• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Efficiency Analysis of Sugar Cane Production in the Working Area of PTPN VII Bungamayang Business Unit North Lampung District Lampung Province.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Efficiency Analysis of Sugar Cane Production in the Working Area of PTPN VII Bungamayang Business Unit North Lampung District Lampung Province."

Copied!
284
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI TEBU RAKYAT

DI WILAYAH KERJA PTPN VII UNIT USAHA

BUNGAMAYANG KABUPATEN LAMPUNG UTARA

PROPINSI LAMPUNG

KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang terbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

(4)
(5)

ABSTRACT

KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI. The Efficiency Analysis of Sugar Cane Production in the Working Area of PTPN VII Bungamayang Business Unit North Lampung District Lampung Province. Under direction of RATNA WINANDI and WILSON HALOMOAN LIMBONG.

The objectives of this study are: (1) to analyze smallholder sugarcane farm system (plant-cane and ratoon cropping patterns) in partnerships that Tebu Rakyat Kredit (TRK-Credit Sugarcane Smallholder partnership) and Tebu Rakyat Bebas (TRB-Independent Sugarcane Smallholder partnership) in the working area of PTPN VII Bungamayang Business Unit and influence partnerships on sugarcane farmers' income levels of sugarcane smallholder, (2) to analyze production efficiency rate on sugarcane smallholders in the working area of PTPN VII Bungamayang Business Unit and influence of partnership on production efficiency on sugarcane smallholders. The results of farm income analysis indicate that smallholder sugarcane farm in the study area on plant-cane and ratoon cropping pattern financially feasible. Farmers' income on ratoon greater than plant-cane cropping pattern and farmers' income on TRK partnership greater than TRB. The estimation results of smallholder sugarcane farms using a frontier production function shows that land, fertilizer (Urea, TSP, KCL), pesticide (solid and liquid) and labour variable have positive significant effect in plant-cane cropping pattern. While land, fertilizer (Urea, TSP, KCL), pesticide (liquid) and labour variable have positive significant effect on ratoon cropping patterns. The technical inefficiency of farmers on plant-cane and ratoon cropping pattern is influenced by education, experience and farm size. Farm size has greatest influence to reducing technical inefficiencies. The partnership has positive influence because it makes farmers efficient technically on plant-cane and ratoon cropping patterns. The farmers have been able to reach allocative and economic efficiency on ratoon but have not on plant-cane cropping patterns. Based on partnership TRB farmers more efficient in technical, allocative and economic efficiency than TRK.

(6)
(7)

RINGKASAN

KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI. Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung. Dibimbing RATNA WINANDI dan WILSON HALOMOAN LIMBONG.

Gula merupakan salah satu komoditas yang sangat penting dalam perekonomian. Selain sebagai sumber mata pencaharian bagi petani dan pekerja, gula juga merupakan bahan utama bagi industri makanan dan minuman. Konsumsi gula diperkirana akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk. Peningkatan konsumsi gula ternyata tidak dimbangi dengan produksinya. Rata-rata produksi gula nasional masih sangat rendah sehingga terjadi defisit dalam pemenuhan kebutuhan gula nasional. Defisit pemenuhan gula selama ini adalah dengan melakukan impor yang pada gilirannya menimbukan ketergantungan. Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi gula nasional untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap gula impor.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi gula nasional adalah peningkatan produksi tebu rakyat karena produksi gula nasional sebagian besar dihasilkan dari tebu perkebunan rakyat. Selain itu peningkatan produksi tebu rakyat juga penting mengingat produksi maupun produktivitas tebu rakyat yang cenderung masih rendah saat ini. Rendahnya produktivitas juga mencerminkan rendahnya tingkat efisiensi yang berpangkal pada tidak optimalnya budidaya dalam aktivitas usahatani. Peningkatan produktivitas ini penting mengingat produktivitas yang rendah pada giliraanya akan berpengaruh pada pendapatan petani. Pendapatan yang rendah menyebabkan modal yang dimiliki petani terbatas. Biaya usahatani yang meningkat sering menyebabkan petani tidak mampu melakukan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi sebagaimana mestinya. Salah satu satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah mengembangkan kemitraan antara petani dengan pabrik gula. Dengan adanya kemitraan, petani mendapatkan permodalan sehingga dapat menggunakan input yang proporsional dan tepat. Selain itu, kemitraan memungkinkan petani mendapatkan bimbingan dari pabrik sehingga dapat menjalankan usahataninya dengan lebih baik dan efisien. Salah satu kemitraan antara petani dengan pabrik gula adalah kemitran antara petani tebu rakyat di Lampung Utara dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis sistem usahatani tebu rakyat (pola non-keprasan dan keprasan) pada kemitraan Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB) dan pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. (2) Menganalisis tingkat efisiensi dan faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi usahatani tebu rakyat dan pengaruh pola kemitraan di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.

(8)

fungsi produksi Cobb Douglas dan diestimasi menggunakan Ordinary Least Squares (OLS) dan Maximum Likelihood Estimation (MLE).

Pola tanam non-keprasan adalah pola budidaya tebu dengan menggunakan bibit dan pola tanam keprasan adalah pola budidaya tebu yang tumbuh setelah tanaman pertama ditebang atau dari sisa tanaman yang ditebang. Hasil analisis pendapatan usahatani menunjukkan bahwa usahatani tebu di wilayah penelitian baik pada pola tanam non-keprasan maupun keprasan layak diusahakan secara finansial karena nilai R/C rasio masih lebih besar dari satu. Hasil analisis juga menunjukkan pendapatan petani dengan pola keprasan lebih tinggi dibandingkan dengan pola non-keprasan. Selain itu, pendapatan petani dengan pola kemitraan TRK lebih besar dibandingkan pola TRB.

Hasil estimasi usahatani tebu fungsi produksi frontier pada pola non-keprasan dijumpai variabel lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida padat, pestisida cair dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi tebu. Hasil estimasi usahatani tebu fungsi produksi frontier pada pola keprasan dijumpai variabel lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida cair dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap produksi tebu di daerah penelitian. Faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis baik pada pola tanam non-keprasan mupun non-keprasan adalah pendidikan, pengalaman dan ukuran usahatani. Petani dengan pola tanam keprasan lebih efisien dibandingkan petani dengan pola keprasan baik secara teknis, alokatif maupun ekonomi. Berdasarkan pada pola kemitraan, petani TRB lebih efisien dibandingkan petani TRK baik secara teknis, alokatif maupun ekonomis. Hal ini karena petani TRB memiliki lahan lebih luas dan lebih fleksibel dalam penggunaan inputnya.

Ukuran usahatani memiliki pengaruh paling besar untuk mengurangi inefisiensi teknis dimana petani yang memiliki lahan lebih besar cenderung lebih efisien. Hal ini erat kaitannya dengan skala usaha. Mengingat penambahan luas lahan sulit dilakukan, maka peran kelembagaan baik melalui koperasi maupun kelompoktani perlu ditingkatkan untuk mencapai skala usaha bagi para petani yang memiliki lahan sempit.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(10)
(11)

ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI TEBU RAKYAT

DI WILAYAH KERJA PTPN VII UNIT USAHA

BUNGAMAYANG KABUPATEN LAMPUNG UTARA

PROPINSI LAMPUNG

Oleh:

KHOIRUL AZIZ HUSYAIRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Utara Propinsi Lampung

Nama : Khoirul Aziz Husyairi

NIM : H353090141

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ratna Winandi, MS Prof. Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis Program Magister Sains dengan judul: “Analisis Efisiensi Produksi Tebu Rakyat di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang Kabupaten Lampung Propinsi Lampung Utara”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku ketua komisi dan Prof. Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan serta masukan yang berharga dalam penyusunan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Segenap staf Pabrik Gula PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Propinsi Lampung, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Lampung Utara, Dinas Koperasi UMKM Perindustrian dan Perdagangan Lampung Utara, Pengurus KUT Sejahtera Utama dan KPTR Manis Sejahtera serta semua pihak atas dukungan dan peran-sertanya sehingga penelitian tesis ini dapat berjalan dengan baik.

2. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS selaku Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian beserta para Dosen yang telah yang telah memberikan bimbingan dalam menjalani perkuliahan di Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana, IPB.

3. Seluruh teman-teman EPN angkatan 2009 atas kebersamaan dalam suka dan duka selama perkuliahan dan penulisan tesis ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Mba Nurul Qomaria atas diskusinya yang sangat efektif dalam menunjang penyelesaian tesis ini.

4. Mas Feryanto dan Mas Suprehatin yang selalu memberikan semangat, dukungan dan doa kepada penulis selama menyelesaikan tesis ini.

5. Staf Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian yang sabar serta penuh pengertian dalam melayani penulis baik selama perkuliahan maupun sampai akhir penulis menyelesaikan studi.

(16)

doa untuk keberhasilan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai pengetahuan dan sumber informasi yang berguna bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2012

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Klaten pada tanggal 16 Januari 1984 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan S. Syahroni dan Siti Rojiah.

(18)
(19)

DAFTAR ISI

1.4.Ruang Lingkup Dan Keterbatasan Penelitian ... 12

1.5.Manfaat Penelitian ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Usahatani Tebu ... 13

2.1.1. Usahatani Tebu Pola Tanam (Non-Keprasan) dan Pola Keprasan ... 13

2.1.2. Usahatani Tebu Lahan Sawah dan Lahan Kering ... 15

2.2. Efisiensi Produksi Tebu Tebu dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya ... 17

2.3. Pola Kemitraan Dalam Produksi Tebu ... 19

III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 25

3.1.Kerangka Pemikiran Teoritis ... 25

3.1.1. Konsep Usahatani ... 25

3.1.2. Pendapatan Usahatani ... 26

3.1.3. Konsep Efisiensi ... 28

3.1.4. Metode Pengukuran Efisiensi ... 33

3.1.5. Fungsi Produksi Cobb Douglas ... 38

3.2.Kerangka Pemikiran Konseptual ... 39

3.3.Hipotesis Penelitian ... 42

IV. METODE PENELITIAN ... 43

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 43

4.3. Metode Pengambilan Sampel ... 44

4.4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data ... 45

4.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani ... 46

4.4.2. Model Fungsi Produksi ... 47

4.4.3. Analisis Efisiensi Produksi ... 52

(20)

V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL

LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA ... 59

5.1. Perkembangan Kondisi Pergulaan Nasional ... 59

5.1.1. Produksi Gula dan Tebu ... 59

5.1.2. Konsumsi Gula ... 61

5.1.3. Impor Gula ... 62

5.1.4. Kebijakan Terkait Dengan Gula ... 63

5.2. Perkembangan Kondisi Pergulaan di Lampung ... 66

5.3. Perkembangan Kondisi Pergulaan di Lampung Utara ... 67

VI. GAMBARAN UMUM DAN KERAGAAN USAHATANI TEBU DI DAERAH PENELITIAN ... 69

6.2. Keragaan Usahatani Tebu di Daerah Penelitian ... 71

6.2.1. Karakteristik Petani Sampel ... 71

6.2.2. Kepemilikan Lahan ... 73

6.2.3. Keragaan Usahatani Tebu di Daerah Penelitian ... 74

6.2.3. Produktivitas Tebu, Pendapatan dan Biaya Usahatani Tebu Petani TRK dan Petani TRB ... 76

VII. ANALISIS EFISIENSI USAHATANI TEBU ... 79

7.1. Model Fungsi Produksi ... 71

7.2. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 82

7.3. Analisis Skala Usaha ... 88

7.4. Analisis Efisiensi Teknis ... 89

7.4.1. Sebaran Efisiensi Teknis ... 89

7.4.2. Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis ... 92

7.5. Analisis Efisiensi Alokatif dan Ekonomi ... 97

VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 103

8.1. Simpulan ... 103

8.2. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105

(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 2000-2009 ... 1 2. Perkembangan Produksi Tebu, Rendemen, Produksi Gula,

Luas Lahan, dan Produktivitas Gula Tahun 2000-2009 ... 2 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Defisit Gula Nasional

Periode 2001-2009 ... 3 4. Perkembangan Impor Gula Indonesia Periode 1996-2009 ... 4 5. Luas Panen dan Produksi Perkebunan Rakyat,

Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta

2001- 2009 ... 4 6. Perkembangan Produksi Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu

Nasional Tahun 2001-2009 ... 5 7. Perkembangan Luas Lahan Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu

Nasional Tahun 2001-2009 ... 6 8. Produktivitas Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu

Nasional Tahun 2001-2009 ... 7 9. Produktivitas Tebu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Swasta dan

Perkebunan Negara 2004-2009 di Propinsi Lampung ... 7 10. Produktivitas Tebu Rakyat Lampung, Tebu Nasional,

Jawa Timur, Brazil dan Australia Periode 2004-2009 ... 9 11. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat (TR), Nasional, Brazil,

Australia, PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dan

Gunung Madu Plantations (GMP) Periode 2001-2009 ... 9 12. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan

Tebu Rakyat Bebas (TRB) Tahun 2001-2009 ... 11 13. Pengkasteran Petani Tebu Rakyat Kredit Berdasarkan

Sebaran Geografis ... 44 14. Produksi Gula di Jawa, Luar Jawa dan Nasional

Periode 2000-2009 ... 59 15. Perkembangan Produksi Tebu di Jawa, Luar Jawa dan

Nasional Periode 2000-2009 ... 60 16. Perkembangan Luas Lahan Tebu di Jawa, Luar Jawa dan

Nasional Periode 2000-2009 ... 60 17. Jumlah Pabrik Gula dan Kapasitas Gilingnya ... 61 18. Perkembangan Impor Berbagai Jenis Gula di Indonesia

(22)

19. Produksi Gula Beberapa Pabrik Di Propinsi Lampung

Tahun 2003-2009 ... 67 20. Kegiatan Akselarasi Peningkatan Produksi Gula

di Propinsi Lampung 2006-2009 ... 68 21. Rata-rata Curah Hujan di Kabupaten Lampung Utara

Tahun 2006-2009 ... 70 22. Mata Pencaharian Penduduk Lampung Utara ... 70 23. Sebaran Petani Contoh Menurut Umur, Pendidikan dan

Pengalaman di Wilayah Kerja PTPN VII Unit Usaha

Bungamayang Musim Taman 2009/2010 ... 71 24. Analisis Finansial Usahatani Tebu Non-Keprasan

di Daerah Penelitian ... 77 25. Analisis Finansial Usahatani Tebu Keprasan

di Daerah Penelitian ... 78 26. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pola Tanam

Non-Keprasan dengan Menggunakan Metode OLS ... 79 27. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pola Tanam

Non-Keprasan Tanpa Variabel Bibit dengan

Menggunakan Metode OLS ... 81 28. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pola Tanam

Keprasan dengan Menggunakan Metode OLS ... 81 29. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Pola Tanam

Non-Keprasan dan Keprasan ... 82 30. Hasil Pengujian Skala Usaha Fungsi Produksi Rata-Rata

Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan ... 89 31. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Pola Tanam Non-Keprasan dan

Keprasan di Daerah Penelitian ... 90 32. Sebaran Efisiensi Teknis Petani TRK dan TRB Pola Tanam

Non-Keprasan di Daerah Penelitian ... 91 33. Sebaran Efisiensi Teknis Petani Keprasan

Pola Kemitraan TRK dan TRB di Daerah Penelitian ... 92 34. Pendugaan Efek Inefisiensi Teknis

Fungsi Produksi Stochastic Frontier ... 93 35. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Efisiensi Ekonomi Petani Pada

Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan di Daerah Penelitian ... 99 36 Sebaran Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Petani Non-Keprasan

dengan Pola Kemitraan TRK dan TRB di Daerah Penelitian ... 100 37. Sebaran Efisiensi Alokatif dan Ekonomis Petani Keprasan

(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Analisis Usahatani Petani TRK dan Petani TRB

Pola Tanam Non-Keprasan dan Keprasan ... 112 2. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Pola Tanam Non-Keprasan dan

Non-Keprasan Tanpa Benih ... 116 3. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan ... 118 4. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Non-Keprasan Tanpa

Variabel Benih Terestriksi dan Uji Asumsi

Constan Return to Scale (CRTS) ... 119 5. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan Terestriksi dan

Uji Asumsi Constan Return to Scale (CRTS) ... 121 6. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Non-Keprasan

Rata-Rata OLS dan Fungsi Produksi Stochatic Frontier (MLE)

Dengan Menggunakan Frontier 4.1 ... 123 7. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Keprasan

Rata-Rata OLS dan Fungsi Produksi Stochatic Frontier (MLE)

(25)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gula termasuk salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal rata-rata 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu merupakan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1.3 juta orang. Selain itu, gula merupakan salah satu sumber kalori dalam struktur konsumsi masyarakat selain bahan pangan, dan merupakan bahan baku untuk industri makanan dan minuman (Mirzawan et al., 2009). Berdasarkan hal tersebut, maka industri gula yang berbasis tebu dapat digolongkan dalam industri yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang, bahkan yang tertinggi dari seluruh bahan pangan (Minarso dan Ibrahim, 2010).

Pentingnya gula bagi masyarakat di Indonesia tercermin pula pada kebijakan pemerintah yang menetapkan gula sebagai lima komoditas pangan strategis yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 selain beras, kedelai, jagung, dan daging sapi untuk ketahanan pangan. Seiring dengan bertambahnya populasi penduduk, konsumsi gula diperkirakan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Informasi berkaitan dengan perkembangan konsumsi gula dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode 2000-2009

Tahun Kebutuhan Industri (Juta

(26)

menjadi 4.85 pada tahun 2009 atau dengan laju peningkatan rata-rata sebesar 4.84 persen pertahun. Peningkatan konsumsi yang signifikan khususnya pada konsumsi gula untuk industri, ternyata tidak dimbangi dengan upaya peningkatan produksi gula nasional. Tabel 2 menyajikan perkembangan produksi tebu dan gula nasional dari tahun 2000-2009.

Tabel 2. Perkembangan Produksi Tebu, Rendemen, Produksi Gula, Luas Lahan dan Produktivitas Gula Periode 2000-2009 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010

Sumber: (a) Hasil konversi; (b) FAO, 2010; (c) Ditjenbun Kementan, 2010

Produksi gula Indonesia rata-rata sebesar 1.72 juta ton antara tahun 2000-2002 dengan luasan lahan rata-rata 345 274 hektar. Pada tahun 2003, produksi gula Indonesia menurun menjadi 1.63 juta ton atau turun sebesar 0.12 juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya penurunan luas lahan sebesar 14 997 hektar dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 350 722 hektar. Produksi gula nasional setelah tahun 2003 cenderung naik sampai pada tahun 2008. Rata-rata produksi gula nasional sebesar 2.73 ton pertahun dengan laju peningkatan produksi rata-rata per tahun sebesar 10.66 persen (0.2 juta ton perhektar). Peningkatan produksi ini dikarenakan adanya peningkatan luas lahan sebesar 5.44 persen atau 20 156 hektar per tahun.

(27)

Tabel 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi dan Defisit Gula Nasional

Berdasarkan Tabel 3 di atas diketahui bahwa rata-rata pertahun Indonesia mengalami kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri sebesar 1560 ribu ton kurun waktu 2000-2009. Defisit gula nasional tersebut selama ini dipenuhi oleh pemerintah dengan melakukan impor. Keputusan pemerintah untuk melakukan impor gula dalam upaya pemenuhan kebutuhan gula nasional ini justru membuat produksi gula nasional menurun. Sebagai contoh adalah kebijakan impor gula yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan tahuan 2008 yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No. 256/M-DAG/3/2008 tentang Impor GKP, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/PER/5/2008 tentang Impor Gula membuat produksi gula tahun 2009 menurun. Produksi gula nasional sebesar 2.52 juta ton atau turun sebesar 0.15 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 2.67 juta ton pada tahun 2008.

(28)

signifikan selama tahun 2002 sampai dengan tahun 2006. Sebaliknya, sejak tahun 2007 impor gula kembali mengalami peningkatan tajam yang dipicu oleh meningkatnya impor gula rafinasi untuk memenuhi kebutuhan industri.

Tabel 4. Perkembangan Impor Gula Indonesia Periode 1996-2009

Tahun Volume (Ton) Tahun Volume (Ton)

Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi gula nasional untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap gula impor. Salah satu cara meningkatkan produksi gula nasional adalah peningkatan produksi tebu rakyat karena produksi tebu nasional sebagian besar dihasilkan dari perkebunan rakyat. Informasi selengkapnya berkaitan dengan luas areal panen dan produksi perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan besar swasta dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Luas Panen dan Produksi Perkebunan Rakyat, Perkebunan Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta Periode 2001- 2009

Tahun Luas Panen (Ha) 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010. PR: Perkebunan Rakyat, PBN: Perkebunan Besar Negara, PBS: Perkebunan Besar Swasta

(29)

Perkembangan luas perkebunan rakyat cenderung menunjukkan peningkatan. Akan tetapi, pada tahun 2009 terjadi penurunan luas areal perkebunan rakyat seluas 9 564 ha dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya penurunan produksi tebu rakyat sebesar 13 552 ton. Penurunan jumlah produksi tebu rakyat akan memberikan dampak pada penurunan pendapatan bagi petani tebu rakyat. Pendapatan yang rendah menyebabkan modal yang dimiliki petani terbatas. Biaya usahatani yang meningkat sering menyebabkan petani tidak mampu melakukan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi sebagaimana mestinya. Padahal dalam usahatani tebu, tahapan tahapan budidaya dan produksi serta penggunaan teknologi yang tepat merupkan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas yang tinggi sehingga diperoleh pendapatan maksimal (Jasila, 2009). Perbaikan sistem produksi tebu di tingkat petani memiliki arti yang sangat strategis, khususnya pada wilayah-wilayah yang secara teknis dan ekonomis mempunyai potensi untuk dikembangkan. Hal ini juga karena sampai saat ini sekitar 80 persen bahan baku pabrik gula berasal dari tebu rakyat (Malian et al., 2004).

1.2. Perumusan Masalah

Lampung merupakan salah satu propinsi yang menjadi sentra produksi tebu nasional.

Tabel 6. Perkembangan Produksi Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun 2001-2009 2010 dengan data rendemen nasional FAO 2010

(30)
(31)

Tabel 8. Produktivitas Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu Nasional Tahun

Pada kurun waktu 2004-2009, rata-rata produktivitas tebu rakyat hanya 67.81 ton perhektar, lebih kecil dibandingkan dengan produktivitas tebu perkebunan negara yang mencapai 78.75 ton perhektar, dan tebu perkebunan swasta yang mencapai 102.91 ton perhektar. Informasi selengkapnya berkaitan dengan produktivitas tebu di Lampung berdasarkan pengusahaannya disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Produktivitas Tebu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Negara 2004-2009 di Propinsi Lampung

¥ : Data produksi gula dan luas lahan bersumber dari BPS Propinsi Lampung 2005-2010 dengan penyesuaian menurut data produksi nasional Ditjenbun Kementan 2010. Data produksi tebu merupakan konversi dengan menggunakan nilai rendemen FAO 2010.

Sumber: Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2010

(32)

petani.1 Produktivitas yang rendah juga mencerminkan tingkat efisiensi yang rendah. Hal ini berpangkal pada budidaya yang tidak optimal akibat dari: (1) kualitas bahan tanaman yang kurang baik, (2) harga gula yang rendah, dan (3) kebijakan pemerintah yang kurang mendukung (Susila dan Sinaga, 2005b).

Rendahnya produksi dan produktivitas tebu rakyat membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk meningkatkankannya. Salah satu program yang dikeluarkan pemerintah adalah Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula (APPG). Program ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas gula nasional demi tercapainya swasembada gula tahun 2014. Propinsi Lampung merupakan salah satu propinsi yang menjadi sasaran dari program tersebut karena Lampung termasuk sentra produksi tebu nasional dengan Kabupaten Lampung Utara sebagai daerah pelaksanaan program tersebut. Pemilihan perkebunan rakyat karena tebu rakyat sering menghadapi masalah, yaitu: (1) lemahnya modal usahatani, (2) lemahnya penguasaan teknologi, (3) lemahnya lembaga penyedia sarana produksi, dan (4) teknologi pascapanen (Sriati et al, 2008). Berbagai kelemahan tersebut dinilai menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas tebu rakyat. Akan tetapi kebijakan tersebut gagal karena tidak mencapi target yang ditetapkan2.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mencapai swasembada gula melalui peningkatan produksi gula nasional sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, ternyata masih menghadapi berbagai kendala. Kondisi ini juga terlihat pada usahatani tebu rakyat di Lampung. Rata-rata tingkat produktivitas tebu rakyat kurun waktu 2004-2009 masih sangat rendah yaitu sebesar 67.51 ton perhektar. Kondisi ini masih jauh jika dibandingkan dengan produktivitas di Brazil dan Australia dengan nilai rata-rata 75.12 ton perhektar dan 83.27 ton perhektar pada kurun waktu yang sama sebagaimana ditunjukkan Tabel 10.

1

Wayan R. Susila. 2005. Peningkatan Efisiensi Industri Gula Nasional melalui Perbaikan Sistem Bagi Hasil antara Petani dan PG.http://www.ipard.com[Diakses tanggal 14 Oktober 2014]

2

(33)

Tabel 10. Produktivitas Tebu Rakyat Lampung, Tebu Nasional, Jawa Timur,

Sumber: (a) PTPN VII, 2011; (b) Ditjenbun Kementan, 2010; (c) FAO, 2010

Produktivitas rendah ini juga diakibatkan adanya sistem bagi hasil antara petani dengan pabrik gula yang kurang memotivasi petani untuk meningkatkan produksinya. Sistem bagi hasil yang berlaku saat ini adalah 66 persen dari total produksi gula untuk petani dan 34 persen untuk pabrik gula sebagai upah pengolahan. Sistem ini masih sering menimbulkan perdebatan. Bagi petani, bagian mereka seharusnya bisa lebih tinggi bila pengolahan di pabrik gula berjalan efisien dan kapasitas giling cukup memadai (Susila dan Sinaga, 2005a). Rendahnya produktivitas tebu rakyat ini semakin diperburuk dengan rendemen yang rendah pula sebagaimana disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat (TR), Nasional, Brazil,

(34)

masih dibawah rendemen tebu PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, tebu swasta (Gunung Madu Plantations). Angka ini akan semakin jauh jika dibandingkan dengan Brazil dan Australia yang mempunyai rendemen rata-rata berturut-turut 11.38 dan 14.61.

Kebijakan lain untuk meningkatkan produktivitas tebu adalah dengan memberikan bantuan kredit bagi petani tebu rakyat melalui hubungan kemitraan dengan pabrik gula dimana pabrik gula bertindak sebagai avalis antara petani dan pihak perbankan. Kebijakan ini dinilai penting untuk mengatasi permasalahan permodalan yang sering menjadi kendala para petani tebu rakyat (Retna, 1999; Sriati et al, 2008). Lebih lanjut Fadjar (2006) menyatakan meskipun pelaksanaan kemitraan usaha perkebunan belum dapat mengatasi ketimpangan antara perkebunan besar dan perkebunan rakyat, namun kelemahan tersebut dapat diperbaiki melalui pemberdayaan masyarakat perkebunan yang komunikatif. Sikap komunikatif diharapkan menciptakan kemitraan yang mampu mendistribusikan peluang dan manfaat usaha serta aset produksi kepada petani.

Di Kabupaten Lampung Utara terdapat satu perusahaan persero yang mengolah tebu menjadi gula dalam skala yang besar untuk memenuhi permintaan gula di pasaran yaitu PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. PTPN VII Unit Usaha Bungamayang melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu melalui Program Tebu Rakyat Kredit (TRK) untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. TRK memiliki arti penting sebab melalui program ini peserta akan diberikan kemudahan kredit dan sarana produksi dalam rangka peningkatan pendapatan.

Pada pelaksaannya kemitraan antara PG dan petani ini bukanlah tanpa kendala. Salah satu contohnya adalah penyaluran kredit penyediaan pupuk yang disaat para petani sudah melewati masa pemupukan. Bunga kredit yang harus dibayarkan petani juga cukup besar yaitu 6 - 7 persen pertahun. Besaran ini sangatlah jauh dibandingkan dengan kredit bagi petani tebu di Vietnam, Thailand, dan Brazil yang besarnya berturut-turut 1.5 persen, 1.3 persen dan 1.1 persen.3 Selain pemberian kredit yang terlambat dan besarnya bunga yang harus dibayarkan, masalah lain yang muncul adalah besarnya kredit yang tidak sesuai

3

Soemitro Samadikoen (Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat

Indonesia) dalam Rendemen Gula 10 Agar Indonesia Swasembada.

(35)

dengan kebutuhan. Salah satu contoh adalah dengan pemberian kredit tebang muat dan angkut yang besarnya jauh dibawah kebutuhan para petani akibat mahalnya biaya tenaga kerja dalam proses tebang muat dan angkut yang hampir mencakup 50 persen dari biaya usahatani tebu. Kurang maksimalnya penggunaan input sebagai akibat dari berbagai masalah diatas, akan sangat berpengaruh terhadap tingkat efisiensi usahatani tebu rakyat khususnya tebu rakyat kredit karena budidaya yang dilakukan pada gilirannya juga tidak maksimal.

Selain para petani tebu rakyat yang tergabung dalam TRK, berkembang pula pola kemitraan bebas atau Tebu Rakyat Bebas (TRB) dimana kemitraan terjalin antara perusahaan dan petani tanpa sarana kredit. Rata-rata tingkat rendemen untuk TRB tahu 2001-2009 sebesar 7.31, lebih tinggi dibandingkan dengan TRK yang hanya sekitar 6.80 sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 12. Tabel 12. Perkembangan Rendemen Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat

Bebas (TRB) Periode 2001-2009

Tahun Tebu Rakyat Kredit Tebu Rakyat Bebas

2001 5.17 6.43

Tinggi rendahnya tingkat rendemen salah satunya tergantung dari proses produksi (on farm) yang dilakukan oleh petani. Peningkatan rendemen dari tingkat usahatani dapat dilakukan dengan: (1) penataan varietas, (2) pengunaan bibit unggul, (3) pengaturan kebutuhan air, (4) pemupukan berimbang, dan (5) pengendalian organisme pengganggu (P3GI, 2008).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut:

(36)

Bungamayang? Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap tingkat pendapatan para petani tebu rakyat ?

2. Bagaiamana tingkat efisiensi dan faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi inefisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang? Bagaimana pengaruh kemitraan terhadap tingkat efisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang?

1.3. Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan berbagai permasalahan sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan:

1. Menganalisis sistem usahatani tebu rakyat (non-keprasan dan keprasan) pada pola kemitraan TRK dan TRB dan pengaruh kemitraan (TRK dan TRB) terhadap tingkat pendapatan para petani tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.

2. Menganalisis tingkat efisiensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi produksi usahatani tebu rakyat dan pengaruh pola kemitraan terhadap tingkat efisiensi tebu rakyat di wilayah kerja PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

1. Penelitian ini menganalisis pendapatan dan efisiensi produksi dari usahatani tebu rakyat baik pada pola tanam keprasan dan non-keprasan yang tergabung dalam pola kemitraan Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB).

2. Tingkat efisiensi yang dianalisis pada penelitian ini adalah tingkat usahatani.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi pengambil kebijakan di tingkat nasional, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan pada tingkat usahatani khususnya untuk mendukung tercapainya swasembada gula. 2. Bagi akademisi, hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu

(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usahatani Tebu

Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) adalah satu anggota familia rumput-rumputan (Graminae) yang merupakan tanaman asli tropika basah. Namun, tebu masih dapat tumbuh dan berkembang di daerah sub-tropika, pada berbagai jenis tanah dari daratan rendah hingga ketinggian 1 400 m diatas permukaan laut (dpl). Tebu diduga berasal dari Pasifik Selatan, Jawa dan India. Bahkan, komoditas ini sudah diusahakan di Jawa sejak tahun 75 Masehi. Pada zaman Belanda, tebu sudah menjadi salah satu komoditas komersial yang mempunyai nilai tinggi. Nilai komoditas yang begitu tinggi menjadikan pemerintah terus melanjutkan kebijakan penanaman tebu melalui perusahaan-perusahaan perkebunan besar dan swasta baik di Jawa maupun Luar Jawa. Pada perkembangannya tanaman tebu juga dikembangkan oleh rakyat melalui kebijakan pemerintah Tebu Rakyat Intensifikasi atau yang lazim dikenal dengan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).

Input dalam usahatani tebu rakyat secara umum terdiri dari lahan, tenaga kerja, pupuk dan pestisida. Biaya usahatani untuk tenaga kerja bisa mencapai lebih dari 40 persen, artinya usahatani tebu lebih bersifat padat karya dibandingkan dengan pada modal. Sedangkan proporsi biaya untuk input lain bervariasi antar daerah. Zhang et al. (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa proporsi biaya tenaga kerja usahatani tebu di China adalah 40 persen untuk tenaga kerja, 24 persen untuk pupuk, 16 persen untuk sewa tanah, dan 20 persen untuk input lainnya. Chidoko dan Chimway (2011) dalam penelitiannya di Lowveld Zimbabwe menyatakan bahwa proporsi biaya tenaga kerja pada usahatani tebu sebesar 45 persen, pupuk 14 persen, bibit 14 persen, pestisida dan bunga modal masing-masing 4 persen. Berdasarkan dua penelitian tersebut diketahui bahwa proporsi biaya untuk tenaga kerja masih dominan.

(38)

dengan persiapan lahan. Kegiatan selanjutnya adalah persiapan tanam yang meliputi pengolahan lahan dan pembuatan kair. Kair (leng) digunakan sebagai tempat penanaman bibit tebu. Jarak antara kair adalah sekitar 1 meter dengan kedalaman 25 – 30 cm. Selain itu, dalam kebun dibuat jalan dengan jarak 30 - 40 cm dan kedalaman 30 cm. Kegiatan selanjutnya adalah penanaman. Penanaman biasanya berkisar pada bulan Oktober sampai bulan November. Hal ini dikarenakan pada saat penanaman tebu membutuhkan air yang cukup sehingga tebu baru bisa ditanam pada musim hujan untuk mendapatkan air. Bibit yang akan ditanam sebaiknya sudah melalui seleksi terlebih dahulu. Bibit yang telah disiapkan lalu ditanam mendatar dengan posisi mata disamping dan ditutup tanah sedalam diameter tebu yang sekitar 2 cm.

Kegiatan yang dilakukan setelaha penanaman adalah pemeliharaan tebu meliputi pemupukan, penyulaman, pembumbunan, penyiangan dan klentek. Pemupukan dilakukan bersama – sama waktu menanam agar pertumbuhan akar maupun tunas lebih cepat dan kuat. Hal ini dilakukan dengan cara bibit diletakkan pada alur bibit dan diikuti dengan pemberian pupuk lalu ditutup dengan tanah. Penyulaman dapat dilakukan setelah satu bulan tanam. Pembumbunan biasanya dilakukan 3 kali yang berguna untuk menggemburkan tanah dan untuk menutupi pupuk. Penyiangan merupakan pembersihan gulma yang biasanya dilakukan sebelum pemupukan. Sedangkan klentek merupakan legiatan perontokkan daun kering dari tebu. Setelah tebu berumur 11 – 12 bulan tebu ditebang atau dipanen.

(39)

kandungan gula yang dapat dihasilkan oleh tebu tersebut. Setelah satu bulan dari pengeprasan, tanaman tebu akan tumbuh anakan (tunas) lalu di pedhot oyot. Kegiatan pedhot oyot atau putus akar yaitu memutuskan akar lama yang berfungsi untuk merangsang pertumbuhan akar baru. Jarak pedhot oyot 15 cm dari tebu serta 15 cm untuk arah sebaliknya dengan menggunakan ganco. Kegiatan selanjutnya adalah pemeliharaan tebu yang meliputi penyiangan, penyulaman, pemupukan, pembumbunan dan klitek seperti pada tebu tanam (Lestari, 2008).

Nuryanti (2007) dalam penelitiannya mengkaji aspek finansial usahatani tebu mandiri di Yogyakarta dan Jawa Tengah menyimpulkan bahwa tanaman keprasan lebih lebih menguntungkan diusahakan baik di lahan sawah maupun tegalan. Lebih menguntungkannya pola keprasan ini diduga menghambat upaya peningkatan produktivitas melalui introduksi varietas baru.

2.1.2. Usahatani Tebu Lahan Sawah dan Lahan Kering

Usahatani tebu di Indonesia berdasarkan lahan yang digunakan didapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu tebu lahan kering dan tebu lahan sawah. Sebagian besar pengusahaan tebu di Indonesia berjenis lahan sawah dimana pada lahan tersebut tersedia cukup air karena adanya air irigasi. Sedangkan pengusahaan tebu pada lahan kering masih sangat terbatas (Hafsah, 2003). Dalam pengusahaanya, ada yang mengusahakannya sebagai usaha pokok dan ada juga sebagai usaha sampingan.

(40)

Pengusahaan tebu di lahan sawah mulai mengalami penurunan dalam beberapa dekade terakhir, sedangkan pengusahaan tebu di lahan kering cenderung semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh semakin kuatnya persaingan dari sektor-sektor yang mampu membayar sewa lahan dan dan keuntungan yang lebih besar, seperti pengalihan lahan untuk tanaman lain, industri maupun perumahan (Susila dan Sinaga, 2005b). Fenomena ini juga terjadi akibat adanya Inpres No. 5 tahun 1998 yang membebaskan petani dari kewajiban menanam tebu dan bebas memilih komoditas yang akan diusahakan. Dikeluarkannya Inpres ini sekaligus menghapus Inpres No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). TRI adalah sistem pengusahaan tebu di mana pengusahaan tebu tidak lagi diusahakan oleh pabrik gula dengan sistem sewa lahan, tetapi diusahakan oleh petani dengan sistem bagi hasil sedangkan pabrik gula hanya sebagai pembimbing dan pengolah tebu menjadi gula (Saptana et al., 2004). TRI merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan produksi gula dan pendapatan petani tebu. Akan tetapi dikeluarkannya Inpres No. 5 tahun 1998 ternyata tidak serta merta membuat petani di beberapa daerah yang sebelumnya menanam tebu langsung beralih ke tanaman lain.

(41)

2.2. Efisiensi Produksi Tebu dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Efisiensi merupakan aspek yang penting karena dapat bertindak sebagai alat ukur untuk pemilihan terhadap alternatif pada penarikan keputusan produksi (Bishop dan Toussaint, 1958). Penarikan keputusan produksi seringkali menjadi keharusan bagi petani mengingat dalam aktivitas usahatani seringkali terjadi gap produktivitas antara produktivitas yang seharusnya dengan produktivitas yang dihasilkan. Senjang produktivitas tersebut terjadi karena adanya faktor-faktor yang sulit untuk diatasi oleh manusia (petani) seperti teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan adanya perbedaan lingkungam, misalnya iklim. Perbedaan hasil yang disebabkan oleh dua faktor tersebut menyebabkan senjang produktivitas antara produktivitas potensial usahatani dengan produktivitas yang dihasilkan oleh petani. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya senjang produktivitas antara lain : (1) adanya kendala biologis misalnya perbedaan varietas, masalah tanah, serangan hama, perbedaan kesuburan dan sebagainya, (2) kendala sosial ekonomi seperti perbedaan besar biaya dan penerimaan usahatani, kurangnya biaya usahatani, harga produksi, faktor kebiasaan dan sikap, kurangnya pengetahuan, tingkat pendidikan, adanya faktor ketidakpastian, resiko berusahatani dan sebagainya (Soekartawi, 2002).

(42)

pendapatan off-farm untuk daerah Big Bend. Akan tetapi, semua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata.

Babalola et al. (2009) dalam penelitiannya di Jigawate Nigeria membandingkan antara petani yang masuk dalam program pemerintah untuk meningkatkan produksi tebu (Millinieum Village Commision Program – MVCP) dengan petani yang tidak masuk dalam program tersebut (non-MVCP). Penelitian ini menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglas dengan variabel bebas adalah luas lahan, tenaga kerja dalam kelurga, tenaga kerja dalam keluarga bibit, pupuk, pestisida dan irigasi. Sedangkan efek inefisiensi teknis antara lain pengalaman, dummy penyuluhan, pendidikan, dummy akses terhadap kredit, dummy keanggotaan dalam kelompoktani,dummy partisipasi dalam program, dummy zona ekologi, dummy kerapatan tanaman, dummy varietas.

Efisiensi teknis untuk petani MVCP adalah 60.97 persen sedangkan untuk petani non-MVCP adalah 70.32 persen. Variabel bebas yang berpengaruh nyata (α

1 persen, α 5 persen, dan α 10 persen) adalah luas lahan, tenaga kerja luar

keluarga, benih, pupuk, pestisida dan irigasi untuk petani MVPC. Sedangkan untuk petani non-MVPC yang berpengaruh nyata (α 1 persen, dan α 5 persen) adalah luas lahan, tenaga kerja dalam keluarga, tenaga kerja luar keluarga, bibit dan pupuk. Faktor yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis untuk petani MVPC adalah dummy zona ekologi (α 1 persen), dan partisipasi dalam program (α 5 persen). Variabel yang berpengaruh nyata terhadap inefisiensi teknis petani

non-εVPC adalah pendidikan (α 5 persen), dummy kerapatan tanaman (α 10 persen),

dan variabel yang berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknis adalah pengalaman

(α 1 persen), dummy penyuluhan (α 1 persen), dummy kelompoktani (α 5 persen),

dan dummy partisipasi dalam program (α 5 persen).

(43)

nyata. Faktor yang menentukan efisiensi teknis adalah pengalaman, akses kredit dan ukuran usahatani.

Jasila (2010) menganalisis pengaruh kredit ketahanan pangan terhadap efisiensi usahatani tebu di Kabupaten Situbondo Propinsi Jawa Timur. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap tingkat efisiensi teknis petani tebu di daerah penelitian adalah lahan, pupuk N, tenaga kerja, dummy KKP, pendidikan dan ukuran usahatani. Hasil pendugaan efek inefisiensi teknis fungsi produksi stochastic frontier menunjukkan bahwa pengalaman dan pola tanam berpengaruh positif terhadap tingkat inefisiensi teknis tetapi tidak berpengaruh nyata. Berkaitan dengan pola tanam, penelitian ini menjelaskan bahwa jika petani tebu menanam dengan pola non-kepras akan menghasilkan produksi yang relatif tidak efisien dibandingkan dengan hasil pada tanaman tebu kepras. Hal ini terjadi karena anakan pada tanaman non-kepras lebih sedikit dibandingkan dengan anakan pada tanaman kepras, sehingga produksi tebu yang dihasilkan tanaman kepras lebih banyak. Petani hanya dianjurkan untuk melakukan keprasan maksimal sampai pada kepras ke tiga.

2.3. Pola Kemitraan Dalam Produksi Tebu

Kemitraan dalam produksi tebu sering dilakukan antara petani dengan pabrik gula. Kemitraan memberikan kemudahan bagi petani untuk mengakses kredit, pupuk, dan bibit unggul. Hal ini mempengaruhi input usahatani sehingga dengan input yang lebih baik kuantitas dan kualitasnya ini petani berkesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Dengan kemitraan petani juga bisa mendapatkan bimbingan teknis budidaya sehingga memperbaiki proses produksinya. Kemitraan juga akan memperbaiki manajemen tebang angkut sehingga risiko kehilangan kadar gula dan risiko tebu tidak terpanen lebih kecil.

(44)

penerimaan dan pendapatan antara petani Tebu Rakyat Kerjasama Usahatani (TRKSU) dan petani Tebu Rakyat Mandiri (TRM) Pabrik Gula Candi Baru menyimpulkan bahwa prosedur pelaksanaan yang ditetapkan oleh PG Candi Baru sebagai persyaratan bagi petani dalam bermitra dirasakan tidak memberatkan pihak petani. Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi Pabrik Gula Candi dalam pola kemitraan dengan para petani anatar lain adalah tebang-angkut yang terkadang tidak tepat waktu, masalah penyediaan bahan baku dalam memenuhi kapasitas giling PG serta masalah dalam perkreditan dimana terdapat petani yang terlambat dalam melakukan pembayaran apabila mengalami gagal panen.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa biaya produksi rata-rata petani TRKSU lebih besar dibandingkan biaya produksi rata-rata petani TRM yaitu sebesar Rp. 31 111 488,5 dan sebesar Rp. 28 457 398. Hal ini dikarenakan adanya beban bunga sebesar 12 persen yang dibebankan kepada petani TRKSU atas pinjaman modal yang diberikan oleh Pabrik Gula. Akan tetapi, penerimaan rata-rata petani TRKSU lebih besar bila dibandingkan dengan penerimaan rata-rata-rata-rata petani TRM yaitu berturut-turut Rp. 57 766 309.25 dan Rp. 49 340 676.67. Hal ini dikarenakan produksi rata-rata dan tingkat rendemen petani TRKSU lebih tinggi dibanding petani TRM. Pendapatan petani TRKSU pun lebih besar dibandingkan petani TRM yaitu berturut-turut Rp. 26 654 820.74 dan Rp. 20 883 278.28 per hektarnya.

Peningkatan pendapatan akibat adanya kemitraan petani juga dapat dilihat pada penelitian Najmudirohman (2011) dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani tebu di Kecamatan Trangkil, Pati Jawa Tengah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemitraan membuat pendapatan petani mitra lebih tinggi daripada non-mitra, yang ditunjukkan dengan nilai R/C yang lebih tinggi. Nilai R/C atas biaya tunai petani mitra adalah 1.42, dan petani yang tidak bermitra adalah 1.20. Sedangkan R/C atas biaya total untuk petani mitra adalah 1.37 sedangkan untuk petani non mitra adalah 1.16. Kedua penelitian diatas memberikan kesimpulan yang sama yaitu pola kemitraan cenderung menguntungkan petani.

(45)

dengan petunjuk dari pabrik gula. Akan tetapi, hasilnya sering tidak sesuai harapan sebagaimana yang terdapat dalam penelitian Msuya dan Ashimogo. Msuya dan Ashimogo (2007) melakukan analisis efisiensi produksi terhadap petani tebu plasma (bermitra dengan pabrik) dan non-plasma (tidak bermitra dengan pabrik) di Mtibwa di Tanzania dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb Douglass. Variabel bebas yang digunakan adalah luas lahan, tenaga kerja dalam keluarga, tenaga kerja luar keluarga, total input (bibit, pupuk, pestisida dan keranjang panen) dan peralatan. Sedangkan variabel yang digunakan untuk melakukan pendugaan terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya efek inefisiensi teknis antara lain usia, pendidikan, dummy daerah Mtibwa, dummy daerah Diongoya, dummy daerah Kangga, dummy keaslian penduduk, pengalaman dan ukuran usahatani. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata efisiensi teknis untuk plasma adalah 76.43 persen, dan 80.65 persen untuk non plasma. Variabel bebas pada petani plasma yang berpengaruh nyata adalah luas lahan, tenaga kerja luar keluarga dan total input (α 1 persen dan α 10 persen). Sedangkan pada petani non-plasma, variabel luas lahan dan total input yang

berpengaruh nyata (α 1 persen dan α 5 persen). Faktor yang berpengaruh nyata

terhadap inefisiensi teknis pada petani plasma adalah umur (α 10 persen). Sedangkan untuk petani non plasma tidak ada variabel yang berpengaruh nyata.

(46)

JPM yang diterima lebih besar daripada pelaksanaan usahatani yang tidak pada lahan kelas I. Sementara petani yang menjalankan usahatani Tebu Rakyat Mandiri (TR Mandiri) tidak memperoleh JPM.

Kemitraan antara petani tebu dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang berupa program Tebu Rakyat (TR) terdiri atas dua macam yaitu Tebu Rakyat Kredit (TRK) dan Tebu Rakyat Bebas (TRB). Program TRK merupakan program dimana bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang (avalis) memberikan kredit modal kerja. Sementara Tebu Rakyat Bebas (TRB) adalah suatu program dimana petani bermitra dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang tanpa kredit. Kemitraan petani TRK diawali dengan pengajuan permohonan bermitra dengan program kredit bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku pabrik gula. Pabrik gula akan memeriksa dan melihat keberadaan lahan garapan apakah sesuai atau tidak mendapatkan kredit. Petani anggota TRK harus memenuhi syarat-syarat mendapatkan kredit, yaitu: lahan bebas sengketa dan hak milik serta akses ke lahan lancar dapat dilalui truk. Petani mendapatkan kredit modal kerja berupa bibit, pupuk, herbisida/pestisida, dan biaya tenaga kerja dari bank melalui PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dengan kewajiban membayar bunga kredit per tahun pada saat bagi hasil.

Pada kemitraan TRB, hubungan kemitraan diawali dengan pengajuan permohonan bermitra dengan PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku pabrik gula tanpa kredit. Pabrik gula akan melakukan melihat keberadaan lahan garapan apakah sesuai atau tidak untuk mengadakan kemitraan. Petani anggota TRB boleh melakukan sewa lahan dengan pihak lain dan apabila akses ke lahan sulit dijangkau petani masih boleh mengikuti program TRB. Petani tebu anggota TRB mengusahakan sendiri segala keperluan usahataninya mulai dari bibit, pupuk, herbisida/pestisida, dan tenaga kerja.

Sriati et al. (2008) dalam penelitiannya memberikan perbandingan antara petani TRK dan TRB sebagai berikut:

a. Hak dan Kewajiban Petani Tebu Rakyat Kredit dan Bebas

(47)

2.5 persen dan natura 10 persen, (3) memperoleh bimbingan dan pengarahan dari mandor PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dalam berusahatani tebu, (4) dijamin dalam pengembalian kredit oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, dan (5) mengetahui jadwal penebangan, jumlah tebu yang dihasilkan, dan rendemen tebu. Hak yang diperoleh sebagai petani TRB yaitu: (1) memperoleh 65 persen gula hasil tebu yang diolah, (2) memperoleh bimbingan dan pengarahan dari mandor terutama pada masalah dalam usahataninya, dan (3) mengetahui jadwal penebangan, jumlah tebu yang dihasilkan, serta rendemen tebu.

Kewajiban yang harus dipenuhi para petani Tebu Rakyat Kredit (TRK), yaitu: (1) mengelola usahatani tebu sebaik-baiknya dan mematuhi bimbingan yang dilakukan oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, (2) menyerahkan semua hasil usahatani tebunya kepada PTPN VII Unit Usaha Bungamayang selaku pabrik gula, (3) mengembalikan bunga kredit setelah selesai giling dan membayar biaya tebang angkut, (4) menyarahkan fotokopi bukti kepemilikan lahan. Kewajiban yang harus dipenuhi petani tebu rakyat bebas (TRB), yaitu : (1) mengelola usahatani dengan baik, tidak harus mengikuti bimbingan yang dilakukan oleh PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, (2) diperbolehkan untuk menyerahkan sebagian atau seluruh hasil usahatani tebunya kepada PTPN VII Unit Usaha Bungamayang. TRB juga hanya membayar biaya tebang angkut setelah selesai giling.

b. Hak dan Kewajiban PTPN VII Unit Usaha Bungamayang

PTPN VII Unit Usaha Bungamayang dalam kemitraannya dengan petani tebu anggota TRK dan TRB selaku pabrik gula juga memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban ini digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan hubungan kemitraan ini sehingga berjalan dengan lancar. Pada hubungan kemitraan, hak petani tebu anggota TRK dan TRB merupakan kewajiban PTPN VII Unit Usaha Bungamayang, sedangkan kewajiban petani TRK dan petani TRB merupakan hak dari PTPN VII Unit Usaha Bungamayang.

c. Kemitraan dalam Hal Pengolahan

(48)

dilakukan dengan musyawarah oleh pabrik gula dengan petani tebu anggota TRK dan TRB. Hasil penelitian menunjukkan, dalam hal penebangan dan pengangkutan sampai pengolahan terdapat perbedaan antara petani tebu anggota TRK dan petani tebu anggota TRB

Tebu hasil usahatani TRK ditimbang di penimbangan pabrik gula dan petani ikut menyaksikan proses penimbangan, lalu dilakukan penetapan rendemen yang dilakukan oleh laboraturium pabrik (rendemen sementara), disaksikan oleh wakil petani. Rendemen tebu ditentukan untuk setiap lahan garapan. Petani TRK wajib menyerahkan seluruh hasil tebunya ke pabrik gula dan pabrik gula wajib menerima dan mengolah tebu tersebut. Petani anggota TRK tidak diperkenankan menyerahkan tebunya ke pabrik gula lain yang bukan mitranya

Tebu hasil usahatani TRB ditimbang di penimbangan PG dan petani menyaksikan proses penimbangan, lalu dilakukan penetapan rendemen yang dilakukan oleh laboraturium pabrik gula, disaksikan oleh wakil petani. Rendemen tebu ditentukan dengan menggunakan sistem rendemen rata-rata. Petani TRB menyerahkan tebu sesuai dengan yang mereka inginkan untuk diolah menjadi gula. Namun dalam hal ini pabrik gula akan lebih mengutamakan mengolah tebu TRK terlebih dahulu baru TRB.

(49)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1.Konsep Usahatani

Ilmu usahatani menurut Soekarwati (2002) adalah ilmu yang mempelajari bagaimana cara-cara petani memperoleh dan mengkombinasikan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal, waktu dan pengolahan) yang terbatas untuk mencapai tujuannya. Suratiyah (2008) menjelaskan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengkoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Hernanto (1996) menjelaskan bahwa terdapat empat unsur pokok faktor-faktor produksi dalam usahatani, yaitu :

1. Lahan

Lahan merupakan faktor yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi lain serta distribusi penguasaannya tidak merata di masyarakat. Oleh karena itu, lahan memiliki beberapa sifat, di antaranya adalah : luasnya relatif atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat dipindahtangankan atau diperjualbelikan. Lahan usahatani dapat diperoleh dengan cara membeli, menyewa, membuka lahan sendiri, wakaf, menyakap atau pemberian negara.

2. Tenaga Kerja

(50)

manusia dapat diperoleh dari dalam dan luar keluarga. Tenaga kerja ternak sering digunakan untuk pengolahan tanah dan angkutan. Begitu pula dengan tenaga kerja mekanik sering digunakan untuk pengolahan tanah, penanaman, pengendalian hama, serta pemanenan

3. Modal

Modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain menghasilkan produk pertanian. Menurut sifatnya modal dibedakan menjadi dua yaitu modal tetap dan modal tidak tetap. Penggunaan modal berfungsi untuk membantu meningkatkan produktivitas dan menciptakan kekayaan serta pendapatan usahatani. Modal dalam suatu usahatani untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal dapat diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit, warisan, usaha lain, atau kontrak sewa.

4. Manajemen

Manajemen usahatani adalah kemampuan petani untuk menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi dengan sebaik-baiknya sehingga mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Dengan demikian, pengenalan secara utuh faktor yang dimiliki dan faktor yang dikuasai akan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan.

3.1.2.Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani merupakan hasil pengurangan antara penerimaan total dari kegiatan usahatani dengan biaya usahatani, dimana besar pendapatan sangat tergantung pada besarnya penerimaan dan biaya usahatani tersebut dalam jangka waktu tertentu. Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui keberhasilan usahatani dilihat dari pendapatan yang diterima. Pendapatan yang semakin besar mencerminkan keberhasilan petani yang semakin baik. Dengan dilakukannya analisis tersebut, petani dapat melakukan perencanaan kegiatan usahatani yang lebih baik di masa yang akan datang.

(51)

1. Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani.

2. Pengeluaran tunai usahatani adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani.

3. Pendapatan tunai usahatani adalah produk usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.

4. Pengeluaran total usahatani merupakan nilai semua yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya yang diperhitungkan. 5. Pendapatan total usahatani adalah selisih antara penerimaan kotor usahatani

dengan pengeluaran total usahatani.

Dalam melakukan analisis usahatani, diperlukan data-data yang terkait dengan penerimaan dan biaya usahatani selama jangka waktu tertentu. Penerimaan usahatani adalah hasil perkalian antara jumlah produksi yang diperoleh dengan harga jual dari hasil produksi tersebut selama jangka waktu tertentu. Sedangkan biaya usahatani adalah total pengeluaran petani yang dikeluarkan untuk kegiatan usahatani selama jangka waktu tertentu.

Biaya usahatani diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya tetap dan dikeluarkan terus menerus tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dan jumlah produk yang dihasilkan. Sementara biaya variabel didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya dipengaruhi oleh faktor-faktor produksi yang digunakan dan jumlah produk yang dihasilkan.

Pendapatan usahatani terbagi menjadi pendapatan tunai usahatani dan pendapatan total usahatani. Pendapatan tunai usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya tunai usahatani. Sedangkan pendapatan total usahatani mengukur pendapatan kerja petani dari seluruh biaya usahatani yang dikeluarkan. Pendapatan bersih usahatani diperoleh dari selisih penerimaan usahatani dengan biaya total usahatani.

(52)

yang dihasilkan dapat bernilai lebih satu atau kurang dari satu. Jika nilai R/C rasio lebih besar dari satu, maka setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biaya tersebut. Sebaliknya jika nilai R/C rasio lebih kecil dari satu, maka setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil daripada tambahan biaya tersebut. Sedangkan jika nilai R/C rasio sama dengan satu, maka tambahan biaya yang dikeluarkan akan sama besar dengan tambahan penerimaan yang didapat, sehingga diperoleh keuntungan normal. Pada dasarnya semakin besar nilai R/C rasio yang didapat menggambarkan semakin besarnya penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap satuan biaya yang dikeluarkan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani tersebut layak dan menguntungkan untuk dilakukan.

3.1.3.Konsep Efisiensi

Farrell (1957) menjabarkan konsep efisiensi pada tiga pengertian, yaitu efisiensi teknis, efisiensi alokatif (harga) dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis mencerminkan kemampuan petani untuk memperoleh output maksimal dari sejumlah input tertentu. Seorang petani dikatakan lebih efisien secara teknis dari petani lain jika petani tersebut dapat menghasilkan output lebih besar pada tingkat penggunaan teknologi produksi yang sama. Petani yang menggunakan input lebih kecil pada tingkat teknologi produksi yang sama, juga dikatakan lebih efisien dari petani lain jika menghasilkan output yang sama besarnya (Bakhsloodeh dan Thomson, 2001). Efisiensi alokatif mencerminkan kemampuan petani untuk menggunakan input dengan proporsi yang optimal pada masing-masing tingkat harga input dan teknologi yang dimiliki sehingga produksi dan pendapatan yang diperoleh maksimal, karena pada dasarnya tujuan petani dalam mengelola usahataninya adalah untuk meningkatkan produksi dan pendapatan.

(53)

dapat diukur dengan kriteria keuntungan maksimum dan kriteria biaya minimum (Sugianto, 1982).

Dalam mengelola usahataninya, petani mungkin saja melakukan penyimpangan-penyimpangan yang menimbulkan konsekuensi dalam usahataninya. Penyimpangan-penyimpangan tersebut biasanya terkait erat dengan manajerial petani. Ada banyak faktor yang mempengaruhi tidak tercapainya efisiensi (terjadinya inefisiensi). Penentuan sumber dari inefisiensi ini tidak hanya memberikan inforrnasi tentang sumber-sumber potensial yang inefisien, tetapi juga saran terhadap kebijakan meningkatkan atau mengurangi untuk mencapai tingkat efisiensi total. Efisiensi teknis dianggap sebagai kemampuan untuk berproduksi pada isoquant batas. Sebaliknya inefisiensi teknis mengacu pada penyimpangan dari isoquant batas. Sedangkan efisiensi alokatif mengacu pada kemampuan untuk memproduksi pada tingkat output tertentu dengan menggunakan rasio input pada biaya yang minimum. Sebaliknya inefisien alokatif mengacu pada penyimpangan dari rasio input pada biaya minimum.

Konsep efisiensi dapat didekati dari dua sisi yaitu dari sisi alokasi penggunaa input dan dari sisi output yang dihasilkan. Pendekatan dari sisi input yang dikemukakan oleh Farrell (1957) yang diilustrasikan pada Gambar 1.

Sumber: Coelli et al., l998

Gambar 1. Konsep Efisiensi Orientasi Input

Kurva SS’ merupakan isoquant frontier yang menunjukkan kombinasi input X1 dan X2 yang efisien secara teknis untuk menghasilkan output Y. Titik P

dan Q menggambarkan dua perusahaan yang berbeda yang menggunakan

0 X2/y

X1/y P

R A

S

Q’ Q

(54)

kombinasi input dengan proporsi input X1 dan X2 yang sama. Keduanya berada

pada garis yang sama dari Titik 0 untuk memproduksi satu unit Y. Titik P berada diatas kurva isoquant sedangkan Q menunjukkan perusahaan yang beroperasi pada kondisi efisien secara teknis. Titik Q juga menunjukkan bahwa perusahaan memproduksi sejumlah output yang sama dengan perusahaan di Titik P, tetapi dengan jumlah input yang lebih sedikit. Berdasarkan hal tersebut, maka efsiensi teknis dapat dilihat dari rasio 0Q/0P yang menunjukkan proporsi dimana kombinasi input pada P dapat diturunkan dengan rasio X1/X2 konstan, sedangkan output tetap

(Farrell, 1957).

Efisiensi alokatif (AE) dapat ditentukan jika harga input diketahui. Garis isocost AA’ digambarkan menyinggung isoquant SS’ di Titik Q’ dan memotong garis 0P di Titik R. Titik R menunjukkan rasio input-output optimal yang meminimumkan biaya produksi pada tingkat output tertentu karena slope isoquant sama dengan slope garis isocost. Titik Q secara teknis efisien tetapi secara alokatif inefisien karena perusahaan di Titik Q berproduksi pada tingkat biaya yang lebih tinggi daripada di Titik Q’. Jarak 0R-0Q menunjukkan penurunan biaya produksi jika produksi terjadi di Titik Q’ (secara alokatif dan teknis efisien) sehingga efisiensi alokatif (AE) untuk perusahaan yang beroperasi di Titik P adalah rasio 0R/0Q. Berdasarkan konsep Farrell (1957), ukuran efisiensi teknis dirumuskan sebagai berikut:

TE = 0Q/0P ... (3.1) Sedangkan ukuran efisiensi alokatif dapat diperoleh melalui persamaan berikut:

AE = 0R/0Q ... (3.2) Efisiensi ekonomis merupakan gabungan dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Secara matematis, efisiensi ekonomis dinyatakan melalui persamaan berikut:

(55)

Dimana nilai TE antara 0 dan 1, atau 0 ≤ TE ≤ 1

Dengan mengasumsikan bahwa sebuah perusahaan atau usahatani dalam mencapai keuntungan harus mengalokasikan biaya secara minimum dari input yang ada, atau berarti sebuah usahatani berhasil mencapai efisiensi alokatif. Dengan demikian akhirnya akan diperoleh fungsi biaya dual sebagai berikut:

C = C (yi, рi, i) + µi ... (3.5)

Jondrow et al. (1982) mendefinisikan efisiensi secara ekonomi sebagai rasio total biaya produksi minimum yang diobservasi (C*) dengan total biaya

Konsep efisiensi melalui pendekatan output diilustrasikan menggunakan Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) dengan simbol ZZ’ pada Gambar 2.

(56)

Titik A menunjukkan petani berada dalam kondisi inefisien. Ruas garis AB menggambarkan kondisi yang inefisien secara teknis. Berkenaan dengan kondisi tersebut, pada pendekatan ini efisiensi teknis didefinisikan sebagai:

TE = 0A/0B ... (3.7) Dengan adanya informasi harga output yang digambarkan oleh garis isorevenue DD' maka efisiensi alokatif ditulis dalam bentuk :

AE = 0B/0C ... (3.8) Sedangkan kondisi efisiensi ekonomis ditunjukkan oleh:

EE = TE x AE= (0A/0B) x (0B/0C) = 0A/0C ... (3.9) Nilai ketiga efisiensi ini berkisar antara 0-1.

Pembahasan mengenai efisiensi tidak lepas dari konsep utama teori ekonomi produksi yaitu fungsi produksi. Fungsi produksi merupakan hubungan teknis antara faktor produksi atau input dengan keluaran produksi atau output (Soekartawi, 2002). Fungsi produksi digunakan untuk menentukan output maksimum yang dihasilkan dengan sejumlah input. Secara matematis bentuk umum fungsi produksi dapat dirumuskan sebagai berikut:

Y = f (X1, X2, X3,…Xn) ….………...(3.10)

Dimana Y merupakan jumlah produksi yang dihasilkan atau output dari penggunaan masukan input, sedangkan X1, X2, X3,…Xn merupakan faktor-faktor

produksi atau input yang digunakan untuk menghasilkan output. Model fungsi produksi seperti ini belum dapat menerangkan hubungan output dan input secara kuantitatif. Untuk itu fungsi produksi harus dinyatakan dalam bentuk yang spesifik sesuai dengan sifat hubungan input-output dari proses produksi yang bersangkutan

Beberapa karakteristik fungsi produksi yaitu: (1) fungsi produksi merupakan fungsi kontinyu (bukan diskrit) atau limit mendekati nol, (2) fungsi produksi bernilai tunggal (single value) yaitu setiap input berpasangan dengan setiap output tertentu, (3) turunan pertama dan kedua bersifat kontinyu, nilai yang dipakai positif = Q = f(X1), dimana Q dan X1>0, dan (4) fungsi produksi cembung

Gambar

Tabel 7. Perkembangan Luas Lahan Tebu Beberapa Daerah Sentra Tebu
Tabel 9.  Produktivitas Tebu Perkebunan Rakyat, Perkebunan Swasta dan
Tabel 10. Produktivitas Tebu Rakyat Lampung, Tebu Nasional, Jawa Timur, Brazil dan Australia Periode 2004-2009
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Konseptual
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis tersebut menunjukkan ada hubungan negatif antara efikasi diri dengan prokrastinasi akademik pada mahasiswa Program Studi D IV Bidan Pendidik

Mengacu pada ketentuan Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ayat (1) berbunyi, “Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan

Penelitian ini bertujuan memanfaatkan limbah cair industri tapioka yang diperkaya dengan penambahan glukosa dan amonium sulfat sebagai media alternatif starter bakteri asam laktat

[r]

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran berbasis proyek dapat meningkatkan sikap peduli lingkungan dan prestasi belajar IPA siswa

Hasil yang diperoleh memperlihatkan prevalensi infeksi STH pada siswa Madrasah Ibtidaiyah Ittihadiyah Kecamatan Gandus Kota palembang adalah sebesar 29,3%.. Kata

Penelitian ini mengkaji bagaimana gambaran penyesuaian seksual pada wanita yang menikah melalui proses ta‟aruf dilihat dari aspek-aspek penyesuaian seksualnya dan

Andito na kami sa room ni Macy ngayon, Hindi na naman ako sinundo ni Zamy, Ewan ko ba dun simula nung hinatid nya ako sa bahay nung wednesday hindi na nya ako masyadong