• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM PERNIKAHAN DALA ISLAM DITINJAU DAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM PERNIKAHAN DALA ISLAM DITINJAU DAR"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Sudah menjadi kodrat bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan.

Hukum dapat dikatakan hampir atau bahkan sama usia denga umur generasi manusia itu sendiri. Jika manusia pertama adalah Adam a.s dan keluarganya, maka hukum telah mulai sejak zaman kelauarga Adam.as.(M Amin Sumna,2005;213)

Sekarang ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah "Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".(UU Nomor 1,1972;pasal 1)

Definisi ini tampak jauh lebih representatif dan lebih jelas serta tegas di bandingkan dengan definisi perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merumuskannya sebagai berikut :” perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah.SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah ( KHI,pasal 2)

(2)

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut peraturan perundang- undangan menurut pasal 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam menurut sebagian ulama hanafiah “ nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar bagi seorang pria dan wanita. (prof.M amin Summa, 2004, 45) namun Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci, yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar berkehidupan keluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi, perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. (htttp.//id.m.wikipedia.org/wiki/pernikahan_dalam_islam).

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan yang merupakan perjanjian yang kokoh yang dalam Al-Qur’an kata miitsaqan gholiidzon hanya dipakai dalam tiga hal yakni : perjanjian Allah SWT dengan para nabi, Nuh ,Ibrahim, Musa dan Isa. Allah SWT mengangkat bukit thur di atas kepala bani israil dan mereka menyuruh mereka bersumpah setia kepada Allah SWT, dan yang ketiga adalah perjanjian dalam pernikahan, dan ternyata janji dalam sebuah pernikahan di sejajarkan dengan perjanjian para Nabi dan perjanjian para bani israil kepada Allah, itulah sebabnya mengapa sebuah janji pada pernikahan itu sangat besar tanggung jawabnya dan dimaknai dengan perjanjian yang kokoh. (http://chaiihapsari.blogspot.com/2013/perjanjian-yang-kokoh-mitsaqan-ghalizan.html?m)

(3)

B. Prinsip-prinsip Perkawinan menurut UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam

1. Prinsip-prinsip Perkawinan menurut UU Perkawinan nomor 1 tahun 1974

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

b. Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.

(4)

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam.

f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.

2. Prinsip-prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam.

Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu:

1. Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebuh dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.

2. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.

3. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

4. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram, damai, dan kekal untuk selama-lamanya.

5. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.

(5)

C. Perbedaan tujuan perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI

Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan perkawinan yaitu ” perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan menurut UU tersebut adalah untuk mencapai bahagia dan kekal berdasrkan Ketuhan Yang Maha Esa. Arti bahagia sebenarnya bukan konsep fikih (Hukum Islam). Hal ini sejalan dengan defenisi Sayuti Thalib yaitu perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang perempuan dan laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, kasih mengasihi, tentram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu diambil adari ajaran Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup semati. Namun bisa juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetian antara pasangan suami dan istri.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) tujuan perkawinan dijelaskan pada pasal 3 KHI yaitu ” Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah dan wa rahmah. ” Artinya tujuan perkawinan sesuai dengan konsep Hukum Islam. Perbedaan KHI dan UU Nomor 1 Tahun 1974 juga tampak pada penerapan sahnya perkawinan. Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan ” Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen, Budha, Hindu adalah sah menurut UU Perkawinan.

(6)

D. Hakikat, Asas, Syarat, Tujuan Perkawinan menurut Peraturan Perundang-Undangan

1. Hakikat Perkawinan

Menurut UU No. 1/1974 pasal 1, hakikat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi hakikat perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri.

Dalam KHI pasal 2 hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.

Sedangkan menurut KUHP perdata hakikat perkawinan adalah merupakan hubungan hukum antara subyek-subyek yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut didasarkan pada persetujuan di antara mereka dan dengan adanya persetujuan tersebut mereka menjadi terikat.

2. Asas Perkawinan

Menurut UU No. 1/1974 pasal 3 adalah asas monogami relatif, artinya boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Asas tersebut sejalan dengan apa yang dimaksud dengan KHI. Akan tetapi terjadi perbedaan yang signifikan dalam KUHP perdata menganut asas monogami mutlak karena ini berdasarkan kepada doktrin Kristen (Gereja).

3. Syarat Sahnya Perkawinan

Menurut pasal 2 UU No. 1/1974 bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sejalan dengan KHI, dalam pasal 4 KHI bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Islam. Dan dalam pasal 5 KHI bahwa setiap perkawinan harus dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan. Kemudian dalam pasal 6 KHI bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

(7)

4. Tujuan Perkawinan

Dalam pasal 1 UU No. 1/1974 adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam KUH Perdata tidak ada satu pasalpun yang secara jelas-jelas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan itu. Dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

E. Kedudukan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.

Mengenai berlakunya Hukum Islam di Indonesia dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaanya, apabila ditinjau secara sepintas dapat dianggap tidak berlaku lagi, karena dengan berlakuknya peraturan perundang-undangan tersebut diatas, maka sejak 1 Oktober tahun 1975 hanya ada satu peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh wargan negara Indonesia tanpa melihat golongannya masing-masing. Hal ini dengan tegas disebut dalam pasal 66 Undang-Undang perkawinan yang menentukan bahwa dengan berlakunya undang ini maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Perdata (Burgerlijk Wetbook), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933 Nopember. 74), Peraturan Ordonantie Campuran, Gereling op Desember Gemengde Huwelijk Stb. 1898 Nopember. 158, dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Anggapan yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan ini, hukum perkawinan Islam tidak berlku lagi adalah tidak tepat, sebab menurut ketentuan dalal pasal 66 tersebut diatas yang dianggap tidak berlaku bukanlah peraturan-peraturan tersebut diatas secara keseluruhan melainkan hanyalah hal-hal yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan ini, dalam hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang Perkawinan ini masih tetap berlaku.

(8)

warga negara Indonesia yang beragam Islam yang hendak melakukan perkawinan supaya sah harus dilaksanakan menurut ketentuan hukum perkawinan Islam.

Dengan demikian maka maka pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan ini dapat dipakai sebagai dasar hukum berlakuknya hukum perkawinan Islam di Indonesia sebagai peraturan-peraturan khusus disamping peraturan-peraturan umum yang telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, untuk wargan negara Indonesia yang beragama Islam.

F. Kedudukan Hukum Perkawinan dalam Agama Islam.

Hukum Perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum Perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur tatacara pelaksanaan perkawinan saja, melainkan juga segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, misalnya: hak-hak dan kewajiban suami istri, pengaturan harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusnya perkwinan, Pemeliharaan anak, nafkah anak, pembegian harta perkawinan dan lain-lain.

b. Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk suatu rumah tangga dimana dalam kehidupan rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tentram suami istri.

c. Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus jelas dan bersih.

d. Dengan terjadi nya perkawinan, maka timbulah sebuah keluarga yang merupakan inti dari pada hiduip bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbul suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana damai.

(9)

PENUTUP

Kesimpulan

Proses terciptanya UU no 1 tahun 1974 dan Kompilasi hukum islam tidak terlepas dari proses memperbaiki kedudukan umat islam, terutama derajat kaum perempuannya. Untuk kepentingan itulah maka perundang-undangan dan hukum islam didasarkan pada asas-asas atau prinsip-prinsip yang diantaranya ; asas-asas sukarela, partisipasi keluarga, mempersulit perceraian, asas monogami dan pembatasan poligami, asas kedewasaan calon mempelai, memperbaiki dan meningkatkan derajat kaum perempuan, asas legalitas serta asas selektivitas.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

H.Hilman Hadikusuma, Prof. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama.Bandung: Mandar Maju. 2003.

Summa M,Amin,Prof. Hukum keluarga islam di dunia islam.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2005.

Zuhayli,az,Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuh, Beirut-Lubnan ; Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M

http://chaiihapsari.blogspot.com/2013/perjanjian-yang-kokoh-mitsaqan-ghalizan.html htttp.//id.m.wikipedia.org/wiki/pernikahan_dalam_islam

Referensi

Dokumen terkait

2 Dijelaskan dalam Pasal I Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami

Perkawinan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami

Dalam Undang-Undang Pernikahan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dewasa dengan seorang wanita sebagai suami istri

Menurut Pasal 1 butir 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seoarang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU Perkawinan menyatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

1 Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 1 bahwa : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga