ii
Faculty of Medicine and health sciences
School of Nursing
Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta
Skripsi, Januari 2016
Syahir Noer Muhamad, NIM : 1111104000024
Imaging of Cognitive Function in Patient of COPD at RSU Kabupaten Tangerang
(xvii + 71 Pages + 18 Table + 2 Schemes + 4 Attachments)
ABSTRACT
Human cognitive function consist of orientation time and place, attention, memory, language, visuospacial, eksecutive, dan abstract skill. The cognitive function could alter if hypo perfusion occur. Patients with COPD suffer hypoksia lead to brain hypoperfusi. The aim of the research was to investigate cognitive function of patient with COPD, this study had been carried out during 5 month from March until Jule 2015. Quantitative method was used and descriptive design with cross sectional approach. Has been choosen sample were 48 patient at RSU Kabupaten Tangerang with non probability sampling technique and using montreal Cognitive Assesment (MoCa) questionnaire. The result has been delivered 38 out of 48 patient has cognitive function altered whereas 10 of them still normal. Most of them were at above 60 years old 64.8%, 31.5% were around age of 45-59, and 4.2% were below ≤ 44 years old. Mele were most potential of suffering COPD than female (34 male and 5 male on this study). Thus 34 male shown cognitive function altered while female only 4 people. In conclusion cognitive changed could be affected by age and chronic disease of COPD nurse are needed to educate to COPD Patient in order to reduce cognitive changing induced by hypoksia such as COPD.
iii
3
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Skripsi, Januari 2016
Syahir Noer Muhamad, NIM : 1111104000024
GAMBARAN FUNGSI KOGNITIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU
OBSTRUKTIF KRONIS DI RUMAH SAKIT UMUM KABUPATEN TANGERANG
( xvii + 71 Halaman + 18 Tabel + 2 Gambar + 4 Lampiran )
ABSTRAK
Perubahan kognitif dapat terjadi jika terjadi hipoperfusi pada otak, penyebab terjadinya hipoperfusi otak yakni kondisi hipoksia pada otak, salah satunya terjadi pada penderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran fungsi kognitif pada penyakit paru obstruktif kronis yang dilakukan selama 5 bulan dari bulan Maret hingga Juli 2015. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel adalah 48 pasien di RSU Kabupaten Tangerang dengan teknik non probability sampling. Pengambilan data menggunakan kuisioner Montreal Cognitive Assesment (MoCa). Hasil penelitian menunjukan dari 48 responden, 38 diantaranya (79.1%) mengalami perubahan fungsi kognitif dan 10 orang (20.9%) memiliki fungsi kognitif yang normal. Rata-rata pasien PPOK yang mengalami perubahan kognitif pada usia≥ 60 tahun sebanyak 31 orang (64.8%), 45-59 tahun sebanyak 15 orang (31.5%) dan ≤ 44 sebanyak 2 orang (4.2%). Jenis kelamin laki-laki lebih banyak yakni 43 orang (89.6%) di diagnosa PPOK dibanding perempuan sebanyak 5 orang (10.4%), pada laki-laki 34 orang (79.1%) terjadi perubahan kognitif dan 9 orang (20.9%) kognitif normal, pada perempuan 4 orang (80.0%) dengan perubahan kognitif dan 1 orang (20.0%) kognitif normal. Dengan begitu perubahan fungsi kognitif dapat dipengaruhi oleh faktor usia dan penyakit yang menahun maka diperlukan peran perawat sebagai caregiver dalam menekankan edukasi terhadap pasien PPOK agar dapat mengurangi prevalensi kejadian gangguan kognitif pada pasien PPOK.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya serta shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, Berkat rahmat,
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran
Fungsi Kognitif Pada Penderita Penyakit Paru Obstrukstif Kronis di RSU
Kabupaten Tangerang”
Skripsi ini disusun sebagaimana untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai
gelar sarjana keperawatan (S.Kep) UIN Jakarta serta mengembangkan teori-teori yang
penulis peroleh selama kuliah.
Penulis telah berusaha untuk menyajikan suatu tulisan ilmiah yang rapi dan
sistematik sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Penulis sangat menyadari bahwa
penyajian skripsi ini jauh dari sempurna. Hal ini sebabkan masih terbatasnya
pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan penulis dalam melihat fakta, oleh karena itu,
segala kritik dan saran yang berguna untuk menyempurnakan skripsi ini akan penulis
terima dengan hati terbuka dan rasa terima kasih.
Sesungguhnya banyak pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan yang
tak terhingga nilainya hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.
Penulis sampaikan kepada yang terhormat :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
2. Prof. Dr. H. Arif Sumantri S.KM., M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan.
3. Ibu Maulina Handayani, S.Kp.,MSc, selaku Ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan.
4. Ibu Nia Damiati, S.Kp, M.SN. selaku Dosen Pembimbing Akademik, terima kasih
sebesar-besarnya untuk beliau yang telah membimbing dan memberi motivasi
selama 4 tahun masa akademik.
5. Ibu Ns. Mardiyanti, M.Kep.,MDS dan Ibu Maftuhah, Ph.D selaku Dosen
Pembimbing, terima kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang telah meluangkan
waktu serta memberi arahan dan bimbingan dengan sabar kepada penulis selama
proses pembuatan skripsi ini.
6. Bapak Jamaludin, S.Kp., M.Kep dan Bapak Ns.Waras Budi Utomo., S.Kep.,
MKM.
7. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya yang tak ternilai, serta seluruh
staf dan karyawan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
8. Perawat RSU Kabupaten Tangerang yang telah mengizinkan dan membantu
peneliti dalam melakukan penelitian.
9. Orang tuaku, Ibu Baiatin Nassa Kardiani dan Bapak Ns.Yayat Ruhiyat., S.Kep
yang telah mendidik, mencurahkan semua kasih sayang tiada tara, mendo’akan
keberhasilan penulis,serta memberikan bantuan baik moril maupun materil kepada
penulis selama proses menyelesaikan proposal skripsi ini. Tak lupa, adikku,
Syaifan Bachtiar Nirwansyah, dan segenap keluargaku yang selalu memberikan
10.Teman-teman PSIK 2011, PSIK 2010, Kak Yoga, Kak Andri, Kak Egi, Kak Qoys,
Wiwi, Manda dan teman-teman kosan yang telah membantu, memberi masukan,
memberi inspirasi, dan terkhusus untuk Nika Sari Cahyaningrum yang telah
banyak memberikan referensi dan membantu proses perkuliahan dan sebagai
tempat berbagi keluh kesah selama menjadi mahasiswa UIN Jakarta.
11.Teman-teman BEM FKIK 2013-2014 yang telah memberikan pelajaran praktik
berorganisasi.
`Pada akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna, namun penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang
memerlukannya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Ciputat, Januari 2016
DAFTAR ISI
B. Rumusan Masalah ...4
C. Pertanyaan Penelitian ...5
D. Tujuan Penelitian ...5
E. Manfaat Penelitian...5
F. Ruang linkup...6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)...8
1. Definisi PPOK...8
2. Faktor Risiko PPOK ...9
3. Jenis PPOK ...12
4. Komplikasi PPOK ...16
5. Pemeriksaan Diagnostik PPOK ...18
B.Fungsi Kognitif ...23
1. Pengertian Fungsi Kognitif ...23
2. Aspek-Aspek Fungsi Kognitif ...24
3. Anatomi Fungsional pada Fungsi Kognitif ...26
C.Pengaruh PPOK terhadap Fungsi Kognitif ...29
D.Alat Ukur Fungsi Kognitif...31
E. Kerangka Teori ...32
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A.Kerangka Konsep ...33
B.Definisi Operasional ...34
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ...37
C. Populasi dan Sampel ... ...38
D. Instrumen Penelitian ... ……40
E. Uji Validitas dan Reliabilitas ... ……42
F. Langkah-Langkah Pengumpulan Data ... ……43
G. Pengolahan Data ... ……44
H. Analisis Data ... ……45
I. Etika Penelitian ...46
BAB V HASIL PENELITIAN A. Analisis Data………...47
1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia………... …………...47
2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin …………...47
3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan…………...48
4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Merokok………...48
5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Penyakit………...49
6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan...49
7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Trauma Kepal………...50
8. Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Usia…………...50
9. Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Jenis Kelamin...51
10.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Pekerjaan………...51
11.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Merokok………...52
12.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Pendidikan……...53
13.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Penyakit………...54
14.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Trauma Kepala…...55
15.Distribusi Frekuensi MoCa dengan Jumlah Responden……...55
16.Distribusi Frekuensi Diagnosa Kerja………...55
17.Distribusi Proporsi Antara Fungsi Kognitif dengan diagnosa.. ...56
BAB VI PEMBAHASAN A. Pembahasan………...58
1. Gambaran Fungsi kognitif berdasarkan Usia………...58
2. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan Jenis Kelamin……...59
3. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan pendidikan………...60
4. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan pekerjaan…………...60
5. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan status merokok…...61
6. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan riwayat penyakit…...62
7. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan Skor MoCa………...64
8. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan Diagnosa Kerja…...65
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………...67 B. Saran………...68 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR SINGKATAN
AGD : Analisa Gas Darah CHF : Coronary Hearth Failure
EKG : Electrocardiogram
FEV1 : Forced Expired Volume in One Second
FVC : Forced Vital Capacity
GARD : Global Alliance Againts Respiratory Disease
GOLD :Global Inititative for Chronic Obstructive Lung Disease
ICCU : Intensive cardiac care unit
ICU : Intensive care unit
MMSE : Mini Mental State Examination
MoCa : Montreal Cognitive Asessement
NICE : National Institute for Health and Care Excellence
NTT : Nusa Tenggara Timur PEF : Peak Expiratory flow
PPOK :Penyakit Paru Obstruktif Kronis RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah RVC : Relaxed after capacity SDM : Sumber daya manusia UIN : Universitas Islam Negeri WHO : World Health Organization
DAFTAR GAMBAR
HALAMAN Kerangka Teori………..31
DAFTAR TABEL
HALAMAN
1.1Pengkajian menentukan derajat berat asma………...………13
1.2 Klasifikasi PPOK………..……….………...18
1.3 Fungsi kognitif berdasarkan skor MMSE………...29
2.1 Definisi operasional………...35
5.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia…………. ………...52
5.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin…. ………53
5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan……….……...53
5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat merokok………54
5.5 Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat penyakit………..54
5.6 Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan………..55
5.7 Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat trauma kepala………..55
5.8 Distribusi proporsi antara fungsi kognitif dengan usia……….56
5.9 Distribusi proporsi antara fungsi kognitif dengan jenis kelamin…………..56
5.10 Distribusi proporsi fungsi kognitif dengan pekerjaan……….57
5.11 Distribusi proporsi fungsi kognitif dengan riwayat merokok……….58
5.12 Distribusi proporsi fungsi kognitif dengan status pendidikan………59
5.13 Distribusi proporsi fungsi kognitif dengan riwayat penyakit………..60
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah istilah umum yang digunakan
untuk menggambarkan kondisi obstruksi irreversibel progresif aliran udara ekspirasi. Individu dengan PPOK mengalami kesulitan bernapas, batuk produktif, dan intoleransi
aktivitas (Gede dan Effendy, 2003). The Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2006, mendefinisikan penyakit PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati, PPOK dapat pula mempengaruhi tingkat keparahan penyakit
pada individu dengan riwayat asma.
Menurut Patrick (2005) faktor genetika yang turut mempengaruhi terjadinya
PPOK adalah defisiensi a1-antitripsin yang merupakan faktor predisposisi berkembangnya PPOK dini disertai dengan pengaruh faktor lingkungan. Faktor
lingkungan yang menjadi penyebab utama adalah merokok serta resiko tambahan akibat
polutan di tempat kerja atau debu di perkotaan dan gaya hidup perokok aktif yang
mempengaruhi peningkatan jumlah penderita PPOK. Faktor usia juga menjadi faktor
penyebab terjadinya PPOK, rata-rata lanjut usia mengidap PPOK karena sudah
mengalami degeneratif pada fungsi tubuhnya
World Health Organization (WHO) pada tahun 2007 dalam terbitannya, Global Alliance Againts Chronic Respiratory Disease (GARD) didasari oleh prevalensi PPOK di dunia yang merupakan masalah kesehatan selama lebih dari 40 tahun dan merupakan
permasalahan di kemudian hari. Perkembangan angka kesakitan dan kematian dari PPOK
sangat tinggi pada negara-negara di Asia dan Afrika selama lebih dari dua dekade.
tahun serta hal tersebut di dukung dengan laporan statistik yang di prakarsai oleh WHO
(2015) bahwa prevalensi perokok pada usia ≥ 15 tahun di Indonesia pada tahun 2012 sangat tinggi dan di dominasi oleh laki-laki yakni sebanyak 71,8% dan 4% perempuan.
Penderita PPOK di negara maju seperti Amerika di tahun 2006 terbilang cukup tinggi
dan merupakan penyebab kematian keempat yakni sebanyak 120.970 jiwa pada tahun GOLD
(2006). Sedangkan di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 melaporkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sendiri masih cukup
mengkhawatirkan karena prevalensi PPOK di Indonesia masih terbilang cukup tinggi dengan
presentasi 4.5% per mil.
PPOK merupakan masalah serius dengan ditetapkannya sebagai penyebab kematian
keempat di dunia, tidak sampai disana beberapa dampak yang diakibatkan oleh PPOK juga
membuat kerugian yang lebih besar. Salah satunya yakni organ yang dipengaruhi oleh PPOK
selain paru sebagai akibat dari komplikasi adalah otak yang merupakan salah satu organ
khusus yang mudah diserang oleh dampak sistemik dari PPOK Thakur et al (2010),
disamping itu PPOK dapat meningkatkan resiko kerusakan neuron yang berhubungan dengan
hipoksemia (Dodd et al, 2009).
Gangguan fungsi kognitif pada penderita PPOK menjadi sebuah topik yang menarik
untuk diteliti pasalnya belum terdapat penelitian terkait gangguan fungsi kognitif pada
penderita PPOK di Indonesia. Sangat penting mengkaji fungsi kognitif pada pasien dengan
PPOK dalam rangka mengoptimalisasi perawatan yang berorientasi pada pasien sebagai
upaya pencegahan komplikasi dari PPOK, sesuai dengan hipotesis penelitian De Carolis et al
(2011) yang menjelaskan bahaya dari komplikasi PPOK yakni terjadinya hipoksia kronik
yang mana hipoksia kronik pada PPOK meningkatkan kejadian neurodegenerasi penyakit
Gangguan pada fungsi kognitif akan mempengaruhi produktivitas seseorang bahkan
hilangnya kemandirian, terlebih penderita PPOK, pasalnya kemandirian seseorang akan
terhambat karena berdasarkan tanda dan gejala seperti napas pendek, batuk berlebih,
frekuensi ekserbasi, kelelahan, dan depresi dapat berdampak besar pada orang normal
terutama pada pasien PPOK yang membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan hal
kecil (Barnett, 2006).
Penelitian yang di lakukan oleh Li & Guang (2013) menemukan adanya hubungan
antara tingkat keparahan penderita PPOK dengan gangguan fungsi kognitif. Penelitian ini
dilakukan dengan cara pengukuran fungsi paru, dimana terlihat rendahnya kadar oksigen atau
(PaO2). Kadar PaO2 hanya dapat dilihat melalui pengukuran analisa gas darah melalui cara
pengambilan darah arteri perifer (Barnett, 2006). Rendahnya kadar oksigen yang
menyebabkan terjadinya hipoksemia kronis. Hipoksemia kronis menyebabkan terjadinya
atrofi hippokampus yang berperan sebagai kunci utama terjadinya gangguan kognitif pada
penderita PPOK.
Data prevalensi mengenai gangguan fungsi kognitif pada penderita PPOK di
Indonesia masih belum banyak terkaji seperti data angka kematian dan kesakitan PPOK. Hal
ini menjadi bukti dasar bahwa gangguan fungsi kognitif pada penderita PPOK masih belum
banyak mendapat perhatian dari kalangan klinis dan akademisi. Oleh karena itu peneliti
tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran fungsi kognitif pada penderita PPOK.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, peneliti menyimpulkan bahwa PPOK merupakan
GOLD menyatakan bahwa PPOK merupakan penyakit yang dapat di obati tergantung dari
tingkat keparahan penyakit akan tetapi penyebab dominan adalah merokok yang menjadi
masalah utama yang cukup memprihatinkan terutama di negara-negara berkembang, bahkan
debu polutan pun dapat berkontribusi terjadinya penyakit PPOK. Meski demikian dampak
dari PPOK lebih besar kerugian yang didapat seperti komplikasi berupa terjadinya gagal
nafas, hipertensi paru, dan gangguan kognitif.
Perubahan fungsi kognitif pada penderita PPOK di Indonesia masih belum banyak
tergali karena dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, budaya, dan latar belakang
pendidikan. Selain itu perubahan fungsi kognitif akibat dari komplikasi PPOK berupa
kejadian hipoksia. Maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran fungsi
kognitif pada penderita penyakit paru obstruksi kronis.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran demografi yang terdiri atas usia, jenis kelamin, pendidikan
terakhir pasien PPOK di RSU Kab Tangerang ?
2. Bagaimana gambaran hasil tes diagnostik yang di sertai diagnosa kerja pada pasien
PPOK di RSU Kab Tangerang ?
3. Bagaimana gambaran fungsi kognitif pada pasien PPOK di Kab Tangerang ?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif pada pasien
penyakit paru obstruktif kronis di RSU Kabupaten Tangerang.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi gambaran demografi pada penderita PPOK di RSU Kab
b. Mengidentifikasi hasil diagnosa kerja pada penderita PPOK di RSU Kab Tangerang.
c. Mengidentifikasi gambaran fungsi kognitif pada penderita PPOK di RSU Kab
Tangerang.
E. Manfaat penelitian
1. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan seputar PPOK beserta dengan komplikasinya yang dapat terjadi
dan mekanisme terjadinya gangguan fungsi kognitif.
2. Bagi Perawat
a. Sebagai bahan pertimbangan evaluasi terhadap perawatan dan intervensi
keperawatan terhadap pasien PPOK.
b. Penelitian ini dapat sebagai tanggung jawab yang bisa dijalankan atas dasar
perawatan pada pasien PPOK dengan dasar pemenuhan kebutuhan dasar biologis,
psikologis, sosial, budaya, dan spiritual.
3. Bagi pasien PPOK
Penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi bagi penderita penyakit PPOK untuk
mencegah terjadinya komplikasi berupa perubahan fungsi kognitif pada penderita PPOK
4. Bagi perkembangan pendidikan keperawatan
Penelitian ini diharapkan hasilnya dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
dalam bidang pendidikan keperawatan, khususnya keperawatan Medikal Bedah mengenai
pentingnya pengetahuan tentang terjadinya gangguan kognitif pada pasien dengan PPOK
untuk meningkatkan kualitas praktik keperawatan pasien dengan PPOK.
F. Ruang Lingkup
Penelitian dilakukan oleh mahasiswa program studi ilmu keperawatan di RSU Kabupaten
Tangerang, yang bertujuan untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif pada pasien penyakit
metode purposive sampling yang ditentukan berdasarkan kriteria inklusi-eksklusi. Metode pengambilan data menggunakan kuisioner yang di adaptasi dari Montreal Cognitive Asessment (MoCa) dan data rekam medis pasien berupa nilai Analisa Gas Darah (AGD), foto rontgen, dan diagnosa kerja. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei hingga September 2015
yang mana responden yang menjadi subjek adalah pasien yang berada di ruang rawat inap
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) 1. Definisi PPOK
Menurut Priece and Lorraine (2005) penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara
sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkhitis kronis, emfisema, dan asma
bronkhial membentuk kesatuan yang disebut PPOK. Sedangkan menurut Djojodibroto
(2009) istilah PPOK ditunjukkan untuk mengelompokan penyakit-penyakit yang
mempunyai gejala terhambatnya aliran udara pernapasan.
Selain itu PPOK yang didefinisikan oleh Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2006, menyatakan bahwa PPOK merupakan keadaan penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible.
Sementara, National institute for health and care excellence (NICE) mendefinisikan PPOK adalah obstruksi jalan nafas yang di tunjukan karena kombinasi kerusakan dari
parenkim dan jalan nafas.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa PPOK
adalah istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit yang ditandai oleh
hambatan aliran udara yang sepenuhnya tidak irreversibelserta peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkhitis kronis,
2. Faktor Risiko PPOK 1) Faktor risiko primer
1. Merokok
Merokok tembakau merupakan penyebab utama dan paling penting
terjadinya PPOK. Walaupun PPOK dapat terjadi pada pasien yang tidak
merokok, sekitar 90% kasus terjadi pada individu yang merokok secara aktif.
Merokok tembakau bereaksi sebagai bronkhial iritan, yang menyebabkan
perubahan permanen dari kelenjar yang memproduksi mukus dan sampai
hipersekresi mukus. Merokok juga menyebabkan perubahan inflamasi dalam
dinding dari jalan napas dan destruksi dari dinding alveolar, menyebabkan
berkembangnya emfisema pada individu yang rentan (Barnett, 2006).
Merokok merupakan penyebab PPOK yang paling umum, dan mencakup
80% dari semua kasus PPOK yang ditemukan. Dengan risiko perseorangan
meningkat sebanding dengan peningkatan jumlah rokok yang dihisapnya
(Francis, 2008).
2. Defisiensi Alpha-1 antitripsin
Pasien dengan defisiensi alpa-1 antitripsin berisiko berkembangnya
emfisema pada usia dini yaitu antara usia 20 dan 40 tahun dan sering kali
memiliki riwayat penyakit pada keluarga. Pasien dengan defisiensi antitripsin
dan emfisema inhereditas salah satu gen abnormal dari salah satu orang tua,
dengan kata lain orang tua yang memiliki gen karier (Barnett, 2006).
3. Faktor usia
PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis
sebelum mencapai usia 40 tahun. Kasus-kasus ini terkait dengan defisiensi
seseorang mengalami emfisema dan PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang
berisiko menjadi semakin berat jika mereka merokok (Francis, 2008).
Klasifikasi usia berdasarkan kategori lansia terdiri sebagai berikut.
1. Pralansia (prasenil)
Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
2. Lansia
Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
3. Lansia resiko tinggi
Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
4. Lansia potensial
Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan
yang dapat menghasilkan barang/jasa.
5. Lansia tidak potensial
Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya
bergantung pada bantuan orang lain (Maryam dkk, 2008).
2) Faktor Risiko yang Berhubungan a. Polusi Lingkungan
Terdapat bukti yang kuat bahwa PPOK diperburuk oleh polusi udara,
namun peran polusi dalam etiologi PPOK menunjukkan pengaruh yang lebih
kecil dibandingkan dengan merokok (Bourke, 2003 dalam Barnett, 2006).
b. Faktor Pekerjaan
Beberapa pekerjaan di mana pekerja terpapar dengan batu bara, silica dan
dengan meningkatkan risiko PPOK. Pajanan logam berat, dan asap las telah
dikenali menyebabkan emfisema sejak tahun 1950 (Barnett, 2006).
c. Infeksi Pernapasan pada Masa Anak-Anak
Infeksi pernapasan pada tahun pertama kehidupan, seperti pneumonia dan
bronkhitis, mungkin mempengaruhi berkembangnya PPOK pada kehidupan
setelahnya. Hal ini mungkin terjadi sebagai hasil belum lengkapnya
perkembangan sistem respirasi saat lahir sampai paru berkembang pada awal
masa dewasa (Stick, 2000 dalam Barnett, 2006).
d. Faktor Sosioekonomi Rendah
Insiden PPOK lebih tinggi pada pasien dengan status sosioekonomi
rendah, terutama tinggal pada daerah pinggiran kota daripada daerah
pedesaan. Merokok juga merupakan hal yang biasa pada populasi ini, namun
tidak menjadi faktor satu-satunya yang terlibat. Faktor lain seperti lingkungan
rumah yang buruk, kondisi yang lembab dan kepadatan yang berlebihan yang
memungkinkan frekuensi dan menyebabkan infeksi respirasi dan menaikkan
polusi udara dalam ruangan (Barnett, 2006).
e. Atrophy dan Hiperesponsif Jalan Napas
Penurunan fungsi paru pada PPOK karena kerusakan akibat infeksi
berulang, yang mana pemulihan fungsi paru tidak dapat diperoleh. Hipotesis
lain menyebutkan bahwa fungsi paru menurun lebih cepat pada pasien
perokok dan yang mempunyai unsur alergi (atopy) dan meningkatnya level
imunoglobulin E (IgE), menyebabkan hiperaktivitas yang dapat dilihat pada
3. Jenis PPOK a. Asma
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial dengan ciri
bronkospasme periodik yaitu kontraksi spasme pada saluran napas (Soemantri,
2008).
1) Tipe-tipe Asma
Asma terbagi menjadi alergik, idiopatik atau non alergik dan campuran :
a) Asma alergik
Merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh allergen misalnya bulu
binatang, debu, makanan, dan lain-lain. Allergen yang paling umum adalah
allergen penyebaran melalui udara (airbone) dan allergen musiman
(Soemantri, 2008). Seringkali Gejala asma dapat meliputi batuk kering
intermiten, mengi, dada sesak, dispnea sering kali setelah terpajan stimulus
(Brashers, 2007).
b) Asma idiopatik atau non allergen
Merupakan jenis asma yang tidak berhubungan secara langsung dengan
alergen spesifik seperti Infeksi saluran nafas atas, emosi, pilek/flu, dan
aktivitas fisik berlebih. (Soemantri, 2008).
Beberapa agen farmakologis seperti beta-adrenergik dan agen sulfite
(penyedap rasa) juga dapat berperan sebagai faktor pencetus. Bentuk asma ini
biasanya dimulai pada saat dewasa (>35 tahun).
c) Asma campuran
Adalah asma yang terdiri dari komponen asma ekstrinsik dan instrinsik.
bentuk campuran (Priece and Lorraine, 2005). Asma tipe ini pada kasus klinis
merupakan bentuk asma yang paling sering ditemukan (Soemantri, 2008).
2) Manifestasi Klinis Asma
Gejala asma terdiri atas triad : dispnea, batuk, dan mengi. Gejala sesak
napas sering dianggap sebagai gejala yang harus ada. Adapun gambaran klinis
penderita asma :
a) Gambaran objektif :
Kondisi penderita asma seperti sesak napas parah disertai wheezing, disertai batuk dengan sputum kental dan sulit dikeluarkan, bernapas dengan
menggunakan otot-otot napas tambahan, dapat berupa sianosis, takikardi,
gelisah serta cemas.
b) Gambaran subjektif :
Penderita mengeluh sukar bernapas, sesak, dan anoreksia (Soemantri, 2008).
Tabel 2.1 pengkajian menentukan derajat berat asma
Sumber : Soemantri (2008)
b. Bronchitis Kronik
Bronkhitis adalah radang pada bronkus yang biasanya mengenai trachea
dan laring, sehingga sering dinamai juga dengan laringo trakheo bronkhitis.
Istilah bronkhitis kronis juga menunjukan kelainan pada bronkus yang sifatnya
menahun (Soemantri, 2008).
Manifestasi klinis Skor 0 Skor 1
a. Penurunan toleransi beraktivitas
b. Penurunan otot bantu napas tambahan, adanya retraksi interkostal
c. Wheezing
d. Respiratory per menit e. Pulse rate per menit f. Teraba pulsus paradoksus
g. Puncak expiratory flow rate (L/Menit)
Temuan utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa
bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, dengan infiltrasi
sel-sel radang dan edema mukosa bronkus (Priece and Lorraine, 2005).
1) Etiologi Bronkhitis Kronik
Terdapat beberapa jenis bakteri penyebab bronkhitis, yaitu
Staphylococcus, Sreptococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus influenza. Selain pajanan bakteri, bronchitis dapat disebabkan oleh alergi, polusi udara, terutama asap rokok (Soemantri, 2008).
2) Manifestasi Klinis Bronchitis Kronis
penampilan umum cenderung overweight, sianosis akibat pengaruh
sekunder polisitemia, edema akibat CHF (Coronary heart failure) dekstra,
dan barrel chest. Adanya temuan pembesaran jantung, cor pulmonal, dan di dapat hematokrit > 60% serta riwayat merokok yang positif (+).
c. Emfisema
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai
oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan
(Soemantri, 2008). Demikian pula menurut Djojodibroto (2009) menyatakan
bahwa emfisema merupakan keadaan paru yang abnormal, yaitu pelebaran
rongga udara pada asinus yang sifatnya permanen.
1) Tipe Emfisema :
Terdapat beberapa tipe emfisema berdasarkan bagian paru-paru :
a) Emfisema sentriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan
merambah sampai bronkhiolus sampai bronkhiolus tetapi biasanya
kantung alveolus tetap bersisa.
b) Emfisema panlobular
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak
paru-paru bagian bawah. Tipe ini sering disebut centracinar emfisema,
seringkali timbul pada perokok. Panacinar timbul pada orang tua dan
pasien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin.
c) Emfisema paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs
(udara dalam alveoli) atau disebut dead space di sepanjang perifer paru-paru (Soemantri, 2008)
4. Komplikasi PPOK a. Cor Pulmonal
Cor pulmonal adalah kegagalan jantung pada sisi kanan yang disebabkan
oleh peningkatan ketegangan dan tekanan pada ventrikel kanan. Peningkatan
resistensi pembuluh darah paru mengakibatkan induksi hipoksia terhadap
vasokontriksi pada kapiler pembuluh darah paru yang menghasilkan tegangan
yang berlebih pada sisi jantung sebelah kanan. Pada akhirnya hal ini mengacu
pada hipertrofi dan kegagalan pada ventrikel kanan. Hasilnya terjadinya
edema peripheral berkembang menjadi kegagalan jantung sebelah kanan,
dimana merembesnya cairan keluar dari kapiler masuk ke jaringan sekitar
(Barnett, 2006).
Cor pulmonal akut merupakan dilatasi mendadak dari ventrikel kanan dan
dekompensasi. Cor pulmonal kronis merupakan bentuk cor pulmonal yang
penyakit paru-paru atau adanya kelainan pada toraks, sehingga menyebabkan
hipertensi dan hipoksia sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan (Somantri,
2007).
1) Etiologi Cor pulmonal
Secara umum cor pulmonal disebabkan oleh :
a) Penyakit paru-paru yang merata. Terutama emfisema, bronkhitis
kronis, dan fibrosis akibat tuberkulosis.
b) Penyakit pembuluh darah paru-paru. Terutama thrombosis dan
embolus paru-paru, fibrosis akibat penyinaran menyebabkan penurunan
elastistisitas pembuluh darah paru-paru.
c) Hipoventilasi alveolar menahun. Adalah semua penyakit yang
menghalangi pergerakan dada normal, misalnya; penebalan pleura,
kelainan neuromuskuler, dan kiposkoliosis yang mengakibatkan
penurunan kapasitas rongga toraks sehingga pergerakan toraks
berkurang (Soemantri, 2007)
b. Pneumothorax
Pneumothorax bisa saja muncul secara spontan pada pasien dengan
emfisema. Pada emfisema dengan kerusakan alveoli menjadikan ruang udara
yang cukup besar yang bisa di sebut bula. Hal ini dapat membuat rupture
secara spontan, menyebabkan udara keluar ke cavitas pleura. Gejala dari
pneumothorax termasuk kejadian onset nyeri dada, dan meningkatnya
pernapasan (Barnett, 2006).
c. Polisitemia
Polisitemia terjadi seiring berjalannya waktu secara terus menerus
sebuah peningkatan jumlah sel darah merah. Hal tersebut merupakan cara
tubuh beradaptasi dengan kondisi hipoksia dan lebih banyak menghasilkan
hemoglobin dengan membawa sejumlah oksigen (Barnett, 2006).
5. Pemeriksaan diagnostik PPOK
Pemeriksaan diagnostik PPOK terdiri atas tes fungsi paru, Analisa gas darah,
CT-Scan, dan skreening defisiensi alfa 1-antitripsin
a. Tes fungsi paru-paru
Tes fungsi paru pada PPOK untuk mengetahui diagnosis dan derajat
obstruksi aliran udara yang paling baik dikaji melalui alat spirometri.
Spirometri adalah standar paling untuk pengukuran obstruksi aliran udara
secara akurat pada pasien dengan PPOK.
Spirometri merupakan alat esensial untuk mendiagnosa PPOK karena
adanya perbedaan antara penyakit restriktif dan obstruktif. Berikut beberapa
keterangan hasil dari pengukuran oleh spirometri :
a) FEV1 (forced expired volume in one second) adalah volume udara yang dihembuskan dalam satu detik pertama atau tekanan ekspirasi setelah
inspirasi maksimal.
b) FVC (forced vital capacity) adalah volume maksimal jumlah udara yang dapat dihirup (total lung capacity) hingga penghembusan maksimal (residual volume) yang diukur kembali dengan jeda waktu. c) RVC (relaxed after capacity) adalah pengukuran ekspirasi tanpa
tekanan, di mana biasanya terdapat hasil lebih besar dibanding FVC
pada pasien PPOK. Caranya sebagai berikut, pasien akan
sekali hembusan setelah menghirup udara maksimal lalu pada saat yang
menghembuskan pasien menjepit hidung.
d) PEF (peak expiratory flow) adalah jumlah aliran udara yang di hembuskan dengan mengawali hirup nafas sedalam-dalamnya lalu
menghembuskan nafas selama-lamanya sekitar 10 detik.
Tabel 2.2 klasifikasi PPOK. Diadopsi dari National Collaborating Centre For Chronic Condition (2004) dalam Barnett (2006)
Kategori Gejala Tanda whezze: batuk disertai sputum
Beberapa tanda
Berat
(FEV1<30% perkiraan)
Napas sesak : batuk, wheeze
Tampilan dari gambar CT-Scan berbeda dengan tampilan gambaran
foto sinar X-ray. Alat ini lebih sensitif, di mana sesuatu yang dihasilkan
gambaran CT berupa potong lintang dan dapat dengan akurat menentukan
lokasi lesi.
c. EKG (elektrokardiogram)
EKG merupakan alat yang berguna mendeteksi penyakit jantung
iskemik dan aritmia. Pasien dengan cor pulmonal dapat menunjukan adanya
d. Skreening defisiensi alpha 1-antitripsin :
Merupakan faktor resiko yang langka bagi penderita PPOK yang
merupakan faktor keturunan adanya defisiensi enzyme tersebut. Pada
kasusnya enzyme tersebut mencegah terjadinya kerusakan enzim proteolitik
di paru-paru. Namun pada pasien yang telah lama menderita emfisema
antara usia 20-40 tahun atau memiliki riwayat pada keluarga yang erat
menderita penyakit tersebut, maka alpha 1-antitripsin dapat diukur. Sebuah
konsentrasi serum di bawah 15-20% dari nilai normal dapat di indikasikan
terjadinya defisiensi. (Barnett, 2006).
e. Analisa gas darah
Analisa gas darah (AGD) merupakan salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam
basa. Komponen yang terdapat dalam pemeriksaan AGD adalah pH, PCO2,
PO2, saturasi O2(Muttaqin, 2008).
Pengukuran AGD merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi
keseimbangan asam-basa. Untuk menilai hasil pemeriksaan AGD,
sebelumnya pemeriksa harus memahami arti dari komponen tersebut :
1) pH mengukur konsentrasi H+ untuk menunjukan status asam-basa darah. Nilai menunjukan apakah pH arteri normal (7,40), asam < 7,40,
atau alkalosis > 7,40. Karena kemampuan mekanisme kompensasi
untuk Menormalkan pH, nilai hampir normal tidak menghilangkan
kemungkinan dari gangguan asam-basa.
PaCO2 merupakan komponen pernapasan dari pengaturan asam basa
dan diatur oleh perubahan frekuensi dan kedalaman ventilasi pulmoner.
Hiperkapnea (PaCO2> 45 mmHg) menunjukan hipoventilasi alveolar
dan asidosis respiratori. Hiperventilasi mengakibatkan pada PaCO2< 35
mmHg dan alkalosis respiratori. kompensasi respirator terjadi dengan
cepat pada ketidakseimbangan asam basa metabolik. Bila ada
abnormalitas pada PaCO2 terjadi, ini penting untuk menganalisa
parameter ph dan HCO3untuk menentukan gangguan pernapasan atau
respon kompensasi terhadap abnormalitas asam basa metabolik.
3) PaO2 adalah tekanan oksigen parsial dalam arteri. PaO2 tidak mempunyai peran pengaturan asam basa bila terdapat dalam rentang
normal. Adanya hipoksemia dengan PaO2 (< 60 mmHg) dapat
menimbulkan metabolisme anaerobik, mengakibatkan produksi asam
laktat dan asidosis metabolik. Terdapat penurunan normal pada PaO2
sesuai pertambahan usia. Hipoksemia juga dapat menyebabkan
hiperventilasi mengakibatkan alkalosis respiratori.
4) Saturasi SaO2 merupakan rasio antara jumlah oksigen aktual yang terikat oleh hemoglobin terhadap kemampuan total hemoglobin darah
mengikat oksigen (Djojodibroto, 2009).
f. Diagnosa kerja
Merupakan suatu kesimpulan berupa hipotesis tentang kemungkinan
penyakit yang ada pada pasien disebut diagnosis kerja. Setiap diagnosis
kerja harus diiringi dengan diagnosis banding. Ada dua cara membuktikan
diagnosis kerja, yaitu dengan instrumen waktu dan terapi dan kedua dengan
Pembuktian dengan instrumen waktu dan terapi mengandung
konsekuensi perlunya pemantauan yang ketat khususnya pada kasus yang
potensial (Hardjodisastro, 2006).
B. Fungsi Kognitif
1. Pengertian Fungsi Kognitif
Kognisi meliputi kemampuan otak untuk memproses, mempertahankan,
dan menggunakan informasi. Kemampuan kognitif mencakup pemikiran,
penilaian, persepsi, perhatian, pemahaman dan memori. Kemampuan kognitif
penting pada individu dalam membuat keputusan, menyelesaikan masalah,
menginterpretasikan lingkungan, dan mempelajari informasi yang baru, untuk
memberikan nama pada beberapa hal (Videbeck, 2008).
Menurut Ginsberg (2008), fungsi kognitif meliputi fungsi otak yang lebih
tinggi, dan dapat di sub klasifikasi menjadi; (1) Fungsi kognitif yang
terdistribusi, yakni fungsi yang tidak terlokalisasi pada region otak tertentu,
namun membutuhkan aksi dari berbagai bagian pada kedua sisi otak, seperti:
atensi dan konsentrasi, memori, fungsi eksekutif, konduksi sosial dan
kepribadian. (2) Fungsi kognitif yang terlokalisasi, yakni fungsi yang berjalan
tergantung dari struktur dan fungsi normal dari suatu area tertentu pada satu
hemisfer serebri.
Fungsi kognitif dapat didefinisikan dengan semua proses mental yang
meliputi persepsi, memori, kreasi imajinasi, dan berpikir yang membentuk
2. Aspek-Aspek Fungsi Kognitif a. Atensi dan Konsentrasi
Atensi merupakan kemampuan untuk memfokuskan perhatian pada
masalah yang dihadapi. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk
mempertahankan fokus tersebut. Atensi yang terpusat merupakan hal esensial
dalam belajar dan memberikan kemampuan untuk memproses item penting
yang dipilih, dan mengabaikan yang lainnya (Lumbantobing, 2008)
b. Orientasi
Orientasi merupakan kemampuan untuk mengaitkan keadaan sekitar
dengan pengalaman lampau (Lumbantobing, 2008).
c. Memori
Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan & penyandian informasi,
proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh
dalam ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori (Sidiarto,
2003 dalam Hamidah, 2011). Gangguan mengingat sering merupakan gejala
yang pertama timbul pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kognitif
(Panentu, 2013).
Dalam klinik neurologi fungsi memori dibagi tiga tingkatan bergantung
lamanya rentang waktu antara stimulus dan recall, yaitu : (1) memori segera/Immediate memory, merupakan rentang waktu antara stimulus dan recall hanya beberapa detik. Pada poin ini dibutuhkan sebuah perhatian untuk mengingat/attention. (2) memori baru/recent memori merupakan rentang waktu lebih lama yaitu beberapa menit, jam, bulan, bahkan tahun.(3) memori
d. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif meliputi kemampuan untuk membuat rencana,
beradaptasi, menangani konsep abstrak, dan menyelesaikan masalah, digabung
dengan aspek sosial dan kepribadian misalnya inisatif, motivasi, dan inhibisi
(Ginsberg, 2005).
e. Visuospasial
Merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar atau meniru
berbagai macam gambar misal lingkaran dan menyusun balok-balok. Semua
lobus berperan dalam kemampuan konstruksi. (Sidiarto, 2003 dalam Hamidah,
2011).
f. Bahasa
Kelainan pada bahasa merupakan syarat pertama untuk menegaskan adanya
bukti hilangnya sebagian besar fungsi otak dapat lebih spesifik pada region
otak berdasarkan kerja pada broca (Larner, 2008).
3. Anatomi Fungsional pada Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif terbagi dalam beberapa fungsi namun masing-masing
fungsinya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, tetapi sebagai kesatuan yang
disebut sistem limbik (Hamidah, 2011).
Sistem limbik terdiri dari amigdala, hipokampus, nukleus talamik anterior,
girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus,
dan korpus mamillare. Sementara alveus, fimbria, formiks, traktus
mamilotalamikus, dan striae terminalis membentuk jaras-jaras penghubung
Gambar 2.1 Sumber :http://spinwarp.ucsd.edu/Neuroweb/Text
Para sentral limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi,
fungsi neuroendokrin, dan aktivitas otonom. Struktur otak berikut bagian dari
sistem limbik :
a) Amigdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada
hemisfer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.
b) Hipocampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang, pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses belajar.
c) Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial. d) Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan
darah, dan kognitif yaitu atensi. Korteks cinguli anterior (ACC)
merupakan struktur limbic terluas, berfungsi pada afektif, kognitif,
otonom, perilaku dan motorik.
f) Hipotalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan pelepasan hormone, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido,
dan siklus tidur/bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka
panjang.
g) Thalamus, ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon membentuk dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai pusat
hantaran rangsang indra dari perifer ke korteks serebri. Dengan kata lain,
thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di otak/sebagai
stasiun relay ke korteks serebri.
h) Mamaliari bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran
i) Girus dentatus, berperan dalam memori baru dan mengatur rasa bahagia. j) Korteks entorhinal, penting dalam memori dan merupakan komponen
asosiasi. Sedangkan lobus otak yang ikut berperan dalam kognitif adalah.
a. Lobus frontalis
Fungsi lobus frontalis mengatur motorik, perilaku, kepribadian,
bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisis dan
sintesis. Sebagian korteks medial lobus frontal dikaitkan sebagai
bagian sistem limbik, karena banyaknya koneksi anatomik dengan
struktur limbik dan adanya perubahan emosi bila terjadi kerusakan.
b. Lobus parietalis
Berfungsi dalam membaca, persepsi, memori, dan visuospasial.
Korteks ini menerima stimuli sensori (input visual, auditori, takil)
modalitas sensori sering disebut korteks hemoromodal dan mampu
membentuk asosiasi sensori. Sehingga manusia dapat
menghubungkan input visual dan menggambarkan apa yang mereka
lihat atau pegang.
c. Lobus temporal
Berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan, emosi, memori,
kategorisasi benda-benda, dan seleksi rangsangan auditorik dan
visual.
d. Lobus oksipital
Berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial, memori, dan
bahasa (Hamidah, 2011).
C. Pengaruh PPOK terhadap Fungsi Kognitif
Gangguan kognitif telah ditemukan menjadi salah satu manifestasi di luar
sistem respirasi yang penting pada pasien dengan PPOK (Antonelli et al, 2003
dalam Li et al, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh De Carolis et al (2011)
pada 44 responden dengan penderita PPOK dan non PPOK menunjukkan
bahwa responden dengan PPOK sedikit, namun secara signifikan menunjukkan
performa yang buruk dibandingkan dengan kelompok kontrol pada tes
neuropsikologi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Li et al (2013) sebelumnya
menemukan bahwa gangguan kognitif berhubungan dengan klasifikasi dari
keparahan PPOK. Selanjutnya Li & Guang (2013) meneliti bagaimana
pengaruh PPOK terhadap struktur otak yang mungkin mempengaruhi fungsi
hipokampus yang ditentukan melalui MRI dan penemuan ini berhubungan
secara signifikan dengan PaO2, SaO2 dan hasil MMSE yang mengukur
penurunan kognitif pada pasien PPOK. Salah satu kemungkinan penjelasannya
yakni bahwa pasien PPOK berada dalam status inflamasi yang rendah dan
keterbatasan aliran udara secara terus-menerus yang menyebabkan hipoksemia
kronik.
Hipoksemia kronik adalah mekanisme utama yang dapat berdampak
kurang baik pada fungsi kognitif dan volume hipokampus. Hipoksemia kronik
pada pasien PPOK menstimulasi atrofi hipokampus, yang mana memerankan
peran krusial pada gangguan kognitif. Hipokampus yang berlokasi di dalam
lobus temporal bagian medial merupakan komponen utama pada otak.
Hipokampus terdiri dari dua bagian utama yang tersambung dan empat divisi
histologi. Hal tersebut berperan dalam fungsi kognitif dan yang paling utama
sangat rapuh terhadap efek buruk dari hipoksemia (Li & Guang, 2013).
Penemuan secara morfologi menggunakan MRI menunjukkan bahwa
atrofi pada hipokampus adalah diagnostik biomarker / penanda untuk gangguan
kognitif (Dawe et al, 2011). Rendahnya volume hipokampus yang dideteksi
oleh MRI secara konsisten ditemukan pada gangguan kognitif ringan dan
penyakit Alzheimer(Zhang et al, 2012 dalam Li dan Guang, 2013).
D. Alat Ukur Fungsi Kognitif
Montreal Cognitive Assessment(MoCA) dibuat pada tahun 1966 oleh Dr. Ziad Nasreddine di Montreal, Canada. MoCA telah dikembangkan sebagai alat
screening cepat untuk gangguan kognitif ringan dan awal demensia Alzheimer. MoCA mengkaji domain fungsi kognitif yang meliputi; atensi dan konsentrasi,
fungsi eksekutif, memori, bahasa, kemampuan visuo konstruksional, berpikir
konseptual, kalkulasi, dan orientasi (Doerflinger dan Inova, 2012).
Dalam penelitian Crisan et al (2014) berpendapat bahwa instrument MoCA
lebih baik dibandingkan MMSE dalam mendeteksi tahap awal gangguan kognitif.
Dong dan Villeneuve dalam Crisan et al (2014) menguatkan bahwa instrumen
MoCA adalah alat yang lebih unggul dibanding MMSE dalam mendeteksi pasien
dengan gangguan kognitif.
Pernyataan tersebut sebanding dengan validasi terkait kedua instrument yang
dilakukan oleh Friedman (2012) dalam studi thesisnya menyatakan yakni kedua
instrumen MoCA dan MMSE memiliki kelebihan dan kekurangan yang relatif
sama, namun MoCA sedikit lebih baik dalam tingkat keakuratan diagnostik
dibandingkan dengan MMSE dan memperlihatkan sebagai alat yang lebih sensitif.
Berdasarkan dari beberapa penelitian maka peneliti menggunakan instrument
E. Kerangka Teori
Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Sumber: Francis (2008), Lumbantobing (2008), Panentu (2013), Ginsberg (2007), Hamidah (2011), Dawe et al (2011), Li dan Guang-He (2013), Li et al (2013), Barnett
(2006)
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Konsep dalam dunia penelitian dapat diartikan segala sesuatu yang bersifat
masih abstrak. Agar konsep ini dapat dimengerti dan dioperasionalkan oleh semua
pihak, maka harus diberikan ukuran dan variabel (Imron dan Amrul, 2010).
Penelitian ini menggunakan satu variabel yaitu gambaran fungsi kognitif pada
penderita penyakit paru obstruktif kronis.
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
Gambaran Fungsi Kognitif pada Penderita Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Visuospasial Usia
Bahasa Jenis Kelamin Eksekutif Pekerjaan
Memori/Delayed recall Tingkat Pendidikan Atensi Riwayat Merokok Abstraksi Riwayat Trauma Diagnosa Kerja
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No .
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1. Fungsi kogntif Fungsi kognitif merupakan proses berpikir pada manusia yang meliputi fungsi eksekutif, visuospasial, < 26 = Tidak Normal
d. Pekerjaan jatuh di bagian kepala di masa lalu status asma basa yang meliputi pH, PCO2, PO2,
PaO2 80-100 mmHg = Normal PaCO2 35-45 mmHg = Normal SaO2 ≥ 95% = Normal
4. Spirometri Merupakan pengukuran fungsi paru-paru dengan
FEV1 80% atau lebih = Normal FEV1 50 79% = Sedang FEV1 30-49% = Berat FEV1 < 30% = Sangat berat 1 = Normal
2 = Tidak normal
Pengukuran dilakukan dengan
menghembuskan udara dalam
6. Diagnosa Kerja Diagnosa yang telah ditegakkan oleh dokter 5 = PPOK & Hipertensi 6 = PPOK
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep
Konsep dalam dunia penelitian dapat diartikan segala sesuatu yang bersifat
masih abstrak. Agar konsep ini dapat dimengerti dan dioperasionalkan oleh semua
pihak, maka harus diberikan ukuran dan variabel (Imron dan Amrul, 2010).
Penelitian ini menggunakan satu variabel yaitu gambaran fungsi kognitif pada
penderita penyakit paru obstruktif kronis.
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
Gambaran Fungsi Kognitif pada Penderita Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Visuospasial Usia
Bahasa Jenis Kelamin
Eksekutif Pekerjaan
Memori/Delayed recall Tingkat Pendidikan Atensi Riwayat Merokok Abstraksi Riwayat Trauma Diagnosa Kerja
B. Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No .
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
d. Pekerjaan
responden di masa lalu.
Status responden pernah jatuh di bagian kepala di masa lalu status asma basa yang meliputi pH, PCO2, PO2,
PaO2 80-100 mmHg = Normal PaCO2 35-45 mmHg = Normal
SaO2 ≥ 95% = Normal
1= Normal 2= Tidak normal
Sumber :
Craven and Constance, 2009
Interval
4. Spirometri Merupakan pengukuran fungsi paru-paru dengan
Pengukuran dilakukan dengan
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk melihat gambaran
fungsi kognitif pada pasien PPOK di RSU Kabupaten Tangerang dengan desain
penelitian cross sectional, cross sectional adalah desain penelitian yang dilakukan pengumpulan datanya pada satu waktu atau at one poin in time (Polit & Beck, 2003 dalam Swarjana, 2012). Penelitian cross sectional meneliti suatu kejadian pada satu titik waktu di mana variabel dependen dan independen diteliti sekaligus pada saat
yang sama (Setiadi, 2007).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-September 2015 di Ruang Rawat Inap
Dewasa Rumah Sakit Umum (RSU) Kabupaten Tangerang, tepatnya di Paviliun
Cempaka, Flamboyan, Seruni, Kenanga dan ruang rawat jalan.
Alasan peneliti memilih RSU Kabupaten Tangerang sebagai lokasi penelitian
karena di rumah sakit ini belum pernah di lakukan penelitian tentang fungsi kognitif
pada pasien PPOK di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Hidayat, 2007).
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang menderita
studi pendahuluan pada bulan Januari dari Oktober 2014 - Januari 2015 dengan
total sebanyak 78 orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi, atau sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti
(Hidayat, 2007). Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik
non probability sampling yaitu teknik yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Setiadi, 2013).
Non probability sampling ini merupakan pengambilan data hanya pada individu atau obyek pada suatu populasi yang memenuhi persyaratan tertentu
terpilih menjadi sampel (Imron & Amrul, 2010). Adapun kriteria inklusi-eksklusi
yang digunakan untuk menentukan sampel yang akan diteliti adalah sebagai
berikut :
a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subjek penelitian pada
populasi target dan sumber (Riyanto, 2011). Kriteria inklusi dalam penelitian
ini adalah :
1. Pasien dengan penyakit PPOK sekurang-kurangnya 6 bulan menderita
penyakit.
2. Pasien dewasa dengan usia 22 tahun sampai 65 tahun.
3. Pasien yang mampu berkomunikasi verbal dengan baik
4. Pasien dengan kondisi kesadaran penuh
5. Pasien yang bersedia mengikuti penelitian
6. Pasien yang berada di pelayanan rawat jalan
Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat
mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian
(Nursalam, 2008). Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:
1. Pasien dengan gangguan kejiwaan
2. Pasien yang tidak bisa berbahasa Indonesia
3. Pasien dengan gangguan fungsi pendengaran dan penglihatan.
4. Pasien yang terpasang ventilator atau oksigen
3. Besar Sampel
Budiarto (2008) dalam menentukan besarnya sampel, dilakukan perhitungan
sampel dengan menggunakan rumus slovin.
n
=
Keterangan :
N = Besar populasi
n = jumlah sampel
e = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (90%)
Angka populasi di masukan dalam rumus besar populasi yaitu :
n =
= 43,82 = 44
Berdasarkan hasil perhitungan sampel dengan menggunakan rumus maka didapatkan
hasil sampel sebesar 44 orang dan ditambahkan 10% untuk menghindari sampel drop
out, maka didapatkan sampel keseluruhan sebanyak 44 + 10% = 48.4 atau 48 orang
sebagai sampel dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner untuk
memperoleh informasi dari responden. Kuesioner adalah cara pengumpulan data
dengan mempergunakan pertanyaan-pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi
dari responden (Sandjaja, 2006).
Adapun instrumen pengumpulan data yang digunakan terdiri dari 3 bagian,
yakni:
1. Bagian 1 : Berupa pertanyaan mengenai data demografi responden yang meliputi
usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan riwayat merokok.
2. Bagian 2 : Berupa lembar hasil tes diagnostik paru yang meliputi nilai analisa gas
darah, hasil EKG, hasil tes fungsi paru, hasil rontgen yang diperoleh dari rekam
medis responden.
3. Bagian 3 : Berupa kuesioner MoCA INA yang terdiri dari 30 poin yang akan
diujikan dengan menilai domain fungsi kognitif, yaitu :
a. Fungsi eksekutif : dinilai dengan trail making B (1 poin)
b. Visuospasial : dinilai dengan clock drawing test (3 poin) dan menggambarkan kubus 3 dimensi (1 poin)
c. Bahasa: menyebutkan 3 nama binatang (singa, unta, badak ; 3 poin),
mengulang 2 kalimat (2 poin), kelancaran berbahasa (1 poin)
d. Delayed recall: menyebutkan 5 kata, menyebutkan kembali setelah 5 menit (5
poin)
e. Atensi: menilai kewaspadaan (1 poin), mengurangi berurutan (3 poin), digit forward and backward (2 poin)
f. Abstaksi: menilai kesamaan suatu benda (2 poin)
g. Orientasi: menilai menyebutkan tanggal, bulan, tahun, hari, tempat dan kota (6
E. Uji Validitas dan Reliabilitas
1. Uji Validitas
Validitas merupakan suatu indeks yang menunjukan alat ukur tersebut
benar-benar mengukur apa yang di ukur. Suatu kuisioner dikatakan valid jika pertanyaan
pada kuisioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh
kuisioner tersebut. Uji ini dilakukan dengan menghitung korelasi antara
masing-masing skor item pertanyaan dari setiap variabel dengan total skor variabel
tersebut (Hidayat, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Panentu dan Irfan pada tahun
2013 yang menguji instrument MoCA INA pada pasien pasca stroke fase recovery
ditemukan validitas MoCA INA yang diuji melalui uji korelasi pearson
menunjukkan hasil r = 0,529 dan p = 0,046 yang dengan demikian instrument
MoCA INA dinyatakan valid.
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukan pada tingkat
kepercayaan dan dapat diandalkan (Arikunto, 2010). Reliabilitas adalah tingkat
konsistensi dari suatu pengukuran. Reliabilitas menunjukan apakah pengukuran
menghasilkan data yang konsisten jika instrument digunakan kembali secara
berulang (Dharma, 2011).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Panentu dan Irfan, (2013) yang menguji
reliabilitas instrument MoCA INA dengan uji test-retest menggunakan uji korelasi
person didapatkan nilai r = 0.963 dan p = 0,000 dengan demikian MoCA INA
dinyatakan reliabel.
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret hingga Juli 2015. Data yang
didapatkan dalam penelitian ini data primer melalui kuisioner tentang fungsi kogntif
dan data sekunder berupa hasil analisa gas darah. Adapun tahapan dalam penelitian
ini, yaitu ;
1. Setelah proposal penelitian disetujui oleh penguji, peneliti mengajukan surat
permohonan penelitian ke Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Peneliti menyerahkan surat permohonan ijin penelitian kepada kepala Bidang
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) RSU Kabupaten Tangerang.
3. Setelah surat permohonan ijin penelitian disetujui oleh kepala Diklit lalu peneliti
mendapat surat pengantar ke tiap kepala ruangan
4. Setelah ijin penelitian disetujui oleh kepala Instalasi Rawat jalan RSU Kabupaten
Tangerang
5. Setelah ijin penelitian disetujui oleh Kepala Ruangan, peneliti menyeleksi calon
responden yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya.
6. Dengan menggunakan rumus perhitungan sample slovin, peneliti menentukan calon responden banyaknya sesuai dengan responden yang memenuhi kriteria
yaitu sebanyak 43,82 pasien PPOK yang ditambah sebanyak 10% dari total
populasi yaitu ditambah 10 menjadi 44 orang.
7. Setelah mendapatkan calon responden sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan, peneliti melakukan informed consent terhadap calon responden. jika calon responden bersedia menjadi responden, mereka dapat membaca lembar
persetujuan kemudian menandatanganinya.
8. Setelah responden menandatangani lembar persetujuan, responden selanjutnya
9. Waktu wawancara melalui kuisioner selama kurang lebih 20 menit untuk setiap
responden dan responden hanya dianjurkan bertanya setelah proses wawancara
selesai namun tidak diperkenankan bertanya sebelum dan selama proses
wawancara berlangsung.
10.Kuisioner yang telah terisi melalui wawancara selanjutnya diolah dan dianalisa
oleh peneliti.
G. Pengolahan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengolahan data yang meliputi :
1. Editing
Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh. Data perlu diedit untuk memudahkan pengolahan data selanjutnya. Hal
yang perlu diperhatikan dalam mengedit meliputi kelengkapan pengisian,
kejelasan tulisan, kejelasan makna, kesesuaian dan konsistensi antar jawaban.
2. Coding
Coding adalah usaha member kode-kode tertentu pada jawaban responden. coding merupakan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas
beberapa kategori.
3. Entry data
Entry data adalah kegiatan memasukan data dari kuesioner dalam program computer agar dapat dianalis, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana
atau bisa juga dengan membuat tabel kontingensi.
4. Cleaning data
Pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah
dimasukan ke dalam komputer untuk memastikan dan telah bersih dari kesalahan
H. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menganalisis setiap variabel yang
dinyatakan dengan menggambarkan dan meringkas data dengan cara ilmiah dalam
bentuk tabel atau grafik (Setiadi, 2007).
Analisis univariat pada penelitian ini dilakukan pada variabel penelitian yang
meliputi : 1) karakteristik pasien PPOK di RSU Kabupaten Tangerang yang terdiri
dari usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, riwayat merokok, riwayat
penyakit, dan riwayat trauma kepala 2) gambaran hasil analisa gas darah pada
pasien PPOK di RSU Kabupaten Tangerang, 3) gambaran fungsi kognitif pada
pasien PPOK di RSU Kabupaten Tangerang.
I. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, dilakukan penerapan prinsip etika penelitian
yang meliputi :
1. Informed Consent
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Lembar persetujuan ini
diberikan dan dijelaskan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi
kriteria sampel. Tujuan informed consent adalah agar responden mengerti maksud
dan tujuan penelitian serta mengetahui dampaknya.
2. Anonimity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasian identitas responden, peneliti tidak akan
mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data yang diisi
responden, tetapi lembar tersebut hanya diberi kode tertentu.
Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti, hanya kelompok data
tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian. Data yang telah diolah