• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Fungsi Kognitif Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis Di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Fungsi Kognitif Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis Di Rumah Sakit Umum Kabupaten Tangerang"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

ii

Faculty of Medicine and health sciences

School of Nursing

Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta

Skripsi, Januari 2016

Syahir Noer Muhamad, NIM : 1111104000024

Imaging of Cognitive Function in Patient of COPD at RSU Kabupaten Tangerang

(xvii + 71 Pages + 18 Table + 2 Schemes + 4 Attachments)

ABSTRACT

Human cognitive function consist of orientation time and place, attention, memory, language, visuospacial, eksecutive, dan abstract skill. The cognitive function could alter if hypo perfusion occur. Patients with COPD suffer hypoksia lead to brain hypoperfusi. The aim of the research was to investigate cognitive function of patient with COPD, this study had been carried out during 5 month from March until Jule 2015. Quantitative method was used and descriptive design with cross sectional approach. Has been choosen sample were 48 patient at RSU Kabupaten Tangerang with non probability sampling technique and using montreal Cognitive Assesment (MoCa) questionnaire. The result has been delivered 38 out of 48 patient has cognitive function altered whereas 10 of them still normal. Most of them were at above 60 years old 64.8%, 31.5% were around age of 45-59, and 4.2% were below ≤ 44 years old. Mele were most potential of suffering COPD than female (34 male and 5 male on this study). Thus 34 male shown cognitive function altered while female only 4 people. In conclusion cognitive changed could be affected by age and chronic disease of COPD nurse are needed to educate to COPD Patient in order to reduce cognitive changing induced by hypoksia such as COPD.

(4)

iii

3

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Program Studi Ilmu Keperawatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Skripsi, Januari 2016

Syahir Noer Muhamad, NIM : 1111104000024

GAMBARAN FUNGSI KOGNITIF PADA PASIEN PENYAKIT PARU

OBSTRUKTIF KRONIS DI RUMAH SAKIT UMUM KABUPATEN TANGERANG

( xvii + 71 Halaman + 18 Tabel + 2 Gambar + 4 Lampiran )

ABSTRAK

Perubahan kognitif dapat terjadi jika terjadi hipoperfusi pada otak, penyebab terjadinya hipoperfusi otak yakni kondisi hipoksia pada otak, salah satunya terjadi pada penderita penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran fungsi kognitif pada penyakit paru obstruktif kronis yang dilakukan selama 5 bulan dari bulan Maret hingga Juli 2015. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel adalah 48 pasien di RSU Kabupaten Tangerang dengan teknik non probability sampling. Pengambilan data menggunakan kuisioner Montreal Cognitive Assesment (MoCa). Hasil penelitian menunjukan dari 48 responden, 38 diantaranya (79.1%) mengalami perubahan fungsi kognitif dan 10 orang (20.9%) memiliki fungsi kognitif yang normal. Rata-rata pasien PPOK yang mengalami perubahan kognitif pada usia≥ 60 tahun sebanyak 31 orang (64.8%), 45-59 tahun sebanyak 15 orang (31.5%) dan ≤ 44 sebanyak 2 orang (4.2%). Jenis kelamin laki-laki lebih banyak yakni 43 orang (89.6%) di diagnosa PPOK dibanding perempuan sebanyak 5 orang (10.4%), pada laki-laki 34 orang (79.1%) terjadi perubahan kognitif dan 9 orang (20.9%) kognitif normal, pada perempuan 4 orang (80.0%) dengan perubahan kognitif dan 1 orang (20.0%) kognitif normal. Dengan begitu perubahan fungsi kognitif dapat dipengaruhi oleh faktor usia dan penyakit yang menahun maka diperlukan peran perawat sebagai caregiver dalam menekankan edukasi terhadap pasien PPOK agar dapat mengurangi prevalensi kejadian gangguan kognitif pada pasien PPOK.

(5)
(6)
(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWr. Wb

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

karunia-Nya serta shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, Berkat rahmat,

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran

Fungsi Kognitif Pada Penderita Penyakit Paru Obstrukstif Kronis di RSU

Kabupaten Tangerang”

Skripsi ini disusun sebagaimana untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai

gelar sarjana keperawatan (S.Kep) UIN Jakarta serta mengembangkan teori-teori yang

penulis peroleh selama kuliah.

Penulis telah berusaha untuk menyajikan suatu tulisan ilmiah yang rapi dan

sistematik sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Penulis sangat menyadari bahwa

penyajian skripsi ini jauh dari sempurna. Hal ini sebabkan masih terbatasnya

pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan penulis dalam melihat fakta, oleh karena itu,

segala kritik dan saran yang berguna untuk menyempurnakan skripsi ini akan penulis

terima dengan hati terbuka dan rasa terima kasih.

Sesungguhnya banyak pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan yang

tak terhingga nilainya hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya.

Penulis sampaikan kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Dede Rosyada MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

(9)

2. Prof. Dr. H. Arif Sumantri S.KM., M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan

Ilmu Kesehatan.

3. Ibu Maulina Handayani, S.Kp.,MSc, selaku Ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan.

4. Ibu Nia Damiati, S.Kp, M.SN. selaku Dosen Pembimbing Akademik, terima kasih

sebesar-besarnya untuk beliau yang telah membimbing dan memberi motivasi

selama 4 tahun masa akademik.

5. Ibu Ns. Mardiyanti, M.Kep.,MDS dan Ibu Maftuhah, Ph.D selaku Dosen

Pembimbing, terima kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang telah meluangkan

waktu serta memberi arahan dan bimbingan dengan sabar kepada penulis selama

proses pembuatan skripsi ini.

6. Bapak Jamaludin, S.Kp., M.Kep dan Bapak Ns.Waras Budi Utomo., S.Kep.,

MKM.

7. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Keperawatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya yang tak ternilai, serta seluruh

staf dan karyawan di lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

8. Perawat RSU Kabupaten Tangerang yang telah mengizinkan dan membantu

peneliti dalam melakukan penelitian.

9. Orang tuaku, Ibu Baiatin Nassa Kardiani dan Bapak Ns.Yayat Ruhiyat., S.Kep

yang telah mendidik, mencurahkan semua kasih sayang tiada tara, mendo’akan

keberhasilan penulis,serta memberikan bantuan baik moril maupun materil kepada

penulis selama proses menyelesaikan proposal skripsi ini. Tak lupa, adikku,

Syaifan Bachtiar Nirwansyah, dan segenap keluargaku yang selalu memberikan

(10)

10.Teman-teman PSIK 2011, PSIK 2010, Kak Yoga, Kak Andri, Kak Egi, Kak Qoys,

Wiwi, Manda dan teman-teman kosan yang telah membantu, memberi masukan,

memberi inspirasi, dan terkhusus untuk Nika Sari Cahyaningrum yang telah

banyak memberikan referensi dan membantu proses perkuliahan dan sebagai

tempat berbagi keluh kesah selama menjadi mahasiswa UIN Jakarta.

11.Teman-teman BEM FKIK 2013-2014 yang telah memberikan pelajaran praktik

berorganisasi.

`Pada akhirnya penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari

sempurna, namun penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang

memerlukannya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Ciputat, Januari 2016

(11)

DAFTAR ISI

B. Rumusan Masalah ...4

C. Pertanyaan Penelitian ...5

D. Tujuan Penelitian ...5

E. Manfaat Penelitian...5

F. Ruang linkup...6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)...8

1. Definisi PPOK...8

2. Faktor Risiko PPOK ...9

3. Jenis PPOK ...12

4. Komplikasi PPOK ...16

5. Pemeriksaan Diagnostik PPOK ...18

B.Fungsi Kognitif ...23

1. Pengertian Fungsi Kognitif ...23

2. Aspek-Aspek Fungsi Kognitif ...24

3. Anatomi Fungsional pada Fungsi Kognitif ...26

C.Pengaruh PPOK terhadap Fungsi Kognitif ...29

D.Alat Ukur Fungsi Kognitif...31

E. Kerangka Teori ...32

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A.Kerangka Konsep ...33

B.Definisi Operasional ...34

(12)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ...37

C. Populasi dan Sampel ... ...38

D. Instrumen Penelitian ... ……40

E. Uji Validitas dan Reliabilitas ... ……42

F. Langkah-Langkah Pengumpulan Data ... ……43

G. Pengolahan Data ... ……44

H. Analisis Data ... ……45

I. Etika Penelitian ...46

BAB V HASIL PENELITIAN A. Analisis Data………...47

1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia………... …………...47

2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin …………...47

3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan…………...48

4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Merokok………...48

5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Riwayat Penyakit………...49

6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan...49

7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Trauma Kepal………...50

8. Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Usia…………...50

9. Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Jenis Kelamin...51

10.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Pekerjaan………...51

11.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Merokok………...52

12.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Pendidikan……...53

13.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Penyakit………...54

14.Distribusi Proporsi Fungsi Kognitif dengan Trauma Kepala…...55

15.Distribusi Frekuensi MoCa dengan Jumlah Responden……...55

16.Distribusi Frekuensi Diagnosa Kerja………...55

17.Distribusi Proporsi Antara Fungsi Kognitif dengan diagnosa.. ...56

BAB VI PEMBAHASAN A. Pembahasan………...58

1. Gambaran Fungsi kognitif berdasarkan Usia………...58

2. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan Jenis Kelamin……...59

3. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan pendidikan………...60

4. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan pekerjaan…………...60

5. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan status merokok…...61

6. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan riwayat penyakit…...62

7. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan Skor MoCa………...64

8. Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan Diagnosa Kerja…...65

(13)

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………...67 B. Saran………...68 DAFTAR PUSTAKA

(14)

DAFTAR SINGKATAN

AGD : Analisa Gas Darah CHF : Coronary Hearth Failure

EKG : Electrocardiogram

FEV1 : Forced Expired Volume in One Second

FVC : Forced Vital Capacity

GARD : Global Alliance Againts Respiratory Disease

GOLD :Global Inititative for Chronic Obstructive Lung Disease

ICCU : Intensive cardiac care unit

ICU : Intensive care unit

MMSE : Mini Mental State Examination

MoCa : Montreal Cognitive Asessement

NICE : National Institute for Health and Care Excellence

NTT : Nusa Tenggara Timur PEF : Peak Expiratory flow

PPOK :Penyakit Paru Obstruktif Kronis RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah RVC : Relaxed after capacity SDM : Sumber daya manusia UIN : Universitas Islam Negeri WHO : World Health Organization

(15)

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN Kerangka Teori………..31

(16)

DAFTAR TABEL

HALAMAN

1.1Pengkajian menentukan derajat berat asma………...………13

1.2 Klasifikasi PPOK………..……….………...18

1.3 Fungsi kognitif berdasarkan skor MMSE………...29

2.1 Definisi operasional………...35

5.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia…………. ………...52

5.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin…. ………53

5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan……….……...53

5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat merokok………54

5.5 Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat penyakit………..54

5.6 Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan………..55

5.7 Distribusi frekuensi berdasarkan riwayat trauma kepala………..55

5.8 Distribusi proporsi antara fungsi kognitif dengan usia……….56

5.9 Distribusi proporsi antara fungsi kognitif dengan jenis kelamin…………..56

5.10 Distribusi proporsi fungsi kognitif dengan pekerjaan……….57

5.11 Distribusi proporsi fungsi kognitif dengan riwayat merokok……….58

5.12 Distribusi proporsi fungsi kognitif dengan status pendidikan………59

5.13 Distribusi proporsi fungsi kognitif dengan riwayat penyakit………..60

(17)
(18)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah istilah umum yang digunakan

untuk menggambarkan kondisi obstruksi irreversibel progresif aliran udara ekspirasi. Individu dengan PPOK mengalami kesulitan bernapas, batuk produktif, dan intoleransi

aktivitas (Gede dan Effendy, 2003). The Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2006, mendefinisikan penyakit PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati, PPOK dapat pula mempengaruhi tingkat keparahan penyakit

pada individu dengan riwayat asma.

Menurut Patrick (2005) faktor genetika yang turut mempengaruhi terjadinya

PPOK adalah defisiensi a1-antitripsin yang merupakan faktor predisposisi berkembangnya PPOK dini disertai dengan pengaruh faktor lingkungan. Faktor

lingkungan yang menjadi penyebab utama adalah merokok serta resiko tambahan akibat

polutan di tempat kerja atau debu di perkotaan dan gaya hidup perokok aktif yang

mempengaruhi peningkatan jumlah penderita PPOK. Faktor usia juga menjadi faktor

penyebab terjadinya PPOK, rata-rata lanjut usia mengidap PPOK karena sudah

mengalami degeneratif pada fungsi tubuhnya

World Health Organization (WHO) pada tahun 2007 dalam terbitannya, Global Alliance Againts Chronic Respiratory Disease (GARD) didasari oleh prevalensi PPOK di dunia yang merupakan masalah kesehatan selama lebih dari 40 tahun dan merupakan

permasalahan di kemudian hari. Perkembangan angka kesakitan dan kematian dari PPOK

sangat tinggi pada negara-negara di Asia dan Afrika selama lebih dari dua dekade.

(19)

tahun serta hal tersebut di dukung dengan laporan statistik yang di prakarsai oleh WHO

(2015) bahwa prevalensi perokok pada usia ≥ 15 tahun di Indonesia pada tahun 2012 sangat tinggi dan di dominasi oleh laki-laki yakni sebanyak 71,8% dan 4% perempuan.

Penderita PPOK di negara maju seperti Amerika di tahun 2006 terbilang cukup tinggi

dan merupakan penyebab kematian keempat yakni sebanyak 120.970 jiwa pada tahun GOLD

(2006). Sedangkan di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 melaporkan bahwa prevalensi PPOK di Indonesia sendiri masih cukup

mengkhawatirkan karena prevalensi PPOK di Indonesia masih terbilang cukup tinggi dengan

presentasi 4.5% per mil.

PPOK merupakan masalah serius dengan ditetapkannya sebagai penyebab kematian

keempat di dunia, tidak sampai disana beberapa dampak yang diakibatkan oleh PPOK juga

membuat kerugian yang lebih besar. Salah satunya yakni organ yang dipengaruhi oleh PPOK

selain paru sebagai akibat dari komplikasi adalah otak yang merupakan salah satu organ

khusus yang mudah diserang oleh dampak sistemik dari PPOK Thakur et al (2010),

disamping itu PPOK dapat meningkatkan resiko kerusakan neuron yang berhubungan dengan

hipoksemia (Dodd et al, 2009).

Gangguan fungsi kognitif pada penderita PPOK menjadi sebuah topik yang menarik

untuk diteliti pasalnya belum terdapat penelitian terkait gangguan fungsi kognitif pada

penderita PPOK di Indonesia. Sangat penting mengkaji fungsi kognitif pada pasien dengan

PPOK dalam rangka mengoptimalisasi perawatan yang berorientasi pada pasien sebagai

upaya pencegahan komplikasi dari PPOK, sesuai dengan hipotesis penelitian De Carolis et al

(2011) yang menjelaskan bahaya dari komplikasi PPOK yakni terjadinya hipoksia kronik

yang mana hipoksia kronik pada PPOK meningkatkan kejadian neurodegenerasi penyakit

(20)

Gangguan pada fungsi kognitif akan mempengaruhi produktivitas seseorang bahkan

hilangnya kemandirian, terlebih penderita PPOK, pasalnya kemandirian seseorang akan

terhambat karena berdasarkan tanda dan gejala seperti napas pendek, batuk berlebih,

frekuensi ekserbasi, kelelahan, dan depresi dapat berdampak besar pada orang normal

terutama pada pasien PPOK yang membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan hal

kecil (Barnett, 2006).

Penelitian yang di lakukan oleh Li & Guang (2013) menemukan adanya hubungan

antara tingkat keparahan penderita PPOK dengan gangguan fungsi kognitif. Penelitian ini

dilakukan dengan cara pengukuran fungsi paru, dimana terlihat rendahnya kadar oksigen atau

(PaO2). Kadar PaO2 hanya dapat dilihat melalui pengukuran analisa gas darah melalui cara

pengambilan darah arteri perifer (Barnett, 2006). Rendahnya kadar oksigen yang

menyebabkan terjadinya hipoksemia kronis. Hipoksemia kronis menyebabkan terjadinya

atrofi hippokampus yang berperan sebagai kunci utama terjadinya gangguan kognitif pada

penderita PPOK.

Data prevalensi mengenai gangguan fungsi kognitif pada penderita PPOK di

Indonesia masih belum banyak terkaji seperti data angka kematian dan kesakitan PPOK. Hal

ini menjadi bukti dasar bahwa gangguan fungsi kognitif pada penderita PPOK masih belum

banyak mendapat perhatian dari kalangan klinis dan akademisi. Oleh karena itu peneliti

tertarik untuk mengetahui bagaimana gambaran fungsi kognitif pada penderita PPOK.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, peneliti menyimpulkan bahwa PPOK merupakan

(21)

GOLD menyatakan bahwa PPOK merupakan penyakit yang dapat di obati tergantung dari

tingkat keparahan penyakit akan tetapi penyebab dominan adalah merokok yang menjadi

masalah utama yang cukup memprihatinkan terutama di negara-negara berkembang, bahkan

debu polutan pun dapat berkontribusi terjadinya penyakit PPOK. Meski demikian dampak

dari PPOK lebih besar kerugian yang didapat seperti komplikasi berupa terjadinya gagal

nafas, hipertensi paru, dan gangguan kognitif.

Perubahan fungsi kognitif pada penderita PPOK di Indonesia masih belum banyak

tergali karena dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, budaya, dan latar belakang

pendidikan. Selain itu perubahan fungsi kognitif akibat dari komplikasi PPOK berupa

kejadian hipoksia. Maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran fungsi

kognitif pada penderita penyakit paru obstruksi kronis.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran demografi yang terdiri atas usia, jenis kelamin, pendidikan

terakhir pasien PPOK di RSU Kab Tangerang ?

2. Bagaimana gambaran hasil tes diagnostik yang di sertai diagnosa kerja pada pasien

PPOK di RSU Kab Tangerang ?

3. Bagaimana gambaran fungsi kognitif pada pasien PPOK di Kab Tangerang ?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif pada pasien

penyakit paru obstruktif kronis di RSU Kabupaten Tangerang.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi gambaran demografi pada penderita PPOK di RSU Kab

(22)

b. Mengidentifikasi hasil diagnosa kerja pada penderita PPOK di RSU Kab Tangerang.

c. Mengidentifikasi gambaran fungsi kognitif pada penderita PPOK di RSU Kab

Tangerang.

E. Manfaat penelitian

1. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan seputar PPOK beserta dengan komplikasinya yang dapat terjadi

dan mekanisme terjadinya gangguan fungsi kognitif.

2. Bagi Perawat

a. Sebagai bahan pertimbangan evaluasi terhadap perawatan dan intervensi

keperawatan terhadap pasien PPOK.

b. Penelitian ini dapat sebagai tanggung jawab yang bisa dijalankan atas dasar

perawatan pada pasien PPOK dengan dasar pemenuhan kebutuhan dasar biologis,

psikologis, sosial, budaya, dan spiritual.

3. Bagi pasien PPOK

Penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi bagi penderita penyakit PPOK untuk

mencegah terjadinya komplikasi berupa perubahan fungsi kognitif pada penderita PPOK

4. Bagi perkembangan pendidikan keperawatan

Penelitian ini diharapkan hasilnya dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan

dalam bidang pendidikan keperawatan, khususnya keperawatan Medikal Bedah mengenai

pentingnya pengetahuan tentang terjadinya gangguan kognitif pada pasien dengan PPOK

untuk meningkatkan kualitas praktik keperawatan pasien dengan PPOK.

F. Ruang Lingkup

Penelitian dilakukan oleh mahasiswa program studi ilmu keperawatan di RSU Kabupaten

Tangerang, yang bertujuan untuk mengetahui gambaran fungsi kognitif pada pasien penyakit

(23)

metode purposive sampling yang ditentukan berdasarkan kriteria inklusi-eksklusi. Metode pengambilan data menggunakan kuisioner yang di adaptasi dari Montreal Cognitive Asessment (MoCa) dan data rekam medis pasien berupa nilai Analisa Gas Darah (AGD), foto rontgen, dan diagnosa kerja. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei hingga September 2015

yang mana responden yang menjadi subjek adalah pasien yang berada di ruang rawat inap

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) 1. Definisi PPOK

Menurut Priece and Lorraine (2005) penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)

merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang

berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara

sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkhitis kronis, emfisema, dan asma

bronkhial membentuk kesatuan yang disebut PPOK. Sedangkan menurut Djojodibroto

(2009) istilah PPOK ditunjukkan untuk mengelompokan penyakit-penyakit yang

mempunyai gejala terhambatnya aliran udara pernapasan.

Selain itu PPOK yang didefinisikan oleh Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2006, menyatakan bahwa PPOK merupakan keadaan penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible.

Sementara, National institute for health and care excellence (NICE) mendefinisikan PPOK adalah obstruksi jalan nafas yang di tunjukan karena kombinasi kerusakan dari

parenkim dan jalan nafas.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa PPOK

adalah istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit yang ditandai oleh

hambatan aliran udara yang sepenuhnya tidak irreversibelserta peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkhitis kronis,

(25)

2. Faktor Risiko PPOK 1) Faktor risiko primer

1. Merokok

Merokok tembakau merupakan penyebab utama dan paling penting

terjadinya PPOK. Walaupun PPOK dapat terjadi pada pasien yang tidak

merokok, sekitar 90% kasus terjadi pada individu yang merokok secara aktif.

Merokok tembakau bereaksi sebagai bronkhial iritan, yang menyebabkan

perubahan permanen dari kelenjar yang memproduksi mukus dan sampai

hipersekresi mukus. Merokok juga menyebabkan perubahan inflamasi dalam

dinding dari jalan napas dan destruksi dari dinding alveolar, menyebabkan

berkembangnya emfisema pada individu yang rentan (Barnett, 2006).

Merokok merupakan penyebab PPOK yang paling umum, dan mencakup

80% dari semua kasus PPOK yang ditemukan. Dengan risiko perseorangan

meningkat sebanding dengan peningkatan jumlah rokok yang dihisapnya

(Francis, 2008).

2. Defisiensi Alpha-1 antitripsin

Pasien dengan defisiensi alpa-1 antitripsin berisiko berkembangnya

emfisema pada usia dini yaitu antara usia 20 dan 40 tahun dan sering kali

memiliki riwayat penyakit pada keluarga. Pasien dengan defisiensi antitripsin

dan emfisema inhereditas salah satu gen abnormal dari salah satu orang tua,

dengan kata lain orang tua yang memiliki gen karier (Barnett, 2006).

3. Faktor usia

PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis

sebelum mencapai usia 40 tahun. Kasus-kasus ini terkait dengan defisiensi

(26)

seseorang mengalami emfisema dan PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang

berisiko menjadi semakin berat jika mereka merokok (Francis, 2008).

Klasifikasi usia berdasarkan kategori lansia terdiri sebagai berikut.

1. Pralansia (prasenil)

Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun

2. Lansia

Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

3. Lansia resiko tinggi

Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60

tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

4. Lansia potensial

Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan

yang dapat menghasilkan barang/jasa.

5. Lansia tidak potensial

Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya

bergantung pada bantuan orang lain (Maryam dkk, 2008).

2) Faktor Risiko yang Berhubungan a. Polusi Lingkungan

Terdapat bukti yang kuat bahwa PPOK diperburuk oleh polusi udara,

namun peran polusi dalam etiologi PPOK menunjukkan pengaruh yang lebih

kecil dibandingkan dengan merokok (Bourke, 2003 dalam Barnett, 2006).

b. Faktor Pekerjaan

Beberapa pekerjaan di mana pekerja terpapar dengan batu bara, silica dan

(27)

dengan meningkatkan risiko PPOK. Pajanan logam berat, dan asap las telah

dikenali menyebabkan emfisema sejak tahun 1950 (Barnett, 2006).

c. Infeksi Pernapasan pada Masa Anak-Anak

Infeksi pernapasan pada tahun pertama kehidupan, seperti pneumonia dan

bronkhitis, mungkin mempengaruhi berkembangnya PPOK pada kehidupan

setelahnya. Hal ini mungkin terjadi sebagai hasil belum lengkapnya

perkembangan sistem respirasi saat lahir sampai paru berkembang pada awal

masa dewasa (Stick, 2000 dalam Barnett, 2006).

d. Faktor Sosioekonomi Rendah

Insiden PPOK lebih tinggi pada pasien dengan status sosioekonomi

rendah, terutama tinggal pada daerah pinggiran kota daripada daerah

pedesaan. Merokok juga merupakan hal yang biasa pada populasi ini, namun

tidak menjadi faktor satu-satunya yang terlibat. Faktor lain seperti lingkungan

rumah yang buruk, kondisi yang lembab dan kepadatan yang berlebihan yang

memungkinkan frekuensi dan menyebabkan infeksi respirasi dan menaikkan

polusi udara dalam ruangan (Barnett, 2006).

e. Atrophy dan Hiperesponsif Jalan Napas

Penurunan fungsi paru pada PPOK karena kerusakan akibat infeksi

berulang, yang mana pemulihan fungsi paru tidak dapat diperoleh. Hipotesis

lain menyebutkan bahwa fungsi paru menurun lebih cepat pada pasien

perokok dan yang mempunyai unsur alergi (atopy) dan meningkatnya level

imunoglobulin E (IgE), menyebabkan hiperaktivitas yang dapat dilihat pada

(28)

3. Jenis PPOK a. Asma

Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronkhial dengan ciri

bronkospasme periodik yaitu kontraksi spasme pada saluran napas (Soemantri,

2008).

1) Tipe-tipe Asma

Asma terbagi menjadi alergik, idiopatik atau non alergik dan campuran :

a) Asma alergik

Merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh allergen misalnya bulu

binatang, debu, makanan, dan lain-lain. Allergen yang paling umum adalah

allergen penyebaran melalui udara (airbone) dan allergen musiman

(Soemantri, 2008). Seringkali Gejala asma dapat meliputi batuk kering

intermiten, mengi, dada sesak, dispnea sering kali setelah terpajan stimulus

(Brashers, 2007).

b) Asma idiopatik atau non allergen

Merupakan jenis asma yang tidak berhubungan secara langsung dengan

alergen spesifik seperti Infeksi saluran nafas atas, emosi, pilek/flu, dan

aktivitas fisik berlebih. (Soemantri, 2008).

Beberapa agen farmakologis seperti beta-adrenergik dan agen sulfite

(penyedap rasa) juga dapat berperan sebagai faktor pencetus. Bentuk asma ini

biasanya dimulai pada saat dewasa (>35 tahun).

c) Asma campuran

Adalah asma yang terdiri dari komponen asma ekstrinsik dan instrinsik.

(29)

bentuk campuran (Priece and Lorraine, 2005). Asma tipe ini pada kasus klinis

merupakan bentuk asma yang paling sering ditemukan (Soemantri, 2008).

2) Manifestasi Klinis Asma

Gejala asma terdiri atas triad : dispnea, batuk, dan mengi. Gejala sesak

napas sering dianggap sebagai gejala yang harus ada. Adapun gambaran klinis

penderita asma :

a) Gambaran objektif :

Kondisi penderita asma seperti sesak napas parah disertai wheezing, disertai batuk dengan sputum kental dan sulit dikeluarkan, bernapas dengan

menggunakan otot-otot napas tambahan, dapat berupa sianosis, takikardi,

gelisah serta cemas.

b) Gambaran subjektif :

Penderita mengeluh sukar bernapas, sesak, dan anoreksia (Soemantri, 2008).

Tabel 2.1 pengkajian menentukan derajat berat asma

Sumber : Soemantri (2008)

b. Bronchitis Kronik

Bronkhitis adalah radang pada bronkus yang biasanya mengenai trachea

dan laring, sehingga sering dinamai juga dengan laringo trakheo bronkhitis.

Istilah bronkhitis kronis juga menunjukan kelainan pada bronkus yang sifatnya

menahun (Soemantri, 2008).

Manifestasi klinis Skor 0 Skor 1

a. Penurunan toleransi beraktivitas

b. Penurunan otot bantu napas tambahan, adanya retraksi interkostal

c. Wheezing

d. Respiratory per menit e. Pulse rate per menit f. Teraba pulsus paradoksus

g. Puncak expiratory flow rate (L/Menit)

(30)

Temuan utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa

bronkus dan peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, dengan infiltrasi

sel-sel radang dan edema mukosa bronkus (Priece and Lorraine, 2005).

1) Etiologi Bronkhitis Kronik

Terdapat beberapa jenis bakteri penyebab bronkhitis, yaitu

Staphylococcus, Sreptococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus influenza. Selain pajanan bakteri, bronchitis dapat disebabkan oleh alergi, polusi udara, terutama asap rokok (Soemantri, 2008).

2) Manifestasi Klinis Bronchitis Kronis

penampilan umum cenderung overweight, sianosis akibat pengaruh

sekunder polisitemia, edema akibat CHF (Coronary heart failure) dekstra,

dan barrel chest. Adanya temuan pembesaran jantung, cor pulmonal, dan di dapat hematokrit > 60% serta riwayat merokok yang positif (+).

c. Emfisema

Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai

oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan

(Soemantri, 2008). Demikian pula menurut Djojodibroto (2009) menyatakan

bahwa emfisema merupakan keadaan paru yang abnormal, yaitu pelebaran

rongga udara pada asinus yang sifatnya permanen.

1) Tipe Emfisema :

Terdapat beberapa tipe emfisema berdasarkan bagian paru-paru :

a) Emfisema sentriolobular

Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan

(31)

merambah sampai bronkhiolus sampai bronkhiolus tetapi biasanya

kantung alveolus tetap bersisa.

b) Emfisema panlobular

Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak

paru-paru bagian bawah. Tipe ini sering disebut centracinar emfisema,

seringkali timbul pada perokok. Panacinar timbul pada orang tua dan

pasien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin.

c) Emfisema paraseptal

Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs

(udara dalam alveoli) atau disebut dead space di sepanjang perifer paru-paru (Soemantri, 2008)

4. Komplikasi PPOK a. Cor Pulmonal

Cor pulmonal adalah kegagalan jantung pada sisi kanan yang disebabkan

oleh peningkatan ketegangan dan tekanan pada ventrikel kanan. Peningkatan

resistensi pembuluh darah paru mengakibatkan induksi hipoksia terhadap

vasokontriksi pada kapiler pembuluh darah paru yang menghasilkan tegangan

yang berlebih pada sisi jantung sebelah kanan. Pada akhirnya hal ini mengacu

pada hipertrofi dan kegagalan pada ventrikel kanan. Hasilnya terjadinya

edema peripheral berkembang menjadi kegagalan jantung sebelah kanan,

dimana merembesnya cairan keluar dari kapiler masuk ke jaringan sekitar

(Barnett, 2006).

Cor pulmonal akut merupakan dilatasi mendadak dari ventrikel kanan dan

dekompensasi. Cor pulmonal kronis merupakan bentuk cor pulmonal yang

(32)

penyakit paru-paru atau adanya kelainan pada toraks, sehingga menyebabkan

hipertensi dan hipoksia sehingga terjadi hipertrofi ventrikel kanan (Somantri,

2007).

1) Etiologi Cor pulmonal

Secara umum cor pulmonal disebabkan oleh :

a) Penyakit paru-paru yang merata. Terutama emfisema, bronkhitis

kronis, dan fibrosis akibat tuberkulosis.

b) Penyakit pembuluh darah paru-paru. Terutama thrombosis dan

embolus paru-paru, fibrosis akibat penyinaran menyebabkan penurunan

elastistisitas pembuluh darah paru-paru.

c) Hipoventilasi alveolar menahun. Adalah semua penyakit yang

menghalangi pergerakan dada normal, misalnya; penebalan pleura,

kelainan neuromuskuler, dan kiposkoliosis yang mengakibatkan

penurunan kapasitas rongga toraks sehingga pergerakan toraks

berkurang (Soemantri, 2007)

b. Pneumothorax

Pneumothorax bisa saja muncul secara spontan pada pasien dengan

emfisema. Pada emfisema dengan kerusakan alveoli menjadikan ruang udara

yang cukup besar yang bisa di sebut bula. Hal ini dapat membuat rupture

secara spontan, menyebabkan udara keluar ke cavitas pleura. Gejala dari

pneumothorax termasuk kejadian onset nyeri dada, dan meningkatnya

pernapasan (Barnett, 2006).

c. Polisitemia

Polisitemia terjadi seiring berjalannya waktu secara terus menerus

(33)

sebuah peningkatan jumlah sel darah merah. Hal tersebut merupakan cara

tubuh beradaptasi dengan kondisi hipoksia dan lebih banyak menghasilkan

hemoglobin dengan membawa sejumlah oksigen (Barnett, 2006).

5. Pemeriksaan diagnostik PPOK

Pemeriksaan diagnostik PPOK terdiri atas tes fungsi paru, Analisa gas darah,

CT-Scan, dan skreening defisiensi alfa 1-antitripsin

a. Tes fungsi paru-paru

Tes fungsi paru pada PPOK untuk mengetahui diagnosis dan derajat

obstruksi aliran udara yang paling baik dikaji melalui alat spirometri.

Spirometri adalah standar paling untuk pengukuran obstruksi aliran udara

secara akurat pada pasien dengan PPOK.

Spirometri merupakan alat esensial untuk mendiagnosa PPOK karena

adanya perbedaan antara penyakit restriktif dan obstruktif. Berikut beberapa

keterangan hasil dari pengukuran oleh spirometri :

a) FEV1 (forced expired volume in one second) adalah volume udara yang dihembuskan dalam satu detik pertama atau tekanan ekspirasi setelah

inspirasi maksimal.

b) FVC (forced vital capacity) adalah volume maksimal jumlah udara yang dapat dihirup (total lung capacity) hingga penghembusan maksimal (residual volume) yang diukur kembali dengan jeda waktu. c) RVC (relaxed after capacity) adalah pengukuran ekspirasi tanpa

tekanan, di mana biasanya terdapat hasil lebih besar dibanding FVC

pada pasien PPOK. Caranya sebagai berikut, pasien akan

(34)

sekali hembusan setelah menghirup udara maksimal lalu pada saat yang

menghembuskan pasien menjepit hidung.

d) PEF (peak expiratory flow) adalah jumlah aliran udara yang di hembuskan dengan mengawali hirup nafas sedalam-dalamnya lalu

menghembuskan nafas selama-lamanya sekitar 10 detik.

Tabel 2.2 klasifikasi PPOK. Diadopsi dari National Collaborating Centre For Chronic Condition (2004) dalam Barnett (2006)

Kategori Gejala Tanda whezze: batuk disertai sputum

Beberapa tanda

Berat

(FEV1<30% perkiraan)

Napas sesak : batuk, wheeze

Tampilan dari gambar CT-Scan berbeda dengan tampilan gambaran

foto sinar X-ray. Alat ini lebih sensitif, di mana sesuatu yang dihasilkan

gambaran CT berupa potong lintang dan dapat dengan akurat menentukan

lokasi lesi.

c. EKG (elektrokardiogram)

EKG merupakan alat yang berguna mendeteksi penyakit jantung

iskemik dan aritmia. Pasien dengan cor pulmonal dapat menunjukan adanya

(35)

d. Skreening defisiensi alpha 1-antitripsin :

Merupakan faktor resiko yang langka bagi penderita PPOK yang

merupakan faktor keturunan adanya defisiensi enzyme tersebut. Pada

kasusnya enzyme tersebut mencegah terjadinya kerusakan enzim proteolitik

di paru-paru. Namun pada pasien yang telah lama menderita emfisema

antara usia 20-40 tahun atau memiliki riwayat pada keluarga yang erat

menderita penyakit tersebut, maka alpha 1-antitripsin dapat diukur. Sebuah

konsentrasi serum di bawah 15-20% dari nilai normal dapat di indikasikan

terjadinya defisiensi. (Barnett, 2006).

e. Analisa gas darah

Analisa gas darah (AGD) merupakan salah satu tes diagnostik untuk

menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan

melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenisasi dan status asam

basa. Komponen yang terdapat dalam pemeriksaan AGD adalah pH, PCO2,

PO2, saturasi O2(Muttaqin, 2008).

Pengukuran AGD merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi

keseimbangan asam-basa. Untuk menilai hasil pemeriksaan AGD,

sebelumnya pemeriksa harus memahami arti dari komponen tersebut :

1) pH mengukur konsentrasi H+ untuk menunjukan status asam-basa darah. Nilai menunjukan apakah pH arteri normal (7,40), asam < 7,40,

atau alkalosis > 7,40. Karena kemampuan mekanisme kompensasi

untuk Menormalkan pH, nilai hampir normal tidak menghilangkan

kemungkinan dari gangguan asam-basa.

(36)

PaCO2 merupakan komponen pernapasan dari pengaturan asam basa

dan diatur oleh perubahan frekuensi dan kedalaman ventilasi pulmoner.

Hiperkapnea (PaCO2> 45 mmHg) menunjukan hipoventilasi alveolar

dan asidosis respiratori. Hiperventilasi mengakibatkan pada PaCO2< 35

mmHg dan alkalosis respiratori. kompensasi respirator terjadi dengan

cepat pada ketidakseimbangan asam basa metabolik. Bila ada

abnormalitas pada PaCO2 terjadi, ini penting untuk menganalisa

parameter ph dan HCO3untuk menentukan gangguan pernapasan atau

respon kompensasi terhadap abnormalitas asam basa metabolik.

3) PaO2 adalah tekanan oksigen parsial dalam arteri. PaO2 tidak mempunyai peran pengaturan asam basa bila terdapat dalam rentang

normal. Adanya hipoksemia dengan PaO2 (< 60 mmHg) dapat

menimbulkan metabolisme anaerobik, mengakibatkan produksi asam

laktat dan asidosis metabolik. Terdapat penurunan normal pada PaO2

sesuai pertambahan usia. Hipoksemia juga dapat menyebabkan

hiperventilasi mengakibatkan alkalosis respiratori.

4) Saturasi SaO2 merupakan rasio antara jumlah oksigen aktual yang terikat oleh hemoglobin terhadap kemampuan total hemoglobin darah

mengikat oksigen (Djojodibroto, 2009).

f. Diagnosa kerja

Merupakan suatu kesimpulan berupa hipotesis tentang kemungkinan

penyakit yang ada pada pasien disebut diagnosis kerja. Setiap diagnosis

kerja harus diiringi dengan diagnosis banding. Ada dua cara membuktikan

diagnosis kerja, yaitu dengan instrumen waktu dan terapi dan kedua dengan

(37)

Pembuktian dengan instrumen waktu dan terapi mengandung

konsekuensi perlunya pemantauan yang ketat khususnya pada kasus yang

potensial (Hardjodisastro, 2006).

B. Fungsi Kognitif

1. Pengertian Fungsi Kognitif

Kognisi meliputi kemampuan otak untuk memproses, mempertahankan,

dan menggunakan informasi. Kemampuan kognitif mencakup pemikiran,

penilaian, persepsi, perhatian, pemahaman dan memori. Kemampuan kognitif

penting pada individu dalam membuat keputusan, menyelesaikan masalah,

menginterpretasikan lingkungan, dan mempelajari informasi yang baru, untuk

memberikan nama pada beberapa hal (Videbeck, 2008).

Menurut Ginsberg (2008), fungsi kognitif meliputi fungsi otak yang lebih

tinggi, dan dapat di sub klasifikasi menjadi; (1) Fungsi kognitif yang

terdistribusi, yakni fungsi yang tidak terlokalisasi pada region otak tertentu,

namun membutuhkan aksi dari berbagai bagian pada kedua sisi otak, seperti:

atensi dan konsentrasi, memori, fungsi eksekutif, konduksi sosial dan

kepribadian. (2) Fungsi kognitif yang terlokalisasi, yakni fungsi yang berjalan

tergantung dari struktur dan fungsi normal dari suatu area tertentu pada satu

hemisfer serebri.

Fungsi kognitif dapat didefinisikan dengan semua proses mental yang

meliputi persepsi, memori, kreasi imajinasi, dan berpikir yang membentuk

(38)

2. Aspek-Aspek Fungsi Kognitif a. Atensi dan Konsentrasi

Atensi merupakan kemampuan untuk memfokuskan perhatian pada

masalah yang dihadapi. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk

mempertahankan fokus tersebut. Atensi yang terpusat merupakan hal esensial

dalam belajar dan memberikan kemampuan untuk memproses item penting

yang dipilih, dan mengabaikan yang lainnya (Lumbantobing, 2008)

b. Orientasi

Orientasi merupakan kemampuan untuk mengaitkan keadaan sekitar

dengan pengalaman lampau (Lumbantobing, 2008).

c. Memori

Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan & penyandian informasi,

proses penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang berpengaruh

dalam ketiga proses tersebut akan mempengaruhi fungsi memori (Sidiarto,

2003 dalam Hamidah, 2011). Gangguan mengingat sering merupakan gejala

yang pertama timbul pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kognitif

(Panentu, 2013).

Dalam klinik neurologi fungsi memori dibagi tiga tingkatan bergantung

lamanya rentang waktu antara stimulus dan recall, yaitu : (1) memori segera/Immediate memory, merupakan rentang waktu antara stimulus dan recall hanya beberapa detik. Pada poin ini dibutuhkan sebuah perhatian untuk mengingat/attention. (2) memori baru/recent memori merupakan rentang waktu lebih lama yaitu beberapa menit, jam, bulan, bahkan tahun.(3) memori

(39)

d. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif meliputi kemampuan untuk membuat rencana,

beradaptasi, menangani konsep abstrak, dan menyelesaikan masalah, digabung

dengan aspek sosial dan kepribadian misalnya inisatif, motivasi, dan inhibisi

(Ginsberg, 2005).

e. Visuospasial

Merupakan kemampuan konstruksional seperti menggambar atau meniru

berbagai macam gambar misal lingkaran dan menyusun balok-balok. Semua

lobus berperan dalam kemampuan konstruksi. (Sidiarto, 2003 dalam Hamidah,

2011).

f. Bahasa

Kelainan pada bahasa merupakan syarat pertama untuk menegaskan adanya

bukti hilangnya sebagian besar fungsi otak dapat lebih spesifik pada region

otak berdasarkan kerja pada broca (Larner, 2008).

3. Anatomi Fungsional pada Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif terbagi dalam beberapa fungsi namun masing-masing

fungsinya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, tetapi sebagai kesatuan yang

disebut sistem limbik (Hamidah, 2011).

Sistem limbik terdiri dari amigdala, hipokampus, nukleus talamik anterior,

girus subkalosus, girus cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus,

dan korpus mamillare. Sementara alveus, fimbria, formiks, traktus

mamilotalamikus, dan striae terminalis membentuk jaras-jaras penghubung

(40)

Gambar 2.1 Sumber :http://spinwarp.ucsd.edu/Neuroweb/Text

Para sentral limbik meliputi memori, pembelajaran, motivasi, emosi,

fungsi neuroendokrin, dan aktivitas otonom. Struktur otak berikut bagian dari

sistem limbik :

a) Amigdala, terlibat dalam pengaturan emosi, dimana pada hemisfer kanan predominan untuk belajar emosi dalam keadaan tidak sadar, dan pada

hemisfer kiri predominan untuk belajar emosi pada saat sadar.

b) Hipocampus, terlibat dalam pembentukan memori jangka panjang, pemeliharaan fungsi kognitif yaitu proses belajar.

c) Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial. d) Girus cinguli, mengatur fungsi otonom seperti denyut jantung, tekanan

darah, dan kognitif yaitu atensi. Korteks cinguli anterior (ACC)

merupakan struktur limbic terluas, berfungsi pada afektif, kognitif,

otonom, perilaku dan motorik.

(41)

f) Hipotalamus, berfungsi mengatur sistem saraf otonom melalui produksi dan pelepasan hormone, tekanan darah, denyut jantung, lapar, haus, libido,

dan siklus tidur/bangun, perubahan memori baru menjadi memori jangka

panjang.

g) Thalamus, ialah kumpulan badan sel saraf di dalam diensefalon membentuk dinding lateral ventrikel tiga. Fungsi thalamus sebagai pusat

hantaran rangsang indra dari perifer ke korteks serebri. Dengan kata lain,

thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di otak/sebagai

stasiun relay ke korteks serebri.

h) Mamaliari bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran

i) Girus dentatus, berperan dalam memori baru dan mengatur rasa bahagia. j) Korteks entorhinal, penting dalam memori dan merupakan komponen

asosiasi. Sedangkan lobus otak yang ikut berperan dalam kognitif adalah.

a. Lobus frontalis

Fungsi lobus frontalis mengatur motorik, perilaku, kepribadian,

bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisis dan

sintesis. Sebagian korteks medial lobus frontal dikaitkan sebagai

bagian sistem limbik, karena banyaknya koneksi anatomik dengan

struktur limbik dan adanya perubahan emosi bila terjadi kerusakan.

b. Lobus parietalis

Berfungsi dalam membaca, persepsi, memori, dan visuospasial.

Korteks ini menerima stimuli sensori (input visual, auditori, takil)

(42)

modalitas sensori sering disebut korteks hemoromodal dan mampu

membentuk asosiasi sensori. Sehingga manusia dapat

menghubungkan input visual dan menggambarkan apa yang mereka

lihat atau pegang.

c. Lobus temporal

Berfungsi mengatur pendengaran, penglihatan, emosi, memori,

kategorisasi benda-benda, dan seleksi rangsangan auditorik dan

visual.

d. Lobus oksipital

Berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial, memori, dan

bahasa (Hamidah, 2011).

C. Pengaruh PPOK terhadap Fungsi Kognitif

Gangguan kognitif telah ditemukan menjadi salah satu manifestasi di luar

sistem respirasi yang penting pada pasien dengan PPOK (Antonelli et al, 2003

dalam Li et al, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh De Carolis et al (2011)

pada 44 responden dengan penderita PPOK dan non PPOK menunjukkan

bahwa responden dengan PPOK sedikit, namun secara signifikan menunjukkan

performa yang buruk dibandingkan dengan kelompok kontrol pada tes

neuropsikologi.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Li et al (2013) sebelumnya

menemukan bahwa gangguan kognitif berhubungan dengan klasifikasi dari

keparahan PPOK. Selanjutnya Li & Guang (2013) meneliti bagaimana

pengaruh PPOK terhadap struktur otak yang mungkin mempengaruhi fungsi

(43)

hipokampus yang ditentukan melalui MRI dan penemuan ini berhubungan

secara signifikan dengan PaO2, SaO2 dan hasil MMSE yang mengukur

penurunan kognitif pada pasien PPOK. Salah satu kemungkinan penjelasannya

yakni bahwa pasien PPOK berada dalam status inflamasi yang rendah dan

keterbatasan aliran udara secara terus-menerus yang menyebabkan hipoksemia

kronik.

Hipoksemia kronik adalah mekanisme utama yang dapat berdampak

kurang baik pada fungsi kognitif dan volume hipokampus. Hipoksemia kronik

pada pasien PPOK menstimulasi atrofi hipokampus, yang mana memerankan

peran krusial pada gangguan kognitif. Hipokampus yang berlokasi di dalam

lobus temporal bagian medial merupakan komponen utama pada otak.

Hipokampus terdiri dari dua bagian utama yang tersambung dan empat divisi

histologi. Hal tersebut berperan dalam fungsi kognitif dan yang paling utama

sangat rapuh terhadap efek buruk dari hipoksemia (Li & Guang, 2013).

Penemuan secara morfologi menggunakan MRI menunjukkan bahwa

atrofi pada hipokampus adalah diagnostik biomarker / penanda untuk gangguan

kognitif (Dawe et al, 2011). Rendahnya volume hipokampus yang dideteksi

oleh MRI secara konsisten ditemukan pada gangguan kognitif ringan dan

penyakit Alzheimer(Zhang et al, 2012 dalam Li dan Guang, 2013).

D. Alat Ukur Fungsi Kognitif

(44)

Montreal Cognitive Assessment(MoCA) dibuat pada tahun 1966 oleh Dr. Ziad Nasreddine di Montreal, Canada. MoCA telah dikembangkan sebagai alat

screening cepat untuk gangguan kognitif ringan dan awal demensia Alzheimer. MoCA mengkaji domain fungsi kognitif yang meliputi; atensi dan konsentrasi,

fungsi eksekutif, memori, bahasa, kemampuan visuo konstruksional, berpikir

konseptual, kalkulasi, dan orientasi (Doerflinger dan Inova, 2012).

Dalam penelitian Crisan et al (2014) berpendapat bahwa instrument MoCA

lebih baik dibandingkan MMSE dalam mendeteksi tahap awal gangguan kognitif.

Dong dan Villeneuve dalam Crisan et al (2014) menguatkan bahwa instrumen

MoCA adalah alat yang lebih unggul dibanding MMSE dalam mendeteksi pasien

dengan gangguan kognitif.

Pernyataan tersebut sebanding dengan validasi terkait kedua instrument yang

dilakukan oleh Friedman (2012) dalam studi thesisnya menyatakan yakni kedua

instrumen MoCA dan MMSE memiliki kelebihan dan kekurangan yang relatif

sama, namun MoCA sedikit lebih baik dalam tingkat keakuratan diagnostik

dibandingkan dengan MMSE dan memperlihatkan sebagai alat yang lebih sensitif.

Berdasarkan dari beberapa penelitian maka peneliti menggunakan instrument

(45)

E. Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Sumber: Francis (2008), Lumbantobing (2008), Panentu (2013), Ginsberg (2007), Hamidah (2011), Dawe et al (2011), Li dan Guang-He (2013), Li et al (2013), Barnett

(2006)

(46)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Konsep dalam dunia penelitian dapat diartikan segala sesuatu yang bersifat

masih abstrak. Agar konsep ini dapat dimengerti dan dioperasionalkan oleh semua

pihak, maka harus diberikan ukuran dan variabel (Imron dan Amrul, 2010).

Penelitian ini menggunakan satu variabel yaitu gambaran fungsi kognitif pada

penderita penyakit paru obstruktif kronis.

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

Gambaran Fungsi Kognitif pada Penderita Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Visuospasial Usia

Bahasa Jenis Kelamin Eksekutif Pekerjaan

Memori/Delayed recall Tingkat Pendidikan Atensi Riwayat Merokok Abstraksi Riwayat Trauma Diagnosa Kerja

(47)

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No .

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1. Fungsi kogntif Fungsi kognitif merupakan proses berpikir pada manusia yang meliputi fungsi eksekutif, visuospasial, < 26 = Tidak Normal

(48)

d. Pekerjaan jatuh di bagian kepala di masa lalu status asma basa yang meliputi pH, PCO2, PO2,

PaO2 80-100 mmHg = Normal PaCO2 35-45 mmHg = Normal SaO2 ≥ 95% = Normal

4. Spirometri Merupakan pengukuran fungsi paru-paru dengan

FEV1 80% atau lebih = Normal FEV1 50 79% = Sedang FEV1 30-49% = Berat FEV1 < 30% = Sangat berat 1 = Normal

2 = Tidak normal

Pengukuran dilakukan dengan

(49)

menghembuskan udara dalam

6. Diagnosa Kerja Diagnosa yang telah ditegakkan oleh dokter 5 = PPOK & Hipertensi 6 = PPOK

(50)

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Konsep dalam dunia penelitian dapat diartikan segala sesuatu yang bersifat

masih abstrak. Agar konsep ini dapat dimengerti dan dioperasionalkan oleh semua

pihak, maka harus diberikan ukuran dan variabel (Imron dan Amrul, 2010).

Penelitian ini menggunakan satu variabel yaitu gambaran fungsi kognitif pada

penderita penyakit paru obstruktif kronis.

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

Gambaran Fungsi Kognitif pada Penderita Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Visuospasial Usia

Bahasa Jenis Kelamin

Eksekutif Pekerjaan

Memori/Delayed recall Tingkat Pendidikan Atensi Riwayat Merokok Abstraksi Riwayat Trauma Diagnosa Kerja

(51)

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No .

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

(52)

d. Pekerjaan

responden di masa lalu.

Status responden pernah jatuh di bagian kepala di masa lalu status asma basa yang meliputi pH, PCO2, PO2,

PaO2 80-100 mmHg = Normal PaCO2 35-45 mmHg = Normal

SaO2 ≥ 95% = Normal

1= Normal 2= Tidak normal

Sumber :

Craven and Constance, 2009

Interval

4. Spirometri Merupakan pengukuran fungsi paru-paru dengan

(53)

Pengukuran dilakukan dengan

(54)

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk melihat gambaran

fungsi kognitif pada pasien PPOK di RSU Kabupaten Tangerang dengan desain

penelitian cross sectional, cross sectional adalah desain penelitian yang dilakukan pengumpulan datanya pada satu waktu atau at one poin in time (Polit & Beck, 2003 dalam Swarjana, 2012). Penelitian cross sectional meneliti suatu kejadian pada satu titik waktu di mana variabel dependen dan independen diteliti sekaligus pada saat

yang sama (Setiadi, 2007).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-September 2015 di Ruang Rawat Inap

Dewasa Rumah Sakit Umum (RSU) Kabupaten Tangerang, tepatnya di Paviliun

Cempaka, Flamboyan, Seruni, Kenanga dan ruang rawat jalan.

Alasan peneliti memilih RSU Kabupaten Tangerang sebagai lokasi penelitian

karena di rumah sakit ini belum pernah di lakukan penelitian tentang fungsi kognitif

pada pasien PPOK di Ruang Rawat Inap Dewasa RSU Kabupaten Tangerang.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Hidayat, 2007).

Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien dewasa yang menderita

(55)

studi pendahuluan pada bulan Januari dari Oktober 2014 - Januari 2015 dengan

total sebanyak 78 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi, atau sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti

(Hidayat, 2007). Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik

non probability sampling yaitu teknik yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Setiadi, 2013).

Non probability sampling ini merupakan pengambilan data hanya pada individu atau obyek pada suatu populasi yang memenuhi persyaratan tertentu

terpilih menjadi sampel (Imron & Amrul, 2010). Adapun kriteria inklusi-eksklusi

yang digunakan untuk menentukan sampel yang akan diteliti adalah sebagai

berikut :

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subjek penelitian pada

populasi target dan sumber (Riyanto, 2011). Kriteria inklusi dalam penelitian

ini adalah :

1. Pasien dengan penyakit PPOK sekurang-kurangnya 6 bulan menderita

penyakit.

2. Pasien dewasa dengan usia 22 tahun sampai 65 tahun.

3. Pasien yang mampu berkomunikasi verbal dengan baik

4. Pasien dengan kondisi kesadaran penuh

5. Pasien yang bersedia mengikuti penelitian

6. Pasien yang berada di pelayanan rawat jalan

(56)

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat

mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian

(Nursalam, 2008). Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

1. Pasien dengan gangguan kejiwaan

2. Pasien yang tidak bisa berbahasa Indonesia

3. Pasien dengan gangguan fungsi pendengaran dan penglihatan.

4. Pasien yang terpasang ventilator atau oksigen

3. Besar Sampel

Budiarto (2008) dalam menentukan besarnya sampel, dilakukan perhitungan

sampel dengan menggunakan rumus slovin.

n

=

Keterangan :

N = Besar populasi

n = jumlah sampel

e = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (90%)

Angka populasi di masukan dalam rumus besar populasi yaitu :

n =

= 43,82 = 44

Berdasarkan hasil perhitungan sampel dengan menggunakan rumus maka didapatkan

hasil sampel sebesar 44 orang dan ditambahkan 10% untuk menghindari sampel drop

out, maka didapatkan sampel keseluruhan sebanyak 44 + 10% = 48.4 atau 48 orang

sebagai sampel dalam penelitian ini.

(57)

Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner untuk

memperoleh informasi dari responden. Kuesioner adalah cara pengumpulan data

dengan mempergunakan pertanyaan-pertanyaan tertulis untuk memperoleh informasi

dari responden (Sandjaja, 2006).

Adapun instrumen pengumpulan data yang digunakan terdiri dari 3 bagian,

yakni:

1. Bagian 1 : Berupa pertanyaan mengenai data demografi responden yang meliputi

usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan riwayat merokok.

2. Bagian 2 : Berupa lembar hasil tes diagnostik paru yang meliputi nilai analisa gas

darah, hasil EKG, hasil tes fungsi paru, hasil rontgen yang diperoleh dari rekam

medis responden.

3. Bagian 3 : Berupa kuesioner MoCA INA yang terdiri dari 30 poin yang akan

diujikan dengan menilai domain fungsi kognitif, yaitu :

a. Fungsi eksekutif : dinilai dengan trail making B (1 poin)

b. Visuospasial : dinilai dengan clock drawing test (3 poin) dan menggambarkan kubus 3 dimensi (1 poin)

c. Bahasa: menyebutkan 3 nama binatang (singa, unta, badak ; 3 poin),

mengulang 2 kalimat (2 poin), kelancaran berbahasa (1 poin)

d. Delayed recall: menyebutkan 5 kata, menyebutkan kembali setelah 5 menit (5

poin)

e. Atensi: menilai kewaspadaan (1 poin), mengurangi berurutan (3 poin), digit forward and backward (2 poin)

f. Abstaksi: menilai kesamaan suatu benda (2 poin)

g. Orientasi: menilai menyebutkan tanggal, bulan, tahun, hari, tempat dan kota (6

(58)

E. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Uji Validitas

Validitas merupakan suatu indeks yang menunjukan alat ukur tersebut

benar-benar mengukur apa yang di ukur. Suatu kuisioner dikatakan valid jika pertanyaan

pada kuisioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh

kuisioner tersebut. Uji ini dilakukan dengan menghitung korelasi antara

masing-masing skor item pertanyaan dari setiap variabel dengan total skor variabel

tersebut (Hidayat, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Panentu dan Irfan pada tahun

2013 yang menguji instrument MoCA INA pada pasien pasca stroke fase recovery

ditemukan validitas MoCA INA yang diuji melalui uji korelasi pearson

menunjukkan hasil r = 0,529 dan p = 0,046 yang dengan demikian instrument

MoCA INA dinyatakan valid.

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukan pada tingkat

kepercayaan dan dapat diandalkan (Arikunto, 2010). Reliabilitas adalah tingkat

konsistensi dari suatu pengukuran. Reliabilitas menunjukan apakah pengukuran

menghasilkan data yang konsisten jika instrument digunakan kembali secara

berulang (Dharma, 2011).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Panentu dan Irfan, (2013) yang menguji

reliabilitas instrument MoCA INA dengan uji test-retest menggunakan uji korelasi

person didapatkan nilai r = 0.963 dan p = 0,000 dengan demikian MoCA INA

dinyatakan reliabel.

(59)

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret hingga Juli 2015. Data yang

didapatkan dalam penelitian ini data primer melalui kuisioner tentang fungsi kogntif

dan data sekunder berupa hasil analisa gas darah. Adapun tahapan dalam penelitian

ini, yaitu ;

1. Setelah proposal penelitian disetujui oleh penguji, peneliti mengajukan surat

permohonan penelitian ke Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Peneliti menyerahkan surat permohonan ijin penelitian kepada kepala Bidang

Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) RSU Kabupaten Tangerang.

3. Setelah surat permohonan ijin penelitian disetujui oleh kepala Diklit lalu peneliti

mendapat surat pengantar ke tiap kepala ruangan

4. Setelah ijin penelitian disetujui oleh kepala Instalasi Rawat jalan RSU Kabupaten

Tangerang

5. Setelah ijin penelitian disetujui oleh Kepala Ruangan, peneliti menyeleksi calon

responden yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya.

6. Dengan menggunakan rumus perhitungan sample slovin, peneliti menentukan calon responden banyaknya sesuai dengan responden yang memenuhi kriteria

yaitu sebanyak 43,82 pasien PPOK yang ditambah sebanyak 10% dari total

populasi yaitu ditambah 10 menjadi 44 orang.

7. Setelah mendapatkan calon responden sesuai dengan kriteria yang telah

ditentukan, peneliti melakukan informed consent terhadap calon responden. jika calon responden bersedia menjadi responden, mereka dapat membaca lembar

persetujuan kemudian menandatanganinya.

8. Setelah responden menandatangani lembar persetujuan, responden selanjutnya

(60)

9. Waktu wawancara melalui kuisioner selama kurang lebih 20 menit untuk setiap

responden dan responden hanya dianjurkan bertanya setelah proses wawancara

selesai namun tidak diperkenankan bertanya sebelum dan selama proses

wawancara berlangsung.

10.Kuisioner yang telah terisi melalui wawancara selanjutnya diolah dan dianalisa

oleh peneliti.

G. Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengolahan data yang meliputi :

1. Editing

Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh. Data perlu diedit untuk memudahkan pengolahan data selanjutnya. Hal

yang perlu diperhatikan dalam mengedit meliputi kelengkapan pengisian,

kejelasan tulisan, kejelasan makna, kesesuaian dan konsistensi antar jawaban.

2. Coding

Coding adalah usaha member kode-kode tertentu pada jawaban responden. coding merupakan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang terdiri atas

beberapa kategori.

3. Entry data

Entry data adalah kegiatan memasukan data dari kuesioner dalam program computer agar dapat dianalis, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana

atau bisa juga dengan membuat tabel kontingensi.

4. Cleaning data

Pembersihan data merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah

dimasukan ke dalam komputer untuk memastikan dan telah bersih dari kesalahan

(61)

H. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menganalisis setiap variabel yang

dinyatakan dengan menggambarkan dan meringkas data dengan cara ilmiah dalam

bentuk tabel atau grafik (Setiadi, 2007).

Analisis univariat pada penelitian ini dilakukan pada variabel penelitian yang

meliputi : 1) karakteristik pasien PPOK di RSU Kabupaten Tangerang yang terdiri

dari usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, pekerjaan, riwayat merokok, riwayat

penyakit, dan riwayat trauma kepala 2) gambaran hasil analisa gas darah pada

pasien PPOK di RSU Kabupaten Tangerang, 3) gambaran fungsi kognitif pada

pasien PPOK di RSU Kabupaten Tangerang.

I. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, dilakukan penerapan prinsip etika penelitian

yang meliputi :

1. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Lembar persetujuan ini

diberikan dan dijelaskan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi

kriteria sampel. Tujuan informed consent adalah agar responden mengerti maksud

dan tujuan penelitian serta mengetahui dampaknya.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Untuk menjaga kerahasian identitas responden, peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data yang diisi

responden, tetapi lembar tersebut hanya diberi kode tertentu.

(62)

Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti, hanya kelompok data

tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian. Data yang telah diolah

Gambar

Tabel 2.1 pengkajian menentukan derajat berat asma
Tabel 2.2 klasifikasi PPOK. Diadopsi dari National Collaborating
Gambar 2.1 Sumber :http://spinwarp.ucsd.edu/Neuroweb/Text
gambaran MRI
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bahasa asing yang dapat digunakan dalam pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum

Hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk organik cair dari kult pisang, cangkang telur serta limbah rumput laut berpengaruh sangat nyata terhadap parameter

The Docker engine, when creating, running, stopping, and removing containers and other resources such as volumes or networks, produces a log of events. These events can be consumed

Berdasarkan hasil penelitin ini dapat diartikan bahwa, untuk memperoleh daya tetas yang lebih maksimal sebaiknya lebih memperhatikan padat tebar cysta Artemia

Simpulan dari penelitian ini adalah terdapat hubungan antara dukungan bidan dan dukungan keluarga terhadap pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas

Berdasarkan Tabel 4 dapat dijelaskan apabila dilihat dari pengaruh frekuensi pembalikan batang terhadap saat pengurangan panjang sulur, maka untuk perlakuan kontrol

Di Jagakarsa pada akuifer 2 menunjukkan tipe air NaMix, artinya bahwa anion utama khususnya klorida dan bikarbonat tidak ada yang dominan, sehingga senyawa yang

Pemeliharaan Rutin/ Berkala Sarana dan Prasarana Pasar Produksi Peternakan. Belanja Modal