• Tidak ada hasil yang ditemukan

Directions and Development Strategies for Pepper (Piper nigrum L) Plantation in Belitung Regency

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Directions and Development Strategies for Pepper (Piper nigrum L) Plantation in Belitung Regency"

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

ARAHAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

PERKEBUNAN LADA (Piper nigrum L)

DI KABUPATEN BELITUNG

RIYADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Arahan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada (Piper nigrum L) Di Kabupaten Belitung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, November 2012

(3)

RIYADI. Directions and Development Strategies for Pepper (Piper nigrum L) Plantation in Belitung Regency. Under direction of SANTUN R.P SITORUS and WIDIATMAKA

Pepper (Piper nigrum L) is one of plantation commodities in the Belitung Regency and has been well known in international market. However, in recent years the total area and production has declined. Therefore it requires an effort to determine potential areas in terms of comparative advantage and competitive terms, also factors that influence the development of pepper plantation as well as its development strategy. The analysis which are used consist of Location Quotient (LQ), Shift Share Analysis (SSA), land suitability analysis, marketing margins, Analytical Hierarchy Process (AHP) and combining AHP and SWOT (A'WOT). The results showed that the Membalong sub district be prioritized in the development of pepper plantations. The most influential factor in development of pepper is land. Other factors influencing development of pepper based on degree of its influence are human resources, technology, market, and capital, respectively. Some of the proposed strategies are optimizing and maintaining natural resources potential, increasing the quality and quantity of products, diversification of processed pepper products, and improve bargaining position of the farmers.

(4)

RIYADI. Arahan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada (Piper nigrum L) di Kabupaten Belitung. Dibimbing oleh SANTUN R.P SITORUS dan WIDIATMAKA

Salah satu komoditas unggulan perkebunan di Kabupaten Belitung adalah lada (Piper nigrum L). Lada masih menjadi tumpuan petani di Belitung di samping komoditas perkebunan lainnya seperti karet, kelapa sawit, kelapa dan aren. Areal penanaman lada pada akhir tahun 2011 seluas 7.423,74 ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung, 2011). Namun luas areal perkebunan lada tersebut telah berkurang dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya.

Mengingat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dikenal sebagai salah satu sentra produksi lada di Indonesia, maka eksistensi lada perlu diperhatikan terutama dalam pengembangan wilayah. Keberadaan lada perlu dipertahankan mengingat komoditas perkebunan ini cukup menjanjikan untuk peningkatan ekonomi petani. Berbagai fenomena yang muncul seperti maraknya penambangan timah ilegal dan faktor-faktor lain yang merusak lahan potensial untuk pengembangan pertanian khususnya perkebunan lada perlu dikendalikan.

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan kejayaan lada di Kabupaten Belitung. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dan memberikan solusi dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) mengidentifikasi dan menganalisis sentra perkebunan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah ; (2) menganalisis dan memetakan wilayah yang berpotensi untuk pengembangan areal perkebunan lada berdasarkan kesesuaian lahannya ; (3) menganalisis rantai pemasaran dan persentase harga jual yang diterima petani lada di Kabupaten Belitung; (4) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung menurut persepsi stakeholders ; (5) merumuskan arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung.

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Belitung. Kegiatan persiapan, penelitian lapang, analisis data dan penyusunan tesis dilaksanakan selama 6 bulan, yaitu dari bulan April sampai dengan September 2012. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa data pengamatan lapang, wawancara dan pengisian kuesioner. Data sekunder berupa data dan peta yang diperoleh dari berbagai instansi/ lembaga baik pemerintah maupun swasta. Beberapa metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ; analisis Location Quotient (LQ), Shift Share Analisis (SSA), analisis kesesuaian lahan, analisis margin pemasaran, Analytical Hierarchy Process (AHP) dan analisis AHP kombinasi SWOT (A’WOT).

(5)

Berdasarkan analisis kesesuaian lahan aktual untuk penanaman lada diketahui bahwa lahan dengan kelas S2 paling dominan di Kabupaten Belitung dibandingkan dengan kelas yang lain (S3 dan N). Lahan dengan kelas S2 memiliki luas 117.332 ha atau sekitar 52,18%, yang tersebar di semua kecamatan. Kecamatan Membalong memiliki lahan dengan kelas S2 terluas yang mencapai 53.985 ha. Luas lahan S3 aktual untuk tanaman lada di Kabupaten Belitung adalah 85.107 ha atau 37,85 %. Lahan kelas S3 ini juga tersebar atau menempati masing-masing kecamatan yang ada di Kabupaten Belitung. Lokasi terluas dari lahan kelas S3 berada di kecamatan Membalong.

Berdasarkan analisis margin pemasaran diketahui bahwa secara umum rantai pemasaran lada di Kabupaten Belitung ada 2 (dua) rantai pemasaran. Rantai pemasaran 1 dengan rantai pemasaran yang dimulai dari petani yang menjual ke pedagang pengumpul I, kemudian pedagang pengumpul I menjual ke pedagang pengumpul II untuk selanjutnya menjual ke eksportir. Rantai pemasaran 2 pada dasarnya lebih pendek dari rantai pemasaran 1, karena di rantai pemasaran 2 ini petani langsung menjual ke pedagang pengumpul II dan pedagang pengumpul II menjual ke eksportir. Persentase harga yang diterima petani melalui rantai pemasaran 1 sebesar 78,82 % atau lebih rendah dari persentase harga yang diterima pada rantai pemasaran 2 yaitu 82,35 %.

Berdasarkan hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada secara prioritas berdasarkan urutan pengaruhnya yaitu lahan dengan nilai eigenvalue (0,4391), sumberdaya manusia (SDM) (0,2297), teknologi (0,1453), pasar (0,1107) dan modal (0,0751). Lahan menjadi faktor yang paling mempengaruhi pengembangan perkebunan lada. Faktor lain yang berpengaruh secara berurutan berdasarkan tingkat pengaruhnya adalah sumberdaya manusia (SDM), teknologi, pasar dan modal.

Analisis arahan pengembangan perkebunan lada dilakukan dengan metode Sistem Informasi Geografis yang bertujuan mengetahui lokasi yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan lada. Metode ini memadukan peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belitung Tahun 2005-2015, Peta Penggunaan Lahan Tahun 2009, peta kesesuaian lahan aktual dan hasil analisis LQ dan SSA. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa Kabupaten Belitung memiliki luas lahan arahan pengembangan lada seluas 24.704 ha. Dari luas tersebut, 14.129 ha (57,19%) berada di kecamatan Membalong. Dengan demikian, maka kecamatan Membalong menjadi lokasi prioritas arahan untuk pengembangan lada.

Rumusan strategi pengembangan perkebunan lada dilakukan dengan menggunakan metode A’WOT. Metode ini merupakan perpaduan AHP dan SWOT. Berdasarkan analisis A’WOT, beberapa strategi yang dapat dirumuskan adalah (1) mengoptimalkan dan menjaga potensi SDA untuk pengembangan perkebunan lada; (2) peningkatan kualitas dan kuantitas produk dengan berbagai penerapan teknologi; (3) diversifikasi produk olahan lada; (4) meningkatkan posisi tawar petani dan peluang pasar dalam siklus pemasaran lada dengan penguatan kelembagaan tani.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PERKEBUNAN LADA (Piper nigrum L)

DI KABUPATEN BELITUNG

RIYADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nama : Riyadi NRP : A156110284

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus

Ketua Dr. Ir. Widiatmaka, DAA Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(9)
(10)

Kupersembahkan Karya ini

Kepada:

Kedua orang tua tercinta;

Ayahanda Rahman dan Ibunda Ani,

Istriku terkasih Yuniarty, S.Kep dan Kedua anakku tersayang:

Naurah Syakira & Rafif Al Ghifari,

serta keluarga besarku

(11)

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Oktober ini adalah Arahan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada (Piper nigrum L) di Kabupaten Belitung.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus selaku ketua komisi pembimbing dan ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan dari tahap awal sampai penyelesaian tesis ini. 2. Bapak Dr. Ir. Widiatmaka, DAA selaku anggota komisi pembimbing atas

segala dukungan, motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan selama penelitian sampai penyelesaian tesis ini.

3. Ibu Dr. Dra. Khursatul Munibah, M.Sc selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB beserta seluruh staf pengajar dan staf manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB

4. Kepala Pusbindiklatren Bappenas beserta jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis

5. Dinas Pertanian dan Kehutanan, Badan Pendidikan dan Pelatihan, dan Pemerintah Kabupaten Belitung yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar ini

6. Rekan-rekan PWL Bappenas dan Reguler Angkatan 2011 atas dukungan dan kerjasamanya selama ini, serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam membantu penyelesaian tesis ini

Terima kasih yang istimewa disampaikan kepada istriku Yuniarty, S.Kep dan anakku Naurah Syakira dan Rafif Al Ghifari beserta seluruh keluarga besar di Belitung, atas segala do’a dan dukungan selama ini.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat. Amiin.

Bogor, November 2012

(12)

Penulis dilahirkan di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung pada tanggal 13 November 1982 sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak

Rahman dan Ibu Ani. Telah menikah dengan Yuniarty, S.Kep dan dikaruniai dua orang anak ; Naurah Syakira dan Rafif Al Ghifari.

Tahun 2001 penulis lulus SMA Negeri I Tanjungpandan dan diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi (sekarang Ilmu dan Teknologi Pangan), Fakultas Teknologi Pertanian dan lulus tahun 2005.

(13)

Halaman

3.4.2 Analisis Wilayah Yang Berpotensi Untuk Pengembangan Perkebunan Lada ... 27

3.4.3 Analisis Margin Pemasaran ... 29

3.4.4 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Perkebunan Lada ... 30

(14)

4.1.3 Geologi ... 44

5.2 Analisis dan Pemetaan Wilayah Yang Berpotensi Untuk Pengembangan Perkebunan Lada... 65

5.3 Analisis Margin Pemasaran Lada di Kabupaten Belitung ... 73

5.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Lada... 77

5.4.1 Persepsi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ... 78

5.4.2 Persepsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ... 80

5.4.3 Persepsi Dinas Pertanian dan Kehutanan ... 82

5.4.4 Persepsi Dinas Perindagkop dan Penanaman Modal ... 83

5.4.5 Persepsi Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) ... 85

5.5.1 Arahan Pengembangan Perkebunan Lada di Kabupaten Belitung ... 98

(15)

VAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis dan sumber data, teknik analisis data dan output penelitian ... 22

2 Skala dasar ranking Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 31

3 Matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) ... 36

4 Matriks Eksternal Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) ... 37

5 Fluktuasi iklim di Kabupaten Belitung tahun 2011 ... 48

6 Perkembangan penduduk per kecamatan di Kabupaten Belitung tahun 2009-2011 ... 50

7 Kepadatan penduduk dan sex ratio menurut kecamatan di Kabupaten Belitung tahun 2011 ... 51

8 Persentase distribusi PDRB Kabupaten Belitung atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun 2006-2010 ... 52

9 Luas panen, produksi dan produktifitas tanaman pangan Kabupaten Belitung tahun 2011 ... 54

10 Luas areal dan produksi tanaman perkebunan Kabupaten Belitung tahun 2011 ... 54

11 Luas areal perkebunan lada tiap kecamatan di Kabupaten Belitung tahun 2008-2011 ... 56

12 Nilai ekspor lada dari beberapa negara produsen Lada ... 57

13 Nilai analisis LQ perkebunan lada tahun 2008-2011 ... 60

14 Nilai Shift Share Analysis komoditas perkebunan lada di Belitung ... 63

15 Nilai Shift Share Analysis komoditas perkebunan di kecamatan Membalong ... 64

16 Kelas kesesuaian lahan aktual pada setiap satuan lahan ... 67

17 Sebaran kelas kesesuaian lahan aktual di tiap kecamatan ... 69

18 Luas wilayah yang berpotensi untuk perkebunan lada ... 72

19 Margin pemasaran dan akumulasi biaya di tiap tingkatan pemasaran ... 75

20 Harga yang diterima petani dan margin pemasaran terhadap harga jual eksportir ... 76

21 Kriteria penentuan arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung ... 99

22 Pembagian prioritas arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung ... 101

(16)

24 Faktor-faktor kekuatan,kelemahan, peluang dan ancaman ... 105 25 Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary

(IFAS)... 106 26 Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary

(17)

VAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ... 7

2 Peta lokasi penelitian ... 19

3 Kerangka operasional penelitian ... 24

4 Struktur hierarki AHP dalam penilaian faktor-faktor pengembangan perkebunan lada ... 33

5 Model matriks internal eksternal ... 38

6 Model matriks space ... 40

7 Model matriks SWOT ... 41

8 Alokasi penggunaan lahan di Kabupaten Belitung ... 49

9 Nilai analisis LQ perkebunan lada tiap kecamatan di Kabupaten Belitung tahun 2008-2011... 61

10 Peta kelas kesesuaian lahan aktual tanaman lada ... 70

11 Peta wilayah yang berpotensi untuk perkebunan lada ... 72

12 Rantai pemasaran lada ... 74

13 Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi anggota DPRD ... 79

14 Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi anggota DPRD ... 79

15 Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Bappeda ... 80

16 Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi Bappeda ... 81

17 Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas Pertanian dan Kehutanan ... 82

18 Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas Pertanian dan Kehutanan ... 83

19 Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas Perindagkop dan Penanaman Modal ... 84

20 Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi Dinas Perindagkop dan Penanaman Modal ... 85

(18)

22 Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama)

berdasarkan persepsi BP3L ... 86

23 Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi Balai Penyuluh Pertanian ... 87

24 Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi Balai Penyuluh Pertanian ... 88

25 Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi akademisi ... 89

26 Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi akademisi ... 90

27 Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi tokoh masyarakat ... 91

28 Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi tokoh masyarakat ... 92

29 Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi penyuluh pertanian ... 93

30 Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi penyuluh pertanian ... 93

31 Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi petani ... 94

32 Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi petani ... 95

33 Hasil analisis AHP (faktor utama) berdasarkan persepsi seluruh stakeholders ... 96

34 Hasil analisis AHP (kriteria dari faktor utama) berdasarkan persepsi seluruh stakeholders ... 97

35 Peta arahan pengembangan lada ... 103

36 Hasil analisis matriks internal eksternal ... 109

37 Hasil analisis matriks space ... 111

(19)

VAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kriteria kesesuaian lahan tanaman lada (Piper nigrum L) ... 121

2 Peta penggunaan lahan Kabupaten Belitung tahun 2009 ... 123

3 Peta RTRW Kabupaten Belitung tahun 2005-2015 ... 124

4 Peta satuan lahan Kabupaten Belitung ... 125

5 Penilaian kelas kesesuaian lahan pada masing-masing satuan lahan... 126

6 Luasan areal komoditas perkebunan Kabupaten Belitung tahun 2008 ... 130

7 Luasan areal komoditas perkebunan Kabupaten Belitung tahun 2009 ... 131

8 Luasan areal komoditas perkebunan Kabupaten Belitung tahun 2010 ... 132

9 Luasan areal komoditas perkebunan Kabupaten Belitung tahun 2011 ... 133

10 Nilai analisis LQ semua komoditas perkebunan tahun 2008 ... 134

11 Nilai analisis LQ semua komoditas perkebunan tahun 2009 ... 135

12 Nilai analisis LQ semua komoditas perkebunan tahun 2010 ... 136

13 Nilai analisis LQ semua komoditas perkebunan tahun 2011 ... 137

14 Nilai analisis Shift Share tahun 2008/2011 ... 138

15 Kuesioner AHP untuk menjaring persepsi stakeholders ... 139

16 Kuesioner untuk analisis A’WOT ... 149

17 Pembobotan faktor strategi internal dan eksternal hasil AHP ... 159

(20)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Belitung merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kabupaten yang memiliki luas 2.293,69 km2 ini

dihuni 162.328 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung, 2012). Berbagai sektor pendukung perekonomian masyarakat dikembangkan di kabupaten ini, baik sektor pertanian, jasa, industri pengolahan dan sebagainya. Salah satu sektor yang akhir-akhir ini banyak diusahakan masyarakat adalah sektor pertanian.

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor dominan dalam menopang perekonomian disamping sektor pertambangan/penggalian. Sektor ini banyak diusahakan masyarakat mengingat prospek ekonominya yang cukup baik. Dengan demikian, pembangunan perekonomian yang pro rakyat perlu ditingkatkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan upaya penggalian, pengkajian dan pengembangan sektor pertanian terutama subsektor perkebunan dalam mendukung pengembangan wilayah di Kabupaten Belitung. Pengkajian sub sektor perkebunan sebagai salah satu sub sektor di sektor pertanian diperlukan, karena sub sektor perkebunan terutama perkebunan lada telah diusahakan turun temurun di Kabupaten Belitung, bahkan lada menjadi icon dan ditetapkan sebagai komoditas unggulan Kabupaten Belitung oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012), diketahui bahwa persentase tertinggi penyumbang PDRB Kabupaten Belitung tahun 2011 adalah sektor pertanian yaitu 23,25% diikuti sektor industri pengolahan 21,67 % serta sektor jasa-jasa sebesar 15,26 %. Keberadaan sektor pertanian dalam hal ini sub sektor perkebunan memang menjadi andalan masyarakat Kabupaten Belitung karena keberadaan tambang timah rakyat yang mulai menurun dengan keterbatasan lahan penambangan dan fluktuasi harga timah di pasaran.

(21)

lainnya seperti karet, kelapa sawit, kelapa dan aren. Areal penanaman lada pada akhir tahun 2011 adalah seluas 7.423,74 ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung, 2012). Namun jumlah areal perkebunan lada tersebut telah menyusut dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, sebagai gambaran luas areal perkebunan lada pada akhir tahun 2001 mencapai 12.069 ha (Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung, 2002)

Di pasar internasional, komoditas lada khususnya lada putih menjadi salah satu komoditas perkebunan yang diperhitungkan. Berdasarkan data International Pepper Community (2012), diketahui bahwa Indonesia merupakan negara eksportir lada putih terbesar kedua setelah Vietnam. Data tahun 2010 menunjukkan total ekspor lada putih Indonesia mencapai 13.453 ton, dari angka tersebut, Indonesia berkontribusi sekitar 32% dari total ekspor lada putih dunia yang mencapai 41.990 ton. Vietnam tahun 2010 mampu mengekspor lada putih sebanyak 20.000 ton.

Berdasarkan data International Pepper Community (2012), lada putih Indonesia diimpor oleh negara-negara di kawasan Amerika, Asia, Eropa dan Pasifik Oceania. Nilai permintaan lada putih Indonesia oleh beberapa negara importir di kawasan tersebut menunjukkan peningkatan, dimana tahun 2010 negara-negara tersebut mengimpor lada putih sebanyak 13.453 ton atau naik sekitar 17,34 % dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 11.465 ton.

Mengingat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah dikenal sebagai salah satu sentra produksi lada di Indonesia khususnya lada putih, maka eksistensi lada perlu diperhatikan terutama dalam pengembangan wilayah. Keberadaan lada perlu dipertahankan mengingat komoditas perkebunan ini cukup menjanjikan untuk peningkatan ekonomi petani. Berbagai fenomena yang muncul akhir-akhir ini seperti maraknya penambangan timah ilegal dan faktor-faktor lain yang merusak lahan potensial untuk pengembangan pertanian khususnya perkebunan lada perlu dikendalikan. Konversi lahan yang tidak bertanggungjawab harus diminimalisir oleh pemerintah. Hal ini penting guna memberikan alokasi ruang yang lebih terbuka bagi pengembangan perkebunan lada ke depan.

(22)

Belitung telah mengambil langkah dengan melakukan revitalisasi perkebunan lada yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas lada sebagai andalan ekspor nasional, meningkatkan pendapatan petani lada sekaligus mempercepat pengurangan tingkat kemiskinan khususnya di daerah sentra produksi lada (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006). Langkah tersebut antara lain peningkatan produktivitas, mutu hasil, efisiensi biaya produksi dan pemasaran, serta manajemen stok melalui pengembangan inovasi teknologi dan kelembagaan. Namun, langkah revitalisasi ini kurang berjalan optimal dan secara umum belum semua petani menikmati dampak positif dari kebijakan pemerintah tersebut (Pranoto, 2011)

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dan memberikan solusi dalam pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Dalam penelitian ini dikaji upaya pengembangan areal perkebunan lada dengan memetakan potensi lahan yang sesuai dengan persyaratan budidaya lada secara spasial dan biofisik. Penelitian ini juga menganalisis margin pemasaran lada untuk mengetahui dan menilai efisiensi pemasaran lada serta memberikan masukan dalam upaya melindungi petani lada. Disamping itu, penelitian ini juga menggali permasalahan dan harapan dari berbagai stakeholders terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada. Hasil analisis dan olahan data dari penelitian ini diharapkan menjadi pertimbangan dalam merumuskan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung.

1.2. Perumusan Masalah

(23)

Dalam perencanaan pengembangan wilayah di Kabupaten Belitung, pengembangan sektor pertanian harus diperhatikan mengingat share sektor ini terhadap PDRB Kabupaten Belitung cukup besar. Keberadaan sektor pertanian terutama eksistensi komoditas lada yang sudah menjadi icon daerah perlu diperhatikan dan dikembangkan agar produksinya bisa meningkat lagi. Selain itu, prospek usaha perkebunan ini cukup baik dengan harga lada yang semakin menguat beberapa tahun terakhir. Hal penting lainnya, usaha perkebunan lada mampu mempertahankan kelestarian lahan dari eksploitasi pertambangan timah ilegal yang merusak lingkungan.

Untuk mewujudkan usaha pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung, dibutuhkan strategi konkrit yang dapat menjadi arahan bagi pembuat kebijakan dalam perencanaan dan pengembangan wilayah ke depan. Berbagai permasalahan seperti belum teridentifikasinya sentra perkebunan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah serta belum terpetakannya wilayah yang berpotensi untuk pengembangan lada, harus segera ditemukan jawabannya. Disamping itu, permasalahan rantai pemasaran lada juga perlu dianalisis guna mengetahui sejauh mana efisiensi rantai pemasaran dalam arti keuntungan yang diperoleh petani dibandingkan dengan modal dan pengorbanannya. Permasalahan lain yang perlu dikaji yaitu terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung.

Dengan memperhatikan beberapa permasalahan di atas, maka pertanyaan penelitian yang dikaji adalah :

1. Wilayah mana saja di Kabupaten Belitung yang saat ini merupakan sentra perkebunan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah? 2. Wilayah mana saja yang berpotensi untuk pengembangan areal perkebunan

lada di Kabupaten Belitung ?

3. Bagaimana kondisi rantai pemasaran lada di Kabupaten Belitung ?

4. Bagaimana persepsi stakeholders terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung ?

(24)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi dan menganalisis sentra perkebunan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah.

2. Menganalisis dan memetakan wilayah yang berpotensi untuk pengembangan areal perkebunan lada berdasarkan kesesuaian lahannya.

3. Menganalisis rantai pemasaran dan persentase harga jual yang diterima petani lada di Kabupaten Belitung.

4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung menurut persepsi stakeholders

5. Merumuskan arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan pembangunan pertanian khususnya dalam mempertahankan dan mengembangkan keberadaan perkebunan lada di Kabupaten Belitung.

2. Sebagai bahan masukan dalam kebijakan penatagunaan lahan di Kabupaten Belitung.

(25)

1.5 Kerangka Pemikiran

Penelitian arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada (Piper nigrum L) di Kabupaten Belitung didasari kerangka berpikir dengan melihat kondisi aktual dan faktual yang terjadi di Kabupaten Belitung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012) dapat diketahui bahwa PDRB Kabupaten Belitung tahun 2011 masih didominasi oleh sektor pertanian yang menjadi penyumbang terbesar dengan share sektor pertanian sebesar 23,25%. Sub sektor perkebunan memegang peranan besar di sektor pertanian ini selain sub sektor perikanan.

Salah satu komoditas perkebunan yang banyak diusahakan penduduk saat ini adalah lada. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Belitung (2012) diketahui bahwa total luas areal perkebunan lada mencapai 7.423,74 ha, diikuti kelapa sawit rakyat dan karet. Namun angka luas areal perkebunan lada tersebut jauh lebih rendah dibandingkan luas perkebunan lada tahun 2001 yang mencapai 12.069 ha. Dengan demikian telah terjadi penyusutan luas areal perkebunan lada sebesar 38,5%. Kondisi ini tentu perlu diperhatikan dan dilakukan upaya pencegahannya.

(26)
(27)

2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

Pengembangan suatu wilayah pada dasarnya bertujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilakukan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya secara harmonis, serasi dan terpadu dengan pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan.

Pemahaman konsep mengenai wilayah sangat penting dalam pengembangan suatu wilayah. Ada beberapa pengertian wilayah yang harus dipahami terlebih dahulu. Konsep wilayah dalam proses penataan ruang harus meliputi konsep ruang sebagai ruang wilayah ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang wilayah ekologi dan ruang wilayah politik. Wilayah itu sendiri adalah batasan geografis (deliniasi yang dibatasi oleh koordinat geografis ) yang mempunyai pengertian/maksud tertentu atau sesuai fungsi tertentu (Djakapermana, 2010)

(28)

Karakteristik dan potensi suatu wilayah sangat menentukan dalam menerapkan strategi pengembangan suatu wilayah. Oleh karena itu, sebelum melakukan perumusan kebijakan yang dilaksanakan akan lebih baik mengetahui tipe/jenis wilayahnya. Menurut Tarigan (2004), salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pengembangan wilayah adalah menyusun perencanaan wilayah. Perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan dalam wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut (Tarigan, 2004). Perencanaan pembangunan wilayah biasanya terkait dengan apa yang sudah ada di wilayah tersebut.

Pengembangan suatu wilayah erat kaitannya dengan pembangunan wilayah. Pembangunan wilayah adalah kegiatan yang dilakukan secara terencana untuk mencapai hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebagai proses yang bersifat terpadu, pembangunan dilaksanakan berdasarkan potensi lokal yang dimiliki, baik potensi sumberdaya alam, manusia, buatan, maupun sumberdaya sosial. Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Tujuan akhir pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat (Rustiadi et al. 2011). Untuk menilai pembangunan dapat digunakan beberapa indikator sebagai berikut:

a. Indikator berbasis tujuan pembangunan: (1) produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth); (2) pemerataan, keadilan dan keberimbangan (equity); dan (3) keberlanjutan (sustainability).

b. Indikator pembangunan berbasis sumberdaya, yaitu cara mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran operasional berdasarkan pemanfaatan dan kondisi sumberdaya yang meliputi sumberdaya manusia, alam, buatan, dan sumberdaya sosial.

(29)

Menurut Rustiadi et al. (2011), pembangunan regional yang berimbang merupakan pembangunan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan wilayah, yaitu adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian, diharapkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan yang merupakan hasil interaksi yang saling memperkuat diantara sesama wilayah yang terlibat, sehingga dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah (disparitas pembangunan regional).

2.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan

Pertumbuhan suatu wilayah akan berdampak pada peningkatan kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan. Kondisi tersebut mengharuskan perlunya pemikiran yang seksama dalam mengambil keputusan pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas dengan tetap memperhatikan tindakan konservasinya untuk penggunaan di masa yang akan datang (Sitorus, 2004)

Analisis potensi kesesuaian lahan tidak terlepas dari evaluasi lahan baik secara fisik maupun daya dukung sosial ekonomi terhadap pengembangan suatu kegiatan pada lahan atau lokasi tertentu. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan dan merupakan proses penilaian suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu.

(30)

Fungsi evaluasi sumberdaya lahan adalah memberikan pengertian tentang hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil (Sitorus, 2004). Dengan demikian manfaat yang mendasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan (Sitorus, 2004)

Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Tujuan evaluasi lahan (Land evaluation atau Land Assesment) adalah menentukan nilai suatu lahan untuk tujuan tertentu. Menurut FAO (1976), dalam evaluasi lahan perlu memperhatikan aspek ekonomi, sosial, serta lingkungan yang berkaitan dengan perencanaan tataguna lahan.

Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna lahan. Isu utama dalam evaluasi lahan adalah menjawab pertanyaan yaitu lahan manakah yang terbaik untuk suatu jenis penggunaan lahan dan penggunaan lahan apa yang terbaik untuk suatu lahan tertentu. Hasil evaluasi lahan dapat dijadikan dasar untuk memilih berbagai komoditas pertanian alternatif yang akan dikembangkan dalam suatu wilayah.

Hasil evaluasi suatu lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna lahan yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, disamping dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan, juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan sosial lainnya bahkan dapat menghancurkan suatu kebudayaan yang sebelumnya telah berkembang.

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), logika dilakukannya evaluasi lahan adalah :

(31)

2. Keragaman ini mempengaruhi jenis-jenis penggunaan lahan yang sesuai untuk masing-masing satuan lahan

3. Keragaman ini bersifat sistematik sehingga dapat dipetakan

4. Kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dapat dievaluasi dengan ketepatan tinggi bila data yang diperlukan untuk evaluasi cukup tersedia dan berkualitas baik.

5. Pengambilan keputusan atau penggunaan lahan dapat menggunakan peta kesesuaian lahan sebagai salah satu dasar untuk mengambil keputusan dalam perencanaan tataguna lahan.

Dari uraian diatas, maka evaluasi lahan harus dilakukan agar rencana tataguna lahan dapat berjalan dengan optimal. Disamping itu, prediksi yang didasarkan atas kesesuaian lahan untuk berbagai kegiatan produksi dan pengelolaan lahan juga akan memberikan makna yang besar bagi program pembangunan. Melalui prediksi ini juga, konsekuensi-konsekuensi sebaliknya dapat diramalkan, sehingga peringatan-peringatan terhadap lahan yang seharusnya tidak diusahakan/ ditanami dapat dihindari.

2.3 Komoditas Unggulan

Komoditas unggulan merupakan komoditas andalan yang memiliki posisi strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah yang penetapannya didasarkan pada berbagai pertimbangan baik secara teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat). Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas yang mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama di wilayah lain adalah komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Disamping itu, faktor kemampuan suatu wilayah untuk dapat memproduksi dan memasarkan komoditas yang sesuai dengan kondisi lahan dan iklim di wilayah tertentu juga sangat terbatas.

(32)

digunakan yaitu metode Location Quotient (LQ) (Hendayana, 2003). Metode ini lebih bersifat analisis dasar yang dapat memberikan gambaran tentang pemusatan aktifitas atau sektor basis saat ini.

Berbagai komoditas unggulan di sektor pertanian telah banyak dikaji oleh para peneliti di berbagai lembaga penelitian terutama di lingkungan Kementerian Pertanian. Penentuan komoditas unggulan merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi perdagangan (Hendayana, 2003).

Penetapan komoditas unggulan perlu dilakukan sebagai acuan dalam penyusunan prioritas program pembangunan oleh penentu kebijakan mengingat berbagai keterbatasan sumberdaya yang dimiliki baik sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya lahan. Selain itu, keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan juga diharapkan akan lebih baik karena kegiatan yang dijalankan lebih terfokus pada program yang diprioritaskan. Batasan wilayah dalam penetapan komoditas unggulan biasanya merupakan wilayah administrasi baik di tingkat nasional, provinsi, kabupaten maupun kecamatan. Hendayana (2003) telah mengidentifikasi komoditas unggulan pertanian pada tingkat nasional dengan menggunakan metode LQ. Hasilnya menunjukkan bahwa metode LQ sebagai salah satu pendekatan model ekonomi basis yang relevan dan dapat digunakan sebagai salah satu teknik untuk mengidentifikasi komoditas unggulan.

2.4 Prospek Pengembangan Perkebunan Lada (Piper nigrum L)

(33)

Pepper dan dari Propinsi Lampung berupa lada hitam yang dikenal sebagai Lampung Black Pepper sejak sebelum Perang Dunia II.

Lada merupakan komoditas ekspor potensial di Indonesia. Pada tahun 2010, produksi lada di Indonesia menduduki urutan kedua dunia setelah Vietnam. Lada menyumbang devisa negara terbesar keempat untuk komoditas perkebunan setelah minyak sawit, karet dan kopi. Lada Indonesia masih mempunyai kekuatan dan peluang untuk dikembangkan karena lahan yang sesuai untuk lada masih cukup luas, biaya produksi lebih rendah dari negara pesaing, tersedianya teknologi budidaya yang efisien serta adanya peluang untuk melakukan diversifikasi produk guna mengantisifasi harga lada yang fluktuatif.

Lada adalah “King of Spice”, rajanya rempah-rempah dan komoditas perdagangan dunia. Tanaman lada mempunyai sejarah yang panjang dan terkait erat dengan perjalanan bangsa Indonesia. Lada merupakan produk rempah tertua dan terpenting dalam perdagangan dunia. Lada adalah produk pertama yang diperdagangkan antara Barat dan Timur. Pada tahun 1100-1500, perdagangan lada memiliki kedudukan yang sangat penting. Pada waktu itu, lada bukan hanya digunakan untuk rempah-rempah, tetapi juga sebagai alat tukar dan mas kawin.

Menurut George et al. (2005), lada berperan penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penghasil devisa, penyedia lapangan kerja, bahan baku industri, dan untuk konsumsi langsung. Devisa dari lada menempati urutan keempat setelah minyak sawit (CPO), karet, dan kopi. Di Indonesia, lada digunakan sebagai bahan baku industri makanan siap saji, obat-obatan, dan kosmetik. Di beberapa negara, khususnya Perancis, industri parfum memiliki ketergantungan yang besar pada lada. Makanan tradisional maupun masakan Eropa yang berkembang di Indonesia juga menggunakan lada sebagai penyedap. Konsumsi lada di Indonesia mencapai 60 g/kapita/tahun. Dengan jumlah penduduk 220 juta orang, diperlukan 13.200 ton lada/tahun atau 19,6% dari produksi lada nasional.

(34)

berbeda pengolahannya dengan lada hitam yang biasa diusahakan dan diproduksi oleh petani lada di Lampung.

Pengolahan lada putih di Kabupaten Belitung umumnya masih dilakukan dengan cara tradisional. Menurut Laksamanahardja (1990), proses pengolahan lada putih secara tradisional dilakukan dengan melakukan perendaman terhadap buah lada yang telah masak petik selama 8-10 hari, yang kemudian diikuti dengan penggilasan dan pencucian dengan menggunakan air mengalir atau kolam air tergenang.

Jika proses perendaman telah dianggap cukup waktunya, buah lada diangkat dan dituang ke dalam keranjang rotan atau ke dalam bak kayu untuk digilas agar kulitnya terkelupas. Kemudian biji lada yang sudah terpisah dari kulitnya dibilas dengan air bersih lalu dijemur di bawah sinar matahari selama 4-5 hari (tergantung intensitas sinar matahari).

Menurut Laksamanahardja (1990), waktu perendaman yang terbaik adalah 8 hari dan sebaiknya tidak melakukan penundaan perendaman artinya buah lada yang terkumpul dari hasil pemanenan langsung direndam. Penundaan perendaman akan menyebabkan kadar minyak atsiri menurun dan aromanya agak berkurang.

Perbedaan mendasar lada putih dan lada hitam adalah pada proses pengolahan. Lada putih diolah dengan proses perendaman, penggilasan, pencucian dan penjemuran, sementara lada hitam tidak dilakukan proses pengolahan seperti lada putih. Proses pengolahan lada hitam dilakukan dengan melakukan penjemuran langsung terhadap lada hasil panen sampai benar-benar mengering, tanpa dilakukan perendaman sebagaimana pada pengolahan lada putih (Laksamanahardja, 1990).

(35)

Mengingat peran Provinsi Kepulauan Bangka Belitung khususnya Kabupaten Belitung dalam kancah perladaan nasional dan internasional cukup besar, maka penurunan areal tanam dan produksi lada putih (Piper nigrum L) akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi petani lada khususnya, dan perladaan nasional umumnya. Untuk itu, pada penelitian ini akan dibahas arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung yang diharapkan dapat berkontribusi positif bagi masyarakat daerah tersebut.

2.5 Tinjauan Studi Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu dijelaskan dalam sub bab ini terutama yang terkait dengan pengembangan perkebunan dan usaha tani lada. Judul penelitian, pengarang serta hasil penelitian akan diuraikan secara singkat untuk memberikan gambaran dan mencari keterkaitan dengan penelitian yang akan dibahas dalam tesis ini. Berbagai penelitian terdahulu ini diharapkan akan memperkuat argumentasi dan analisis pengembangan perkebunan lada yang diteliti.

Pranoto (2011) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap keuntungan dan daya saing lada putih (Muntok white pepper) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa usaha tani lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung layak dikembangkan karena menguntungkan secara finansial dan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Pola budidaya yang masih tradisional perlu diubah dengan melakukan pola budidaya anjuran yang ramah lingkungan dengan menggunakan tiang panjat hidup. Disamping itu perlunya pengembangan teknologi budidaya dan menciptakan pasar domestik agar kestabilan harga dapat dipertahankan.

(36)

kapabilitas managerial sebagai faktor internal yang dapat mempengaruhi proses/fungsi produksi lada.

Penelitian yang dilakukan Kemala (2011) mengenai strategi pengembangan agribisnis lada untuk meningkatkan pendapatan petani, memberikan gambaran akan berbagai persoalan yang dihadapi petani lada baik pada subsistem hulu maupun subsistem hilir. Penelitian ini memberikan berbagai strategi pemecahan masalah meliputi pentingnya membangun kebun bibit untuk penangkaran lada, mengembangkan pusat pertumbuhan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah serta penguatan kelembagaan dan teknologi.

(37)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang meliputi seluruh kecamatan di Kabupaten Belitung. Kabupaten Belitung merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Secara geografis, Kabupaten Belitung terletak antara 107 08’-10758,5’ Bujur Timur dan 0230’-0315’ Lintang Selatan dengan luas wilayah daratan 2.293,69 km2. Kegiatan persiapan, penelitian lapang, pengolahan dan analisis data serta penyusunan tesis dilaksanakan selama 6 bulan, yaitu dari bulan April sampai September 2012. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian

3.2 Sumber Data dan Informasi Penelitian

Sumber data dan informasi pada penelitian ini berasal dari : a. Sumber data primer

SELA

T

GASPAR KABUPATEN

(38)

Data primer bersumber dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner oleh stakeholders yang terkait dengan usaha budidaya lada baik sebagai pelaku utama, pembuat kebijakan maupun yang terlibat dalam pemasaran lada baik pedagang pengumpul tingkat desa, kecamatan maupun eksportir. Beberapa pihak yang terlibat menjadi responden dalam penelitian ini meliputi unsur Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Belitung, Dinas Perindagkop dan Penanaman Modal Kab. Belitung, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab. Belitung, Anggota DPRD Kab. Belitung, Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kep. Bangka Belitung, akademisi dari Universitas Bangka Belitung, Tokoh Masyarakat, Penyuluh Pertanian, UPTD Balai Informasi Penyuluhan Pertanian dan petani lada.

b. Sumber data sekunder

Data sekunder bersumber dari dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Belitung, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab. Belitung, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kab.Belitung, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kep. Bangka Belitung, International Pepper Community (IPC) serta instansi-instansi lain yang berkompeten dengan data-data yang diperlukan.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Mengawali pelaksanaan penelitian, dilakukan penggalian data dan informasi dasar dengan cara mengumpulkan data dan informasi dari instansi-instansi terkait, melakukan pengamatan langsung ke lapangan dan melakukan wawancara. Wawancara dilakukan dengan meminta pendapat melalui kuesioner kepada pelaku utama (petani) dari perwakilan tiap kecamatan, pembuat kebijakan atau dinas terkait, pelaku pemasaran lada, penyuluh pertanian dan akademisi. Informasi dan data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya digunakan sebagai bahan dasar untuk kuesioner utama.

(39)

Untuk melakukan wawancara dan pengisian kuesioner pada kuesioner pendahuluan, maka dilakukan pengambilan sampel dari berbagai pihak yang terkait dengan usaha budidaya lada baik dari unsur pelaku utama (petani lada) yang tersebar di tiap kecamatan, pembuat kebijakan (Dinas Pertanian dan Kehutanan dan Bappeda Kabupaten Belitung), Penyuluh Pertanian, Ketua Kelompok Tani, Balai Informasi Penyuluhan Pertanian Kabupaten Belitung, akademisi dan tokoh masyarakat. Jumlah semua responden berjumlah 35 orang. Kuesioner pada tahap pertama akan menjadi dasar pertanyaan pada kuesioner utama baik untuk kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP) maupun analisis A’WOT.

Kuesioner utama digunakan untuk menjaring persepsi responden guna mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada yang dilakukan dengan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP) dimana wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan dengan pendekatan purposive sampling, dan sampel (responden) ditentukan berdasarkan pertimbangan penelitian. Dalam pelaksanaan Analytical Hierarchy Process (AHP), jumlah responden dipilih sebanyak 10 (sepuluh) orang yang mewakili Bappeda Kabupaten Belitung, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Belitung, Dinas Peridustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Belitung, Anggota DPRD Kabupaten Belitung, akademisi dari Universitas Bangka Belitung, Badan Pengelolaan, Pengembangan dan Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, penyuluh pertanian, UPTD Balai Informasi Penyuluhan Pertanian, tokoh masyarakat dan petani lada.

(40)

3.4 Teknik Analisis Data

Untuk mengetahui arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung, terlebih dahulu harus diketahui gambaran umum potensi dan karakteristik daerah berdasarkan data-data sekunder yang terkumpul. Dari berbagai data sekunder tersebut, kemudian dilakukan analisis data yang dipadukan dengan kuesioner (analisis data primer) untuk kemudian diolah dan dijadikan dasar dalam penentuan arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Matriks analisis penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan sumber data, teknik analisis data dan output yang diharapkan

No Tujuan Jenis Data Sumber

Data Analisis Data Teknik Output DiharapkanYang

(41)

Tabel 1. (lanjutan)

No. Tujuan Jenis Data Sumber

Data Analisis Data Teknik Output Yang Diharapkan

3. Menganalisis rantai pemasaran lada dan

kuesioner  Hasil Analisis Analytical Hierarchy Process tahapan dan teknik analisis data. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis sentra perkebunan lada berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah digunakan teknik analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA). Location Quotient (LQ) yang dalam penelitian ini dilakukan menggunakan data luas areal tanam lada tahun 2008, 2009, 2010 dan tahun 2011. Sementara untuk Shift Share Analysis (SSA) menggunakan kombinasi dua titik tahun yaitu tahun 2008 dan 2011.

(42)

(land use) eksisting dengan metode Sistem Informasi Geografis. Analisis ini menggunakan berbagai peta tematik dan tetap mengacu pada persyaratan kualitas lahan tanaman lada.

Efisiensi margin pemasaran dan rantai tata niaga lada akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis margin pemasaran. Untuk mengetahui persepsi stakeholders terhadap faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan perkebunan lada akan dilakukan pengumpulan data melalui wawancara dan pengisian kuesioner yang selanjutnya diolah datanya menggunakan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP) . Berbagai analisis tersebut sangat penting dan dibutuhkan untuk merumuskan strategi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Strategi pengembangan perkebunan lada ini didasari dengan analisis A’WOT (kombinasi AHP dan SWOT) terhadap berbagai faktor – faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pengembangan perkebunan lada. Kerangka operasional penelitian disajikan pada Gambar 3.

(43)

Beberapa teknik analisis yang dilakukan berdasarkan Tabel 1 dan kerangka operasional diuraikan berikut ini.

3.4.1 Analisis Sentra Perkebunan Lada

Analisis sentra perkebunan lada dalam penelitian ini didasari oleh keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah. Metode yang digunakan yaitu Location Quotient (LQ) untuk menganalisis keunggulan komparatif dan Shift Share Analysis (SSA) untuk menganalisis keunggulan kompetitif wilayah. Teknik analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share Analysis (SSA) diuraikan berikut ini.

3.4.1.1 Analisis Location Quotient (LQ)

Analisis LQ digunakan untuk mengetahui lokasi pemusatan/basis aktivitas dan menunjukkan peranan sektor dan mengetahui kapasitas ekspor perekonomian wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi suatu wilayah. Untuk komoditas yang berbasis lahan seperti tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, perhitungannya didasarkan pada lahan pertanian (luas panen atau luas tanam), produksi atau produktivitas (Hendayana, 2003). Menurut Rustiadi et al. (2011), analisis LQ merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktifitas tertentu dengan pangsa aktifitas tersebut dalam wilayah secara agregat. Secara lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total wilayah dengan rumus sebagai berikut.

LQ =XX /X.

. /X..

Keterangan :

LQ = Nilai LQ untuk aktivitas ke-j di wilayah ke-i

X = derajat aktivitas ke –j pada wilayah ke-i

X. = derajat aktivitas total pada wilayah ke-i

X. = derajat aktifitas ke-j pada total wilayah

(44)

i = wilayah/kecamatan yang diteliti j = aktivitas ekonomi yang dilakukan

 Jika nilai LQ > 1, komoditas tanaman perkebunan ke-i memiliki keunggulan komparatif untuk dikembangkan di suatu wilayah (kecamatan)  Jika nilai LQ < 1, komoditas tanaman perkebunan ke-i tidak memiliki keunggulan komparatif untuk dikembangkan di suatu wilayah (kecamatan) Dalam penelitian ini, analisis Location Quotient (LQ) dilakukan dengan mengambil dasar perbandingan yaitu luas areal tanam perkebunan. Luas areal perkebunan lada dari masing-masing kecamatan dibandingkan dengan luas areal perkebunan di kecamatan yang bersangkutan. Kemudian hasil perbandingan tersebut dibandingkan dengan hasil luas areal perkebunan lada di Kabupaten Belitung dengan total luas areal perkebunan di Kabupaten Belitung.

3.4.1.2 Shift Share Analysis (SSA)

Menurut Rustiadi et al. (2011), Shift Share Analysis (SSA) dilakukan untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil Shift Share Analysis juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktivitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas. Rumus untuk menghitung Shift Share Analysis sebagai berikut :

Keterangan : a = komponen share

b = komponen proportional shift c = komponen differential shift

X.. = Nilai total aktivitas dalam total wilayah

X.i = Nilai total aktivitas tertentu dalam total wilayah Xij = Nilai aktivitas tertentu dalam unit wilayah t1 = titik tahun akhir

(45)

Pelaksanaan Shift Share Analysis (SSA) pada penelitian ini menggunakan data dasar dari luas areal tanam perkebunan lada baik di masing-masing kecamatan maupun total luas areal perkebunan lada di Kabupaten Belitung. Disamping itu digunakan juga data total luas areal perkebunan di Kabupaten Belitung.

Dengan melakukan pengolahan data melalui Shift Share Analysis (SSA), diharapkan akan diketahui nilai komponen share, proportional shift dan differential shift dari masing-masing komoditas perkebunan di tiap kecamatan. Wilayah/kecamatan dimana nilai differential shift komoditas ladanya menunjukkan angka positif, maka perkebunan lada di kecamatan tersebut memiliki keunggulan kompetitif untuk pengembangan perkebunan lada ke depan.

3.4.2 Analisis Wilayah Yang Berpotensi Untuk Pengembangan Perkebunan Lada

Analisis wilayah yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dalam penelitian ini dilakukan dengan memadukan peta kesesuaian lahan aktual dengan peta penggunaan lahan (land use) eksisting. Peta kesesuaian lahan aktual lada dalam penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada analisis kesesuaian lahan menurut FAO dalam "Framework of Land Evaluation" (FAO,1976). Sistem FAO dapat dipakai untuk klasifikasi kuantitatif maupun kualitatif tergantung dari data yang tersedia (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Analisis wilayah yang berpotensi untuk pengembangan perkebunan lada dilakukan dengan pengolahan data sekunder menggunakan metode Sistem Informasi Geografis (SIG). Data sekunder yang digunakan dalam analisis ini terdiri dari beberapa peta tematik antara lain peta satuan lahan (land unit) Kabupaten Belitung, peta penggunaan lahan (land use) eksisting tahun 2009 dan peta administrasi Kabupaten Belitung. Disamping itu dalam analisis wilayah yang berpotensi ini juga digunakan kriteria persyaratan kesesuaian lahan untuk perkebunan lada yang dikeluarkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) .

(46)

kesesuaian lahan aktual lada dibuat dengan memadukan peta satuan lahan (land unit) dengan persyaratan kualitas lahan untuk tanaman lada yang dikeluarkan oleh BBSDLP sehingga diperoleh kelas kesesuaian lahan aktual pada tiap satuan lahan di Kabupaten Belitung.

Kelas yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga) dalam ordo S (sesuai) dan satu kelas yang dipakai dalam ordo N (tidak sesuai). Peta kesesuaian lahan perkebunan lada pada penelitian ini berupa kelas dan sub kelas. Menurut Sitorus (2004) dan Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), sistem FAO menjabarkan kelas kesesuaian lahan sebagai berikut :

Kelas S1 : Sangat sesuai (Highly suitable).

Lahan ini tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. Kelas S2 : Cukup sesuai (Moderately suitable)

Lahan yang mempunyai pembatas-pembatas agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.

Kelas S3 : Sesuai marginal (Marginally suitable)

Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.

Kelas N : Tidak sesuai (Not suitable)

Lahan ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan. Dengan demikian lahan ini tidak dijadikan arahan pengembangan lada.

(47)

Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Belitung tahun 2005-2015 untuk mengetahui apakah wilayah tersebut menjadi lokasi arahan atau bukan bagi pengembangan perkebunan lada. Penentuan lokasi arahan akan dibahas pada sub metode selanjutnya pada penelitian ini.

3.4.3 Analisis Margin Pemasaran

Margin pemasaran adalah perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima oleh petani (Rahim dan Hastuti, 2008). Analisis margin pemasaran digunakan untuk mengetahui siapakah yang menikmati keuntungan terbesar dari rantai pemasaran yang ada. Semakin besar nilai proporsi margin keuntungan yang diterima petani berarti bargaining position petani lebih menguntungkan, demikian pula sebaliknya. Dari rantai-rantai pemasaran yang terbentuk di masyarakat, dengan analisis margin pemasaran maka rantai pemasaran yang terefisien akan diketahui. Masukan tersebut merupakan hal yang penting dalam rangka pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung.

Analisis ini dilakukan menggunakan data hasil wawancara dan kuesioner dari petani, pedagang pengumpul tingkat desa, pengumpul tingkat kecamatan, dan pedagang besar (eksportir) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Menurut Rahim dan Hastuti (2008), apabila dalam pemasaran suatu produk pertanian terdapat lembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran, margin pemasaran secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

= ∑

,

Cij

+

Keterangan :

M = Margin Pemasaran

Mj = Margin tataniaga (Rp/kg) lembaga tataniaga ke-j (j=1,2,…,m) dan m adalah jumlah lembaga tataniaga yang terlibat.

Cij = Biaya pemasaran untuk melaksanakan fungsi pemasaran ke-i oleh lembaga pemasaran ke-j

= Keuntungan yang diperoleh oleh lembaga pemasaran ke j = Jumlah jenis biaya pemasaran

(48)

3.4.4 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Perkebunan Lada

Penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP). Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana analisis ini dapat digunakan untuk memahami suatu sistem dan membantu dalam melakukan prediksi dan pengambilan keputusan. Menurut Marimin (2008), prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberikan nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut.

Dalam menentukan arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung, maka perlu diketahui persepsi stakeholders terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada tersebut. Menurut Saaty (1980), langkah-langkah yang dilakukan dalam metode AHP sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi atau menetapkan masalah-masalah yang muncul 2. Menetapkan tujuan, kriteria dan hasil yang ingin dicapai

3. Mengidentifikasi kriteria-kriteria yang mempunyai pengaruh terhadap masalah yang ditetapkan

4. Menetapkan struktur hierarki

5. Menetukan hubungan antara masalah dengan tujuan, hasil yang diharapkan, pelaku /obyek yang berkaitan dengan masalah, dan nilai masing-masing faktor 6. Membandingkan alternatif-alternatif (comparative judgement)

7. Menentukan faktor-faktor yang menjadi prioritas

(49)

Menurut Marimin (2008), beberapa prinsip dasar kerja AHP dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Penyusunan Hierarki

Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, dan setiap unsur kemudian diuraikan menjadi beberapa kriteria dari unsur yang bersangkutan untuk selanjutnya disusun menjadi struktur hierarki.

2. Penilaian Kriteria

Kriteria dinilai melalui perbandingan berpasangan. Dalam menentukan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen keputusan, penilaian pendapat (judgement) dilakukan dengan menggunakan fungsi berpikir dan dikombinasi dengan intuisi, perasaan, penginderaan dan pengetahuan. Penilaian pendapat ini dilakukan dengan perbandingan berpasangan yaitu membandingkan setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkatan hierarki secara berpasangan sehingga akhirnya dapat diketahui tingkat kepentingan elemen dalam pendapat yang bersifat kualitatif.

Untuk mengkuantifikasi pendapat tersebut, digunakan skala penilaian sehingga diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif). Hasil penilaian disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. Menurut Saaty (1980), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat seperti Tabel 2.

Tabel 2. Skala dasar ranking Analytical Hierarchy Process (AHP)

Nilai Keterangan

1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain 5 Elemen yang satu lebih penting dari elemen yang lain

(50)

3. Penentuan Prioritas

Berdasarkan matriks perbandingan berpasangan, kemudian dicari nilai eigen valuenya untuk mendapatkan prioritas lokal. Nilai-nilai perbandingan relatif tersebut kemudian diolah untuk mendapatkan peringkat relatif dari keseluruhan kriteria. Baik kriteria kualitatif maupun kriteria kuantitatif, dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik.

4. Konsistensi logis

Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis. Jika penilaian tidak konsisten, maka proses harus diulang untuk memperoleh penilaian yang lebih tepat.

(51)

Gambar 4. Struktur hierarki AHP dalam penilaian faktor-faktor pengembangan perkebunan lada

Penyebaran kuesioner merupakan teknik untuk menangkap persepsi responden yang kemudian jawaban yang disampaikan responden diolah menggunakan program Expert Choice 11 dan Microsoft Excell. Dengan pengolahan data dari kuesioner tersebut, maka dapat diketahui persepsi masing-masing responden dan persepsi keseluruhan responden mengenai bobot dan prioritas kepentingan dari tiap faktor yang mempengaruhi pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung.

3.4.5 Analisis Arahan dan Strategi Pengembangan Perkebunan Lada

Analisis arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada meliputi analisis penentuan lokasi yang menjadi arahan untuk pengembangan perkebunan lada dan strategi pengembangan perkebunan lada. Analisis lokasi arahan pengembangan perkebunan lada dilakukan dengan metode Sistem Informasi Geografis, sedangkan untuk strategi pengembangan perkebunan lada dilakukan

Modal

(52)

dengan metode A’WOT (kombinasi AHP dan SWOT). Analisis lokasi arahan dan strategi pengembangan perkebunan lada diuraikan berikut ini.

3.4.5.1 Analisis Lokasi Arahan Pengembangan Perkebunan Lada

Lokasi yang akan dijadikan arahan pengembangan perkebunan lada dapat diketahui dengan membuat peta arahan pengembangan perkebunan lada di Kabupaten Belitung dan memperhatikan hasil analisis sentra perkebunan lada (LQ dan SSA) dari sub metode yang dilakukan sebelumnya. Pembuatan peta lokasi arahan diawali dengan menyiapkan peta kesesuaian lahan aktual untuk tanaman lada. Selanjutnya peta tersebut dioverlay dengan peta RTRW tahun 2005-2015, sehingga didapatkan peta kesesuaian lahan tanaman lada pada kawasan perkebunan. Kemudian dilakukan overlay lagi dengan peta penggunaan pahan tahun 2009 dengan tujuan untuk mendapatkan lahan-lahan yang masih memungkinkan untuk pengembangan tanaman lada. Mengingat di Kabupaten Belitung terdapat beberapa perkebunan besar swasta, kawasan penambangan timah dan kawasan hutan, maka peta-peta tematik dari kawasan perkebunan, kawasan penambangan dan kawasan hutan juga dilakukan overlay dengan peta kelas kesesuaian lahan aktual agar lokasi arahan berada di luar kawasan penambangan timah, perkebunan besar dan kawasan hutan tersebut.

Peta RTRW yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta RTRW Kabupaten Belitung tahun 2005-2015. RTRW Kabupaten Belitung 2011-2031 masih dalam tahap proses penyempurnaan saat penelitian ini berlangsung. Analisis lokasi arahan pengembangan perkebunan lada ke depan dapat disempurnakan dengan metode yang sama seperti tertera pada penelitian ini, hanya untuk arahannya menggunakan peta RTRW Kabupaten Belitung tahun 2011-2031.

3.4.5.2 Analisis A’WOT

Gambar

Gambar 2. Peta lokasi penelitian
Tabel 1. Jenis dan sumber data, teknik analisis data dan output   yang diharapkan
Tabel 1. (lanjutan)
Gambar 3. Kerangka operasional penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Teknik sampling adalah teknik pengambilan sampel. Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai teknik sampling yang digunakan. Teknik sampling

Berdasarkan analisis hasil evaluasi yang terdiri dari 14 soal berupa essay, soal nomor lima merupakan soal yang hampir semua siswa (di atas 85%) menjawab dengan benar. Hal

Penetapan Kadar Tablet Amlodipin Besilat Menggunakan Metode Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel Berdasarkan Brominasi dan Reaksinya dengan Kuning Metanil.. Dibawah

Konsep yang akan dibawa dalam melakukan desain kapal pengangkut ikan adalah dengan melakukan modifikasi rancangan terhadap jenis kapal pengangkut ikan yang telah ada di

Ketapang Tahun Anggaran 2017 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada Paket tersebut di atas sebagai berikut :. : #Tujuh Puluh Sembilan Juta Dua Ratus Ribu Rupiah# PEMERINTAH

Buku Bernyanyilah Bagi Tuhan (BBT) yang berisi kumpulan nyanyian liturgi kaum muda kiranya sangat diterima oleh kaum muda. Hadirnya nyanyian-nyanyian liturgi dalam buku

Hasil penelitian menunjukkan bah- wa: (1) buku pegangan guru dan buku pegangan siswa dalam setiap tema mengandung muatan nilai- nilai karakter dengan jumlah bervariasi dan

Selanjutnya secara khusus dapat ditarik simpulan sebagai berikut: (1) Perencanaan pembelajaran menggunakan media gambar seri untuk meningkatkan kemampuan peserta didik