• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tataniaga Hasil Tangkapan Ikan di PPI Muara Angke, Kotamadya Jakarta Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tataniaga Hasil Tangkapan Ikan di PPI Muara Angke, Kotamadya Jakarta Utara"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

TATANIAGA HASIL TANGKAPAN IKAN

DI PPI MUARA ANGKE, KOTAMADYA JAKARTA UTARA

ZEPANYA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tataniaga Hasil Tangkapan Ikan di PPI Muara Angke, Kotamadya Jakarta Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2013

(4)

ABSTRAK

ZEPANYA. Tataniaga Hasil Tangkapan Ikan di PPI Muara Angke, Kotamadya Jakarta Utara. Dibimbing oleh WAWAN OKTARIZA dan MULYONO S BASKORO.

PPI Muara Angke memiliki potensi distribusi hasil tangkapan ikan yang baik, dilihat dari letaknya yang sangat strategis, yaitu terletak di Ibukota Negara dengan jumlah penduduk yang padat dan didukung dengan sarana yang memadai. Jumlah hasil tangkapan ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke dan potensi distribusi yang besar ini dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan ekonomi nelayan, pedagang ikan, dan pelaku usaha perikanan lainnya jika didukung oleh sistem tataniaga hasil tangkapan yang efisien. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi lembaga dan saluran tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke, mengidentifikasi fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan masing-masing lembaga tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke, mengidentifikasi struktur dan perilaku pasar tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke, serta menganalisis efisiensi tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif melalui pendekatan studi kasus. Berdasarkan hasil penelitian, lembaga tataniaga yang terlibat yaitu nelayan, pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer. Saluran tataniaga terpendek terjadi pada saluran yang melalui pelelangan, yaitu meliputi nelayan dan pedagang pengecer. Saluran tataniaga terpanjang terjadi pada saluran tidak melalui pelelangan, yaitu meliputi nelayan, pedagang pengumpul, pedagang grosir muara angke, pedagang grosir non lokal dan pedagang pengecer. Secara umum struktur pasar yang dihadapi oleh lembaga-lembaga tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke cenderung mengarah ke pasar persaingan tidak sempurna. Sistem tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke belum efisien.

(5)

ABSTRACT

ZEPANYA . Marketing of Fish Catches in PPI Muara Angke , North Jakarta . Supervised by WAWAN OKTARIZA and MULYONO S BASKORO.

PPI Muara Angke has a good potential in distribution of fish catches, judging from its very strategic location, which is within a capital city with dense population and sufficient means. Number of fish catches landing at PPI Muara Angke and those great distribution potential can contribute to the economic income of fishermen, fish traders, and other fishing businesses if supported by an efficient marketing system of fish catches. This research aims to identify the organizations and flow of commodities in the marketing system on PPI Muara Angke, to identify the functions which are carried out by each organization in the marketing system on PPI Muara Angke, to identify the structure and conduct market of the marketing system catches on PPI Muara Angke , as well as to analyze the efficiency marketing system catches on PPI Muara Angke. This research uses descriptive method through the case study approach. Based on the results of this study, the involved marketing firms is fishermen, collector trader, wholesaler and retailer. The shortest channel occurs on the marketing system through auctions, which includes fishermen and retailer. Longest channel occurs on the marketing system which doesn’t involve auction, which includes fishermen, collector trader, Muara Angke wholesaler, non local wholesaler and retailer. In general, the market structure of fish catches in PPI Muara Angke tends to lead to imperfect competition market. Marketing system of fish on PPI Muara Angke inefficient.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

ZEPANYA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

TATANIAGA HASIL TANGKAPAN IKAN

(8)
(9)
(10)

Judul Skripsi : Tataniaga Hasil Tangkapan Ikan di PPI Muara Angke, Kotamadya Jakarta Utara

Nama : Zepanya NIM : C44080034

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui: Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Ir. Wawan Oktariza, M.Si NIP: 19661016 199103 1 004

Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc NIP: 19620303 198803 1 001

Diketahui:

Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc NIP: 19621223 198703 1 001

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan sesuai dengan harapan. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan November 2012 sampai dengan Desember 2012 dengan judul skripsi yaitu Tataniaga Hasil Tangkapan Ikan di PPI Muara Angke, Kotamadya Jakarta Utara.

Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada:

1. Ir. Wawan Oktariza, M.Si selaku pembimbing pertama dan Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc selaku pembimbing kedua yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi.

2. Dr. Sugeng Hari Wisudo, M.Si atas arahan dan masukannya selaku dosen penguji pada sidang skripsi.

3. Dr. Yopi Novita, S.Pi, M.Si atas arahan dan masukannya selaku komisi pendidikan Departemen PSP pada sidang skripsi.

4. Seluruh dosen PSP yang telah memberikan pengajaran selama masa perkuliahan dan staf departemen PSP, Mbak Fina, Pak Zulfa, Mang Yana, Mang Isman dan Teh Hani.

5. Nugroho Syamsubagiyo, SE, MM selaku kepala UPT PKPP & PPI Muara Angke dan Samsuri, S.Sos, M.Si selaku kepala Pasar Grosir Muara Angke yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. 6. Adiyanto Kusuma, S.Pt yang telah membantu dalam proses pengumpulan

data.

7. Mamak, Kakak, Abang dan Jabian atas dukungan, doa dan kasih sayang yang tiada henti.

8. Saudara segamparan ex-Terror’s: Gepeng dan Gero atas dukungan serta kebersamaannya selama ini;

9. Penghuni dan Alumni Asrama Sylvalestari dan Sylvapinus, Komisi Diaspora PMK IPB, Komunitas Pondok Bang Iwan serta Rekan-rekan PSP 45 atas dukungan serta kebersamaannya selama ini.

10.Pihak Eka Tjipta Foundation yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama masa studi 4 tahun di Institut Pertanian Bogor.

11.Seluruh pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Desember 2013

(12)

DAFTAR ISI

Metode Pengambilan Sampel ... 7

Analisis Data ... 8

Analisis Lembaga dan Fungsi-Fungsi Tataniaga ... 8

Analisis Saluran Tataniaga ... 8

Analisis Struktur dan Perilaku Pasar ... 9

Analisis Margin Tataniaga ... 9

Analisis Bagian Harga yang Diterima Nelayan ... 9

Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya ... 10

Analisis Efisiensi Tataniaga ... 10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Fungsi-Fungsi Tataniaga ... 22

Fungsi-Fungsi Tataniaga di Tingkat Nelayan ... 23

Fungsi-Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul ... 25

Fungsi-Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Grosir... 26

Fungsi-Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer ... 227 Struktur Pasar ... 28

Struktur Pasar di Tingkat Nelayan ... 28

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul ... 29

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Grosir ... 29

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer ... 30

Perilaku Pasar ... 30

Praktik Pembelian dan Penjualan ... 30

(13)

Sistem Pembayaran ... 31

Kerjasama antar Lembaga ... 32

Analisis Keragaan Pasar ... 32

Margin Tataniaga ... 32

Bagian Harga yang Diterima Nelayan ... 35

Rasio Keuntungan dan Biaya ... 37

Efisiensi Tataniaga ... 37

KESIMPULAN DAN SARAN ... Kesimpulan ... 40

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(14)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah produksi ikan yang didaratkan di Jakarta Utara menurut

pelabuhan perikanan tahun 2007-2011 ... 1 2 Produksi dan nilai produksi ikan dominan yang didaratkan

di PPI Muara Angke tahun 2011 ... 2 3 Data yang diperlukan dan sumbernya ... 227 4 Fungsi-fungsi tataniaga ... 8 5 Sebaran jenis alat tangkap nelayan responden di PPI Muara Angke

tahun 2012 ... 11 6 Perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap di PPI Muara Angke

tahun 2007-2011 ... 112 7 Sebaran ukuran kapal nelayan responden di PPI Muara Angke

tahun 2012 ... 12 8 Perkembangan jumlah armada perikanan di PPI Muara Angke menurut

kelompok ukuran GT tahun 2007-2011 ... 13 9 Sebaran jumlah ABK dan lama trip nelayan responden di PPI Muara

Angke tahun 2012 ... 14 10 Sebaran produksi per trip nelayan responden di PPI Muara Angke

tahun 2012 ... 14 11 Volume dan nilai produksi ikan hasil tangkapan per bulan di PPI Muara

Angke tahun 2011 ... 15 12 Volume dan nilai produksi di PPI Muara Angke tahun 2007-2011 ... 16 13 Sebaran umur, pengalaman dan jenis kelamin pedagang responden ... 17 14 Fungsi-fungsi tataniaga hasil tangkapan ikan dominan di PPI Muara

Angke ... 24 15 Karakteristik dan struktur tataniaga pertanian ... 28 16 Ringkasan margin tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke .. 33 17 Bagian harga yang diterima nelayan pada saluran tataniaga hasil

(15)

DAFTAR GAMBAR

1 Kapal Motor Jaring Cumi (a), Purse Seine (b) dan Gill Net (c) di PPI Muara Angke ... 13 2 Nelayan Responden Nelayan Jaring Cumi (a), Nelayan Purse Seine (b)

dan Nelayan Gill Net (c) di PPI Muara Angke ... 16 3 Pedagang Grosir Pasar Grosir Muara Angke (a) dan Pedagang Pengecer

Pasar Ikan Luar Batang (b) ... 18 4 Saluran Tataniaga 1 Hasil Tangkapan Ikan di PPI Muara Angke

melalui Pelelangan ... 1919 5 Saluran Tataniaga 2 Hasil Tangkapan Ikan di PPI Muara Angke

Tidak melalui Pelelangan ... 20 6 Saluran Tataniaga 3 Hasil Tangkapan Ikan di PPI Muara Angke

Tidak melalui Pelelangan ... 21 7 Aktivitas pelelangan ikan di PPI Muara Angke ... 25 8 Alat pengangkut ikan (gerobak) di PPI Muara Angke (a) dan

Keranjang ikan (trays) di PPI Muara Angke (b) ... 26 9 Contoh transportasi yang digunakan pedagang pengecer melakukan

fungsi pengangkutan ... 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Layout lokasi penelitian ... 44445 2 Data profil responden nelayan di PPI Muara Angke ... 44446 3 Data profil responden pedagang perantara tataniaga

hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke ... 44447 4 Analisis margin tataniaga hasil tangkapan ikan saluran Ia dan Ib ... 44449 5 Analisis margin tataniaga hasil tangkapan ikan saluran II ... 44450 6 Analisis margin tataniaga hasil tangkapan ikan saluran IIIa ... 44451 7 Analisis margin tataniaga hasil tangkapan ikan saluran IIIb ... 44453 8 Analisis margin tataniaga hasil tangkapan ikan saluran IIIc ... 44454 9 Rasio keuntungan dan biaya tataniaga hasil tangkapan ikan

saluran Ia, Ib dan II ... 44455 10 Rasio keuntungan dan biaya tataniaga hasil tangkapan ikan

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan wilayah Ibukota Negara yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi. Bahkan, pada tahun 2009 DKI Jakarta merupakan kota terpadat di Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 13.925 jiwa/ km2 (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2010). Peduduk DKI Jakarta tahun 2011 berjumlah 10.187.595 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk yaitu 15.381 km2/ jiwa (BPS Provinsi DKI Jakarta, 2013). Menurut Hanafiah dan Saeffudin (2006) jumlah penduduk di suatu tempat atau negeri merupakan konsumen potensial. Artinya jumlah penduduk yang cukup banyak di DKI Jakarta merupakan konsumen potensial terhadap konsumsi bahan makanan, termasuk ikan. Berdasarkan hasil kegiatan sosialisasi penghitungan angka konsumsi ikan 2010 yang diselenggarakan oleh Subdit Analisa dan Informasi Pemasaran Dalam Negeri, Direktorat Pemasaran Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, angka konsumsi ikan pada tahun 2010 di Wilayah DKI Jakarta mencapai 23,45 kg/ kapita/ tahun (Anonim, 2011). Dibutuhkan peranan distribusi hasil tangkapan ikan sebagai jembatan penyedia kebutuhan konsumen terhadap konsumsi ikan dan memperlancar upaya untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) hal ini membutuhkan kecepatan dan fasilitas pengangkutan, wadah fasilitas penyimpanan dan pendinginan, pembiayaan dan mengharuskan tersedianya jasa-jasa penting lainnya untuk mengumpulkan hasil perikanan dari banyak usaha perikanan atau pelabuhan perikanan serta menyalurkannya kepada konsumen yang tersebar di seluruh daerah.

Tabel 1 Jumlah produksi ikan yang didaratkan di Jakarta Utara menurut pelabuhan

perikanan tahun 2007-2011 (ton)

Pelabuhan Perikanan Tahun

2007 2008 2009 2010 2011

PPI Muara Angke 9.307,95 6.464,71 18.269,06 16.620,89 20.624,70

PPS Muara Baru 99.992,39 16.804,03 93.003,23 90.763,97 182.998,86

PPI Pasar Ikan 722,31 183,74 160,22 164,12 -

TPI Kamal Muara 521,25 467,58 430,11 433,57 271,09

TPI Kalibaru 533,40 473,65 503,72 496,29 348,35

TPI Cililncing 263,96 276,52 213,54 205,39 121,95

Sumber: Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, 2008, 2009, 2010, 2011 dan 2012 (data diolah kembali)

(17)

Cilincing. PPI Muara Angke merupakan salah satu pusat distribusi hasil tangkapan ikan yang cukup penting di Jakarta Utara, hal ini ditunjukkan dengan cukup besarnya jumlah produksi ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke sejak periode 2007-2011 (Tabel 1).

Jenis hasil tangkapan yang didaratkan di PPI Muara Angke beraneka ragam. Komposisi jenis hasil tangkapan ikan dominan yang didaratkan di PPI Muara Angke yaitu cumi-cumi mencapai 5.861.756 kilogram atau sebesar 43,75% dari total seluruh jenis ikan dengan nilai produksi sebesar 50,51 %. Selanjutya ikan tenggiri dengan volume dan nilai produksi secara berturut-turut sebesar 3,43% dan 5,57%, ikan layang sebesar 9,16% dan 4,92%, ikan lemuru sebesar 3,80% dan 4,09% serta ikan tembang sebesar 4,86% dan 3,76% dari total seluruh jenis ikan (Tabel 2).

Tabel 2 Produksi dan nilai produksi ikan dominan yang didaratkan di PPI Muara Angke tahun 2011

No Jenis Ikan Volume Produksi Nilai Produksi

Kg % Rp %

Sumber. Unit Pelaksana Teknis Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (UPT PKPP & PPI) Muara Angke, 2012 PPI Muara Angke memiliki potensi distribusi hasil tangkapan ikan yang cukup baik, dilihat dari letaknya yang sangat strategis, yaitu terletak di Ibukota Negara dengan jumlah penduduk yang padat dan didukung dengan sarana yang memadai. Jumlah hasil tangkapan ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke dan potensi distribusi yang besar ini dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan ekonomi nelayan, pedagang ikan, dan pelaku usaha perikanan lainnya jika didukung oleh sistem tataniaga hasil tangkapan yang efisien.

(18)

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) tataniaga disebut efisien apabila tercipta keadaan dimana pihak-pihak yang terlibat baik produsen, lembaga-lembaga tataniaga maupun konsumen memperoleh kepuasaan dengan adanya aktivitas tataniaga tersebut. Dengan adanya efisiensi tataniaga hasil tangkapan ikan diharapkan kesehjateraan nelayan, pedagang ikan, dan pelaku usaha perikanan lainnya meningkat yang nantinya mempengaruhi terciptanya pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Pengkajian mengenai sistem tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran karakterisitik tataniaga, seperti lembaga tataniaga yang terlibat, saluran dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tersebut, stuktur pasar, perilaku pasar serta efisiensi tataniaga hasil tangkapan ikan tersebut.

Batasan penelitian ini menganalisis kegiatan tataniaga hasil tangkapan ikan dominan di PPI Muara Angke dilihat dari struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar serta melihat lembaga tataiaga apa saja yang terlibat, bagaimana salurannya dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut dalam kegiatan tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke. Dalam analisis tersebut dapat diidentifikasi bagaimana efisiensi tataniaga hasil tangkapan ikan yang kemudian memberikan gambaran secara umum mengenai kegiatan tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke.

Perumusan Masalah

PPI Muara Angke memiliki potensi distribusi hasil tangkapan yang cukup baik karena letaknya strategis, yaitu di Ibukota Negara dengan kepadatan penduduk tinggi dan sarana yang memadai. Bahkan, konsumen akhir yang menjadi tujuan distribusi hasil tangkapan ikan tidak hanya di DKI Jakarta saja, tetapi juga termasuk daerah luar Jakarta, seperti Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi. Kebutuhan konsumsi ikan ini sebagai daya tarik nelayan baik dari perairan Jakarta maupun dari luar Jakarta untuk mendaratkan hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke sehingga produksi ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke cukup besar.

Tataniaga merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dengan usaha produksi, karena tataniaga merupakan ujung tombak untuk menilai berhasil tidaknya usaha yang dijalankan. Tujuan akhir dari suatu proses produksi menghasilkan produk untuk dipasarkan atau dijual dengan harapan mendapat imbalan berupa penghasilan dan keuntungan yang memadai (Safitri, 2009).

(19)

Ikatan tersebut lebih banyak disebabkan karena masalah permodalan nelayan dan perkreditan. Nelayan mencari modal pinjaman (kredit) dari pihak pedagang pengumpul (tengkulak) atau dari tukang pembunga uang (pelepas uang), agar dapat melanjutkan usaha penangkapan ikan, walaupun dengan tingkat bunga yang tinggi. Praktik perkreditan tersebut menyebabkan bergaining position nelayan lemah dalam penentuan harga hasil tangkapan ikan, bahkan tengkulaklah yang menentukan harga hasil tangkapan ikan nelayan.

Tataniaga hasil tangkapan dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang melakukan serangkaian fungsi tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga-lembaga tataniaga bertujuan untuk menyampaikan hasil tangkapan ikan dari nelayan kepada konsumen dengan melakukan kegiatan produktif yang terjadi dalam upaya menciptakan atau menambah nilai guna bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan. Seringkali fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga-lembaga tataniaga tidak efektif. Hal ini mengakibatkan tidak adanya efisiensi tataniaga hasil tangkapan ikan yang berpengaruh pada kesehjateraan nelayan, lembaga pelaku usaha penangkapan ikan, dan masyarakat sebagai konsumen akhir.

Bila lembaga-lembaga tataniaga ini melaksanakan fungsinya dengan baik maka akan terjadi mekanisme pasar yang kompetitif. Akan tetapi pada kenyataannya, ada lembaga tertentu yang berperan dominan dalam akses pasar sehingga menimbulkan permasalahan sistem pasar yang tidak kompetitif. Sistem pasar yang tidak kompetitif menyebabkan keterbatasan akses nelayan terhadap pasar baik dalam memasarkan hasil tangkapannya maupun dalam memperoleh informasi pasar. Informasi pasar umumnya hanya dimiliki oleh pihak-pihak tertentu dalam rantai pasokan komoditi, yaitu pedagang perantara. Keterbatasan informasi pasar mengakibatkan nelayan menjual hasil tangkapan kepada pedagang perantara dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar yang sesungguhnya disetujui pasar.

Menurut Kusnadi (2007) sebagian besar kategori sosial nelayan Indonesia terdiri dari nelayan tradisional dan nelayan buruh. Nelayan tersebut merupakan penyumbang utama kuantitas produksi perikanan tangkap nasional. Sebagian besar usaha penangkapan ikan dilakukan oleh nelayan. Sebagai pengguna utama sumberdaya perikanan seharusnya nelayan dapat merasakan keuntungan yang setimpal dari pemanfaatan sumberdaya tersebut.

Posisi tawar antar lembaga-lembaga tataniaga akan mempengaruhi margin di masing-masing tingkat lembaga tataniaga, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tingkat keuntungan yang diterima oleh pedagang perantara maupun nelayan. Margin tataniaga yang diperoleh dari perbedaan harga jual nelayan dan harga yang dibayarkan konsumen akhir dapat menggambarkan seberapa efisien saluran tataniaga yang ditempuh nelayan. Besarnya margin tataniaga, bagian harga yang diterima nelayan serta rasio keuntungan dan biaya akan menentukan efisiensi tataniaga. Sistem tataniaga yang efiesien akan menciptakan kondisi usaha yang menguntungkan bagi nelayan dan pelaku-pelaku tataniaga yang terlibat.

Melihat kondisi tersebut ada beberapa permasalahan yang terjadi dan perlu dikaji antara lain:

(20)

2. Fungsi-fungsi tataniaga apa saja yang dilakukan masing-masing lembaga tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke?

3. Bagaimana struktur dan perilaku pasar tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke?

4. Bagaimana efisiensi tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi lembaga dan saluran tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke.

2. Mengidentifikasi fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan masing-masing lembaga tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke.

3. Mengidentifikasi struktur dan perilaku pasar tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke.

4. Menganalisis efisiensi tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Dapat dijadikan proses pembelajaran serta penerapan ilmu yang telah

diperoleh peneliti.

2. Dapat memberikan informasi bagi UPT PKPP & PPI Muara Angke dan dapat dijadikan landasan untuk mengatur tataniaga hasil tangkapan ikan.

(21)

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di PPI Muara Angke, Kotamadya Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta. Waktu penelitian dilakukan pada bulan November 2012 sampai Desember 2012.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif melalui pendekatan studi kasus. Sevilla et al (1993) mendefinisikan metode penelitian deskriptif sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Tujuan utama menggunakan metode ini untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.

Pendekatan dengan studi kasus menurut Nazir (2003) adalah penelitian tentang status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Tujuan studi kasus untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu, yang kemudian dari sifat-sifat tersebut akan dijadikan suatu hal yang bersifat umum. Dengan dilakukan studi kasus deskriptif, maka hasil penelitian dapat menggambarkan tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari interview guided atau panduan wawancara sebagai bahan wawancara dan data sekunder yang berkaitan dengan tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke. Alat yang digunakan terdiri dari alat tulis dan kamera.

Jenis dan Sumber Data

(22)

sekunder lainnya dapat diperoleh dari bahan pustaka maupun dari referensi lain yang relevan yang dapat menunjang dalam penulisan penelitian ini. Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Data yang diperlukan dan sumbernya

No Data Sumber Data

1. Lembaga dan saluran tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke.

Primer (interview guided)

2. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke.

Primer (interview guided)

3. Struktur dan perilaku pasar hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke

Primer (interview guided)

4. Efisiensi tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke

Primer (interview guided)

5. Perkembangan jumlah dan jenis armada perikanan, alat tangkap, dan produksi hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke

Sekunder (UPT PKPP & PPI Muara Angke)

Data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini dilakukan melalui: 1. Pengumpulan data melalui pengamatan, dalam istilah sederhana adalah proses

dimana peneliti atau pengamat melihat situasi penelitian (Sevilla et al, 1993). 2. Pengumpulan data melalui wawancara, adalah proses memperoleh keterangan

untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guided atau panduan wawancara (Nazir, 2003).

3. Pengumpulan data melalui studi pustaka, memperoleh berbagai data dan informasi yang bisa menunjang penelitian seperti landasan teori, data-data, artikel-artikel serta rujukan-rujukan yang relevan dengan topik penelitian.

Metode Pengambilan Sampel

Penelusuran dan pemilihan responden untuk nelayan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling. Menurut Made (2006) purposive sampling adalah pengambilan responden yang dilakukan secara sengaja tetapi dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan dalam penelitian ini nelayan responden merupakan nelayan yang hasil tangkapannya merupakan lima ikan dominan yang didaratkan di PPI Muara Angke yaitu nelayan dengan ikan hasil tangkapan cumi-cumi, ikan tenggiri, lemuru, layang dan tembang.

(23)

tingkat nelayan sampai pedagang pengecer. Responden yang terlibat dalam penelitian ini sejumlah 46 responden yang terdiri dari 7 nelayan, 5 pedagang pengumpul, 15 pedagang grosir dan 19 pedagang pengecer.

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan secara deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui secara mendalam mengenai pola saluran tataniaga, lembaga tataniaga yang terlibat, fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga serta struktur dan perilaku pasar yang terjadi. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis margin tataniaga, bagian harga yang diterima nelayan serta rasio keuntungan dan biaya.

Analisis Lembaga dan Fungsi-Fungsi Tataniaga

Lembaga tataniaga berperan sebagai perantara penyampaian barang dari produsen ke konsumen. Menurut Kohls dan Uhl (2002), pendekatan kelembagaan lebih menekankan kepada orang atau lembaga tataniaga yang menjadi pelaku aktivitas tataniaga. Analisis fungsi tataniaga dilihat berdasarkan kegiatan pokok yang dilakukan masing-masing lembaga tataniaga. Analisis dari fungsi tataniaga dapat digunakan untuk mengevaluasi biaya tataniaga. Dengan memperhatikan fungsi-fungsi tataniaga ini memungkinkan diperbaiki proses tataniaga serta meniadakan hambatan-hambatan dalam proses tataniaga (Sudiyono, 2002).

Tabel 4 Fungsi-fungsi tataniaga

No Macam Fungsi Jenis Fungsi

1 Fungsi Pertukaran Fungsi Pembelian

Fungsi Penjualan

2 Fungsi Fisik Fungsi Penyimpanan

Fungsi Pengemasan Fungsi Pengangkutan

3 Fungsi Fasilitas Standarisasi dan Grading

Fungsi Penanggungan Resiko Fungsi Pembiayaan

Fungsi Informasi Harga

Sumber: Limbong dan Sitorus, 1987 Analisis Saluran Tataniaga

(24)

Semakin panjang saluran tataniaga, maka saluran tataniaga tersebut semakin tidak efisien karena margin yang tercipta dari semakin panjangnya saluran tataniaga semakin besar antara nelayan dan konsumen akhir. Perbedaan saluran tataniaga yang dilalui suatu komoditi akan mempengaruhi pembagian pendapatan yang diterima masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat didalamnya (Limbong dan Sitorus, 1987).

Analisis Struktur dan Perilaku Pasar

Analisis ini diperlukan untuk mengetahui kecenderungan struktur suatu pasar, apakah mendekati persaingan sempurna atau persaingan tidak sempurna dengan melihat komponen-komponen yang mengarahkan pasar ke arah struktur tertentu. Beberapa indikator untuk menganalisa struktur pasar yaitu jumlah pedagang pengumpul di tiap tingkat tataniaga, hambatan masuk dan keluar usaha tataniaga, metoda transaksi, frekuensi transaksi, sifat dan karakter dari hasil tangkapan ikan, sistem kelembagaan dan tataniaga, serta hak dan kontrol pelaku tataniaga (Sudiyono, 2002).

Perilaku pasar dapat diketahui melalui tata cara penjualan dan pembelian serta keterkaitan antara berbagai lembaga tataniaga yang terlibat dan sistem penentuan harga dan sistem pembayarannya (Dahl dan Hammond, 1977).

Analisis Margin Tataniaga

Margin tataniaga merupakan perbedaan harga antara produsen dan konsumen tingkat akhir, dimana didalamnya terdapat harga penambahan nilai kegunaan dan fungsi serta keuntungan bagi lembaga tataniaga. Menurut Sudiyono (2002) secara matematis margin tataniaga dapat dituliskan sebagai berikut.

Mi = Ci + i Dimana:

Mi = Margin tataniaga pada lembaga ke-i Ci = Biaya tataniaga pada lembaga ke-i

i = Keuntungan lembaga tataniaga pada lembaga ke-i

Besarnya total margin tataniaga atau margin total (MT) pada suatu saluran tataniaga tertentu dapat dinyatakan sebagai jumlah dari margin pada masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut.

MT = ∑ Mi

Dimana:

MT = Margin total

Mi = Margin tataniaga pada lembaga ke-i Analisis Bagian Harga yang Diterima Nelayan

Kriteria lain yang dapat menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas perikanan yaitu bagian harga yang diterima nelayan atau biasa disebut fisherman’s share. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) Fisherman’s share merupakan bagian harga yang diterima nelayan terhadap harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dan dinyatakan dalam presentase. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:

(25)

Dimana:

Fsi = Persentase bagian harga yang diterima petani waktu ke-i Pfi = Harga di tingkat nelayan waktu ke-i

Psi = Harga di tingkat konsumen waktu ke-i Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya

Analisis ini digunakan untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga. Menurut Sudiyono (2002) rasio keuntungan dan biaya secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut.

Rasio Keuntungan dan Biaya = πi/ Ci

Dimana :

πi = Keuntungan lembaga tataniaga waktu ke-i Ci = Biaya tataniaga waktu ke-i

Analisis Efisiensi Tataniaga

Tataniaga disebut efisien apabila tercipta keadaan dimana pihak-pihak yang terlibat baik produsen, lembaga-lembaga tataniaga maupun konsumen memperoleh kepuasan dengan adanya aktivitas tataniaga tersebut. Efisiensi tataniaga merupakan maksimalisasi dari rasio input dan output. Perubahan yang mengurangi biaya input tanpa mengurangi kepuasan konsumen akan meningkatkan efisiensi, sedangkan perubahan yang mengurangi biaya input tetapi mengurangi kepuasan konsumen akan menurunkan efisiensi tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987). Kinerja tataniaga merupakan bagaimana suatu sistem tataniaga dijalankan dan apa yang diharapkan oleh lembaga-lembaga atau pihak yang terlibat di dalamnya. Efisiensi yang tinggi menggambarkan kinerja tataniaga yang baik, sedangkan efisiensi yang rendah berarti sebaliknya (Safitri, 2009).

Tataniaga yang efisien merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem tataniaga. Suatu saluran tataniaga dapat dikatakan efisien berdasarkan dari hasil analisis tataniaga yang meliputi: saluran dan lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar serta keragaan pasar yang berdasarkan pada tiga indikator yaitu margin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya (Asmarantaka, 2008). Menurut Limbong dan Sitorus (1987), rendahnya nilai margin tataniaga suatu komoditi belum tentu dapat mencerminkan efisiensi yang tinggi dalam pemasaran suatu komoditi. Salah satu indicator yang berguna adalah memperbandingkan bagian farmer’s share dari harga yang dibayar dari konsumen akhir. Menurut Soekartawi dalam Fajarwulan (2008) efisiensi tataniaga akan terjadi bila: (1) biaya tataniaga dapat ditekan sehingga keuntungan tataniaga dapat lebih tinggi. (2) persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi. (3) Tersedianya fasilitas fisik tataniaga yang memadai untuk melancarkan transaksi jual beli barang, penyimpanan, transportasi. (4) Adanya kompetisi pasar yang sehat.

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lembaga Tataniaga

Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1986) lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan tataniaga dengan mana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen. Menurut Kohls dan Uhl (2002), pendekatan kelembagaan lebih menekankan kepada orang atau lembaga tataniaga yang menjadi pelaku aktivitas tataniaga. Sistem tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke melibatkan beberapa lembaga tataniaga yaitu nelayan yang berperan sebagai produsen serta pedagang perantara yang terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang grosir dan pedagang pengecer. Lembaga tataniaga ini memiliki karakteristik tertentu yang mempengaruhi kegiatan tataniaga dari titik produksi ke titik konsumsi.

Nelayan

Nelayan merupakan produsen sebagai penghasil tangkapan ikan. Nelayan responden merupakan nelayan di kawasan PPI Muara Angke yang menangkap hasil tangkapan ikan dominan yang terdiri dari cumi-cumi, ikan tenggiri, lemuru, tembang dan layang. Alat tangkap yang digunakan nelayan responden untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan dominan terdiri dari alat tangkap boukeami, jaring cumi, purse seine dan gill net. Sebanyak 14,29% nelayan responden menggunakan alat tangkap boukeami, serta 28,57% menggunakan alat tangkap jaring cumi, purse seine dan gill net (Tabel 5). Nelayan memilih alat tangkap purse seine karena hasil tangkapannya cukup banyak, beragam dan dapat dioperasikan kapan saja. Jaring cumi dan boukeami dipilih sebagai alat tangkap oleh nelayan karena menjanjikan jumlah hasil tangkapan yang mempunyai harga stabil dan musim penangkapan yang stabil pula.

Tabel 5 Sebaran jenis alat tangkap nelayan responden di PPI Muara Angke tahun 2012

(27)

Tabel 6 Perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap di PPI Muara Angke tahun

Sumber: UPT PKPP & PPI Muara Angke, 2012

Kapal merupakan suatu bangunan terapung yang berfungsi sebagai wadah, tempat bekerja (working area) dan sarana transportasi kapal ikan termasuk di dalamnya. Kerja pada kapal ikan meliputi mencari fishing ground, mengoperasikan alat, mengejar ikan dan sebagai wadah hasil tangkapan (Iskandar dan Novita, 1997). Sebanyak 14,29% nelayan responden menggunakan kapal motor dengan ukuran kapal sebesar 11-20 GT dan 85,71% kapal motor dengan ukuran 21-30 GT (Tabel 7). Ada kapal penangkap ikan nelayan responden yang sudah tidak menggunakan palkah lagi untuk menyimpan hasil tangkapannya, melainkan freezer agar mutu hasil tangkapannya tetap baik. Selain mempengaruhi mutu hasil tangkapan, keuntungan lain menggunakan frezeer yaitu memperkecil biaya operasional untuk perbekalan es karena pengeluarannya tidak terlalu mahal jika dibandingkan dengan menggunakan es.

Tabel 7 Sebaran ukuran kapal nelayan responden di PPI Muara Angke tahun 2012

(28)

Tabel 8 Perkembangan jumlah armada perikanan di PPI Muara Angke menurut kelompok ukuran GT tahun 2007-2011

Tahun KM < 30 GT

(unit)

Persentase (%)

KM > 30 GT (unit)

Persentase (%)

Jumlah Armada

(unit)

2007 3.662 85,20 636 14,80 4.298

2008 3.511 84,58 640 1542 4.151

2009 2.541 84,59 463 15,41 3.004

2010 2.361 78,46 648 21,54 3.009

2011 2.056 74,76 694 25,24 2.750

Rata-Rata

Pertumbuhan (%) -16,23 -0,60 -12,74

Sumber: UPT PKPP & PPI Muara Angke, 2012

(a) (b)

(c)

Gambar 1 Kapal Motor Jaring Cumi (a), Purse Seine (b) dan Gill Net (c) di PPI Muara Angke

(29)

terhadap keberhasilan penangkapan dan keselamatan anak buahnya, kepala kamar mesin (KKM) bertugas menjaga kestabilan operasi penangkapan dan anak buah kapal (ABK) yang bertugas melakukan operasi penangkapan. Seluruh nelayan responden merupakan nelayan pekerja, bukan nelayan pemilik. Nelayan pekerja sebagai responden merupakan nelayan yang diberi kuasa dalam memasarkan hasil tangkapan ikan oleh juragan kapal. Dalam hal pembagian hasil tangkapan ikan antara nelayan dengan pemilik kapal, ada yang melakukan bagi hasil ada pula nelayan pekerja dibayar dengan sistem gaji. Nelayan responden penelitian berasal dari Jakarta, Tegal, Lampung dan Pekalongan.

Tabel 9 Sebaran jumlah ABK dan lama trip nelayan responden di PPI Muara Angke tahun 2012

Karakteristik Jenis Jumlah Persentase (%)

Jumlah ABK biasanya ditentukan berdasarkan jarak daerah operasi penangkapan ikan. Lama trip nelayan responden kurang dari 20 hari, 21 – 40 hari dan 41 – 60 hari masing-masing 28,57%. Trip selama lebih dari 60 hari sejumlah 14,29%. Daerah operasi penangkapan nelayan responden biasanya sekitar Laut Jawa, Perairan Lampung, Perairan Kepulauan Belitung dan Perairan Kalimantan.

Tabel 10 Sebaran jumlah produksi per trip nelayan responden di PPI Muara Angke tahun 2012

(30)

28,57%, 6-10 ton sebesar 28,57%, 16-20 ton sebesar 28,57% dan lebih dari 20 ton sebanyak 14,29% (Tabel 10).

Tabel 11 Volume dan nilai produksi ikan hasil tangkapan per bulan di PPI Muara Angke tahun 2011

September 1.747.179 13,09 44,57 7.117.562.350 13,66 70,90

Oktober 1.611.133 12,07 -7,79 5.878.660.200 11,28 -17,41

Nopember 1.905.472 14,27 18,27 6.419.294.775 12,32 9,20

Desember 1.498.227 11,22 -21,37 5.490.162.825 10,54 -14,47

Jumlah 13.349.222 100,00 52.099.280.435 100,00

Sumber: UPT PKPP & PPI Muara Angke, 2012

Dari data produksi ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke, jumlah ikan hasil tangkapan pada bulan September, Oktober dan November menunjukkan produksi yang lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya (Tabel 11). Hal ini disebabkan karena pada bulan tersebut terjadi arus dan gelombang yang relatif besar atau awal dari musim barat sehingga terjadi up welling pengadukan dasar laut, yang menyebabkan bahan makanan ikan yang ada didasar perairan terangkat keatas, menyebar dan saat itulah kualitas perairan menjadi lebih subur untuk menyediakan bahan makanan bagi biota laut termasuk ikan. Pada bulan-bulan tersebut para nelayan selama 3 bulan-bulan melaksanakan penangkapan ikan (UPT PKPP & PPI Muara Angke, 2012).

Tabel 12 Volume dan nilai produksi di PPI Muara Angke tahun 2007-2011

Tahun Volume Produksi

Sumber: UPT PKPP & PPI Muara Angke, 2012 (data diolah kembali)

(31)

pada tahun 2008 terjadi penurunan drastis volume produksi ikan sebesar 30,55% dari volume produksi tahun sebelumnya (Tabel 12). Pada tahun 2011 volume produksi ikan yang didaratkan di PPI Muara Angke sebanyak 13.349.222 kilogram, mengalami peningkatan sebesar 27,96% dari volume produksi tahun 2010.

(a) (b)

(c)

Gambar 2 Nelayan Responden Nelayan Jaring Cumi (a), Nelayan Purse Seine (b) dan Nelayan Gill Net (c) di PPI Muara Angke

Pedagang Perantara

(32)

konsumen, yaitu lembaga pemasaran yang membeli barang dari grosir, kemudian menjualnya kepada konsumen di pasar-pasar eceran atau dengan cara menjajakan ke kampung-kampung. Untuk daerah produksi, pedagang ini biasanya membeli barang dari produsen atau pasar lokal, kemudian menjualnya ke kampong-kampung. (6) Eksportir, pedagang ini hanya ditemukan di pedagang hasil perikanan bernilai ekspor.

Responden pedagang perantara yang terlibat dalam tataniaga hasil tangkapan ikan dominan di PPI Muara Angke terdiri dari 5 pedagang pengumpul, 15 pedagang grosir dan 19 pedagang pengecer. Pedagang pengumpul umumnya berada di kawasan Muara Angke, berhubungan langsung dengan nelayan Muara Angke. Pedagang grosir ada yang berada di kawasan Muara Angke berdagang di Pasar Grosir Muara Angke, namun ada pula beberapa pedagang grosir non lokal berada di luar kawasan Muara Angke seperti misalnya pedagang grosir Pasar Kramat Jati, Pasar Senen dan Pasar Minggu. Pedagang pengecer umumnya berada di luar kawasan Muara Angke seperti misalnya yang ditemukan pedagang dari Teluk Gong, Pasar Ikan, Pademangan (Jakarta Utara), Pasar Cengkareng, Grogol (Jakarta Barat), Pasar Minggu (Jakarta Selatan), Pasar Senen (Jakarta Pusat), Pasar Kramat Jati (Jakarta Timur) dan menjual ikan hasil tangkapan kepada konsumen di wilayah masing-masing. Pedagang pengecer tidak hanya dari wilayah Jakarta, namun juga ada dari wilayah Bogor dan Bekasi. Bentuk lembaga dari pedagang pengumpul ada yang berbentuk perseorangan dan ada juga yang berbentuk Usaha Dagang (UD) ataupun Commanditaire Vennootschap (CV). Pedagang grosir dan pedagang pengecer responden seluruhnya berbentuk perseorangan.

Tabel 13 Sebaran umur, pengalaman dan jenis kelamin pedagang responden

Karakteristik Jenis

Pedagang

Pengumpul Pedagang Grosir Pedagang Pengecer

Jumlah

(33)

cepat lambatnya kinerja berdagang. Pedagang dengan usia yang relatif muda dan berjenis kelamin laki-laki, relatif memiliki kinerja yang lebih cepat. Responden pedagang pengumpul sebanyak 40% berusia antara 31 – 40 dan di atas 50 tahun serta 20% berusia 41 – 50 tahun. Sebanyak 18,75% pedagang grosir berusia 21-30 tahun, 43,75% berusia 31-40 tahun, 25% berusia 41-50 tahun dan 6,25% berusia di atas 50 tahun. Pedagang pengecer yang menjadi responden penelitian sebanyak 5% berusia 21-30 tahun, 30% berusia 31-40 tahun, 50% berusia 41-50 tahun dan 15% berusia di atas 50 tahun. Jenis kelamin responden pedagang pengumpul dan grosir seluruhnya berjenis kelamin laki-laki. Pedagang pengecer sebanyak 58,00% berjenis kelamin laki-laki dan 42,00% berjenis kelamin perempuan (Tabel 13).

Pengalaman berdagang dapat mempengaruhi cara dan keahlian berdagang, misalnya dalam menentukan volume penjualan, kerjasama dengan nelayan dan antar pedagang serta kecepatan memperoleh informasi pasar. Pengalaman usaha responden pedagang pengumpul 0-5 tahun sebanyak 40%, 6-10 tahun sebanyak 20%, dan 16-20 tahun sebanyak 40%. Pengalam usaha responden pedagang grosir 0-5 tahun sebanyak 50%, 6-10 tahun 18%, dan 11-15 tahun sebanyak 6%, dan lebih dari 20 tahun sebanyak 6%. Pedagang pengecer sebanyak 35% memiliki pengalaman berdagang selama 0-5 tahun, 25% selama 6-10 tahun, 35% selama 11-15 tahun, dan 5% selama 16-20 tahun.

(a) (b)

Gambar 3 Pedagang Grosir Muara Angke (a) dan Pedagang Pengecer Pasar Ikan Luar Batang (b)

Saluran Tataniaga

Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung dan terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu barang atau jasa untuk digunakan atau dikonsumsi. Keputusan pemilihan saluran pemasaran merupakan salah satu keputusan paling rumit dan menantang dihadapi produsen saluran yang dipilih sangat mempengaruhi semua keputusan pemasaran lain (Limbong dan Sitorus, 1987).

(34)

diterima oleh konsumen, dengan demikian dalam pemasaranya harus cepat. (3) Skala Produksi, bila produksinya berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula. Hal ini tidak menguntungkan jika produsen langsung menjualnya ke pasar. (4) Posisi keuangan pengusaha, produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung untuk memperpendek saluran tataniaga.

Dalam penelitian kali ini, cakupan pelaku tataniaga yang diteliti yaitu pelaku tataniaga yang berada di kawasan PPI Muara Angke serta pedagang grosir non lokal, yaitu pedagang grosir yang berada di luar kawasan PPI Muara Angke, seperti misalnya pedagang grosir Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Minggu dan Pasar Senen.

Saluran Tataniaga 1

Gambar 4 Saluran Tataniaga 1 Hasil Tangkapan Ikan di PPI Muara Angke melalui Pelelangan

Keterangan :

Saluran 1a Saluran 1b Saluran 1c

Saluran tataniaga 1 hasil tangkapan ikan didistribusikan melalui pelelangan. Berdasarkan hasil wawancara kemungkinkan saluran yang terjadi yaitu saluran 1a terdiri dari nelayan → pengecer, saluran 1b terdiri dari nelayan → grosir Muara Angke → pengecer dan saluran 1c terdiri dari nelayan → grosir Muara Angke → grosir non lokal → pengecer (Gambar 4). Berdasarkan hasil wawancara, nelayan pada saluran 1 lebih memilih menjual hasil tangkapan ikannya melalui pelelangan karena merasa bahwa mekanisme dan harga yang ditetapkan pelelangan merupakan harga terbaik.Nelayan percaya informasi harga dari TPI acukup akurat. Responden nelayan yang menjual hasil tangkapannya ke pelelangan memiliki frezeer di kapalnya, sehingga dapat menunggu hingga keesokan hari jika proses lelang belum dimulai. Retribusi yang dikenakan pihak TPI kepada nelayan sebesar 3% dan pedagang sebesar 2% dari total nilai ikan.

Saluran tataniaga Ia merupakan saluran terpendek dibandingkan seluruh saluran tataniaga di PPI Muara Angke. Hal ini disebabkan karena hanya pada saluran 1a pedagang pengecer dapat membeli langsung ikan hasil tangkapan dari nelayan melalui pelelangan. Para pedagang yang ingin ikut proses pelelangan harus terlebih dahulu mendaftarkan diri kepada penyelenggara lelang dan akan diberi karcis atau tanda pengenal peserta lelang. Pedagang kemudian harus

(35)

menyimpan uang deposit di kasir lelang, baru dapat mengikuti proses lelang. Transaksi pelelangan hanya berlangsung sekali dalam satu hari, yaitu antara pukul 8.00 – 10.00 WIB. Pedagang pengecer responden yang membeli ikan langsung dari nelayan melalui pelelangan biasanya melakukan aktivitas penjualan di wilayah Pasar Ikan, Jakarta Utara dengan volume penjualan rata-rata cumi sebanyak 10 kilogram dan ikan layang sebanyak 15 kilogram per sekali penjualan. Pada saluran 1b biasanya grosir yang membeli ikan dari nelayan melalui pelelangan merupakan pedagang grosir Muara Angke dengan volume rata-rata ikan dalam sekali penjualan yaitu cumi-cumi sebanyak 500 kilogram dan ikan layang sebanyak 200 kilogram. Pedagang grosir lokal melakukan penjualan ikan ke pedagang pengecer maupun pedagang grosir non lokal yang selanjutnya ke pedagang pengecer (saluran 1c). Namun karena keterbatasan waktu peneliti, yang ditemukan dalam penelitian ini hanya transaksi antara pedagang grosir Muara Angke dan pedagang pengecer. Pengecer umumnya berada di luar kawasan Muara Angke dan menjual ikan hasil tangkapan kepada konsumen di wilayah masing-masing dengan volume rata-rata ikan yang dijual ditingkat pengecer yaitu cumi-cumi sebesar 10 kilogram dan ikan layang sebesar 12,5 kilogram. Harga yang terjadi antara grosir dan pengecer maupun pengecer dan konsumen umumnya tidak jauh berbeda, yang membedakan harga yaitu kualitas ikan yang dijual dan biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan sehingga mempengaruhi harga jual.

Pedagang grosir dan pengecer sebenarnya lebih memilih saluran 1 karena dapat langsung membeli ikan hasil tangkapan dari nelayan melalui pelelangan dengan harga relatif lebih rendah dibandingkan saluran lainnya. Pedagang grosir dan pengecer terpaksa memilih saluran tataniaga lainnya dan tidak dapat memilih dengan leluasa karena kebanyakan ikan yang masuk ke pelelangan merupakan jenis ikan non ekonomis dan kualitasnya tidak bagus.

Saluran Tataniaga 2

Gambar 5 Saluran Tataniaga 2 Hasil Tangkapan Ikan di PPI Muara Angke Tidak melalui Pelelangan

Keterangan :

Saluran 2a Saluran 2b

Saluran 2 merupakan saluran yang tidak melalui pelelangan yang terdiri dari saluran 2a yaitu nelayan → grosir MuaraAngke → pengecer dan saluran 2b

(36)

pada saluran pemasaran ini hanya sebagai pemungut retribusi dan pendataan hasil tangkapan ikan. Berdasarkan hasil wawancara, nelayan pada saluran 2 lebih memilih menjual hasil tangkapannya pada grosir tanpa melalui pelelangan dibandingkan melalui pelelangan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Grosir lebih fleksibel dalam menerima hasil tangkapan, kapanpun nelayan mendaratkan hasil tangkapan akan diterima grosir, tidak perlu menunggu proses pelelangan, nelayan tidak perlu khawatir menanggung risiko penurunan harga karena penurunan kualitas. (2) Nelayan berharap dapat memperoleh harga yang lebih tinggi dari pelelangan biasa. (3) Nelayan telah memiliki pelanggan yang langsung membeli ikan dari nelayan.

Pedagang grosir yang membeli ikan langsung dari nelayan merupakan pedagang grosir kawasan Muara Angke, tidak ditemui pedagang grosir non lokal yang membeli langsung ikan dari nelayan. Hal ini terjadi karena terbatasnya modal dan hubungan relasi.Volume penjualan grosir pada saluran ini rata-rata cumi sebanyak 300 kilogram, ikan layang 100 kilogram dan ikan tenggiri 100 kilogram.

Pedagang grosir Muara Angke melakukan penjualan ikan ke pedagang pengecer maupun pedagang grosir non lokal. Namun yang ditemukan dalam penelitian ini transaksi antara pedagang grosir lokal dan pedagang pengecer. Pengecer umumnya berada di luar kawasan Muara Angke dan menjual ikan hasil tangkapan kepada konsumen di wilayah masing-masing dengan volume rata-rata ikan yang dijual ditingkat pengecer yaitu cumi-cumi sebesar 7 kilogram dan ikan layang sebesar 18 kilogram.

Saluran Tataniaga 3

Gambar 6 Saluran Tataniaga 3 Hasil Tangkapan Ikan di PPI Muara Angke Tidak melalui Pelelangan

Keterangan :

Saluran 3a Saluran 3b Saluran 3c

Saluran 3 dibagi menjadi tiga bagian yaitu saluran 3a yang terdiri dari

nelayan → pengumpul → grosir → pengecer, saluran 3b nelayan → pengumpul

→ grosir non lokal → pengecer dan saluran 3c nelayan → pengumpul → grosir

→ grosir non lokal → pengecer (Gambar 6). Nelayan tidak menjual hasil

Nelayan

Grosir Non Lokal

Pengecer Pengumpul

(37)

tangkapannya melalui pelelangan. Pihak TPI Muara Angke hanya sebagai pencatatan hasil tangkapan ikan dan penarik retribusi sebesar 5% dari total nilai ikan. Nelayan yang menjual hasil tangkapannya ke pengumpul umumnya didasari oleh hubungan keterikatan. Hubungan keterikatan antara nelayan dan pengumpul terjadi karena nelayan berhutang modal melaut sehingga nelayan diharuskan menjual hasil tangkapannya pada pengumpul. Selanjutnya pengumpul yang mengikat nelayan memiliki kewajiban untuk melindungi nelayan yang menjadi langgannya.

Pedagang pengumpul dalam mempertahankan hubungan kerterikatan melakukan berbagai upaya untuk menarik minat nelayan agar tetap menjadi langgannya. Usaha yang dilakukan pengumpul antara lain memberikan bantuan uang dan perlengkapan melaut, pinjaman uang saat kekurangan modal, kerusakan kapal maupun alat tangkap. Bantuan ini diberikan sebagai strategi untuk menghadapi perbedaan harga antara pengumpul, selain untuk menjaga hubungan keterikatan, sehingga nelayan tidak mudah beralih ke pengumpul lain yang menawarkan harga lebih tinggi.

Uang yang dikeluarkan pengumpul untuk menjaga hubungan keterikatan dianggap sebagai uang hangus atau uang hilang karena pada kenyataannya uang tersebut tidak pernah kembali utuh sejumlah yang dikeluarkan. Oleh karena itu, sebagai gantinya nelayan diharuskan menjual hasil tangkapan kepada pengumpul yang mengikatnya. Bila nelayan tidak menjual hasil tangkapan pada langgan maka nelayan harus mengembalikan semua bantuan yang telah diberikan atau menyerahkan perahunya untuk pengumpul sehingga perahu tersebut menjadi hak milik pengumpul. Demikian juga halnya bila nelayan ingin beralih ke langgan lain maka nelayan harus melunasi semua hutang-hutangnya terlebih dahulu atau langgan barunya yang akan membayar ganti rugi atas hutang-hutang tersebut.

Pedagang pengumpul menjual hasil tangkapannya kepada pedagang grosir Muara Angke maupun pedagang grosir non lokal. Berdasarkan hasil wawancara tidak terdapat pedagang pengecer membeli langsung ikan hasil tangkapan dari pedagang pegumpul. Hal ini dapat terjadi karena adanya keterbatasan informasi pasar dan keterbatasan modal pada pedagang pengecer. Pedagang grosir Muara Angke dapat menjual hasil tangkapannya kepada pedagang grosir non lokal maupun pedagang pengecer dan pedagang grosir non lokal menjual hasil tangkapannya pada pengecer, hal yang sama terjadi pula pada saluran 1 dan 2.

Fungsi-Fungsi Tataniaga

Proses penyampaian barang dari produsen ke konsumen memerlukan berbagai kegiatan atau tindakan. Kegiatan tersebut dinamakan sebagai fungsi-fungsi tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987).

(38)

guna waktu. Fungsi fisik terdiri dari fungsi pengangkutan dan penyimpanan. Pengangkutan berarti pemindahan barang dari tempat produksi ke tempat dimana barang tersebut akan dipakai. Penyimpanan berarti menahan barang-barang selama jangka waktu antara dihasilkan atau diterima sampai dengan dijual.

Fungsi fasilitas pada hakikatnya untuk memperlancar fungsi pertukaran dan fisik. Fungsi penyediaan fasilitas meliputi fungsi pembiayaan, sortasi dan grading, penanggungan risiko serta infomasi pasar (Sudiyono, 2002). Pembiayaan berarti mencari dan mengurus modal uang yang berkaitan degan transaksi-transaksi dalam arus barang dari sektor produksi ke konsumsi. Menurut Effendi dan Oktariza (2006) sortasi adalah memilih dan memisahkan individu atau populasi dari suatu populasi ikan berdasarkan kriteria performance tertentu. Grading berarti memilih barang untuk dimasukkan ke dalam kelas atau derajat yang telah ditetapkan dengan jalan standarisasi. Penanggungan risiko merupakan usaha bagaimana atau mengurangi kemungkinan rugi karena barang rusak, hilang, turunnya harga dan tingginya biaya. Informasi pasar meliputi tindakan pengumpulan informasi mengenai fakta-fakta dan gejala-gejala yang timbul disekitar arus barang di masyarakat, informasi kepada pihak yang membutuhkan dan informasi yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dipecahkan oleh pihak yang bersangkutan.

Menurut Kohls dan Uhl (2002), pendekatan fungsional bermanfaat dalam mempertimbangkan bagaimana pekerjaan harus dilakukan, menganalisis biaya-biaya tataniaga dan memahami perbedaan biaya-biaya antar lembaga dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat di dalam sistem tataniaga hasil tangkapan ikan dominan di PPI Muara Angke menjalankan fungsi tataniaga yang berbeda-beda. Tabel 14 menunjukkan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat.

Fungsi-Fungsi Tataniaga di Tingkat Nelayan

Nelayan melakukan fungsi pertukaran hanya penjualan, tidak melakukan pembelian. Nelayan memiliki kebebasan dalam memilih ke pedagang mana ia akan menjual ikannya. Namun beberapa nelayan responden seperti yang terjadi pada saluran 3 harus menjualnya ke pedagang pengumpul karena adanya ikatan hubungan.

(39)

ikan. Nelayan biasanya telah memiliki langganan pembeli sehingga tidak kesulian dalam memasarkan hasil tangkapan ikan dan tidak perlu melakukan fungsi penyimpanan. Jika ada ikan non ekonomis pada hasil tangkapan biasanya nelayan lebih memeilih menjual hasil tangkapannya dengan harga murah dibandingkan menyimpan hasil tangkapan tersebut. Pada saluran 3 nelayan tidak memiliki pilihan menahan ikan sementara waktu misalnya untuk menunggu harga lebih baik karena hasil produksi harus segera dijual kepada pedagag pengumpul.

Tabel 14 Fungsi-fungsi tataniaga hasil tangkapan ikan dominan di PPI Muara Angke - : Fungsi tidak dijalankan

# : Fungsi dijalankan sebagian lembaga

(40)

informasi pasar yang dilakukan nelayan yaitu informasi kepada pihak pedagang bahwa nelayan akan tiba dan melakukan bongkar muat hasil tangkapan. Informasi harga diterima nelayan dari pedagang perantara. Fungsi sortasi dan grading dilakukan nelayan di atas kapal. Ikan hasil tangkapan dominan dipisahkan berdasarkan pada jenis ikan (spesies) dan ukuran tubuh. Pada saat bongkar muat, setelah semua ikan yang terdapat di dalam palkah dikeluarkan, selanjutnya ikan-ikan yang telah disortir ditaruh pada trays yang berbeda-beda.

Gambar 7 Aktivitas pelelangan ikan di PPI Muara Angke Fungsi-Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul

Fungsi pertukaran yang dilakukan yaitu pembelian dan penjualan. Pembelian dilakukan dari nelayan yang terikat hubungan langgan dengan pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul melakukan penjualan kepada pedagang grosir kawasan Muara Angke maupun pedagang grosir non lokal.

Pada fungsi fisik, sebagian pengumpul melakukan pengangkutan. Pengumpul yang melakukan pengangkutan biasanya juga melakukan fungsi penyimpanan. Pengangkutan dilakukan ke tempat penyimpanan ikan yang terletak tidak jauh dari pendaratan ikan hasil tangkapan. Pedagang pengumpul yang melakukan pengangkutan dan peyimpanan merupakan pengumpul yang berbentuk lembaga CV atau UD. Pengangkutan dilakukan oleh tenaga kerja pada lembaga tersebut dengan menggunakan mobil pick up ataupun gerobak (troli) yang disediakan PPI Muara Angke. Jenis pengumpul tersebut biasanya memiliki cold storage atau dapat menyimpan ikan hasil tangkapannya di cold storage yang disediakan oleh PPI Muara Angke. Penyimpanan ikan di cold storage yang disediakan PPI Muara Angke menghabiskan biaya tataniaga sebesar Rp 15 per kilogram per hari. Tujuan dilakukannya penyimpanan yaitu menciptakan kegunaan waktu, pada saat musim paceklik ataupun ada permintaan maka ikan akan keluar.

(41)

dilakukan pedagang pengumpul berupa informasi harga, waktu pendaratan ikan oleh nelayan, dan permintaan terhadap ikan.

(a) (b)

Gambar 8 Alat pengangkut ikan (gerobak) di PPI Muara Angke (a) dan Keranjang ikan (trays) di PPI Muara Angke (b)

Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Grosir

Pedagang grosir melakukan fungsi pertukaran yaitu fungsi pembelian dari pedagang pengumpul atau nelayan dan fungsi penjualan ke pedagang grosir lainnya dan pedagang pengecer. Pedagang grosir yang menjadi responden dalam penelitian ini bertempat di Pasar Grosir Muara Angke dan pedagang grosir non lokal yang bertempat di Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Minggu dan Pasar Senen.

Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang grosir antara lain fungsi bongkar muat, pengangkutan dan penyimpanan. Fungsi bongkar muat dilakukan sebagian pedagang grosir yaitu grosir Muara Angke dan dilakukan menggunakan lori karena setelah pengangkutan ikan dibutuhkan lori ke dalam areal Pasar Grosir Muara Angke. Pada grosir Muara Angke fungsi pengangkutan dilakukan pedagang grosir menggunakan jasa kuli angkut dengan gerobak. Grosir Muara Angke melakukan pengangkutan ikan ke Pasar Grosir Muara Angke yang tidak jauh dari tempat pendaratan ikan. Sedagkan pada grosir non lokal, seperti pada pedagang grosir Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Senen dan Pasar Minggu menggunakan mobil pick up dan dilakukan oleh tenaga kerja pedagang grosir tersebut. Fungsi penyimpanan dilakukan pedagang grosir dengan menyimpan ikan sebelum dijual ke pengecer di dalam bloong.

(42)

kepada pengelola Pasar Grosir Muara Angke yang besarnya 5% dari harga beli ikan. Pada grosir non lokal biaya retribusi pasar pada masing-masing pasar berbeda, berkisar antara Rp. 4.000 – Rp. 5.000 per hari. Fungsi informasi pasar terdiri dari perkembangan harga ikan, datangnya nelayan dari melaut serta jenis dan kualitas ikan yang diinginkan konsumen. Informasi pasar didapat pedagang grosir dari sesama pedagang grosir dan pedagang pengumpul.

Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer

Pedagang pengecer adalah pedagang yang berinteraksi langsung dengan konsumen. Konsumen yang dimaksud yaitu konsumen akhir yang tidak melakukan fungsi tataniaga dan menggunakan ikan untuk diolah dan dikonsumsi. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang pengecer yaitu fungsi pembelian ikan dari nelayan pada saluran 1 dan pedagang grosir pada saluran 2 dan 3 serta fungsi penjualan ke konsumen akhir.

Fungsi fisik yang dilakukan pedagang pengecer terdiri dari fungsi pengangkutan yaitu pengecer mengangkut ikan hasil tangkapan yang ia beli dari kios pedagang grosir Muara Angke maupun grosir non lokal ke kios miliknya. Pengangkutan yang dilakukan pedagang pengecer yang membeli ikan dari grosir Muara Angke dapat menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda motor ataupun angkutan umum seperti bajaj, becak, dan angkutan kota. Pedagang pengecer yang berasal dari Bogor dan Bekasi menggunakan jasa kereta api melalui Stasiun Kota yang sebelumnya menggunakan bajaj dari PPI Muara Angke menuju Stasiun Kota. Fungsi penyimpanan yaitu pedagang pengecer menyimpan stok ikan yang belum terjual untuk dijual keesokan harinya.

Gambar 9 Contoh transportasi yang digunakan pedagang pengecer melakukan fungsi pengangkutan

(43)

pedagang pengecer. Informasi jenis dan kualitas ikan yang diinginkan konsumen diperoleh langsung dari konsumen ketika proses jual beli terjadi.

Struktur Pasar

Struktur pasar paling digunakan dalam menganalisis sistem tataniaga, karena melalui analisis struktur pasar dapat dijelaskan bagaimana perilaku lembaga yang terlibat dan akhirnya akan menunjukkan keragaan yang terjadi akibat dari struktur dan perilaku pasar yang ada dalam sistem pemasaran tersebut (Limbong dan Sitorus, 1987). Empat faktor penentu dari karakteristik suatu pasar: (1) jumlah atau ukuran perusahaan (2) kondisi atau keadaan produk (3) kondisi keluar masuk pasar dan (4) tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga, misalnya biaya, harga dan kondisi pasar antar partisipan (Dahl dan Hammond, 1977).

Tabel 15 Karakteristik dan struktur tataniaga pertanian

Karakteristik Struktur Pasar

Jumlah

Lembaga Sifat Produk Dari Sudut Penjual Dari Sudut Pembeli

Banyak Standar/homogen Persaingan murni Persaingan murni

Banyak Diferensiasi Persaingan monopolistik persaingan monopolistik

Sedikit Standar Oligopoli murni Oligopsoni murni

Sedikit Diferensiasi Oligopoli terdiferensiasi Oligopsoni diferensiasi

Satu Unik Diferensiasi monopoli Monopsoni

Sumber: Dahl dan Hammond, 1977

Berdasarkan sifat dan bentuknya, pasar dibedakan menjadi dua macam struktur pasar yaitu: (1) pasar persaingan sempurna, (2) pasar persaingan tidak sempurna. Suatu pasar dapat digolongkan ke dalam struktur pasar bersaing sempurna jika memenuhi ciri antara lain: terdapat banyak penjual maupun pembeli, pembeli dan penjual hanya menguasai sebagian kecil dari barang dan jasa yang dipasarkan sehingga tidak dapat mempengaruhi harga pasar (penjual dan pembeli berperan sebagai price taker), barang dan jasa yang dipasarkan bersifat homogen, penjual dan pembeli bebas masuk keluar pasar. Pasar bersaing tidak sempurna dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi pembeli dan sisi penjual. Pasar tersebut meliputi: pasar persaingan monopolistik, monopoli murni, oligopoli, duopoli, monopsoni dan oligopsoni (Limbong dan Sitorus, 1987). Struktur Pasar di Tingkat Nelayan

(44)

Struktur pasar di tingkat nelayan cenderung memiliki hambatan keluar masuk yang tinggi jika dilihat dari sisi hambatan keluar masuk pasar. Ketersediaan modal merupakan hambatan utama bagi perkembangan usaha nelayan. Nelayan membutuhkan cukup modal untuk perbekalan melaut, penyediaan kapal dan alat tangkap. Nelayan dalam menanggapi hambatan tersebut seringkali meminjam pada pedagang yang dapat memberikan pinjaman secara fleksibel dan tanpa agunan. Hal ini yang menyebabkan nelayan terikat hubungan dengan pedagang. Berdasarkan hasil wawancara hambatan lainnya yaitu kondisi cuaca, sehingga nelayan sulit untuk melaut. Pengaruh lembaga ini dalam perubahan harga tidak terlalu berpengaruh dalam struktur pasar. Hal ini dikarenakan informasi harga biasanya dibawa oleh pelelangan dan pedagang grosir meskipun pada saat proses jual beli ada tawar menawar. Nelayan yang menjual ikan ke pedagang pengumpul pada akhirnya keputusan harga yang berlaku dari pengumpul, nelayan hanya bertindak sebagai price taker karena posisi tawar yang lemah.

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul

Pedagang pengumpul di PPI Muara Angke dihadapkan pada struktur pasar yang cenderung mendekati struktur pasar oligopsoni jika dilihat dari sudut pembeli. Hal ini dikarenakan jumlah pedagang pengumpul yang lebih sedikit dari jumlah nelayan. Jika dilihat dari sisi penjual, pedagang pengumpul memiliki struktur pasar oligopoli murni karena jumlah pedagang pengumpul lebih sedikit dibandingkan jumlah pedagang grosir.

Struktur pasar di tingkat pedagang pengumpul memiliki hambatan keluar masuk pasar yang tinggi karena untuk memasuki pasar ini dibutuhkan modal yang besar dan memiliki relasi yang luas agar pemasaran ikan dapat berjalan secara optimal. Sifat produk dalam pasar ini cenderung homogen dan tidak terdapat diferensiasi produk secara nyata. Pasar ini juga memberikan pengaruh terhadap perubahan harga baik harga beli terhadap nelayan ataupun harga jual kepada pedagang grosir, namun dibatasi oleh adanya pesaing.

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Grosir

Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang grosir dapat dilihat dari dua sisi. Dilihat dari sisi sebagai pembeli, pedagang grosir menghadapi struktur pasar oligopsoni baik pada saat membeli ikan dari nelayan, melalui pelelangan maupun pedagang pengumpul. Hal ini dikarenakan jumlah pedagang grosir lebih banyak dibandingkan jumlah pedagang pengumpul ataupun nelayan. Dari sisi penjual, pedagang grosir menghadapi pasar persaingan murni dimana jumlah pedagang pengecer dan pedagang grosir cukup banyak.

(45)

Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer

Struktur pasar yang dihadapi oleh pengecer bersifat persaingan murni dari sisi pembeli dan oligopoli pada saat melakukan penjualan ke konsumen. Komoditi yang diperjualbelikan homogen dan jumlah pedagang pengecer sedikit dibandingkan jumlah konsumen yang sangat banyak. Skala usaha pedagang pengecer relatif kecil, sehingga pengecer mudah memasuki atau meninggalkan pasar. Apabila pengecer tidak memperoleh keuntungan pengecer dapat meninggalkan usaha tersebut.

Perilaku Pasar

Menurut Dahl dan Hammond (1977), perilaku pasar merupakan pola tingkah laku dari lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualann, penentuan harga, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, kemampuan pasar untuk menerima sejumlah komoditi yang dijual, stabilitas pasar, sistem pembayaran dan kerjasama diantara berbagai lembaga tataniaga.

Perilaku pasar dapat diketahui melalui pengamatan terhadap penjual dan pembeli yang dilakukan tiap lembaga pemasaran, sistem penentuan harga dan pembayaran, serta kerjasama diantara berbagai lembaga pemasaran. Perilaku pasar juga menentukan strategi yang dilakukan oleh para pelaku pasar dalam menghadapai pesaing. Pelaku pasar harus memahami penampilan pasar agar dapat mengetahui secara jelas bagaimana sistem pemasaran terjadi.

Praktik Pembelian dan Penjualan

Sistem tataniaga hasil tangkapan ikan di PPI Muara Angke melibatkan beberapa lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pembelian dan penjualan kecuali nelayan tidak melakukan praktik pembelian. Saluran tataniaga yang terjadi dimulai dari nelayan menjual ikan dengan dua cara, yaitu penjualan melalui pelelangan dan penjualan tidak melalui pelelangan. Penjualan melalui pelelangan dibeli oleh pedagang pengecer dan pedagang grosir Muara Angke. Penjualan pengecer. Pedagang grosir non lokal menjual ikannya ke pedagang pengecer. Pedagang pengecer menjual ikan ke konsumen akhir.

Sistem Penentuan dan Pembentukan Harga

Gambar

Tabel 1 Jumlah produksi ikan yang didaratkan di Jakarta Utara menurut pelabuhan perikanan tahun 2007-2011      (ton)
Tabel 2 Produksi dan nilai produksi ikan dominan yang didaratkan di PPI Muara Angke tahun 2011
Tabel 3 Data yang diperlukan dan sumbernya
Tabel 4 Fungsi-fungsi tataniaga
+7

Referensi

Dokumen terkait

1. Tingkat kedisiplinan peserta didik rendah. Masih banyak peserta didik yang tidak disiplin, mulai dari ketelambatan Peserta didik datang kesekolah, telatnya mengerjakan

Siswa membuat suatu kesimpulan dari berbagai sumber tentang ketentuan

Selama kunjungan tersebut, dilakukan pendekatan secara kekeluargaan, yaitu dengan melakukan diskusi ringan kepada Keluarga Nenek Ni Nengah Saring mengenai program KKN

Nilai p hasil post hoc test tentang perbandingan rata-rata penurunan kadar gula darah antara control dengan kelompok perlakuan pada minggu ke 1, minggu ke. 2, dan minggu

[r]

Kelapa Sawit Upaya Peningkatan Produktivitas.. Universitas

Hasil: Pada pasien Tn.N dengan Gagal Ginjal Kronik mengalami sesak nafas, buang air kecil sedikit-sedikit dan gatal-gatal dikulit, sehingga ditetapkan diagnosa pola nafas

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber lokasi penelitian. Pada penelitian ini peneliti melakukan observasi langsung dengan mengamati