• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinetika Degradasi Bahan Kering Beberapa Bahan Pakan Ruminansia Serta Korelasinya Dengan Kecernaan Nutrien Secara In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kinetika Degradasi Bahan Kering Beberapa Bahan Pakan Ruminansia Serta Korelasinya Dengan Kecernaan Nutrien Secara In Vitro"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

KINETIKA DEGRADASI BAHAN KERING BEBERAPA BAHAN

PAKAN RUMINANSIA SERTA KORELASINYA DENGAN

KECERNAAN NUTRIEN SECARA IN VITRO

R U D I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kinetika Degradasi Bahan Kering Beberapa Bahan Pakan Ruminansia serta Korelasinya dengan Kecernaan Nutrien secara In Vitro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2017

(4)

RINGKASAN

RUDI. Kinetika Degradasi Bahan Kering Beberapa Bahan Pakan Ruminansia serta Korelasinya dengan Kecernaan Nutrien secara In Vitro. Dibimbing oleh SURYAHADI dan ANURAGA JAYANEGARA.

Hasil evaluasi kinetika degradasi bahan pakan in vitro dipengaruhi oleh karakteristik bahan pakan yang digunakan dalam inkubasi yang meliputi fraksi pakan mudah larut (fraksi a), seperti pati, protein, lemak, dan mineral yang larut; fraksi pakan potensial terdegradasi (fraksi b) yang terdiri atas komponen serat dengan tingkat degradasi lambat dan merupakan bagian dari dinding sel seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin; dan laju degradasi fraksi b (c). Pemanfaatan hijauan seperti rumput gajah dan limbah industri pertanian berupa ampas tahu, kulit singkong, konsentrat dan bungkil kedelai sebagai bahan pakan diharapkan memberikan pengaruh positif dalam menunjang produktivitas ternak. Namun, perlu diperhatikan bahwa pemanfaatan limbah sebagai sumber pakan memiliki keterbatasan mengenai kualitas nutrien yang cukup beragam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kinetika degradasi beberapa bahan pakan ruminansia secara in vitro.

Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan 5 bahan pakan (bungkil kedelai, rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit singkong) dengan 3 ulangan.

Hasil degradasi bahan kering menunjukkan adanya pengaruh nyata (p<0.05) bahan pakan bungkil kedelai pada fraksi a, nilai c dan Degradabilitas Efektif (DE). Bungkil kedelai memiliki fraksi mudah larut (a) lebih tinggi sebesar 31.62%, laju degradasi fraksi b (c) lebih tinggi sebesar 18.22%/jam dan Degradabilitas Efektif (DE) lebih tinggi sebesar 59.23% dibandingkan 4 bahan pakan lainnya. Hasil fermentasi bahan kering pakan di rumen dan kecernaan nutrien menunjukkan bungkil kedelai menghasilkan konsentrasi amonia (NH3) dan Volatille Fatty Acid

(VFA) yang lebih tinggi, serta memiliki nilai kecernaan tertinggi pada degradasi protein kasar (DPK), kecernaan bahan kering (KcBK) dan Kecernaan protein kasar (KcPK). Protein bahan pakan ampas tahu didegradasi lebih lambat sehingga memiliki nilai By-pass protein kasar (BPK) lebih tinggi dari 4 bahan pakan lainnya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bungkil kedelai dengan kandungan protein tinggi, laju degradasi fraki b (c) lebih tinggi dan didegradasi lebih efektif sehingga menghasilkan konsentrasi amonia (NH3 ) dan Volatille Fatty Acid (VFA) yang lebih tinggi, serta memiliki nilai kecernaan tertinggi pada degradasi protein kasar (DPK), kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan protein kasar (KcPK). Ampas tahu berpotensi menjadi sumber by-pass protein karena didegradasi lebih lambat oleh mikrobia rumen.

(5)

SUMMARY

RUDI. In Vitro Dry Matter Degradation Kinetics of Some Ruminant Feeds and Correlation of Nutrient Digestibility. Supervised by SURYAHADI and ANURAGA JAYANEGARA.

The results of the evaluation of feeds degradation kinetics in vitro is influenced by the characteristics of feeds used in incubation include soluble feed fraction (fraction a), such as starch, protein, fat, and minerals are dissolved; potential feed degraded fraction (fraction b) consisting of components of fibers with a slow rate of degradation and is part of the cell wall such as cellulose, hemicellulose and lignin; and the degradation rate of fraction b (c). Utilization of forage such as napier grass and waste agricultural industries such as tofu by product, cassava peel, concentrate and soybean meal as feeds is expected to have a positive influence in sustaining the productivity of livestock. However, please note that the use of waste as a source of feed has limitations regarding the quality of nutrients are quite diverse. This study aimed to evaluated the kinetics of degradation of some ruminant feeds in vitro.

The experimental design used was a randomized complete block design with 5 types of feeds, i.e. napier grass, concentrate, tofu by-product, cassava peel and soybean meal, and three replicates based on different batches of rumen fluid.

The result of the degradation of dry matter indicated the presence of significant (p<0.05) in soybean meal feeds on the fraction of a, c and Effective Degradability (ED) value. Soybean meal has a soluble fraction (a) was higher by 31.62%, the rate of degradation of the fraction b (c) higher by 18.22%/hour and Effective Degradability (ED) was higher by 59.23% compared to 4 other feeds. Fermented dry matter of feeds in the rumen and digestibility of nutrients showed soybean meal produces ammonia (NH3) and Volatille Fatty Acid (VFA) concentrations were higher, and had the highest digestibility values in crude protein degradation, dry matter digestibility and crude protein digestibility. Protein feeds of tofu by product was degraded more slowly so that it had a value higher by pass of crude protein than 4 other feeds. The conclusion of this study is soybean meal with high protein content more easily degraded resulting in concentrations of NH3 and VFA higher, and has the highest digestibility values in crude protein degradation, dry matter digestibility and crude protein digestibility. Tofu by product potentially a source of by-pass protein because it was degraded more slowly by rumen microbes.

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

KINETIKA DEGRADASI BAHAN KERING BEBERAPA BAHAN

PAKAN RUMINANSIA SERTA KORELASINYA DENGAN

KECERNAAN NUTRIEN SECARA IN VITRO

R U D I

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subahanahu Wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan Juni sampai Agustus 2016 ini adalah Kinetika Degradasi Bahan Kering Beberapa Bahan Pakan Ruminansia serta Korelasinya dengan Kecernaan Nutrien secara In Vitro.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Suryahadi, DEA dan Dr Anuraga Jayanegara, SPt MSc selaku komisi pembimbing atas curahan waktu, arahan, bimbingan dan dorongan semangat mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penulisan tesis. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS selaku penguji luar komisi pada ujian sidang atas saran dan masukan yang diberikan. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Yuli Retnani, MSc selaku Ketua Program Studi dan Dr Ir Lilis Khotijah, MS selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Institut Pertanian Bogor. Ucapan Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat atas dukungan dana Tugas Belajar di Program Magister Sekolah Pascasarjana IPB dan dana proyek Penelitian Unggulan sesuai mandat Divisi (PUD) atas nama Bapak Dr Anuraga Jayanegara, SPt MSc yang sangat membantu pendanaan penelitian ini.

Penghargaan penulis berikan kepada Mas Supriadi, Ibu Ade, Ibu Dian Anggraeny, Ibu Ratih atas pelayanan prima kepada penulis selama menempuh studi dan penyelesaian karya ilmiah ini, serta teman-teman mahasiswa INP 2014 dan 2015 atas kebersamaannya dalam diskusi-diskusi selama ini, semoga persahabatan serta kerjasama ini tetap terjalin hingga waktu mendatang. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada istriku Nina Atirama Kartarineka, SE, anak-anakku Najla Salsabila Yuska dan Alif Hisyam Yuska, Ibunda Asariah, Maqbul Darajat Kartaatmadja serta saudara-saudaraku keluarga besar Alm Yusuf A. Kadir atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2017

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian 2

2 METODE PENELITIAN 2

Alur Penelitian 2

Waktu dan Tempat 3

Materi 3

Prosedur Pengujian dan Parameter 3

Rancangan Percobaan dan Analisis Data 6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Analisis Komposisi Kimia Bahan Pakan 7

Analisis Derajat Keasaman (pH) Cairan Rumen 7

Analisis Degradasi Bahan Kering 8

Analisis Konsentrasi Amonia (NH3) dan Vollatile Fatty Acid (VFA) 10 Hasil Analisis Nilai Degradasi Bahan Kering (DBK), Degradasi

Protein Kasar (DPK), Kecernaan Bahan Kering (KcBK), Kecernaan

Protein Kasar (KcPK) serta By-pass Protein Kasar (BPK) 12

Matriks Korelasi Antar Peubah 14

4 SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 20

(14)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi kimia dan nilai nutrien bahan pakan berdasarkan % BK 7 2 Nilai rerata parameter degradasi bahan kering (%) dan (%/jam) bungkil

kedelai, rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit singkong. 9 3 Nilai rerata konsentrasi Amonia (mM) dan VFA total (mM) dan parsial

(%) bungkil kedelai, rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit

singkong pada masa inkubasi 48 jam. 10

4 Nilai rerata DBK dan DPK (masa inkubasi 48 jam), KcBK dan KcPK (masa inkubasi 96 jam) serta By-pass Protein Kasar (BPK) bahan pakan (%) bungkil kedelai, rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit

singkong 12

5 Matriks korelasi (r) antara karakteristik degradasi bahan kering pakan dengan peubah NH3, VFA, DBK, DPK (masa inkubasi 48 jam), KcBK dan KcPK (masa inkubasi 96 jam) serta nilai BPK. 15

DAFTAR GAMBAR

1 Alur Penelitian 2

2 Kinetika degradasi bahan kering bungkil kedelai, rumput gajah,

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap fraksi mudah larut

(a) degradasi bahan kering 21

2 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap fraksi tidak larut tapi terdegradasi (b) degradasi bahan kering 21 3 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap fraksi potensial

terdegradasi (a+b) degradasi bahan kering 21 4 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap fraksi tidak

terdegradasi (u) degradasi bahan kering 21 5 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap laju degradasi (c)

degradasi bahan kering 21

6 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap Degradibilitas

Efektif (DE) degradasi bahan kering 22

7 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap konsentrasi VFA

total 22

8 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap konsentrasi asetat 22 9 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap konsentrasi

propionat 22

10 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap konsentrasi butirat 22 11 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap degradasi protein

kasar (DPK) 23

12 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap konsentrasi

Amonia 23

13 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap Kecernaan Protein

Kasar (KcPK) 23

14 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap degradasi bahan

kering (DBK) 23

15 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap Kecernaan bahan

kering (KcBK) 23

16 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap By-Pass Protein

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Informasi tentang kecernaan nutrien sangat penting dalam memprediksi kualitas bahan pakan (Khan et al. 2003). Kecernaan merupakan ukuran biologis ketersediaan nutrien dan penting dalam formulasi ransum yang seimbang untuk memperoleh produktivitas maksimum pada ternak. Semakin tinggi degradasi bahan kering dan bahan organik pakan maka semakin tinggi nutrien yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan nutrien ternak (Syahrir dan islamiati 2010).

Evaluasi degradasi bahan pakan dalam rumen biasanya dilaksanakan dengan teknik in sacco yaitu suatu bahan pakan dimasukkan ke dalam kantong nilon kemudian diinkubasikan di dalam rumen ternak yang berfistula. Namun, mengingat fasilitas penelitian dengan metode in sacco di Indonesia terbatas, maka perlu dikembangkan metode in vitro sebagai salah satu alternatif. Teknik in vitro

merupakan metode pendugaan kecernaan secara tidak langsung yang dilakukan di laboratorium dengan meniru proses pencernaan yang terjadi di dalam saluran pencernaan ruminansia. Metode in vitro memiliki kelebihan yaitu waktu yang lebih singkat, biaya yang lebih murah, serta bahan pakan yang tidak dapat diberikan secara tunggal pada ternak daya cernanya dapat diteliti dengan metode in vitro

(Getachew et al. 2004), dan tingkat korelasi yang tinggi dengan kecernaan in vivo

(Martens 2005).

Hasil evaluasi degradasi bahan pakandipengaruhi oleh karakteristik bahan pakan yang digunakan dalam inkubasi yang meliputi fraksi pakan mudah larut (fraksi a), yaitu komponen penyusun isi sel yang mudah dicerna dan mudah larut seperti pati, protein, lemak, dan mineral yang larut (Van Soest 1994); fraksi pakan potensial terdegradasi (fraksi b) yang terdiri atas komponen serat dengan tingkat degradasi lambat dan merupakan bagian dari dinding sel seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin (Ginting 2005); dan laju degradasi fraksi b (c) yang tergantung pada tingkat lignifikasi pada dinding sel tanaman.

Pemanfaatan bahan pakan hijauan seperti rumput gajah, limbah hasil industri pertanian seperti ampas tahu, kulit singkong, bungkil kedelai serta campuran bahan pakan berupa konsentrat sebagai pakan ternak diharapkan memberikan pengaruh positif dalam menunjang produktivitas ternak. Namun, perlu diperhatikan bahwa pemanfaatan limbah sebagai sumber pakan memiliki keterbatasan mengenai kualitas nutrien yang cukup beragam. Limbah hasil industri pertanian dengan nilai gizi rendah digunakan sebagai sumber serat, sedangkan limbah hasil industri pertanian dengan nilai gizi tinggi digunakan sebagai sumber energi dan protein (Schere 1987). Ransum harus disusun dari bahan-bahan pakan yang fraksi-fraksinya dapat dicerna dan diserap tubuh sedemikian rupa sehingga zat-zat makanan dapat dimanfaatkan oleh ternak (Suyono 1995).

Tujuan Penelitian

(18)

2

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar kinetika degradasi bahan kering beberapa bahan pakan ruminansia serta korelasinya dengan kecernaan nutrien yang selanjutnya dapat digunakan untuk mengetahui potensi nutrien dari bahan pakan guna keperluan formulasi ransum.

2 METODE PENELITIAN

Alur Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam satu tahap pengujian in vitro dengan 2 masa inkubasi. Masa inkubasi I selama 48 jam untuk mengukur kinetika degradasi bahan kering, degradasi bahan kering, degradasi protein kasar, konsentrasi amonia dan volatille fatty acid, sedangkan pada masa inkubasi II selama 96 jam untuk mengukur kecernaan bahan kering dan kecernaan protein kasar (Gambar 1).

5 bahan pakan Bungkil kedelai, rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit

singkong

Dioven (600C) dan Digiling (grinding)

Persiapan Larutan McDougall

Larutan Pepsin

Cairan Rumen

Pengujian KecernaanIn vitro Analisa Proksimat

dan Serat (ADF/NDF)

Inkubasi I

2, 4, 8, 12, 24, 48 jam

Endapan - DBK - DPK

Supernatan - NH3

- VFA total dan parsial

Inkubasi II

2 x 48 jam

Endapan - KcBK - KcPK

Analisa data

Interpretasi data

(19)

3

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2016. Analisis proksimat dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, pengujian in vitro dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Analisis Acid Detergent Fibre (ADF) dan Neutral Detergent Fibre (NDF) dilaksanakan di Balai Penelitian Ternak Bogor serta analisis Vollatile Fatty Acid

(VFA) parsial dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada.

Materi

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain rumput gajah, konsentrat, ampas tahu, kulit singkong dan bungkil kedelai, larutan Mc Dougall, cairan rumen sapi berfistula yang diperoleh dari LIPI Cibinong, aquades, larutan pepsin HCl 0.2%, larutan H2SO4 0.005 N, asam borat berindikator, vaselin tawar, Trichloroacetic acid (TCA) 10%, borat-buffer fosfat pH 6.7-6.8 mengandung monosodium fosfat, sodium tetraborat, tertiary butyl alcohol, sodium azida 10%.

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain oven, buret, gelas beaker, hot plate, tanur, cawan porselen, labu destruksi, vacuum pump, termos, buret 50 mL, magnetic stirrer, water bath, sentrifugasi, cawan Conway, gas CO2, tabung fermentor, labu Erlenmeyer, Whatman #41 12.5 cm, corong, syringe dan Gas Chromatograph Shimadzu GC-8A. Column: GP 10% SP-1200/1% H3PO4 on 80/100 Chromosorb W AW.

Prosedur Pengujian dan Parameter

Persiapan Sampel

Rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit singkong diperoleh dari Peternakan MT Farm Desa Tegal Waru, Bogor, sedangkan bungkil kedelai diperoleh dari distributor bahan pakan di sekitarnya. Kelima bahan pakan tersebut ditimbang sebagai berat segar lalu dikeringkan dalam oven 60°C selama 48 jam setelah itu ditimbang dan digiling, dari hasil penggilingan tersebut diambil 200 g bahan kering, kemudian disaring melalui screen 1 mm, yang kemudian digunakan untuk pengujian.

Pembuatan Larutan McDougall (Saliva Buatan)

(20)

4

Pembuatan Larutan Pepsin

Larutan pepsin dibuat dengan dilarutkannya 2 g pepsin (1:10000) ke dalam 850 mL air destilasi. Kemudian ditambah 17.8 mL HCl pekat dan campuran dimasukkan ke dalam takar. Air ditambahkan hingga permukaannya mencapai tanda tera labu takar.

Pengambilan Cairan Rumen

Termos dipersiapkan dengan menambahkan air panas dengan suhu 39°C. Setelah itu cairan rumen diambil di LIPI Cibinong pada pagi hari sebelum sapi diberi pakan. Cairan rumen diambil dari 3 sapi fistula, lalu disaring menggunakan kain nilon dan dimasukan ke dalam termos yang sebelumnya telah dihangatkan dengan air panas dan segera dibawa ke laboratorium untuk segera dilakukan fermentasi in vitro.

Pengujian in vitro

Uji in vitro mengikuti prosedur Tilley and Terry (1963). Tabung fermentor yang telah diisi dengan 0.5 g sampel, ditambahkan 40 mL larutan McDougall. Tabung dimasukkan ke dalam water bath dengan suhu 39°C, kemudian diisi cairan rumen 10 mL, tabung dikocok dengan dialiri CO2 selama 30 detik, dicek pH (6.5– 6.9) dan kemudian ditutup dengan karet berventilasi dan difermentasi selama 2, 4, 8, 12, 24 dan 48 jam. Selama 6 masa inkubasi tersebut tutup karet tabung fermentor dibuka, lalu dimasukkan ke dalam mesin sentrifugasi, lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Substrat terpisah menjadi endapan di bagian bawah dan supernatan yang bening berada di bagian atas.

Pengukuran Degradasi Bahan Kering (DBK) dan Degradasi Protein Kasar (DPK) (Tilley and Terry 1963). Endapan/residu dimasukkan ke dalam oven 105°C selama 24 jam. Setelah itu, residu dikeluarkan, dimasukkan ke dalam eksikator dan ditimbang untuk mengetahui kadar bahan keringnya.

DBK (%) = (BK awal(g)−berat setelah oven 105°C(g)-BK blanko(g)) x 100% BK awal(g)

BK = Berat Kering

Untuk mengetahui kadar nitrogen bahan, residu dalam kertas saring dianalisis dengan metode Kjeldahl.

DPK (%) = (PK awal(%)−PK residu(%)-PK blanko(%)) x 100% PK awal(%)

PK = Protein Kasar

Pengukuran konsentrasi NH3 (General Laboratory Procedure 1966).

(21)

5

Larutan asam borat berindikator sebanyak 1.0 mL ditempatkan dalam cawan kecil yang terletak di tengah cawan Conway. Cawan Conway yang sudah diolesi vaselin ditutup rapat hingga kedap udara, larutan Na2CO3 dicampur dengan supernatan hingga merata dengan cara menggoyang-goyangkan dan memiringkan cawan tersebut. Setelah itu dibiarkan selama 24 jam dalam suhu kamar. Setelah 24 jam suhu kamar dibuka, asam borat berindikator dititrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah.

N NH3 (mM) = H2SO4 (mL) x N H2SO4 x 1000 sampel (g) x BK sampel (g)

Pengukuran pH. Pengukuran pH cairan rumen dan cairan in vitro

menggunakan pH meter Jenway Model 3505. Sebelum dilakukan pengukuran pH cairan rumen dan pH cairan in vitro, pH meter terlebih dahulu dilakukan kalibrasi dengan menggunakan cairan pH 7.

Pengukuran konsentrasi VFA Parsial (Goering and Van Soest 1970). Setelah sampel dan cairan rumen diinkubasi selama 48 jam pertama dan dilakukan sentrifugasi, kemudian diambil supernatan untuk analisis VFA. Supernatan dimasukkan ke botol film, apabila tidak dilakukan analisis segera, sampel dapat disimpan di freezer. Pengukuran konsentrasi VFA menggunakan metode Goering dan Van Soest (1970) yaitu dengan teknik kromatografi gas. Cairan jernih sebanyak 1 µL diinjeksi ke dalam gas kromatografi yang sebelumnya telah diinjeksi larutan standar VFA.

VFATotal (mM) = area VFA contoh x kandungan VFA standar area VFA standar

Asetat (%) = asetat (mM) x 100% VFA total

Keterangan : perhitungan sama untuk butirat dan propionat

Pengukuran Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan dan Kecernaan Protein Kasar (KcPK) (Tilley and Terry 1963). Endapan hasil sentrifugasi seperti pengujian

in vitro pada pengukuran DBK dan DPK ditambahkan 50 mL larutan pepsin-HCl 0.2%. Campuran ini lalu diinkubasi kembali selama 48 jam tanpa tutup karet. Sisa pencernaan disaring dengan kertas saring Whatman no. 41 (yang sudah diketahui bobotnya) dengan bantuan pompa vakum. Endapan yang ada di kertas saring dimasukkan ke dalam cawan porselen, setelah itu dimasukkan ke dalam oven 105°C selama 24 jam. Setelah 24 jam, cawan porselen dan kertas saring dan residu dikeluarkan, dimasukkan ke dalam eksikator dan ditimbang untuk mengetahui kadar bahan keringnya. Untuk mengetahui kadar nitrogen bahan, residu dalam kertas saring dianalisis dengan metode Kjeldahl. Sebagai blanko dipakai residu asal fermentasi tanpa bahan pakan.

(22)

6

% KcPK = PK awal(%) − PK �esidu(%) –PK blanko(%) x 100 % PK awal(%)

Perhitungan By-pass Protein Kasar (BPK). By-pass protein kasar (BPK) dihitung dari selisih nilai kecernaan protein kasar (KcPK) dengan degradasi protein kasar (DPK).

BPK = KcPK – DPK

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan 5 bahan pakan (bungkil kedelai, rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit singkong) dan 3 ulangan.

Model matematik dari rancangan yang digunakan adalah :

Yij = + i + ij Keterangan :

Yij = nilai pengamatan perlakuan ke- i, ulangan ke-j  = rataan umum pengamatan

i = pengaruh perlakuan ke-i (i = 1, 2, 3, 4, 5)

ij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j (j = 1, 2, 3)

Data kinetika degradasi bahan kering dihitung dengan persamaan eksponensial berdasarkan model Ørskov dan McDonald (1979) :

P = a + b (1 e-ct)

Nilai Degradasi Efektif (DE) bahan kering dapat dihitung dengan rumus: DE = a + (b × [c/(k + c)])

keterangan :

P = Degradasi pakan pada waktu t (%); DE = Degradabilitas Efektif;

a = fraksi yang mudah larut;

b = fraksi tidak larut tapi potensial terdegradasi; c = laju degradasi fraksi b; dan

k = konstanta (0.05/ jam)

(23)

7

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Komposisi Kimia Bahan Pakan

Hasil analisis komposisi kimia 5 (lima) bahan pakan perlakuan pada penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia dan nilai nutrien bahan pakan berdasarkan % BK

Komponen Bungkil

Keterangan: BK=bahan kering, PK=protein kasar, LK=lemak kasar, SK=serat kasar, BETN=bahan ekstrak tanpa nitrogen, GE=gross energy, TDN=total digestible nutrient, NDF=neutral detergent fibre, ADF=acid detergent fibre. *TDN diperoleh dari Hartadi

et al (1997); **Hemiselulosa diperoleh dari perhitungan (Hemi = NDF – ADF)

Hasil analisis komposisi nutrien bahan pakan disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis menunjukkan adanya variasi kandungan nutrien dan fraksi serat dalam setiap bahan pakan yang diujikan. Bungkil kedelai memiliki kandungan protein kasar tertinggi, sementara kulit singkong memiliki bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) tertinggi. Kisaran nilai nutrien bungkil kedelai dan rumput gajah pada Tabel 1 sesuai dengan nilai nutrien yang dihimpun Feedipedia (2016) berdasarkan hasil-hasil penelitian, nilai nutrien kulit singkong sesuai dengan Rukmana (1997) dan Oboh (2006), sementara nilai nutrien ampas tahu sesuai dengan Wahyuni (2003).

Jika melihat kandungan fraksi serat di dalam bahan pakan saja, maka kandungan NDF dan ADF dari rumput gajah dan konsentrat lebih tinggi dibandingkan bungkil kedelai, ampas tahu dan kulit singkong. Hijauan dan limbah hasil industri pertanian mengandung serat berbeda, demikian pula degradasi masing-masing bahan pakan di dalam saluran pencernaan juga berbeda, bergantung pada fraksi penyusun serat dan keterikatannya dengan lignin (Pangestu, 2005).

Analisis Derajat Keasaman (pH) Cairan Rumen

(24)

8

Waktu (jam)

Van Soest (1994) menyatakan aktivitas bakteri selulolitik terhambat apabila pH cairan rumen dibawah 6.2 dan aktivitas akan optimal di dalam rumen pada pH 6.7 + 0,5. Nilai pH pada inkubasi kelima pakan perlakuan berkisar antara 6.4 – 6.9. Nilai tersebut secara statistik tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa 5 perlakuan bahan pakan dapat memberikan keseimbangan pH di dalam cairan rumen untuk mendukung ekosistem mikroorganisme di dalamnya. Nilai pH yang tidak berbeda nyata diduga karena lamanya waktu inkubasi (pH diukur pada jam ke 48 setelah inkubasi) sehingga mengakibatkan semakin sedikit tersedianya bahan pakan yang akan difermentasi oleh mikroba.

Hasil Analisis Degradasi Bahan Kering

Kinetika degradasi bahan kering pada perlakuan 5 bahan pakan dapat dilihat pada Gambar 2. Data tersebut merupakan nilai rerata persentase kehilangan bahan kering dengan interval waktu inkubasi 0, 2, 4, 8, 12, 24, dan 48 jam.

Gambar 2 Kinetika degradasi bahan kering bungkil kedelai, rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit singkong

Gambar 2 menunjukkan bahwa bungkil kedelai mengalami degradasi bahan kering lebih cepat diikuti kulit singkong, konsentrat, ampas tahu dan rumput gajah. Kurva degradasi bahan kering 5 bahan pakan yang diujikan ini naik hingga masa inkubasi 24 jam, namun setelah itu laju degradasi mulai melambat hingga akhir masa inkubasi 48 jam, ditandai dengan kurva yang melandai. Hal ini diduga ada kaitannya dengan ketersediaan substrat. Laju degradasi berbanding lurus dengan tersedianya substrat yang difermentasikan. Waktu inkubasi yang semakin lama, jumlah substrat yang tersedia juga semakin berkurang (Suhartanto et al. 2000).

(25)

9

Tabel 2 Nilai rerata parameter degradasi bahan kering (%) dan (%/jam) bungkil kedelai, rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit singkong.

Parameter Bungkil a (%) 31.62+1.06c 17.45+1.55a 28.58+1.68bc 23.25+3.09ab 22.48+4.73ab

b (%) 35.29+7.11a 58.36+14.3c 38.14+5.36ab 53.43+12.4bc 55.95+3.93bc

a+b (%) 66.92+1.88 75.81+15.53 66.72+6.91 78.23+10.24 78.43+0.82

u (%) 33.08+1.88 24.19+15.53 33.28+6.91 21.72+10.24 21.57+0.82

c (%/jam) 18.22+0.04b 3.32+0.01a 4.96+0.02a 3.00+0.01a 5.15+0.00a

DE (%) 59.23+1.09d 38.34+0.97a 46.68+1.87b 43.79+1.62b 50.89+1.52c Angka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05). a=fraksi mudah larut; b=fraksi tidak larut namun terdegradasi; a+b=fraksi potensial terdegradasi, u=fraksi yang tak terdegradasi; c=laju degradasi fraksi b; DE=degradabiltas efektif.

Hasil analisis statistik degradasi bahan kering menunjukkan adanya pengaruh nyata (p<0.05) pada fraksi a, b, nilai c dan DE antar bahan pakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fraksi mudah larut (a) bungkil kedelai lebih tinggi sebesar 31.62%, laju degradasi fraksi b (c) lebih tinggi sebesar 18.22%/jam dan Degradibilitas Efektif (DE) lebih tinggi sebesar 59.23% dibanding empat bahan pakan lainnya. Tingginya fraksi mudah larut (a), laju degradasi fraksi b (c) dan Degradibilitas Efektif (DE) bungkil kedelai disebabkan karena tingginya komponen penyusun isi sel yang merupakan komponen mudah larut seperti protein kasar, lemak kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) serta mineral mudah larut (Tabel 1), sebagaimana dinyatakan oleh Van Soest (1994). Bahan organik yang mudah larut dan terdegradasi bermanfaat dalam peningkatan aktivitas mikrobia rumen sehingga pakan dapat didegradasi secara efektif. Ǿrskov (1992) menambahkan bahwa degradasi pakan di dalam rumen dipengaruhi oleh mikroba rumen dan komposisi pakan.

Tinggi rendahnya nilai c dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan pakan yang diujikan; kandungan protein yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme rumen yang akhirnya dapat meningkatkan laju degradasi pakan tersebut (Harfiah 2005). Laju degradasi fraksi b (c) juga dipengaruhi oleh fraksi potensial terdegradasi (b) yang merupakan komponen dari dinding sel. Diduga struktur komponen serat dapat menghambat penetrasi enzim mikrobia sehingga degradasi nutrien menjadi lebih lambat. Tingkat lignifikasi yang tinggi pada dinding sel tanaman menyebabkan pakan semakin sulit didegradasi oleh mikroba rumen (Widiawati et al. 2007), sehingga mempengaruhi kecernaan serat kasar (Van Soest 1976).

Tabel 2 memperlihatkan bahwa ampas tahu memiliki laju degradasi lebih rendah (3.00%/jam) dibanding bahan pakan lainnya. Nilai fraksi a bungkil kedelai, laju degradasi bungkil kedelai dan ampas tahu serta Degradibilitas Efektif ampas tahu penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian yang dilaporkan Sriyana dan Sudarmadi (2004) berturut-turut adalah : 33.13% 18.9%/jam, 2.8%/jam dan 51.10%

(26)

10

dibandingkan 4 bahan pakan lainnya dari limbah industri pertanian.Tingginya nilai fraksi b pada rumput gajah disebabkan kandungan serat terutama hemiselulosa yang tinggi sekitar 41.45% (Tabel 1). Menurut Tillman et al. (1998), fraksi serat yang mudah terdegradasi dalam rumen adalah hemiselulosa. Hemiselulosa dihidrolisis oleh mikrobia rumen dan enzim hemiselulase yang hasil akhir fermentasinya berupa Vollatile Fatty Acid (VFA). Nilai fraksi a dan laju degradasi (c) bahan kering rumput gajah pada Tabel 2 sesuai hasil penelitian Wati et al. (2012) masing-masing 17.81% dan 3.15%/jam. Tabel 2 juga menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada parameter fraksi yang potensial terdegradasi (a+b) dan fraksi yang tidak terdegradasi (u) dari semua bahan pakan yang diujikan.

Hasil Analisis Konsentrasi Amonia (NH3) dan Vollatile Fatty Acid (VFA)

Hasil analisis konsentrasi amonia (NH3) dan VFA 5 bahan pakan setelah inkubasi selama 48 jam ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai rerata konsentrasi Amonia (mM) dan VFA total (mM) dan parsial (%) bungkil kedelai, rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit singkong pada masa inkubasi 48 jam

Parameter Bungkil

NH3(mM) 88.50+0.08d 24.95+2.76b 13.36+2.78a 31.65+0.41c 11.06+1.73a

VFA tot.(mM) 65.20+1.20b 36.48+4.97a 30.74+6.17a 36.31+14.0a 64.58+14.3b -Asetat(%) 48.25+0.22b 52.23+0.63c 47.91+1.07b 46.23+1.87b 42.25+2.32a -Propionat(%) 35.98+0.63b 33.18+0.79a 37.07+0.74b 41.16+0.81c 40.63+0.72c -Butirat (%) 15.77+1.07b 14.59+0.23ab 15.02+0.34ab 12.61+2.53a 17.12+1.65b Angka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf kecil yang berbeda McDonald et al. (2010) yaitu 6 sampai 21 mM. Hal ini disebabkan perbedaan lama waktu inkubasi untuk analisis NH3, dalam penelitian ini pengukuran konsentrasi NH3 dilakukan setelah inkubasi selama 48 jam, sedangkan yang literatur gunakan adalah selama 4 jam.

(27)

11

tinggi sebesar 88.50 mM. Hal ini disebabkan karena tingginya kandungan protein kasar dan nilai degradasi protein kasar bungkil kedelai masing-masing 47.22% dan 74.68%.

Konsentrasi VFA Total dan Parsial

Hasil analisis statistik konsentrasi VFA total cairan rumen dari perlakuan 5 bahan pakan menunjukkan berbeda nyata (P<0.05). Konsentrasi VFA total dihasilkan dari degradasi nutrien bungkil kedelai dan kulit singkong nyata lebih tinggi masing-masing 65.20 mM dan 64.58 mM. Hal ini disebabkan bungkil kedelai dan kulit singkong memiliki nilai bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) dan laju degradasi yang tinggi sehingga lebih cepat dan lebih banyak difermentasi oleh mikroba rumen. Rumput gajah dan konsentrat memiliki nilai BETN lebih tinggi dibandingkan bungkil kedelai, namun laju degradasi fraksi b (c) kedua bahan pakan tersebut lebih rendah dari bungkil kedelai. Hal ini mengakibatkan konsentrasi VFA total bungkil kedelai lebih tinggi dari rumput gajah dan konsentrat. Menurut Anggorodi (1994) BETN merupakan karbohidrat yang dapat larut meliputi monosakarida, disakarida dan polisakarida yang mudah larut dalam larutan asam dan basa serta memiliki daya cerna yang tinggi. Konsentrasi VFA dipengaruhi oleh penyerapan dan fermentabilitas dari pakan sumber karbohidrat (Hindratiningrum et al. 2011). Widiawati & Thalib (2008) menambahkan jika protein dalam pakan mempunyai kelarutan yang tinggi, maka protein tersebut akan berfermentasi dalam rumen dan menghasilkan VFA dan NH3. Katabolisame (deaminasi) asam amino akan menghasilkan produk utama NH3 dan produk samping berupa VFA rantai cabang (iso valerat, iso butirat dan n-metilbutirat), yang sangat dibutuhkan oleh mikroba selulolitik rumen untuk pertumbuhannya. Peningkatan konsentrasi VFA mencerminkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat pakan yang mudah larut (Davies 1982).

Kisaran nilai VFA 5 bahan pakan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3 yaitu 30.74sampai 65.20 mM. Nilai rata-rata VFA total dalam penelitian ini berada di bawah nilai normal konsentrasi VFA total, sebagaimana dikatakan McDonald (2002) bahwa konsentrasi VFA total yaitu 70-150 mM. Hal ini diduga karena lamanya waktu inkubasi yang melebihi waktu optimum kenaikan VFA. Lamanya waktu inkubasi akan mengakibatkan semakin sedikit tersedianya bahan pakan yang akan difermentasi oleh mikroba, sehingga berdampak terhadap laju produksi VFA yang semakin berkurang sebagai indikasi menurunnya ketersediaan energi bagi ternak ruminansia (Jayanegara et al. 2006).

(28)

12

Hasil Analisis Nilai Degradasi Bahan Kering (DBK), Degradasi Protein Kasar (DPK), Kecernaan Bahan Kering (KcBK), Kecernaan Protein Kasar (KcPK) serta By-pass Protein Kasar (BPK)

Hasil Analisis Nilai Degradasi Bahan Kering (DBK) Degradasi Protein Kasar (DPK), Kecernaan Bahan Kering (KcBK), Kecernaan Protein Kasar (KcPK) serta By-pass Protein Kasar (BPK) bungkil kedelai, rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit singkong ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Nilai rerata DBK dan DPK (masa inkubasi 48 jam), KcBK dan KcPK (masa inkubasi 96 jam) serta By-pass Protein Kasar (BPK) bahan pakan (%) bungkil kedelai, rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit singkong.

Komponen Bungkil Kedelai

Rumput

Gajah Konsentrat Ampas Tahu

Kulit Singkong DBK(%) 73.12+3.15c 59.27+1.18a 61.28+1.38ab 66.69+1.43bc 71.99+0.60c DPK(%) 74.68+10.3d 70.78+3.92d 52.53+0.92c 19.80+1.59a 38.70+5.90b KcBK(%) 93.09+0.47e 61.50+1.57b 55.28+1.48a 81.13+1.12d 74.02+1.36c KcPK(%) 98.96+0.68c 88.73+2.00ab 83.76+6.74a 98.25+0.53c 94.50+2.35bc BPK (%) 24.27+10.4ab 19.24+4.11a 34.60+2.44b 78.44+1.97d 55.79+5.21c

Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (P<0.05). DBK=degradasi bahan kering; DPK=degradasi protein kasar; KcBK=kecernaan bahan kering, KcPK=kecernaan protein kasar; BPK=by-pass protein kasar.

Metode in vitro Tilley and Terry (1963) menggunakan sistem pencernaan dua tahap yaitu tahap pertama menggunakan simulasi pencernaan fermentatif dalam rumen dan tahap kedua menggunakan simulasi pencernaan di dalam organ pencernaan pascarumen. Analisis in vitro dilakukan untuk memperoleh nilai degradasi bahan kering, degradasi bahan organik, degradasi protein kasar, by-pass

protein kasar, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik dan kecernaan protein kasar. Hasil analisis kecernaan 5 bahan pakan disajikan pada Tabel 4.

(29)

13

sehingga akan menghambat kecernaan dinding sel dan selanjutnya menurunkan kecernaan isi sel termasuk bahan organik di dalamnya.

