• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pembuatan Texturized Vegetable Protein (TVP) Berbasis Tepung Kecambah Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet) Sebagai Alternatif Pengganti Texturized Soy Protein (TSP) dan Aplikasi Penggunaannya pada Produk Bakso

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Pembuatan Texturized Vegetable Protein (TVP) Berbasis Tepung Kecambah Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet) Sebagai Alternatif Pengganti Texturized Soy Protein (TSP) dan Aplikasi Penggunaannya pada Produk Bakso"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

i

KAJIAN PEMBUATAN

TEXTURIZED VEGETABLE PROTEIN

(TVP) BERBASIS TEPUNG KECAMBAH KACANG KOMAK

(

Lablab purpureus

(L.)

sweet

) SEBAGAI ALTERNATIF

PENGGANTI

TEXTURIZED SOY PROTEIN

(TSP)

DAN APLIKASI PADA PRODUK BAKSO

SKRIPSI

ADE RIYAN SYAPRI

F24060651

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

DEVELOPMENT OF TEXTURIZED VEGETABLE PROTEIN (TVP)

MADE FROM GERMINATED HYACINTH FLOUR (

Lablab

purpureus

(L.) sweet) AND ITS APPLICATION IN MEATBALL

Ade Riyan Syapri, Arif Hartoyo, Nugraha Edhi Suyatma

Deparment of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,

Indonesia

Phone 62 856 97497192, email: ade_bambe_sip@yahoo.co.id

ABSTRACT

The objective of this research is to formulate and to produce texturized vegetable protein (TVP) made from germinated hyacinth flour and gluten which is acceptable in terms of chemical, physical and organoleptic properties. Beans are potential sources of vegetable protein in Indonesia that have protein content ranges from 18-24%. Among them, Hyacinth bean (Lablab purpureus (L) sweet) is potential to be developed. Moreover, hyacinth bean contains globulin protein that closes to soy bean. Unfortunately, hyacinth bean contains some anti nutritional compounds which can decrease the digestibility of protein (Protein digestibility index, PDI). To overcome this drawback, the germination technique was used in this present study. The study began with preparing flour from germinated hyacinth bean, then formulating germinated hyacinth flour and gluten to prepare THP (texturized hyacinth protein) by extrusion method. The obtained THP was used in preparing of beef meetballs. Extrusion proses was conducted by twin screw extruder with a temperature was 130-1400C and 240 rpm in screw rotation. In term of functional properties, it showed that the germination could increase OHC (oil holding capacity) and density, but decreased water holding capacity (WHC) and emulsification capacity of THP. The formula of 25% of gluten (F2) showed the increase in moisture and had higher protein content, OHC, density, and emulsification capacity compared to the formula of 10% of gluten (F1). Furthermore, THP prepared with F2 formula had the functional properties that closed to commercial standard TSP (Texturized Soy Protein). Subtitution of 30% beef meat with germinated THP flour in preparing meatballs were still acceptable in organoleptic test and has fulfilled Indonesia national standards ((SNI 01–3818–1995). Furthermore, this subtitution had an advantage in lowering cholesterol and in increasing dietary fiber but, unfortunately it decreased WHC and emulsion capacity, significantly.

(3)

iii Ade Riyan Syapri. F24060651. Kajian Pembuatan Texturized Vegetable Protein (TVP) Berbasis Tepung Kecambah Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet) Sebagai Alternatif Pengganti

Texturized Soy Protein (TSP) dan Aplikasi Penggunaannya pada Produk Bakso. Di bawah bimbingan Arif Hartoyo, STP. M.Si. dan Dr.Nugraha Edhi Suyatma, STP, DEA.

RINGKASAN

Indonesia kaya akan jenis kacang-kacangan yang merupakan sumber protein nabati. Salah satunya adalah jenis koro-koroan (non-oilseed legumes). Jenis kacang ini masih kurang termanfaatkan dengan baik. Kacang koro-koroan mengandung protein berkisar antara 18-24% pada biji. Salah satu kacang jenis koro adalah kacang komak. Kacang ini dibudidayakan di daerah Probolinggo, Jawa Timur.

Salah satu pemanfaatan sumber protein nabati yang sedang berkembang adalah pembuatan texturized vegetable protein (TVP). TVP adalah salah satu produk meat analog yang dibuat dengan memodifikasi stuktur protein nabati sehingga teksturnya menyerupai daging. Pembuatan daging tiruan ini dilakukan dengan teknik ekstruksi panas (cooking extrusion).

Permasalahan jika menggunakan kacang-kacangan sebagai bahan pembuatan TVP adalah zat antinutrisi yang cukup tinggi dan rendahnya daya cerna. Germinasi dapat meningkatkan daya cerna nutrisi karena terjadi proses katabolis yang menyediakan zat-zat gizi penting bagi tubuh. Germinasi telah diketahui sebagai proses yang efektif dalam meningkatkan kualitas kacang-kacangan dengan meningkatkan kemampuan daya cerna dan menurunkan komponen antinutrisi.

Penelitian ini mengkaji pembuatan TVP dengan bahan dasar tepung kecambah kacang komak dengan tepung gluten menjadi THP (Texturized Hyacinth Protein) dengan tepung kacang komak dengan gluten sebagai kontrol. Formula terbaik dari THP kecambah dan kacang kemudian diujicobakan dalam pembuatan bakso dengan mensubtitusi sebagian komposisi daging. Hasil dari bakso subtitusi tersebut kemudian dibandingkan dengan kontrol bakso yang disubtitusi oleh TSP dan bakso daging sapi tanpa subtitusi.

Proses ekstruksi dilakukan dengan menggunakan twin screwextruder dengan parameter proses yang terpilih yaitu 130-1400C, speed 240 rpm. Adapun formula yang berhasil dihasilkan adalah 90% tepung kecambah/kacang dengan 10% tepung gluten (F1) dan 75% tepung kecambah/kacang dengan 25% tepung gluten (F2). Selanjutnya THP akan dianalisis, meliputi kadar proksimat, sifat fisikokimia dan sifat fisik kemudian diambil salah satu formula untuk diaplikasikan pada pembuatan bakso.

Germinasi atau perkecambahan meningkatkan kandungan serat kasar dan lemak secara signifikan pada taraf kepercayaan 95%, sedangkan kadar air, kadar abu, dan kadar karbohidrat mengalami penurunan secara signifikan dibandingkan dengan THP kacang (perebusan). Kadar protein tidak mengalami perubahan secara signifikan baik dalam THP kecambah maupun dalam bentuk THP kacang komak. Penambahan gluten dari 10% pada FI menjadi 25% pada F2 meningkatkan kadar air, kadar protein dan kadar lemak secara signifikan, sementara kadar abu, kadar serat kasar dan kadar karbohidrat mengalami penurunan secara signifikan pada selang kepercayaan 95%.

Hasil yang diperoleh dari analisis fisik adalah sebagai berikut : 1) derajat pengembangan, germinasi meningkatkan derajat pengembangan secara signifikan dan penambahan jumlah gluten juga meningkatkan derajat pengembangan secara signifikan pada selang kepercayaan 95% dan 2) elastisitas, perkecambahan menurunkan elstisitas THP secara signifikan.

Penggantian tepung tempe rendah lemak dengan tepung kecambah komak dalam pembuatan TVP berpengaruh nyata pada penurunan kandungan protein, mineral dan lemak secara nyata, sedangkan kadar air dan kadar karbohidrat mengalami peningkatan. Kelebihan dari segi kandungan gizi antara THP dengan TSP adalah kandungan seratnya yang lebih tinggi.

Dilihat dari sifat fisikokimianya, THP yang berasal dari F2 lebih mendekati TSP dibandingkan dengan F1, namun masih belum bisa menyamai sifat fisikokimia dari TSP. Hal tersebut disebabkan karena kandungan protein pada kecambah komak hanya sekitar 25% (bk) jauh lebih rendah dibandingkan dengan tempe kedelai rendah lemak sekitar 46% (bk) dan kandungan pati yang terlampau tinggi yaitu sekitar 60% (bk) dari yang disarankan, yaitu sekitar 40-50% berat kering. Sebaiknya untuk lebih lanjut dijadikan THP, tepung kecambah komak dibuat dalam bentuk tepung konsentrat.

(4)

iv Sedangkan penilaian panelis terhadap tekstur bakso mengalami penurunan secara signifikan dimulai dari subtitusi 20% sampai 40%. Penurunan penilaian yang signifikan terjadi pada semua parameter sensori formula subtitusi 40%. Formula yang dapat diterima oleh panelis adalah formula subtitusi 20% dan 30% terhadap komposisi daging sapi.

Uji organoleptik tahap kedua melalakukan uji organoleptik rating dan rangking berdasarkan kesukaan panelis terhadap keempat jenis bakso, yaitu bakso subtitusi THP kecambah komak, bakso subtitusi THP kacang komak, bakso subtitusi TSP (kontrol) dan bakso daging sapi (kontrol). Parameter aroma, rasa dan keseluruhan menunjukkan bahwa bakso subtitusi THP kecambah lebih disukai daripada bakso daging sapi lalu diikuti dengan bakso subtitusi THP kacang dan TSP. Pada parameter warna dan tekstur, bakso hasil subtitusi baik oleh THP kacang, THP kecambah maupun TSP belum bisa menyamai kesukaan panelis terhadap bakso daging sapi. Hasil uji peringkat sederhana menunjukkan bahwa bakso yang paling disukai panelis adalah bakso subtitusi THP kecambah diikuti bakso daging sapi kemudian bakso subtitusi TSP dan terakhir adalah bakso subtitusi THP kacang komak.

