1.1. Latar Belakang
Penanaman modal atau investasi merupakan langkah awal kegiatan
produksi. Pada posisi semacam ini investasi pada hakekatnya juga merupakan
langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal
mempengaruhi tinggi rendahnya. pertumbuhan ekonomi dan mencerminkan
marak atau lesunya perekonomian. Dalam upaya menumbuhkan perekonomian
setiap negara senantiasa menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi.
Sasaran yang dituju bukan hanya masyarakat atau kalangan swasta dalam negeri,
tetapi juga investor asing (Dumairy, 1997).
Untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah dan mewujudkan
kedaulatan politik dan ekonomi diperlukan peningkatan penanaman modal untuk
mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan
modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Disamping
menggali sumber pembiayaan asli daerah, pemerintah daerah juga mengundang
sumber pembiayaan luar negeri salah satunya adalah Penanaman Modal Asing
Langsung (Foreign Direct Investment) (Sarwedi 2002).
Penanaman modal asing (PMA) sebagai salah satu komponen aliran modal
yang masuk ke suatu daerah dianggap sebagai aliran modal yang relatif stabil dan
mempunyai resiko yang kecil dibandingkan dengan aliran modal lainnya,
2
lebih banyak mempunyai kelebihan diantaranya sifatnya permanen (jangka
panjang), banyak memberikan andil dalam alih teknologi, alih ketrampilan
manajemen dan membuka lapangan kerja baru.
Kesempatan untuk berinvestasi di Provinsi Jawa Timur semakin terbuka
dengan adanya kebijakan deregulasi baik di sektor riil maupun di sektor moneter.
Disamping dalam rangka untuk menarik investasi langsung, keterbukaan ini
sejalan dengan era globalisasi dan perdagangan bebas.
Peluang dan jaminan kepastian hukum diberikan oleh pemerintah
Indonesia kepada investor terutama investor asing dengan menerbitkan
Undang-Undang pada tahun 1967, yaitu Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing yang ditujukan untuk mempercepat pembangunan
ekonomi Indonesia serta digunakan dalam bidang-bidang dan sektor-sektor yang
dalam waktu dekat belum dan atau tidak dapat dilaksanakan oleh modal Indonesia
sendiri yang disebabkan oleh ketiadaan modal, pengalaman dan teknologi.
Undang-undang ini kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1970 tentang penanaman modal asing yaitu dengan memberikan
kelonggaran-kelonggaran perpajakan kepada investor asing, antara lain
kelonggaran dalam bea materai modal, bea masuk dan pajak penjualan, bea balik
nama, pajak perseroan dan pajak deviden.
Dalam perkembangannya pemerintah Indonesia terus memperbaharui
berbagai peraturan untuk lebih mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif
dan untuk penguatan daya saing perekonomian nasional dan daerah serta
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Penetapan
undang-undang tersebut juga ditujukan untuk menciptakan iklim penanaman modal yang
kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan
tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional. Sebelumya, melalui
kebijakan paket 23 Oktober 1993, berbagai wewenang pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan investasi telah dilimpahkan kepada daerah dan tidak lagi
harus diputuskan oleh pemerintah pusat.
Dalam kurun waktu tahun 1996 sampai dengan 2010 penanaman modal
asing di Provinsi Jawa Timur mengalami pasang surut dikarenakan berbagai
kondisi perekonomian antara lain krisis ekonomi pada tahun 1998 yang
dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Provinsi Jawa Timur saja tetapi juga
dirasakan oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Suruji et.al. (1998) dalam
Sutarsono (2010) menyatakan bahwa tahun 1998 menjadi titik terendah tingkat
investasi Indonesia. Ketidakstabilan ekonomi yaitu inflasi dan tingkat
pengangguran yang tinggi serta ketidakstabilan politik telah memicu pelarian
modal (capital outflow) dalam skala yang cukup tinggi hingga mencapai US$ 20
milyar. Ketidakstabilan tersebut juga mengakibatkan banyak pengusaha
meninggalkan Indonesia, terhambatnya jaringan distribusi nasional, terputusnya
pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di
Indonesia.
Iklim investasi dapat didefinisikan sebagai semua kebijakan, kelembagaan
dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di
4
suatu investasi. Perbaikan iklim penanaman modal tak henti-hentinya dilakukan
pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan cadangan devisa guna mendorong
perekonomian karena posisi iklim investasi menjadi salah satu alasan utama
investor untuk menanamkan modalnya. Masih rendahnya pelayanan publik,
kurangnya kepastian hukum, dan berbagai Peraturan Daerah yang tidak “pro
-bisnis” diidentifikasi sebagai bukti iklim bisnis yang tidak kondusif. Pelayanan
publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan ketidakpastian biaya dan lamanya
waktu berurusan dengan perijinan dan birokrasi. Ini diperparah dengan masih
berlanjutnya berbagai pungutan, baik resmi maupun tidak resmi. Alasan utama
mengapa investor masih khawatir untuk melakukan bisnis di Indonesia adalah
ketidakstabilan ekonomi makro antara lain tingkat inflasi yang tinggi, rendahnya
Produk Domestik Regional Bruto, fasilitas infrastruktur yang kurang memadai,
ketidakpastian kebijakan, korupsi multilevel dari pusat hingga daerah, perijinan
usaha, dan regulasi pasar tenaga kerja (Kuncoro, 2000).
Oleh karena itu pemerintah Provinsi Jawa Timur berusaha terus
melakukan peningkatan pengembangan tata kelola pemerintahan yang baik dan
peningkatan kestabilan keamanan dan ketertiban daerah melalui Peraturan Daerah
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2025.
1.2. Perumusan Masalah
Perkembangan penanaman modal asing yang masuk ke Indonesia dari
Jawa Timur relatif kecil jika dibandingkan dengan besarnya nilai investasi asing
yang masuk ke Indonesia (Gambar 1.1). Investasi tertinggi dicapai pada tahun
1993 sebesar 33,13 persen dari total investasi asing nasional. Peningkatan
investasi ini sejalan dengan perubahan struktur ekonomi di Jawa Timur yang
semula pada periode 1990-1992 kontribusi sektor pertanian merupakan
penyumbang terbesar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), kemudian
bergeser ke sektor industri pengolahan. Hal ini juga berdampak pada laju
pertumbuhan ekonomi pada tahun 1994 yang meningkat sebesar 13,76 persen,
dimana merupakan laju pertumbuhan tertinggi dalam periode 1990-2010.
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Asing Provinsi Jawa Timur Gambar 1.1. Perkembangan nilai PMA Nasional dan Provinsi Jawa Timur
Tahun 1990-2010
Sedangkan pada tahun 2009-2010 investasi asing yang masuk ke Provinsi
6
investasi asing nasional. Meskipun persentase terhadap total investasi nasional
menurun tetapi nilai investasi asing yang masuk ke Provinsi Jawa Timur pada
tahun 2010 mengalami peningkatan yaitu dari 1.561,79 juta USD menjadi
2.053,72 juta USD. Adapun perkembangan penanaman modal asing di Pulau Jawa
pada tahun 2000-2010 menunjukkan bahwa rata-rata investasi asing yang masuk
sebesar 80,50 persen dari total investasi nasional, dimana rata-rata investasi asing
terbesar yaitu Provinsi DKI Jakarta sebesar 37,97 persen dan Provinsi Jawa Barat
sebesar 21,71 persen. Sedangkan Provinsi Jawa Timur pada periode tersebut
rata-rata investasi asing yang masuk sebesar 9,31 persen.
Eiotman dalam Sodik dan Nuryadin (2008) menyatakan bahwa motif yang
mendasari kegiatan penanaman modal asing adalah motif strategis, motif perilaku
dan motif ekonomi. Beberapa hal yang termasuk dalam motif strategis adalah
usaha mencari pasar, mencari bahan baku dan mencari efisiensi produksi.
Dalam usaha mencari pasar, potential market adalah motivasi paling
utama dibelakang keputusan investasi untuk memilih suatu lokasi, semakin besar
potential market suatu daerah/provinsi memberikan harapan kepada investor atas
besarnya permintaan barang atau jasa yang dihasilkan. Market size ditunjukkan
oleh tingkat pendapatan domestik regional bruto, semakin tinggi nilai pendapatan
domestik suatu daerah berarti tingkat pendapatan masyarakat juga tinggi, daya
beli masyarakat yang tinggi berarti permintaan barang dan jasa yang dihasilkan
akan tinggi pula.
Gambar 1.2. PDRB Provinsi Jawa Timur memiliki pendapatan domestik
menarik investor. Potensi pasar (Potential market) yang besar sebenarnya
merupakan modal awal untuk bisa menarik investor asing.
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)
Gambar 1.2. Distribusi persentase PDRB menurut Provinsi Tahun 2010 (persen)
Berdasarkan klasifikasi United Nation Conference on Trade and
Development (UNCTAD) determinan penanaman modal asing (Foreign Direct
Investmen) yaitu pengaruh ekonomi dan non ekonomi. Pengaruh ekonomi yang
menentukan arus masuknya penanaman modal asing antara lain yang pertama
yaitu faktor yang berhubungan dengan pasar (besar kecilnya pangsa pasar dan
struktur pasar), kedua, faktor yang berhubungan dengan sumberdaya ekonomi
yaitu sumberdaya alam dan biaya tenaga kerja ketiga faktor yang berhubungan
dengan efisiensi yaitu biaya transportasi, komunikasi dan produktifitas tenaga
8
Sedangkan pengaruh nonekonomi antara lain variabel kebijakan yaitu
kebijakan pajak, kebijakan perdagangan, privatisasi dan stabilitas politik. Selain
itu insentif untuk investasi juga mempengaruhi keputusan investor untuk
melakukan penanaman modal di suatu daerah. Jadi apabila suatu daerah
mempunyai iklim yang kondusif, berarti faktor-faktor yang mempengaruhi nilai
investasi, seperti pangsa pasar yang besar, nilai tukar rupiah, tersedianya fasilitas
infrastruktur jalan, pelabuhan dan alat transportasi lainnya yang memadai serta
aliran listrik yang mencukupi untuk proses produksi, angkatan kerja dan
keterbukaan ekonomi berada pada kondisi yang memungkinkan untuk investasi
yang menghasilkan keuntungan maka hal tersebut akan menarik investor
menanamkan modalnya dan pada akhirnya diharapkan akan mendorong
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi jangka panjang di daerah tersebut.
Dengan uraian diatas maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan
beberapa permasalahan yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah perkembangan Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa
Timur?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi nilai investasi asing di Provinsi
Jawa Timur?
1.3. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas maka tujuan yang ingin dicapai dalam
1. Menggambarkan perkembangan penanaman modal asing di Provinsi Jawa
Timur .
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penanaman modal asing di
Provinsi Jawa Timur.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai perkembangan penanaman modal asing di Provinsi Jawa Timur periode
1996-2010 dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Selanjutnya bagi pembaca
diharapkan dapat digunakan untuk menambah wawasan dan sebagai salah satu
bahan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Bagi penulis, penelitian ini
merupakan sarana untuk menambah wawasan dan ilmu di bidang ekonomi serta
sebagai sarana pembelajaran dalam penulisan karya ilmiah.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai
Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur, PDRB Provinsi Jawa Timur
atas dasar harga berlaku, keterbukaan ekonomi yang diproxi dengan jumlah
ekspor dan impor dibagi dengan PDRB, inflasi dan upah minimum provinsi.
Seluruh variabel yang digunakan series dari tahun 1996 sampai dengan 2010.
Pemilihan variabel ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Pengertian Penanaman Modal Asing Langsung (Foreign Direct Investment).
Krugman dalam Sondakh (2009), menjelaskan bahwa yang dimaksud FDI
adalah arus modal internasional dimana perusahaan dari suatu negara mendirikan
atau memperluas perusahaannya ke negara lain. Oleh karena itu tidak hanya
terjadi pemindahan sumberdaya, tetapi juga pemberlakuan kontrol terhadap
perusahaan di luar negeri.
Investasi asing merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah
modal untuk pembangunan ekonomi yang bersumber dari luar negeri. Sedangkan
dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal,
penanaman modal asing didefinisikan sebagai kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh
penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun
yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri dengan tujuan antara lain
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kemampuan
daya saing dunia usaha dalam negeri, meningkatkan kapasitas dan kemampuan
teknologi nasional, mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan, mengolah
ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana
yang berasal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan meningkatkan
Investasi dibedakan atas investasi asing langsung (foreign direct
investment) dan investasi portofolio (portofolio investment). Investasi asing
langsung meliputi investasi ke dalam aset-aset secara nyata yaitu berupa
pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal,
pembelian tanah untuk keperluan produksi, pembelanjaan berbagai peralatan
inventaris dan sebagainya, dan biasanya dibarengi dengan penyelenggaraan
fungsi-fungsi manajemen, dan pihak investor sendiri tetap mempertahankan
kontrol terhadap dana-dana yang telah ditanamkannya. Sedangkan investasi
portofolio adalah investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti
obligasi dan saham, yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang
nasional. Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya
berlangsung melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana
investasi, yayasan pensiun dan sebagainya (Salvatore,1997).
Dibandingkan dengan investasi portofolio, penanaman modal asing lebih
banyak mempunyai kelebihan diantaranya sifatnya jangka panjang, banyak
memberikan andil dalam alih teknologi, alih ketrampilan manajemen, membuka
lapangan kerja baru. Lapangan kerja ini sangat penting bagi negara sedang
berkembang seperti Indonesia, mengingat terbatasnya kemampuan pemerintah
untuk menyediakan lapangan pekerjaan.
2.2. Landasan Teori Investasi
Dalam analisis teori neoklasik tradisional dan teori pertumbuhan endogen,
12
berkembang. Dengan adanya investasi asing, maka diharapkan dapat mengisi
kesenjangan antara persediaan tabungan, cadangan devisa, penerimaan pemerintah
dan keahlian manajerial yang terdapat di negara penerimanya dengan tingkat
persediaan yang dibutuhkan untuk mencapai target-target pertumbuhan dan
pembangunan.
Model pertumbuhan Harrod-Domar mengungkapkan adanya suatu bentuk
hubungan langsung antara tingkat tabungan neto suatu negara (s) dengan tingkat
pertumbuhan outputnya (g) dengan persamaan g = s/k dimana k adalah rasio
modal-output. Jika pertumbuhan output nasional (g) ditargetkan sebesar 7 persen
per tahun dan rasio modal-output sama dengan 3, maka tingkat tabungan yang
dibutuhkan negara tersebut adalah sebesar 21 persen yang diperoleh dari
persamaan s=gk. Tetapi jika jumlah tabungan domestik yang dapat dimobilisasi
hanya 16 persen dari GDP, maka terdapat kesenjangan tabungan (saving gap)
sebesar 5 persen. Negara tersebut dapat mengisi kesenjangan tabungan dengan
sumber-sumber finansial dari luar negeri agar dapat mencapai sasaran
pertumbuhannya (Todaro dan Smith, 2006)
Pos pendapatan nasional membagi Produk Domestik Bruto (Gross
Domestik Product) menjadi empat kelompok pengeluaran dan investasi
merupakan salah satu komponennya. Produk Domestik Bruto merupakan
penjumlahan dari keempat komponen yang dituliskan dengan persamaan :
Y = C + I + G + NX
Dimana :
C = Konsumsi
I = Investasi
G = Belanja pemerintah
NX = Ekspor netto
Persamaan ini disebut persamaan pos pendapatan nasional (national income
accounts identity).
Gambar 2.1. menunjukkan hubungan antara tingkat bunga dan investasi yang
dapat dituliskan dalam fungsi investasi dengan persamaan sebagai berikut :
I = I(r)
Gambar 2.1. Hubungan investasi dan pertumbuhan ekonomi
14
Tingkat bunga merupakan biaya dari investasi, maka penurunan suku bunga dari
r1 ke r2 akan meningkatkan jumlah investasi, dengan demikian slope fungsi
investasi negatif yang ditunjukkan oleh grafik panel a. Pada Keynessian cross
peningkatan investasi yang terjadi menggeser fungsi pengeluaran yang
direncanakan (E1) keatas dari E1 ke E2. Pergeseran fungsi pengeluaran akan
meningkatkan pendapatan (output) dari Y1 ke Y2.Penurunan tingkat bunga akan
menaikkan investasi yang kemudian berdampak pada kenaikan output
(pendapatan).
Kurva IS menghubungkan tingkat bunga dengan pendapatan yang berasal
dari fungsi investasi dan Keynessian cross. Semakin rendah tingkat bunga akan
mendorong peningkatan investasi, selanjutnya akan menyebabkan meningkatnya
pendapatan yang juga berarti terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jadi
adanya peningkatan investasi di suatu negara akan mengakibatkan peningkatan
pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.
Pengeluaran untuk konsumsi barang bertujuan untuk menyediakan
kebutuhan rumah tangga pada saat sekarang, sedangkan pengeluaran untuk barang
investasi bertujuan untuk meningkatkan standar hidup di tahun-tahun yang akan
datang. Tetapi belanja investasi ini mempunyai peran yang penting tidak hanya
pada jangka panjang saja, namun juga pada siklus bisnis jangka pendek karena
investasi merupakan unsur dari GDP yang paling sering berubah.
Ada tiga jenis pengeluaran investasi yaitu investasi tetap bisnis (business
fixed investment) mencakup peralatan dan struktur yang dibeli perusahaan untuk
baru yang dibeli orang untuk tempat tinggal dan yang dibeli tuan tanah untuk
disewakan. Investasi persediaan (inventory investment) mencakup barang–barang
yang disimpan perusahaan digudang termasuk bahan-bahan dan persediaan,
barang dalam proses dan barang setengah jadi (Mankiw, 2006).
2.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penanaman Modal Asing
Pilihan investor asing untuk menanamkan investasinya dalam bentuk
penanaman modal asing langsung dibanding modal lainnya di suatu Negara
dipengaruhi oleh kondisi dari negara penerima penanaman modal asing (pull
factor) yang dapat terdiri dari kondisi pasar, sumber daya, daya saing, kebijakan
yang terkait dengan perdagangan dan industri serta kebijakan penanaman modal
asing itu sendiri. Selain itu juga kondisi dan strategi dari penanam modal asing
(push factor) dari investor.
Dengan adanya perubahan global pendekatan penanaman modal asing
yang dilakukan oleh negara industri maju berbeda dengan pendekatan yang
dilakukan oleh negara berkembang yang besar. Negara industri maju lebih
mempertimbangkan kebijakan pemerintah yang transparan serta dukungan
infrastruktur. Sementara itu, aliran penanaman modal asing langsung dari negara
berkembang yang besar masih tergantung pada determinan tradisional seperti
market size, tingkat pendapatan, ketrampilan tenaga kerja (labour skill),
infrastruktur dan sumber-sumber lainnya yang dapat memfasilitasi spesialisasi
produksi yang efisien, serta stabilitas politik dan ekonomi yang terjaga.
16
(misalnya keringanan pajak dan penghapusan hambatan untuk masuk)
diperkirakan dapat memengaruhi aliran penanaman modal asing baik secara
langsung maupun tidak langsung (Kurniati, 2007) Adapun faktor-faktor ekonomi
yang memengaruhi aliran masuk penanaman modal asing adalah :
a. Produk Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan jumlah nilai tambah
yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu wilayah tertentu, atau
merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit
ekonomi (BPS, 2008). Menurut Dumairy (1996), penghitungan PDRB dapat
dihitung atau diukur dengan tiga macam pendekatan yaitu :
1. Pendekatan Produksi.
Menurut pendekatan produksi PDRB merupakan jumlah nilai barang dan
jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu
negara dalam jangka waktu setahun. Unit-unit produksi dimaksud secara
garis besar dipilah-pilah menjadi sembilan sektor atau lapangan usaha
yaitu (1) pertanian, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri
pengolahan, (4) listrik, gas dan air minum, (5) bangunan, (6) perdagangan,
(7) pengangkutan dan komunikasi, (8) keuangan, persewaa dan jasa
perusahaan, dan lainnya, dan (9) jasa-jasa.
2. Pendekatan Pendapatan.
PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor
jangka waktu setahun. Balas jasa produksi dimaksud meliputi upah dan
gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan. Semuanya dihitung
sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya.
Dalam definisi ini PDRB juga mencakup penyusutan dan pajak-pajak tak
langsung neto. Jumlah semua komponen pendapatan ini per sektor disebut
nilai tambah bruto sektoral. Oleh sebab itu PDRB menurut pendekatan
pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor
atau lapangan usaha.
3. Pendekatan pengeluaran.
PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir, meliputi (1)
pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak
mencari keuntungan, (2) pembentukan modal tetap domestik bruto dan
perubahan stok, (3) pengeluaran konsumsi pemerintah dan (4) ekspor neto,
dalam jangka waktu setahun.
Salah satu faktor yang mendorong investor melakukan investasi di suatu
daerah adalah karena faktor ekonomi di daerah tujuan, seperti potensi pasar,
sumber daya alam dan daya saing. Potensi pasar digambarkan dengan besarnya
pendapatan daerah tersebut yang dicerminkan oleh nilai Produk Domestik Bruto
(PDRB).
Peranan pendapatan daerah (PDRB) terhadap investasi sangat penting,
karena pendapatan yang tinggi akan memperbesar pendapatan masyarakat dan
selanjutnya pendapatan masyarakat yang tinggi akan memperbesar permintaan
18
keuntungan perusahaan dan mendorong dilakukannya lebih banyak investasi.
Dengan kata lain, apabila PDRB meningkat maka investasi akan bertambah tinggi
juga. Dengan demikian investasi mendapat pengaruh dari pendapatan daerah
(PDRB).
b. Inflasi
Inflasi adalah keadaan dimana terjadi peningkatan harga umum secara
terus menerus. Sedangkan tingkat inflasi menggambarkan perubahan harga-harga
dalam suatu tahun tertentu. Indikator yang digunakan untuk mengukur inflasi
adalah indeks harga konsumen, dengan perhitungan sebagai berikut :
Dimana :
: Tingkat inflasi pada periode t
: Indeks Harga Konsumen pada periode t
: Indeks Harga Konsumen pada periode t-1
Inflasi secara tidak langsung mempengaruhi penanaman modal asing,
inflasi yang tinggi membuat harga barang dan jasa menjadi mahal sehingga biaya
input produksi menjadi meningkat. Kondisi ini menyebabkan pelaku usaha harus
meningkatkan harga output sehingga daya saing menjadi rendah. Inflasi juga
mengakibatkan daya beli masyarakat menjadi rendah, permintaan terhadap barang
dan jasa menurun, akibatnya kegiatan perdagangan lesu dan investor sulit untuk
c. Keterbukaan Ekonomi
Derajat keterbukaan yang merefleksikan kesediaan suatu Negara/daerah
untuk menerima investasi asing merupakan faktor yang penting untuk menarik
investasi. Globalisasi telah mendorong setiap Negara untuk melonggarkan aturan
mengenai mobilitas barang dan jasa, tenaga kerja, teknologi dan modal. Sehingga
negara menjadi lebih terbuka terhadap ekonomi luar, dimana penanaman modal
asing dan perdagangan menjadi faktor pendorong yang tidak dapat dihindari
(Moosa, 2002).
d. Upah Minimum Provinsi
Upah minimum provinsi adalah standar upah yang ditetapkan oleh
pemerintah provinsi dalam rangka melindungi kepentingan kaum buruh dengan
tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ketika terjadi kenaikan
upah maka biaya faktor produksi perusahaan semakin meningkat, jika tidak
diimbangi dengan kenaikan produktivitas pekerja maka keuntungan yang
diperoleh investor berkurang dan investasi akan menurun.
2.4. Penelitian terdahulu
Asiedu (2002) yang melakukan penelitian tentang determinan FDI pada
negara berkembang khususnya negara-negara di sub Sahara Afrika menghasilkan
bahwa tingginya tingkat pengembalian investasi (return of investment) atau
keuntungan dari investasi dan fasilitas infrastruktur yang baik mempunyai
20
tetapi mempunyai pengaruh yang tidak signifikan di negara-negara sub Sahara
Afrika. Kedua bahwa margin keuntungan (maginal benefit) dari peningkatan
keterbukaan ekonomi lebih kecil untuk negara-negara di sub Sahara Afrika. Jadi
dari penelitian ini bisa ditarik kesimpulan bahwa keberhasilan dari
kebijakan-kebijakan untuk menarik FDI di negara-negara lain belum tentu juga berhasil bila
diterapkan di Afrika.
Azam dan Lukman dalam penelitiannya tentang determinan FDI di India,
Pakistan dan Indonesia dengan pendekatan kuantitatif dan data periode tahun
1971 sampai tahun 2005 menggunakan model log regresi linier (log linier
regression) menyimpulkan bahwa di Pakistan ukuran pasar, infrastuktur,
keterbukaan ekonomi, ekspektasi investasi domestik mempunyai hubungan yang
positif dan berpengaruh signifikan terhadap FDI pada tingkat 1 persen, sedangkan
hubungan hutang luar negeri dan pajak langsung terhadap aliran FDI mempunyai
hubungan yang negatif. Namun meskipun tingkat inflasi dan konsumsi pemerintah
dalam penelitian ini tidak signifikan bukan berarti variabel tersebut tidak
mempunyai pengaruh pada aliran FDI. Untuk kasus di India hutang luar negeri
mempunyai pengaruh signifikan yang tinggi dan berhubungan negatif pada tingkat
5 persen, infrastruktur signifikan dan positif pada tingkat 1 persen, investasi
domestik berpengaruh signifikan yang tinggi dan positif pada tingkat 5 persen.
Sedangkan tingkat inflasi dan konsumsi pemerintah sama dengan kasus di
Pakistan. Sedangkan hasil penelitian untuk Indonesia mempunyai hasil yang
berbeda dengan studi empiris pada Pakistan dan India. Di Indonesia hampir semua
data yang digunakan diambil dari indikator pembangunan internasional, sementara
untuk Pakistan dan India data yang digunakan bersumber dari survei ekonomi
yang dilakukan di negara masing-masing.
Jadi dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa hutang luar negeri
mempunyai hubungan yang negatif dengan arus masuk FDI, fasilitas infrastruktur
berpengaruh positif dan signifikan, pada kasus Pakistan efek dari pajak langsung
berpengaruh negatif dan signifikan, sesuai dengan kenyataan bahwa perusahaan
multinasional bertujuan untuk memperoleh keuntungan lebih, sehingga bisa
diasumsikan bahwa perusahaan ini sensitif terhadap pajak dikarenakan pajak
mempunyai dampak langsung terhadap keuntungannya. Investasi domestik
memperlihatkan hubungan yang positif dan signifikan. Keterbukaan ekonomi
berpengaruh secara signifikan dan ini menunjukkan liberalisasi yang mana
kondusif dalam memengaruhi arus masuk FDI.
Untuk meningkatkan FDI di Pakistan, India dan Indonesia, otoritas
manajemen pada negara masing-masing dibutuhkan untuk menjamin stabilitas
ekonomi dan politik, perlengkapan fisik kualitas infrastruktur, menjaga tingkat
inflasi, menarik investasi domestik, membatasi hutang luar negeri, insentif
keuangan, mengurangi bea cukai, kedamaian dan keamanan, hukum dan
kebijakan pemerintah yang konsisten merupakan faktor kunci yang potensial
untuk investor dalam membuat keputusan investasi.
Kurniati, et.al (2007) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor
determinan masuknya aliran modal FDI di Asia dan Indonesia serta menguji
22
menggunakan series data tahun 1992 sampai dengan 2006 menyimpulkan bahwa
determinan emerging Asia, khususnya Indonesia memperkuat hasil survey yang
telah dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional seperti World Economic
Forum, JICA dan lain-lain mengenai motif dari investor asing menanamkan
modalnya di Asia dan Indonesia, dimana investor menaruh perhatian besar
terhadap potensi pasar, masalah efisiensi terkait dengan tenaga kerja dan
infrastruktur serta stabilitas finansial yang tercermin dari stabilitas nilai tukar serta
adanya insentif investasi yang dapat tercermin dari terlibatnya home dan host
country dalam perjanjian investasi bilateral ataupun regional.
Dalam penelitian tersebut untuk kasus Indonesia, kestabilan politik
menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan oleh investor disamping
faktor-faktor yang telah disebutkan diatas. Oleh karena itu untuk dapat lebih
meningkatkan daya tarik investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia,
maka pemerintah Indonesia harus meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya,
menjaga stabilitas politik dan keuangan serta memacu penyediaan sarana
infrastruktur (transportasi, listrik, komunikasi), sehingga peningkatan investasi
asing yang masuk akan meningkatkan manfaat yang diperoleh Indonesia sebagai
host country untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih sustainable.
Demikian juga investor sebagai home country akan memperoleh manfaat ekonomi
dari perluasan usaha dan profit usaha. Sedangkan upah buruh tidak signifikan
pengaruhnya terhadap aliran modal FDI ke Indonesia. Diperkirakan bahwa
investor sudah cenderung mempertimbangkan produktivitas tenaga kerja, dengan
pendidikan agar dapat menyediakan tenaga kerja yang memiliki produktivitas
yang tinggi.
Selanjutnya, model gravity yang digunakan dalam penelitian ini
menunjukkan adanya pengaruh positif dari setiap peningkatan FDI ke China
terhadap masuknya investasi ke Indonesia. Hasil ini menunjukkan kesesuaian
dengan teori production networking, dimana tumbuhnya investasi di China
menyebabkan peningkatan produksi dan negara-negara yang melakukan ekspor
bahan baku ke China.
Sutarsono (2010), melakukan penelitian menggunakan data time series
triwulanan dari tahun 1990-2010 tentang determinantforeign direct investment di
Indonesia menyimpulkan bahwa dalam jangka pendek determinan domestik tidak
signifikan terhadap aliran FDI, tetapi variabel lag, PDB, infrastruktur dan nilai
tukar berkorelasi positif terhadap FDI sedangkan ekspor dan keterbukaan ekonomi
berkorelasi negatif. Dalam jangka panjang aliran FDI secara positif dan signifikan
dipengaruhi oleh PDB, infrastruktur, keterbukaan ekonomi dan nilai tukar,
sedangkan ekspor dan krisis ekonomi berpengaruh negatif terhadap FDI.
Sodik dan Nuryadin (2008), yang melakukan penelitian dengan judul
determinan investasi di daerah : studi kasus provinsi di Indonesia periode tahun
1993 sampai dengan 2003 dengan menggunakan metode panel dinamik. Hasil dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa indikator market size yaitu laju PDRB
berpengaruh terhadap pilihan lokasi berinvestasi di daerah tetapi dengan arah
24
menarik bagi investor. Indikator infrastruktur yaitu daya listrik terpasang tidak
berpengaruh terhadap pilihan lokasi berinvestasi di daerah.
Indikator ketenagakerjaan yaitu angkatan kerja dan upah, hanya angkatan
kerja saja yang berpengaruh terhadap pilihan lokasi berinvestasi meskipun dengan
arah yang negatif. Untuk variabel upah tidak berpengaruh terhadap pilihan lokasi
berinvestasi, ini dikarenakan investor sekarang ini sudah tidak lagi
mempertimbangkan upah yang murah, tetapi lebih ke hal efisiensi biaya produksi
dan optimalisasi produktivitas sumberdaya yang ada. Adapun indikator
keterbukaan ekonomi (openness) yaitu ekspor berpengaruh positif dan signifikan
terhadap pilihan lokasi berinvestasi di daerah.
Sarwedi (2002), melakukan penelitian tentang investasi asing langsung di
Indonesia dan faktor yang memengaruhinya, menggunakan perhitungan kuadrat
terkecil sederhana Ordinary Least Square (OLS) dengan mengaplikasikan model
koreksi kesalahan (error correction model) dan uji kausalitas Granger. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa variabel ekonomi (GDP, growth, wage dan
ekspor) mempunyai hubungan positif dengan FDI, sedangkan variabel
nonekonomi yaitu stabilitas ekonomi mempunyai hubungan negatif.
Phytaloka (2010), melakukan penelitian dengan judul analisis faktor-faktor
yang memengaruhi penanaman modal asing dan peluang investasi : studi kasus
Kota Cimahi, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan model
analisis regresi linier berganda OLS dan analisis shift share. Hasil dari penelitian
ini adalah variabel PDRB, tenaga kerja dan dummy peraturan berpengaruh
2.5. Kerangka Pemikiran
Sebagaimana telah dijelaskan pada latar belakang bahwa penanaman
modal asing (PMA) merupakan modal pembangunan dan salah satu sumber
pembiayaan pembangunan yang cukup penting bagi Indonesia khususnya Provinsi
Jawa Timur. Dalam perkembangannya aliran penanaman modal asing yang masuk
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti determinan domestik, krisis ekonomi dan
regulasi. Dalam penelitian ini digunakan determinan domestik utama yang secara
teoritis berkaitan erat dengan aliran penanaman modal asing yaitu Produk
Domestik Bruto (PDRB), keterbukaa ekonomi, inflasi dan upah minimum
provinsi.
Provinsi Jawa Timur dipilih karena nilai investasi masih terbilang rendah
dibandingkan dengan investasi asing yang masuk di provinsi-provinsi lain di
Pulau Jawa. Digunakan determinan domestik sebagai variabel karena secara
teknis variabel tersebut dapat digunakan oleh pemerintah Provinsi Jawa Timur
dalam pengambilan kebijakan untuk menarik investor asing.
Secara skematis kerangka pemikiran diatas dapat digambarkan dalam
26
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran
2.6. Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini variabel penanaman modal asing di Provinsi Jawa
Timur merupakan variabel dependen atau variabel yang dipengaruhi. Sedangkan
PDRB, keterbukaan ekonomi, inflasi dan upah minimum provinsi merupakan
variabel yang memengaruhi atau variabel independen. Berdasarkan teori dan
penelitian terdahulu hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah bahwa Rendahnya
Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur
Determinan Domestik
PDRB Inflasi
Gambaran Perkembangan PMA di Provinsi Jawa Timur Keterbukaan
ekonomi
PDRB dan keterbukaan ekonomi berpengaruh positif terhadap penanaman modal
asing, sedangkan inflasi dan upah minimum provinsi mempunyai hubungan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder (time
series) yang diperoleh dari beberapa lembaga dan instansi pemerintah, antara lain
berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur, Badan Koordinasi
Penanaman Modal Provinsi Jawa Timur dan Bank Indonesia serta beberapa situs
website yang mendukung dan berhubungan dengan penelitian ini. Data-data yang
digunakan adalah data penanaman modal asing yang disetujui pemerintah Provinsi
Jawa Timur, PDRB Provinsi Jawa Timur atas dasar harga berlaku, keterbukaan
ekonomi, inflasi dan upah minimum provinsi.
Tabel 3.1. Variabel-Variabel yang Digunakan dalam Penelitian
Variabel Satuan Sumber Simbol
Penanaman Modal Asing yang
Juta Rp Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur
PDRB
Keterbukaan ekonomi dengan
proxy rasio jumlah ekspor dan impor terhadap PDRB
persen Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur
OPEN
Inflasi persen Badan Pusat Statistik
(BPS) Provinsi Jawa Timur
INF
Upah Minimum Provinsi Rupiah Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data tahunan periode
1996 sampai dengan periode 2010. Tabel 3.1 menjelaskan tentang
variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini beserta satuan, sumber dan
simbolnya.
3.2. Metode Analisis Data
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi Penanaman Modal Asing (PMA) di Provinsi Jawa Timur.
Memberikan gambaran tentang perkembangan penanaman modal asing periode
1996-2010 kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur sehingga dapat dijadikan
sebagai acuan pengambilan kebijakan untuk mendorong peningkatan Penanaman
Modal Asing (PMA) sebagai salah satu modal dalam melaksanakan pembangunan
yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan regresi linier berganda.
Metode analisis data yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Untuk
memudahkan dalam melakukan pengolahan data yang digunakan dalam penelitian
ini, maka data tersebut dimasukkan ke dalam Microsoft Exel dan diolah dengan
menggunakan Eviews 6.0.
3.2.1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan analisis penggambaran dari apa yang akan
30
Analisis ini digunakan untuk menggambarkan keberadaan penanaman modal
asing di Provinsi Jawa Timur. Dalam penelitian ini, analisis deskriptif yang
digunakan menekankan pada aspek perkembangan aliran penanaman modal asing
serta aliran penanaman modal asing per sektor.
3.2.2. Metode Regresi Linier Berganda
Analisis regresi merupakan suatu alat analisis untuk mengetahui pengaruh
variabel bebas terhadap variabel tak bebas yang dinyatakan dalam koefisien
regresi. Variabel bebas adalah variabel yang nilainya dapat ditentukan dan bersifat
menerangkan variabel tak bebas yang nilainya tergantung kepada variabel bebas.
Dalam analisis regresi diketahui dua bentuk model yaitu model persamaan tunggal
dan model persamaan simultan. Pada model persamaan tunggal ada satu variabel
tak bebas Y yang diterangkan oleh satu atau beberapa variabel X. Sementara
dalam persamaan simultan suatu variabel Y tidak hanya ditentukan oleh variabel
X tetapi beberapa variabel X juga ditentukan oleh variabel Y atau ada dua variabel
Y1 dan Y2 yang dipengaruhi secara bersama-sama oleh suatu variabel X. Adapun
dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi dengan model persamaan
tunggal yaitu analisis regresi linier berganda.
Ordinary Least Square (OLS) merupakan salah satu metode yang sering
digunakan karena kemudahannya dalam mengolah data. Gujarati (1993)
menyatakan bahwa ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model ini
1. Semua penaksir tak bias linier atau penaksir OLS mempunyai varians
minimum.
2. Varians tiap unsur disturbance ei tergantung (conditional) pada nilai yang
dipilih dari variabel yang menjelaskan adalah suatu angka konstan yang
sama dengan yang merupakan asumsi homoskedastisitas yaitu varians
yang sama.
3. Tidak ada autokorelasi artinya tidak ada korelasi antara anggota
serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data
deret waktu) atau seperti dalam data cross sectional.
4. Variabel yang menjelaskan adalah non stokastik yaitu terdiri dari
angka-angka yang tetap (fixed) dan ei didistribusikan secara normal.
5. Tidak ada multikolinearitas antara variabel yang menjelaskan X.
Jika asumsi ini terpenuhi maka penaksiran OLS koefisien regresi menjadi
BLUE (Best Linier Unbiassed Estimator). Salah satu regresi dalam OLS adalah
regresi berganda. Analisis regresi linier berganda menunjukkan hubungan sebab
akibat antara variabel X (variable eksogen) yang merupakan penyebab dari
variabel Y (variable endogen) yang merupakan akibat. Analisis regresi linier
berganda digunakan untuk menguraikan pengaruh varibel-variabel yang
menjelaskan (eksogen) yang mempengaruhi varibel bebasnya (endogen). Regresi
linier berganda tidak hanya melihat keterkaitan antar variabel-variabel namun juga
32
3.2.3. Model Umum Analisis Regresi Linier Berganda
Gujarati (1993), model umum analisis regresi linier berganda dapat
dituliskan sebagai berikut :
(3.1.)
Dimana :
Y : Variabel endogen atau variabel tak bebas
i : Periode
: Intersep atau nilai Y saat X = 0
: Variabel eksogen atau variabel bebas
: Parameter dari
: Error term atau derajat kesalahan
3.2.4. Model Analisis Penelitian
Dalam penelitian ini variabel yang digunakan dalam menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi PMA di Provinsi Jawa Timur adalah PDRB dan nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika. PDRB digunakan karena PDRB
menggambarkan besarnya pangsa pasar, nilai tukar menggambarkan kestabilan
moneter suatu Negara/wilayah. Sehingga model analisis regresi linier berganda
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
(3.2)
Dimana :
PMA : Penanaman Modal Asing (000 USD)
OPEN : Keterbukaan ekonomi (persen)
INF : Inflasi (persen)
UMP : Upah minimum provinsi (Rupiah)
: Error term atau derajat kesalahan
3.3. Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik
Pengujian dapat dilakukan dengan kriteria ekonomi dan statistik.
Pengujian kriteria ekonomi dilakukan untuk melihat besaran dan tanda parameter
yang akan diestimasi, apakah sesuai dengan teori atau tidak. Sedangkan pengujian
statistik dimaksudkan untuk mengetahui apakah model yang digunakan
merupakan model yang tepat untuk menggambarkan hubungan antar variabel.
Selain itu untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan diantara
variabel-variabel dependen dengan variabel independen.
3.3.1. Uji t
Uji t digunakan untuk melihat apakah masing-masing variabel bebas
(variable eksogen) secara parsial berpengaruh pada variabel tak bebasnya
(variable endogen). Selain itu juga untuk melihat keabsahan dari hipotesis dan
membuktikan bahwa koefisien regresi dalam model secara statistik signifikan atau
tidak.
Hipotesis : : = 0
34
Statistik uji yang dilakukan dalam uji t adalah sebagai berikut :
(3.4)
Hasil t-hitung dibandingkan dengan t-tabel .
Dimana :
b : Koefisien regresi parsial sampel
B : Koefisien regresi parsial populasi
Sb : Simpangan baku koefisien dugaan
Kriteria uji yang digunakan dalam melakukan uji-t adalah sebagai berikut :
1. Apabila nilai t-hitung lebih besar dari nilai , maka tolak H0. Hal
ini berarti bahwa variabel yang digunakan berpengaruh nyata terhadap
variabel tak bebas (variable endogen).
2. Apabila nilai t-hitung lebih kecil dari nilai , maka terima H0. Hal
ini berarti variabel yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap
variabel tak bebas (variabel eksogen).
3.3.2. Uji F
Uji F dilakukan untuk melihat apakah variabel-variabel bebas (variable
eksogen) secara serempak berpengaruh nyata pada variabel terikatnya (variable
endogen). Apabila uji F lebih kecil dari taraf nyata artinya H0 diterima, hal ini
menandakan bahwa ada minimal satu variabel yang berpengaruh secara signifikan
atau berpengaruh nyata pada keragaman variabel terikatnya.
Mekanisme untuk menguji hipotesis dari parameter dugaan secara serentak
Hipotesis : :
: minimal ada satu
Untuk i = 1, 2, 3, …, k
= dugaan parameter
Statistik uji yang dilakukan dalam uji-F adalah sebagai berikut :
⁄ ⁄ (3.5)
Keterangan :
Hasil dari F-hitung dibandingkan dengan F-tabel (F-tabel = , dimana :
R2 = Koefisien determinasi
n = Banyaknya data
K = Jumlah koefisien regresi dugaan
Kriteria uji yang digunakan dalam pengujian model penduga adalah
sebagai berikut :
1. Apabila nilai F-hitung lebih besar dari , maka tolak H0.
Maksudnya adalah terdapat minimal parameter dugaan yang tidak nol dan
berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel tak bebas.
2. Apabila nilai F-hitung lebih kecil dari , maka terima H0. Hal ini
berarti secara bersamaan variabel yang digunakan tidak bisa menjelaskan
secara nyata keragamaan dari variabel tak bebas.
3.3.3. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji koefisien determinasi R2 (R2 adjusted) digunakan untuk melihat sejauh
36
R2 mengukur tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam
memprediksi nilai variabel terikatnya. Menurut Gujarati (1993) terdapat dua sifat
R2 yaitu :
1. Merupakan besaran non negatif.
2. Batasnya adalah antara 0 dan 1. Jika R2 bernilai 1 berarti suatu kecocokan
sempurna, sedangkan jika R2 bernilai 0 berarti tidak ada hubungan antara
variabel terikat dengan variabel bebasnya.
R2 =
= 1 -
= 1 – ∑
∑
a
atau (3.6)= 1 -
(3.7)
Dimana :
ESS = Jumlah kuadrat yang dijelaskan (explained sum square)
TSS = Jumlah kuadrat total (total sum square)
= Varians residual
= Varians sampel dari Y
Salah satu masalah jika menggunakan ukuran R-squared untuk menilai
baik buruknya suatu model adalah mendapatkan nilai yang terus naik seiring
dengan pertambahan variabel bebas ke dalam model sehingga adjusted R-squared
secara umum memberikan penalty atau hukuman terhadap penambahan variabel
R-squared tidak akan pernah melebihi nilai R-squared bahkan bisa turun jika
ditambahkan variabel bebas yang tidak perlu. Bahkan model yang memiliki
kecocokan rendah (goodness of fit), adjusted R-squared dapat memiliki nilai
negative. Nilai Adjusted R-squared dapat dihitung sebagai berikut :
(3.8)
k adalah banyaknya parameter dalam model termasuk faktor intersep.
3.3.4. Uji Kriteria Ekonometrika 1. Uji Normalitas
Kenormalan sisaan diperlukan agar dihasilkan nilai estimasi parameter
yang tidak bias, efisien dan konsisten. Selain itu, pengujian parameter dalam
analisis regresi menggunakan nilai kritis distribusi t dan F yang keduanya berasal
dari distribusi normal. Pemeriksaan kenormalan sisaan dapat dlakukan melalui
Plot Persentil-Persentil (P-P Plot), jika nilai sisaan membentuk garis lurus maka
sisaan berdistribusi normal.
Pengujian asumsi kenormalan secara formal dapat dilakukan dengan uji
Kolmogorov-Smirnov yang merupakan suatu uji mengenai tingkat kesesuaian
antara distribusi serangkaian nilai sisaan dengan distribusi normal. Hipotesis yang
digunakan adalah :
H0 : distribusi sisaan mengikuti distribusi normal
38
Statistik uji :
D = maksimum F0(Xi) – Sn(Xi) dengan i = 1, 2, 3, …, n.
F0(X) merupakan distribusi frekuensi kumulatif teoritis mengikuti distribusi
normal, sedangkan Sn(X) merupakan distribusi frekuensi kumulatif sisaan yang
diamati sesuai jumlah sampel.
Pada pengujian dengan tingkat kepercayaan sebesar (1-α) persen dapat
diambil keputusan menerima H0 jika D < Dtabel dan menolak H0 jika D ≥ Dtabel.
Dtabel merupakan nilai kritis dari tabel Kolmogorov-Smirnov. Selain itu
pengambilan keputusan dapat didasarkan pada nilai p-value yaitu jika p-value≥ α
maka H0 diterima, sedangkan jika p-value < α maka H0 ditolak.
2. Autokorelasi
Secara harfiah autokorelasi berarti adanya korelasi antara anggota
observasi dengan observasi lain yang berlainan waktu atau disebut juga serial
correlation. Menurut Gujarati (1993), dalam model regresi akan terjadi
autokorelasi apabila terjadi bentuk fungsi yang tidak tepat, peubah penting
dihilangkan dari model, terjadi interpolasi data. Untuk mendeteksi ada tidaknya
autokorelasi first degree dapat digunakan nilai Durbin-Watson (DW) dari hasil
regresi, namun untuk melihat autokorelasi pada tingkat yang lebih tinggi
digunakan Uji Breuch Godfrey Serrial Corelation Lagrange LM Test.
Autokorelasi akan menyebabkan diantaranya sebagai berikut :
a. Dugaan parameter tidak bias.
c. Ragam galat tidak jelas.
d. Terjadi pendugaan kurang tepat pada ragam galat (standar error
underestimated), sehingga Sb underestimated. Oleh karena itu, t
overestimate cenderung lebih besar dari yang sebenarnya.
H0 = β = 0 (tidak terdapat serial autokorelasi)
H1 = β≠ 0 (terdapat serial autokorelasi)
Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya autokorelasi adalah sebagai
berikut :
1. Apabila nilai obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan,
maka model persamaan yang digunakan tidak mengalami masalah
autokorelasi.
2. Apabila nilai obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan,
maka model persamaan yang digunakan mengalami masalah autokorelasi.
Solusi dari masalah autokorelasi yaitu dengan menghilangkan variabel yang
sebenarnya tidak berpengaruh terhadap variabel bebas. Jika terjadi kesalahan
dalam spesifikasi model, hal ini dapat diatasi dengan mentransformasi model,
misalnya dari model linier menjadi non linier atau sebaliknya.
3. Heterokedastisitas
Seringkali pada data yang dianalisis ditemukan masalah varians residual
yang bervariasi (heterokedastisitas), sementara itu analisis regresi menghendaki
asumsi bahwa residual memiliki varians konstan (homokedastisitas).
40
tersebut ditandai dengan varians tidak tetap. Heterokedastisitas tidak merusak sifat
ketidakstabilan dan konsistensi dari penaksir OLS, tetapi penaksir dihasilkan tidak
lagi mempunyai varians minimum (efisien). Menurut Gujarati (1993), jika terjadi
heterokedastisitas maka akan berakibat sebagai berikut :
1. Estimasi dengan menggunakan OLS tidak akan memiliki varians yang
minimum atau estimator tidak efisien.
2. Prediksi (nilai Y untuk X tertentu) dengan estimator dari data yang
sebenarnya akan mempunyai varians yang tinggi, sehingga prediksi tidak
efisien.
3. Tidak akan ditetapkannya uji nyata koefisien atau selang kepercayaan
dengan menggunakan formula yang berkaitan dengan varians.
Secara umum ada beberapa cara atau teknik yang dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya heterokedastisitas, yaitu :
1. Uji Park.
2. Uji Breusch Pagan Godfrey.
3. Uji White (White General Heterokedastisity Test).
Dalam penelitian ini untuk menguji ada tidaknya heterokedastisitas dengan
menggunakan Breusch Pagan Godfrey dan White General Heteroskedastisity
Test. Kriteria uji yang digunakan untuk melihat adanya heterokedastisitas adalah
jika nilai probability obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata yang digunakan,
maka model persamaan yang digunakan tidak mengalami masalah
taraf nyata yang digunakan, maka persamaan tersebut mengalami masalah
heterokedastisitas.
Untuk mengatasi masalah heterokedastisitas ada beberapa teknik,
diantaranya :
a. Metode Generalized Least Square (GLS).
b. Transformasi dengan logaritma.
4. Uji Multikolinearitas
Pada regresi linier berganda digunakan lebih dari satu variabel bebas untuk
menjelaskan variabel tak bebas. Asumsi yang harus dipenuhi adalah bahwa antar
variabel bebas ini tidak terdapat korelasi sehingga estimasi parameter koefisien
regresi dari masing-masing variabel bebas benar-benar mencerminkan
pengaruhnya terhadap variabel tak bebas. Multikolinearitas terjadi apabila pada
regresi linier berganda terjadi hubungan antar variabel bebas atau terjadi karena
adanya korelasi yang nyata antar peubah bebas. Pelanggaran asumsi ini akan
menyebabkan kesulitan untuk menduga yang diinginkan.
Menurut Gujarati (1993), untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas
adalah dengan memperlihatkan hasil probabilitas t-statistik hasil regresi. Jika
banyak koefisien parameter yang diduga menunjukkan hasil yang tidak signifikan,
maka hal ini mengindikasikan adanya multikolinieritas. Salah satu cara yang
paling mudah untuk mengatasi pelanggaran ini adalah dengan menghilangkan
salah satu variabel yang tidak signifikan tersebut. Hal ini sering tidak dilakukan
42
lain adalah dengan mencari variabel instrumental yang berkorelasi dengan
variabel terikat tetapi tidak berkorelasi dengan variabel bebas lainnya. Hal ini
agak sulit dilakukan mengingat tidak adanya informasi tentang tipe variabel
tersebut. Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas,
salah satunya yaitu melalui correlation matric, dimana batas terjadinya korelasi
antar sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari │0,80│.
Selain correlation matric dapat juga menggunakan Uji Klien, apabila
terdapat nilai korelasi yang lebih tinggi dari │0,80│, maka menurut Uji Klien
multikolinieritas dapat diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi
Adjusted R-squared. Jika tetap menggunakan OLS dalam menghitung estimasi
parameter model regresi linier berganda yang mengandung multikolinieritas maka
kita harus menghadapi konsekuensi sebagai berikut :
1. Estimator yang dihasilkan masih merupakan BLUE (Best Linear Unbiased
Estimator) tetapi memiliki varians dan kovarians yang besar sehingga sulit
mendapatkan estimasi yang tepat.
2. Interval estimasi akan cenderung melebar, sehingga nilai statistik hitung t
akan kecil akibatnya variabel bebas tidak signifikan secara individual
meskipun secara simultan signifikan.
3. Nilai korelasi simultan R-square tinggi tetapi korelasi parsial rendah.
3.4. Beberapa Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS)
Ketika menggunakan data runtun waktu (time series), seringkali muncul
seksi silang (cross section). Sebagian besar kesulitan tersebut berkaitan dengan
urutan pengamatan. Ada hal yang menjadi kelemahan metode Ordinary Least
Square (OLS) dengan menggunakan data time series (Gujarati, 1993) antara lain :
1. Suatu kondisi dimana satu variabel time series berubah secara konsisten
dan terprediksi sebelum variabel lain yang ditentukan demikian. Jika suatu
variabel mendahului variabel yang lain, tidak dapat dipastikan bahwa
variabel pertama tersebut menyebabkan variabel lain berubah.
2. Variabel-variabel independen Nampak lebih signifikan dari sebenarnya,
yaitu apabila variabel-variabel itu memiliki trend menarik yang sama
dengan variabel dependennya dalam kurun waktu periode sampel.
3. Terkadang variabel time series tidak stasioner. Maksudnya rata-rata dan
variannya tidak konstan sepanjang waktu dan nilai kovarian antara dua
periode waktu tergantung dari jarak atau lag antara kedua periode dari
waktu sesungguhnya dimana kovarian itu dihitung dan bukan dari periode
pada waktu.
4. Variabel time series terkadang tidak mempunyai kointegrasi yaitu dalam
jangka waktu tertentu tidak terdapat keseimbangan.
5. Sulit untuk menentukan kapan sebuah variabel tersebut penting
sebagaimana dijelaskan dalam teori atau sebaliknya teorinya kurang jelas,
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1. Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA)
Nilai proyek Penanaman Modal Asing (PMA) di Provinsi Jawa Timur dari
tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang sangat fluktuatif (Gambar 4.1). Hal
ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekonomi global, dimana ketidakpastian
perekonomian dunia akan sangat berpengaruh terhadap keputusan berinvestasi
yang dilakukan oleh negara-negara maju.
Laju pertambahan nilai penanaman modal asing yang masuk pada tahun
2005 sebesar 50,68 persen, hal ini seiring dengan jumlah proyek yang juga
meningkat sebesar 20,00 persen. Pada tahun 2006 peningkatan jumlah proyek
sebesar 6,41 persen mampu meningkatkan nilai penanaman modal asing sebesar
172,22 persen. Sedangkan pada tahun berikutnya peningkatan jumlah proyek
sebesar 2,41 persen tidak diiringi dengan peningkatan nilai penanaman modal
asing yang masuk tetapi justru nilainya menurun sebesar 41,72 persen. Jadi nilai
penanaman modal asing tidak ditentukan oleh seberapa banyak jumlah proyek
yang masuk. Adapun jumlah proyek yang masuk pada tahun 2010 meningkat
sebesar 18,75 persen, demikian juga nilai penanaman modal asing meningkat
sebesar 31,50 persen.
Pada periode 1990-2010 menunjukkan bahwa penanaman modal asing
tahun 1994 merupakan investasi yang paling tinggi yaitu mencapai 6.771 juta
dibandingkan jumlah penanaman modal asing yang masuk ke Provinsi Jawa
Timur tahun 1993. Sedangkan pada tahun 1998 penanaman modal asing
mengalami penurunan cukup tajam yaitu sebesar 86,25 persen. Hal ini disebabkan
krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 1997, dimana kejadian tersebut
sangat berpengaruh pada penanaman modal asing yang masuk tidak hanya dalam
lingkup nasional saja tetapi juga dalam lingkup daerah.
Penanaman modal asing yang masuk di Provinsi Jawa Timur pada
tahun-tahun berikutnya tetap berfluktuasi tetapi dengan arah yang terus meningkat, krisis
finansial yang terjadi pada tahun 2008 juga tidak begitu berpengaruh pada aliran
masuk investasi asing. Meskipun sempat mengalami penurunan pada tahun 2009,
penanaman modal asing kembali meningkat sebesar 31,50 persen di tahun 2010.
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Jatim
46
Peningkatan yang terjadi pada tahun 2010 salah satunya disebabkan oleh
masuknya investasi perusahaan multinasional dari Swiss yang bergerak dibidang
pembenihan, hal ini memberikan harapan positif dan sesuai dengan visi
Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menjadikan daerah Jawa Timur sebagai
wilayah agribisnis terkemuka di Asia (BPM Provinsi Jatim, 2011).
Sedangkan jika dilihat dari sektor, penanaman modal asing yang masuk ke
Provinsi Jawa Timur didominasi oleh sektor industri pengolahan. Adapun
penanaman modal asing yang masuk ke Provinsi Jawa Timur selama 2000-2010
menunjukkan bahwa secara rata-rata sektor terbesar adalah investasi di sektor
industri sebesar 63,96 persen, kemudian sektor lainnya (sektor bangunan, hotel
dan restoran, jasa-jasa) sebesar 34,69 serta sektor pertanian dan pertambangan
sebesar 1,35 persen.
Gambar 4.1. menunjukkan penanaman modal asing yang masuk pada
tahun 2001 dominan pada sektor industri pengolahan, jenis industri yang paling
banyak adalah industri kimia sebesar 95,29 persen, yang kedua industri barang
logam sebesar 2,25 persen dan yang ketiga adalah industri makanan sebesar 0,86
persen. Pada periode 2002-2005 sektor industri pengolahan masih juga
mendominasi dengan rata-rata persentase sebesar 68,48 persen. Sedangkan pada
tahun 2006 dan 2008 penanaman modal asing bergeser pada sektor lainnya yang
didominasi oleh sektor konstruksi/bangunan, perdagangan dan jasa. Penanaman
modal asing di sektor industri pengolahan kembali meningkat pada tahun 2010
sebesar 77,86 persen, sektor lainnya sebesar 22,05 persen dan sektor pertanian dan
utamanya adalah sektor industri makanan/minuman dan sektor industri kimia dan
farmasi.
Peningkatan yang terjadi pada sektor indutsri makanan/minuman
dikarenakan penambahan nilai investasi yang dilakukan oleh PT Nestle dengan
nilai kontrak sebesar 490 juta USD. Sedangkan peningkatan yang terjadi di sektor
industri kimia dan farmasi dikarenakan investasi dari PT Chiel Jedang (CJ) yaitu
perusahaan multinasional dari Korea Selatan yang memproduksi asam amino,
Hcl-L, Lysne, MSG.
4.2. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan
pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal Provinsi Jatim
Gambar 4.2. Persentase Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan sektor Tahun 2001-2010
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
48
dan disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu
negara/daerah dan pemerataan pendapatan bagi penduduknya. Pembangunan
ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi karena pembangunan
ekonomi mendorong pertumbuhan dan sebaliknya pertumbuhan ekonomi
memperlancar proses pembangunan (Kuncoro, 2010). Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) mencerminkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Perkembangan PDRB Provinsi Jawa Timur dari tahun ke tahun terus
meningkat, hal ini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang positif. Gambar
4.2. menunjukkan pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Timur yang terus
mengalami peningkatan, kecuali pada tahun 1998 terjadi penurunan sebesar 11,21
persen, hal ini dikarenakan krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 1998.
Karena perekonomian dunia cukup terintegrasi, sebagai konsekuensi dari arus
globalisasi, setiap terjadi krisis global akan berpengaruh terhadap perekonomian
di Indonesia termasuk Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 1999 pertumbuhan
ekonomi mengalami sedikit peningkatan meskipun hanya sebesar 1,21 persen
sebagai bentuk proses pemulihan ekonomi.
Pada perkembangan selanjutnya dari tahun 1999 sampai dengan 2009
PDRB Provinsi Jawa Timur terus mengalami peningkatan, demikian juga pada
tahun 2010 terjadi peningkatan sebesar 6,88 persen yaitu dari 320,21 miliar Rp
menjadi 342,24 miliar Rp pada tahun 2010. Adapun krisis finansial yang terjadi
pada tahun 2008 hanya mengakibatkan laju pertumbuhan sedikit melambat.
peluang bagi para investor asing untuk melakukan investasi di Provinsi Jawa
Timur.
4.3. Perkembangan Inflasi
Pada triwulan I-2010, inflasi IHK 7 kota di Jawa Timur sebesar 3,01
persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan inflasi triwulan sebelumnya yang
mencapai 3,40 persen maupun dengan inflasi nasional yang mencapai 3,56 persen.
Tingkat inflasi Jawa Timur hingga triwulan ini terus menunjukkan tren
perlambatan. Kondisi ini secara umum dipengaruhi oleh cukup terjaganya tekanan
inflasi pada kelompok yang mendominasi seperti kelompok bahan makanan,
kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, serta kelompok
perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar. Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jatim
Gambar 4.3. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jawa Timur Tahun 1990-2010
50
Secara umum, tren penurunan inflasi tersebut terutama dipengaruhi oleh
terkendalinya harga bahan makanan (sebagai kelompok yang memiliki bobot
terbesar kedua di Jawa Timur). Meskipun sempat terjadi kenaikan harga pada
kelompok tersebut pada bulan Januari dan Pebruari 2010, namun deflasi yang
terjadi pada bulan Maret 2010 mampu menekan inflasi keseluruhan pada triwulan
satu. Hal ini juga dipengaruhi oleh kecukupan distribusi, ketegasan pemerintah
provinsi dalam pengendalian harga komoditas strategis (terutama gula pasir), serta
didukung oleh ekspektasi masyarakat yang terjaga.
4.4. Perkembangan Ekspor
Selama bulan Desember 2010 ekspor hasil pertanian menunjukkan
kenaikan sebesar 34,60 persen disbanding bulan sebelumnya, dari 80,58 juta USD Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur