Manusia adalah makhluk yang lemah, tidak dapat berdiri sendiri, dengan kata lain manusia adalah makhluk sosial yang saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain, pun bukan hanya sesama manusia saja, melainkan dalam artian luas, hubungan dengan lingkungan, alam, dan Tuhan.
Adapun sifat hakikat manusia, pada dasarnya terbagi menjadi 8 (delapan) yaitu sebagai berikut:
1). Kemampuan menyadari diri sendiri
Manusia harus mampu menyadari dirinya sendiri. Bisa dikatakan bahwa manusia itu harus dapat menjadi dirinya sendiri atau dalam istilah lain, be your self. Dalam artian yang lebih luas, manusia harus mampu dan mengembangkan apa yang ada dalam dirinya demi kemanusiaannya. Mampu mengembangkan aspek sosialitasnya dan mampu juga mengembangkan aspek individualitasnya
sehingga jika manusia dapat menyeimbangkan kedua aspek tersebut maka dengan begitu manusia mampu mengekplorasi potensi-potensi yang ada serta membuat jarak dengan yang lainnya.
2). Kemampuan bereksistensi
Bereksistensi menyatakan bahwa manusia itu ada dan mengetahui apa yang ada di luar dirinya. Kemampuan bereksistensi berarti manusia mampu membuat jarak antara "aku" atau egonya dengan "dirinya" sebagai obyektif. Oleh sebab itu, di mana pun dan dalam kondisi apa pun manusia harus mampu menyatakan keeksistensiannya agar tidak terpengaruh dengan yang lainnya.
Dengan kemampuan bereksistensi, manusia pun mampu melihat obyek sebagai "sesuatu". Sesuatu di sini adalah dapat merubah obyek yang diamatinya menjadi sesuatu yang berguna dengan akal pikirannya. Selain itu, manusia juga dapat menerobos ruang dan waktu tanpa harus merubah segala hal yang ada pada dirinya.
3). Pemilikan kata hati (qalbu)
Manusia berbeda dengan binatang dan makhluk lainnya karena manusia
Dengan memiliki kata hati, manusia dapat memberikan bentuk pengertian yang menyertai perbuatan atau membenarkan apa yang dilakukannya tanpa harus terpengaruh oleh hal-hal lain di luar dirinya, namun harus dalam konteks kebenaran umum atau nilai-nilai positif dalam kehidupan.
4). Moral (etika)
Secara garis besar, moral (etika) adalah nilai-nilai yang mengatur manusia. Nilai-nilai itu sendiri mencakup dua hal, yaitu Nilai-nilai dasar yang bersifat universal (Nilai-nilai- (nilai-nilai kemanusiaan secara umum) dan (nilai-nilai instrumental yang bersifat bahagian dari nilai-nilai dasar tersebut. Nilai instrumental lebih menekankan kepada cara atau hal yang nampak dalam keumuman nilai dasar.
Ilustrasi bersumber dari Google
Dengan memiliki moral (etika), manusia mampu membuat jarak antara kata hati dengan moral. Jadi, moral manusia itu sendiri terjadi karena adanya dorongan dari kata hati. Jika kata hati berkata baik maka moral manusia itu pun dapat menghadirkan nilai-nilai yang baik. Dengan begitu, dengan pendidikan berarti manusia dapat menumbuhkembangkan etiket (sopan santun) dan etika (nilai-nilai kehidupan).
5). Tanggung jawab
Tanggung jawab manusia di dunia ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada masyarakat, dan tanggung jawab kepada Tuhan. Namun demikian, tanggung jawab itu bermuara kepada Tuhan sebab manusia diciptakan adalah sebagai bukti pengabdian manusia kepada Tuhannya untuk menjaga atau sebagai khalifah di muka bumi.
6). Rasa kebebasan
Rasa kebebasan di sini memiliki arti "merdeka". Kebebasan itu sendiri bukan berarti manusia harus bebas dari segala tuntutan dalam kehidupan, melakukan semua hal sesuai dengan keinginan dirinya sendiri, namun bebas di sini adalah bebas yang dibatasi oleh rasa.
Rasa kebebasan itu pun harus sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, mampu merubah ikatan luar yang membelenggu menjadi ikatan dalam yang
menggerakkan hatinya. Jadi, semua tuntutan yang ada dalam kehidupan harus mampu menyatu dengan dirinya sendiri sehingga manusia dapat bebas menurut kodratnya.
Oleh sebab itu, dalam rasa kebebasan (kemerdekaan) manusia dapat
mengendalikan kata hatinya agar dapat menciptakan moral yang baik sehingga dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan rasa kebebasan tersebut.
7). Kewajiban dan Hak
Manusia dilahirkan Tuhan ke dunia karena memiliki hak hidup sejak manusia itu masih berada di dalam rahim. Namun, hak itu harus dibarengi oleh kewajiban yang merupakan keniscayaan bagi dirinya sebab jika kewajiban tidak ada maka hak adalah sesuatu yang kosong.
Kita tak perlu menuntut hak lebih awal jika kewajiban yang dituntut belum dijalankan. Hak itu ada karena kewajiban ada.
8). Menghayati kebahagiaan
Puncak dari sifat hakikat manusia adalah menghayati kebahagiaan. Menghayati kebahagiaan berarti memadukan antara pengalaman yang menyenangkan dengan yang pahit melalui sebuah proses, di mana hasil yang didapat adalah kesediaan menerima apa adanya. Jadi, kebahagiaan itu muncul ketika kejadian atau pun pengalaman sudah dipadukan di dalam hati dan kita mampu
menerimanya dengan apa adanya tanpa harus menuntut sedikit pun.
1. Dimensi Keindividuan
Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi. (Lysen, individu dan masyarakat: 4). Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik di muka bumi. Demikian kata M.J. Langeveld (seorang pakar pendidikan yang tersohor di negeri Belanda)yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas (M.J. Langeveld, 1995:54). Bahkan anak kembar yang berasal dari satu telur pun, yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku baik dari sifat-sifat fisiknya maupun hidup kejiwaannya
(kerohaniannya). Karena adanya individualitas itu setiap oarang memiliki
kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda.
2. Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. Demikian kata M.J. Langeveld (M.J. Langeveld, 1955:54). Pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang pada hakekatnya didalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima. Bahkan menurut Langeveld, adanya kesediaan untuk saling memberi dan menerima itu dipandang sebagai kunci sukse pergaulan. Adanyta dorongan untuk menerima dan memberi itu sudah menggejala mulai pada masa bayi. Seorang bayi sudah dapat menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa senang kemudian sebagia balasan ia dapat memberikan senyuman kepada lingkungannya, khususnya pada ibunya.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga bila
dipenjarakan merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh manusia. Karena dengan diasingkan di dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul tersebut secara mutlak. Immanuel Kant seorang filosofis tersohor bangsa jerman menyataknan: Manusia hanya menjadi manusia jika berada di sekitar manusia. Kiranya tidak ada seorang pun yang bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
3. Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dari kata su dan sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu pengertian susila berkembangsehingga
(persoalan kepantasan dan kesopanan) dan etika (persoalan kebaikan). Kedua hal tersebut biasanya dikaitkan dengan persoalan hak dan kewajiban.
Sehubungan dengan hal tersebut ada dua pendapat yaitu:
a. Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup kedua-duanya. Etiket tidak bisa dibedakan dari etika karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan.
b. Golongan yang memandang bahwa etiket dan etika perlu dibedakan, karena masing-masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu berjalan. Kesopanan merupakan minyak pelincir dalam pergaulan hidup, sedangkan etika merupakan isinya.
Di dalam uraian ini kesusialaan diartikan mencakup etika dan etiket. Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakikatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta
melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila.
Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakn nilai-nilai tersebit dalam perbuatan. Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan, dan sebagainya, sehingg adapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam kehidupan.
4. Dimensi Keberagamaan
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa di luar alam yang dapat dijangkau dengan perantara alat indranya, diyakini akan adanya kekuatan
supranatural yang menguasai hidup alam semesta ini. Untuk dapat
berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos.
Kemudian setelah ada agama manusia mulai menganutnya. beragama
merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Ph. Khonstam berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua dalam lingkungan keluaraga, karena pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati.
Pemerintah dengan berlandaskan GBHN memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi (Pelita V). Di sini perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran agama ditingkatkan, namun harus tetap disadari bahwa pendidikan agama bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan
2.4 Pengembangan Wujud Sikap Hakikat Manusia
Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakikat manusia tetapi masih dalam wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan. Dari kondisi potensi menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya.seseorang yang
dilahirkan dengan bakat seni misalnya, memerlukan pendidikan untuk diproses menjadi seniman terkenal. Setiap menusia lahir dikaruniai “naluri” yaitu
dorongan-dorongan yang alami (dorongan makan, seks, dan mempertahankan diri, dan lain-lain). Jika seandainya manusia dapat hidup hanya dengan naluri maka ia tidak berbeda dengan hewan. Hanya melalui pendidikan status hewani itu dapat diubah kea rah ststus manusiawi.meskipun pendidikan itu pada
dasarnya baik tetapi pelaksanaannya mungkin saja terjadi kesalahan-kesalahan yang biasa disebut salah didik.
Hal tersebut dapat terjadi karena pendidik adalah manusia biasa yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan. Sehubungan dengan itu ada dua kemungkinan yang bias terjadi, yaitu :
1. Pengembangan yang utuh, dan 2. Pengembangan yang tidak utuh. 1. Pengembangan utuh
Tingkat keutuhan pengembangan dimensi hakikat manusia ditentukan oleh dua faktor, yaitu kualitas dimensi hakikat manusia itu sendiri secara potensial dan kulitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan\ pelayanana atas
perkembangannya. Optimisme ini timbul berkat pengaruh perkembangan iptek yang sangat pesat yang memberikan dampak kepada peningkatan perekayasaan pendidikan melalui teknologi pendidikan.
Pengembangan yang utuh dapat dapat dilihat dari berbagai segi yaitu: a. Dari wujud dimensi yaitu, aspek jasmani dan rohani.
b. Dari arah pengembangan yaitu, aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. 2. Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakikat manusia akan terjadi di dalam proses pengembangan jika ada unsur dimensi hakikat manusia yang terabaikan untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh
pengembangan dimensi keindividualan ataupun dominan afektif didominasi oleh pengembangan dominan kognitif.
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap. Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.
Sosok manusia seutuhnya telah dirumuskan dalam GBHN mengenai arah pembangunan jangaka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan di dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Sosok manusia seutuhnya berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, seperti sandang, pangan, kesehatan, ataupun batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, atau rasa keadilan, melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya sekaligus batiniah. Selanjutnya juga diartikan bahwa
pembangunan itu merata diseluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan atau sebagian dari masyarakat. Selanjutnya juga diartikan sebagai keselarasan
hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia, antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa, dan keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagiaan di akhirat.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Manusia merupakan makhluk yang sempurna. Manusia memiliki akal
untukmenghadapi kehidupannya di dunia ini. Akal juga memerlukkan pendidikan sebagai obyek yang akan dipikirkan. Fungsi akal tercapai apabila akal itu sendiri dapat menfungsikan, dan obyeknya itu sendiri adalah ilmu pengetahuan. Maka dari itu, manusia pada hakikatnya adalah makhluk peadagogis, makhluk social, makhluk individual, makhluk beragama.
Setiap manusia mempunyai hakekat dan dimensi yang dimilikinya. Dan dalam diri manusia itu terdapat potensi–potensi terpendam yang dapat
ditumbuhkembangkan menuju kepribadian yang mantap. 3.2 Saran