(5)

v

KAJIAN PEMBUATAN

TEXTURIZED VEGETABLE PROTEIN

(TVP)

BERBASIS TEPUNG KECAMBAH KACANG KOMAK (

Lablab purpureus

(L.)

sweet

) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI

TEXTURIZED SOY

PROTEIN

(TSP) DAN APLIKASI PADA PRODUK BAKSO

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

ADE RIYAN SYAPRI

F24060651

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

vi

Judul Skripsi : Kajian Pembuatan

Texturized Vegetable Protein

(TVP) Berbasis

Tepung Kecambah Kacang Komak (

Lablab purpureus

(L.)

sweet

)

Sebagai Alternatif Pengganti

Texturized Soy Protein

(TSP) dan

Aplikasi Penggunaannya pada Produk Bakso.

Nsma

: Ade Riyan Syapri

NIM

: F24060651

Menyetujui

Bogor, 25 Oktober 2010

Pembimbing 1

(Ir. Arif hartoyo, MSi)

Pembimbing 11

(Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA)

NIP. 19700430.199712.1.001 NIP. 19701220.199512.1.001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

(Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc)

NIP. 19650814.199002.1.001

(7)

vii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Kajian Pembuatan

Texturized Vegetable Protein (TVP) Berbasis Tepung Kecambah Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet) Sebagai Alternatif Pengganti Texturized Soy Protein (TSP) dan Aplikasi

Penggunaannya pada Produk Bakso” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas dicantumkan rujukannya.

Bogor, Oktober 2010 Yang membuat Pernyataan

(8)

viii

© Hak cipta milik Ade Riyan Syapri, tahun 2010

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(9)

ix

BIODATA PENULIS

Penulis yang bernama lengkap Ade Riyan Syapri, dilahirkan di pelosok Jakarta pada tanggal 24 april 1988. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Adelin Rambe dan Rohani Siregar. Kakak- kakak penulis bernama Roslina, Hendri dan Rudi. Pendidikan formal penulis diawali dari SDN 01 Penggilingan, Jakarta (1994-2000), SMPN 236 Jakarta (2000-2003), SMAN 12 Jakarta (2003-2006). Penulis melanjutkan pendidikan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) pada tahun 2006.

Selain menjalani kegiatan pendidikan formal, penulis juga aktif pada kegiatan ekstrakurikuler, Kegiatan ekstrakurikuler diawali dengan menjadi pengurus Rohani Islam SMAN 12 divisi perlengkapan mesjid, aktif dalam kegiatan OSIS SMAN 12 seperti Bulan Bahasa dan Pentas Seni Islam. Kegiatan berorganisasi penulis lanjutkan pada masa perkuliahan. Penulis pernah menjabat sebagai staff divisi sosial lingkungan Organisasi Mahasiswa Bekasi (2007), staff divisi Sosial Masyarakat BEM FATETA (2008), kepala divisi Bisnis dan Kewirausahaan BEM FATETA (2009) dan koordinator badan pengawas HIMITEPA IPB (2009). Selama menjadi pengurus, penulis juga ikut berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan seperti Penyuluhan tentang Jajanan pada anak sekolah, oleh HIMITEPA, panitia masa perkenalan mahasiswa tingkat departemen (BAUR 2008) dan fakultas (MPF 2008), panitia seminar Pelatihan Sistem Manajemen Halal (2009) dan Dies Natalies Akbar FATETA ke-45.

Selama perkuliahan penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), baik kategori penelitian, kewirausahaan dan pengabdian masyarakat. Sebanyak 3 proposal mendapat pembiayaan dari DIKTI. Penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Kimia dan Biokimia Pangan (2008) dan Evaluasi Sensori (2009) serta menjadi pengajar privat SMA pada bimbingan belajar Nurul Ilmi.

Penulis mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kajian Pembuatan Texturized Vegetable Protein (TVP) Berbasis Tepung Kecambah Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet) Sebagai Alternatif Pengganti Texturized Soy Protein (TSP) dan

(10)

x

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanaallahu Wata’ala atas hidup yang begitu indah dengan segala kejutan-Nya, cinta-Nya, kekuatan-Nya, dan kesabaran-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan amanah-Nya yaitu menyelesaikan kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB dan menyempurnakannya dengan menysusun skripsi dengan judul

“Kajian Pembuatan Texturized Vegetable Protein (TVP) Berbasis Tepung Kecambah Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet) Sebagai Alternatif Pengganti Texturized Soy Protein (TSP)

dan Aplikasi Penggunaannya pada Produk Bakso”. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pemimpin umat yang selalu dirindukan, Rasulullah Muhammad SAW, yang menjadi teladan dan inspirasi penulis selama ini.

Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir strata S1 pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Bogor, Institut Pertanian Bogor. Selama kegiatan perkuliahan, penelitian, penulisan, dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Orang tua tercinta, Adelin Rambe dan Khodijah, yang senyumnya selalu menjadi semangat penulis untuk terus berjuang, atas semua keajaiban do’a, nasihat, kesabaran, dan kasih sayang yang tidak pernah redup.

2. Almarhumah ibunda Rohani Siregar, yang selalu menyayangi penulis hingga akhir hayatnya. Pesan mama untuk selalu berbuat baik dan jujur serta berjiwa mandiri sebagai pemuda batak yang tangguh dan pekerja keras akan penulis ingat selalu.

3. Kakak-kakak yang selalu setia mendukung penulis baik harta, doa dan semangat, Roslina, Hendri dan Rudi.

4. Bapak Ir.Arif Hartoyo,M.Si selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing dan menjadi orangtua penulis selama berjuang di masa kuliah, saat penelitian hingga penulisan skripsi ini, atas bimbingan, nasihat, motivasi, dan pelajaran yang sangat berarti yang tak akan pernah terlupakan. 5. Bapak Dr.Ir.Nugraha Edhi Suyatma,DEA selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan penulis untuk melakukan penelitian ini, atas bimbingan, saran, bantuan, dan kesabaran selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi.

6. Bapak Faleh Setia Budi,ST,MT selaku dosen penguji, yang memberikan waktu dan pikiran kepada penulis atas saran dan masukan dalam penyempurnaan skripsi ini.

7. Dinas Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, yang telah membiayai penelitian ini. 8. Rekan penelitian, Lisa dan kelompok PKM, Sarah, Efrat dan Angel, bantuan tenaga, pemikiran

dan doa kalian sangat berarti dalam menjalani penelitian dan skripsi ini.

9. Sahabat–sahabat terbaik, Andrew, Lukman, Budi, Bayu, (alm) Regi, Nova, Edwin, Komang, Fera, Sofie, Sheila, Citra dan Nina. Penulis bersyukur sekali bersahabat dengan kalian.

10. Teman-teman ITP’43, Wejhe, Ami, Oci, Abe, Roni, Tito, Rincil, Widi, Erick, Abdi, Arius dan lainnya. Kalian semua member warna dalam perjalanan hidup ini.

11. Teman-teman yang pernah tinggal bersama, Faisal, Erlan, Anto, Zul, Chandra, Radit, Pram, Lingga, Rijali, Andi, Irawan dan Izzhul.

12. Penghuni bara 3 31, presiden Wejhe, Dari, kang Adi, kang Wisnu, kang Novan, Bayu, Lukman, Hafiz dan Faisal, Kita nikmatilah saat-saat akhir dikostan tercinta.

13. Dosen-dosen pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan dosen yang pernah mengajar penulis, ilmu dan nasihat Bapak Ibu sangatlan berarti.

14. Bu Novi dan rekan-rekan di UPT ITP, bantuan, saran dan teguran Ibu dan Bapak semua sangat membantu kegiatan akdemis penulis selama perkuliahan.

15. Teknisi laboratorium ITP, Seafast, dan Tekhno Park, Pak Jun, Pak Hendra, Pak Iyas, bu Antin, Pak Gatot, Pak Wahid, Bu Rub, Pak yahya, Pak Rozak dan yang lainnya. Berkat Bapak Ibu semua penulis dapat menjalani penelitian ini dengan baik.

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ii

RINGKASAN ...iii

BIODATA PENULIS ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. LATAR BELAKANG ... 1

1.2. TUJUAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 KACANG KOMAK (Lablab purpureus (L.) sweet ) ... 3

2.2 FRAKSI PROTEIN KACANG KOMAK ... 5

2.3 KECAMBAH ... 6

2.4 TEPUNG ... 7

2.5 TEXTURIZED VEGETABLE PROTEIN (TVP) ... 7

2.6 GLUTEN ... 8

2.7 TEKNIK EKSTRUKSI ... 9

2.8 BAKSO ... 9

III. METODOLOGI PENELITIAN ... …11

3.1. BAHAN PENELITIAN ... 11

3.2 ALAT PENELITIAN ... 11

3.3 METODE PENELITIAN ... 12

3.3.1. Pembuatan Tepung Kacang dan Tepung Kecambah Komak ... 14

3.3.2. Pembuatan Texturized Hyacinth Protein (THP) ... 14

3.3.3. Pembuatan Bakso Subtitusi THP ... 14

3.3.4. Analisis Kimia pada THP dan Bakso ... 15

3.3.5. Analisis Fisikokimia pada THP dan Bakso ... 16

3.3.6. Analsis Fisik THP... 17

3.3.7. Uji Organoleptik ... 18

(12)

xii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1. PEMBUATAN TEXTURIZED HYACINTH PROTEIN (THP) ... 20

4.2. ANALISIS TEXTURIZED HYACINTH PROTEIN (THP) ... 22

4.2.2. Komposisi Kimia ... 22

4.2.3. Sifat Fisikokimia ... 27

4.2.4. Sifat Fisik ... 30

4.2.5. Pemilihan Formula Terbaik ... 32

4.3. PEMBUATAN BAKSO SUBTITUSI THP ... 32

4.4. ANALISIS BAKSO SUBTITUSI THP... 33

4.4.1. Uji Organoleptik Tahap 1... 33

4.4.2. Pemilihan Formula Terbaik Bakso Subtitusi THP ... 37

4.4.3. Uji Organoleptik Tahap 2... 37

4.4.4. Komposisi Kimia Bakso ... 39

4.4.5. Sifat Fisikokimia Bakso ... 43

4.4.6. Tekstur (Kekenyalan) Bakso ... 44

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1. KESIMPULAN ... 46

5.2. SARAN ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan kimia kacang komak ... 4

Tabel 2. Kandungan serat dan mineral dalam kacang komak... 4

Tabel 3. Komposisi asam amino dalam kacang komak... 5

Tabel 4. Hasil fraksinasi Protein kacang komak ... 5

Tabel 5. Kandungan gizi kecambah kacang komak ... 6

Tabel 6. Komposisi kimia TVP hasil ekstruksi ... 8

Tabel 7. Komposisi kimia gluten ... 8

Tabel 8. SNI bakso (SNI 01–3818–1995) ... 10

Tabel 9. Komposisi bumbu dan bahan tambahan pangan pada pembuatan bakso basis 500 gram ... 14

Tabel 10. Setting alat TPA untuk produk bakso ... 19

Tabel 11. Komposisi Kimia Formula THP (basis basah) ... 23

Tabel 12. Formulasi pembuatan bakso subtitusi THP... 32

Tabel 13. Hasil penilaian uji organoleptik kesukaan (hedonic) bakso subtitusi ... 33

Tabel 14. Hasil penilaian uji organoleptik terhadap kesukaan (hedonic) bakso subtitusi formula terbaik ... 37

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Visualisasi biji dan tanaman kacang komak

(Lablab purpureus (L.) sweet) ... 3

Gambar 2. Kacang komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) ... 4

Gambar 3. Diagram alir pembuatan THP ... 12

Gambar 4. Diagram alir pembuatan bakso subtitusi THP ... 13

Gambar 5. Media tempat perkecambahan ... 20

Gambar 6. Kecambah komak ... 20

Gambar 7. Tepung kecambah komak dan tepung kacang komak ... 21

Gambar 8. Berto Twin Screw Ekstruder ... 21

Gambar 9. THP kecambah komak dan THP kacang komak... 22

Gambar 10. Grafik hasil analisis kadar air THP (basis kering) ... 23

Gambar 11. Grafik hasil analisis kadar abu THP (basis kering) ... 24

Gambar 12. Grafik hasil analisis kadar protein THP (basis kering) ... 25

Gambar 13. Grafik hasil analisis kadar lemak THP (basis kering) ... 26

Gambar 14. Grafik hasil analisis kadar karbohidrat THP (basis kering) ... 26

Gambar 15. Grafik hasil analisis kadar serat kasar THP (basis kering) ... 27

Gambar 16 Grafik hasil analisis densitas THP ... 28

Gambar 17. Grafik hasil analisis WHC / daya serap air THP... 28

Gambar 18. Grafik hasil analisis daya serap minyak THP ... 29

Gambar 19. Grafik hasil analisis kapasitas emulsi THP ... 30

Gambar 20. Grafik hasil analisis derajat pengembangan THP ... 31

Gambar 21. Grafik hasil analisis elastisitas THP ... 31

Gambar 22. Grafik hasil analisis uji rating kesukaan terhadap rasa ... 34

Gambar 23. Grafik hasil analisis uji rating kesukaan terhadap aroma ... 34

Gambar 24. Grafik hasil analisis uji rating kesukaan terhadap warna ... 35

Gambar 25. Grafik hasil analisis uji rating kesukaan terhadap tekstur ... 36

Gambar 26. Grafik hasil analisis uji rating kesukaan terhadap overall... 36

Gambar 27. Grafik hasil analisis uji rating kesukaan terhadap bakso ... 38

Gambar 28. Grafik hasil analisis uji peringkat sederhana bakso ... 39

Gambar 29. Grafik hasil analisis kadar air bakso (basis kering) ... 40

Gambar 30. Grafik hasil analisis kadar abu bakso (basis kering) ... 40

Gambar 31. Grafik hasil analisis kadar protein bakso (basis kering) ... 41

Gambar 32. Grafik hasil analisis kadar lemak bakso (basis kering) ... 41

Gambar 33. Grafik hasil analisis kadar serat kasar bakso (basis kering) ... 42

Gambar 34. Grafik hasil analisis kadar karbohidrat bakso (basis kering) ... 42

Gambar 35. Grafik hasil analisis WHC bakso ... 43

Gambar 36. Grafik hasil analisis kapasitas emulsi... 44

Gambar 37. Visualisasi alat TA XT2i Texture Analyzer dengan probe p/35 untuk uji tekstur bakso ... 44

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil uji analisis ragam pada komposisi kimia THP... 52

Lampiran 1.1. Kadar air ... 52

Lampiran 1.2. Kadar abu ... 52

Lampiran 1.3. Kadar protein ... 53

Lampiran 1.4. Kadar lemak ... 53

Lampiran 1.5. Kadar serat kasar ... 54

Lampiran 1.6. Kadar karbohidrat ... 54

Lampiran 2. Hasil uji analisis ragam sifat fisikokimia THP ... 55

Lampiran 2.1. Densitas ... 55

Lampiran 2.2. WHC ... 55

Lampiran 2.3. Daya serap minyak ... 56

Lampiran 2.4. Kapasitas emulsi ... 56

Lampiran 3. Hasil uji analisis ragam uji derajat pengembangan ... 57

Lampiran 4. Hasil uji analisis ragam uji organoleptik bakso tahap 1 ... 58

Lampiran 4.1. Aroma bakso subtitusi THP kacang komak... 58

Lampiran 4.2. Aroma bakso subtitusi THP kecambah komak ... 58

Lampiran 4.3. Rasa bakso subtitusi THP Kacang komak ... 59

Lampiran 4.4. Rasa bakso subtitusi THP Kecambah komak ... 59

Lampiran 4.5. Warna bakso subtitusi THP Kacang komak ... 60

Lampiran 4.6. Warna bakso subtitusi THP Kecambah komak ... 60

Lampiran 4.7. Tekstur bakso subtitusi THP kacang komak ... 61

Lampiran 4.8. Tekstur bakso subtitusi THP Kecambah komak ... 61

Lampiran 4.9. Overall bakso subtitusi THP kacang komak ... 62

Lampiran 4.10. Overall bakso subtitusi THP kecambah komak ... 62

Lampiran 5. Hasil uji analisis ragam uji organoleptik tahap 11 ... 63

Lampiran 5.1. Aroma bakso subtitusi THP ... 63

Lampiran 5.2. Rasa bakso subtitusi THP ... 64

Lampiran 5.3. Tekstur bakso subtitusi THP ... 65

Lampiran 5.4. Warna bakso subtitusi THP ... 66

Lampiran 5.5. Overall bakso subtitusi THP ... 67

Lampiran 5.6. Rangking sederhana bakso subtitusi THP ... 67

Lampiran 6. Hasil uji analisis ragam komposisi kimia bakso ... 68

Lampiran 6.1. Kadar air ... 68

Lampiran 6.2. Kadar abu ... 68

Lampiran 6.3. Kadar protein ... 69

Lampiran 6.4. Kadar lemak ... 69

Lampiran 6.5. Kadar serat kasar ... 70

Lampiran 6.6. Kadar karbohidrat ... 70

Lampiran 7. Hasil uji analisis ragam fisikokimia bakso ... 71

Lampiran 7.1. WHC ... 71

Lampiran 7.2. Kapasitas emulsi ... 72

Lampiran 8. Hasil uji analisis ragam elastisitas THP ... 73

Lampiran 9. Hasil uji analisis ragam uji objektif tekstur bakso ... 73

Lampiran 10. Visualisasi THP dan bakso... 75

(16)

1

1.

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Indonesia kaya akan jenis kacang-kacangan yang merupakan sumber protein nabati. Salah satunya adalah jenis koro-koroan (non-oilseed legumes). Jenis kacang ini masih kurang termanfaatkan dengan baik. Menurut Somaatmadja dan Maesen (1993) umumnya kacang koro-koroan mengandung protein berkisar antara 18-24% pada biji. Salah satu kacang jenis koro adalah kacang komak yang dibudidayakan di daerah Probolinggo, Jawa Timur.

Salah satu pemanfaatan sumber protein nabati yang sedang berkembang adalah pembuatan texturized vegetable protein (TVP). TVP adalah salah satu produk meat analog yang dibuat dengan memodifikasi stuktur protein nabati sehingga teksturnya menyerupai daging. Menurut Lawrie (1991) akibat dari semakin mahalnya harga daging, para industriawan mulai mencari alternatif dengan menggunakan sumber protein nabati untuk mengganti sebagian atau seluruh protein daging. Perkembangan produk daging tiruan cukuplah pesat di pasaran internasional. Kelebihan yang didapat dari daging tiruan adalah ketersediaannya terjamin serta memberikan keuntungan gizi.

Pembuatan daging tiruan ini dilakukan dengan teknik ekstruksi pemasakan (cooking extrusion). Pemilihan teknologi ekstruksi didasari oleh pertimbangan bahwa teknik ekstruksi hanya membutuhkan biaya yang relatif rendah serta produk yang dihasilkan mempunyai mutu tinggi karena kerusakan nutrisi selama proses relatif rendah (Smith, 1981). Setelah melalui proses ekstrusi, protein ini kemudian direhidrasi sehingga mempunyai sifat fisik seperti daging. Proses pembuatan daging tiruan dengan bahan baku nabati dan menggunakan teknik ekstrusi disebut Textuirized Vegetable Protein (TVP).

Menurut Kinsella (1979) ada tiga metode untuk mengubah struktur protein nabati menjadi seperti protein hewani yaitu dengan cara fibre spinning, extrusion dan heat gelation. Penerapan teknologi yang banyak diterapkan sekarang ini adalah metode ekstruksi. Sumber pembuatan TVP yang telah digunakan adalah protein gluten dari gandum dan protein globulin dari kacang-kacangan dalam bentuk tepung, konsentrat atau isolat. Adapun penggunaan TVP tersebut ternyata memperbaiki sifat emulsi, stabilitas emulsi, tekstur dan peningkatan daya rehidrasi.

Menurut Yung (1995) bahan yang banyak digunakan dalam pembuatan daging tiruan adalah campuran dari tepung kedelai dan gluten terigu. Penggunaan tepung kacang-kacangan menurut Melianawati (1998) menyebabkan penurunan penerimaan konsumen karena munculnya bau langu dari kandungan lemaknya dan juga masalah nutrisi dan daya cerna yang rendah. Masalah lain dalam penggunaan kedelai adalah tingginya harga kedelai di Indonesia yang masih bergantung pada impor.

Tercatat di akhir 2007 hingga awal 2008, harga kedelai melambung hingga 100 persen, dari harga sebelumnya di kisaran Rp 3.500 - Rp 4.000 per kilogram menjadi Rp 7.000 - Rp 8.000 per kilogram. Kedelai pun langka ditemui di pasaran (Hartoyo, 2008). Melonjaknya harga tersebut disebabkan oleh tingginya konsumsi kedelai di Indonesia karena banyak produk pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia menggunakan kedelai sebagai salah satu bahan bakunya.

(17)

2 yang dapat dilihat dari daya serap air, daya serap minyak, dan daya emulsi isolat yang tidak berbeda nyata.

Selain itu, produktivitas kacang komak di Indonesia jauh lebih tinggi dibanding kedelai. Produktivitas kacang komak berkisar 6-10 ton per hektar, sedangkan produktivitas kedelai hanya sekitar 1,3 ton per hektar. Hal ini disebabkan oleh kacang komak yang merupakan tanaman tropis, sedangkan kedelai merupakan tanaman subtropis (Hartoyo, 2008). Namun pemakaian komak hanya sebatas pada konsumsi rumah tangga saja, belum digunakan untuk industri makanan.

Kelebihan kacang komak lainnya adalah dapat ditanam di lahan pertanian marjinal sehingga tidak membutuhkan banyak input produksi seperti pupuk dan air, serta lebih tahan hama. Penanaman kacang komak pada lahan marjinal justru akan memperbaiki struktur tanah karena akar tanaman ini mengikat unsur nitrogen (Hartoyo, 2008).

Guilon dan Champ (2002) yang dikutip oleh Anita (2009) melaporkan bahwa kualitas dari kacang komak hampir setara dengan jenis kacang-kacang lainnya dan memiliki kandungan karbohidrat yang lebih banyak karena tingginya kandungan serat pangan bila dibandingkan dengan pangan kaya serat lainnya seperti sereal.

Sifat tepung kacang komak yang tinggi protein namun rendah lemak (sekitar 1%) ini memungkinkan untuk digunakan sebagai bahan pangan berbasis protein seperti texturized vegetable protein (TVP) sehingga tidak memerlukan proses ekstraksi lemak terlebih dahulu jadi lebih mudah dibuat dan tidak memerlukan waktu yang lama.

Permasalahan berikutnya jika menggunakan kacang-kacangan sebagai bahan pembuatan TVP adalah zat antinutrisi yang cukup tinggi dan rendahnya daya cerna. Zat antinutrisi yang terdapat dalam kacang-kacangan antara lain tripsin inhibitor, asam fitat, tannin, dan oligosakarida penyebab flatulensi. Oleh sebab itu diperlukan adanya proses pengolahan yang dapat mengurangi jumlah komponen antinutrisi tersebut sehingga dapat meningkatkan daya cernanya.

Salah satu solusinya adalah dengan membuat kacang dalam bentuk kecambah (germinasi). Germinasi atau perkecambahan merupakan salah satu produk olahan kacang-kacangan. Germinasi dapat meningkatkan daya cerna nutrisi karena terjadi proses katabolis yang menyediakan zat-zat gizi penting bagi tubuh. Menurut Martin-Cabrejas et al. (2008) germinasi telah diketahui sebagai proses yang tidak mahal dan teknologi yang efektif dalam meningkatkan kualitas kacang-kacangan dengan meningkatkan kemampuan daya cerna dan menurunkan komponen antinutrisi.

Penggunaan campuran tepung kecambah kacang komak dan gluten dengan formulasi yang sesuai diharapkan dapat menghasilkan produk TVP. Untuk itu diperlukan adanya formulasi yang tepat dalam pembuatan TVP dari tepung kecambah kacang komak dengan nama THP (Texturized Hyacinth Protein).

1.2. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan jenis ekstruder yang digunakan beserta parameter proses seperti suhu pemasakan dan kecepatan screw ekstruder dan mempelajari formulasi campuran tepung kecambah kacang komak dan gluten untuk mendapatkan produk THP yang optimum, baik dari segi fisik, kimia, maupun organoleptik. Selanjutnya akan digunakan untuk pengembangan produk TVP berbasis tepung kecambah kacang komak (THP) yang dapat diterima masyarakat sehingga dapat digunakan sebagai alternatif pengganti TSP (texturized soy protein). THP ini kemudian diaplikasikan pada produk daging olahan seperti bakso.

Formulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah komposisi bahan antara tepung kecambah kacang komak dan tepung gluten, serta pengaruh subtitusi daging sapi dengan THP dalam pembuatan bakso terhadap penerimaan konsumen untuk mendapatkan hasil yang optimum.

(18)

3

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KACANG KOMAK

Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) termasuk ordo Leguminosae dan subkelas Dicotyledonae, family Fabaceae, genus Dolichos. Kacang komak memiliki berbagai keunggulan, yaitu kemampuannya untuk beradaptasi terhadap lingkungan tumbuh, kacang komak tahan pada kondisi kering, selain itu juga mampu tumbuh dan berkembang pada kondisi lingkungan yang berbeda jangkauannya dalam dunia yang luas (anonim, 2009 di dalam Anita, 2009).

Kacang komak memiliki batang yang keras, berserat dan berbulu dengan tinggi 2-3 m dan dapat mencapai tinggi hingga 10 m. Warna bunga dari kacang komak berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Daun kacang komak lebar dan tebal dengan panjang 7.5–15 cm. Daun bercabang tiga (trifoliolate) pada setiap sisi tangkainya (Skerman, 1977 dalam Anita, 2009). Biji kacang komak terdapat dalam polong. Setiap polong terdapat 3-6 biji kacang komak. Polong kacang komak memiliki panjang 5–20 cm dengan lebar 1–5 cm (Kay, 1979), sedangkan panjang biji kacang komak adalah 0.6–1.3 cm. Ukuran dan warna biji beragam dari hitam, coklat, dan kekuningan (Duke, 1983). Visualisasi tumbuhan kacang komak dapat dilihat pada gambar 1.

Selama ini penggunaan kacang komak adalah sebagai pakan ternak, padahal kacang komak juga dapat digunakan sebagai sumber kebutuhan protein manusia dan dapat dimanfaatkan dengan berbagai cara. Kacang komak diketahui memiliki varietas yang berbeda diberbagai belahan dunia, sehingga nama yang diberikan pun berbeda pula. Beberapa namanya seperti Dolichos lablab, Country Bean, Dolichos Bean, Lablab vulgaris, Lubia Bean, Lablab niger, Hierba de Conejo, Frijol jacinto, Poroto japones, India Butter Bean, dan lain-lain (Skerman, 1977 dalam Anita, 2009).

Tanaman ini dapat bermanfaat bagi lingkungan sebagai penahan erosi dan juga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Tanaman ini mampu meningkatkan daya dukung lahan dengan menghasilkan bahan organik tanah dan pupuk hijau. Akarnya yang bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium dapat meningkatkan kandungan nitrogen tanah (Purwanto, 2007).

Selain sebagai pakan ternak, kacang ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan pangan (sayuran dan kacang-kacangan). Bijinya yang masih muda dapat dijadikan sayuran. Biji kacang komak dapat dimasak dan dimakan sebagai sayuran atau salad. Kulit (polong) yang masih muda dan biji yang sudah kering juga dapat dikonsumsi sebagai makanan (Duke, 1983). Biji keringnya yang utuh juga dapat diproses melalui fermentasi menjadi tempe dan kecap (Anita, 2009).

Biji kacang komak (gambar 2) memiliki kandungan protein dan karbohidrat yang cukup tinggi. Kandungan proteinnya menempati urutan ketiga setelah kedelai dan kacang tanah. Sebagai bahan pangan, kacang ini berpotensi sebagai bahan campuran makanan bayi menggantikan kedelai (Purwanto, 2007). Guilon dan Champ (2002) melaporkan bahwa kualitas dari kacang komak hampir setara dengan jenis kacang-kacang lainnya dan memilki kandungan karbohidrat yang lebih banyak karena tingginya kandungan serat pangan bila dibandingkan dengan pangan kaya serat lainnya seperti sereal.

Gambar 1. Visualisasi biji dan tanaman kacang komak (Lablab purpureus (L.) sweet)

(19)

4 kacang komak juga mengandung lemak, mineral seperti abu, kalsium, fosfor, zat besi (tabel 2) dan vitamin seperti asam nikotinat dan vitamin C. Kacang komak dapat digunakan dalam usaha mengatasi kekurangan protein. Kandungan protein biji tua kacang kacang secara normal berkisar antara 21-29 %. Komposisi kimia kacang komak dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan kimia kacang komak

Komponen Rerata ± standar deviasi (%)

Protein Karbohidrat

Lemak Kadar Air Kadar Abu

17.1 ± 1.5 67.9 ± 4.2 1.1 ± 0.4 9.3 ± 0.5 3.6 ± 0.1 Sumber: Subagio et al. (2006)

Menurut penelitian-penelitian sebelumnya diketahui bahwa kacang komak memiliki susunan asam amino yang mendekati pola protein kedelai, yaitu kurang mengandung asam amino yang mengandung belerang (metionin dan sistein), tetapi kaya akan asam amino lisin. Tingginya asam amino lisin pada kacang komak dapat dimanfaatkan untuk pembuatan bahan makanan campuran yang tersusun dari kacang-kacangan yang umumnya kekurangan asam amino lisin. Komposisi asam amino dalam komak dapat dilihat pada tabel 3.

Gambar 2. Biji Kacang Komak (Lablab purpureus (L) Sweet)

Tabel 2. Kandungan serat dan mineral dalam kacang komak

Komponen

Biji kering (setiap 100 g berat

basah)

Kulit (polong) (setiap 100 g yang

dapat dimakan)

Daun (setiap 100 g berat

buah)

Serat (g) Kalsium (mg)

Fosfor (mg) Besi (mg)

6.8 98 345

3.9

1.9 75 50 1.2

(20)

5 Tabel 3. Komposisi asam amino dalam kacang komak

Asam Amino mg/g N Asam Amino mg/g N

Isoleusin Leusin Lysin Metionin Sistein Fenilalanin Asam aspartat Glisin 256 436 360 36 57 299 727 240 Tirosin Treonin Alanin Valin Arginin Histidin Asam glutamat Prolin 197 207 266 294 393 186 978 288 Sumber : Kay (1979)

Permasalahan jika menggunakan kacang-kacangan sebagai bahan produk pangan adalah zat antinutrisi dan rendahnya daya cerna. Zat antinutrisi yang terdapat dalam kacang-kacangan antara lain tripsin inhibitor, asam fitat, tannin, dan oligosakarida penyebab flatulensi. Oleh sebab itu diperlukan adanya proses pengolahan yang dapat mengurangi jumlah komponen antinutrisi tersebut sehingga dapat meningkatkan daya cernanya.

2.2. FRAKSI PROTEIN KACANG KOMAK

Kadar protein biji kacang komak sebesar 18-25% (Subagio, 2006) dengan susunan asam amino yang hampir sama polanya dengan kedelai yaitu kurang mengandung asam amino yang mengandung belerang, yaitu metionin dan sistein, namun kaya akan lisin.

Protein utama dalam kacang komak adalah globulin yang disebut dolichosin (Duke, 1983). Menurut de Man (1997) disebutkan bahwa fraksi globulin berdasarkan laju sedimentasinya dibedakan menjadi empat fraksi yaitu 2S, 7S, 11S, dan 15S. Perbedaan komposisi dari keempat fraksi tersebut akan mempengaruhi sifat fungsional dari protein tersebut seperti daya ikat air (WHC), daya serap minyak (OHC), kapasitas emulsi, densitas, dan lain-lain.

Tabel 4. Hasil fraksinasi Protein kacang komak

Protein Kadar (%)

Globulin 55.15

Glutelin 26.63

Albumin 18.22

Prolamin Tidak terdeteksi

Sumber : Subagio et al. (2006)

Berdasarkan tabel 4 diatas terlihat bahwa fraksi protein yang paling dominan adalah globulin. Hal tersebut sesuai dengan Zayas (1997) yang menyatakan bahwa protein legume utamanya tersusun oleh dua globulin yaitu legumin dan vicilin. Perbedaan fraksi dari masing-masing protein akan mempengaruhi sifat fisikokimia yang dihasilkan.

(21)

6 Pada metode SDS Page terlihat bahwa fraksi protein yang dominan pada kacang komak dan kacang kedelai adalah sama yaitu fraksi 7S dan 11S, Hasil metode Native Page terlihat bahwa pola elektroforesis globulin 7S dan 11S pada komak tidak berbeda nyata dengan pola elektroforesis kedelai. (Khodijah, 2003).

Berdasarkan hasil fraksinasi protein oleh Jasari (2003) diperoleh bahwa rasio antara 7S / 11S protein kacang komak berbeda nyata dengan rasio pada kedelai. Rasio pada komak sekitar 12-13 sedangkan kedelai sekitar 0.97–1.97. Hal ini disebabkan karena sedikitnya kandungan fraksi 11S pada protein kacang komak.

Berdasarkan hasil fraksinasi protein diatas dapat disimpulkan bahwa kandungan fraksi 7S pada kacang komak tidak berbeda nyata dengan kacang kedelai, sedangkan kandungan fraksi 11S pada kacang komak berbeda nyata dengan kedelai, yaitu kandungan pada komak jauh lebih sedikit. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa sifat fungsional yang dominan pada kacang komak adalah sifat pengemulsi namun kurang bagus dalam membentuk gel (Jasari, 2003).

2.3. KECAMBAH

Kecambah atau taoge adalah jenis sayuran hasil olahan dari kacang kedelai, kacang hijau, kacang tunggak, dan lain-lain. Kacang-kacangan tersebut dibuat bertunas dengan cara perendaman selama semalam lalu ditiriskan selama beberapa hari dalam satu wadah berlubang kemudian ditutup rapat (Novary, 1999).

Menurut Bewley dan Black (1983) germinasi biji adalah salah satu fase dalam proses pertumbuhan dari pembuahan sel telur menjadi tanaman tua. Proses germinasi dimulai dengan penyerapan air oleh biji (imbibisi) lalu hipokotil memanjang sehingga mendorong kotiledon ke permukaan dan muncul titik tumbuh lalu terjadi elongasi oleh sumbu embrio hingga muncul bulu akar. Tingkat awal dari perkecambahan biji adalah melibatkan pemecahan cadangan makanan pada biji dan digunakan untuk pertumbuhan akar dan batang (Taylorson, 1984).

Menurut Rubenstein et al. (1979) dijelaskan bahwa pada saat germinasi 12 jam pertama aktifitas biji lebih ke arah pertumbuhan, sedangkan pada 12 jam berikutnya aktifitas biji lebih ke arah fenolik. Hal ini dapat terjadi karena biosintesis senyawa fenolik berada pada jalur yang sama dengan biosintesis hormon pengatur pertumbuhan, yaitu auksin.

Aktifnya proses metabolisme dari respirasi pada awal perkecambahan tidak hanya menyangkut substrat respirasi glukosa di dalam embrio tetapi juga aktifitas dari enzim yang merupakan katalisator biologi yang penting. Enzim-enzim tersebut distimulir keberadaanya oleh adanya air yang membasahi embrio (Rubenstein et al., 1979).

Karbohidrat akan dirombak oleh enzim alfa-amilase dan beta-amilase menjadi dekstrin dan maltosa lalu dipecah lagi hingga menjadi gula sederhana seperti glukosa. Selama proses perkecambahan terjadi peningkatan kandungan glukosa dan fruktosa menjadi sepuluh kali lipat. Kadar sukrosa meningkat dua kali lipat (Andarwulan dan Hariyadi, 2005).

Biji-bijian mengandung sejumlah cadangan makanan berupa karbohidrat, protein dan lemak yang akan dipecah menjadi komponen-komponen pembangun selama proses germinasi untuk menyediakan energi dan menjadi substrat pada awal tahap pertumbuhan dan perkembangan. Umumnya karbohidrat menjadi komponen cadangan utama bahkan yang paling dominan pada biji-bijian (Ziegler, 1995). Menurut Taylorson (1984) kecambah banyak mengandung protein, kalsium, fosfor, dan Fe namun miskin sekali vitamin A dan vitamin C dengan kandungan energi berbeda-beda tergantung sumber kacangnya. Kandungan gizi kecambah komak dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Gizi Kecambah Kacang Komak

Komponen Kadar (% berat kering)

Air 12.95

Abu 3.83

Protein 28.55

Lemak 1.19

Karbohidrat 66.40

(22)

7 Protein juga mengalami perombakan selama perkecambahan menjadi asam amino. Asam amino yang mengalami kenaikan akibat perkecambahan adalah lisin sebesar 24%, threonin 19% dan fenilalanin 7%. Beberapa mineral juga dilepaskan dari ikatan kompleks menjadi bentuk yang lebih bebas. Dengan beberapa perombakan zat gizi komplek menjadi molekul yang lebih kecil dan bebas akan mempermudah saluran pencernaan dalam menyerap dan mencernanya (Winarno, 1997).

Menurut Martin-Cabrejas et al. (2008) germinasi telah diketahui sebagai proses yang tidak mahal dan teknologi yang efektif dalam meningkatkan kualitas kacang-kacangan dengan meningkatkan kemampuan daya cerna dan menurunkan komponen antinutrisi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (1983) tepung yang dibuat dari kecambah berumur 40 jam dengan pengukusan selama 15 menit memenuhi syarat sebagai bahan makanan anak balita karena mempunyai aktivitas antinutrisi yang sangat rendah.

2.4. TEPUNG

Kecambah yang dihasilkan tidak akan dapat bertahan lama jika dibiarkan begitu saja. Setelah beberapa hari akan mengalami pembusukan sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh manusia. Manfaat pembuatan tepung ini antara lain mudah dicampur dengan tepung lain untuk meningkatkan nilai gizinya dan mudah disimpan dan diolah menjadi makanan yang cepat dihidangkan.

Salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan tersebut adalah dengan cara pengeringan. Pengeringan pada pembuatan tepung bertujuan untuk menurunkan nilai aktivitas air (aw) sampai pada tingkat tertentu, dimana aktivitas mikroorganisme, reaksi kimia dan

biokimia yang terjadi ditekan seminimal mungkin sehingga produk menjadi lebih awet. Biasanya, semua khamir dan sebagian besar kapang rusak pada proses pengeringan tetapi spora bakteri, dan kapang, serta sel-sel vegetatif dari spesies bakteri tahan panas umumnya dapat bertahan.

Suhu yang digunakan untuk pengeringan pada pembuatan tepung harus sesuai agar senyawa gizi lain yang terdapat dalam kecambah tidak rusak. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan protein, case hardening, dan reaksi pencoklatan yang berlebihan. Case hardening adalah keadaan dimana permukaan bahan telah mengeras atau kering tetapi bagian dalamnya masih basah.

2.5

TEXTURIZED VEGETABLE PROTEIN

(TVP)

TVP adalah salah satu jenis produk daging tiruan yang memiliki kemiripan fungsional dengan daging dalam beberapa karakteristik seperti dalam tekstur, flavour atau warna. TVP dapat digolongkan sebagai produk pangan rekayasa protein yang dibuat untuk mendapatkan manfaat yang lebih baik daripada daging asli. Komposisi kimia TVP hasil ekstruksi dapat dilihat pada Tabel 6.

Menurut Horan (1974) manfaat yang diharapkan dari pembuatan TVP adalah peningkatan karakteristik gizi dan daya cerna, tidak membutuhkan kondisi penyimpanan yang sekompleks daging asli, memudahkan dalam pengolahan dan penyimpanan serta kualitas produk yang lebih baik. TVP yang selama ini diproduksi pada umumnya dibuat dari campuran tepung kedelai rendah lemak dan tepung terigu. Produk TVP kemudian diaplikasikan pada pembuatan sosis, daging cacah, hamburger, daging rendang, bakso serta dalam bentuk bacon dan bistik. Teknologi pembuatan TVP pertama kali dikembangkan di Amerika sekitar tahun 1970.

Bahan-bahan lain yang ditambahkan dalam proses pembuatan TVP adalah bahan-bahan yang berfungsi untuk mempertinggi nilai nutrisi, penampakan, serta sifat fungsional protein lainnya. Bahan tambahan lain yan ditambahkan adalah pewarna, pemberi flavour, vitamin, mineral, dan protein. Penambahan bahan-bahan seperti pembentuk tekstur dan flavour sangat penting karena masalah yang dihadapi dalam produk daging tiruan adalah penerimaan konsumen yang rendah. (Hartman, 1996). Penambahan bahan penolong tersebut akan memnbentuk tekstur dan flavour produk akhir yang dapat diterima oleh konsumen.

(23)

8 Tabel 6. Komposisi kimia TVP berbahan tepng kedelai rendah lemak dan tepung

gluten hasil ekstruksi

Komponen Jumlah (%)

Protein (N x 6,25) 50

Air 8

Abu 6

Serat 3

Lemak 1

Karbohidrat (by Difference) 32 Sumber : Sarkki (1980)

2.5. GLUTEN

Penggunaan tepung dari jenis kacang-kacangan seperti kacang komak sebagai bahan tunggal dalam proses ekstrusi akan menghasilkan produk yang kurang mengembang serta sifat fungsional yang diharapkan tidak sanggup menyerupai daging asli. Menurut McAllister dan Finucane (1963) perlu digunakan bahan campuran untuk membantu pengembangan dan menaikkan kandungan produk ekstrusi. Bahan lain yang dicampurkan adalah gluten dari tepung terigu. Pengunaan gluten dari tepung terigu diharapkan akan memudahkan proses ekstrusi.

Gluten adalah salah satu komponen yang terkandung dalam tepung terigu, yaitu berupa protein glutenin dan gliadin dan jika bereaksi dengan air akan membentuk massa yang elastis dan ekstensibel. Massa tersebut akan memerangkap udara sehingga adonan akan mengembang. Hasil dari adonan yang mengembang tersebut adalah terbentuknya tekstur yang lembut dan elastis (Subarna, 1993).

Kelebihan yang didapatkan dengan menggunakan gluten dalam pembuatan TVP adalah membantu terbentuknya tekstur dan kekenyalan sepeti pada daging, memperbaiki karakteristik TVP pada saat pengirisan, meminimumkan kehilangan berat selama proses pemasakan, pengolahan dan persiapan (Magnuson, 1985). Kelebihan lainnya adalah menambah kandungan protein serta flavour alami yang terdapat pada gluten dapat memperbaiki hasil akhir sehingga dapat lebih diterima oleh konsumen.

Pembuatan tepung gluten dari tepung terigu dibuat dengan teknik pencucian dibawah air yang mengalir hingga seluruh pati dan mineral larut dengan air sehingga terpisah dari massa gluten. Gluten yang diperoleh terdiri dari 2/3 bagian adalah air dan 1/3 bagian berupa bahan kering. Gluten dalam keadaan kering mengandung 75–85 persen protein dan 5–10 persen lemak serta sebagian kecil mineral (Sarkki, 1980). Variasi komposisi kimia gluten sangat tergantung dari jenis gandum dan cara pencucian. Komposisi kimia Gluten dapat dilihat dalam Tabel 7.

Tabel 7 .Komposisi kimia gluten

Komponen Jumlah (%)

Karbohidrat 75

Protein 6

Lemak 15

Abu 0.8

Air 3.2

(24)

9

2.6. TEKNIK EKSTRUSI

Teknik ekstruksi dalam pengolahan bahan pangan adalah suatu teknik pemasakan bahan mengalir dibawah pengaruh kondisi operasi seperti pencampuran, pemanasan, dan pemotongan melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstruksi yang bergelembung kering (puff dry) dalam waku yang singkat (Muchtadi et al., 1988).

Poses ekstruksi dengan suhu tinggi (pemasakan) akan membuat bahan yang berpati atau berprotein tinggi akan mengalami pemasakan sehingga menjadi adonan yang bersifat plastis. Kombinasi dari pemanasan, tekanan tinggi dan gesekan mekanis dalam proses ekstruksi akan menimbulkan gelatinisasi pati, denaturasi protein dan proses restrukturisasi (Matz, 1984). Pemasakan dalam proses ekstruksi juga akan membentuk tekstur, mouthfeel, hidrasi, dan mengurangi efek growth inhibitor dan zat antinutrisi pada bahan yang terbuat dari nabati (Ben-Gera et al., 1981).

Menurut Smith (1981) keuntungan yang diharapkan dengan menggunakan metode ekstruksi antara lain produktifitas tinggi, biaya produksi yang relatif rendah, bentuk produk dapat lebih bervariasi, serta mutu produk yang tinggi karena diproses menggunakan suhu tinggi dengan waktu relatif singkat (HTST) sehingga mengurangi kerusakan nutrisi.

Penerapan suhu tinggi dengan waktu yang relatif singkat menurut beberapa penelitian dapat meminimalisir kerusakan zat-zat gizi seperti protein dan vitamin, namun mampu merusak senyawa toksik dan antinutrisi yang terdapat dalam bahan nabati seperti hemaglutinin, gosipol dan antitripsin secara maksimal serta mampu memusnahkan bakteri, larva, dan organisme lain (Muchtadi et al., 1988).

Ekstruder adalah alat utama yang digunakan dalam proses ekstruksi. Fungsi dari ekstruder menurut Muchtadi et al. (1988) adalah untuk gelatinisasi, pemotongan molekular, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, penembanan dan pengeringan. Kombinasi dari berbagai fungsi tersebut merupakan hal yang tidak dapat saling dipisahkan dalam proses ekstruksi. Ekstruder yang digunakan dalam pembuatan TVP adalah ekstruder berulir ganda. Ekstruder berulir ganda tersebut dapat mencapai suhu 150-200oC (Gutcho, 1977). Proses ektruksi thermoplastis melibatkan pencampuran bahan yang mengandung protein, air, flavour agent, serta bahan aditif lain kemudian memasukkan adonan yang terbentuk ke dalam feeder ekstruder. Di dalam ekstruder Adonan diberi tekanan dan pemanasan hingga adonan keluar dari cetakan (die) dalam bentuk mengembang sehingga membentuk tekstur berserat yang mirip daging (Gutcho, 1977).

Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses ekstrusi menggunakan suhu tinggi adalah gelatinisaasi pati, denaturasi protein, Pembentukan kompleks antara amilosa dan asam oleat yang akan merubah tekstur, rasa dan aroma produk (Muchtadi et al., 1988).

2.7. BAKSO

Bakso merupakan makanan populer dan merupakan salah satu produk olahan daging yang dikonsumsi oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Oleh karena harga daging yang relatif mahal maka perlu penggunaan bahan pengisi dari bahan-bahan berpati, namun pemakaian pati pada pembuatan bakso sangat dibatasi karena dapat mempengaruhi karakteristik bakso yang mengurangi kualitas bakso tersebut. Dengan demikian perlu dicari bahan lain yang dapat mengurangi pemakaian daging.

Alternatif penggunaan TVP sebagai pengganti daging akhir-akhir ini sedang berkembang. TVP telah diaplikasikan pada produk daging olahan seperti sosis, hamburger, dan sebagai toping daging. Penggunaan TVP mensubtitusi daging berpotensi diaplikasikan pada bakso karena kadar proteinnya yang tinggi serta sifat-sifat fisikokimianya seperti daya serap air, minyak dan emulsi.

Definisi bakso daging menurut SNI 01-3818-1995 adalah makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran daging ternak dan pati atau serelia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Hasil survey yang dilakukan oleh Pandisurya (1983) menyebutkan bahwa karakteristik bakso sapi yang disukai konsumen adalah yang rasanya gurih dengan rasa daging yang kuat, agak asin, berwarna abu-abu pucat atau muda beraroma daging rebus, teksturnya empuk dan agak kenyal, berbentuk bulat dengan ukuran sedang (diameter 3-5 cm).

(25)

10 (1984) penghancuran daging bertujuan untuk memecahkan dinding sel serabut otot daging sehingga protein larut garam (aktin dan miosin) terekstrak keluar. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan cara mencacah atau menggiling sampai lumat atau halus (chopping) (Wilson et al., 1981).

Pembentukan adonan dapat dilakukan dengan mencampurkan seluruh bahan kemudian menghancurkannya sehingga membentuk suatu adonan kemudian mencampurkannya dengan seluruh bahan lainnya (Wilson et al., 1981). Pencetakan bakso umumnya dilakukan dengan cara membentuk adonan menjadi bulatan-bulatan sebesar kelereng atau lebih besar dengan menggunakan tangan (Tarwotjo et al., 1971). Pemasakan bakso umumnya dilakukan dengan merebusnya dalam air mendidih (Tarwotjo et al., 1971). Bakso dikatakan matang atau masak apabila telah mengapung dalam air mendidih.

Tabel 8. SNI Bakso (SNI 01–3818–1995)

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan :

1.2 Bau - Normal khas daging

1.3 Rasa - Gurih

1.4 Warna - Normal

1.5 Tekstur - Kenyal

2 Air % b/b Maks. 70%

3 Abu % b/b Maks.3%

4 Protein % b/b Min. 9%

5 Lemak % b/b Maks. 2%

6 Boraks - Tidak boleh ada

7 Bahan Tambahan Makanan SNI

01-0222-1995 8 Cemaran Logam :

8.1 Timbal (Pb) mg/ kg Maks. 2

8.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20.0

8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40.0

8.4 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40.0

8.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.03

(26)

11

1II. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. BAHAN PENELITIAN

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.1.1.

Pembuatan tepung kacang dan kecambah komak

Bahan baku yang digunakan adalah kacang komak yang berasal dari petani di Probolinggo, Jawa Timur. Kacang komak tersebut dibuat kecambah dengan proses germinasi. Setelah menjadi kecambah kemudian dilakukan proses penepungan hingga diperoleh tepung kecambah kacang komak. Disamping itu juga dibuat tepung kacang komak sebagai kontrol.

3.1.2.

Pembuatan THP

Bahan campuran yang digunakan adalah tepung kecambah atau kacang komak dengan tepung gluten dari tepung terigu lalu ditambah bahan pengikat, pencita rasa dan pengatur tekstur. Sebagai bahan pengikat digunakan tepung tapioka, Bahan pemberi citarasa terdiri dari garam, tepung bawang putih, flavor daging, dan untuk pengatur tekstur digunakan Kalsium Klorida (CaCl2).

3.1.3.

Bakso Subtitusi THP

Bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatan bakso adalah daging sapi, tapioka, garam, MSG, STPP, bawang putih giling, bawang merah goreng, merica bubuk, lada bubuk, dan es batu. Kemudian komposisi daging disubtitusi sebagian oleh THP.

3.1.4.

Analisis

Analisis dilakukan dua tahap yaitu analisis THP dan analisis bakso. Bahan untuk analisis THP adalah K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, H3BO3, indikator metil biru, pelarut

heksana, HCl 37%. Bahan yang digunakan pada analisis selanjutnya hampir sama dengan analisis pada THP.

3.2. ALAT PENELITIAN

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikiut :

3.2.1.

Pembuatan tepung kacang dan kecambah komak

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung kecambah kacang komak adalah keranjang, nampah, disc mill, oven pengering, saringan 60 mesh.

3.2.2.

Pembuatan THP

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan THP adalah blender kering, wadah, neraca, mixer, oven pengering. Ekstruder yang digunakan adalah Ekstruder ulir ganda Berto yang terdapat di Techno Park, IPB Dramaga.

3.2.3.

Bakso

Alat-alat utama yang digunakan pada pembuatan bakso antara lain grinder, meat cutter dan blender, sedangkan alat tambahan lainnya adalah pisau, talenan, panci, serta alat penggorengan lainnya yang dipakai unruk perebusan bakso.

3.2.4.

Analisa
(27)

12

3.3. METODE PENELITIAN

Gambar 3. Diagram alir pembuatan THP Kacang komak

dikecambahkan + NaHCODirebus 30 menit

3.1gr/100gr

kacang

Kecambah komak komak rebus

Dikukus 15 menit dengan steam jacket

Dikeringkan dengan oven pengering 600C selama ± 6 jam

Ditepungkan dengan pin disc mill 60 mesh

Formulasi tepung komak + gluten 90:10 (F1) dan 75:25 (F2)

Ekstruksi dengan twin screw ekstruder suhu akhir 1300C dan speed 240 rpm

THP

(28)

13 Gambar 4. Diagram alir pembuatan bakso subtitusi THP

THP

Pengecilan ukuran dengan hammer mill

Rehidrasi (THP : air = 1:2) selama 3 jam di dalam rerigator

formulasi antara daging : THP 50:20 (A), 40:30 (B) dan 30:40 (C)

Digiling dengan meat grinder hingga kalis + es batu dan garam

Dimasukkan pati,telur ,STPP dan bumbu

Digiling dengan meat grinder hingga kalis

Adonan dibentuk bulat-bulat dengan tangan

Direndam dalam air 600C+ tawas 1 gr/1 lt air hingga mengembang dan mengambang

Direbus dalam air matang ± 10 menit

Ditiris dan diangin-anginkan hingga kering

(29)

14

3.3.1. Pembuatan Tepung kacang dan kecambah komak (Anita. 2009)

Penelitian ini dimulai dengan pembuatan kecambah kacang komak. Kacang komak disortasi terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran dan benda-benda asing. Selanjutnya kacang direndam di dalam air hangat ± 500C selama 12 jam dengan perbandingan kacang : air hangat = 1:3. Setelah itu kacang komak ditiriskan lalu dicuci dengan air bersih dan ditiriskan kembali. Kemudian disiapkan tempat untuk germinasi yaitu keranjang-keranjang plastik yang dialasi daun pisang kemudian ditutup koran dan diletakkan di ruang gelap. Proses germninasi membutuhkan waktu yang optimum selama 40 jam.

Sebagai kontrol digunakan kacang yang dibuat dengan cara disortasi lalu direbus selama 30 menit dengan penambahan NaHCO3.1gr/100gr. Setelah agak dingin lalu dicuci dan dikupas

kulitnya.

Kecambah dan kacang komak kemudian dikukus selama 15 menit lalu dikeringkan menggunakan oven pengering bersuhu 700C selama 6 jam sampai bisa dipatahkan. Kecambah dan kacang yang telah kering lalu digiling dengan pin disc mill dengan ayakan 60 mesh.

3.3.2.

Pembuatan THP (Modifikasi Irawan, 2001)

Penelitian selanjutnya adalah akan mempelajari pengaruh antara perbandingan formulasi antara tepung kecambah dengan gluten. THP ini dibuat dengan melakukan pencampuran antara tepung komak (kecambah atau kacang komak) dan gluten dengan perbandingan, yaitu: F1 = 90:10 dan F2 = 75:25, selanjutnya diberi penambahan bahan-bahan lainnya (flavor agent dan air). Bahan tersebut kemudian diekstruksi pada suhu yang terpilih dari perlakuan suhu yang ada, yaitu pada suhu 1100C, 1300C, dan 1500C dengan speed screw 240 rpm. Bahan kemudian ditampung dan keringkan.

3.3.3. Pembuatan Bakso Subtitusi THP (Modifikasi Syamsir

et al

., 2009)

THP yang telah dioptimasi tersebut kemudian digunakan sebagai salah satu bahan dasar pada pembuatan bakso. Formulasi subtitusi daging dengan THP yang digunakan adalah 20, 30 dan 40% daging. Bahan-bahan tambahan lain yang diperlukan, yaitu daging sapi, tapioka, garam, MSG, STPP, bawang putih giling, bawang merah goreng giling, merica bubuk, lada bubuk, dan es batu. Komposisi bumbu dan bahan tambahan pangan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 9 di bawah ini.

Tabel 9. Komposisi bumbu dan bahan tambahan pangan pada pembuatan bakso basis 500 gram

Bahan Berat (gram)

Telur ayam (1 butir0 45

Bawang merah giling 25

Bawang putih giling 25

Merica bubuk 3.5

Msg 5

Garam 10

Lada 5

STPP (0,3% basis) 1.5

(30)

15

3.3.4. Analisis kimia pada THP dan Bakso

3.3.4.1.

Kadar Air (Apriyantono

et al.,

1989)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Timbang cawan dengan neraca analitik (a gram). Ditimbang sampel dengan neraca analitik sebanyak 5 gram (b gram). Dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC selama kurang lebih 6 jam, didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (c gram). Dikeringkan kembali dalam oven selama 15-30 menit, lalu ditimbang kembali. Pengeringan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan (berat dianggap konstan jika selisih berat sampel kering yang ditimbang ≤ 0.0003 gram).

Keterangan : b = bobot sampel (g)

c = bobot sampel dan cawan sesudah dikeringkan (g)

a = bobot cawan kosong (g)

3.3.4.2.

Kadar Protein (Apriyantono

et al.,

1989)

Sampel sebanyak 0.1 gram dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 2.0 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4 pekat. Setelah itu

didestruksi sampai cairan berwarna hijau jernih. Dibiarkan sampai dingin, lalu ditambahkan sedikit air suling dan 8-10 ml NaOH-Na2S2O3 pekat sampai warna

coklat kehitaman, lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml H3BO3 dan indikator merah metil serta metil biru, lalu dititrasi dengan

HCl 0.02 N hingga titik akhir.

3.3.4.3.

Kadar Abu (Apriyantono

et al.,

1989)

Sampel ditimbang 2.0-3.0 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dipanaskan dalam oven selama 30 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 °C selama 4-5 jam. Sampel lalu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Pengabuan diulangi hingga diperoleh berat sampel yang relatif konstan

(berat dianggap konstan jika selish berat sampel kering yang ditimbang ≤ 0.0003

gram).

Kadar air (basis basah) = b – (c-a) x 100 % b

% N = (ml sampel - ml blanko) x N HCl x 14.007x 100 %

berat sampel basis kering (mg) % Protein = % N x 5.71

Nilai 6,25 = untuk bahan campuran

(31)

16

3.3.4.4.

Kadar Lemak (AOAC, 1984)

Labu lemak yang akan digunakan dalam alat ekstraksi soxhlet dikeringkan di dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator kemudian ditimbang. Timbang 2 gr sampel di dalam gelas piala, ditambahkan 30 ml HCl 25% dan 20 ml air serta beberapa batu didih. Ditutup gelas piala yang dengan gelas arloji dan dididihkan selama 15 menit (larutan sampel). Saring larutan sampel dengan kertas saring dalam keadaan panas dan dicuci dengan air panas hingga tidak bereaksi asam lagi.

Kertas saring yang digunakan untuk menyaring larutan sampel dikeringkan berikut isinya pada suhu 100-105oC (kertas saring sampel). Dimasukan kertas saring sampel ke dalam kertas pembungkus sampel yang telah dilengkapi kapas dibagian ujungnya kemudian dibentuk menjadi bentuk tabung (timbel). Timbel tersebut diekstrak dengan heksana selama 2-3 jam pada suhu kurang lebih 80oC. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu 100-105°C. Setelah itu didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang.

3.3.4.5.

Kadar Karbohidrat (

by difference

)

3.3.4.6.

Kadar Serat Kasar

(AOAC, 1995)

Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 300 ml, tambahkan 100 ml H2SO4 0.325 N, hidrolisis di dalam otoklaf 105oC selama 15 menit.

Bahan didinginkan, tambahkan 50 ml NaOH 1.25 N, dan hidrolisis kembali. Bahan disaring dengan menggunakan kertas saring yang telah dikeringkan, dicuci dengan air panas dan 25 ml H2SO4 0.325 N. Residu dan kertas saring dikeringkan dalam oven

110oC sekitar 1–2 jam.

Keterangan :

A = Bobot residu dalam kertas saring yang telah dikeringkan (g) B = Bobot kertas saring kosong (g)

W = Bobot sampel (g)

3.3.5.

Analisis Fisiko-kimia pada THP dan Bakso

3.3.5.1.

Daya Serap Air (WHC) (Widowati

et al

., 1998)

Sebanyak 1 g sampel dan 10 ml air destilata dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian divortex selama dua menit. Campuran kemudian didiamkan selama satu jam pada suhu ruang, kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 25 menit. Filtrat dipisahkan secara hati-hati dan sampel basah diletakkan terbalik di dalam oven pada suhu 45oC selama 30 menit kemudian ditimbang. Perbedaan antara bobot basah dan bobot awal adalah air yang terserap untuk setiap gram sampel.

% lemak = (berat lemak+labu) – bobot labu x 100 % berat sampel

Kadar karbohidrat (%) = 100 % - % ( kadar protein + lemak + air + abu)

(32)

17

3.3.5.2.

Daya Serap Minyak (OHC) (Widowati

et al

., 1998)

Sebanyak 0.5 g ditambah 3 ml miyak jagung. Campuran divortex selama dua menit kemudian didiamkan pada suhu kamar lalu disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 25 menit sehingga volume minyak bebas dapat dibaca.

3.3.5.3.

Densitas (ASTM, 1984)

Sebanyak satu gram sampel dimassukkan ke dalam gelas ukur lalu dipadatkan dengan cara diketuk-ketukkan. Cata volume yang terukur lalu densitas dihitung dengan persamaan :

3.3.5.4.

Kapasitas Emulsi (Neto

et al.,

2007)

Sebanyak 2 g sampel ditambah 100 ml air kemudian diatur pH 8. Sampel diaduk dengan magnetic stirer selama 5 menit. Sebanyak 25 ml sampel ditambah 25 ml minyak jagung. Campuran didispersikan dengan blender selama 1 menit, kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit sehingga volume emulsi dapat diukur.

3.3.6.

Analisis Fisik THP

3.3.6.1.

Derajat Pengembangan (Linko

et al

., 1981)

Rasio pengembangan produk dihitung berdasarkan perbandingan diameter produk dengan diameter cetakan mesin Twin Ekstruder

Daya Serap Air (%) = berat air terserap x BJ air x100% berat sampel

Daya Serap minyak (%) = berat minyak terserap x BJ minyak x100% berat sampel

Densitas = berat sampel Volume wadah

Kapasitas Emulsi (%) = volume campuran teremulsi x 100% volume total campuran

(33)

18

3.3.6.2.

Elastisitas (Yung, 1995)

Pengukuran elastisitas menggukan alat Rheoner RE-3305 dengan model operasi yang digunakan adalah pengukuran tekstur. Bahan yang akan diukur terlebih dahulu dipotong dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 1 cm. Sampel kemudian ditekan sebanyak dua kali derngan mengatur tombol pengatur jumlah penekanan. Parameter-parameter yang digunakan adalah sebagai berikiut : (1) Kecepatan meja sampel sebesar 1 mm/detik, (2) tekanan pada sampel diatur samapai kedalaman mencapai 2 mm, (3) plunger yang digunakan adalah nomor 2 untuk bagian atas dan nomor 112 untuk meja sampel. Kemudian elastisitas sampel dinyatakan dengan rumus :

3.3.7.

Uji Organoleptik (Watts, 1989)

Analisis sensori adalah suatu multidisiplin ilmu yang menggunakan panelis manusia sebagai alat ukur yaitu berupa alat indera manusia seperti penglihatan, penciuman, rasa, sentuhan dan pendengaran untuk mengukur karakter sensori dan penerimaan dari produk makanan. Metode uji sensori yang digunakan adalah uji afektif (hedonik). Uji ini bertujuan untuk memberi penilaian subyektif dalam hal kesukaan terhadap suatu produk pangan. Penilaian terdiri dari rasa, aroma, warna, tekstur dan overall (keseluruhan). Skala yang digunakan adalah skala kategori 7-point dengan jumlah panelis tidak terlatih minimal 30 orang.

Uji sensori dilakukan sebanyak dua tahap pada produk bakso, yaitu tahap pertama adalah penentuan formula terbaik dari tiap jenis THP pada bakso dengan metode rating hedonik terdiri dari parameter rasa, aroma, warna, tekstur dan keseluruhasn (overall), kemudian tahap kedua yaitu formula terbaik dari dua jenis THP dibandingkan dengan kontrol berupa bakso subtitusi TSP dan bakso daging sapi tanpa subtitusi dengan metode rating seperti tahap pertama ditambah dengan metode rangking hedonik secara keseluruhan (overall) untuk melihat sejauh mana konsumen membandingkan bakso subtitusi dengan bakso yang biasa dikonsumsi (bakso daging sapi). Selanjutnya data diolah dengan metode statistik untuk melihat tingkat perbedaannya.

3.3.8.

Analisis Profil Tekstur dengan

Texture Profile Analyzer

(Modifikasi

Riyanti, 2008)

Gambar

Tabel 10. Setting alat TPA untuk produk bakso
gambar 5.
Gambar 8. Berto Twin Screw Ekstruder
Gambar 9. Gambar THP
+7

Referensi

Dokumen terkait