Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37.5

Bunyi Pasal 35 yaitu:

(1) Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

4 M. Idris Ramulya, Hukum Pekawinan, Hukum Pewarisan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 29

(10)

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah pengguasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Bunyi Pasal 36 yaitu:

(1) Mengenai harta bersama suami atau istri dapatlah bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Bunyi Pasal 37 yaitu:

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Aturan-aturan pasal tersebut pada dasarnya telah memberikan gambaran yang cukup jelas. Apabila dianalisis lebih lanjut ternyata ungkapan pada pasal 37 undang-undang perkawinan ini tidak memberikan keseragaman hukum positif tentang bagaiman penyelesaian dan pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian.

Menurut pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 selama

berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau

(11)

menjamin terpeliharanya harta bersama. Namun terlepas dari itu, hampir tidak ada perbedaan antara keduanya. Sama-sama bermaksud mengamankan keberadaan dan keutuhan harta bersama agar tidak jatuh kepada pihak ketiga.6

Untuk menjamin keutuhan dan keselamatan harta bersama selama proses perkara berlangsung, hanya dengan cara meletakkan sita marital di atasnya. Ditinjau dari segi penjaminan keberadaan harta bersama dalam perkara pembagian harta bersama, sangat urgen meletakkan sita marital selama proses pemeriksaan berlangsung. Oleh karena itu sangat relevan menerapkan sita marital dalam perkara pembagian harta bersama. Dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 9 November 1976 No.1448 K/Sip/1974. Dalam putusanya ini ditegaskan “sejak berlakunya UU No.1 Tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian harta bersama tersebut dibagi sama rata antara bekas suami istri. “

Harta bersama itu dibuka pembagiannya jika terjadi perceraian dan apabila tidak adanya perceraian maka harta bersama itu tidak bisa dibagi tetapi hanya bisa disita saja, harta bersama antara suami istri baru dapat dibagi apabila hubungan perkawinan itu sudah terputus. Hubungan perkawinan itu dapat terputus karena kematian,

(12)

perceraian dan dapat juga oleh keputusan pengadilan.7 Sedangkan permohonan ijin poligami bukanlah perkara perceraian. Berdasarkan uraian semacam inilah yang melatarbelakangi penulis menuangkan ke dalam tesis dengan judul. “PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM PERKARA IJIN POLIGAMI DI PENGADILAN AGAMA MALANG (Studi terhadap putusan perkara Pengadilan Agama Malang Nomor 2198/Pdt.G/2012/PA.Mlg).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, tesis ini akan mengangkat pokok permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta bersama dalam perkara poligami setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ?

2. Apa dasar pertimbangan hakim menetapkan harta bersama dalam perkara ijin poligami?

C Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penetapan pembagian harta perkawinan dalam perkawinan poligami di Pengadilan Agama Malang.

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan harta bersama dalam perkara ijin poligami.

D. Manfaat Penelitian

(13)

1. Manfaat Teoritis

Dari penelitian ini diharapkan dapat membantu penulis dalam memahami perbedaan-perbedaan yang terjadi antara konsep/teori dengan praktek penetapan harta bersama dalam perkara ijin poligami.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi para praktisi di lembaga Pengadilan Agama Malang, masyarakat dan peneliti lain. Sekaligus sebagai informasi dalam mengembangkan rangkaian peneltian lebih lanjut dalam karya keilmuan yang lebih berbobot khususnya dalam penetapan harta bersama dalam perkara ijin poligami (Studi terhadap putusan

perkara Pengadilan Agama Malang Nomor

2198/Pdt.G/2012/PA.Mlg dan pendapat yudex factie Pengadilan Agama Malang) yang nota benenya tanpa adanya perceraian. E. Definisi Operasionil

1. Penetapan harta bersama (tanpa ada perceraian) di Pengadilan Agama Malang adalah penetapan harta bersama yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama antara suami istri pertama pada saat suami akan menikah lagi dengan istri kedua yang dikeluarkan melalui putusan Pengadilan Agama Malang.

(14)

3. Judex factie adalah hakim mengenai fakta-fakta, maksudnya adalah hakim yang memeriksa tentang duduknya permasalahan perkara yang berhubungan langsung dengan fakta-fakta yaitu hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding (tidak termasuk hakim kasasi) F. Sistimatika Pembahasan

Untuk mempermudah dalam memahami tesis ini, maka penulis membaginya menjadi lima bab yang mana sistimatika pembahasannya sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian serta manfaat penelitian, definisi operasionil serta sistimatika pembahasan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Merupakan bab yang menguraikan tentang tinjauan umum tentang perkawinan yang berisi pengertian perkawinan, syarat sahnya perkawinan, akibat perkawinan dan akibat perceraian serta tinjauan umum tentang Poligami dan harta bersama.

(15)

Dalam bab ini dikemukakan tentang metode penelitian yang di dalamnya berisi jenis dan pendekatan penelitian, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum.

BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dalam bab ini dikemukakan tentang pelaksanaan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami pasca UU No.1 Tahun 1974, dan analisis yuridis terhadap dasar pertimbangan majelis hakim dalam menetapkan harta bersama dalam perkara ijin poligami.

BAB V : Penutup

(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan

Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menetapkan definisi perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara tujuan pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara yuridis menurut Undang-Undang Perkawinan barulah ada perkawinan apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita, berarti perkawinan sama denganperikatan (Verbindtenis).8 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan di atas, dapat diuraikan bahwa sendi-sendi dan unsur-unsur utama dari perkawinan adalah :

a. Perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dengan seorang wanita. Artinya, Undang-Undang Perkawinan menutup kemungkinan dilangsungkannya perkawinan antara orang-orang yang berjenis kelamin sama meskipun di dalam Pasal 8 dari Undang-Undang Perkawinan, yang mengatur mengenai Larangan Perkawinan, tidak dicantumkan secara eksplisit tentang larangan perkawinan sesama jenis.

(17)

b. Perkawinan harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-perundang yang berlaku di Indonesia. Keabsahan perkawinan hanya terjadi jika memenuhi syarat formil dan materil beserta prosedur dan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.

c. Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama. Agama merupakan sendi utama kehidupan bernegara di Indonesia. 9

Hukum Islam memberikan pengertian perkawinan sebagai

suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin

antara lelaki dan perempuan dalam rangka mewujudkan

kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta

kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah.10

Apabila pengertian perkawinan di atas dibandingkan dengan

perkawinan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang

Perkawinan tidak ada perbedaan yang prinsipil.

Lain halnya dengan KUHPerdata, sebab KUHPerdata tidak mengenal definisi perkawinan.11

9Ibid, hal. 123.

10 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1978), hal. 11.

(18)

Pasal 26 KUHPerdata menyimpulkan, bahwa undang-undang hanya memandang perkawinan dalam hubungan-hubungan perdata. Hal yang sama, juga dapat dilihat dalam Pasal 1 HOCI (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers), yang menetapkan bahwa tentang perkawinan undang-undang hanya memperhatikan hubungan perdata saja12. Undang-undang hanya mengenal perkawinan perdata yaitu perkawinan yang dilakukan dihadapan seorang Pegawai Catatan Sipil.13

Beberapa ahli hukum telah memberikan defenisi tentang perkawinan yaitu, sebagai berikut:

Menurut Wirjono Prodjodikoro, peraturan yang digunkan untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan.14 Perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang

laki-laki dengan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasukdalam peraturan tersebut.15

Perkawinan adalah persatuan antara laki-laki dan perempuan di dalam hukum keluarga.16 Sedangkan R. Subekti memberikan batasan

tentang perkawinan sebagai pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu lama.17

Dengan melihat pendapat para sarjana tersebut diatas, maka dapat dipahami bahwa para ahli memandang perkawinan itu merupakan 12Ibid, hal. 8.

13 H. F.A. Voolmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta : Rajawali, 1983), hal. 50. 14 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung, Sumur, 1974), hal. 15Loc.Cit.

(19)

perjanjian untuk membentuk rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.18

2. Syarat-syarat Perkawinan

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa suatu perkawinan baru sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, hal ini diatur dalam.

Di samping itu ada keharusan untuk melakukan pencatatan perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, adapun bunyi pasal tersebut ialah ”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang. Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk itu.

Di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menitikberatkan kepada adanya pencatatan perkawinan yang secara rinci diatur bahwa :

a). Ketentuan tentang pencatatan perkawinan :

(20)

Rujuk.

2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

3) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagai mana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 peraturan itu. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975).

b). Ketentuan mengenai tempat pemberitahuan dan tenggang waktu antara saat memberitahukan dengan pelaksanaannya.

c). Tata cara pemberitahuan kehendak untuk melakukan perkawinan ditentukan bahwa pemberitahuan dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya. d). Pemberitahuan tersebut mengharuskan pegawai pencatat untuk

melakukan hal-hal yaitu :

(21)

2. Selain itu pegawai pencatat meneliti pula : a. Kutipan akta kelahiran calon mempelai

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat tinggal orang tua calon mempelai.

c. Ijin tertulis atau ijin pengadilan apabila salah satu calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun. d. Ijin pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang

suami yang masih beristri.

e. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal pencatatan bagi perkawinan untuk kedua halnya atau lebih.

f. Ijin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata.

g. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang tertulis, sehingga mewakilkan kepada orang lain.19

Pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni: 1. Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk

(22)

2. Kantor Catatan Sipil

Pencatatan Perkawinan dalam pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 Bab II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Pencatatan itu perlu untuk kepastian hukum, maka perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan yang dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang lama adalah sah. Sebab dengan dilakukannya pencatatan perkawinan tersebut akan diperoleh suatu alat bukti yang kuat sebagai alat bukti otentik berupa akta nikah (akta perkawinan), yang di dalamnya memuat sebagai berikut :

a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman suami istri. Jika pernah kawin disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu.

b. Nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan, dan tempat kediaman orang tua mertua.

c. Ijin kedua orang tua bagi yang belum mencapai umur 21 tahun/dari wali atau pengadilan.

(23)

e. Ijin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan perkawinan lebih dari seorang istri.

f. persetujuan dari kedua calon mempelai.

g. Ijin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam/Pangab bagi anggota ABRI.

h. Perjanjian perkawinan jika ada

i. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam. j. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

Pegawai pencatat nikah harus bertindak aktif dalam arti tidak hanya menerima apa saja yang dikemukakan oleh yang melangsungkan perkawinan, maka pegawai pencatat menulis dalam buku daftar yang disediakan untuk itu.20

3. Akibat Perkawinan

Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut :

1. Timbulnya hubungan antara suami-istri 2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan

3. Timbulnyan hubungan antara orang tua dan anak.

(24)

Akibat perkawinan yang menyangkut harta benda dalam perkawinan, diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, yang menetapkan sebagai berikut :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,

2. Sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang tidak ditentukan lain oleh suami-isteri.

3. Apabila ditentukan oleh suami isteri, maka harta bawaan suami isteri tersebut menjadi harta bersama. Untuk menentukan agar harta bawaan suami dan isteri menjadi harta bersama, maka suami dan isteri tersebut harus membuat perjanjian kawin. Perjanjian kawin harus dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian kawin adalah perjanjian perjanjian yang dibuat calon suami dan isteri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka.21 Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974, yang menetapkan :

a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian

(25)

kawin yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.

c. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat

dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan Perubahan tidak merugikan pihak ketiga. e. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak

bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Adapun hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik menurut Riduan Syahrani adalah sewajarnya, mengingat hak dankedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, dimana masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.22

4. Akibat perceraian, bila perkawinan putus karena perceraian, harta

(26)

bersama diatur menurut hukumnya masing-masing . Menurut penjelasan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu hukum agama (kaidah agama), hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Tinjauan Umum tentang Putusnya Perkawinan dan Akibatnya Suatu perkawinan dapat putus dikarenakan beberapa sebab berikut :

a. Kematian salah satu pihak

b. Perceraian baik atas tuntutan suami maupun istri c. Karena putusan pengadilan.

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Sehubungan dengan adanya ketentuan bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan, maka ketentuan ini berlaku juga bagi mereka yang beragama Islam. Walaupun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan, bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan. Namun ketentuan ini lebih banyak mendatangkan kebaikan, maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini.23

Untuk melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi yang

(27)

sulit untuk disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami istri.

e. Salah satu pernah melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lainnya.

f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan, sedangkan tata cara mengajukan gugatan diatur dengan Pasal 14 dan 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, yang bunyinya sebagai berikut : Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan ditempat tinggalnya yang sesuai pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya dengan alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

(28)

(1) Permohonanpembatalan suatu perkawinan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal keduanya suami istri, suami atau istri.

(2) Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilaksanakan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.

(3) Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan, pembatalan perkawinan tuntutan pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah.

Beberapa perkawinan serta sahnya perceraian hanya dapat dibuktikan dengan keputusan pengadilan Agama untuk orang-orang Islam dan Pengadilan Negeri untuk orang-orang non Islam.

Akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian baik bagi pihak suami maupun istri tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan anak.

B. Tinjauan Umum tentang Poligami 1. Pengertian Poligami

Perkataan poligami berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua pokok kata yaitu polu dan gamein. Polu berarti banyak, gamein

(29)

dirumuskan sebagai sistem perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang isteri.24

Persoalan poligami telah merupakan sejarah umat manusia dari dahulu kala dan merata dalam bentuk sipilisasi bangsa-bangsa terdahulu baik di Timur maupun di Barat.25

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa poligami sudah dikenal jauh sebelum agama Islam datang.

Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah poligami sudah ada di Indonesia sebelum agama Islam datang? Di Indonesia sendiri sebelum datangnya agama Islam, sistem poligami itu merupakan lembaga yang dibenarkan oleh Hukum Keluarga, baik dalam stelsel Unilateral maupun dalam stelsel Parental. Malahan kedatangan Islam memberi kepastian hukum yang menjamin anak-anak yang dilahirkan sebagai keturunan yang sah dari lembaga perkawinan poligami.26

Berkaitan dengan hal di atas, Imam Sudrajat menyatakan : Meskipun sistem poligami merupakan lembaga yang dibenarkan oleh Hukum Keluarga, baik dalam stelsel unilateral maupun stelsel parental, nama di kalangan rakyat murba pada sebagian besar suku bangsa di Nusantara ini sangatlah tidak lazin adanya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan dua orang wanita atau lebih pada waktu yang bersamaan. Bahkan di Tenganan Pagringsingan

24 Abdulrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Perkawinan di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1978), hal. 79-80.

25 Yusuf Wibisono, Monogami atau Poligami Sepanjang Masa, (Jakarta: Bulan Bintan, 1980), hal. 47.

26 M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading

(30)

(Bali), terdapat larangan poligami.27

Poligami diatur di dalam Al Qur'an, Surat An-Nisa : 3 yang berbunyi: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terdapat (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak lain yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya"

Menurut Ahmad Basyir:

Poligami yang diatur dalam Surat An Nisa : 3 di atas, merupakan jalan keluar dari kewajiban berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana terhadap anak-anak yatim. Dahulu orang-orang Arab suka kawin dengan anak perempuan yatim yang diasuhnya, dengan maksud agar dapat ikut makan hartanya dan tidak usah memberi mas kawin. Untuk menghidari agar orang jangan sampai berbuat tidak adil terhadap anak-anak yatim itu, seorang laki-laki diperbolehkan kawin dengan perempuan lain, dua, tiga sampai empat orang. Tetapi itu pun dengan syarat harus berbuat adil.28

Syarat harus berbuat adil bagi pria yang berpoligami merupakan suatu yang tidak akan terlaksana, meskipun ia telah berusaha sekuat tenaga, karena ketidakmungkinan berbuat adil ini telah disebutkan dalam Surat An Nisa : 129 yang artinya:

27 Imam Sudiyat, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, (Yogyakarta : Liberty,

1981), hal. 24

(31)

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kau sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"

Dari bunyi Surat An Nisa : 129 di atas dapatlah disimpulkan, bahwa yang berlaku adil secara mutlak hanya Allah.

Mengingat syarat harus berbuat adil, penulis mengikuti pendapat yang lazim tentang adil, yaitu keadilan secara lahiriah.

Selanjutnya untuk menjaga agar poligami tidak disalahgunakan oleh laki-laki yang kurang mendalami maksud dan tujuan perkawinan menurut ajaran Islam, atas dasar "maslahat nursalah" negara dibenarkan mengadakan penertiban, tetapi tidak berkecenderungan untuk menutup sama sekali pintu poligami.29

Berdasarkan hal di atas, maka tidak berlebihanlah bahwa apa yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat agar supaya poligami tidak disalahgunakan oleh laki-laki yang kurang mendalami maksud dan tujuan perkawinan, adalah sangat tepat.

Apa yang telah dikemukakan di atas dapatlah dilihat, bahwa negara kita telah mempunyai Undang-Undang Perkawinan yang bersifat nasional, yaitu UU No. 1 Tahun 1974, yang di dalamnya antara lain mengatur poligami.

(32)

UU No. 1 Tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, yaitu pada saat berlakunya Peraturan Pelaksanaannya (PP No. 9 Tahun 1975).

Atas dasar hal di atas, maka di Indonesia telah terjadi unifikasi hukum dalam bidang perkawinan yang belaku bagi semua warga negara Indonesia tanpa memandang mereka berasal dari golongan penduduk apa dan mereka berasal dari daerah mana. Dengan demikian UU No. 1 Tahun 1974 juga berlaku bagi warganegara Indonesia yang sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tunduk kepada KUH Perdata.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaannya ditentukan bahwa :

Poligami hanya diperuntukkan bagi mereka yang hukum dan agamanya mengizinkan seorang pria beristri lebih dari seorang. Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1974 pada huruf c yang menyatakan, bahwa Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya seorang pria dapat beristeri lebih dari seorang.30

Di muka telah dijelaskan, bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak menutup pintu bagi pria untuk beristeri lebih dari seorang, hal ini tidak berarti membuka pintu dalam arti seluas-luasnya, karena UU

(33)

No. 1 Tahun 1974 memberikan pembatasan yang sangat berat. Pembatasan itu diatur dalam Pasal 3, 4, dan 5 UU No. 1 Tahun 1974. Seorang pria yang telah diizinkan oleh hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya untuk beristeri lebih dari seorang, ia terlebih dahulu harus dapat menunjukkan alasan-alasan dari syarat-syarat yang secara liminatif telah ditentukan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975.

Alasan yang dipakai oleh seorang suami agar ia dapat beristeri lebih dari seorang, diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf a PP No. 9 Tahun 1975 yaitu :

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

b. Isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan;

Apabila salah satu dari alasan di atas dapat dipenuhi, maka alasan tersebut masih harus didukung oleh syarat-syarat yang telah diatur dalam Pasa15 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, yaitu :

a. Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri

b. Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;

c. Adanya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(34)

diperlukan lagi oleh seorang suami, apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau tidak ada kabar dari isteri selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat panilaian dari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).

Persetujuan dalam Pasa15 ayat (1) huruf a UU No. 1 Tahun 1974. dipertegas oleh Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975, yaitu : “Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, balk persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan lisan, pcrsetujuan itu harus diucapkan di depan Pengadilan.”

Sedangkan kemampuan seorang suami dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b UU No. 1 Tahun 1974, dipertegas oleh Pasal 41 huruf c PP No. 9 Tahun 1975, yaitu : Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan isteri isteri dan anak-anak, dengan memperhatikan :

i. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja; atau

ii. Surat keterangan pajak penghasilan; atau

iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan.

(35)

Ada atau tidaknya jaminan, bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan menyatakan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Hal di atas, sebenarnya sesuai dengan Surat An-Nisa : 3, yang menghendaki syarat-syarat untuk berpoligami. Cuma Surat An-Nisa : 3 tidak merinci persyaratan itu dan hanya menyinggung atau menampungnya dengan kata-kata yang luas cakupannya, yaitu :

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".

Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa syarat bagi seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang menurut Al-Qur'an, yaitu harus dapat berbuat adil. 2.Tata Cara Melakukan Poligami

Tata cara poligami diatur dalam Pasal 4 dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 sampai dengan Pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975, yang menetapkan sebagai berikut :

(36)

Pengadilan. Bagi suami yang beragama Islam permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama.

2. Pemeriksaan permohonan poligami harus dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya;

3. Dalam melakukan pemeriksaan ada dan tidaknya alasan-alasan dan syarat-syarat untuk poligami, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isterinya yang bersangkutan:

4. Apabila Pengadilan berpendapat, bahwa cukup bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberi putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.

Khusus mengenai suami yang beragama Islam, Menteri Agama pada tanggal 19 Juli 1975 mengeluarkan Peraturan No. 3 Tahun 1975, tentang Kewajiban Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perkawinan bagi yang beragama Islam. Peraturan Menteri Agama tersebut baru berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, adalah pelaksanaan teknis yang harus dipatuhi oleh hakim.

(37)

Pasal 14 yang menetapkan sebagai berikut :

1. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya dengan membawa kutipan akta nikah dan surat-surat lainnya yang diperlukan;

2. Pengadilan Agama kemudian memeriksa hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (1) PP No. 9 Tahun1975;

3. Pengadilan Agama dalam melakukan pemeriksaan, harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975;

4. Apabila Pengadilan Agama berpendapat, bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang kepada pemohon yang bersangkutan.

(38)

(beschiking).

Selanjutnya apabila belum ada izin dari pengadilan untuk beristri lebih dari seorang, maka Pegawai Pencatat Perkawinan dilarang melangsungkan, mencatat atau menyaksikan poligami.

Dahulu sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 secara

efektif, “menurut tafsir lama sebagaimana yang berlaku dalam

praktek, berdasarkan Mazhab Syafe’I tidak menundukkan poligami

kepada pengawasan hakim, oleh sebab orang bebas melakukan poligami sesuai dengan kemauannya sampai empat orang isteri”.31

C. Tinjauan Umum Tentang Harta Bersama

1. Pengertian Harta Bersama Menurut Hukum Islam

Dalam kitab-kitab fiqih tradisional, harta bersama diartikan sebagai harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami istri selama mereka diikat oleh tali perkawinan atau dengan perkataan lain disebutkan bahwa harta bersama itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami istri sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi. Dasar hukumnya adalah Al-Qur’an surat an Nisa’ ayat 32 dimana dikemukakan bahwa bagi semua laki-laki ada bagian dari apa yang mereka

(39)

usahakan dan semua wanita ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula.32

Dari ayat diatas dapat kita ketahui bahwa dalam hukum Islam tidak mengenal istilah harta bersama yang ada adalah harta kekayaan dari apa yang mereka usahakan. Karena suami istri mengakui adanya harta kekayaan bersama disamping ada kekayaan pribadi, maka dengan demikian dapat dikatakan harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri–sendiri selama masa perkawinan. Para Ulama’ mempersamakan defenisi ini dan memasukkan kedalam defenisi “Syirkah”.

Syirkah menurut bahasa adalah al Ikhtilath (percampuran), sedangkan menurut istilah adalah akad antara dua orang arab yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.33

Terjadinya syirkah dalam perkawinan yang menimbulkan harta bersama dengan tiga cara yaitu:

a. Dengan mengadakan perjanjian syirkah secara tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah berlakunya atau berlangsungnya akad nikah dalam suatu perkawinan.

32 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006),hal.109

(40)

b. Dengan penetapan Undang dalam hal ini Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. c. Dengan kenyataaan dalam kehidupan suami istri dalam

masyarakat.34

2. Harta Bersama Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Harta bersama dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh suami istri selama dalam ikatan perkawinan. Hal itu diatur dalam pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu sebagai berikut:

a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.35

Dari pengertian pasal 35 diatas dapat dipahami bahwa segala harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan diluar harta warisan, hibah dan hadiah merupakan harta bersama. Karena itu harta yang diperoleh suami atau istri 34 Imron Rosyidi,Tinjauan Hukum Islam Terhadap pasal 1467 BW mengenai jual beli antara suami istri, skripsi th. 1996

(41)

berdasarkan usahanya masing-masing merupakan milik bersama suami istri. Lain halnya harta yang diperoleh masing-masing suami dan istri sebelum akad nikah, yaitu harta asal atau harta bawaan. Harta asal itu, akan diwarisi oleh masing-masing keluargannya bila pasangan suami istri itu meninggal dan tidak mempunyai anak. Hal ini berdasarkan Firman Allah surat An-Nisa’ ayat (32) ,sebagai berikut :

       

           

Artinya: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Jadi manakala terjadi perceraian, maka mengenai harta bersama diselesaikan menurut hukum Islam bagi suami istri yang beragama Islam dan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bagi suami istri non Islam.36

3. Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) .

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia, pengertian harta bersama sejalan dengan pengertian harta

(42)

bersama dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 35 yaitu harta benda yang diperoleh suami istri selama berlangsungnya perkawinan . Dalam pasal 85 KHI disebutkan adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri, bahkan dalam pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan.37

Karena kompilasi Hukum Islam ini berada di Indonesia yang kebanyakan masyarakat masih menganut hukum adat, maka ketika terjadi perkawinan, secara langsung terjadi percampuran harta kekayaan, adapun harta hadiah atau warisan tetap dibawah penguasaan masing-masing selama para pihak tidak menentukan lain.

4. Harta Bersama Menurut Hukum Adat.

(43)

istri setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami istri bersangkutan.38

Praktek harta bersama di Indonesia berbeda-beda sesuai dengan adat dan kebiasaan yang berlaku di daerah masing-masing. Sebagai bahan perbandingan, ada baiknya dikemukakan disini beberapa macam harta yang dikenal dalam lembaga hukum adat di Indonesia, secara a contario yang diantaranya hampir ada persamaannya dengan macam-macam harta yang dikenal dalam lembaga Hukum Islam dan BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dari pengertian diatas, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu:

a. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh para pihak karena usaha masing-masing. Harta jenis pertama ini adalah hak dan dikuasai oleh masing-masing pihak. Bila terjadi putusnya perkawinan harta kembali kepada masing-masing pihak suami istri.

b. Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai itu mungkin berupa modal usaha atau berbentuk perabot rumah tangga dan sebagainya. Manakala terjadi perceraian harta tersebut kembali kepada masing-masing keluarga yang memberikan semula.

(44)

c. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tetapi bukan karena usahanya, misalnya karena hibah, wasiat atau warisan, harta inipun manakala terjadi perceraian kembali kepada keluarga asal.

d. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan berlangsung, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Harta ini manakala terjadi perceraian dibagi secara imbang segendong sepikul atau mungkin berbagi sama banyaknya. Dilihat dari sudut banyaknya sedikitnya atau besar kecilnya usaha mereka suami istri itu masing-masing.39

5. Harta Bersama Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Burgelijk Wetboek juga mengatur masalah harta bersama dalam perkawinan. Pasal 119 BW menyatakan bahwa mulai sejak terjadinya suatu ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suai secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki istri. Penyatuan harta ini sah dan tidak bias diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir akibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami istri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian didepan notaris sebelum perkawinan dilangsungkan,

(45)

sebagaimana yang tercantum dalam pasal 139-154 BW. Adapun berkaitan dengan pembagian harta bersama, pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami istri atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu. 40

6.Landasan Hukum Harta Bersama dan Pembagiannya.

Pada dasarnya tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri. Konsep harta bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Konsep ini kemudian didukung oleh Hukum Islam dan Hukum Positif yang berlaku dinegara kita.41

Sehingga masalah ini merupakan masalah yang perlu ditentukan dengan ijtihad yaitu dengan menggunakan akal fikiran manusia dengan sendirinya hasil pemikiran itu harus sesuai dan bersumber denga jiwa ajaran Islam. Karena pada dasarnya menurut hukum Islam antara harta suami istri itu terpisah, baik harta bawaan masing-masing atau harta yang diperoleh salah seorang dari mereka karena hadiah, hibah ataupun warisan sesudah mereka terikat dengan perkawinan.

40 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Acara Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hal.104

(46)

Jadi ketika mereka (suami istri) telah terikat dalam perjanjian perkawinan sebagai suami istri maka semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak seperti yang diatur dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 21. Tidak perlu diiringi dengan syirkah

(perjanjian dalam perkawinan). Sebab perkawinan dengan ijab qobul serta memenuhi persyaratan lain-lainnya seperti wali, saksi, mahar dan walimah sudah dapat dianggap adanya syirkah antara suami istri.42

Didalam Undang-Undang perkawinan No.1 Tahun 1974 yang mengatur tentang harta kekayaan dalam perkawinan bab VII pasal 35, 36, 37 disebutkan:

Pasal 35:

1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama.

2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

(47)

Pasal 36:

1) Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

2) Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan mengenai perbuatannya.

Pasal 37:

(48)

seimbang, tetapi kalau suami lebih banyak usahanya dari pada istrinya, maka hak suami juga lebih besar dari pada istrinya, demikian juga sebaliknya apabila usaha usaha istri lebih besar dari pada suami maka haknya atas harta bersama lebih besar dari suaminya.

Sebagaimana telah diatur pada bab XII pasal 85 sampai dengan pasal 94 Kompilasi Hukum Islam, tentang harta kekayaan dalam Islam diatur sebagai berikut:

Pasal 85:

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri.

Pasal 86:

1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan istri karena perkawinan.

2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya. Demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Pasal 87:

(49)

sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

2) Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqoh atau lainnya.44

Pasal 88:

Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Pasal 89:

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri.

Pasal 90:

Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.

Pasal 91

(50)

1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.

2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.

3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupah hak maupun kewajiban.

4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal 92:

Suami istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

Pasal 93:

1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing-masing.

2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.

(51)

4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri.

Pasal 94:

1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.45

7.Tata Cara Pembagian Harta Bersama

Dilihat dari pembagian harta bersama dan sekilas tentang cara pembagian harta bersama, maka ketika terjadi perceraian pembagian hartanya dikembalikan kepada hukumnya masing-masing. Apabila suami istri tersebut beragama Islam, maka pembagaiannya secara hukum islam dalam hal ini menganut UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam dan apabila suami istri non muslim maka pembagiannya menganut hukum perdata atau hukum adat.46 Pembagian seperti ini berlaku tanpa harus mempersoalkan siapakah yang berjerih payah untuk mendapatkan

45 Ibid Kompilasi Hukum Islam, hal 99

(52)

harta kekayaan selama dalam perkawinan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah ketentuan tersebut dapat berlaku secara universal untuk semua kasus, ataukah hanya dalam kasus tertentu yang memang dapat mewujudkan rasa keadilan bagi para pihak. Sejauh pemahaman penulis ketentuan pembagian harta bersama separoh bagi suami dan separoh bagi isteri hanya sesuai dengan rasa keadilan dalam hal ini baik suami maupun isteri sama-sama melakukan peran yang dapat menjaga keutuhan dan kelangsungan hidup keluarga. Dalam hal ini, pertimbangan bahwa suami atau isteri berhak atas separoh harta bersama adalah berdasarkan peran yang dimainkan baik oleh suami atau isteri, sebagai patner yang saling melengkapi dalam upaya membina keutuhan dan kelestarian keluarga.47

(53)

istri) mendapatkan setengah bagian dari harta bersama mereka. Apabila pasangan suami istri yang bercerai, kemudian masalah gono-gini atau harta bersamanya dilakukan dengan musyawarah atau perdamaian, maka pembagiannya bisa ditentukan berdasarkan kesepakatan atau kerelaan antara kedua belah pihak. Cara ini adalah sah dan cara terbaik untuk penyelesaian.

Dengan demikian, pembagian harta gono-gini dapat ditempuh melalui putusan pengadilan agama atau melalui musyawarah. Dalam penyelesaian melalui musyawarah ini, boleh saja salah satu pihak mendapatkan prosentasi lebih besar ataupun lebih kecil dari yang lain, tergantumg dari kesepakatan dan tanpa adanya unsur keterpaksaan.48

(54)

masing-masing mendapat separo dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian kawin. Selengkapnya Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam berbunyi:

1. Apabila terjadi cerai mati maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri, yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Sedangkan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, “Janda atau duda yang cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin”. Dari kedua pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa harta bersama atau syirkah akan dibagi sama banyak atau seperdua bagian antara suami dan istri, hal ini dapat dilakukan langsung atau dengan bantuan pengadilan49. Di dalam Hukum Perdata, harta atau kekayaan bersama ini disebut dengan “gemeenschap”. Gemeenschap ini berakhir dengan berakhirnya perkawinan, apabila gemeenschap ini dihapuskan, maka dibagi dalam dua bagian yang sama dengan tidak mengindahkan asal barangnya satu persatu dari pihak siapa. Hanya barang-barang

(55)

yang sangat rapat hubungannya dengan satu pihak dapat diberikan pada yang bersangkutan dengan memperhitung harganya dalam pembagian.50

Dalam sistem Hukum Adat harta benda dalam perkawinan dibagi menjadi emapat yaitu:

1. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh masing-masing pihak.

2. Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua mempelai.

3. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tetapi bukan karena usahanya, misalnya karena hibah atau warisan. 4. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan

perkawinan berlangsung, atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.51

Melihat empat macam jenis harta yang dikenal dalam sistem hukum adat, maka pembagiannya adalah untuk harta jenis pertama dan kedua diberikan kepada masing-masing pihak suami istri maupun keluarga yang memberikan semula, sedangkan harta jenis ketiga tetap kembali kepada keluarga asal, adapun harta jenis keempat dibagi secara berimbang.52 Bahkan dalam berbagai yurisprudensi tentang harta bersama tata cara pembagiannya

50 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: intermasa,1996),hal. 35 51

(56)

berimbang antara suami dan istri. Keberadaan harta bersama dalam perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kebutuhan suami dan istri secara bersama-sama beserta anak-anak mereka, sehingga penggunaan harta bersama harus atas persetujuan bersama suami dan istri, tidak boleh dikuasai secara sepihak dan semena-mena. Oleh karena itu, apabila ada persangkaan atau terindikasi adanya tindakan penyalahgunaan oleh salah satu pihak di antara suami atau istri, dengan memindah tangankan kepada pihak lain, memboroskan atau menggelapkan atas harta bersama tersebut, maka undang-undang memberikan jaminan agar keutuhan harta bersama dalam perkawinan itu tetap terlindungi dan terjaga melalui upaya “penyitaan” atas permohonan yang diajukan pihak suami atau istri serta pihak yang berkepentingan kepada pengadilan. Di dalam hukum acara perdata terdapat beberapa istilah penyitaan atau sita (beslag) atas harta bersama dalam perkawinan, misalnya; sita konservatoir (conservatoir beslag), sita revendikasi, sita marital (maritaal beslag), dan sita harta bersama. Oleh karena itu, sangat relevan menerapkan sita marital dalam perkara pembagian harta bersama. Dalam pasal 186 KUH Perdata itu, telah ditampung dalam pasal 95 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menegaskan:

(57)

2. Hal itu dapat diminta apabila suami atau istri (salah satu pihak) melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama, seperti perjudian, pemborosan, dan sebagainya.53

Akan tetapi, semata-mata untuk menjamin keselamatan barang harta bersama agar tidak dialihkan penguasaannya kepada pihak ketiga.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian.

(58)

Penelitian adalah usaha secara ilmiah untuk mengetahui atau mempelajari fakta-fakta yang baru dapat diartikan sebagai penyaluran rasa ingin tahu. Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada54.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala-gejala yang bersangkutan.55

Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode:

Dalam hal untuk menemukan dan mengembangkan suatu ilmu yang bersifat objektif, maka harus menggunakan metode penelitian untuk memperoleh dan mengumpulkan data kemudian dianalisis secara sistematis berdasarkan ilmu pengetahuan yang ada.

54. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalarn Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hal. 2

(59)

Sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan di atas, maka dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah:

a. Dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan permohonan penetapan harta bersama dalam perkara ijin poligami.

b. Hukum acara peradilan agama terhadap putusan PA Malang perihal penetapan harta bersama dalam perkara ijin poligami.

c. Buku-buku tentang hukum acara peradilan agama.

B. Sumber Bahan Hukum

Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah: Putusan Pengadilan Agama Malang dalam perkara ijin poligami sebagai data primer.

C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

a. Dokumentasi

Yaitu suatu cara memperoleh data dengan cara mempelajari berkas perkara berupa putusan penetapan harta bersama tanpa ada perceraian (ijin poligami).

(60)

Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, jadi semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi.56 Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan hakim yang pernah menangani penetapan harta bersama tanpa ada perceraian (ijin poligami) di Pengadilan Agama Malang.

D. Teknik Analisis Bahan Hukum

Untuk menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, teknik yang digunakan adalah verifikatif analisis yaitu menilai putusan izin poligami di Pengadilan Agama Malang yang berkaitan dengan penetapan harta bersama antara pemohon dan termohon sebagai syarat diterimanya penetapan harta bersama tanpa ada perceraian.

Adapun pola pikir deduktif adalah memaparkan harta bersama, alasan-alasan Hakim terhadap penetapkan harta bersama, menganalisis dengan putusan hakim menetapkan harta bersama tanpa ada perceraian dari Pengadilan Agama Malang.

(61)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(62)

1974 tentang Perkawinan.

Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Akibat perkawinan itu tidak hanya menyangkut hubungan hukum antara calon suami isteri, tetapi juga dengan orang tua kedua belah pihak, saudara-saudara, bahkan keluarga-keluarga kedua belah pihak.

(63)

Perkawinan ini, maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing, agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun yang di maksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini. Ini artinya, perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam, perkawinannya baru dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama Islam, begitupun apabila terjadi perkawinan orang-orang non Islam, perkawinannya baru di anggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya, dengan ketentuan bahwa perkawinan yang dilakukan baik oleh orang-orang Islam maupun oleh orang-orang non Islam itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

(64)

oleh pegawai pencatat sebagaimana di maksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana di maksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

Pencatatan perkawinan ini juga diatur secara tegas dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa:

a. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya

Referensi

Dokumen terkait

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa desain keselamatan berbasis lokalitas tidak berperan dalam meningkatkan kepuasan wisatawan terhadap daya tarik wisata di Gunung Api

Mulyadi (2010:18) Full costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi kedalam harga pokok produksi, yang

1) Tujuan dan Kemampuan. Faktor ini ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan pegawai. Tujuan yang ingin dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup

Guru memberikan reward pada video kegiatan anak yang dikirim oleh orang tua melalui WA grup dengan memberikan gambar stiker yang menarik bagi anak.. KD & Indikator Metode

Terjemahan: Iaitu, sesungguhnya Dia Yang Maha Tinggi mencipta tempat, maka [ini bermakna] Dia telah wujud sebelum tempat itu, berdasarkan kepada [analogi:] sesungguhnya

Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) clan Forum Komunikasi Aktifis Masjid (FKAM) adalah di antara beberapa kelompok radikal yang gencar melakukan sweeping terhadap lokasi

Dan jumlah sampel 70 orang dengan tehnik sampling yang digunakan merupakan purposive sampling dengan rumus hair (2006), sedangkan tehnik pengumpulan data yaitu

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskrisptif analitik yaitu memberikan gambaran tentang fenomena migrasi dan permasalahan