• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. METODE PENELITIAN

4.4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data

4.4.2. Model Fungsi Produksi

Analisis fungsi produksi digunakan untuk melihat hubungan antara faktor- faktor produksi tebu (variabel terikat) dan produktivitas tebu (variabel bebas). Dalam analisis ini dilakukan analisis fungsi produksi dan analisis regresi untuk mengetahui faktor-faktor produksi tebu terhadap produktivitas tebu baik pada usahatani tebu pola non-keprasan maupun usahatani tebu keprasan. Adapun langkah-langkah dalam menganalisis fungsi produksi adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi variabel bebas dan variabel terikat

Identifikasi variabel dilakukan dengan mendaftar faktor-faktor produksi tebu yang digunakan dalam proses produksi tebu, baik tebu non-keprasan maupun tebu keprasan. Faktor-faktor produksi tebu untuk usahatani tebu non-keprasan adalah luas lahan, bibit tebu, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida padat, pestisida cair dan tenaga kerja. Sementara itu, untuk usahatani tebu keprasan faktor produksi tebu yang digunakan adalah luas lahan, pupuk Urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida padat, pestisida cair dan tenaga kerja. Bibit tidak digunakan dalam hal ini karena petani dalam usahatani keprasan tidak menggunakan bibit seperti dalam usahatani tebu non-keprasan. Faktor-faktor produksi ini merupakan variabel bebas yang akan diuji pengaruhnya terhadap variabel terikat yaitu hasil produksi tebu.

2. Analisis fungsi produksi

Fungsi produksi untuk usahatani tebu non-keprasan di Lampung Utara diasumsikan berbentuk Cobb Douglas yang ditransformasikan kedalam bentuk linier logaritma natural sebagai berikut:

Ln Y = Ln b0 + b1 Ln X1 + b2 Ln X2 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + b5 Ln X5 + b6 Ln X6 + b7 Ln X7+ b8 Ln X8 +(νi-µi) ... (4.1) Sementara itu, untuk model fungsi produksi keprasan dimana petani tidak menggunakan bibit seperti halnya dalam usahatani non-keprasan sehingga model menjadi sebagai berikut:

Ln Y = Ln b0 + b1 Ln X1 + b3 Ln X3 + b4 Ln X4 + b5 Ln X5 + b6 Ln X6 + b7 Ln X7 + b8 Ln X8 + (νi-µi) ... (4.2) Keterangan:

Y = hasil produksi tebu (ton) X1 = luas tanah (ha)

X2 = bibit tebu (ton)

X3 = pupuk Urea (kilogram) X4 = pupuk TSP (kilogram) X5 = pupuk KCL (kilogram) X6 = pestisida padat (kg)

X7 = pestisida cair (liter) X8 = tenaga kerja (HOK) b0 = intersep

bi = besaran parameter masing-masing faktor produksi

(νi - µi) = error term (efek inefisiensi teknis dalam model)

νi = variabel acak yang berkaitan dengan faktor-faktor eksternal (iklim, hama/penyakit dan kesalahan pemodelan), sebarannya simetris dan

menyebar normal (νi – (N(0,σν2)))

µi = variabel acak non negatif dan diasumsikan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis dan berkaitan dengan faktor-faktor internal, sebarannya bersifat setengah normal (µi̴ |N (0, 0,σν2 )|)

Nilai koefisien yang diharapkan: b1, b2, b3, b4, b5, b6, b7, b8 > 0, atau dengan kata lain hasil pendugaan fungsi produksi diatas diharapkan mempunyai nilai dugaan parameter positif. Jika diperoleh parameter dugaan yang bertanda negatif dan merupakan bilangan pecahan, maka fungsi produksi dugaan tidak dapat digunakan untuk menurunkan fungsi biaya dual sehingga efisiensi alokatif dapat diukur. Nilai koefisien positif berarti dengan meningkatnya masukan input akan meningkatkan produksi tebu.

Penggunaan fungsi Cobb Douglas didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

1. Fungsi Cobb Douglas paling banyak digunakan dalam penelitian khususnya penelitian bidang pertanian sehingga hasilnya dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain yang menggunakan alat analisis sama.

2. Bentuk fungsi Cobb Douglas dapat mengurangi terjadinya heteroskedasitas (ragam tidak sama atau konstan). Hal ini dikarenakan bentuk linier dari fungsi produksi Cobb Douglas ditransformasikan kedalam bentuk log e (ln) sehingga variasi data menjadi lebih kecil.

3. Parameter variabel penduga dapat langsung menunjukkan nilai elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang digunakan terhadap hasil produksi.

4. Jumlah elastisitas produksi dari masing-masing faktor produksi yang diduga merupakan pendugaan skala usaha (return to scale). Jika jumlah elastistas

sama dengan satu (∑bi=1), maka proses produksi berada pada skala usaha

yang konstan (constan return to scale) dimana penambahan faktor produksi akan mengakibatkan penambahan produksi dengan proporsi yang sama. Jika jumlah elastisitas lebih dari satu (∑bi>1), maka produksi berada pada skala

usaha yang meningkat dimana penambahan faktor produksi akan mengakibatkan penambahan produksi dengan proporsi yang lebih besar daripada penambahan faktor produksi. Sebaliknya jika jumlah elastisitas lebih kecil dari satu (∑bi<1), maka proses produksi berada pada skala usaha yang menurun (decreasing return to scale) dimana penambahan faktor produksi akan mengakibatkan penambahan produksi yang proporsinya lebih kecil daripada penambahan faktor produksi.

5. Perhitungan fungsi Cobb Douglas sederhana karena dapat ditransformasikan kedalam bentuk persamaan linear.

Namun demikian, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menggunakan fungsi produksi Cobb Douglas untuk menduga model, yaitu:

a. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol. Hal ini karena logaritma nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui.

b. Dalam fungsi produksi perlui asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan.

c. Perbedaan iklim, serangan hama sudah tercakup dalam faktor kesalahan (u). d. Nilai bi harus positif dan lebih kecil dari satu. Hal ini dikarenakan fungsi

produksi Cobb Douglas tidak mempunyai nilai maksimum sehingga fungsi produksi tersebut tidak bisa menjelaskan daerah III. Dengan demikian, jika ada koefisien regresi (bi) yang bernilai negatif, maka fungsi tersebut bukan merupakan fungsi produksi Cobb Douglas (Soekartawi, 2003).

3. Analisis regresi

Dari analisis dengan OLS (Ordinary Least Squares) akan didapat nilai t- hitung, F-hitung, dan R2. Nilai t-hitung digunakan untuk menguji apakah koefisien regresi masing-masing faktor produksi tebu yang dipakai secara terpisah berpengaruh nyata atau tidak terhadap produksi tebu. Pengujian dilakukan dengan uji parsial (uji t). Nilai kritis dalam pengujian terhadap koefisien regresi

ditentukan dengan tabel distribusi t serta dengan memperhatikan taraf nyata (signifikasi). Hipotesis: H0: i=0 H0: i≠0 Statistik uji: t hitung = bi se (bi) t tabel = ( ) Keterangan: bi = koefisien regresi se (bi) = kesalahan standar bi

k = jumlah koefisien regresi dugaan termasuk konstan n = jumlah sampel

Kriteria Uji: t-hitung > t-tabel: tolak H0 pada taraf nyata (berpengaruh nyata). Nilai F-hitung digunakan untuk menguji apakah faktor produksi yang dipergunakan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap produksi tebu. Pengujian dilakukan dengan uji simultan (uji F). Uji F dilakukan dengan membandingkan nilai F-hitung dengan F-tabel. Kriteria ujianya adalah sebagai berikut:

H0 : 1 = 2=…= i =0

Hi : 1 = minimal ada satu yang ≠ 0 Statistik uji: F Hitung = R

2/(K-1)

(1-R2)/(N-K)

Keterangan:

R2 = koefisien determinasi N = jumlah pengamatan

K = jumlah parameter bebas termasuk intersep

Kriteria Uji: F-hitung > F-tabel: tolak H0 pada taraf nyata α, artinya faktor-faktor produksi secara bersama-sama mempengaruhi produksi tebu. Nilai koefisien determinasi R2 digunakan untuk melihat sejauhmana keragaman yang diterangkan

oleh faktor produksi terhadap produksi tebu. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

R

2

=

Jumlah Kuadrat Regresi (SSE) Jumlah Kudrat Total (SST)

= 1-

Untuk melihat apakah terjadi multikolinearitas ada banyak cara untuk mendeteksinya yaitu dengan koefisien determinasi (R2) yang tinggi namun dari uji t banyak variabel bebas yaitu tidak signifikan atau dapat diukur dengan Variance Inflation Factor (VIF) yaitu sebagai berikut:

VIF(Xj) = 1

1-Rj 2

Dimana, Rj = koefisien determinasi dari model regresi dengan variabel dependen Xj dan variabel independen adalah variabel X lainnya. Jika VIF (Xj) > 10, maka dapat disimpulkan bahwa model dugaan ada multikolinearitas.

4.4.3. Analisis Efisiensi Produksi

Dokumen terkait