• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Jalur Hijau untuk Mengurangi Polusi Partikel Akibat Aktivitas Transportasi pada Simpang Susun Cawang, Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Jalur Hijau untuk Mengurangi Polusi Partikel Akibat Aktivitas Transportasi pada Simpang Susun Cawang, Jakarta Timur"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN JALUR HIJAU UNTUK MENGURANGI

POLUSI PARTIKEL AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI

PADA SIMPANG SUSUN CAWANG, JAKARTA TIMUR

ALHAMADI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Jalur Hijau untuk Mengurangi Polusi Partikel Akibat Aktivitas Transportasi pada Simpang Susun Cawang, Jakarta Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ALHAMADI. Perencanaan Jalur Hijau untuk Mengurangi Polusi Partikel Akibat Aktivitas Transportasi pada Simpang Susun Cawang, Jakarta Timur. Dibimbing oleh NIZAR NASRULLAH.

Aktivitas transportasi yang berlangsung di lingkungan jalan semakin meningkat dan menimbulkan dampak negatif berupa polusi. Untuk mengatasi kondisi ini, salah satu solusi yang dapat digunakan adalah pendekatan ruang terbuka hijau, yaitu jalur hijau jalan. Jalur hijau jalan dapat mengurangi polusi yang dihasilkan di lingkungan jalan dan area di sekitanya. Lokasi penelitian ini adalah simpang susun Cawang, Jakarta Timur. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengukur jumlah debu yang dijerap oleh jalur hijau pada simpang susun Cawang dan 2) menyusun rencana penanaman vegetasi jalur hijau simpang susun Cawang. Proses penelitian ini mencakup beberapa tahap, yaitu pendahuluan, riset, analisis, dan sintesis. Selain itu, metode gravimetri juga digunakan untuk mengukur kapasitas jalur hijau dalam menjerap partikel debu. Penelitian ini menunjukkan bahwa spesies beringin (Ficus benjamina) memiliki kapasitas jerapan debu tertinggi dibandingkan dengan tanjung (Mimusoph elengi), glodogan bulat (Polyalthia fragrans), dan bintaro (Cerbera manghas). Oleh karena itu, dalam penyusunan rencana penanaman vegetasi untuk mengurangi polusi partikel, pertimbangan mengenai jenis spesies, jumlah, dan penempatan vegetasi di dalam tapak penting dilakukan. Hasil akhir penelitian ini berupa rencana penanaman jalur hijau simpang susun Cawang.

Kata kunci: simpang susun Cawang, jalur hijau, rencana penanaman, polusi

ABSTRACT

ALHAMADI. Planning of Streetside Greenery to Reduce Particles Emitted by Transportation Activities in Cawang Interchange, East Jakarta. Supervised by NIZAR NASRULLAH.

Transportation activities on the street is on the increase and causing negative impact namely pollution. To overcome this under ideal condition, an approach that can be used as one of the solutions is green spaces such as greenery. Greenery of streetside can decrease pollution on its surrounding areas. The location of this research was Cawang interchange, East Jakarta. There were two objectives which were provided by the research: 1) to measure dust that was adsorbed by the greenery ofCawang interchange and 2) to arrange a planting plan of Cawang interchange greenery. The process of this research consist of several phases e.g. commission, research, analysis, and synthesis. Otherwise, gravimetry method was used to found the full measure of greenery capacity in adsorbing particles (dust). This research showed that Ficus benjamina was the species which has the highest capacity in adsorbing dust beside other three sample species (Mimusoph elengi, Cerbera manghas, and Polyalthia fragrans). Therefore, it was important to consider sort of species, number, and location pattern of the greenery in arranging the planting plan to reduce particles. The output of this research was planting plan of Cawang interchange greenery.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Arsitektur Lanskap

PERENCANAAN JALUR HIJAU UNTUK MENGURANGI

POLUSI PARTIKEL AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI

PADA SIMPANG SUSUN CAWANG, JAKARTA TIMUR

ALHAMADI

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

Judul Skripsi : Perencanaan Jalur Hijau untuk Mengurangi Polusi Partikel Akibat Aktivitas Transportasi pada Simpang Susun Cawang, Jakarta Timur Nama : Alhamadi

NIM : A44080064

Disetujui oleh

Dr Ir Nizar Nasrullah, MAgr Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Nurisjah, MSLA Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan nikmat serta karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilakukan sejak bulan Oktober 2012 ini adalah jalur hijau, dengan judul Perencanaan Jalur Hijau untuk Mengurangi Polusi Partikel Akibat Aktivitas Transportasi pada Simpang Susun Cawang, Jakarta Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan koreksi yang sangat berguna. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Kiman, Bapak Dede A, Bapak Subiarto, dan Ibu Dedeh dari PT. Jasa Marga (Persero), Bapak Heri Prabowo, Bapak Mahdiar, dan Bapak Ali Abasyah dari PT. Citra Marga Nushapala Persada (Persero) Tbk yang telah membantu selama pengumpulan data. Selain itu, terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ismiyanti yang bertanggung jawab selama penggunaan laboratorium Spektrophotometry Departemen Agronomi dan Hortikultura. Tidak lupa ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah (Djuhasan), ibu (Mainah), kakak (Nurliah, Neni, dan Deniati), dan seluruh keluarga atas do’a dan dukungan moril yang diberikan. Selanjutnya, terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Indung Sitti Fatimah, MSi atas motivasinya serta teman-teman program studi Arsitektur Lanskap angkatan 45 yang telah bekerja sama membantu, memberikan semangat, dan atas kebersamaannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat khususnya bagi pembaca yang menekuni bidang arsitektur lanskap.

(10)

DAFTAR ISI

Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Tol 4

Simpang Susun (Interchange) 5

Pencemaran (Polusi) 6

Jalur Hijau Jalan 8

Jalur Hijau Jalan sebagai Pereduksi Polusi 9

Perencanaan Jalur Hijau Jalan 10

Perencanaan Jalur Hijau Simpang SusunCawang 42

(11)

DAFTAR TABEL

1 Parameter dan baku mutu udara ambien nasional 8 2 Baku mutu kebisingan sesuai peruntukan kawasan 8 3 Jenis, tipe, sumber, dan sifat analisis data 14 4 Kategori, bentuk tajuk, dan fungsi vegetasi sampel 16

5 Data iklim wilayah Cawang tahun 2011 21

6 Volume kendaraan di simpang susunCawang tahun 2011 24 7 Kualitas udara rata-rata tahun 2011 pada KM 00+400 tol Cawang 25 8 Intensitas kebisingan rata-rata tahun 2011 pada KM 00+400 tol

Cawang 25

9 Jenis vegetasidan persebarannya di kawasan simpang susuncawang 27 10 Rata-rata berat debu dan luas daun per pengamatan 29

11 Kapasitas jerapan debu per pengamatan 29

12 Kapasitas jerapan debu per hari 29

13 Kapasitas jerapan debu per tanaman per hari 30 14 Rata-rata emisi berdasarkan jenis bahan bakar kendaraan 30 15 Lintas harian rata-rata kendaraan pada simpang susunCawang 30 16 Jumlah emisi partikel debu per hari simpang susunCawang 31 17 Nilai APTI beberapa spesies vegetasi evergreen 38 18 Jumlah vegetasi yang dibutuhkan berdasarakan persentase jerapan

debu dan kapasitas jerapan debu per hari 39

19 Emisi debu terjerap dan persentasenya terhadap total emisi per hari 40

20 Rencana vegetasi pada simpang susun Cawang 48

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir perencanaan 2

2 Tipe-tipe simpang Susun 6

3 Peta lokasi penelitian 12

4 Proses perencanaan tapak 13

5 Sampel daun empat spesies pohon: (a) beringin (Ficus benjamina), (b) tanjung (Mimusoph elengi), (c) glodogan bulat (Polyalthia fragrans), dan (d) bintaro (Cerbera manghas) 15

6 Gelas beker kosong yang ditimbang 16

7 Gelas beker yang diisi air (destilata) 16

8 Sampel daun dicuci menggunakan kuas 16

9 (a) Hasil cucian daun dan (b) pengovenan hasil cucian daun 17

10 Hasil cucian daun setelah dioven 17

11 Kertas ukuran 10 cm x 10 cm yang ditimbang 17

12 (a) Model daun dan (b) model daun yang ditimbang 17

13 Lokasi simpang susunCawang 19

(12)

15 Kondisi sistem drainase simpang susun Cawang 22

16 Peta tutupan lahan 22

17 Kondisi lalu lintas pada siang hari 24

18 Peta vegetasi eksisting 27

19 Vegetasi eksisting simpang susun Cawang 28

20 Peta analisis kemiringan lahan 33

21 Rencana blok (Block plan) 41

22 Rencana penanaman (Planting plan) 43

23 Detail plan 1 44

24 Detail plan 2 45

25 Detail plan 3 46

26 Detail plan 4 47

27 Ilustrasi penanaman vegetasi penyangga 50

28 Ilustrasi penanaman vegetasi identitas 51

29 Ilustrasi penanaman vegetasi pengarah 53

28 Ilustrasi penanaman cushion planting dan clear zone planting 54

29 Ilustrasi penanaman vegetasi estetika 55

DAFTAR LAMPIRAN

1 Berat debu dan luas daun spesies tanaman pada empat pengamatan 59 2 Perhitungan kebutuhan lahan apabila vegetasi yang direncanakan

adalah empat spesies sampel 60

(13)
(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini, berbagai isu mengenai lingkungan telah mencuat sebagai isu-isu global. Pemanasan global dan perubahan iklim merupakan dua isu lingkungan yang mulai mendapatkan perhatian lebih di kalangan masyarakat dunia. Pemanasan global dan perubahan iklim disebabkan oleh berbagai faktor yang saling terkait, antara lain pertumbuhan populasi manusia yang pada akhirnya menyebabkan meningkatnya ruang terbangun dan berkurangnya jumlah ruang terbuka hijau (RTH), kebakaran hutan, bertambahnya industri, dan permasalahan transportasi. Dalam hal transportasi, pemanasan global dan perubahan iklim lebih disebabkan oleh adanya aktivitas transportasi yang terus meningkat, khususnya yang berkaitan dengan jalur transportasi darat. Jenis jalur transportasi darat yang dimaksud misalnya jalan sebagai salah satu jenis yang paling umum ditemui.