Tabel 4 juga menunjukkan bahwa bungkil kedelai memiliki nilai degradasi protein kasar tertinggi sebesar 74.68%. Hal ini disebabkan tingginya kandungan protein kasar pada bungkil kedelai yang mencapai 47.22%. Nilai degradasi protein kasar terendah dimiliki oleh ampas tahu sebesar 19.80%. Rendahnya nilai degradasi protein ampas tahu diduga akibat telah terjadi denaturasi protein pada proses pembuatan tahu, sehingga menurunkan degradibilitas protein ampas tahu di dalam rumen (Wahyuni 2003).

Menurut Hubber & Kung (1981) degradasi protein pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kemampuan mikroba rumen untuk mendegradasi bahan pakan, pertumbuhan mikroba, lama protein pakan berada di dalam rumen, sumber protein, jumlah konsumsi dan ukuran partikel pakan yang dikonsumsi ternak. Widyobroto (1992) menyatakan bahwa cepat lambatnya laju degradasi tergantung dari asal protein yang menunjukan karakteristik fisiko-kemis dan aktifitas mikroba rumen. Owen dan Zinn (1988) menambahkan bahwa protein yang cepat terdegradasi di dalam rumen akan mengalami hidrolisis yang lebih cepat dibanding yang terlambat terdegradasi di dalam rumen.

Hasil analisis statistik memperlihatkan bahwa kecernaan bahan kering bungkil kedelai nyata lebih tinggi. Kecernaan bahan kering pada bungkil kedelai yang tinggi berarti bungkil kedelai dapat dicerna dengan baik oleh mikroba rumen. Dilihat dari komposisi kimia, bungkil kedelai memiliki karbohidrat mudah larut (pati) dan protein kasar yang tinggi menyebabkan bungkil kedelai mudah dicerna oleh mikroba rumen. Di dalam komponen serat kasar selain selulosa dan hemiselulosa yang dapat dimanfaatkan ruminansia, juga terdapat lignin yang pada konsentrasi yang tinggi dapat melindungi degradasi oleh bakteri di dalam rumen (Van Soest, 1994). Konsentrat memiliki nilai kecernaan bahan kering lebih rendah yaitu 55.28% karena tingginya kadar ADF. Hubungan antara tingginya kandungan serat, khususnya komponen ADF yang mengandung lignoselulosa dengan rendahnya kecernaan telah lama diketahui. Komponen struktural tanaman seperti selulosa, lignin, dinding sel, NDF dan ADF mempengaruhi secara negatif kecernaan nutrien ransum pada domba, sedangkan karbohidrat mudah larut (pati) dan protein kasar dapat meningkatkan kecernaan nutrien tersebut (Fonnesbeck et al.19810; De Boever et al. 2005). Nilai KcBK rumput gajah dalam penelitian ini (61.50%)sejalan dengan nilai KcBK rumput gajah hasil penelitian Abdurrahman et al. (2005) yaitu dalam kisaran dari 54.33 sampai 66.05 %.

Tabel 4 juga memperlihatkan bungkil kedelai memiliki kecernaan protein kasar tertinggi. Hal ini disebabkan bungkil kedelai memiliki kandungan protein yang tinggi (47.22%), sehingga protein dapat dicerna dengan baik oleh mikroba rumen. Tillman et al. (2005) menyatakan bahwa tinggi rendahnya kecernaan protein dipengaruhi oleh kandungan protein bahan pakan, jumlah protein yang masuk ke dalam saluran pencernaan dan laju pakan dalam saluran pencernaan. Mc Donald et al. (2010) menambahkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan pakan adalah kandungan protein kasar; protein kasar ransum yang tinggi menghasilkan kecernaan yang tinggi pula.

(30)

14

bahan kering lebih lama dibandingkan dengan waktu inkubasi yang diperlukan untuk memperoleh nilai degradasi bahan kering sehingga residu yang didapat lebih sedikit pada parameter kecernaan bahan namun bernilai tinggi. Hadi et al. (2011) berpendapat bahwa semakin lama waktu tinggal bahan pakan di dalam rumen menyebabkan peningkatan kontak antara pakan dengan mikroba rumen sehingga terjadi peningkatan aktivitas mikroba untuk mendegradasi pakan.

Hasil analisis kecernaan memperlihatkan adanya nilai by-pass protein kasar (BPK) yang merupakan selisih dari nilai kecernaan protein kasar dengan degradasi protein kasar. By-pass protein memiliki arti protein pakan yang lolos dari degradasi di dalam rumen (Yulianto 2012). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai by-pass

protein kasar tertinggi adalah ampas tahu sebesar 78.44% dan terendah adalah bungkil kedelai sebesar 24.27%. Hal ini mengindikasikan bahwa ampas tahu berpotensi menjadi sumber by-pass protein kasar. Tingginya nilai by-pass protein ampas tahu disebabkan karena protein ampas tahu telah mengalami penggumpalan dengan pemanasan (dimasak) pada saat proses pembuatan tahu, sehingga menurunkan kelarutan protein ampas tahu. By-pass protein dapat terjadi secara alami yang merupakan karakteristik protein pakan atau disebabkan oleh perlakuan kimia atau fisik, misalnya dengan perlakuan formaldehide, tanin atau dengan pemanasan (Widyobroto 1992). Petit dan Veira (1991) menyatakan bahwa protein yang rendah terdegradasinya di dalam rumen berhubungan dengan peningkatan aras protein kasar yang mencapai duodenum dan akan memperbaiki kecernaan pakan. Bungkil kedelai merupakan bahan pakan yang mengandung protein tinggi dengan tingkat degradasi tinggi di dalam rumen. Jumlah protein bungkil kedelai yang tahan degradasi dalam rumen berkisar antara 22-53% dan kecernaan di dalam usus halus mencapai 86-100% (Stern et al. 2006).

Proses degradasi protein dan deaminasi asam amino dalam rumen akan terus berlangsung walaupun telah terjadi akumulasi amonia yang cukup tinggi. Proses degradasi ini tidak dapat dipandang sebagai suatu proses yang menguntungkan atau pun merugikan, karena di satu sisi proses degradasi diharapkan untuk memenuhi kebutuhan amonia dan peptida untuk pertumbuhan mikrobia rumen, sedangkan di sisi lain, protein yang bermutu tinggi diharapkan tidak banyak mengalami degradasi dalam rumen. Perombakan protein menjadi amonia ternyata lebih cepat dibandingkan dengan penggunaan amonia untuk sintesis protein mikroba. Sebagai akibatnya kelebihan amonia akan diserap dan dikonversi di dalam hati menjadi urea dan selanjutnya akan dibuang lewat urin. Dengan kata lain bungkil kedelai dengan tingkat degradasi tinggi memiliki nilai biologis yang kurang menguntungkan bagi ternak ruminansia, karena kurang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Oleh karena itu bungkil kedelai perlu diproteksi agar terlindungi dari degradasi mikrobia rumen, sehingga dapat meningkatkan pasokan protein ke dalam intestinum dan meningkatkan pasokan asam amino kepada ternak inang (Subrata et al. 2005).

Matriks Korelasi Antar Peubah

(31)

15

Tabel 5 Matriks korelasi (r) antara karakteristik degradasi bahan kering pakan dengan peubah NH3, VFA, DBK, DPK (masa inkubasi 48 jam), KcBK dan KcPK (masa inkubasi 96 jam) serta nilai BPK.

Peubah c DE NH3 VFA DBK DPK KcBK KcPK BPK

Keterangan: a=fraksi mudah larut; b=fraksi tidak larut namun terdegradasi; a+b=fraksi potensial terdegradasi, u=fraksi yang tidak terdegradasi; c=laju degradasi fraksi b; DE=degradabiltas efektif; DBK=degradasi bahan kering; DPK=degradasi protein kasar; KcBK=kecernaan bahan kering, KcPK=kecernaan protein kasar; BPK=by-pass protein kasar; tn=tidak berbeda nyata; *=berbeda nyata pada P<0.05; **=berbeda nyata pada P<0.01.

Tabel 5 memperlihatkan laju degradasi fraksi b (c) bahan kering nyata (P<0.01) berkorelasi positif dengan fraksi mudah larut (r=0.73) dan nyata (P<0.05) berkorelasi negatif dengan fraksi tidak larut namun terdegradasi (r=-0.55). Degradabilitas Efektif (DE) bahan kering nyata (P<0.01) berkorelasi positif dengan fraksi mudah larut (r=0.77) dan laju degradasi (r=0.83). Hal ini sesuai dengan pendapatMehrez dan Ǿrskov (1977) yang menyatakan bahwa nilai degradibilitas efektif bahan pakan dipengaruhi oleh fraksi a, fraksi b, nilai c dan laju aliran pakan keluar dari rumen. Konsentrasi NH3 nyata (P<0.01) berkorelasi positif dengan fraksi mudah larut (r=0.69), laju degradasi (r=0.88) dan Degradabilitas efektif (r=0.69), sementara itu konsentrasi VFA nyata (P<0.05) berkorelasi positif dengan laju degradasi (r=0.60) dan Degradabilitas Efektif (r=0.76). Hal ini berkaitan dengan komposisi nutrien pakan terutama kandungan protein kasar dan karbohidrat yang mudah larut.

Kecernaan Bahan Kering secara nyata (P<0.05) berkorelasi positif dengan fraksi mudah larut (r=0.54) dan nyata (P<0.01) berkorelasi positif dengan laju degradasi (r=0.69) dan Degradabilitas Efektif (r=0.73). Hal ini disebabkan karena semakin tinggi kandungan nutrien pakan yang mudah larut seperti protein kasar, bahan ekstrak tanpa nitrogen dan mineral mudah larut dan lebih mudah didegradasi, sehingga meningkatkan nilai kecernaannya. Degradabilitas Efektif juga secara nyata (P<0.05) berkorelasi positif dengan kecernaan protein kasar (r=0.54).

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(32)

16

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan yaitu analisis in vitro tiga tahap menggunakan enzim pankreatin agar dapat diketahui berapa jumlah nutrien yang terserap di usus halus, sehingga analisis kandungan nutrien pakan dapat mengestimasi atau menggambarkan kecernaan nutrien secara utuh pada saluran pencernaan ternak ruminansia. Selain itu perlu dilakukan uji in vitro dan in sacco

secara simultan untuk mengevaluasi teknik in vitro sebagai alternatif.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, Askar S, Heliati I. 2005. Penetapan Kecernaan Bahan Kering Rumput Gajah Secara In Vitro Sebagai Sampel Kontrol. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. [Internet]. Bogor (ID): Ciawi; [diunduh 2016 Agustus 24]. Tersedia pada: http//balitnak.litbang.pertanian.go.id/index.php.

Anggorodi R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta (ID): PT Gramedia. Davies HAAL. 1982. Nutrition and Growth Manual Australian University

International Development Program. pp. 20-25; 40-46.

De Boever JL, Aerts JM, Vanacker JM, De Brabander DL. 2005. Evaluation of the nutritive value of maize silages using a gas production technique. Anim. Feed Sci.Technol. 123-124: 255-265.

Feedipedia. 2016. Animal feed resources information system-INRA CIRAD AFZ and FAO © 2012-2016. Diakses dari http://feedipedia.org.

Fonnesbeck PV, Christiansen JL, Harris LE. 1981. Factors affecting digestibility of nutrients by sheep. J. Anim. Sci. 52: 363-376.

Goering HK, Van Soest PJ. 1970. Forage Fiber Analysis. Agricultural Handbook No. 379 p 12-15. Washington DC (US): United States Deparment of Agriculture Pr.

General Laboratory Procedure. 1966. Report of Dairy Science. Madison (USA): University of Wisconsin Pr.

Getachew G, De Peters EJ, Robinson PH. 2004. In vitro Gas Production Provides Effective Method For Assessing Ruminant Feeds. J. California Agri. 58(1):54-58.

Ginting SP. 2005. Sinkronisasi degradasi protein dan energi dalam rumen untuk memaksimalkan produksi protein mikrobia. Wartazoa. 15 (1) : 1-10.

Hadi RF, Kustantinah, Hari H. 2011. Kecernaan in sacco hijauan leguminosa dan hijauan non-leguminosa dalam rumen sapi peranakan ongole. Bul Petern. 35(2):79-85.

(33)

17

Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Tillman AD, 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Yogyakarta (ID): Gadjahmada University Press.

Haryanto B, Djajanegara A. 1993. Pemenuhan kebutuhan zat-zat pakan ruminansia kecil dalam produksi kambing dan domba di Indonesia. Solo (ID): UNS Pr. Huber JT, Kung Jr, L. 1981. Protein and non protein nitrogen utilisation in dairy

cattle. J. Dairy Sci. 64:1170–1195

Hindratiningrum N, Bata M, Santosa SA. 2011. Produk fermentasi rumen dan produksi protein mikroba sapi lokal yang diberi pakan jerami amoniasi dan beberapa bahan pakan sumber energi. J Agripet. 11 (2) : 29-34

Jayanegara A, Tjakradidjaja AS, Sutardi T. 2006. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum limbah agroindustri yang disuplementasi kromium anorganik dan organik. J Med Pet. 29(2):54-62.

Khan MA, Mehr-Un-Nisa M, Sarwar M. 2003. Techniques measuring digestibility for the nutritional evaluation of feeds. Int J Agri & Bio. 5(1): 91– 94.

Martens DR. 2005. Rate and extent of digestion. in: Dijkstra J., Forbes J.M., France J. (Eds.). Quantitative aspects of ruminant digestion. CABI International. Wallingford. UK. 2nd edition. pp. 13–47.

Mehrez A. Z. and E. R. Ǿrskov. 1977. The use of dacron bag technique to determine

rate of degradation of protein in the rumen. J. Agric. sci. Camb. 88:645. McDonald P, Edwards RA, Greenhalg JFD, Morgan CA. 2010. Animal Nutrition

(7th Ed.). London and New York (US): Longman.

Oboh G. 2006. Nutrient enrichment of cassava peels using a mixed culture of Saccharomyces cerevisae and Lactobacillus spp. solid media fermentation Techniques Electronic J. Biotechnol. 9(1).

Ørskov ER. 1992. Protein Nutrition in Ruminant (2ndEd.). Harcout Brace Jovanovich Publisher. London (UK): Academic Pr.

Ǿrskov ER, McDonald I. 1979. The estimation of protein degradability in the rumen from incubation measurements weight according to rate of passage.

J. Agric. Sci. Comb. 92 : 499-503.

Owens FH, Zinn R. 1988. Protein Metabolisme of Ruminant Animals. In: the Ruminant Animal Digestion, Phisiology and Nutrition. D.C. Church (Ed). Prentice Hall, New Jersey.

Pangestu E. 2005. Evaluasi serat dan suplementasi zink dalam ransum berbahan hasil samping industri pertanian pada ternak ruminansia [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Petit HV, Veira DM. 1991. Effect of grain level and protein source on ruminal fermentation, degradability, and digestion in milking cows fed silage. J. Diary Sci. 80: 730-739.

Puastuti W, Yulistiani D, Mathius IW. 2012. Ruminal fermentation response and nitrogen retention from sheep fed rumen undegradable protein. JITV. 17(1): 67-72.

(34)

18

Rahmadi D, Sunarso, Achmadi J, Pangestu E, Muktiani A, Christiyanto M, Surono, Surahmanto. 2010. Ruminologi Dasar. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Rukmana R. 1997. Ubi Kayu, Budidaya dan Pascapanen. Jakarta : Kanisius. Schere JB. 1987. Limbah Pertanian: Potensi dan faktor pembatas dalam

pemanfaatannya sebagai pakan ruminansia. Pros. Bioconversion Project. Second Workshop on Crop Residues for Feed and Other Purpose. Sub Balitnak Grati Pasuruan.

Schlegel HG. 1994. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ. Pr. Sriyana, Sudarmadi B. 2004. Kecernaan bahan kering in sacco pada beberapa bahan pakan. Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian Tahun 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. [Internet]. Pasuruan (ID): Grati. [diunduh 2016 Agustus 24]. Tersedia pada: http//balitnak.litbang.pertanian.go.id/index.php.

Subrata A, Agus A, Yusiati LM. 2005. Pemanfaatan tanin ampas teh terhadap efek defaunasi, parameter fermentasi rumen dan sintesis protein mikroba secara in vitro. Agrosains. 18(4) : 473-487.

Suhartanto B, Kustantinah, Padmowijoto S. 2000. Degradasi in sacco bahan organik dan protein kasar empat macam bahan pakan diukur menggunakan kantong inra dan rowett research institute. Bul. Petern. 24 (2); 82-93.

Sutardi T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suyono H. 1995. Penentuan nilai gizi dan pemalsuan pakan ternak: Semi Loka Lab sebagai Sarana Diagnosa Penyakit dan Efisiensi dalam Upaya Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Kualitas SDM. FKH Unair, 27 – 28 Nov. 1995. Syahrir S, Islamiati R. 2010. Model pemanfatan tanaman murbei sebagai sumber

pakan berkualitas guna meningkatkan pendapatan petani serta mendukung produksi ternak berkelanjutan. Laporan akhir hibah kompetitif penelitian strategis nasional, lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar.

Stern MD, Bach A, Calsamiglia S. 2006. New concepts in protein nutrition in ruminants. 21st Annual Southwest Nutrition & Management Conference. February 23-24.

Tilley JMA, Terry RA. 1963. A two-stage technique for the in vitro digestion of forage crop. JBritish Grassl Soc.18: 104-111.

Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S. 2005. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press.

Tillman AD, Hartadi H, Prewirokusumo S, Reksohadiprodjo S, Lebdosoekojo S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Van Soest PJ. 1994. Nutritional Ecology of The Ruminant. 2ndEd. Comstock Publishing Associates a Division of Cornell University Press, Ithaca.

Van Soest PJ, Robertson JB, Lewis BA. 1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber and nonstarch polysaccharides in relation to animal nutrition.

(35)

19

Van Soest PJ. 1976. New chemical methods for analysis of forages for the purpose of predicting nutritive value.Pref IX International GrasslandCong.

Wahyuni S. 2003. Karakteristik nutrisi ampas tahu yang dikeringkan sebagai pakan domba [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Wati NE, Achmadi J, Pangestu E. 2012. Degradasi nutrien bahan pakan limbah pertanian dalam rumen kambing secara in sacco. Anim. Agri J. Vol. 1(1): 485

– 498

Widiawati Y, Winugroho M, Teleni E. 2007. Perbandingan laju degradasi rumput gajah dan tanaman leguminosa di dalam rumen. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Veteriner. Bogor, Indonesia. Bogor (ID) : Balai Penelitian Ternak. hlm : 374-379.

Widiawati Y. Thalib A. 2008. Comparative of fermentation kinetics (in vitro) of grass and shrub legume leaves: the pattern of gas production, organic matter degradation, pH, NH3 production. [internet]. [diakses 2016 juni 3]. Tersedia pada: http//balitnak.litbang.deptan.go.id.

Widyobroto BP. 1992. Pengaruh aras konsentrat dalam ransum terhadap kecernaan dan Ssintesis N mikrobia dalam rumen pada sapi perah.

J.Indon.Trop.Anim.Agric. 32 [3]: 194-200.

Yulianto R. 2012. Pengaruh pemberian beberapa jenis leguminosa dalam ransum berbasis jerami padi amoniasi terhadap kecernaan dan kadar protein bypass

(36)

20

(37)

21

Lampiran 1 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap fraksi mudah larut (a) degradasi bahan kering

Sumber

Lampiran 2 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap fraksi tidak larut tapi terdegradasi (b) degradasi bahan kering

Sumber

Lampiran 3 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap fraksi potensial terdegradasi (a+b) degradasi bahan kering

Sumber

Lampiran 4 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap fraksi tidak terdegradasi (u) degradasi bahan kering

Sumber

(38)

22

Lampiran 6 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap Degradibilitas Efektif (DE) degradasi bahan kering

Sumber

Lampiran 7 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap konsentrasi VFA total

Lampiran 8 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap konsentrasi asetat

Sumber

Lampiran 9 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap konsentrasi propionat

(39)

23

Lampiran 11 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap degradasi protein kasar (DPK) bahan kering

Lampiran 12 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap konsentrasi Amonia

Lampiran 13 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap Kecernaan Protein Kasar (KcPK)

Lampiran 14 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap degradasi bahan kering (DBK)

(40)

24

Lampiran 16 ANOVA pengaruh beberapa bahan pakan terhadap By Pass

Protein Kasar (BPK)

Sumber keragaman (SK)

Jumlah kuadrat (JK)

Derajat bebas

(db)

Kuadrat tengah

(KT)

Fhitung F0.05

Perlakuan 7212.795 4 1803.199 55.435 0.000

Galat 325.280 10 32.528

(41)

25

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sambas Kalimantan Barat pada tanggal 3 Januari 1975. Penulis merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Yusuf A. Kadir (alm) dan Ibu Hajinah (almh). Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri 2 Mentawa Sambas pada tahun 1981-1987. Pendidikan dilanjutkan di SMPN 1 Tumuk Sambas pada tahun 1987-1990 kemudian melanjutkan pendidikan di SMAN Sambas pada tahun 1990-1993.

Penulis diterima sebagai mahasisiwa di Universitas Tanjungpura Pontianak pada Fakultas Pertanian jurusan Budidaya Pertanian pada tahun 1993 melalui jalur PMDK dan menyelesaikan pendidikan Strata-1 pada tanggal 22 Desember 1998. Penulis melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program studi Ilmu Nutrisi dan Pakan pada tahun 2014.

Selama mengikuti kuliah di Sekolah Pascasarjana IPB penulis aktif dalam organisasi kegiatan mahasiswa. Penulis menjadi Ketua Divisi Pengembangan Minat dan Bakat Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HIWACANA) Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan IPB pada Tahun 2016. Prestasi bidang olahraga yang pernah diraih membawa Fakultas Peternakan menjadi Juara Umum pada Pasca Cup IPB Tahun 2015. Sebagian dari hasil penelitian telah dipublikasikan dalam The 3rd Animal Production Seminar (3rd APIS) & The 3rd Asean Regional Conference on Animal Production (3rd ARCAP) tanggal 19–21 Oktober 2016 dan sudah diterbitkan dalam Proceeding (ISBN : 978-602-432-017-1) dengan judul ”In Vitro Dry Matter Degradation Kinetics of Some Ruminant Feeds”.

Gambar

Gambar  1  Alur Penelitian
Tabel 1  Komposisi kimia dan nilai nutrien bahan pakan berdasarkan % BK
Gambar 2  Kinetika degradasi bahan kering bungkil kedelai, rumput gajah,
Tabel 2   Nilai rerata parameter degradasi bahan kering (%)  dan (%/jam) bungkil kedelai, rumput gajah, konsentrat, ampas tahu dan kulit singkong

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini kulit ari kacang kedelai memiliki kandungan protein yang cukup tinggi dan memiliki struktur yang lebih halus dari pada rumput lapang sehingga

Berdasarkan pengujian in vitro dapat disimpulkan bahwa pelepah sawit menghasilkan tingkat kecernaan bahan kering dan bahan organik yang lebih tinggi dari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelepah sawit menghasilkan tingkat kecernaan bahan kering dan bahan organik yang lebih tinggi dari jerami padi dan rumput kumpai