• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Perkawinan Adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hukum Perkawinan Adat"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH TUGAS HUKUM ADAT

Oleh :

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki berbagai macam budaya dan suku. Keragaman budaya dan suku tersebut menyebabkan Indonesia memiliki aturan dan hukum yang berbeda di daerah tertentu. Perbedaan aturan dan hukum di daerah tertentu itulah yang membuat Indonesia menggunakan system hukum majemuk, dengan menggunakan 3 hukum, yaitu hukum Barat/Belanda, hukum Islam, dan Hukum Adat.

Pada makalah ini, kami akan membahas tentang hukum adat yang hukumnya berasal dari nenek moyang kita. Hukum adat ini bersifat tidak tertulis dan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Setiap suku di Indonesia mempunyai hukum adat yang berbeda-beda. Namun pada dasarnya hal yang diatur oleh hukum adat pada masing-masing suku adalah sama, yaitu mengenai perkawinan, waris, tanah , benda, perikatan, dll. Namun pada makalah ini kami akan membahas tentang perkawinan dalam hukum adat.

Pada zaman yang sudah modern ini, masih ada generasi muda yang

melaksanakan perkawinan dengan adat masing-masing. Di makalah ini kami akan menjelaskan mengenai hukum adat perkawinan, bentuk dari hukum adat

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum Perkawinan Adat

Menurut UU No.1 Tahun 1974 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hukum adat, arti perkawinan sangatlah penting dalam penghidupan masyarakat kita sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, namun juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing. Bahkan dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan merupakan peristiwa yang penting bagi leluhur mereka yang telah tiada. Para leluhur yang telah tiada ini diharap dapat memberikan restu kepada calon mempelai wanita dan laki-laki agar dapat hidup rukun sampai kakek nenek.1

Dalam hukum perkawinan adat, sebuah perkawinan tidak hanya menjadi urusan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan, melainkan juga menjadi urusan masyarakat sekitarnya dan sukunya, Tujuan dari perkawinan adat ini adalah untuk melahirkan generasi baru dengan latar belakang budaya yang sama, sehingga suku dan budaya tersebut masih terasa eksistensinya seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern ini.

Prof. Hazairin dalam bukunya “Rejang” mengemukakan peristiwa perkawinan itu sebagai 3 buah rentetan perbuatan-perbuatan magis yang menjamin ketenangan (“koelte”), kebahagiaan (“welvaart”), dan kesuburan (“vruchtbaarheid”). Sedangkan menurut A. Van Gennep sosiolog asal Perancis menyatakan bahwa dalam perkawinan adat terdapat upacara-upacara peralihan yang disebut “rites de passage” yang dibagi atas 3 tahap yaitu :

(4)

a. Rites de separation (upacara perpisahan dari status semula) b. Rites de marge (Upacara perjalanan ke status yang baru)

c. Rites d’aggregation (upacara penerimaan dalam status yang baru)

Menurut Prof. Djojodiguno perkawinan bukanlah merupakan sebuah kontrak atau perjanjian, tetapi merupakan sebuah paguyuban yang menjadi pokok ajang hidup suami istri beserta anaknya. Dalam bahasa Jawa disebut somah atau keluarga. Sehingga dalam pandangan orang Jawa pasangan suami istri merupakan suatu ketunggalan / kesatuan, yang antara lain dapat terlihat sebagai berikut : a. Kedua mempelai melepaskan nama mereka masing-masing yang dipakai saat

kecil dan selanjutnya menggunakan nama bersama

b. Istilah bahasa Jawa “garwa” singkatan dari kata “sigaraning nyawa” yang berarti belahan jiwa.

c. Kasatuan harga benda dalam bahasa jawa disebut “harga gini

Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan warisan. Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat juga berbeda antara suku bangsa yang satu dan daerah yang lain, begitu juga dengan akibat hukum dan upacara perkawinannya

2. Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat

Bentuk perkawinan adat di Indonesia sangatlah beragam, hal ini dipengaruhi oleh perbedaan sistem kekerabatan atau sistem keturunan yang ada dianut oleh masing-masing masyarakat adat di Indonesia. Di Indonesia bentuk-bentuk perkawinan dibedakan menjadi 5, antara lain :

a. Perkawinan Jujur

(5)

Perkawinan jujur ini dapat dijumpai pada masyarakat dengan sistem patrilineal. Masyarakat yang masih menggunakan bentuk perkawinan jujur adalah masyarakat adat di Tapanuli. Ciri-ciri umum perkawinan jujur, antara lain :

 Patrilokal, istri wajib bertempattinggal di kediaman.

 Exogami, larangan menikah dengan warga yang seclan/semarga.

 A Simetri Konubium, larangan perkawinan timbal balik antara 2

keluarga walaupun berlainan marga. b. Perkawinan Semenda

Perkawinan Semanda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang “matrilineal” dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Bentuk perkawinan ini adalah kebalikan dari bentuk perkawinan jujur. Dalam perkawinan semanda, calon mempelai laki-laki dan kerabatnya tidak perlu memberikan jujur kepada pihak perempuan, justru sebaliknya berlaku adat pelamaran dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Perkawinan semacam ini terdapat di lingkungan masyarakat adat Minangkabau. Setelah terjadi perkawinan suami berada dibawah kekuasaan kerabat isri dan kedudukan bergantung pada bentuk perkawinan sembada yang berlaku.

c. Perkawinan Bebas

Bentuk perkawinan bebas ini pada umumnya berlaku pada lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental. Bentuk perkawinan ini tidak mengatur secara tegas dimana suami istri harus tinggal, hal ini bergantung pada keinginan masing-masing pihak. Bentuk perkawinan seperti ini biasanya dapat ditemukan di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, dan kalangan masyrakat modern lainnya.

d. Perkawinan Campuran

(6)

tersebut. Dalam perbedaan agama , calon suami/istri harus bersedia mengalah dan masuk ke dalam agama suami/istrinya.

e. Perkawinan Lari

Perkawinan lari sesungguhnya merupakan salah satu pelanggaran adat namun untuk mengatasi permasalahan itu terdapat tata cara penyelesaiannya. Bentuk perkawinan ini dapat ditemukan dikalangan masyarakat adat Batak, Lampung, Bali, Bugis, Maluku. Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran, oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semenda atau bebas/mandiri, tergantung pada keadaan dan perundingan kedua pihak.

3. Sistem Perkawinan Adat

Sistem perkawinan adat di Indonesia dibagi menjadi 3, yaitu :

a. Sistem Endogami

Dalam sistem ini, orang hanya boleh kawin dengan orang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini sekarang jarang terjadi di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogamy ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang, di daerah ini pun sistem ini kan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan daerah lainnya akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja; lagi pula endogamy sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu parental.

b. Sistem Exogami

Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan orang diluar marganya. Menikah dengan marganya sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, dan berputarnya zaman lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Sistem ini dapat dijumpai di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram.

c. Sistem Eleutherogami

(7)

atau turunan yang dekat seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu (keturunan garis lurus ketas dan kebawah), serta dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu. Ada juga yang disebut Musyaharah (periparan) seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua, dan anak tiri. Sistem ini dapat dijumpai hampir di seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Jawa.

4. Asas-Asas Perkawinan dalam Hukum Adat

Asas-asas perkawinan dalam hukum adat dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu :

a. Bentuk perkawinan berdasarkan arah persiapan :

 Pertunangan

Suatu keadaan yang bersifat khusus dan dilangsungkan sebelum perkawinan. Pertunangan adalah persetujuan antar pihak laki-laki dan pihak perempuan untuk melangsungkan perkawinan. Persetujuan ini dicapai oleh kedua belah pihak setelah adanya proses lamaran. Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki sudah memberikan kepada pihak perempuan sebuah tanda pengikat dalam adat Jawa disebut paningset.

Pada dasarnya alasan adanya pertunangan adalah :

 Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu

terjadi dalam waktu yang dekat.

 Untuk membatasi pergaulan pihak yang diikat.

 Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk

saling lebih mengenal.

Namun pertuanangan ini juga masih bisa dibatalkan apabila ada hal-hal berikut :

 Kehendak kedua belah pihak untuk membatalkan

 Salah satu pihak tidak memenuhi janjinya.

 Perkawinan tanpa lamaran dan pertunangan

Ada beberapa corak perkawinan yang tidak didahului oleh lamaran dan pertunangan. Corak perkawinan yang demikian kebanyakan ditemukan dalam persekutuan yang bersifat patrilineal. Namun dalam matrilineal (garis ibu) dan patrilineal (garis bapak) juga ditemukan walaupun hanya sedikit. Seperti di daerah

Lampung, Kalimantan, Bali, Sulawesi Selatan.

(8)

Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat sekali. Bahkan dapat dikatakan bahwa suatu peraturan hukum perkawinan sukar dipaham tanpa peninjauan hukum kekeluargaan yang bersangkutan. Seperti yang telah diketahui, di Indonesia terdapat 3 macam sifat kekeluargaan , yaitu patrilineal, matrilineal, dan parental. Hal ini juga mempengaruhi corak petkawinan dalam masing-masing sifat kekeluargaan, berikut penjelasannya.

 Kekerabatan Patrilineal

Bentuk perkawinan yang umum pada sifat kekerabatan ini adalah perkawinan jujur. Dimana pihak laki-laki meberikan jujur

kepada pihak perempuan. Dan setelah perkawinan sang istri akan masuk ke dalam garis keturunan suaminya begitu pula dengan anak-anaknya nanti.

Suku yang menganut sistem kekerabatan Patrilineal di Indonesia adalah adalah suku Batak, suku Rejang dan suku Gayo .

 Kekerabatan Matrilineal

Dalam sifat kekerabatan ini, tidak ada pemberian jujur. Pada saat perkawinan, suami dijemput dari rumahnya kemudian dibawa ke rumah istrinya. Suami disini tidak masuk kedalam keluarga si istri, melainkan tetap pada keluarganya sendiri. Namun anak-anaknya masuk kedalam keluarga si istri, dan si suami pada hakikatnya tidak memiliki kekuasaan terhadap anak-anaknya.

Daerah yang menganut sistem kekerabatan matrilineal adalah Sumatera Barat (Suku Minangkabau).

 Kekerabatan Parental

Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga isteri. Dengan demikian dalam susunan keluarga parental suami dan isteri masing-masing mempunyai dua keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri.

Dalam susunan kekerabata Parental terdapat juga kebiasaan pemberian-pemberian oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Namun pemberian disini tidak mempunyai arti seperti

Jujur tetapi lebih mempunyai arti hadiah perkawinan.

(9)

5. Perceraian

Perceraian menurut hukum adat merupakan peristiwa yang luar biasa dan merupakan sebuah problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah.

Pada dasarnya setiap keluarga, kerabat, serta masyarakat adanya pun menghendaki perkawinan itu dapat dipertahankan selama hidupnya, namun apabila perceraian itu adalah untuk kepentingan keseluruhan maka dapat dijalankan.

Adapun sebab-sebab dibenarkannya perceraian menurut hukum adat, adalah :

a. Istri berzinah b. Kemandulan istri c. Impotensi Suami

d. Suami meninggalkan istri sangat lama ataupun istri berkelakuan tidak sopan

e. Adanya keinginan dari kedua belah pihak untuk bercerai

6. Larangan Perkawinan

Larangan perkawinan dalam hukum adata adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan perkawinan itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum adat atau larangan agama yang telah masuk menjadi ketentuan hukum adat.

Beberapa larangan itu adalah : a. Karena hubungan kekerabatan b. Karena perbedaan kedudukan c. Karena perbedaan agama

7. Hukum Perkawinan Adat Suku Minang

(10)

positif yang berlaku disana. Berikut ini beberapa penjelasan mengenai hukum adat suku Minang di Pariaman :

a. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan disana dinamakan Matrilineal yaitu hubungan keturunan yang diambil dari garis keturunan ibu. Tidak hanya di Pariaman, dalam sistem kekerabatan matrilinial di Minangkabau, pihak keluarga ayah tidak banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga

b. Sistem Perkawinan

Sistem perkawinan yang dianut adalah sistem perkawinan exogami, dimana pernikahan se.klan atau semarga. Dalam struktur sistem perkawinan exogami disini, pasangan suami istri tetap berada pada marga suku masing-masing meskipun telah diikat oleh sebuah perkawinan

c. Adat Bajapuik

Suku Minang di Pariaman terkenal dengan adat bajapuiknya. Adat bajapuik adalah adat “membeli laki-laki” untuk dinikahi. Yang dimaksud disini adalah, pihak perempuan membayar berupa uang yang disebut dengan uang ”uang japuik” kepada pihak laki-laki untuk dinikahkan dengan calon pengantin perempuan. Nominal uang japuik yang diberikan dilihat berdasarkan tinggi rendahnya status sosial si pria tersebut, semakin tinggi maka uang japuik yang diberikan juga semakin tinggi, begitu pula sebalinya. Hal ini dimaksudkan untuk menghargai usaha keluarga laki-laki itu untuk merawat dan membesarkan anaknya sampai waktu ia menikah dan harus merelakan anaknya untuk tinggal bersama keluarga istrinya.

d. Tata Cara Perkawinan

 Maresek

Maresek merupakan langkah pertama yang dilakukan sebelum adanya proses lamaran. Utusan pihak perempuan mendatangi rumah utusan pihak laki-laki untuk mecari tahu apakah laki-laki yang dituju itu berminat dan cocok untuk menikah dengan calon pengantin perempuan. Setelah kesepakatan terjadi maka dilanjutkan pada proses selanjutnya.

 Pinang Maminang

Pinang Maminang adalah proses lamaran, dimana keluarga perempuan beserta ssepuhnya datang membawa sirih pinang lengkap untuk tanda persembahan, beserta dengan buah-buahan dan kue-kue.

(11)

Kedua calon mempelai meminta izin untuk menikah kepada para sesepuhnya. Mempelai pria membawa rokok untuk sesepuhnya, dan mempelai wanita membawa sirih pinang untuk sesepuhnya.

 Babako-Babaki

Keluarga ayah pihak perempuan memperlihatkan kasih sayang dengan membantu membiayai perkawinan semampunya. Mempelai wanita diantar kerumah keluarga ayahnya untuk diberi nasihat, dan membawa pulang barang-barang pemberian keluarga ayahnya.

 Malam Bainai

Malam Bainai adalah malam dimana calon mempelai wanita di hiasi dengan pacar merah diujung jari-jarinya sebagai ungkapan kasih sayang dan kesiapan keluarga untuk melepas calon mempelai wanita dalam pernikahan.

 Manjapuik Marapulai

Pihak perempuan menjemput mempelai laki-laki dari rumahnya untuk selanjutnya melaksanakan akad nikah di rumah mempelai wanita.

 Akad

 Basandiang

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

1 tahun 1974 disebutkan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

1 tahun 1974 disebutkan “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

Dalam pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dikatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dinyatakan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

1/1974 pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk