• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi lahan sagu dan potensi pemanfaatannya secara berkelanjutan di kabupaten Jayapura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi lahan sagu dan potensi pemanfaatannya secara berkelanjutan di kabupaten Jayapura"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI LAHAN SAGU DAN POTENSI

PEMANFAATANNYA SECARA BERKELANJUTAN

DI KABUPATEN JAYAPURA

SAMSUL BACHRI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini menyatakan bahwa tesis Identifikasi Lahan Sagu dan Potensi Pemanfaatannya secara Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun terbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

ABSTRACT

SAMSUL BACHRI. Identification of Sago Land and Potential of Sustainable Sago Utilization in the Jayapura regency. Under direction of D. P. TEJO BASKORO, BABA BARUS and BOEDI TJAHJONO.

Sago is one important alternative food diversification. Determination sago land as a sustainable food farming land needs to consider sago food needs, distribution, productivity and level of sago utilization. The purposes of this study are (1)To identify the food needs of local sago, (2)To identify of distribution and utilization of sago forest as other its utilization by people, and (3) To develop scenarios to determine the sago forest area that deserve to be recommended as sustainable agricultural food carried out in Jayapura Papua Province. The result showed there are four of vegetated sago area of 2909.8 ha of sago which is comprised of the Harapan area, Kehiran, Sosiri and Maribu. Types of sago based on habitat and cultivation consists of sago cultivation areas (dusun sagu), sago natural forest, sago swamps, and the sago mixture. Types of sago based on morphology diversity just on dusun sagu area while in other areas only forest sago (mano/manino). The highest productivity is the Kehiran region with clump density 711 clump/ha and 133 stands ready for harvest/ha. Use type of sago utilization is same for all areas only on the intensity of their use are different. Requirement sago land for the consumption of sago in location of research and contribution to the Jayapura regency is sufficient from of sago land existing. 950.1 ha of sago cultivation areas for LP2B plan, especially development on the fringes of Sentani Lake. 1.508,3 ha of potential sago land for LCP2B plan other than those already proposed for plan of LP2B areas. KP2B includes LP2B, LCP2B, sago swamps and supporting elements of an area of 2.458,4 ha.

(4)

RINGKASAN

SAMSUL BACHRI. Identifikasi Lahan Sagu dan Potensi Pemanfaatannya secara Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura. Dibimbing oleh D. P. TEJO BASKORO, BABA BARUS and BOEDI TJAHJONO.

Sagu merupakan salah satu alternatif diversifikasi pangan yang penting. Lahan sagu yang akan dijadikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan perlu mempertimbangkan kebutuhan pangan sagu, sebaran, produktifitas dan tingkat pemanfaatan sagu. Tujuan yang ingin dicapai adalah (1) Mengindentifikasi kebutuhan pangan sagu daerah; (2) Mengindentifikasi sebaran hutan sagu dan keragamannya serta pemanfaatan masyarakat; dan (3) Menyusun skenario untuk menentukan luasan hutan sagu yang layak untuk direkomendasikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Ditemukan empat daerah bervegetasi sagu berupa hamparan dengan total luas 2909,8 ha terdiri dari daerah Harapan, Kehiran, Sosiri dan Maribu. Berdasarkan klasifikasi tipe ekosistem sagu ditemukan areal dusun sagu, hutan sagu alam, rawa sagu, dan campuran sagu. Secara alami, semua fase pertumbuhan tipe tegakan sagu ditemukan pada semua tipe ekosistem areal sagu di setiap sebaran sagu kecuali rawa sagu dan dusun sagu yang telah dijual. Keragaman jenis-jenis sagu hanya pada areal sagu dusun sedangkan pada areal lain hanya sagu hutan (mano/manino). Produktifitas tertinggi pada kawasan Kehiran dengan jumlah 133 tegakan siap panen pada kerapatan 711 rumpun. Jenis pemanfaatan hutan sama hanya pada intensitas pemanfaatannya saja yang berbeda. Kecenderungan tingkat pemanfaatan hutan sagu oleh penduduk semakin berkurang dengan semakin dekatnya letak kampung dengan pusat kota

.

(5)

Hasil penilaian kesesuaian lahan sagu diperoleh lahan yang sesuai untuk sagu sebesar 10,9 persen dari luas lokasi penelitian atau seluas 11.967,5 ha termasuk lahan bervegetasi sagu. Berdasarkan keberadaannya di RTRW diperoleh bahwa lahan sesuai untuk sagu berada kawasan lindung 523,1 ha (4,4 %) dan kawasan budidaya 11.422,0 ha (95,6 %). Melihat besarnya luas lahan yang ada di kawasan budidaya melebihi kebutuhan lahan sagu untuk pangan yang telah diproyeksikan, maka pemilihan lahan untuk pengembangan sagu cukup pada kawasan budidaya. Setelah dikurangi lahan terbangun diperoleh lahan yang dapat tersedia pada kawasan budidaya yang dapat dijadikan sebagai arahan pemanfaatan sagu seluas 8.463,2 ha. Pemanfaatan awal lahan sesuai arahan pengembangan sagu lebih baik memilih lahan yang sudah ada vegetasi sagu, terutama pada lahan sagu yang telah dikelola oleh masyarakat untuk dikembangkan dengan intensifikasi.

LP2B dipilih dari dusun sagu yang berada di kawasan budidaya dan campuran seluas 950,1 ha. Urutan prioritas pengembangan lahan-lahan dusun umumnya berada di pinggiran danau sentani yang cukup jauh dari pusat pemerintahan sehingga tidak mudah terkonversi ke penggunaan lainnya. Selain letaknya yang cukup jauh dari pusat pemerintahan, lahan sagu yang berada dipinggiran danau mempunyai peran yang penting sebagai penyangga danau sentani selain pertimbangan keragaman sagunya.

LCP2B diusulkan hanya dari lahan potensial bervegetasi sagu seluas 1.508,3 ha karena ketersediaan lahan sagu yang ada (usulan LP2B) telah melebihi proyeksi kebutuhan dan juga untuk menyediakan ruang bagi kebutuhan lahan untuk penggunaan lainnya. KP2B mencakup LP2B, LCP2B, rawa sagu dan unsur penunjang seluas 2.458,4 ha. pengelolaan KP2B dibagi menjadi 5 yang menyebar sesuai batas distrik yang mencakup 2 kepemilikan hak ulayat tanah adat. Unsur penunjang meliputi jalan, sumber air, dermaga dan tempat pengelolaan sagu.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

IDENTIFIKASI LAHAN SAGU DAN POTENSI

PEMANFAATANNYA SECARA BERKELANJUTAN

DI KABUPATEN JAYAPURA

SAMSUL BACHRI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(8)

Judul Tesis : Identifikasi Lahan Sagu dan Potensi Pemanfaatannya secara Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura

Nama : Samsul Bachri

NRP : A156090061

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Anggota

Dr. Boedi Tjahjono Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala karunia-Nya sehingga karya ilimiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak September 2010 ini adalah Identifikasi lahan sagu dan potensi pemanfaatannya secara berkelanjutan di Kabupaten Jayapura.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Ketua Jurusan Tanah, Ketua Program Studi PWL (Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr), dan seluruh staf administrasi dalam lingkup IPB yang telah memberi pelayanan yang baik untuk kelancaran administrasi studi penulis di IPB. 2. Segenap dosen pengajar, asisten dan staf pada Program Studi Ilmu

Perencanaan Wilayah (PWL).

3. Dr. Ir. D. P. Tejo Baskoro, M.Sc, Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc dan Dr. Boedi Tjahjono selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, petunjuk dan dorongan sejak penulisan proposal penelitian sampai penyusunan tesis ini.

4. Prof. Dr. Ir. H. M. H. Bintoro, M.Agr selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.

5. Pimpinan program beasiswa Nuffic - 4 AGRI UNIPA yang telah membiayai sekolah.

6. Rektor Unipa yang telah member ijin menempuh pendidikan Magister Sains dan Staf pengajar Ilmu Tanah Unipa yang mendukung selama ini.

7. Kepala Balai besar DAS Memberamo dan staf yang telah membantu selama kegiatan survei.

8. Pemerintah Kabupaten Jayapura (Bappeda, BPS, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan Dinas Ketahanan Pangan) yang telah menyediakan data-data yang diperlukan selama penelitian.

9. Rekan-rekan peserta Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) angkatan tahun 2009 atas kebersamaan, kekompakan dan saling memberi semangat dalam proses belajar hingga penyusunan tesis.

10. Semua pihak yang berperan dalam proses pengajaran dan penulisan karya ilmiah ini.

Penulis menghaturkan hormat dan terimakasih yang tak terhingga kepada istri dan anak-anak tercinta, serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan yang telah dilimpahkan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 30 Desember 1978 di Balikpapan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Ayahanda Marzuki dan Ibunda Norma.

Penulis menamatkan Sekolah Dasar Negeri 1 Arso pada tahun 1992, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Arso tahun 1995 dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 4 Jurusan Budidaya Tanaman Pangan dan Hortikutura (BTPH) tahun 1998 semuanya di Kabupaten Jayapura. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Negeri Papua (minat ilmu tanah) di Manokwari lulus tahun 2003.

Sejak tahun 2003 penulis diterima menjadi pengajar di Universitas Negeri Papua pada Jurusan Ilmu Tanah.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

PENDAHULUAN ... 1

Latar belakang ... 1

Perumusan masalah ... 3

Tujuan penelitian ... 4

Manfaat penelitian ... 5

Kerangka pemikiran ... 5

Ruang lingkup ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

Sagu... 8

Habitat Sagu ... 8

Budidaya Sagu ... 9

Manfaat Sagu ... 10

Penginderaan Jauh ... 12

Identifikasi Sagu ... 13

Google Earth ... 14

GeoEye ... 15

Pola pangan harapan ... 17

Lahan pangan berkelanjutan ... 20

METODE PENELITIAN ... 23

Tempat dan waktu penelitian ... 23

Bahan dan Alat ... 23

Prosedur Penelitian ... 25

1. Persiapan ... 25

2. Survei... 26

(13)

KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA ... 37

Letak dan Luas ... 37

Penduduk ... 38

Pola Konsumsi Pangan ... 39

Rencana Tata Ruang ... 40

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

Identifikasi dan Pemetaan Sagu ... 45

Sebaran Sagu ... 45

Tipe Sagu ... 51

Kondisi Lingkungan Sagu ... 58

Tegakan Sagu ... 59

Jenis Sagu... 61

Pemanfaatan Hutan Sagu ... 62

Kebutuhan Lahan Sagu ... 66

Arahan Pengembangan Lahan Pertanian Sagu ... 72

Identifikasi dan Pemetaan LP2B ... 76

Identifikasi dan Pemetaan LCP2B ... 80

Identifikasi dan Pemetaan KP2B ... 83

SIMPULAN DAN SARAN... 89

Simpulan ... 89

Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA... 90

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Komposisi kandungan tepung sagu dan beberapa bahan makanan dalam 100

bagian yang dapat dimakan ... 11

2. Contoh Interpretasi visual sagu ... 14

3. Karakteristik parameter satelit GeoEye ... 16

4. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional ... 19

5. Data yang diperlukan dan cara memperolehnya ... 23

6. Kelas intensitas pemanfaatan hutan sagu ... 27

7. Penentuan arahan pengembangan ... 32

8. Kriteria penilaian lahan untuk LP2B dan LCP2B ... 34

9. Nilai Skor dan bobot operasi tumpangsusun ... 35

10. Luas dan jumlah kampung tiap distrik di Kabupaten Jayapura ... 37

11. Jumlah dan kepadatan penduduk tiap distrik tahun 2009 ... 38

12. Perkembangan jumlah penduduk dari tahun 2000-2009 ... 39

13. Kontribusi energi menurut kelompok pangan ... 39

14. Pembagian wilayah pembangunan ... 41

15. Luas lahan sagu... 48

16. Perbedaan penampakan tiap tipe sagu ... 53

17. Luas lahan tipe hutan sagu yang ada setiap hamparan ... 56

18. Jumlah siap panen dan kerapatan di daerah sagu ... 60

19. Jenis-jenis sagu ... 61

20. Pemanfaatan sagu ... 62

21. Tingkat pemanfaatan hutan sagu ... 64

(15)

23. Proyeksi kebutuhan lahan sagu di Kabupaten Jayapura ... 69

24. Luas lahan berdasarkan tutupan/penggunaan lahan ... 73

25. Luas lahan usulan LP2B tiap kampung berdasarkan urutan prioritas ... 79

26. Luas lahan potensial berdasarkan tutupan/penggunaan ... 81

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran ... 6

2. Pemanfaatan sagu untuk berbagai industri ... 12

3. Layer GeoEye pada Google Earth ... 17

4. Lokasi penelitian ... 24

5. Alur pemetaan sebaran sagu ... 26

6. Alur pembuatan peta kawasan sagu ... 28

7. Alur proyeksi kebutuhan luas lahan sagu ... 29

8. Alur pementaan ketersediaan lahan ... 32

9. Konsep pemetaan LP2B dan LCP2B ... 34

10. Konsep pemetaan KP2B ... 36

11. Rencana pemanfaatan ruang kawasan budidaya ... 43

12. Rencana pemanfaatan ruang kawasan lindung... 44

13. Penampakan sagu dan bukan sagu ... 47

14. Penampakan sagu dan kelapa ... 47

15. Sebaran lahan bervegetasi sagu ... 49

16. Sebaran tipe sagu ... 57

17. Tingkat pemanfaatan sagu ... 65

18. Proyeksi kebutuhan lahan sagu di lokasi penelitian ... 69

19. Proyeksi kebutuhan lahan sagu Kabupaten Jayapura ... 70

20. Arahan pemanfaatan lahan ... 74

21 Urutan prioritas LP2B ... 79

22. Lahan LCP2B ... 82

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Proses pembangunan yang dilakukan menuntut adanya sistem ketahanan pangan nasional yang lebih baik. Upaya ketahanan pangan ini bertujuan untuk dapat mempertahankan stabilitas ketersediaan pangan untuk kebutuhan secara nasional yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Di sisi lain, terdapat permasalahan degradasi lingkungan serta alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain sehingga diperlukan kebijakan tentang adanya lahan pangan yang bersifat abadi.

Masalah penyediaan lahan pertanian skala nasional berkaitan erat dengan kapasitas produksi pangan yang ditentukan oleh luas lahan produksi, produktifitas lahan, tingkat kebutuhan konsumsi pangan (ketergantungan pada beras), laju luasan konversi, dan jumlah penduduk. Berdasarkan proyeksi konsumsi pangan penduduk hingga tahun 2030 di Indonesia dibutuhkan penambahan lahan sawah hingga 9,666 juta hektar (Rustiadi dan Wurgensi, 2007). Mengingat besarnya angka tersebut maka perlu dilakukan orientasi produksi pangan lain yang tidak tergantung hanya pangan beras sehingga dibutuhkan adanya diversifikasi pangan lainnya. Selain untuk pangan, Sagu merupakan komoditas yang potensial menjadi bahan pangan baku industri pangan, industri kimia dan obat-obatan, industri tekstil, industri pakan, dan penghasil energi.

Sagu merupakan salah satu alternatif diversifikasi pangan yang penting diperhatikan selain sebagai bahan baku industri. Menurut BBKP Papua (2007) dibandingkan dengan tanaman pangan lain, keunggulan utama tanaman sagu adalah produktifitasnya yang tinggi. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/hektar/tahun setara dengan tebu dan lebih tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang (10-15 ton/hektar/tahun). Sagu juga merupakan tanaman tahunan dengan sekali tanam akan tetap berproduksi secara berkelanjutan selama puluhan tahun. Lebih lanjut menurut Hutapea (1990) dalam Rusli (2007) sagu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi (85,9 g/100 g) lebih tinggi dibandingkan dengan beras (80,4 g/100 g) atau jagung (71,7 g/100 g), ubi kayu (23,7 g/100 g) maupun kentang (16,3 g/100 g).

(18)

tahun. Konsumsi pati sagu dalam negeri hanya sekitar 210 ton atau baru 4-5 persen dari potensi produksi. Salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi sagu terbesar, bahkan terluas di seluruh dunia adalah Papua yang memiliki luas lahan sagu sekitar 771.716 hektar atau sekitar 85 persen dari luas hutan sagu nasional (BBKP Papua, 2007).

Selain banyak ditemukan di Papua, sagu telah lama dikenal dan menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Hutan sagu mempunyai arti penting sebagai sumber makanan dan juga kebutuhan lainnya sebagai bagian dari budaya misalnya adalah untuk upacara adat, bahkan di beberapa tempat hutan sagu dijadikan tempat keramat secara budaya. Pemanfaatan sagu untuk diolah secara umum masih bersifat subsisten dan hasil olahan berupa tepung sagu umumnya digunakan sebagai bahan makanan dan sebagian kecil dijual. Hasil lain dari hutan sagu yakni ulat sagu dan jamur sagu juga banyak digunakan sebagai sumber protein nabati. Selain itu, hutan sagu juga sebagai tempat berburu dan mencari ikan dan ada bagian-bagian dari pohon sagu yang digunakan sebagai bahan bangunan rumah.

Berkaitan dengan ketahanan pangan nasional, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B). Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penataan ruang wilayah untuk menyediakan lahan pertanian dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Dengan adanya undang-undang ini kiranya perhatian terhadap lahan hutan sagu saat sekarang perlu ditingkatkan. Bukan saja sagu sebagai sumber alternatif pangan yang mempunyai potensi tinggi tetapi juga sebagai wadah kehidupan sosial-budaya masyarakat dan ada kecenderungan terjadinya konversi lahan sagu ke penggunaan lain. Selain untuk bahan pangan pokok, pemanfaatan sagu terbesar saat ini untuk bahan baku industri pangan, industri kimia dan obat-obatan, industri tekstil, industri pakan, dan penghasil energi.

(19)

Pusat pemerintahan yang berada di Sentani sebagai Ibukota Kabupaten Jayapura menyebabkan banyak lahan-lahan sagu ada sekitar Danau Sentani berubah menjadi lahan terbangun dan lahan pertanian. Lahan-lahan sagu yang berada di daerah datar menjadi pilihan untuk aktifitas pembangunan seperti perumahan, jalan, perkantoran dan pembukaan lahan pertanian. Walaupun telah dikeluarkannya peraturan daerah (Perda) Kabupaten Jayapura Nomor 3 tahun 2000 tentang pelestarian kawasan sagu. Kurangnya sosialisasi dan lemahnya pengawasan serta belum ditetapkan dalam RTRW Kabupaten Jayapura menjadi penyebab masih sering lahan sagu digunakan untuk aktivitas pembangunan. Dengan adanya Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 diharapkan lahan pangan sagu yang ada dapat dilindungi dengan menetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan dimasukkan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Jayapura.

Perumusan Masalah

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menerapkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan terutama pada lahan pangan budidaya. Penelitian Christina (2011) pada lahan sawah di Propinsi Jawa Barat dengan pembobotan pada 2 model (pesimis dan optimis) menggunakan peta kesesuaian lahan, status irigasi, intensitas penanaman, penggunaan/tutupan lahan dan kawasan hutan. Syamson (2011) pada lahan sawah di Kabupaten Barru mengindentifikasi KP2B berdasarkan 3 skenario berdasarkan batas administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal. Kajian yang telah ada hanya dilakukan pada lahan sawah sedangkan pada lahan pangan lainnya belum pernah dilakukan termasuk pada lahan pangan sagu. Penetapan lahan pangan sagu untuk menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak dapat dilakukan seperti yang telah dilakukan pada lahan pangan budidaya (sawah). Hal ini karena lahan pangan sagu di Papua sebagian besar merupakan hutan sagu, belum menjadi sumber ekonomi dan bagian dari sosial budaya masyarakat.

(20)

pendapatan sehingga secara ekonomi belum jadi perhatian. Keterkaitan atau ketergantungan masyarakat terhadap hutan sagu dalam kehidupan sehari-hari sangat kuat. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup (pangan dan papan), sagu telah merupakan bagian dari budaya masyarakat Papua seperti dalam upacara adat sebagai bagian dari mas kawin untuk pernikahan dan di beberapa tempat hutan sagu dianggap keramat.

Lahan pangan sagu yang akan ditetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan perlu mempertimbangkan kebutuhan pangan sagu, sebaran, produktifitas dan tingkat pemanfaatan sagu seperti diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 untuk ditetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (LCP2B) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B). Oleh karenanya, perlu mengetahui kebutuhan sagu dan pertumbuhan penduduk pada skala wilayah dan waktu tertentu menjadi skenario untuk menyusun luasan hutan sagu. Analisis mengenai sebaran hutan sagu serta keragaman tegakan dan kerapatan sehingga dapat diketahui produktifitasnya serta dayadukung lahan agar tetap lestari. Pemilihan lahan sagu yang akan ditetapkan menjadi lahan pangan pertanian berkelanjutan perlu mempertimbangkan pemanfaatan sagu yang selama ini telah ada dimasyarakat yang tinggal disekitar hutan sagu agar tidak terganggu. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dijadikan dasar adalah:

1. Berapa luas lahan sagu yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu ?

2. Di mana saja lahan-lahan sagu berada dan bagaimana keragamannya?. bagaimana pemanfaatan dan ketergantungan masyarakat (sebagai sumber: pangan, pendapatan, tempat berburu, papan dan adat) terhadap hutan sagu. 3. Berapa luas dan dimana hutan sagu yang dapat direkomendasikan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (LCP2B) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B).

Tujuan penelitian

Berdasarkan perumusan tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

(21)

2. Mengindentifikasi sebaran hutan sagu dan keragamannya (tegakan dan kerapatan) serta pemanfaatan masyarakat (sebagai sumber pangan, sumber pendapatan, tempat berburu, sumber papan dan adat) terhadap hutan sagu. 3. Menyusun skenario untuk menentukan luasan lahan sagu yang layak untuk

direkomendasikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (LCP2B) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B).

Manfaat penelitian

1. Sebagai arahan dalam pengusulan lahan sagu yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan.

2. Sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan perencanaan tata ruang. 3. Sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan yang terkait dengan

ketahanan pangan daerah dan potensi pemanfaatan sagu untuk kebutuhan industri.

Kerangka Pemikiran

Tempat tumbuh sagu alam (hutan sagu) yang tipikal pada tempat tertentu, mengakibatkan penyebarannya terbatas seperti di pinggiran sungai, danau, pantai dan rawa. Tempat tumbuh sagu sangat rentan kerusakan dibandingkan dengan tempat tumbuh tanaman lain dan tidak dapat atau sulit diperbaiki sehingga diperlukan kehati-hatian dalam penggunaannya. Konversi lahan sagu kepenggunaan lain menyebabkan lahan sagu berupa lahan bergambut yang ada di sekitarnya mengalami penurunan permukaan air dan dapat terjadi intrusi air laut. Hal ini karena konversi lahan sagu ke penggunaan lain menyebabkan lahan tersebut lebih kering (permukaan air tanah menjadi lebih dalam) sehingga mempengaruhi kandungan air tanah lahan sagu yang ada disekitar lahan sagu yang terkonversi terutama lahan sagu bergambut. Penurunan permukaan air menyebabkan terjadinya proses subsiden gambut pada lahan sagu yang tidak dapat balik sehingga lahan sagu mudah mengalami kebakaran. Adanya intrusi air laut pada lahan sagu yang berair tawar menyebabkan tanaman di atasnya menjadi mati.

(22)

hingga bergunung. Konversi lahan pangan sagu ke penggunaan lain untuk kegiatan pembangunan bukan saja untuk pemukiman dan saran prasarana fisik (jalan, bandara) tapi juga digunakan menjadi lahan-lahan pertanian. Kebijakan penanaman kakao di Kabupaten Jayapura dan harga kakao yang lebih baik menjadi salahsatu penyebab banyak lahan pangan sagu yang berubah menjadi lahan pertanian kakao.

Oleh karena itu, saat sekarang sangat diperlukan adanya perlindungan terhadap lahan pangan sagu. Selain sebagai sumber alternatif pangan, juga menjaga ekosistem sagu dan daerah sekitar serta keberadaan sosial budaya masyarakat di sekitarnya. Dengan adanya Udang-undang Nomor 41 tahun 2009 diharapkan segera dilakukan penetapan perlindungan lahan sagu menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dari uraian di atas menjadi dasar pemikiran untuk melakukan perlindungan lahan sagu seperti disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran

Ruang lingkup

Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka identifikasi lahan

Perlu adanya perlindungan lahan pangan sagu Perhatian lahan sagu

perlu ditingkatkan Tempat tumbuh

tipikal

Mudah rusak

UU No 41 tahun 2009 Lahan Sagu

Konversi lahan

Sumber pangan alternatif

Bagian dari sosial budaya masyarakat

(23)

sagu lebih dititikberatkan pada bagaimana memilih lahan sagu untuk penyusunan usulan perencanaan dan merekomendasikan penetapan suatu lahan sagu menjadi LP2B, LCP2B dan KP2B. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini meliputi:

1. Konsumsi pangan sagu.

2. Karakteristik lahan pertanian tanaman sagu (fisik, ekonomi dan budaya). 3. Luasan LP2B, LCP2B dan KP2B.

Beberapa pengertian yang diambil dari Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 dijadikan acuan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah

1. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.

2. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang.

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Sagu

Deskripsi Sagu

Tanaman sagu atau Metroxylon sagu Rottboell termasuk family Palmae genus Metroxylon. Nama Metroxylon berasal dari dua kata yaitu Metro berarti empulur dan xylon berarti xylem (Anonim, 1979), sedangkan sagu adalah pati. Metroxylon sagu berarti tanaman yang menyimpan pati pada batangnya. Spesies yang mempunyai nilai ekonomi adalah M. sagu R yang tidak berduri dan M. rumphii yang pelepah dan daun ditutupi duri. Satu siklus hidup tanaman sagu

dari biji sampai membentuk biji diperlukan waktu 11 tahun dalam empat fase pertumbuhan yaitu fase awal pertumbuhan atau gerombol (russet) diperlukan waktu 3,75 tahun, fase batang diperlukan waktu 4,5 tahun, fase infolorensia (pembungaan) diperlukan waktu satu tahun dan fase pembentukan biji diperlukan waktu selama satu tahun (Flach, 2005).

Tajuk pohon sagu terdiri dari 6 sampai 15 rangkaian daun dan setiap rangkaian daun terdapat pelepah daun, tangkai daun dan kira-kira 20 pasang helai daun. Batang sagu bulat panjang dengan diameter bervariasi antara 35 sampai 60 cm. Tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai pangkal bunga berkisar 10 -15 meter. Pada waktu panen batang sagu biasa mencapai berat sampai 1 ton (Anonim, 1979). Menurut Bintoro (2008) dalam satu batang umumnya terdapat 200-400 kg pati kering. Saitoh et al. (2003) dalam Bintoro (2008), mengemukakan bahwa sagu unggul di Sentani mengandung pati kering seberat 838 kg/pohon dan Yamamoto melaporkan adanya sagu unggul juga di Sentani yang mengandung 947 kg pati kering/pohon. Pada rumpun sagu rata-rata terdapat 1-8 batang, pada setiap pangkal batang tumbuh 5-7 batang anakan. Pada kondisi liar, rumpun sagu ini akan melebar dengan jumlah anakan yang sangat banyak dalam berbagai tingkat pertumbuhan. Anakan tersebut sedikit sekali yang tumbuh menjadi pohon dewasa.

Habitat Sagu

(25)

pertumbuhan sagu dengan rata-rata hujan tahunan 2.500−3.000 mm/tahun. Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,5 0C − 29 0C dan suhu minimal 15 0C, dengan kelembapan nisbi 90 persen. Sagu dapat hidup pada keadaan lengas tanah terjamin cukup tinggi, baik oleh genangan berkala, daya tanah menyimpan air banyak maupun oleh air tanah dangkal (Notohadiprawiro dan Louhenapessy, 1992).

Sebaran sagu utama di Indonesia adalah Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan (Kalimatan Barat) dan Sumatera (Riau). Luasan sagu berdasarkan angka pendekatan dari berbagai sumber yang dibuat Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) menyebutkan bahwa kawasan sagu di Papua 800.000 ha, di Maluku 50.000 ha, di Sulawesi 30.000 ha, di Kalimantan 45.000 ha, di Sumatera 72.000 ha dan di Jawa 2.000 ha. Hutan sagu alam terluas ditemukan di Papua di sepanjang dataran rendah pantai dan muara sungai. Luasan sagu di Papua terdiri atas 3 persen tanaman (budidaya) dan 97 persen hutan alam.

Budidaya Sagu

Pada umumnya petani sagu di Papua kurang perhatian terhadap pertumbuhan sagu sejak anakan sampai siap panen. Namun demikian para petani sagu di daerah sebaran sagu yang biasa menangani sagu, menggunakan kriteria atau ciri-ciri tertentu yang dapat menandakan bahwa sagu tersebut siap panen. Ciri-ciri pohon sagu siap panen pada umumnya dilihat dari perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk, dan batang. Umumnya tanaman sagu siap panen menjelang pembentukan kuncup bunga sudah muncul tetapi belum mekar. Pada saat tersebut daun-daun terakhir yang keluar mempunyai jarak yang berbeda dengan daun sebelumnya dan daun terakhir juga sedikit berbeda, yaitu lebih tegak dan ukurannya kecil. Perubahan lain adalah puncak pohon menjadi agak menggelembung. Disamping itu duri semakin berkurang dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin dibandingkan dengan pohon yang masih muda.

(26)

Gelondongan tersebut lalu dibawa ke sumber air terdekat langsung ditokok (diekstraksi). Untuk mendapatkan pati sagu, maka dari empulur batang sagu dilakukan ekstraksi pati dengan bantuan air sebagai perantara. Sebelumnya empelur batang dihancurkan terlebih dahulu dengan cara ditokok atau diparut.

Di Papua, sagu mempunyai peranan sosial, ekonomi, dan budaya yang penting terutama yang bermukim di daerah pesisir karena merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat. Pertanaman sagu di Papua cukup luas, namun luas areal yang pasti belum diketahui. Flach (1983) dalam Kanro et al. (2003), memperkirakan luas hutan sagu di Papua mencapai 980.000 ha dan kebun sagu 14.000 ha, yang tersebar pada beberapa daerah, yaitu Salawati, Teminabuan, Bintuni, Mimika, Merauke, Wasior, Serui, Waropen, Membramo, Sarmi, dan Sentani. Hutan sagu merupakan komunitas yang terdiri atas campuran tanaman sagu dan tanaman bukan sagu.

Pemeliharaan kebun sagu yang dipraktekkan oleh petani di Papua masih sangat sederhana, yaitu berupa pemangkasan pohon yang menaungi sagu dan pembersihan gulma. Pemupukan, pengaturan air, dan teknik budidaya lainnya belum dipraktekkan sehingga hasilnya juga belum maksimal. Selain itu, usaha-usaha pengembangan sagu secara budidaya belum banyak mendapat perhatian sehingga suatu saat hutan sagu akan terancam punah. Tanaman sagu yang tumbuh di Papua terdiri atas banyak jenis, dan sampai saat ini telah diidentifikasi 60 jenis pada empat tempat di Papua (Widjono et al., 2000). Dari jenis-jenis ini ada yang berpotensi hasil tinggi dan ada pula yang berpotensi hasil rendah dan sedang.

Manfaat Sagu

Tanaman sagu mempunyai banyak manfaat mulai dari pati, daun, pelepah daun hingga kulit batang. Tepungnya digunakan untuk bahan makanan pokok di Papua yang disebut papeda, di samping untuk kue dan bahan baku untuk pembuatan spirtus atau alkohol. Daunnya digunakan sebagai atap rumah, pelepah untuk dinding rumah, dan ampasnya dapat dimanfaatkan sebagai pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak.

(27)

komposisi kandungan tepung sagu dan beberapa bahan makanan dalam 100 bagian yang dapat dimakan (Hutapea,1990 dalam Rusli, 2007) disajikan di Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kandungan tepung sagu dan beberapa bahan makanan dalam 100 bagian yang dapat dimakan

No Jenis Bahan Kalori (Kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (mg) (mg) Ca (mg) Fe

1 Beras 366 6,4 0,8 80,4 24 1,9

2 Jagung kering 349 9,1 4,2 71,7 14 2,8

3 Ubi 98 0,7 0,1 23,7 19 0,6

4 Kentang 71 1,7 0,1 16,3 8 0,7

5 Sagu 357 1,4 0,2 85,9 15 1,4

Sumber: Hutapea,1990 dalam Rusli, 2007

Menurut Bintoro (1999), beberapa manfaat sagu selain untuk pangan diantaranya adalah:

1. Bahan baku industri non pangan

Pati sagu dapat diolah menjadi sagu mutiara, tepung campuran, pati termodifikasi, gula cair, asam amino, sorbitol, asam organik, dan bahan penyedap yang dapat dijadikan bahan baku industri.

2. Sagu sebagai bahan energi

Untuk dapat digunakan sebagai bahan energi, tepung sagu diolah menjadi etanol terlebih dahulu melalui proses hidrolisis dan fermentasi. Secara teoritis 1 ton tepung sagu dapat menjadi 715 liter etanol.

3. Sagu sebagai bahan baku industri pangan

Pati sagu dapat digunakan sebagaimana tepung beras, jagung, gandum, tapioka dan kentang seperti siklodektrin. Sagu juga dapat dijadikan makanan kecil seperti sagu gula, sinoli, ongol-ongol, kue serut dan krupuk sagu.

4. Sagu sebagai pakan ternak

Penggunaan jagung dan serelia lainnya untuk pangan ternak dapat digantikan dengan tepung sagu atau sebagai pencampur makanan ternak unggas dan ruminansia.

(28)

Gambar 2. Pemanfaatan sagu untuk berbagai industri ( Enie, 1992 dalam Bintoro, 1999)

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu, seni dan tehnik untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji. Peranan penginderaan jauh sangat besar peranannya didalam sistem informasi data dan pengelolaannya. Peranannya antara lain untuk mendeteksi perubahan, kalibrasi bagian lain pada sistem yang sama, substitusi data lain sesudah dilakukan kalibrasi dan pengembangan model baru dalam suatu disiplin ilmu.

Daun Atap rumah Kerajinan tangan

Pelepah daun Dinding rumah

Kulit batang Lantai dan arang

Batang Ampas - Kompos,

- Media tanam, - Pakan ternak, - Industri, - Kayu bakar

Pati

- Sagu mutiara - Tepung campuran - Industri pangan, - Industri pakan,

- Pati modifikasi (dekstrin) - Gula cair,

(29)

Penggunaan penginderaan jauh semakin banyak digunakan karena citra penginderaan jauh (citra) menggambarkan objek, daerah, dan gejala di permukaan bumi yang mirip dengan yang ada di lapangan. Pengambilan gambar citra meliputi daerah yang luas, dapat dibuat secara cepat untuk daerah yang sulit dijelajah dan daerah bencana. Tiap objek yang tidak terlalu kecil ukurannya dan tidak terlindung oleh objek lain, tergambar pada citra. Gambaran yang lengkap ini memungkinkan penggunaannya untuk berbagai bidang.

Pengenalan objek yang tergambar citra disebut dengan interpretasi citra yang terdiri atas deteksi (global), identifikasi (setengah rinci) dan analisis (rinci). Deteksi adalah pengamatan atas adanya suatu objek. Identifikasi adalah upaya mencirikan obyek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup. Pada tahap analisis dikumpulkan keterangan lebih lanjut. Menurut Simonett et al. (1983), resolusi spasial pada tingkat identifikasi harus mencapai tiga kali lipat resolusi spasial pada tingkat deteksi, sedangkan resolusi spasial pada tingkat analisis harus meningkat sepuluh kali lipat atau lebih.

Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual yakni interpretasi secara visual dan dapat pula dilakukan dengan cara numerik atau cara digital. Interpretasi data digital berupa klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya. Interpretasi secara visual menurut Susanto (1986) meliputi interpretasi awal, pekerjaan medan dan interpretasi akhir. Interpretasi dimulai dari memisahkan objek yang mempunyai warna, rona dan karakteristik spasial, diikuti dengan delineasi. Untuk menjaga ketelitian hasil interpretasi diperlukan pekerjaan medan untuk menambah data yang diperlukan atau yang tidak disadap oleh citra. Kemudian dilakukan interpretasi ulang atau interpretasi akhir. Analisis visual menunjukkan kemampuan pandangan binokuler (mata) yang dimiliki oleh manusia. Oleh karenanya ketelitian hasil interpretasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan pengalaman interpreternya.

Identifikasi sagu

(30)

digunakan dalam inptrepretasi citra adalah ukuran, bentuk, bayangan, rona, warna, tekstur, pola, asosiasi dan konvergensi bukti.

Konvergensi bukti adalah teknik interpretasi dengan menggabungkan beberapa elemen interpretasi untuk menentukan objeknya. Menurut Sutanto (1986), sagu dapat diinterpretasi pada pohon yang berbentuk bintang dengan pola yang tidak teratur dan ukurannya 10 meter dan tumbuh di daerah payau (situsnya) sehingga dapat dipastikan bahwa pohon tersebut adalah sagu (Tabel 2). Menurut penulis sagu umumnya tumbuh pada daerah air tawar, sangat jarang dan sedikit jumlahnya yang tumbuh di daerah payau sehingga pada Tabel 2 dimodifikasi dengan menambahkan dominan air tawar. Selanjutnya teknik interpretasi sangat tergantung pada citra yang digunakan. Pada citra berupa data digital interpretasi dapat dimulai dari situsnya.

Tabel 2. Contoh Interpretasi visual sagu BENTUK

(31)

(Global Positioning System), serta beberapa kelebihan lainnya dibandingkan dengan versi gratisnya.

Dengan Google Earth, dapat dilihat citra satelit, peta, medan, bangunan 3D (belum semua tempat), dari galaksi di angkasa luar sampai ke palung lautan dan dapat menjelajahi konten geografis lengkap, menyimpan tempat yang dikunjungi dan berbagi-pakai dengan orang lain. Resolusi yang tersedia tergantung pada tempat yang dituju, tetapi kebanyakan daerah dicakup dalam resolusi global (15 meter). Di beberapa tempat (perkotaan) mempunyai resolusi tinggi (1 m, 0,6 m, 0,3 m) bahkan di negara Las Vegas, Nevada dan Cambridge, Massachusetts memiliki resolusi tertinggi hingga 0,15 m (Google Earth, 2011)

Google Earth juga memiliki data model elevasi digital (DEM) yang dikumpulkan oleh Misi Topografi Radar Ulang Alik NASA sehingga gambar bisa nampak dalam tiga dimensi. Google Earth memperlihatkan rumah, warna mobil, dan bahkan bayangan orang dan rambu jalan Google Earth dapat digunakan untuk mencari alamat (untuk beberapa negara), memasukkan koordinat, atau menggunakan mouse untuk mencari lokasi.

Banyak pengguna menggunakan aplikasi ini menambah datanya sendiri dan menjadikan mereka tersedia melalui sumber yang berbeda, seperti BBS atau blog. Google Earth mampu menunjukkan semua gambar permukaan Bumi. dan juga merupakan sebuah klien Web Map Service. Google Earth mendukung pengelolaan data Geospasial tiga dimensi melalui Keyhole Markup Language (KML).

GeoEye

(32)

pan-sharpened multispectral. Kemampuan ini sangat ideal untuk pekerjaaan pemetaan dengan skala besar (GeoEye, 2011)

GeoEye-1 akan mengunjungi kembali obyek yang sama di Bumi dalam 3 hari atau lebih cepat dari itu. Konsumen bisa memesan image termasuk dengan DEM (digital elevation model) dan DSM (digital surface model). GeoEye-1 mengorbit GeoEye-12 hingga GeoEye-13 orbit per hari, terbang dengan ketinggian 684 kilometer dengan kecepatan orbit 7,5 km/detik.

Tabel 3. Karakteristik parameter satelit GeoEye Spesifikasi GeoEye-1

Resolusi spasial

Sensor pankromatik

Sensor multispektral

0,41 m x 0,41 m

1,65 m x 1,65 m

Kisaran spektral 450-800 nm

450-510 nm (biru)

510-580 nm (hijau)

655-690 nm (merah)

780-920 nm (infra merah)

Jarak sapuan 15,2 km

Medan pandang Di atas 60 o

Dynamic range 11 bits per pixel

Misi hidup yang diharapkan > 10 tahun

Waktu kembali < 3 hari

Ketinggian terbang 681 km

Waktu pengambilan 10.30 a.m

Sumber: GeoEye (2011)

(33)

Gambar 2. Layer GeoEye pada Google Earth

Pola Pangan Harapan

Pola pangan harapan (PPH) adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dan kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dan suatu pola ketersediaan atau pola konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai berikut : “Pola Pangan Harapan adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. PPH pertama kali diperkenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1988, yang kemudian dikembangkan oleh Departemen Pertanian RI melalui workshop yang diselenggarakan Departemen Pertanian bekerjasama dengan FAO (FAO-MOA, 1989; Suhardjo, 1992).

(34)

juga disadari oleh tim pakar penyusun PPH. Tim FAO-RAPA (1990) juga menyadari bahwa proporsi kalori dalam PPH perlu diadaptasi sesuai kondisi/pola pangan masing-masing negara/daerah dan sistem skor yang dikembangkan oleh tim FAO-RAPA belum divalidasi. Kritik terhadap PPH juga muncul sehubungan dengan adanya perbedaan rekomendasi pola energi (terutama dari pangan hewani dan lemak) antara PPH dan Pedoman Gizi Seimbang (PUGS). Pada tahun 2000, Badan Urusan Ketahanan Pangan-Deptan telah melakukan diskusi pakar dan lintas subsektor dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi PPH dan PUGS. Pertemuan ini menjadi dasar untuk penyempurnaan PPH yang disebut PPH 2020.

Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary score). Semakin tinggi skor mutu pangan, menunjukan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya. Penilaian keragaman dan mutu pangan dengan PPH atau Skor PPH dapat dilakukan pada tingkat ketersediaan pangan dan tingkat konsumsi pangan. Pada prinsipnya tata cara penghitungan untuk penilaian keragaman dan mutu pangan pada kedua tingkat tersebut adalah sama, yang membedakannya adalah data yang digunakan.

(35)

Tabel 4. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional

Kelompok pangan Komposisi PPH Deptan 2001 Gram/Kap/Hr

(36)

Tiap negara mempunyai potensi pangan dan sosial budaya yang berbeda-beda. Bagi Indonesia, menurut hasil Workshop on Food and Agriculture Planning for Nutritional Adequance di Jakarta tanggal 11-13 Oktober 1989 direkomendasikan sebagai berikut : kelompok padi-padian sekitar 50 persen, makanan berpati sekitar 5 persen, pangan hewani 15-20 persen, minyak dan lemak lebih dari 10 persen, kacang-kacangan sekitar 5 persen, gula 6-7 persen, buah dan sayur 5 persen (FAO-MOA, 1989).

Lahan pangan pertanian berkelanjutan

Meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.

Berdasarkan hal di atas maka dikeluarkan undang-undang tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nomor 41 tahun 2009 yang disahkan pada tanggal 14 oktober 2009. Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penataan ruang wilayah. Untuk itu, perlindungan lahan pertanian pangan perlu dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Kawasan pertanian pangan merupakan bagian dari penataan kawasan perdesaan pada wilayah kabupaten. Dalam kenyataannya lahan-lahan pertanian pangan berlokasi di wilayah kota juga perlu mendapat perlindungan.

(37)

Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan pada: a. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan c. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang.

Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diamanatkan pada UU No 41 tahun 2009 didasarkan pada: a. pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk; b. pertumbuhan produktivitas; c. kebutuhan pangan nasional; d. kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan; e. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan f. musyawarah petani. Lahan pertanian pangan yang sudah ada dan lahan cadangan didasarkan atas kriteria: a. kesesuaian lahan; b. ketersediaan infrastruktur; c. penggunaan lahan; d. potensi teknis lahan; dan/atau e. luasan kesatuan hamparan lahan.

(38)
(39)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura. Daerah ini dipilih karena mempunyai produktifitas sagu dan pemanfaatannya yang paling baik dibandingkan daerah lainnya di Jayapura dan wilayah ini paling terancam oleh konversi lahan ke penggunaan non pertanian karena berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten Jayapura (Lampiran Gambar 1 dan 2). Penelitian ini (survei lapang) dilaksanakan selama 6 bulan pada bulan September 2010 sampai Februari 2011. Lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.

Bahan dan Alat

Bahan penelitian bersumber dari data primer dan data sekunder berupa data tabular dan data spasial. Data primer berupa data spasial yang diperoleh dari survei dan wawancara yakni sebaran sagu, tegakan, kerapatan dan jenis sagu, produktifitas serta pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Data sekunder berupa data tabular yang diperoleh dari instansi pemerintah dan hasil-hasil penelitian terkait berupa data jumlah penduduk dan konsumsi sagu. Selengkapnya data yang diperlukan, cara memperoleh dan keluarannya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Data yang diperlukan dan cara memperolehnya

Sumber Jenis Data Cara memperoleh

Primer

Sebaran sagu, penggunaan lahan

Digitasi citra GeoEye 2010 dari Google Earth dan hasil survei

Tegakan, kerapatan dan

jenis tanaman sagu Petak pengamatan

Pemanfaatan tanaman

sagu, produksi, jenis sagu Wawancara dengan penduduk

(40)

24

(41)

Prosedur Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam 3 tahap yakni 1). persiapan, 2) survei dan (3) analisis data

1. Persiapan

Kegiatan tahap persiapan terdiri atas: a) studi literatur dan pengumpulan data sekunder serta b) penyusunan peta lahan bervegetasi sagu

a. Studi literatur dan pengumpulan data sekunder

Studi literatur atau studi pustaka yang dilakukan berkaitan dengan sagu yakni habitat sagu, fungsi sagu secara ekonomi, ekologi dan budaya, konsep pengelolaan sagu, kajian dilakukan melalui buku terkait, jurnal, artikel, penelusuran melalui internet. Pengumpulan data sekunder berupa data tabular dan spasial. Data tabular dari laporan hasil-hasil penelitian dan laporan dari instansi pemerintah (BPS, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Bappeda) meliputi data produksi sagu, konsumsi sagu, budidaya tanaman sagu, data penduduk sedangkan data spasial berupa peta tutupan lahan, RePPProT dan peta administrasi untuk membatasi areal penelitian. b. Pemetaan sebaran sagu

(42)

Gambar 5. Alur pemetaan sebaran sagu

Peta lahan sebaran sagu menjadi peta lapang tentang sebaran tanaman sagu untuk rencanakan lokasi petak pengamatan saat survei tegakan tanaman sagu dilakukan.

2. Survei

Survei terdiri dari: a) pengamatan keragaman tanaman sagu, dan b) wawancara responden.

a) Pengamatan keragaman tanaman sagu

Pengamatan keragaman tanaman sagu dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan dan kerapatan tanaman sagu berdasarkan peta lahan sebaran sagu (yang dibuat pada tahap persiapan). Setiap sebaran sagu dibuat 4 petak pengamatan berukuran 15 m x 15 m. Penempatan petak pengamatan mewakili keragaman sagu yang ada dengan pertimbangan kemudahan dijangkau. Data yang dikumpulkan meliputi tipe sagu (dusun sagu, atau dusun sagu campuran), potensi tegakan (tegakan siap panen), kerapatan (rumpun), jenis sagu dan deskripsi kondisi lingkungan tumbuh. b) Wawancara responden

Wawancara dilakukan untuk mengetahui sebaran jenis sagu dan pemanfaatan hutan sagu oleh masyarakat sekitar lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi jenis pemanfaatan dan intensitas pemanfaatannya. Untuk memudahkan dalam menentukan intensitas pemanfaatan dibuat kelas pemanfaatan (Tabel 6). Pemilihan responden berasal dari kampung yang berada di kawasan tanaman sagu. Data tersebut diperoleh melalui wawancara terhadap responden yang ditemui di kampung maupun di lahan sagu.

Studi literatur

Informasi masyarakat/dinas Pengecekan lapang /

penentuan lokasi

Sebaran sagu

(43)

Wawancara juga dilakukan untuk memastikan penyebaran tipe sagu yang ada di lapang sesuai pengetahuan masyarakat dengan bantuan peta lahan sebaran sagu. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mendelineasi sebaran tipe sagu selain dari pengamatan lapang (titik GPS) dan analisis visual citra.

Tabel 6. Kelas intensitas pemanfaatan hutan sagu

Kelas Kriteria

Sumber: Modifikasi dari Genting Oil Kasuri (2009)

3. Analisis Data

Analisis data meliputi: a) pemetaan kawasan sagu; b) proyeksi kebutuhan lahan sagu; c) pemetaan arahan pengembangan pertanian pangan sagu; dan d) identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk LP2B, LCP2B dan KP2B

a. Pemetaan kawasan sagu

(44)

Input data tegakan dan rumpun Hasil survei dan Informasi masyarakat

Tipe sebaran sagu Sebaran sagu

Interpretasi dari Citra GeoEye

Pemanfaatan sagu

Peta administrasi

Input data Intensitas pemanfaatan

Kawasan sagu

campuran merupakan hutan sagu (sagu 30 – 80 %) yang diantaranya terdapat beberapa jenis-jenis pohon lainnya menyebar dalam jumlah yang tidak terlalu banyak.

Dari tipe sebaran sagu diinput data atribut jumlah tegakan siap panen dan jumlah rumpun. Untuk informasi pemanfaatan dibuat dengan menumpangsusunkan peta tipe sebaran sagu dengan peta administrasi kampung. Dari hasil tumpangsusun tersebut menjadi dasar untuk mengisi data atribut pemanfaatan setiap kampung yang memiliki lahan sagu.

Gambar 6. Alur pembuatan peta kawasan sagu

b. Proyeksi kebutuhan lahan sagu

(45)

Gambar 7. Alur Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu

Jumlah penduduk (Y)

Perhitungan proyeksi jumlah penduduk menggunakan persamaan regresi dengan mencari model terbaik (nilai R tertinggi). Persamaan regresi menggunakan trend penduduk masa yang lalu untuk memperkirakan jumlah penduduk masa yang akan datang. Model yang digunakan adalah model linear dikarenakan berdasarkan data BPS (2000-2009) pertambahan penduduk akan bertambah sebesar jumlah absolut yang sama/tetap (β) atau rata-rata pertambahan penduduk sama.

Pt =α + βT

Dimana : Pt = penduduk pada tahun proyeksi t α = intercept (penduduk pada tahun dasar) β = koefisien ( rata-rata pertambahan penduduk) T = periode waktu proyeksi

Kebutuhan konsumsi sagu (KKS)

Kebutuhan konsumsi sagu adalah perkalian dari konsumsi sagu (tepung sagu) perkapita dengan jumlah penduduk pada tahun tertentu

Proyeksi pertumbuhan

penduduk

Proyeksi kebutuhan pangan sagu PPH Proyeksi kebutuhan

pangan sagu aktual

Proyeksi kebutuhan

luas lahan sagu Proyeksi kebutuhan luas lahan sagu Asumsi

(46)

KS= KS * Yt

Dimana : KKS = Kebutuhan konsumsi sagu (Kg) KS = Konsumsi sagu (kg/kapita/tahun) Yt = Jumlah penduduk tahun ke-t (jiwa)

KS atau konsumsi sagu perkapita menggunakan data persediaan pangan dalam bentuk jumlah pangan perkapita pertahun dihitung dengan membagi jumlah pangan yang tersedia dengan jumlah penduduk pada tahun yang bersangkutan. Perhitungan KS mengunakan 2 (dua) asumsi yakni konsumsi aktual dan konsumsi ideal/harapan.

Estimasi kebutuhan konsumsi sagu aktual berdasarkan permintaan waktu yang lalu bertujuan untuk menyediakan sesuai kecenderungan permintaan berdasarkan selera konsumen. Data untuk proyeksi konsumsi aktual digunakan dari Neraca Bahan Makanan (NBM) Kabupaten Jayapura 4 tahun terakhir (2002-2005) berdasarkan yang naik rata-rata 0,06 %. Konsumsi ideal/harapan adalah pemenuhan kebutuhan pangan yang dikonsumsi seimbang diantara jenis pangan yang dikonsumsi. Data yang gunakan berdasarkan skor dari penetapan pola pangan harapan (PPH) yakni 15,11 kg/kap/tahun.

Kebutuhan Luas lahan Sagu (KLS)

Kebutuhan luas lahan sagu adalah jumlah penduduk dikali kebutuhan konsumsi sagu terhadap produktifitas sagu.

KLS = KKS/ PS

Dimana : KLS = Kebutuhan Luas lahan Sagu (ha) KKS = Kebutuhan konsumsi sagu (Kg/tahun) PS = Produktifitas Sagu (kg/ha/tahun)

(47)

c. Pemetaan ketersediaan lahan sagu (arahan pengembangan pertanian

pangan sagu)

Penyusunan peta ketersediaan lahan sagu untuk mengetahui dimana lokasi yang sesuai berdasarkan aspek fisik dan spasial untuk pengembangan pertanian pangan termasuk lahan yang bervegetasi sagu maupun yang tidak bervegetasi sagu. Pembuatan peta tersebut menggunakan software ArcGIS 9.3 dilakukan dengan mengoverlay peta kesesuaian lahan, peta RTRW dan peta penggunaan lahan (Gambar 8 dan Tabel 7).

Identifikasi kesesuaian lahan sagu (termasuk lahan bervegetasi sagu) dilakukan dengan proses tumpangtindih (overlay) terhadap peta-peta tematik yang ada yaitu: peta kemiringan lereng, peta kedalam air tanah tanah dan peta ketinggian tempat (Gambar 6) untuk mendapatkan lahan yang sesuai untuk sagu. Langkah-langkah penyusunan data spasial lahan sagu potensial berdasarkan studi literatur melalui pendekatan dari berbagai sumber karena belum tersedianya kriteria baku penilaian kesesuaian lahan sagu. Kriteria tempat tumbuh sagu menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1992) yakni ketinggian idealnya <400 m dpl walaupun dapat tumbuh hingga 700 m dpl. Sagu tumbuh di antara tanah-tanah mineral dan gambut yang berada di dataran rawa, pasang surut, dataran banjir, cekungan dan lembah sungai. Hampir semua jenis tanah ditumbuhi sagu dengan syarat kedalaman air tanah < 100 cm atau tidak tergenang permanen. Oleh karena itu, tempat tumbuh sagu sangat ditentukan oleh kedalaman air tanah bukan jenis tanah. Kedalaman air tanah diperoleh dari peta landsystem. Terkait dengan kedalaman air tanah tersebut maka tempat tumbuh sagu diasumsikan pada kemiringan lereng < 2 %.

Berdasarkan hal di atas dibuat kelas kesesuaian dengan tumpangtindih peta kemiringan lereng, ketinggian tempat, kedalaman air tanah yang klasifikasikan menjadi sesuai dan tidak sesuai.

- Peta kemiringan lereng diperoleh dari Citra Aster Gdem diklasifikasikan menjadi dua yakni sesuai: 0-2 % dan tidak sesuai >2 %

(48)

Ketersediaan lahan RTRW

Penggunaan lahan

Arahan pengembangan Ketinggian

tempat Kedalaman air tanah

Kesesuaian lahan sagu Kemiringan lereng

- Dari peta landsystem diekstrak kedalaman air tanah dan diklasifikasikan menjadi 2 yakni sesuai: < 100 cm dan tidak sesuai > 100 cm.

Gambar 8. Alur pemetaan ketersediaan lahan

(49)

Peta kesesuaian lahan dioverlay dengan peta RTRW untuk mendapatkan peta arahan pengunaan lahan. Peta arahan penggunaan lahan menginformasikan tentang keberadaan lahan-lahan sesuai yang di kawasan lindung dan budidaya. Setelah itu, peta arahan pengembangan dioverlay lagi peta penggunaan lahan untuk mendapatkan peta ketersediaan lahan. Peta penggunaan lahan dibuat dengan mendelineasi penggunaan/tutupan lahan di lokasi penelitian secara visual menggunakan citra GeoEye dari Google Earth. Peta ketersediaan lahan menginformasikan penggunaannya lahan-lahan arahan pengembangan saat ini.

d. Identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk LP2B, LCP2B dan

KP2B

(50)

Gambar 9. Konsep pemetaan LP2B dan LCP2B Tabel 8. Kriteria penilaian lahan untuk LP2B dan LCP2B

Peta Arahan

pengembangan Peta Tipe Sagu Status

Ketersediaan lahan

Dusun sagu LP2B

dusun sagu campuran, hutan sagu, hutan sagu campuran

LCP2B

Jika lahan produksi yang tersedia lebih luas dibandingkan kebutuhan lahan pangan sagu hasil proyeksi untuk jadi LP2B perlu dibuat urutan prioritas pemilihan lebih lanjut. Metode identifikasi urutan prioritas dibuat dengan indeks terbobot dihitung dengan teknik indeks overlay. Indeks terbobot dibangun berdasarkan pada tiap layer memiliki bobot (weight) dan tiap kelas di layer memiliki nilai (skor) sesuai dengan hasil pengamatan lapang. Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun seperti ditampilkan Tabel 9.

Peta ketersediaan lahan Peta kawasan

sagu

Union

Lahan produksi Lahan belum

produksi

LP2B Proyeksi

kebutuhan lahan

(51)

Tabel 9. Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun lalu layer-layer tersebut distandarisasi. Standarisasi dilakukan untuk mendapatkan nilai bersama antar layer karena nilai dari masing-masing layer berbeda-beda. Dalam hal ini standar dinilai dari perbedaan nilai maksimum dan minimum, sehingga nilainya berkisar dari 0 – 1 atau dengan persamaan:

X’ij = (xij)/xjmax

Dimana : X’ij = Nilai yang distandarisasi (xij) = Nilai ke I kriteria ke j xjmax = Nilai tertinggi kriteria ke j

(52)

siap panen tidak dapat menghasilkan pati sagu. Bobot rumpun lebih tinggi dibandingkan jenis karena tiap rumpun akan menghasilkan tegakan siap panen.

Setelah pembobotan dilakukan overlay. Hasil overlay ini diurutkan dari nilai tertinggi hingga nilai terendah. Urutan pemilihan lebih lanjut LP2B dimulai dari urutan terbaik dari hasil overlay layer-layer tersebut hingga sesuai dengan kebutuhan lahan hasil proyeksi.

KP2B adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Pemetaan KP2B dilakukan berdasarkan hasil pemetaan LP2B dan LCP2B ditambah dengan unsur penunjang. Unsur penunjang yang dimaksud adalah sarana prasarana untuk menunjang aktivitas produksi pangan sagu yang telah ada dilokasi LP2B dan LCP2B. Peta sarana prasarana dibuat dengan mendelineasi sarana prasarana secara visual menggunakan citra GeoEye dari Google Earth. Konsep pemetaan KP2B seperti tersaji pada Gambar 10.

Gambar 10. Konsep pemetaan KP2B

Peta saran prasarana

Union

KP2B

(53)

KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA

Letak dan Luas

Kabupaten Jayapura secara yuridis sudah dimekarkan sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 menjadi 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Jayapura dengan Ibukota Sentani, Kabupaten Sarmi dengan Ibukota Sarmi dan Kabupaten Keerom dengan Ibukota Arso. Setelah pemekaran, Kabupaten Jayapura terletak pada koordinat 139o25’32.4” – 140o38’38.53” BT dan 3o45’7.28” - 2o19’21.82” LS dengan luas wilayah 17.516,6 km2.

Adapun batas-batas wilayah administrasi Kabupaten Jayapura adalah:  Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sarmi dan Samudera Pasifik  Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo, Kabupaten

Yalimo dan Kabupaten Pegunungan Bintang

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sarmi dan Kabupaten

Memberamo Raya

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Keerom dan Kota Jayapura

Tahun 2006, Kabupaten Jayapura memekarkan wilayahnya menjadi 19 distrik (Bappeda, 2009). Ibukota kabupaten terletak di Sentani, berjarak 33 km dari Kota Jayapura. Luas dan jumlah kampung dari masing-masing distrik di Kabupaten Jayapura tertera pada Tabel 10.

Tabel 10. Luas dan jumlah kampung tiap distrik di Kabupaten Jayapura

No Distrik Ibukota Luas Wilayah Jumlah

Kampung

(54)

Penduduk

Jumlah penduduk di Kabupaten Jayapura tahun 2009 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) berjumlah 118.715 orang, yang terdiri dari 62.072 penduduk laki-laki dan 56.643 penduduk perempuan. Berarti tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Jayapura dengan wilayah seluas 17.516,6 km persegi adalah 6,78 jiwa/km2. Distrik Sentani merupakan distrik yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk tertinggi (81,35 jiwa/km2) dan Distrik Gresi Selatan merupakan distrik dengan tingkat kepadatan penduduk terendah (0,38 jiwa/km2). Laju pertumbuhan penduduk berdasarkan data BPS dari tahun 2000 sampai tahun 2009 adalah 4,16 persen per tahun. Jumlah dan kepadatan penduduk dari masing-masing distrik di Kabupaten Jayapura disajikan pada Tabel 11, sedangkan perkembangan jumlah penduduk disajikan pada Tabel 12.

Tabel 11. Jumlah dan kepadatan penduduk tiap distrik tahun 2009

No Distrik Ibukota

(55)

Tabel 12. Perkembangan jumlah penduduk dari tahun 2000-2009

Sumber: BPS Kabupaten Jayapura

Pola Konsumsi Pangan

Tingkat konsumsi pangan pokok penduduk perkapita secara kuantitas merupakan salah satu informasi yang diperlukan dalam perencanaan produksi atau penyediaan bahan pangan. Laporan BPS dalam NBM (Neraca bahan makanan) tahun 2009 bahwa kontribusi energi menurut kelompok pangan PPH (pola pangan harapan) di Kabupaten Jayapura tahun 2008 seperti pada Tabel 13.

Tabel 13. Kontribusi energi menurut kelompok pangan

No Kelompok pangan Kalori Kontribusi

(persen)

Sumber: BPS Kabupaten Jayapura (2009)

(56)

kelompok umbi-umbian selain singkong, ubi jalar, kentang dan ini berarti untuk sagu secara khusus kurang dari 347 kalori/kapita/hari.

Sagu pada mulanya merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk di wilayah Papua, namun saat ini peran tersebut sudah mulai

berkurang. Secara aktual berdasarkan data NBM Kabupaten Jayapura diketahui

konsumsi sagu penduduk berdasarkan produksinya dari tahun 2006 hingga 2008 yakni, 17,72 kg/kapita/tahun, 17,72 kg/kapita/tahun dan 17,95 kg/kapita/tahun atau rata-rata naik 1,27 persen per tahun. Pola konsumsi sagu secara bertahap telah bergeser ke arah beras. Kecenderungan ini juga secara umum terjadi di seluruh wilayah di Papua seperti yang dilaporkan Hutapea (2003) bahwa konsumsi sagu di Papua berkurang dari 126 kg pada 1994 menjadi 95,53 kg/kapita/tahun pada 1997. Salah satu penyebabnya adalah kesan inferior yang melekat pada sagu. Untuk itu perlu upaya mengubah bahan pangan sagu menjadi makanan yang populer.

Berdasarkan pendekatan PPH dapat diketahui skor pangan dengan cara mengalikan persentase kontribusi energinya setiap kelompok pangan dengan rating (bobot)nya. Hasil analisis PPH Kabupaten Jayapura pada tingkat ketersediaan masih belum memenuhi standar yaitu sebesar 83,7 atau 16,3 persen dibawah standar, artinya penyediaan pangan kurang beragam dan belum berimbang ketersediaan gizinya. Hal ini dapat dilihat dari kelompok pangan yang skornya melebihi atau kurang dari skor maksimum. Salah satunya konsumsi yang belum ideal berdasarkan pendekatan PPH adalah komsumsi pangan sagu masih tinggi (17,95 kg/kapita/tahun) dari standar ketersediaannya harus diturunkan menjadi 15,11 kg/kapita/tahun.

Rencana Tata Ruang Wilayah

Rencana Struktur Ruang

Di tingkat Nasional, Kabupaten Jayapura dikategorikan dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Untuk skala pelayanan kota-kota di Kabupaten Jayapura dapat dibedakan atas :

a. Kota orde I adalah Ibukota Distrik Sentani (Sentani Kota). Kota orde I ini akan berperan sebagai pusat regional, dengan wilayah pelayanan seluruh kabupaten.

(57)

berperan sebagai pusat sub-regional, dengan wilayah pelayanan hanya beberapa distrik saja.

c. Kota orde III adalah semua Ibukota Distrik (IKD), dengan wilayah pelayanan distrik masing-masing.

Berdasarkan kebijakan pemerintah Kabupaten dengan DPRD Kabupaten Jayapura, ditetapkan sistem perwilayahan pembangunan di Kabupaten Jayapura seperti disajikan pada Tabel 14. Untuk daerah penelitian mencakup wilayah pembangunan I dan II.

Tabel 14. Pembagian wilayah pembangunan Wilayah

(58)

Rencana Pola Ruang

(59)

43

(60)

44

Gambar

Tabel 3. Karakteristik parameter satelit  GeoEye
Tabel 4. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional
Gambar  4. Lokasi penelitian
Tabel 9.  Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun
+7

Referensi

Dokumen terkait

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor 11 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedelapan

 Skor 0 jika pasien berjalan tanpa alat bantu/ dibantu, menggunakan kursi roda, atau tirah baring dan tidak dapat bangkit dari tempat tidur sama sekali..  Skor 15 jika

Tahun 2008 Pulau Sebesi telah ditetapkan menjadi salah satu Objek Daerah Tujuan Wisata (ODTW) di Kabupaten Lampung Selatan. Namun, potensi sumberdaya wisata bahari

(5) Jumlah angka kredit yang memenuhi persyaratan untuk pengangkatan ke dalam jabatan Lektor bagi dosen PNS berpendidikan S3/Sp.II yang kurang dari jumlah angka

Berdasarkan analisis sidik ragam parameter jumlah polong seperti yang ditunjukkan pada tabel 3, hanya perlakuan konsentrasi pupuk daun yang berbeda nyata sedangkan waktu

Promosi penjualan adalah suatu aktivitas dan atau materi yang dalam aplikasinya menggunakan teknik, dibawah pengendalian penjual atau produsen, yang dapat

2.3. Struktur Organisasi President Director Corporate Secretary Audit Internal Director Home & Personal Care Director Marketing Service Chief Financial Officer Director

SEBELAH UTARA JALAN RAYA SEBELAH SELATAN TANAH MILIK AROZATULO HAREFA SEBELAH BARAT JALAN RAYA SEBELAH TIMUR TANAH