Keberadaan jalan sebagai sarana transportasi kendaraan bermotor berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Jumlah kendaraan dan penggunaan bahan bakar semakin tinggi. Hal ini berdampak pada dihasilkannya emisi akibat adanya proses pembakaran tidak sempurna pada kendaraan yang digunakan. Hasil pembakaran tidak sempurna ini kemudian dilepaskan ke udara dalam bentuk senyawa pencemar. Akibatnya, polusi udara meningkat yang menyebabkan penurunan kualitas udara. Penurunan kualitas udara merupakan indikator menurunnya kualitas lingkungan yang berdampak cukup signifikan terhadap penurunan derajat kesehatan pengguna jalan, petugas jalan, dan masyarakat yang bermukim di sekitar jalan (PT. Jasa Marga Cabang CTC 2011).

Simpang susun Cawang sebagai bagian dari lanskap jalan di kota Jakarta juga tidak terlepas dari adanya dampak negatif berupa polusi, sehingga diperlukan komponen ruang terbuka hijau (RTH) berupa jalur hijau jalan. Berdasarkan Menteri PU (2012), fungsi jalur hijau jalan selain sebagai pereduksi polusi yaitu sebagai pengarah, penghalau silau, pembatas pandang, estetika, penahan benturan, pencegah erosi, penyedia habitat satwa, pemecah angin, dan pengalih parkir ilegal. Pada simpang susun, jalur hijau berfungsi untuk menyangga, mengarahkan, memberi identitas lokasi, dan meningkatkan keamanan dan keselamatan pengendara (tata hijau clear zone dan cushion planting). Oleh karena itu, perencanaan jalur hijau simpang susun Cawang untuk mengurangi partikel tetap harus mempertimbangkan fungsi penting lainnya yang harus dihadirkan pada simpang susun. Penataan jalur hijau simpang susun Cawang dalam upaya mengurangi polusi partikel, membutuhkan kriteria vegetasi berupa jenis, jumlah, dan pola penempatan tertentu di dalam tapak, sehingga akan dihasilkan sebuah penataan yang baik.

Tujuan

(15)

2

meningkatkan keselamatan, menonjolkan identitas, dan memberikan keindahan pada simpang susunCawang, Jakarta Timur.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis. Hasil penelitian berupa rencana penanaman jalur hijau dapat dijadikan sebagai usulan bagi pengelola dalam rangka mengurangi polusi pada simpang susun Cawang khususnya polusi partikel. Selain itu, dapat pula dijadikan sebagai referensi dan bahan pengetahuan dalam perencanaan penataan/penanaman jalur hijau simpang susun secara umum bagi instansi terkait, perencana, dan akademisi.

Kerangka Pikir

Proses berfikir dalam penelitian ini ditampilkan pada Gambar 1.

(16)

3

Perencanaan jalur hijau simpang susun Cawang, Jakarta Timur dilakukan karena simpang susun Cawang merupakan jalur transportasi dengan aktivitas transportasi tinggi yang letaknya berdekatan dengan kawasan lain seperti kompleks kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI), perumahan, pemukiman, dan perkantoran. Hal ini menyebabkan dihasilkannya dampak negatif yaitu polusi udara (emisi gas buang dan partikel debu) dan polusi suara berupa kebisingan yang membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan ruang terbuka hijau berupa jalur hijau jalan yang dapat mereduksi polusi di lingkungan simpang susun. Untuk mengetahui jumlah polusi yang dihasilkan di kawasan simpang susun Cawang, dilakukan kegiatan pengumpulan data dari pihak pengelola tapak. Khusus emisi partikel debu, juga dilakukan pengukuran melalui analisis kapasitas jerapan debu. Saat ini, simpang susun Cawang memiliki jalur hijau yang cukup luas sehingga perlu dilakukan studi skematik tentang fungsi, jenis, dan penempatannya pada tapak terkait keefektifannya dalam mereduksi polusi. Hasil studi skematik dirumuskan menjadi rencana blok vegetasi yang kemudian dikembangkan menjadi rencana penanaman jalur hijau pada simpang susun Cawang.

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap Jalan

Lanskap jalan adalah wajah karakter lahan atau tapak yang terbentuk pada lingkungan jalan, baik dari elemen lanskap alamiah maupun yang terbentuk dari elemen lanskap buatan manusia yang disesuaikan dengan kondisi lahannya. Lanskap jalan ini mempunyai ciri-ciri khas karena harus disesuaikan dengan persyaratan geometrik jalan dan diperuntukkan terutama bagi kenyamanan pemakai jalan serta diusahakan untuk menciptakan lingkungan jalan yang indah, nyaman, dan memenuhi fungsi keamanan (DPU 1996). Selanjutnya, DPU (2009) mendefinisikan jalan sebagai prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Beberapa istilah terkait dengan jalan:

1. badan jalan, yaitu bagian jalan yang meliputi jalur lalu lintas, dengan atau tanpa jalur pemisah, dan bahu jalan;

2. bahu jalan, yaitu bagian ruang manfaat jalan yang berdampingan dengan jalur lalu lintas untuk menampung kendaraan yang berhenti, keperluan darurat, dan pendukung samping lapis pondasi bawah, lapis pondasi, dan lapis permukaan; 3. jalur, merupakan bagian jalan yang dipergunakan untuk lalu lintas kendaraan; 4. lajur, yaitu bagian jalur yang memanjang, dengan atau tanpa marka jalan, yang

memiliki lebar cukup untuk satu kendaraan bermotor sedang berjalan;

(17)

4

memisahkan arus lalu lintas yang berlawanan, dapat berupa median yang ditinggikan, median yang diturunkan, atau median datar;

6. persimpangan, yaitu pertemuan atau percabangan jalan, baik sebidang maupun yang tidak sebidang;

7. ramp, yaitu segmen jalan yang berperan sebagai penghubung antar ruas jalan, dibagi menjadi segmen jalan masuk ke jalur utama (on ramp)dan segmen jalan keluar dari jalur utama (off ramp);

8. sumbu jalan, yaitu garis memanjang yang berada tepat di tengah badan jalan; 9. terowongan, merupakan jalan yang sekelilingnya tertutup, umumnya elevasi

jalan tersebut berada di bawah permukaan tanah; dan

10. drainase jalan, yaitu prasarana yang bersifat alami ataupun buatan untuk memutuskan dan menyalurkan air permukaan dan air bawah tanah, biasanya menggunakan bantuan gaya gravitasi.

Keberadaan jalan merupakan bagian yang penting dalam suatu lanskap karena jalan merupakan jalur sirkulasi yang menghubungkan antar bagian dan ruang-ruang serta aktivitas di dalam lanskap. Simonds (1983) menjelaskan bahwa jalan haruslah merupakan suatu kesatuan yang lengkap, aman, efisien, menarik, dan dapat berfungsi secara baik sebagai rute sirkulasi dan penghubung dengan jalan lainnya. Selain itu, jalan juga harus dapat memberikan pengalaman yang menyenangkan selama pergerakan dari satu titik menuju titik lainnya di dalam lanskap. Jalan beserta strukturnya tidak hanya merupakan ciri yang paling dominan dari sebuah lanskap, tetapi juga merupakan faktor utama pada perencanaan sebuah lahan atau komunitas. Setelah dibangun, jalan akan menjadi ciri yang paling kuat dan akan segera mengubah karakter lahan di dalam lanskap.

Jalan Bebas Hambatan dan Jalan Tol

DPU (2009) mendefinisikan Jalan bebas hambatan sebagai jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang serta dilengkapi dengan pagar ruang milik jalan. Jalan tol diartikan sebagai jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Bagian-bagian jalan tol antara lain:

1. ruang manfaat jalan tol, yaitu ruang sepanjang jalan tol yang dibatasi oleh lebar, tinggi, dan kedalaman tertentu, yang meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, talud timbunan, dan galian, serta ambang pengaman;

2. ruang milik jalan tol, yaitu ruang sepanjang jalan tol yang meliputi ruang manfaat jalan tol dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan tol yang diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan, pelebaran jalan, dan penambahan jalur lalu lintas di masa akan datang, serta kebutuhan ruangan untuk pengamanan jalan dan fasilitas jalan tol; dan

3. ruang pengawasan jalan tol, yaitu ruang sepanjang jalan tol yang meliputi sejalur tanah tertentu di luar ruang milik jalan tol yang penggunaannya berada di bawah pengawasan Menteri, diperuntukkan bagi pandangan bebas pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan fungsi jalan.

(18)

5 Jalan tol yang digunakan untuk lalu lintas antarkota didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 80 kilometer per jam, sedangkan jalan tol di wilayah perkotaan didesain dengan kecepatan rencana paling rendah 60 kilometer per jam. Setiap ruas jalan tol harus dilakukan pemagaran dan dilengkapi dengan fasilitas penyeberangan jalan dalam bentuk jembatan atau terowongan.

Selanjutnya, Pemerintah Republik Indonesia (2005) menjelaskan tentang spesifikasi jalan tol, yaitu: a) tidak ada persimpangan sebidang dengan ruas jalan lain, atau dengan prasarana transportasi lainnya; b) jumlah jalan masuk dan jalan keluar ke dan dari jalan tol dibatasi secara efisien dan semua jalan masuk dan jalan keluar harus terkendali secara penuh; c) jarak antar simpang susun, paling rendah 5 (lima) kilometer untuk jalan tol luar perkotaan dan paling rendah 2 (dua) kilometer untuk jalan tol dalam perkotaan; d) jumlah lajur sekurang-kurangnya dua lajur per arah; e) menggunakan pemisah tengah atau median; dan f) lebar bahu jalan sebelah luar harus dapat dipergunakan sebagai jalur lalu-lintas sementara dalam keadaan darurat.

Simpang Susun (Interchange)

Menurut Kurniawan et al (2010), salah satu bagian yang terdapat pada lanskap jalan adalah persimpangan jalan (intersection). Persimpangan adalah suatu daerah umum dimana dua atau lebih ruas jalan saling bertemu atau berpotongan yang mencakup fasilitas jalur jalan (roadway) dan tepi jalan (roadside), yang di dalamnya terdapat pergerakan lalu lintas. Persimpangan merupakan bagian terpenting dari sebuah jalan karena sebagian besar efisiensi, kapasitas lalu lintas, kecepatan, biaya operasai, waktu perjalanan, keamanan, dan kenyamanan dari sebuah jalan tergantung dari perencanaan persimpangan.

Ada dua jenis persimpangan di dalam perencanaan pertemuan dua atau lebih ruas jalan, yaitu persimpangan sebidang dan persimpangan tak sebidang. Persimpangan sebidang adalah persimpangan dimana ruas jalan saling bertemu dalam satu bidang. Sementara itu, pada persimpangan tak sebidang atau simpang susun (interchange), ruas jalan tidak saling bertemu dalam satu bidang, melainkan salah satu ruas jalan berada di atas atau di bawah ruas jalan yang lain (Kurniawan et al 2010).

(19)

6

Keterangan:

(a) trumpet (b) three leg directional (c) one quadrant

(d) diamond (e) single point urban interchange (f) partial cloverleaf

(g) full cloverleaf (h) alldirectional four leg

Gambar 2 Tipe-tipe Simpang Susun Sumber: DPU (2009)

Pencemaran (Polusi)

Pencemaran (polusi) udara ditandai oleh munculnya material tak diinginkan akibat aktivitas manusia yang dalam jumlah cukup besar dapat menyebabkan dampak berbahaya bagi kesehatan makhluk hidup atau lingkungan global dan juga menyebabkan gangguan estetika (de Nevers 2000). Polusi udara digolongkan ke dalam tiga kategori yaitu pergesekan permukaan, penguapan, dan pembakaran. Pergeseran permukaan merupakan penyebab utama pencemaran partikel padat di udara dengan ukuran yang bervariasi. Polusi udara yang berasal dari zat-zat yang mudah menguap biasanya dihasilkan dari industri yang berhubungan dengan cat, logam, bahan kimia, atau karet. Sementara itu dari kegiatan pembakaran, bahan pencemar akan dihasilkan dari pembakaran tidak

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(20)

7 sempurna pada bahan bakar kendaraan bermotor, yang merupakan penyebab lebih dari separuh polusi udara (Sastrawijaya 2000).

Wardhana (2001) menjelaskan, pencemaran udara merupakan dampak dari pesatnya perkembangan pembangunan, khususnya di bidang industri dan teknologi serta meningkatnya jumlah kendaraan bermotor pengguna bahan bakar fosil atau minyak. Pencemaran udara ditandai dengan adanya bahan atau zat asing yang dikenal dengan istilah polutan, yang dalam jumlah tertentu dan waktu cukup lama dapat mengganggu kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya. Hal ini sejalan dengan penjelasan Grey dan Deneke (1978), yang menyebutkan bahwa polutan udara berupa gas-gas kimia dan partikel dapat menyebabkan kerusakan pada pepohonan. Aktivitas transportasi, generator listrik, dan industri disebut sebagai sumber utama polutan udara yang bersifat fitotoksik.

Polutan biasanya memiliki ciri-ciri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, tetapi beberapa polutan yang mencemari udara merupakan polutan sekunder yang dibentuk di atmosfer dari bentuk awalnya berupa polutan primer (de Nevers 2000). Pada lingkungan jalan bebas hambatan seperti jalan tol yang merupakan sarana lalu lintas kendaraan bermotor, polutan berupa debu akan banyak dihasilkan dari jejak lintasan kendaraan tersebut. Selain itu, kendaraan bermotor juga akan mengeluarkan polutan berupa emisi (gas buang) yang berasal dari hasil samping pembakaran bahan bakar kendaraan. Gas buang tersebut diantaranya adalah CO, SO2, NOx, dan HC. Sementara itu, timbal (Pb) yang juga akan diemisikan kendaraan akan berikatan dengan debu jalan ketika berada di udara (PT. Jasa Marga Cabang CTC 2011).

Tingginya tingkat polusi menandakan kualitas udara yang buruk. Kualitas udara yang buruk dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik bagi petugas jalan maupun masyarakat sekitar yang ada di lingkungan jalan. Gangguan kesehatan terjadi apabila polutan masuk ke dalam tubuh manusia dan terakumulasi pada kadar tertentu melalui jalur inhalasi (PT. Jasa Marga Cabang CTC 2011). Baik atau buruknya kualitas udara di suatu kawasan dapat dipantau melalui baku mutu udara ambien yang ditetapkan secara nasional dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 yang dapat dilihat pada Tabel 1.

(21)

8

Tabel 1 Parameter dan baku mutu udara ambien nasional

Parameter Baku mutu Metode analisis Peralatan

SO2 900 μg/Nm

3

/1 jam Pararosanilin Spektrophotometry

CO 30.000 μg/Nm3/1 jam NDIR NDIR Analyzer

NO2 400 μg/Nm

HC 160 μg/Nm3/1 jam Flame Ionization Gas Chromatografi

Debu 230 μg/Nm3/24 jam Gravimetric Hi-Vol

Pb 2 μg/Nm3/24 jam Gravimetric,

Ekstraktif, Pengabuan

Hi-Vol dan AAS

Sumber: Pemerintah Republik Indonesia (1999)

Tabel 2 Baku mutu kebisingan sesuai peruntukan kawasan

No. Peruntukan kawasan Baku mutu (dB)

1. Perumahan dan pemukiman 55

2. Perdagangan dan jasa 70

3. Kawasan niaga terpadu 65

4. Perkantoran 65

5. Ruang terbuka hijau 50

6. Industri 70

7. Pemerintahan dan fasilitas umum 60

8. Rekreasi 70

Sumber: Gubernur DKI Jakarta (2001)

Jalur Hijau Jalan

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang terbuka hijau (RTH) kota disyaratkan minimal 30 persen dari wilayah kota dan berperan dalam membentuk struktur kota serta harus tercermin dalam pola ruang kota. Fungsi, manfaat, klasifikasi, dan distribusi RTH di wilayah perkotaan menjadi sangat penting, karena fungsi dan manfaat RTH yang tidak dapat digantikan dengan unsur-unsur ruang kota lainnya. RTH dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dan bentuk, seperti RTH pekarangan, pertanian, kehutanan, pertamanan, olahraga, pemakaman, dan jenis RTH lainnya. Berdasarkan bentuknya, RTH dapat berbentuk area hijau dan jalur hijau. RTH yang berbentuk koridor jalur hijau (green corridor) contohnya pada tepi jalan, sempadan sungai, dan tepian pantai yang berdasarkan kepemilikannya termasuk RTH publik yang dikelola oleh berbagai instansi terkait (Joga dan Ismaun 2011).

(22)

9 kebisingan), fungsi ekonomi (produksi bunga dan buah), dan fungsi sosial (media bersosialisasi), serta fungsi pelestarian plasma nutfah.

Joga dan Ismaun (2011) megartikan jalur hijau sebagai bagian dari RTH pertamanan, yang kemudian diklasifikasikan menjadi jalur hijau tepian air, jalur hijau pengaman, dan jalur hijau jalan. Jalur hijau jalan kemudian dibedakan menjadi jalur hijau jalan tol, jalur hijau jalan arteri (primer, sekunder), jalur hijau jalan kolektor (primer, sekunder), jalur hijau jalan lingkungan/lokal, dan jalur hijau jalan lainnya seperti pada jalan-jalan kecil berupa gang. Sama halnya dengan penjelasan Arifin N (1993), bahwa jalur hijau jalan dapat menjadi transportation corridors yang umumnya sama seperti jalur hijau lainnya, seperti di sepanjang jalan bebas hambatan, sepanjang rel kereta api, dan sepanjang aliran sungai.

Menurut DPU (1996), jalur hijau jalan adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lanskap lainnya yang terletak di dalam daerah milik jalan maupun daerah pengawasan jalan. Jalur hijau jalan tersebut didominasi oleh elemen lanskap berupa tanaman yang umumnya berwarna hijau. Sementara itu, Arifin N (1993) menerangkan bahwa jalur hijau jalan berupa taman pada lanskap jalan adalah salah satu bentuk green belt yang merupakan RTH yang memanjang baik di sisi-sisi jalan maupun sebagai pemisah (median) jalan.

Apabila ditanam pada tepi-tepi jalan, Simonds (1983) menggambarkan bahwa tanaman dapat berfungsi untuk memperjelas jalur, memberikan naungan dan menjadi daya tarik, menutupi pandangan yang kurang bagus, mengurangi silau, dan mengurangi polusi. Selain itu, penggunaan tanaman pada tepi jalan juga dapat menciptakan ruang. Sementara menurut DPU (1996), penanaman di tepi jalan bertujuan untuk memisahkan pejalan kaki dari jalan raya dengan alasan keselamatan dan kenyamanan, memberikan ruang bagi utilitas dan perlengkapan jalan, baik yang terletak di atas maupun di bawah permukaan tanah, dan untuk kepentingan penanaman pohon tepi jalan.

Jalur Hijau Jalan sebagai Pereduksi Polusi

Penggunaan tanaman pada lanskap jalan mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai kontrol visual, pengarah angin, modifikasi sinar matahari dan suhu, kontrol kelembaban dan hujan, penyaring polutan, kontrol kebisingan, kontrol erosi, habitat alami, dan estetika. Persyaratan utama yang perlu diperhatikan dalam memilih jenis tanaman lanskap jalan yaitu perakaran tidak merusak konstruksi jalan, mudah dalam perawatan, batang/percabangan tidak mudah patah, dan daun tidak mudah rontok/gugur (DPU 1996).

(23)

10

Hakim (2006) menjelaskan tanaman dapat berfungsi sebagai filter atau penyaring debu dan bau serta memberikan udara segar. Tanaman juga dapat menyerap suara kebisingan bagi daerah yang membutuhkan ketenangan dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang, dan ranting. Pemilihan jenis tanaman untuk fungsi peredam kebisingan bergantung tinggi pohon, lebar tajuk, dan komposisi tanaman. Jenis tanaman yang paling efektif untuk meredam suara ialah yang memiliki tajuk tebal dengan daun rindang. Sementara menurut Grey dan Deneke (1978), efektif atau tidaknya tanaman dalam mengontrol kebisingan ditentukan oleh faktor kebisingan itu sendiri (tipe, sumber, level, dan intensitas), tanaman yang digunakan (jenis, penataan antara sumber dengan penerima, ketinggian, dan kerapatan tanaman), dan kondisi iklim (kecepatan dan arah angin, suhu, dan kelembaban udara).

Menurut Nurfaida et al. (2011), mekanisme jalur hijau dalam mereduksi polusi udara terdiri dari: 1) adsorbsi, yaitu menjerap polusi hanya sampai di permukaan daun (menempel), khususnya polutan padat, partikel debu, dan logam-logam seperti Pb, Zn, dan Fe, 2) absorbsi, yaitu menyerap polusi dengan cara mengasimilasi melalui jaringan tanaman di dalam daun, khusunya polusi berupa gas NOx, SOx, CO2, CO, HC, PAN (Peroxy Acetic Nitrat), 3) difusi, yaitu mengencerkan konsentrasi polutan, dan 4) deposisi, yaitu menjatuhkan polutan ke tanah. Mekanisme ini memungkinkan dikuranginya jumlah debu yang melayang di udara. Partikel yang melayang-layang sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan mempunyai permukaan kasar, sedangkan sebagian lainnya terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Selain itu, bebrapa partikel ada yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting.

Perencanaan Jalur Hijau Jalan

Perencanaan pada hakikatnya merupakan suatu usaha menghasilkan tujuan, yang dalam usaha tersebut diperlukan tahap-tahap untuk mencapainya. Tarigan (2006) mengemukakan bahwa perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Perencanaan lanskap didefinisikan sebagai kegiatan merencanakan bentang alam atau suatu kawasan melalui pendekatan tertentu. Salah satu contoh perencanaan lanskap adalah perencanaan lanskap jalan. Lebih lanjut lagi, dalam perencanaan lanskap jalan terdapat perencanaan jalur hijau yang ditujukan untuk mengakomodasi fungsi-fungsi tertentu. Berdasarkan Menteri PU (2012), kegiatan penanaman pohon sebagai jalur hijau jalan membutuhkan suatu perencanaan yang jelas terkait kebijakan, latar belakang, tujuan, lokasi penanaman, jenis tanaman, cara penanaman, cara pemeliharaan, peralatan, rencana biaya, dan jadwal/waktu.

(24)

11 dalam perencanaan penanaman jalur hijau jalan perlu mempertimbangkan aspek ekologis (iklim, tanah, cahaya matahari, drainase, kondisi lokasi), bentuk tanaman, manfaat, dan pertimbangan lain (Menteri PU 2012). Tanaman yang dijadikan jalur hijau jalan sebaiknya tidak hanya mempunyai satu fungsi, tetapi juga fungsi lain yaitu dari aspek ekologis, aspek estetika, aspek keselamatan, dan aspek kenyamanan, serta sebagai pemberi identitas suatu daerah. Di sisi lain, Arifin HS (1993) menyatakan bahwa ketepatan pemilihan jenis yang sesuai kebutuhan dengan memperhatikan kualitas pohon yang sesuai fungsinya akan lebih bermanfaat daripada sekedar mengandalkan jumlah. Bagian tanaman yang dipertimbangkan fungsinya adalah organ batang, daun, buah, bunga, dan perakarannya, serta sifat perkembangannya yang dapat menimbulkan kesan keindahan, mengeluarkan aroma segar, dan warna yang menarik.

Pemilihan jenis tanaman dan peletakan tanaman dalam perencanaan jalur hijau jalan pada bagian jalan harus memperhatikan bentuk persimpangannya, baik sebidang maupun tak sebidang (simpang susun) karena terdapat daerah bebas pandang yang harus terbuka agar tidak mengurangi jarak pandang pengendara. Oleh karena itu, dalam perencanaan jalur hijau simpang susun, pemilihan tanaman yang akan digunakan haruslah tepat agar dapat mengakomodasi fungsi keamanan dan kenyamanan. Ada beberapa fungsi tanaman yang lebih diutamakan dalam penataan jalur hijau simpang susun, yaitu tanaman untuk fungsi penyangga, fungsi keselamatan, fungsi identitas. dan fungsi estetika. Tanaman pada area memasuki simpang susun dipilih jenis tanaman yang tidak menghalangi pandangan pengguna jalan (DPU 1996). Tanaman yang ada juga harus mampu mereduksi pencemaran karena area simpang susun merupakan area dengan intensitas sumber pencemar (aktivitas mesin kendaraan) yang tinggi.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di simpang susun Cawang, Jakarta Timur (Gambar 3). Waktu pelaksanaan pengumpulan data awal dilakukan mulai bulan September 2012, dilanjutkan dengan pengambilan data sampel dan pengujian di laboratorium selama satu bulan, yaitu bulan Oktober sampai November 2012. Selanjutnya, pengolahan data hasil pengujian, pembuatan peta, dan penyusunan laporan akhir penelitian dilakukan sampai bulan Mei 2013.

Bahan

(25)

12

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

Alat

Alat yang digunakan selama proses pengumpulan data eksisting dan pengambilan sampel di tapak antara lain kamera digital, meteran, dan gunting galah (pruner) dan amplop untuk memotong dan menyimpan daun sampel, serta gunting untuk membuat model daun. Alat yang digunakan untuk pengukuran kapasitas jerapan debu di laboratorium yaitu gelas beker, kuas kecil, timbangan, oven, dan kertas label. Sementara itu, alat untuk membuat peta dasar, peta analisis, hingga hasil akhir adalah beberapa software seperti Globbal Mapper, ArcGIS, AutoCad, dan Adobe Photoshop.

Proses Penelitian

Proses pelaksanaan penelitian ini disesuaikan dengan pendekatan tahap planning-design menurut Simonds (1983) yaitu commission, research, analysis, synthesis, construction, dan operation. Namun, penelitian yang dilakukan dibatasi sampai pada tahap synthesis dari keseluruhan tahap tersebut (Gambar 4). Perencanaan yang dilakukan mengarah pada pembuatan rencana penanaman jalur hijau simpang susun Cawang atau planting plan. Penjabaran tahap commission hingga tahap synthesis adalah sebagai berikut:

1. Commission (penugasan)

Kegiatan-kegiatan dalam tahap ini berupa pendefinisian masalah, penetapan tujuan, pengurusan perizinan kepada pihak-pihak terkait, dan pengumpulan informasi yang relevan dengan program pengembangan jalur hijau jalan dari berbagai sumber atau instansi terkait yang mengelola tapak.

2. Research (penelitian)

(26)

13

(27)

14

Tabel 3 Jenis, tipe, sumber, dan sifat analisis data

Jenis data Tipe data Sumber data Sifat

analisis data g. Volume kendaraan Sekunder PT. Jasa Marga

Cabang CTC,

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi analisis terhadap aspek fisik dan aspek biofisik tapak. Analisis aspek fisik dan biofisik dimaksudkan untuk memberikan gambaran potensi dan kendala tapak yang ada pada tiap aspek. Selain itu, juga dianalisis jumlah pohon yang dibutuhkan agar dapat menjerap seluruh partikel debu pada simpang susun Cawang sesuai hasil perhitungan kapasitas jerapan debu.

4. Synthesis (sintesis)

(28)

15 diinginkan pada simpang susun Cawang. Hasil studi skematik dirumuskan menjadi rencana blok (block plan) penataan vegetasi simpang susun berupa pembagian zonasi vegetasi berdasarkan fungsinya di dalam tapak. Selanjutnya dilakukan penyusunan rencana penanaman jalur hijau simpang susun Cawang berdasarkan pendekatan perencanaan fungsi yang akan dihadirkan, seperti fungsi penyangga, keselamatan, identitas, keamanan, dan fungsi estetika. Perencanaan fungsi tersebut dimaksudkan untuk menentukan jenis vegetasi yang sesuai dan memenuhi kriteria sebagai pereduksi polusi partikel. Hasil akhir dari tahap ini adalah rencana penanaman (planting plan)jalur hijau simpang susun Cawang.

Metode Gravimetri

Metode gravimetri digunakan untuk menghitung kapasitas daun dalam menjerap debu, sehingga akan diperoleh jumlah jerapan debu per pohon (Irianti 2010). Vegetasi yang digunakan adalah dari kelompok pohon yang jenisnya ditentukan berdasarkan dominansi persebarannya di dalam tapak. Jumlah pohon yang digunakan adalah 12 pohon yang terdiri dari empat spesies. Dari masing-masing pohon diambil sampel berupa daun dewasa seberat ± 10 gram dengan kriteria ketinggian ± 3 meter dari permukaan tanah dan menghadap ke jalan. Jenis pohon yang digunakan yaitu bintaro (Cerbera manghas), tanjung (Mimusoph elengi), glodogan bulat (Polyalthia fragrans), dan beringin (Ficus benjamina) yang dapat dilihat pada Gambar 5. Tabel 4 menunjukkan kategori, bentuk tajuk, dan fungsi pohon yang daunnya dijadikan sampel.

Gambar 5 Sampel daun empat spesies pohon: (a) beringin (Ficus benjamina), (b) tanjung (Mimusoph elengi), (c) glodogan bulat (Polyalthia fragrans), dan (d) bintaro (Cerbera manghas)

(a) (b)

(29)

16

Tabel 4. Kategori, bentuk tajuk, dan fungsi vegetasi sampel

Spesies Kategori Tajuk Fungsi

Tahap-tahap yang dilakukan dalam pengerjaan metode gravimetri adalah: 1. menimbang gelas beker kosong dan mencatat hasilnya (Gambar 6);

Gambar 6 Gelas beker kosong yang ditimbang

2. mengisi gelas beker kosong dengan air (destilata) sebanyak 50 ml (Gambar 7);

Gambar 7 Gelas beker yang diisi air (destilata)

3. mencuci sampel daun pada gelas beker dengan menggunakan kuas (Gambar 8);

Gambar 8 Sampel daun dicuci menggunakan kuas

(30)

17

(a) (b)

Gambar 9 (a) Hasil cucian daun dan (b) pengovenan hasil cucian daun 5. menimbang kembali gelas beker kering yang berisi debu hasil cucian daun

(Gambar 10).

Gambar 10 Hasil cucian daun setelah dioven

Cara mengukur luas daun

Untuk mengukur luas daun sampel, dilakukan langkah-langkah berikut: 1. menimbang kertas ukuran 10 cm x 10 cm (Gambar 11);

Gambar 11 Kertas ukuran 10 cm x 10 cm yang ditimbang 2. membuat model daun dengan kertas dan menimbangnya (Gambar 12);

(a) (b)

Gambar 12 (a) Model daun dan (b) model daun yang ditimbang 3. menghitung luas daun dengan cara:

(31)

18

Perhitungan-perhitungan yang digunakan dalam analisis kapasitas daun menjerap debu

1. Cara memperoleh berat debu hasil jerapan daun:

Berat gelas beker berisi debu setelah dioven - berat beker gelas kosong 2. Cara memperoleh kapasitas jerapan debu per pengamatan:

Berat debu hasil jerapan daun (gram) Luas daun (cm2)

3. Cara memperoleh rata-rata kapasitas jerapan debu:

(P(n) – P(n-1))+(P(n-1) – P(n-2))+...+ (P(2) – P(1)) n-1

Keterangan: P = Pengamatan ke.... ; n = banyak pengamatan 4. Cara memperoleh kapasitas jerapan debu per hari:

Rata-rata kapasitas jerapan debu Selang pengambilan sampel (hari) 5. Cara memperoleh kapasitas jerapan debu per tanaman per hari:

Luas tajuk x kapasitas jerapan debu per hari

Luas tajuk dihitung dengan rumus: 4/3.π.r2

6. Cara menghitung emisi per hari di kawasan simpang susunjalan: Jumlah kendaraan per hari x emisi partikel (g/km) x panjang jalan (km) 7. Cara memperoleh jumlah pohon yang akan ditanam di simpang susun:

Jumlah emisi per hari

Kapasitas jerapan debu per tanaman per hari

INVENTARISASI

Aspek Fisik

Lokasi

Secara administratif, simpang susun Cawang berada dalam wilayah Kelurahan Cawang, Kecamatan Keramat Jati, Jakarta Timur dan masuk ke dalam wilayah pengelolaan dua perusahaan yaitu PT. Jasa Marga Cabang Cawang-Tomang-Cengkareng (CTC) dan PT. Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP). Bagian barat tapak berbatasan dengan kawasan perkantoran (PT. Hutama Karya, PT. Indira Karya, PT. Virama Karya, PT. Supervisor, PT. Global Santa) dan kawasan Universitas Kristen Indonesia (UKI). Bagian timur berbatasan dengan kawasan perumahan Kompleks Trikora. Bagian utara berbatasan dengan kawasan perkantoran (PT. Yodya Karya, Wijaya Karya 2, dan Park Hotel Jakarta) dan perumahan Cawang Kavling Biru Laut. Selanjutnya, bagian sebelah selatan tapak berbatasan dengan kawasan pemukiman Kebon Pala (Gambar 13).

(32)

19

Gambar 13 Lokasi Simpang SusunCawang Sumber: www.google.com

Tanah

Tanah pada tapak merupakan tanah galian (cut) yang berasal dari tempat lain yang dibawa dan kemudian diurug (fill) pada saat pembangunan simpang susun dilakukan. Menurut Pusat Penelitian Tanah (1982) dalam Udayana (2004), daerah Cawang didominasi oleh jenis tanah latosol merah dari bahan induk tuf volkan intermedier dengan tingkat keasaman (pH) tanah melalui uji H2O dan KCl masing-masing sebesar 5,1 dan 4,1.

Topografi

Kawasan simpang susun Cawang berada pada ketinggian antara 8 – 30 meter di atas permukaan laut dengan bentukan lahan berkontur datar hingga curam (Gambar 14). Secara keseluruhan, kawasan simpang susun Cawang memiliki bentukan lahan yang cukup bervariasi mulai dari datar hingga curam. Pada area yang terdapat terowongan, bentukan lahannya berbukit dan curam. Bentukan lahan yang berbukit tersebut tidak terjadi secara alami karena merupakan hasil modifikasi lahan ketika pembuatan jalan. Hal ini dimaksudkan agar permukaan lahan dapat memenuhi persyaratan konstruksi atau persyaratan geometrik rancangan jalan khususnya pada bagian simpang susun.

Iklim

(33)
(34)

21 pada bulan Februari dan terendah pada bulan Agustus. Total curah hujan selama tahun 2011 adalah 1381,3 mm. Kelembaban udara maksimum terjadi pada bulan Februari yang mencapai 82 % dan terendah pada bulan September sebesar 70 %. Kecepatan angin berkisar antara 0,4 knot hingga 8 knot dengan arah dominan menuju selatan pada bulan Juni dan menuju barat pada bulan November. Sementara itu, penyinaran matahari maksimum pada bulan September dengan persentase penyinaran 99 % dan minimum pada bulan Januari dengan persentase penyinaran 30 %.

Tabel 5 Data iklim wilayah Cawang tahun 2011 Bulan

Sumber: Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma *PT. Jasa Marga Cabang CTC

Sistem drainase

Sistem drainase jalan pada simpang susun Cawang terdiri dari dua jenis seperti sistem drainase jalan pada umumnya, yaitu sistem drainase permukaan jalan dan sistem drainase bawah permukaan. Sistem drainase permukaan jalan berupa saluran samping jalan, drainase lereng, dan gorong-gorong. Saluran samping jalan dibangun pada sisi-sisi pekerasan jalan dengan lebar antara 30 cm sampai 1 meter, sedangkan saluran drainase lereng dibangun di beberapa titik lokasi yang berlereng. Saluran samping dan saluran drainase lereng umumnya terbuat dari beton dengan penampang saluran yang berbentuk segi empat. Sementara itu, gorong-gorong terdapat pada beberapa titik lokasi yang berfungsi menghubungkan badan sungai Cipinang yang terpotong oleh jalan.

Sungai Cipinang mengalir dari selatan menuju utara dan merupakan badan air utama penerima aliran buangan dengan lebar ± 4 meter. Sungai ini berfungsi sebagai penerima air dari saluran samping jalan dan saluran drainase lereng. Penampang saluran sungai Cipinang berbentuk trapesium, terbuat dari susunan batu pekerasan dengan pola herringbone dan juga dari susunan batu kali. Beberapa saluran samping jalan yang mengalami penyumbatan menyebabkan tidak lancarnya aliran air menuju sungai Cipinang, sedangkan kondisi badan sungai telah mengalami pendangkalan dan tercemar (Gambar 15).

(35)

22

Gambar 15 Kondisi sistem drainase simpang susun Cawang: (a) saluran tepijalan, (b) saluran lereng, (c) saluran samping jalan yang tersumbat, dan (d) badan sungai Cipinang yang tercemar

Tutupan lahan

Penutupan lahan di kawasan simpang susun Cawang secara umum terbagi menjadi dua, yaitu lahan terbangun dan ruang terbuka. Lahan terbangun pada tapak didominasi oleh konstruksi pekerasan jalan yang luasnya mencapai 40 %. Sementara itu, ruang terbuka didominasi oleh jalur hijau dengan persentase luasan sekitar 60 % dari total luasan simpang susun Cawang. Jalur hijau tersebut tersebar hampir di seluruh kawasan, yaitu di sepanjang tepi jalan, median jalan, hingga bagian loop simpang susun. Tutupan lahan di lingkungan terdekat sekeliling simpang susun umumnya merupakan lahan terbangun seperti kompleks kampus, kompleks perumahan, pemukiman, dan kawasan perkantoran (Gambar 16).

Volume kendaraan

Berdasarkan data dari PT. Jasa Marga Cabang CTC dan PT. CMNP pada tahun 2011, total kendaraan yang memasuki simpang susunCawang selama bulan Januari hingga April dan bulan Juli hingga Oktober adalah 52.171.044 unit. Jumlah ini didapat dari hasil perhitungan kendaraan yang memasuki simpang susun Cawang melalui beberapa gerbang tol dari empat arah, yaitu gerbang tol Halim dari arah Cikampek, gerbang tol Cililitan dari arah Jagorawi, gerbang tol Tebet 2, Kuningan 2, Semanggi 1, dan Semanggi 2 dari arah Dalam Kota, dan gerbang tol Pedati, Rawamangun, Cempaka Putih, dan Podomoro dari arah Tanjung Priok. Total lintas harian rata-rata (LHR) kendaraan di simpang susun Cawang adalah 214.696 satuan mobil penumpang (smp). Kondisi lalu lintas pada siang hari di simapng susun Cawang ditampilkan pada Gambar 17 dengan volume kendaraan seperti yang disajikan pada Tabel 6.

Gambar 16. Petupan lahan

(a) (b)

(36)
(37)

24

Gambar 17 Kondisi lalu lintas pada siang hari

Tabel 6 Volume kendaraan di simpang susunCawang tahun 2011

Gerbang tol Golongan kendaraan Dinas Lolos

I II III IV V

Cililtan 14.508.301 765.757 276.771 98.662 83.582 85.740 19.734

Halim 12.321.916 1.623.405 400.807 115.176 78.154 29.420 6.164

Total 47.574.997 3.002.945 812.184 281.875 198.250 236.595 64.198

LHR (smp) 195.782 12.358 3.342 1.160 816 974 264

Sumber: PT. Jasa Marga Cabang CTC dan PT. CMNP

Polusi

Berdasarkan data dari laporan terkait implementasi pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL) dalam kajian survey kualitas lingkungan oleh PT. Jasa Marga Cabang CTC tahun 2011, terdapat dua jenis polusi yang menjadi kajian utama di wilayah tol CTC, yaitu polusi udara dan polusi suara (kebisingan).

Polusi udara

Beberapa jenis emisi atau gas buang yang menjadi parameter kualitas udara yaitu partikel debu, karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), hidrokarbon (HC), timbal (Pb), dan oksidan (O3) yang merupakan agen risiko bagi kesehatan masyarakat. Pengukuran kualitas udara untuk wilayah Cawang dilakukan oleh PT. Jasa Marga Cabang CTC di tepi jalan tol Cawang KM 00+400 yang mewakili kawasan simpang susun (Tabel 7). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kualitas udara di kawasan simpang susun Cawang masih tergolong baik, dicirikan dengan rata-rata polusi yang masih di bawah baku mutu.

Polusi suara (kebisingan)

(38)

rata-25 rata per tahun berada sedikit di atas baku mutu yang ditetapkan. Hal ini berarti bahwa kebisingan berada pada tingkat yang mulai membahayakan kesehatan.

Tabel 7 Kualitas udara rata-rata tahun 2011 pada KM 00+400 tol Cawang Parameter Baku mutu Semester I Semester II Rata-rata/tahun Satuan

SO2 900 82,52 259 170,76 μg/Nm3/1 jam

Sumber: PT. Jasa Marga Cabang CTC

Tabel 8. Intensitas kebisingan rata-rata tahun 2011 pada KM 00+400 tol Cawang Parameter Baku mutu Semester I Semester II Rata-rata/tahun Satuan

Kebisingan 70 74,2 68 71,1 dB

Sumber: PT. Jasa Marga Cabang CTC

Aspek Biofisik

Vegetasi

Vegetasi yang ada di simpang susun Cawang terdiri dari berbagai jenis yang dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu rumput, semak/perdu, dan pohon. Vegetasi ini dikelola dan dipelihara oleh PT. Jasa Marga Cabang CTC yaitu pada ruas tol Cikampek, ruas tol Jagorawi, dan ruas tol Dalam Kota dan oleh PT. CMNP pada ruas tol Insinyur Wiyoto Wiyono. Vegetasi dari kelompok pohon ditanam sebagai tata hijau penyangga, pengarah, dan pereduksi polusi. Vegetasi dari kelompok semak/perdu yang banyak terdapat pada median jalan dan pot-pot tanaman ditanam sebagai pembatas, penahan silau lampu kendaraan, dan tata hijau estetik. Sementara itu jenis rumput digunakan sebagai penutup tanah yang dapat mencegah erosi oleh aliran permukaan. Peta vegetasi eksisting simpang susunCawang disajikan pada Gambar 18.

(39)
(40)

27 Tabel 9. Jenis vegetasidan persebarannya di kawasan simpang susuncawang

CK

Cikampek; JG Jagorawi; DK Dalam Kota; WW Ir. Wiyoto Wiyono Gambar 18. Peta vegetasi eksisting

Kelompok Nama umum Nama ilmiah Ruas tol

CK JG DK WW

Dadap merah Erythrina cristagali L.

Beringin Ficus benjamina L.

Beringin karet Ficus elastica

Biola cantik Ficus lyrata

Glodogan bulat Polyalthia fragrans Glodogan tiang Polyalthia longifolia

Angsana Pterocarpus indicus

Palem putri Veitchia merrillii

Semak/ perdu

Teh-tehan Acalypha macrophylla

Bambu jepang Arundinaria pumila

Bogenvil Bougainvillea sp.

Hujan mas Cassia glauca

Nusa indah Mussaenda

erythrophylla

Palem wregu Rhapis excelsa

Rumput Rumput paetan Axonopus compressus

(41)

28

Gambar 19 Vegetasi eksisting simpang susun Cawang

Kapasitas jerapan debu

Pengukuran kapasitas jerapan debu diukur melalui metode gravimetri yang dilakukan di laboratorium Spektrophotometry Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Pengamatan dilakukan selama empat kali dengan selang waktu 10 hari dan ulangan sebanyak tiga kali pada masing-masing spesies sampel. Pengamatan pertama (P1) dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2012, pengamatan kedua (P2) pada 23 Oktober 2012, dan pengamatan ketiga (P3) pada 2 November 2012, serta pengamatan keempat (P4) pada 12 November 2012.

Hasil yang diperoleh selama empat kali pengamatan tersebut menunjukkan bahwa spesies beringin (Ficus benjamina) mengalami peningkatan jumlah debu yang dijerap dari pengamatan pertama hingga pengamatan keempat. Spesies tanjung (Mimusoph elengi) dan glodogan bulat (Polyalthia fragrans) mengalami penurunan jerapan pada pengamatan keempat, sedangkan bintaro (Cerbera manghas) mengalami penurunan jerapan pada pengamatan ketiga dan pengamatan keempat (Tabel 10). Hal ini dipengaruhi oleh turunnya hujan dengan intensitas tiga sampai empat kali yang terjadi antara pengamatan ketiga dan pengamatan keempat.

(42)

29 kemudian dirata-ratakan dan dibagi selang hari pengambilan sampel. Pada pengamatan ini, didapat selisih antara pengamatan kedua dan pertama (10 hari pertama) lebih besar dari selisih antara pengamatan ketiga dan kedua (10 hari kedua). Sementara itu, selisih antara pengamatan keempat dan ketiga (10 hari ketiga) yang seharusnya bernilai positif justru bernilai negatif (tidak valid) karena pengaruh turunnya hujan yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, data yang selanjutnya digunakan untuk menghitung kapasitas jerapan debu per hari adalah data jerapan debu pada 10 hari pertama saja (Tabel 12). Secara keseluruhan, beringin adalah spesies yang memiliki kapasitas jerapan debu per hari paling tinggi yaitu 0,046 g/m2, sedangkan glodogan bulat adalah spesies dengan kapasitas jerapan debu per hari paling rendah yaitu 0,012g/m2.

Kapasitas jerapan debu per tanaman per hari dapat dihitung berdasarkan luas tajuk masing-masing spesies tanaman. Tanaman dengan kapasitas jerapan debu harian tinggi dan tajuk yang lebih luas memiliki kapasitas jerapan debu per tanaman per hari lebih tinggi. Pada penelitian ini, beringin mempunyai kapasitas

Tabel 10 Rata-rata berat debu dan luas daun per pengamatan Spesies Rata-rata berat debu (g) Rata-rata luas daun (cm

2

)

P1 P2 P3 P4 P1 P2 P3 P4

Beringin

(Ficus benjamina) 0,046 0,070 0,089 0,118 510 516 515 500

Tanjung

(Mimusoph elengi) 0,032 0,042 0,051 0,029 571 549 540 532

Glodogan bulat

(Polyalthia fragrans) 0,030 0,033 0,042 0,035 675 592 662 586

Bintaro

(Cerbera manghas) 0,035 0,043 0,037 0,026 410 443 384 383

Tabel 11 Kapasitas jerapan debu per pengamatan

Spesies Kapasitas jerapan debu (g/m

2

)

P1 P2 P3 P4

Beringin (Ficus benjamina) 0,895 1,350 1,734 2,365

Tanjung (Mimusoph elengi) 0,567 0,772 0,938 0,545

Glodogan bulat (Polyalthia fragrans) 0,444 0,563 0,630 0,592

Bintaro (Cerbera manghas) 0,845 0,971 0,973 0,688

Tabel 12 Kapasitas jerapan debu per hari Spesies

Glodogan bulat (Polyalthia fragrans) 0,119 0,067 -0,038 0,012

Bintaro (Cerbera manghas) 0,126 0,001 -0,285 0,013

(43)

30

jerapan debu per tanaman per hari paling tinggi yaitu 6,723 gram, sedangkan tanjung, bintaro, dan glodogan bulat berturut-turut memiliki kapasitas jerapan debu per tanaman per hari yang semakin rendah (Tabel 13).

Tabel 13 Kapasitas jerapan debu per tanaman per hari

Spesies Glodogan bulat (Polyalthia fragrans) 3,02 38,134 0,452 Bintaro (Cerbera manghas) 3,53 52,316 0,660

Jumlah emisi per hari

Jumlah emisi per hari di kawasan simpang susun ditentukan oleh rata-rata emisi yang dihasilkan berdasarkan jenis bahan bakar kendaraan bermotor. Bensin dan solar merupakan dua jenis bahan bakar yang paling umum digunakan oleh kendaraan bermotor. Kedua jenis bahan bakar ini menghasilkan jumlah emisi berupa gas buang dan partikel yang berbeda (Tabel 14).

Tabel 14 Rata-rata emisi berdasarkan jenis bahan bakar kendaraan Bahan

bakar

Rata-rata emisi

Satuan

SO2 CO NO2 HC Debu Pb

Bensin 0,17 60 2,2 5,9 0,22 0,49 g/km

Solar 0,47 0,69-2,57 0,68-1,02 0,14-2,07 1,28 0,49 g/km

Sumber: Strauss dan Mainwaring (1984) dalam Sulistijorini (2009)

Berdasarkan penggunaan bahan bakarnya, kendaraan golongan I adalah kendaraan pengguna bensin, sedangkan kendaraan golongan II hingga golongan V adalah kendaraan pengguna bahan bakar solar. Jika dipersentasekan, jumlah kendaraan pengguna bensin adalah 92 % dan kendaraan pengguna solar adalah 8 %. Persentase ini digunakan untuk mengasumsikan jumlah kendaraan pengguna bensin dan pengguna solar pada kendaraan dinas dan kendaraan lolos tol. Lintas harian rata-rata (LHR) masing-masing kendaraan pengguna bensin dan solar akan menentukan jumlah emisi debu per hari pada simpang susun Cawang (Tabel 15). Jumlah emisi per hari di simpang susunCawang ditampilkan pada Tabel 16.

Tabel 15 Lintas harian rata-rata kendaraan pada simpang susunCawang Jenis

Bensin 47.574.997 0 217.667 59.062 47.851.727 196.921

(44)

31 Tabel 16 Jumlah emisi partikel debu per hari simpang susunCawang

Jenis

Lokasi simpang susun Cawang terletak di wilayah ibukota Jakarta yang merupakan tempat bertemunya empat ruas jalan tol beserta jalan umum lainnya. Keberadaan simpang susun Cawang merupakan salah satu akses penting transportasi dari dan menuju kota Jakarta. Mobilitas kendaraan di simpang susun Cawang relatif tinggi dengan kecenderungan lalu lintas yang terus meningkat. Kecenderungan ini akan memberikan pengaruh buruk terhadap kondisi lingkungan dalam jangka waktu lama khususnya dalam lingkup kota Jakarta.

Simpang susun Cawang memiliki jalur hijau yang cukup memadai sebagai penyokong ruang terbuka hijau kota Jakarta. Keberadaan jalur hijau tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif solusi bagi permasalahan yang ditimbulkan akibat adanya aktivitas transportasi, yaitu polusi. Dalam hal ini, jalur hijau simpang susun Cawang dapat dijadikan sebagai salah satu contoh yang baik untuk diuji kemampuannya dalam meminimalisasi dampak negatif berupa polusi. Apabila jalur hijau yang ada sudah cukup mampu dalam mengurangi polusi yang dihasilkan, simpang susun Cawang dapat dijadikan sebagai model dalam penerapan jalur hijau untuk simpang susun lainnya. Sebaliknya, apabila didapatkan bahwa jalur hijau simpang susun Cawang belum menunjukkan peran yang signifikan dalam mengurangi polusi, evaluasi terhadap perencanaannya dapat dilakukan untuk memaksimalkan peran jalur hijau simpang susun Cawang sebagai ruang terbuka hijau kota.

Tanah

(45)

32

Suripin (2004) menjelaskan, struktur tanah juga memegang peranan penting terhadap pertumbuhan tanaman. Akar tanaman akan sulit menembus tanah apabila tanah padat. Selain itu, menurut Hakim (2006), tanah dasar hasil penggalian dan pengurugan yang berasal dari tempat lain biasanya memiliki struktur rapuh dan mudah tererosi oleh pengaruh air hujan dan hembusan angin kencang. Oleh karena itu, agar tanaman pada simpang susun Cawang dapat tumbuh dengan baik, dipilih jenis tanaman yang mampu beradaptasi dengan kondisi rendahnya unsur hara. Meskipun demikian, tindakan seperti pemberian pupuk untuk meningkatkan kandungan unsur hara di dalam tanah juga diperlukan. Selain itu, dibutuhkan tanaman yang akarnya dapat mengikat tanah sehingga menjadi kokoh dan tahan terhadap pukulan air hujan dan tiupan angin. Selebihnya, jenis tanaman yang cocok untuk jenis tanah latosol merah adalah tanaman dengan daya tembus akar yang baik, mampu mengalirkan air dan udara dalam tanah, dan dapat tumbuh pada daerah beriklim basah dengan curah hujan yang cukup tinggi.

Topografi

Faktor topografi umumnya dinyatakan sebagai kemiringan dan panjang lereng. Tingkat kemiringan dan panjang lereng akan berbanding lurus dengan tingkat erosi tanah yang disebabkan oleh percikan air hujan dan aliran permukaan. Kemiringan yang tinggi menyebabkan partikel tanah yang terkena percikan air hujan lebih banyak terlempar ke bawah. Selain itu, lereng yang semakin panjang mengakibatkan aliran permukaan menjadi lebih tinggi baik kedalaman maupun kecepatannya (Suripin 2004). Salah satu cara dalam pengendalian erosi adalah dengan memanfaatkan vegetasi yang dapat mengurangi percikan air hujan dan aliran permukaan. Oleh karena itu, pada simpang susun Cawang yang pada beberapa titik kondisi topografinya berbukit dengan kemiringan curam, pemilihan jenis tanaman sebaiknya mengutamakan tanaman yang mampu mengikat tanah dengan tipe perakaran kuat dan dalam sehingga erosi dapat diminimalisir. Selain itu, karena tajuk tanaman dapat mengurangi volume air hujan yang jatuh secara langsung ke permukaan tanah, jenis tanaman yang memiliki tajuk rindang dengan massa daun rapat adalah jenis yang sesuai untuk mengurangi potensi terjadinya erosi tanah di kawasan simpang susun. Gambar 20 menunjukkan persentase kemiringan lahan pada simpang susun Cawang.

Iklim

Suhu dan curah hujan

(46)
(47)

34

suhu minimum atau maksimum meskipun aktivitas fisiologisnya menurun. Kondisi di tapak pada bulan Maret, April, Juni, Juli, Agustus, September, dan Oktober memiliki curah hujan di bawah 100 mm, sehingga diperlukan infrastruktrur penyiraman agar tanaman dapat tetap tumbuh dengan baik. Pada area jalan layang yang menyebabkan tanaman ternaungi dan tidak terkena hujan, infrastuktur penyiraman tetap diperlukan meskipun curah hujan mencukupi.

Kelembaban udara

Kelembaban udara di kawasan simpang susun Cawang relatif tinggi yaitu antara 70-82 %. Menurut Laurie (1985), kondisi tersebut telah melebihi kondisi kelembaban udara ideal untuk aktivitas manusia, yaitu 40-75 %. Akan tetapi berbeda halnya dengan tanaman yang memiliki tingkat keragaman jenis tinggi. Tanaman dapat tumbuh pada kondisi kelembaban udara rendah atau tinggi sesuai dengan kemampuannya beradaptasi. Lestari dan Kencana (2008) menyatakan bahwa kelembaban udara yang paling baik bagi pertumbuhan tanaman yaitu 40-50 %. Kelembaban udara antara 60-90 % cocok untuk tanaman hutan hujan tropis, sedangkan di bawah 40 % biasanya terjadi pada daerah berudara kering. Kelembaban udara di kawasan simpang susuntermasuksama dengan kelembaban pada hutan hujan tropis, sehingga tanaman yang cocok adalah yang memiliki karakter seperti tanaman hutan hujan tropis.

Kecepatan dan arah angin

Kecepatan angin yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada elemen-elemen suatu lanskap. Pada lingkungan jalan, kecepatan angin yang tinggi memungkinkan partikel polusi terdistribusi lebih cepat dengan jangkauan yang lebih jauh, sesuai dengan penjelasan Grey dan Deneke (1978) bahwa pergerakan angin merupakan faktor utama yang menyebabkan polutan menyebar dengan cepat. Selain kecepatannya, arah angin juga akan memengaruhi distribusi polutan ke suatu lokasi. Apabila arah angin dominan menuju suatu arah atau lokasi maka daerah sepanjang lokasi yang dilalui oleh angin tersebut berpotensi memiliki jumlah polutan paling tinggi. Arah angin yang dominan menuju selatan pada bulan Juni dan timur pada bulan November memungkinkan polutan banyak tersebar di daerah bagian selatan dan timur simpang susun. Akan tetapi, adanya pergerakan kendaraan yang menghasilkan angin lokal memungkinkan arah angin tersebar ke segala arah. Oleh karena itu, diperlukan unsur vegetasi yang mampu mengurangi kecepatan dan jarak jangkauan angin untuk mencegah distribusi partikel debu di dalam kawasan ataupun menuju kawasan lain di sekitarnya. Beberapa kriteria tersebut menurut Bernatsky (1968) dalam Grey dan Deneke (1978) adalah penempatan vegetasi tegak lurus arah angin dominan, vegetasi yang dapat ditembus oleh angin dikombinasikan dengan vegetasi penyangga bermassa padat, dan penempatan vegetasi yang sebaiknya terpusat di sekitar sumber polutan.

Penyinaran matahari

(48)

35 memantulkannya (Hakim 2006). Namun demikian, vegetasi pun memiliki persyaratan tumbuh yang dipengaruhi oleh sinar matahari. Pengaruh intensitas penyinaran matahari terhadap pertumbuhan akan berbeda pada jenis tanaman yang berbeda. Nurfaida et al. (2011) menjelaskan bahwa tanaman memiliki daya tahan berbeda terhadap suhu dan cahaya (intensitas penyinaran). Sebagian tanaman tahan terhadap kondisi lingkungan yang panas dan sebagian lainnya harus tumbuh di tempat sejuk. Selain itu, Laurie (1985) mengemukakan bahwa pantulan panas atau kesilauan dari dinding dan permukaan keras juga dapat menyebabkan kerusakan pada daun. Oleh karenanya, suhu dan cahaya setempat perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman.

Sistem drainase

Sistem drainase merupakan bagian dari aspek hidrologi pada tapak karena terkait dengan keberadaan badan air seperti sungai atau bangunan air lainnya. Badan sungai yang terpotong oleh rute jalan harus ditanggulangi dengan perencanaan gorong-gorong dengan perhitungan debit sungai yang mengacu pada Tata Cara Perencanaan Hidrologi dan Hidrolika untuk bangunan sungai (DPU 2006). Sistem drainase yang kurang baik dapat menyebabkan genangan air pada tanah atau bahkan banjir apabila tanah tidak mampu menyerap air hujan secara maksimal. Begitu pula dengan kondisi simpang susun Cawang yang pada bulan-bulan tertentu memiliki intensitas hujan yang tinggi. Menurut Laurie (1985), salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan membuat perencanaan drainase yang baik.

Selain dengan perencanaan drainase, keberadaan tanaman juga merupakan salah satu solusi untuk mengatasi masalah genangan air pada tanah. Tajuk tanaman mampu mengurangi jumlah air hujan yang jatuh dan terinfiltrasi oleh tanah sehingga kadar air di dalam tanah dapat dikontrol. Selain itu, akar-akar tanaman akan membantu melancarkan aliran air dan udara di dalam tanah. Namun demikian, diperlukan pertimbangan dalam pemilihan jenis tanaman yang tepat karena tidak semua tanaman mampu hidup dalam kondisi cekaman tingginya kadar air tanah atau sebaliknya. Laurie (1985) menjelaskan, pada daerah-daerah kering perlu disediakan pengairan yang teratur dan berkala agar dapat memenuhi kebutuhan air tanaman, karena air merupakan salah satu faktor utama yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan tanaman.

Tutupan lahan

(49)

36

mungkin ditanami vegetasi untuk memaksimalkan tutupan jalur hijau adalah pada loop di sisi kiri ruas tol Jagorawi dan ruas tol Cikampek.

Volume kendaraan

Lokasi simpang susun Cawang yang merupakan penghubung antar jalan tol dan sebagai salah satu akses jalan dari dan ke luar kota dengan mobilitas pengguna yang tinggi menyebabkan volume lalu lintas kendaraan selalu padat. Hal ini memberikan pengaruh negatif secara langsung dan tidak langsung yang dalam jangka panjang dapat membahayakan lingkungan, pengguna jalan, dan masyarakat yang bermukim di sekitar simpang susun. Intensitas dan volume kendaraan yang tinggi akan berbanding lurus dengan tingginya pencemaran yang dihasilkan, baik berupa polutan yang dilepaskan ke udara maupun kebisingan yang dapat mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, dibutuhkan tanaman yang secara massal membentuk jalur hijau. Penggunaan tanaman akan membantu dalam meminimalisir dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas kendaraan yang berlangsung di lingkungan jalan.

Polusi

Polusi udara

Tingkat pencemaran udara di kawasan simpang susun Cawang masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan, namun strategi perencanaan atau pengelolaan dalam rangka mengantisipasi peningkatan jumlah pencemaran tetap diperlukan. Salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah pendekatan jalur hijau berupa penggunaan vegetasi yang memiliki kemampuan sebagai pereduksi polutan. Efektifnya mekanisme penjerapan polutan berupa debu ditentukan oleh karakteristik morfologi tanaman, seperti ukuran dan bentuk daun, adanya rambut pada permukaan daun, dan tekstur daun. Sementara dalam menyerap zat pencemar berupa gas, lebih dipengaruhi oleh ukuran, kerapatan dan bentuk trikoma. Polutan berupa debu dapat dijerap oleh tanaman yang memiliki permukaan daun kasar dan berbulu, sedangkan polutan berupa gas dapat direduksi oleh vegetasi yang memiliki banyak stomata, mempunyai ketahanan tertentu terhadap gas tertentu, dan mempunyai tingkat pertumbuhan yang cepat (Nurfaida et al. 2011). Menurut DPU (1996), persyaratan vegetasi untuk tujuan mengurangi polusi udara antara lain vegetasi terdiri dari kelompok pohon dan semak/perdu, memiliki ketahanan tinggi terhadap pengaruh udara, ditanam dengan jarak rapat, dan memiliki massa daun padat. Selain itu, penempatan vegetasi di dekat sumber polutan efektif untuk mengurangi penyebaran polutan.

Polusi suara (kebisingan)

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pikir Perencanaan
Gambar 2 Tipe-tipe Simpang Susun
Tabel 1  Parameter dan baku mutu udara ambien nasional
Gambar 3  Peta Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait