• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah mahkluk sosial, sehingga sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup, baik itu dalam bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga. Dimana dalam keluarga gejala kehidupan umat manusia akan terbentuk paling tidak oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan1.

Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang diatur oleh aturan hukum, baik hukum Islâm maupun hukum positif (negara). Hukum negara yang mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan2.

Menurut Pasal 1 UU Perkawinan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

1 Mohammad, Perkawinan Anak di Bawah Umur, al-Ihkam Vol. 6 No 2. Juni 2011, hl.275

2 Ibid

(2)

Perkawinan menurut Subekti adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama3. Menurut Soemiyati, kalau seorang laki-laki dan perempuan berkata sepakat untuk melakukan perkawinan berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya4.

Menurut penjelasan UU perkawinan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.

Perkawinan melahirkan hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga. Mengenai hak dan kewajiban suami istri diatur dalam BAB VI Pasal 30 sampai Pasal 34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), yaitu5:

1. Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

4. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

3 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek),Cet. 27, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1976), hlm. 26.

4 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang No. 1 Tahun 1974), Cet. 2, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 1.

5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm.164-165.

(3)

5. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ketentuan ini, ditentukan oleh suami isteri bersama. Suami isteri wajib saling cinta mencintai hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

6. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing- masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

Dengan demikian, salah satu syarat untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan adalah bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah matang jiwa dan raganya. Oleh karena itu di dalam UU Perkawinan ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan.

Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatakan bahwa Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Berdasarkan batasan usia ini dapat ditafsirkan bahwa UU Perkawinan tidak mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan oleh UU Perkawinan6. Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur terpaksa dilakukan, maka UU Perkawinan masih memberikan kemungkinan penyimpangannya. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan, yaitu dengan adanya dispensasi dari Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut.

Anak sebagai generasi muda, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa.

Anak merupakan modal pembangunan yang akan mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan

6 Mohammad , Perkawinan Anak di Bawah Umur, al-Ihkam Vol. 6 No 2. Juni 2011, hl.275

(4)

dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur7.

Perkawinan yang belum memenuhi batas usia perkawinan, pada hakikatnya disebut masih berusia muda (anak-anak) yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dikategorikan masih anak-anak, juga termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sementara itu, Pasal 26 ayat (1) huruf c UU Nomor 35 Tahun 2014 mengatur bahwa orang tua berkewajiban untuk mencegah adanya perkawinan pada usia anak.

Realitas yang terjadi adalah pada tahun 2012 mantan Bupati Garut Aceng Fikri yang saat itu berumur 40 tahun menikahi seorang perempuan bernama Fany Octora yang belum genap berumur 18 tahun pada Juli 2012. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut kemudian melakukan rapat paripurna dan memutuskan untuk memberhentikan Aceng atas pelanggaran kode etik menikahi perempuan dibawah umur8.

Selain itu, salah satu kasus perkawinan yang melibatkan anak adalah perkawinan yang melibatkan Pujiono Cahyo Widianto dengan seorang gadis yang bernama Lutfiana Ulfa pada 2008 yang saat itu baru berumur 12 tahun yang merupakan istri kedua Pujiono Cahyo Widianto9.

Pujiono Cahyo Widianto divonis bersalah oleh PN Semarang pada 24 November 2010, dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda 60 juta karena melanggar UU Perlindungan Anak.

7 Penjelasan Umum UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

8 https://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/97293-kasus-pernikahan-anak-indonesia

9 https://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/97293-kasus-pernikahan-anak-indonesia

(5)

Permohonan banding Pujiono Cahyo Widianto juga ditolak oleh Pengadilan Tinggi Jawa Tengah.

Pada 27 Januari 2012, Pujiono Cahyo Widianto mendapatkan izin permohonan poligami dari Pengadilan Agama Ambarawa, Semarang. Permohonan ini baru diajukan karena Ulfa baru menginjak usia 16 tahun pada 3 Desember 2011 karena sesuai dengan UU Perkawinan, usia minimum pernikahan bagi perempuan adalah 16 tahun10.

Dengan demikian, terdapat kontradiksi dalam pengaturan usia perkawinan anak antara UU Perkawinan dengan UU Perlindungan Anak. Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik melakukan penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Anak.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan diangkat dalam penulisan ini, yaitu “Apakah perkawinan seorang wanita yang belum mencapai umur 16 tahun bertentangan dengan hukum?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis mengkaji keabsahan perkawinan seorang wanita yang telah mencapai umur 16 tahun;

2. Sebagai salah satu persyaratan dalam rangka menyelesaiakan studi pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi pengembangan ilmu hukum dan memperkaya khasanah ilmu di bidang hukum yang terkait dengan penerapan perkawinan anak.

2. Sebagai masukan bagi penerapan ilmu hukum terkait dengan perkawinan anak.

E. Kerangka Konseptual

10 Ibid

(6)

1. Konsep Perkawinan

Perkawinan menurut Subekti adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama11. Pengertian Perkawinan menurut Sayuti Thalib adalah perjanjian yang suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan12.

Menurut Soemiyati13 perkawinan berarti kalau seseorang laki-laki dan perempuan sepakat dan saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak selama dan sesudah perkawinan itu berlangsung.

Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menyatakan: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Menurut Amir Syarifudin bahwa terdapat beberapa hal dari rumusan Pasal 1 UU Perkawinan yang perlu diperhatikan14:

Pertama: digunakannya kata: “seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara Barat.

Kedua: digunakannya ungkapan sebagai suami istri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga.

11 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet.ke-26, Intermasa, Jakarta, 1994, hl.23

12 Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, cet. ke-5, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hl.47

13 Imam Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Poligami, Pustaka Bangsa,Jakarta, hl. 1.

14 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang

Perkawinan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm.40.

(7)

Ketiga: dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, sehingga menolak berbagai praktik perkawinan yang sifatnya temporal (kontrak).

Keempat: disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.

Menurut Hilman Adikusuma15 Pertimbangan disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ialah sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmaniah, tetapi unsur bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.

2. Konsep Anak

Istilah anak dan belum dewasa dalam pengertian umum dipandang sama atau hampir sama, sehingga keduanya sering digunakan bertukaran. Pengertian anak: 1) keturunan yang kedua: ini bukan -- nya, melainkan cucunya; 2) manusia yang masih kecil: -- itu baru berumur enam tahun;

3) binatang yang masih kecil: -- ayam itu berciap-ciap mencari induknya; 4) pohon kecil yang tumbuh pada umbi atau rumpun tumbuh-tumbuhan yang besar: -- pisang; 5) orang yang berasal dari atau dilahirkan di (suatu negeri, daerah, dan sebagainya): -- Jakarta; -- Medan; 6) orang yang termasuk dalam suatu golongan pekerjaan (keluarga dan sebagainya): -- kapal; -- komidi; 7) bagian yang kecil (pada suatu benda): -- baju; 8) yang lebih kecil daripada yang lain: -- bukit16;

15 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, cet.1, Bandung 1990, hlm. 9

16 https://kbbi.web.id/anak

(8)

Dalam hukum, anak dan belum dewasa memiliki pengertian dan akibat hukum yang berbeda. Ade Maman Suherman dan J. Satrio dengan menunjuk contoh pada Pasal 2, Pasal 307, Pasal 308, Pasal 320-322, Pasal 327, Pasal 328 KUHPerdata, Pasal 47, dan Pasal 50 Undang- Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatakan bahwa kata "anak" dalam undang- undang hanya hendak menunjukkan kedudukan seseorang dalam hubungan kekeluargaan, sementara istilah belum dewasa berkaitan dengan kemampuan dalam melakukan perbuatan hukum17.

Istilah anak dapat dilihat dalam Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur bahwa Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan:.... dstnya. R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa yang dimaksudkan “belum dewasa” ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dengan dewasa18.

Sementara itu, Pasal 47 UU Perkawinan menetapkan bahwa Anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun. Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga menjelaskan tentang anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum

17 Ade Maman Suherman dan J. Satrio, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur), Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010, hlm. 5

18 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4eec5db1d36b7/perbedaan-batasan-usia-cakap-hukum- dalam-peraturan-perundang-undangan

(9)

berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, kemudian menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga menjelaskan tentang pengertian anak yaitu sebagai berikut: “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.

Pasal 1 angka 26 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menetapkan bahwa Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menetapkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Lebih lanjut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

menetapkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan defenisi anak menurut berbagai peraturan perundang-undangan dapat diketahui bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan adalah yuridis normatif, yakni suatu penelitian yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif, asas-asas hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.19 Menurut Philipus M. Hadjon metode penelitian hukum beranjak dari hakekat ilmu hukum yang berkarakter normatif, langka awal penelitian normatife adalah penentuan pokok masalah secara tepat dan selanjutnya ditarik

19 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Cet. I, Jakarta, hlm. 35

(10)

isu-isu hukum terkait. Selanjutnya dikemukakan penelitian normatif terletak pada langka- langkanya yang mudah ditelusuri ilmuan hukum lainnya.20

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu dengan jalan menggambarkan, menguraikan dan menjelaskan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diangkat dan bahan hukum yang diperoleh.

3. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan masalah yang diteliti;

b) pendekatan konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan mempelajari pandangan-pandangan maupun doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum guna membangun argumentasi hukum dalam pemecahan masalah21.

4. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan tertier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya yang mempunyai otoritas, yang terdiri dari:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

20 Philipus M. Hadjon, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Kumpulan Tulisan, Fakultas Hukum Airlangga, Surabaya, hlm. 16

21 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Op .cit. hlm 93-94

(11)

c) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak;

d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975;

e) KUHPerdata

Bahan hukum sekunder meliputi semua publikasi tentang bahan-bahan hukum yang bukan merupakan dokumen resmi seperti buku-buku teks, artikel dalam berbagai majalah ilmiah atau jurnal hasil penelitian di bidang hukum, makalah-makalah yang disampaikan dalam berbagai bentuk pertemuan seperti diskusi, seminar, lokakarya, dan lain-lain.

Sementara itu, bahan hukum tersier merupakan bahan hukum penunjang, yang meliputi kamus, ensiklopedia, website yang diperlukan untuk menunjang penelitian.

5. Teknik Pengumpulan dan Analisa Bahan Hukum a) Teknik pengumpulan bahan hukum

Pengumpulan bahan hukum, baik primer, sekunder, dan tertier dilakukan melalui studi pustaka, dengan mencari, mempelajari dan menelaah berbagai dokumen dan bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas22. Semua bahan hukum tersebut dikelompokan menurut bagianya masing-masing selanjutnya dihubungkan antara satu dengan yang lainnya guna memperoleh taraf sinkronisasi dalam hukum.

22 Soetandyo Wignjosoebroto, 2004, Fenomena CQ Realitas Sosial Sebagai Objek Kajian Ilmu (Sains) Sosial, dalam buku Burhan Bungin (ed.). Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 141

(12)

b) Teknik analisis bahan hukum

Semua bahan hukum yang telah terkumpul dan telah tersinkronisasi, bahan hukum tersebut dikualifikasi dan disusun dengan sistematis, selanjutnya dianalisis dan dikaji secara kualitatif guna menjawab permasalahan yang diangkat dalam penulisan.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut UU No.1 Tahun 1974 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

Perkawinan menurut Undang-Undang No.1 tahun 1974 pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

Perkawinan), defenisi perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan ” Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan perkawinan yaitu ” perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

34 Dalam bab pertama undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasala 1 dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami

ABSTRAK , Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)