ABSTRACT
DYNAMICS OF EXECUTIVE-LEGISLATIVE RELATIONSHIP AT LOCAL LEVEL
(Study In Bandar Lampung on 2004-2009)
By Zaldi Afriyanto
The 32/2004 law is a law that talking about local government. This law states that the executive and legislative side are the actor of local government. That regulation indicates that the position of executive and legislative are the same and does not control each other. The purpose of this law is to creates check and balance between both of them in managing local government. But in reality, the position of executive and legislative as a doers of government makes the duties and function of each institution becomes refraction. So in the practice, the process of governance still dominated by the executive.
The results showed that the executive is more dominant than the legislative in the practice of governance in Bandar Lampung. This is proven by the lack of council members run the right of initiative to make regulations, and just like a rubber stamp for executive in terms of budget setting. This is occurs because of the imbalance of political power resource between the two institutions. Beside that, political cartelisation also occurred in Bandar Lampung, that makes the executives side become more dominant in government. Furthermore, the causes of executive domination is patrimonialism among the political elite. And last, political transactions between these two institutions, the main cause of executive dominance over the legislature in the practice of governance in Bandar Lampung.
This research recommends several ways, there are: (1) the legislative should maximize the facility of human resources improvement which is provided by government; (2) political parties must be brave to be the opposition in government; (3) the legislative should perform well recess; and (4) executive should not have double position as chairman of a particular political parties.
ABSTRAK
DINAMIKA HUBUNGAN EKSEKUTIF-LEGISLATIF DI TINGKAT LOKAL
(Studi Di Kota Bandar Lampung Tahun 2004-2009)
Oleh Zaldi Afriyanto
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah sebuah undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Dalam undang-undang ini menyebutkan bahwa pihak eksekutif dan legislatif adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Peraturan tersebut mengindikasikan bahwa kedudukan eksekutif dan legislatif bersifat sejajar dan tidak saling menguasai. Tujuan dari undang-undang ini adalah menciptakan check and balance antar kedua lembaga dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun dalam realita, kedudukan DPRD dan eksekutif sebagai unsur penyelenggara pemerintahan membuat tugas dan fungsi masing-masing lembaga menjadi bias. Sehingga dalam prakteknya, proses penyelenggaraan pemerintahan masih di dominasi oleh eksekutif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum pihak eksekutif memang lebih dominan daripada pihak legislatif dalam praktek pemerintahan di Kota Bandar Lampung. Hal ini dibuktikan dengan minimnya anggota dewan menjalankan hak inisiatif membuat peraturan daerah, serta hanya menjadi stempel pemerintah dalam penetapan anggaran. Hal ini terjadi karena adanya ketimpangan penguasaan sumber kekuasaan politik antar kedua lembaga ini. Selain itu, kartelisasi politik juga terjadi di Kota Bandar Lampung, sehingga membuat pihak eksekutif semakin dominan dalam pemerintahan. Selanjutnya, penyebab terjadinya dominasi eksekutif adalah patrimonialisme di kalangan elit politik. Dan yang terakhir, transaksi politik antar kedua lembaga ini, menjadi penyebab utama terjadinya dominasi eksekutif atas legislatif dalam praktek pemerintahan di Kota Bandar Lampung.
Penelitian ini merekomendasikan beberapa hal, diantaranya adalah: (1) pihak legislatif sebaiknya memaksimalkan fasilitas peningkatan kualitas SDM yang diberikan oleh pemerintah; (2) partai politik harus berani bersikap sebagai oposisi dalam pemerintahan; (3) anggota dewan sebaiknya menjalankan reses dengan baik; (4) sebaiknya eksekutif tidak merangkap jabatan sebagai ketua partai politik tertentu.
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang
menganut Sistem Pemerintahan Presidensiil. Dalam sistem ini dijelaskan bahwa kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya oleh parlemen. Selain itu, dalam
proses penyelenggaraan pemerintahannya, Indonesia menggunakan asas desentralisasi. Menurut Mahfud MD (Tangkilisan, 2005:1), desentralisasi adalah
penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur dan mengurus daerah, mulai dari kebijakan, perencanaan, sampai pada implementasi dan pembiayaan dalam rangka demokrasi. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 18
UUD 1945 yang menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susunannya diatur dengan undang-undang.
Salah satu isi di dalam Pasal 18 menyebutkan bahwa, “Pemerintah Daerah
menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai urusan pemerintah pusat“. Yang dimaksud dengan pemerintah daerah yaitu penyelenggaraan urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Oleh karena itu, Gubernur,
Bupati/Walikota dan DPRD adalah pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan di daerah.
Sepanjang sejarah pembentukan pemerintah daerah di Indonesia, telah banyak
produk undang-undang yang dilahirkan. Semua undang-undang tersebut mengatur tentang pemerintahan daerah, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan yang terakhir Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004.
Secara substansial undang-undang di atas mengatur tentang bentuk susunan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Undang-undang tersebut telah mampu
mengikuti perkembangan perubahan kepemerintahan daerah sesuai zamannya. Namun secara empiris, undang-undang tersebut banyak menimbulkan gejolak politik antar lembaga pemegang kekuasaan, terutama antara lembaga eksekutif
dan legislatif di daerah. Keadaan tersebut membuat ketimpangan dan menimbulkan sikap saling menguasai antar lembaga dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan undang-undang sebelumnya memberikan implikasi terhadap
kedudukan kepala daerah lebih dominan karena memiliki kewenangan yang lebih
besar daripada kekuasaan DPRD. Eksekutif adalah agen utama dalam pembangunan, sehingga semua elemen di pusat maupun daerah diabdikan untuk
mendorong tugas pokok pemerintah (executive). Akibatnya lembaga lain, termasuk DPRD diposisikan sebagai tukang stempel (rubber stamp) dalam
menjalankan roda pemerintahan (Tangkilisan, 2005:29). Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa kepala daerah tidak dapat diberhentikan langsung oleh DPRD. Kepala daerah tidak bertanggung jawab sepenuhnya kepada DPRD, dan dalam
pelaksanaan tugasnya hanya memberikan keterangan pertanggungjawaban saja kepada DPRD.
Runtuhnya rezim Orde Baru menandakan munculnya era Reformasi di dalam
pemerintahan Indonesia. Di dalam era ini diharapkan demokrasi lebih diterapkan, dan hubungan antara pemegang kekuasaan di Indonesia dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini adalah hasil revisi dari undang-undang sebelumnya yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebuah undang-undang yang secara jelas memisahkan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Hal tersebut jelas disebutkan pada Pasal 1 point b dan c,
Badan legislatif Daerah. Keadaan tersebut secara legal formal, tegas menyatakan
tugas dan fungsi masing-masing lembaga. Sehingga tidak terjadi disfungsi kekuasaan antar lembaga daerah. Di sisi lain, kehadiran undang-undang ini adalah
menjawab kebutuhan tuntutan reformasi yang memberikan implikasi terhadap kedudukan DPRD berbalik menjadi lebih kuat dibanding dengan kekuasaan
eksekutif. Kewenangan yang dimiliki DPRD, antara lain kewenangan memilih kepala daerah (Pasal 34 ayat 1) dan kewajiban kepala daerah untuk memberikan laporan pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah
(Pasal 44 ayat 2). Selain itu DPRD juga mempunyai beberapa hak, antara lain hak meminta keterangan, hak penyelidikan, hak menyatakan pendapat dan hak
menentukan anggaran DPRD.
Secara teoritis lembaga ini memegang kekuasaan rakyat pada tingkat kabupaten/kota. Keadaan tersebut ternyata membuat lembaga legislatif mempunyai kewenangan lebih terhadap eksekutif, bahkan dapat menjatuhkan
gubernur maupun bupati/walikota di daerah, sama seperti yang telah dilakukan oleh MPR/DPR-RI terhadap almarhum mantan Presiden Gusdur pada 23 Juli
2001 (Mahfud MD, 2010). Keadaan di atas menyebabkan suatu perubahan yang radikal dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Paling substansial adalah hubungan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif yang tidak memiliki
Suatu teori atau asumsi-asumsi yang dapat diungkapkan berdasarkan pengalaman
di atas yaitu, dibutuhkan sebuah undang-undang yang mengatur pola hubungan kewenangan yang setara, seimbang, dan sinergis antar pemegang kekuasaan.
Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Tujuannya
yaitu terciptanya sistem check and balances dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih demokratis. Oleh karena itu, lahirlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang-undang ini
dikenal dengan istilah Equilibrium Decentralizatio. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa isinya yaitu memberikan peranan yang berimbang antara
susunan pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) sebagai keseimbangan secara vertikal, maupun keseimbangan antara kepala daerah dan DPRD sebagai keseimbangan secara horizontal.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
memberikan sebuah perubahan yang mendasar dalam sistem pemerintahan daerah. Perubahan yang dimaksud, antara lain dalam hal pemilihan kepala daerah
secara langsung, serta peningkatan tugas dan fungsi DPRD. Melalui undang-undang ini, pemilihan kepala daerah baik gubernur, bupati/walikota tidak lagi dipilih oleh DPRD, melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Dalam
undang-undang ini juga dinyatakan bahwa DPRD ditempatkan sebagai lembaga perwakilan rakyat daerah dan unsur penyelenggara pemerintah daerah dengan 3
kata lain, fungsi dan peran kepala daerah dan DPRD dalam undang-undang ini
kedudukannya tidak saling membawahi, melainkan terikat dalam sistem kemitraan.
Sekilas, di tinjau dari aspek legal formal, keberadaan peraturan
perundang-undangan tersebut mengindikasikan adanya kemajuan berarti dalam hubungan antara kedua lembaga tersebut. Dari perspektif kelembagaan, pelaksanaan dari
tiga fungsi DPRD tersebut merupakan bagian dari penguatan mekanisme check and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tidak ada peraturan daerah yang ditetapkan oleh kepala daerah tanpa persetujuan bersama dengan
DPRD, demikian pula dalam pelaksanaan penetapan APBD maupun pengawasan. Namun dalam realita, kedudukan DPRD dan eksekutif sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan membuat tugas dan fungsi masing-masing lembaga menjadi bias. Sehingga dalam prakteknya proses penyelenggaraan pemerintahan masih di dominasi oleh eksekutif.
Salah satu bentuk hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif adalah
pembuatan kebijakan daerah (legislasi) dan penetapan anggaran. Dalam membuat peraturan/kebijakan dan anggaran daerah, eksekutif dan legislatif bekerja sama,
bermitra, dan saling membantu. Namun sangat disayangkan bahwa eksekutif masih mendominasi dalam hubungan kerja ini. Selain itu, sebagian besar DPRD mandul dalam hak inisiatif, terutama dalam pembuatan peraturan daerah
Perkembangan politik di tingkat lokal pada era reformasi tidak lepas dari
pengaruh politik di tingkat nasional. Menurut Ambardhi (2009), salah satu fenomena politik pasca berlakunya reformasi di Indonesia adalah pembentukan
sistem kepartaian yang mirip kartel. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya lima ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yaitu: (a) hilangnya peran
ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (b) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (c) tiadanya oposisi; (d) hasil-hasil pemilu
hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan
(e) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Keadaan tersebut turut mempengaruhi hubungan eksekutif dan
legislatif di tingkat lokal (daerah).
Salah satu daerah kabupaten/kota yang mendapatkan amanah untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sejak reformasi berjalan adalah Kota Bandar Lampung. Kota Bandar Lampung merupakan ibu kota Provinsi Lampung.
Oleh karena itu, Kota Bandar Lampung merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial politik, pendidikan dan kebudayaan, serta merupakan pusat kegiatan
perekonomian dari Provinsi Lampung. Sejak berdirinya Kota Bandar Lampung, upaya peningkatan potensi-potensi yang ada terus dilakukan melalui peningkatan pembangunan daerah yang dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan dan
Pasca diberlakukannya otonomi daerah, Kota Bandar Lampung mulai mandiri dan
berusaha mencapai kemajuan di segala bidang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Semua upaya dan tujuan tersebut dilakukan oleh
lembaga-lembaga yang berwenang sebagai wakil pemerintah pusat maupun wakil rakyat di daerah, yaitu Pemerintah Kota dan DPRD Kota Bandar Lampung. Kedua lembaga
tersebut bekerja sekaligus sebagai mitra dalam penyelenggaraan pemerintahan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kerjasama yang dimaksud antara lain:
(a) dalam hal pembuatan kebijakan daerah; (b) penetapan anggaran (APBD) dan;
(c) pengawasan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kerjasama tersebut tidak berjalan efektif. Keadaan tersebut disebabkan karena adanya sebuah kekuatan
suatu lembaga yang lebih dominan daripada lembaga lain, sehingga menyebabkan lembaga yang didominasi mengalami kelemahan dalam menjalankan peran dan fungsinya. Dalam konteks ini, Pemerintah Kota lebih dominan daripada DPRD
dalam menjalankan hubungan kerjanya (Pussbik dan LPW).
Salah satu contoh hubungan antara eksekutif dan legislatif di Kota Bandar Lampung yang membuktikan bahwa adanya sebuah dominasi salah satu lembaga
adalah dalam penetapan anggaran/APBD. Dalam menjalankan hubungan kerja ini, pihak legislatif tampak lemah dan selalu cair saat berhadapan dengan eksekutif, tidak kritis, serta selalu berakhir dengan kata ”deal” untuk menyetujui
berlangsung, ditemukan fakta bahwa dari 100% pendapatan daerah yang dimiliki
oleh Pemerintahan Kota Bandar Lampung setiap tahunnya, sekitar 58%-64% anggaran yang ada selalu digunakan untuk kebutuhan maupun belanja pegawai.
Dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 1.
Rasio Belanja Pegawai Atas Total APBD.
No Tahun APBD Belanja Pegawai Prosentase (%) 1 2007 646.946.574.345,98 377.141.071.681,42 58,30%
2 2008 725.597.468.445,85 427.074.379.239,39 58,85%
3 2009 808.693.410.458,18 524.888.238.210,63 64,90%
Sumber: Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Kota Bandar Lampung.
Dari tabel di atas jelas membuktikan bahwa setengah lebih anggaran yang ada,
sudah habis digunakan untuk kebutuhan eksekutif. Selama penelitian berlangsung, ditemukan data bahwa pihak legislatif tidak bisa menolak kebijakan eksekutif ini. Mereka (legislatif) terkesan langsung menyetujui tanpa ada sikap
yang kritis terhadap penggunaannya. Hal ini dikarenakan, selain secara administratif anggaran tersebut memang digunakan untuk keperluan eksekutif,
secara politis (lobi-lobi politik antara kedua lembaga), pihak legislatif sendiri mendapatkan bagian dari anggaran yang ada, di mana sangat menguntungkan anggota dewan maupun fraksi (partai politik) yang ada, seperti: perjalanan dinas,
menjadi aman dan terkendali, sama seperti suasana dalam sebuah keluarga, di
mana sikap cair dan tenggang rasa tercipta di dalamnya.
Fakta lain yaitu dalam kasus pembuatan kebijakan antara eksekutif dan legislatif sering terjadi intervensi kepentingan politik. Nana Mulyana (2008) dalam
penelitiannya di Kota Bandar Lampung menyatakan bahwa kepentingan politik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah tarik menarik antara kelompok politik di
dalam lembaga legislatif ataupun tarik menarik antara eksekutif dengan lembaga legislatif. Tarik menarik kepentingan tersebut sebenarnya memang menunjukkan adanya kehidupan politik yang dinamis. Namun fenomena tersebut seringkali
dimenangkan oleh eksekutif yang memiliki pengaruh dan kekuatan lebih besar daripada legislatif, sehingga wacana check and balances antara kedua lembaga
tersebut hanya sekedar impian yang tidak terwujud dalam aplikasinya.
Dalam realita, check and balances tersebut memang hanya sebatas wacana. Penelitian Alamsyah (2004) menyebutkan bahwa dalam proses pembuatan kebijakan publik di Kota Bandar Lampung, pihak eksekutif lebih powerful
dibandingkan pihak legislatif. Jika pihak legislatif hanya selalu mengedepankan faktor dinamika aspirasi masyarakat, maka pihak eksekutif selalu berpedoman
pada aturan-aturan normatif yang ditetapkan institusi pemerintah yang lebih tinggi. Selain itu, lembaga legislatif sangat minim berkontribusi dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga lembaga tersebut lemah dalam posisi
Kota Bandar Lampung sangat minim dalam menjalankan hak inisiatifnya
membuat peraturan daerah. Sejauh pengamatan yang dilakukan oleh kedua LSM tersebut, kebanyakan rancangan peraturan daerah berasal dari eksekutif,
sedangkan pihak legislatif hanya bersifat menyetujui saja.
Kenyataan di atas memperlihatkan betapa selama ini peran dan fungsi DPRD dalam menjalankan pemerintahan di daerah terbukti masih lemah. Praktek
penyelenggaraan pemerintahan daerah ternyata masih didominasi oleh pemerintah daerah (eksekutif), meskipun secara yuridis Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan adanya prinsip kesetaraan antara
lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Oleh karena itu, fenomena tersebut menarik untuk dikaji secara komprehensif dalam sebuah penelitian mengenai
sebab-sebab atau alasan-alasan ekesekutif lebih powerfull/dominan daripada legislatif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang akan diteliti dalam penelitian ni yaitu: ”Mengapa pasca diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004, pihak
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menjelaskan manifestasi berlangsungnya dominasi eksekutif atas legislatif dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung.
2. Menganalisis akar masalah yang menjadi sumber timbulnya dominasi eksekutif atas legislatif.
3. Mengungkap transaksi politik antar elit politik dan partai politik dalam
praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung.
D. Kegunaan Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap upaya
membangun hubungan eksekutif dan legislatif yang lebih baik ke depannya. Di mana hubungan baik yang dimaksud adalah hubungan baik yang tidak mementingkan diri maupun kelompok, melainkan lebih memperhatikan
kepentingan rakyat sebagai prioritas utamanya.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi/kebenaran bagi
masyarakat, serta membuka wawasan bagi seluruh pihak (LSM, media massa, aktivis, mahasiswa) akan dampak dari hubungan eksekutif dan legislatif yang tersembunyi dan tak tampak ke permukaan.
3. Sebagai salah satu bahan acuan atau referensi penelitian lebih lanjut bagi pengembangan ide para peneliti dalam melakukan penelitian dengan tema
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis mengenai Dominasi Eksekutif
atas Legislatif dalam Praktek Penyelenggaraan Pemeintahan di Kota Bandar Lampung, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Dominasi eksekutif atas legislatif terjadi dalam hubungannya
membuat peraturan daerah dan penetapan anggaran (APBD). Dalam menjalankan hubungan kerja tersebut, pihak legislatif masih menjadi
rubber stamp (tukang stempel) bagi pemerintah. Meskipun secara normatif (UU 32/2004) disebutkan bahwa kedua lembaga ini bersifat sejajar dan seimbang, namun dalam realita pihak eksekutif masih
mendominasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung. Dalam hubungan kerja membuat peraturan daerah,
dominasi eksekutif dibuktikan melalui jumlah hak inisiatif yang dijalankan oleh masing-masing lembaga, di mana hak inisiatif yang dijalankan oleh pihak legislatif sangat rendah jika dibandingkan
dengan inisiatif dari pihak eksekutif. Sedangkan dalam hubungan kerja menetapkan anggaran, dominasi eksekutif terjadi dalam hal rasio
dari dominasi eksekutif atas legislatif terjadi karena adanya transaksi
politik/lobi politik di antara kedua lembaga ini. Keadaan ini menyebabkan pihak legislatif menjadi tidak kritis dan pragmatis,
sehingga langsung menyetujui inisiatif eksekutif tersebut tanpa terlalu mengkritisi substansi dari rancangan tersebut.
2. Akar masalah yang menyebabkan eksekutif lebih dominan daripada
legislatif dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung.
Ketimpangan penguasaan sumber kekuasaan politik (SDM,
informasi, anggaran) antara eksekutif dan legislatif mempengaruhi hubungan eksekutif dan legislatif, sehingga menyebabkan
eksekutif lebih dominan dalam praktek pemerintahannya. Pertama, kualitas SDM pihak eksekutif memang lebih baik daripada pihak
legislatif. Banyak faktor yang menyebabkan ketimpangan ini terjadi, salah satunya adalah perbedaan latar belakang pendidikan
formal, serta pelatihan masing-masing personel (eksekutif maupun legislatif). Kedua, penguasaan informasi yang dimiliki oleh eksekutif lebih akurat daripada informasi yang dimiliki oleh
legislatif. Hal ini dikarenakan pihak legislatif sangat minim memperoleh sumber-sumber informasi yang valid. Sementara
pihak eksekutif adalah pihak utama yang melaksanakan seluruh
aktivitas anggaran. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pertanggungjawaban, semuanya dilakukan oleh eksekutif.
Meskipun pihak legislatif mempunyai fungsi budgeting (hak anggaran), namun senjata itu justru dijadikan alat tawar terhadap
eksekutif untuk kepentingan pribadinya.
Di Kota Bandar Lampung tidak mengenal istilah koalisi dan
oposisi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahannya. Hampir semua anggota dewan dan partai ter-kartelisasi (berkoalisi) dengan eksekutif. Walaupun berbeda ideologi, partai-partai tersebut harus
tetap mendukung eksekutif sebagai wujud kartelisasi politik. Hal tersebut tentu akan membuat eksekutif akan membuat eksekutif
(walikota) dapat mengintervensi anggota dewan, sehingga keadaan tersebut semakin membuat eksekutif dominan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Kota Bandar Lampung.
Dalam pemerintahan di Kota Bandar Lampung, walikota (Eddy)
telah berhasil menerapkan sistem patron-client dalam pemerintahannya. Terlebih lagi walikota (Eddy) merangkap jabatan sebagai ketua partai (Golkar). Keadaan ini tentu membuat
anggota dewan yang berasal dari partai politik yang sama dengan eksekutif (walikota), akan sangat menghormati dan segan kepada
praktek pemerintahan (Pemerintah dan DPRD), di mana setiap
kebijakan kepala daerah akan selalu mendapat dukungan dari bawahannya di partai.
B. Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut:
1. Sebaiknya anggota dewan memaksimalkan fasilitas yang diberikan pemerintah (Pengembangan SDM, Bimtek, dan sebagainya) untuk meningkatkan mutu dan kualitas SDM-nya. Lebih jauh, sebaiknya
partai politik lebih kompeten dalam rekruitmen kader dan melakukan pembinaan/memberikan diklat kepada kader, khusunya bagi kadernya
yang berada di dewan/DPRD.
2. Anggota dewan sebaiknya memaksimalkan waktu reses untuk terjun ke masyarakat. Tujuannya agar anggota dewan dapat melihat keadaan
masyarakat yang sebenarnya. Sehingga dapat mewakili jeritan rakyat ketika siding paripurna bersama pihak eksekutif. Lebih jauh
disarankan agar pihak DPRD mempunyai lembaga riset yang khusus di bawah naungan DPRD agar memiliki informasi yang berkualitas dan akurat tentang informasi yang ada di masyarakat.
hal tersebut akan menimbulkan semacam “conflict interest”, di mana
akan berdampak negatif bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah. 4. Partai politik harus berani untuk bertindak sebagai oposisi dalam
pemerintahan. Hal tersebut diharapkan agar tercipta persaingan (secara sehat) serta dapat mengkritisi dan mengontrol pemerintahan dengan