• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya efek jera dari sanksi pidana kejahatan perkosaan: kajian hukum pidana Islam dan hukum pidana positif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Daya efek jera dari sanksi pidana kejahatan perkosaan: kajian hukum pidana Islam dan hukum pidana positif"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.Hi)

Oleh:

Zaki Tsani 105045101505

Konsentrasi Kepidanaan Islam Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

(2)

iii

Ummi.... Aba....

Hanya tulisan seperti ini yang bisa aku persembahkan untuk Ummi dan Aba Walaupun tidak sesempurna yang lain, tapi... Inilah hasil buatan ku sendiri yang maksimal dari pendidikan ku selama ini Semoga kepuasan dan kebanggaan tercipta di hati Ummi dan Aba...

Do’a ku..semoga Ummi dan Aba selalu panjang umur

Sehat wal afial Dan dimurahkan rizkinya oleh

Ya... yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang... Berilah perlindungan dan ampunan serta kemurahan rizki Untuk Ummi dan Aba ku Kakak-kakak ku Adik ku Dan seluruh keluarga ku...

(3)

i

PERKOSAAN (KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF)” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Maret 2011.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah

(S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam.

Jakarta, 21 Maret 2011

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP: 195505051982031012

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag. (..…....…….………)

: NIP. 197210101997031008

2. Sekretaris : Afwan Faizin,MA (..…....…….………)

: : NIP: 197210262003121001

3. Pembimbing I : Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum (..…....……….…………)

: : NIP. 196509081995031001

4. Pembimbing II : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag (..…...…….…………) : NIP. 150326893

5. Penguji I : Dr. Asmawi, M.Ag (..…...…….…………)

: : : NIP. 197210101997031008

6. Penguji II : Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum (..…....……….…………)

(4)

ii

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuh Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Zaki Tsani 105045101505

Disetujui dan untuk dipertahankan di hadapan dewan penguji

Di bawah bimbingan:

Pembimbing-I

Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum. NIP. 196509081995031001

Pembimbing-II

Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag NIP. 150326893

Konsentrasi Kepidanaan Islam Jurusan Syariah Jinayah Siyasah

Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

(5)

iv

, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini untuk melengkapi

persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata-I di Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat beserta salam tetap tercurah penulis sampaikan kepada Baginda

Besar Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabat, yang telah menyelamatkan

umat manusia dari alam yang sesat ke alam yang penuh petunjuk, dari zaman

jahiliyah ke zaman berbudi pekerti. Beliau telah menegakan hukum di tengah-tengah

kaum yang zhalim, dan menyelamatkan dari azab dan siksa yang pedih.

Sehubungan telah selesainya penyusunan skripsi ini yang membahas tentang

“Daya Efek Jera Dari Sanksi Pidana Kejahatan Perkosaan (Kajian Hukum Pidana

Islam dan Hukum Pidana Positif)”, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MH., MM., Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum.

2. Dr. Asmawi, M.Ag., dan Afwan Faizin, MA., Ketua dan Sekretaris Program Studi

Jinayah Siyasah, yang banyak membantu penulis dalam penyelesaian kuliah, tidak

(6)

v

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang telah mendidik penulis sejak awal kuliah hingga dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

5. Kedua Orang tua ku (Ummi & Aba) yang terus menerus tiada bosan mendidik &

membesarkan ku hingga sekarang ini.

6. Kakak dan Adik ku, Kak Wardah Balady, SE., Kak Nisyyah Balady, S.Ikom., dan

Adiku Millaty ‘Ayny Balady, yang telah membantu penulis baik berupa material

maupun dorongan moral, demi selesainya pendidikan ku dan selesainya

penyusunan skripsi ini.

7. Zulhia Muslihah Ama, yang banyak memberikan support dalam semua hal demi

selesainya pendidikan ku :-*...

8. Teman-teman Poppy Rocky, Faisal, Fadjar, Rudi, Luhur, Kahfi, yang banyak

memberikan inspirasi dan pengalaman hidup yang banyak.

9. Teman-teman seperjuangan Pidana Islam 2005, Asharyanto, Yazid, Trezal,

Sayidi, Nashori, Asep, Adi, Siti Widya, Dewi, Layla, Layli, Nafisah, Pipit, Rina,

Yayah, Indah, Ifada, sukses buat kalian semua. Khususnya buat Syeh Jabil, bang

Uci, Bang Fais al-Muchtar, Raizak, Lukman, Malik, Deni, Jaelani, kalian pasti

bisa...!!!!

(7)

vi

Sebagai manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lupa, penulis sadar

akan kekurangan, karya ilmiah ini tentulah tidak sempurna karena keterbatasan dan

kemampuan penulis. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang sifatnya

membangun sangat penulis harapkan dari pembaca, sehingga dapat menjadi masukan

dan dorongan untuk penulis di kemudian hari.

Jakarta, 21 Februari 2011M

18 Rabi’ul Awal 1432H

(8)

vii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASYAH……….. ii

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9

D. Metode Penelitian... 11

E. Sistematika Penulisan... 15

BAB II TINDAK PIDANA PERKOSAAN... 17

A. Pengertian Tindak Pidana ... 17

B. Pengertian Perkosaan... 20

C. Sejarah Singkat Perkosaan... 24

D. Jenis-jenis Perkosaan... 26

E. Unsur-unsur Tindak Pidana Perkosaan... 27

F. Korban Perkosaan... 29

G. Dampak Bagi Korban Perkosaan... 29

(9)

viii

POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM... 34

A. Pandangan Hukum Pidana Positif ... 34

B. Pandangan Hukum Pidana Islam... 38

BAB IV ANALISIS DAYA EFEK JERA DARI SANKSI TINDAK PIDANA KEJAHATAN PERKOSAAN... 45

A. Pengertian Efek Jera dan Sanksi... 45

1.Efek Jera... 45

2.Sanksi... 46

B. Sanksi Pelaku Perkosaan Perspektif Hukum Pidana Positif... 48

C. Sanksi Pelaku Perkosaan Perspektif Hukum Pidana Islam... 55

D. Jumlah atau Besaran Mahar Sebagai Ganti Kerugian Kepada Korban Perkosaan Menurut Hukum Islam... 64

E. Manfaat Efek Jera... 67

F. Tingkat Kriminalitas Perkosaan Tahun 2003-2007……… 68

BAB V PENUTUP... 70

A. Kesimpulan... 70

B. Saran... 71

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum. Kesadaran hukum merupakan

faktor yang penting dalam tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia, karena

tanpa adanya kesadaran hukum sangatlah mustahil dapat ditegakkannya hukum

dan keadilan.

Kejahatan merupakan masalah sosial dan pemerintah telah melakukan

berbagai macam cara untuk mengatasinya. Salah satu cara yang dapat mencegah

dan mengendalikannya adalah dengan menggunakan hukum pidana yang

sanksinya berupa pidana. Hukum pidana sering disebut sebagai hukum dengan

sanksi istimewa karena hukum pidana mengatur tentang perbuatan apa yang

diancam pidana serta di mana aturan pidana itu menjelma.1

Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup

mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau di televisi

diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah,

sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan

sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan

kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat

1

(11)

walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana

perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju

kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tetapi juga terjadi di

pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat.

Tindak pidana perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap

perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya

terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah

ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki, ternyata berimplikasi jauh pada

kehidupan perempuan, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan,

pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis.2

Dewasa ini kasus perkosaan kerap kali terjadi, baik itu perkosaan yang

dilakukan oleh orang yang sudah menikah ataupun yang belum menikah.

Mirisnya lagi, perkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang atau ayah terhadap

anaknya. Masalah seperti ini sudah sepatutnya ditinjau kembali. Perlu adanya

pembaharuan hukum yang maksimal hingga seseorang merasa takut atau

setidaknya berfikir kembali untuk melakukan perbuatan pidana.

Bagaimana tidak, dalam KUHP Indonesia tindak pidana perkosaan hanya

diancam dengan hukuman paling lama 12 tahun. Itupun paling lama, belum lagi

adanya pengurangan-pengurangan hukuman dan lain sebagainya. Padahal kalau

ditinjau dari segi sosiologis dan psikis, perkosaan sangatlah berdampak buruk

2

(12)

dan fatal bagi si korban ataupun keluarganya. Korban akan mengalami gangguan

jiwa dan mental yang besar dan berkepanjangan, sedangkan keluarga turut

menanggung malu akan keadaan si korban.

Dengan menjatuhkan hukuman, pelaku kejahatan sekurang-kurangnya

dihambat untuk melakukan kejahatan. Pengalaman penderitaan akibat hukuman

dapat membuatnya jera untuk mengulangi kejahatannya (special deterrence). Hukuman bahkan dapat menciptakan efek jera bagi pihak lain (publik) sehingga

kejahatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif secara umum dapat ditekan

atau dikendalikan.3

Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan

dalam penyelesaiannya, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada

tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan

pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan

tanpa kehadiran orang lain.4

Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke

Pengadilan, tetapi kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang

maksimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang tercantum dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan

3

Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, artikel diakses pada 02 Oktober 2010 dari http://www.books.google.com, h.108.

4

(13)

Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana

perkosaan (Pasal 285) yang menyatakan:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang

wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan

perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.

Di dalam hukum Islam memang tidak ada ketentuan khusus yang

membahas tentang masalah tindak pidana perkosaan. Namun, jika kita lihat

definisi dari perkosaan itu, sepintas hampir menyerupai definisi zina. Zina adalah

hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan

perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur

subhat.5 perbedaannya terletak pada kekerasan dan ancaman kekerasan. Dari

definisi tersebut perkosaan tergolong kepada jarimah takzir karena tidak memenuhi unsur-unsur jarimah zina.

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.

Dalam kasus perkosaan seperti ini yang dalam hukum Islam tergolong kepada

jarimah takzir dan hukum Islam memberikan hukuman yang berat bagi pelaku perkosaan, karena secara tidak langsung pelaku telah berzina dengan

menyebabkan korban yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Oleh sebab itu, hukuman yang ditetapkan sangat berat, bahkan bisa mencapai

hukuman mati.

5

(14)

Firman Allah SWT dalam surat an-Nuur ayat 2:

                                       

/

:

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah

tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (Q.S. an-Nuur ayat 24:2)

Hadits Rasulullah SAW ke-1232 dalam Tarjamah Bulughul Maram:6

”Dari Ubadah bin Shamit ia berkata: “Rasulullah bersabda : Terimalah (hukum) dariku, terimalah (hukum) dariku, sesungguhnya Allah telah menunjukkan kepada kamu jejaka dan gadis yang berbuat zina (hukuman) seratus kali dera dan pengasingan satu tahun dan laki-laki yang telah kawin dengan wanita yang telah kawin (hukumannya) dera dan rajam.” (HR. Muslim)

Ayat dan Hadits di atas merupakan ketentuan hukum pidana Islam untuk

jarimah zina. Karena perkosaan hampir serupa dengan zina maka penulis

merujuk kepada ayat dan hadits di atas sebagai tolak ukur takzir untuk tindak pidana perkosaan. Zina di lakukan tanpa adanya paksaan, Allah dan Rasul-Nya

telah menentukan hukuman yang berat, bagaimana mungkin perkosaan yang di

dalam unsurnya terdapat kekerasan dapat dihukum lebih ringan. Dalam

6

(15)

pandangan sebagian besar fuqaha, bentuk sanksi dalam tradisi pemikiran hukum Islam sudah final dan tidak ada ruang kreasi manusia di dalamnya. Bentuk itu

sudah sedemikian rupa diberikan oleh Allah. Sementara, dalam pemikiran

pemidanaan dalam perspektif ilmu hukum (dan kriminologi), sanksi itu dapat

dimodifikasi tergantung pada apakah pijakan pikiran tentang sanksi itu bersifat

rehabilitatif atau tekanannya pada pemberian hukuman yang berat dan berupa

fisik yang arahnya menimbulkan efek jera bagi si pelaku sekaligus peringatan

bagi manusia yang lain (bersifat fisik dan personal).7

Sayangnya selama ini banyak kalangan yang menganggap bahwa hukum

pidana Islam adalah hukum yang kejam, tidak manusiawi dan tidak menghormati

hak-hak atas manusia. Karena hukum pidana Islam hanya dipelajari secara

parsial, belum menyeluruh sehingga menimbulkan persepsi bahwa dera, rajam,

dan lain sebagainya adalah hukum yang tidak berperikemanusiaan. Hukum

pidana Islam tidak banyak dipahami secara benar dan mendalam oleh

masyarakat, bahkan juga oleh masyarakat Islam sendiri. Masyarakat umum

hanya menangkap dan memperoleh kesan bahwa sanksi hukum pidana Islam,

bila dilaksanakan kejam dan mengerikan.

Sikap pembelajaran yang demikian sudah saatnya ditinjau kembali

dengan menempatkan semua sistem hukum yang ada sebagai sistem hukum yang

sejajar dan sebanding untuk kemudian dipelajari dan seperlunya sampai

diperoleh norma hukum yang sejalan dengan nilai kebenaran dan keadilan yang

(16)

akan dapat memberikan sumbangan positif bagi perkembangan hukum di

Indonesia.

Sering kita dengar pelaku tindak pidana yang telah tertangkap lalu diberi

pidana, baik itu berupa penjara, kurungan, denda, bahkan sampai pidana mati.

Namun, bisa kita perhatikan hukuman-hukuman yang dijatuhkan hakim kepada

pelaku tindak pidana malah bukan membuat jera para pelaku, tetapi membuat

pelaku menjadi semakin membabi buta dan menjadi pelajaran buruk bagi yang

belum pernah berbuat pidana untuk melakukan pidana. Dari kejadian seperti itu

timbulah pertanyaan, apakah sistem hukum kita yang kurang baik karena

banyaknya makelar-makelar kasus di peradilan? Atau karena kesadaran

mayarakat yang masih minim? Atau mungkin hukuman yang kurang setimpal

dengan perbuatan dan tidak menciptakan efek jera, sehingga membuat para

pelaku meremehkan hukuman yang diberikan hakim.

Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan hingga seorang pelaku tindak

pidana tidak juga merasa jera untuk melakukan kejahatan yang berikutnya.

Namun, Salah satu tujuan dari pemidanaan kepada pelaku tindak pidana adalah

diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi

perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat umum mengetahui jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka akan mengalami

hukuman yang serupa (generale preventie,),8 sehingga tidak menjadi pelajaran

8

(17)

buruk bagi yang belum pernah melakukan tindak pidana sampai melakukan

tindak pidana karena melihat hukuman yang begitu ringan dengan kejahatan

yang akan dilakukan.9

Hal inilah yang menjadi dorongan pada penulis untuk menulis skripsi

tentang daya efek jera dari sanksi pidana kejahatan perkosaan. Oleh karena itu,

penulis tertarik untuk mengambil judul Skripsi: Daya Efek Jera Sanksi Pidana Kejahatan Perkosaan (Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif).

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Karena semakin banyaknya kasus tindak pidana perkosaan, yang

dilakukan oleh terpidana lama maupun terpidana baru yang dewasa ini kian

muncul di Negara Indonesia, seperti yang sudah penulis jabarkan di atas, padahal

pemerintah sudah sedemikian rupa membangun dan membentuk hukum demi

kenyamanan dan ketenteraman masyarakat, namun sepertinya ada beberapa

masalah yang harus dibenahi atau ditinjau kembali jalan keluarnya. Tindak

pidana perkosaan bukanlah hal yang tabu bagi masyarakat umumnya, tindak

pidana seperti ini sudah ada sejak dahulu. Berbagai macam modus operandi yang

9

(18)

dilakukan pelaku berbagai macam. Masalah yang dialami sistem hukum pun

berbagai macam, dari proses penyidikannya, proses pembuktiannya, sampai

dengan proses pengadilan dan putusannya. Oleh karena banyaknya permasalahan

dan dikhawatirkannya pembahasan melebar atau terjadi kesimpang siuran

pembahasan, maka masalah akan dibatasi dan dirumuskan sebagai berikut:

1. Penulisan skripsi ini akan membahas seputar tindak pidana perkosaan

perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

2. Membahas kekuatan efek jera dari sanksi pidana kejahatan perkosaan Kajian

Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

Dari pembahasan di atas munculah beberapa permasalahan dan

pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif tentang

tindak pidana kejahatan perkosaan?

2. Apa sanksi yang ditetapkan oleh hukum pidana Islam dan hukum pidana

positif kepada pemerkosa?

3. Apa efek jera yang ada pada sanksi-sanksi yang ditetapkan?

4. Apa manfaat dari efek jera bagi pelaku, korban, dan masyarakat?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini tidaklah terlepas dari tujuan penulis, beberapa

(19)

1. Untuk mengetahui kuatnya efek jera dari sanksi pidana perkosaan yang diatur

di dalam KUHP Indonesia dan Hukum Pidana Islam.

2. Untuk mengetahui perbandingan kekuatan efek jera dari sanksi pidana

perkosaan antara Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

3. Mengetahui dampak kekuatan efek jera dari sanksi tindak pidana perkosaan

khususnya bagi terpidana dan umumnya masyarakat luas.

4. Memperdalam Ilmu Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif terutama

pada tujuan pemidanaan.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pembaharuan hukum di Indonesia, yang ketentuannya berdasarkan KUHP

peninggalan Belanda tidak harus mendasarkan pada konsepsi-konsepsi hukum

Barat, melainkan kita juga dapat merujuk dari hukum pidana Islam yang saat

ini sudah banyak dipelajari dan dipahami oleh masyarakat Indonesia.

2. Secara praktis, Hasil penelitian yang berfokus pada kekuatan efek jera terhadap pelaku tindak pidana perkosaan ini diharapkan bisa menjadi bahan

pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi

dan solusi kongkrit bagi para legislator dalam upaya menciptakan efek jera

terhadap pelaku tindak pidana perkosaan. Selebihnya, semoga menjadi bahan

pertimbangan hukum di Indonesia dalam memutuskan perkara dan

(20)

bagi pelaku kejahatan perkosaan terlebih yang banyak meresahkan dan

merugikan masyarakat luas.

D. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang akan digunakan adalah:

1. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif untuk

menemukan kaidah-kaidah dan norma-norma hukum yang merupakan

kebijakan hukum pidana dalam menetapkan sanksi kejahatan perkosaan,

melakukan penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan

penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder

yang ada di perpustakaan.

2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data

sekunder yang dipergunakan terdiri dari bahan hukum primer yang berupa

peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang berupa

dokumen atau risalah perundangan, konsep (rancangan)

undang-undang, hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah para ahli serta ensiklopedi.

3. Metode Pengumpulan Data

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa penelitian ini menggunakan

pendekatan yuridis normatif, oleh karena itu dikategorikan sebagai penelitian

(21)

dalam penelitian ini dengan menggunakan studi dokumen atau bahan pustaka,

terhadap data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier:

a) Bahan hukum primer yang dipergunakan adalah:

Bahan-bahan yang mengikat terdiri dari, al-Qur’an dan al-Hadits, bahan

hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b) Bahan hukum sekunder yang dipergunakan adalah:

Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti

rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian dan hasil karya dari

kalangan hukum seperti, karya tulis, tesis, disertasi, ensiklopedi, dan

wacana dari para ahli yang berhubungan dengan ilmu hukum Islam dan

hukum positif pada pembahasan mengenai pemidanaan.

c) Bahan hukum tersier yang dipergunakan adalah:

Bahan-bahan bacaan yang membantu dan memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus bahasa

Indonesia, internet, buku-buku tentang tata cara dalam melakukan

penelitian hukum dan penulisan karya ilmiah serta hand-out yang dibuat

(22)

4. Tehnik Pengolahan Data

Pengolahan data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan

sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti,

membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk

memudahkan pekerjaan analisa dan konstruksi. Pengolahan, analisa dan

konstruksi data penelitian normatif, pada skripsi ini meliputi:

a. Menarik asas-asas hukum: dilakukan terhadap hukum positif tertulis dan

tidak tertulis serta hukum Islam. Permasalahan yang muncul berkisar

pada dari manakah asas-asas hukum tersebut berasal, atau hal-hal apa

yang mempengaruhi adanya asas-asas hukum tersebut.

b. Menelaah sistematika peraturan perundang-undangan: mengumpulkan

peraturan di bidang tertentu, atau beberapa bidang yang saling berkaitan

yang menjadi pusat perhatian penelitian. Selanjutnya diadakan analisa

dengan mempergunakan, pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum,

yang mencakup: subyek hukum; hak dan kewajiban; sejarah hukum;

hubungan hukum; dan, obyek hukum.

c. Penelitian terhadap taraf sinkhronisasi dari peraturan

perundang-undangan: dilakukan dengan dua titik tolak taraf sinkhronisasi vertikal

(berdasarkan hierarki) dan horisontal (peraturan setara yang mempunyai

hubungan fungsional), adalah konsisten.

d. Perbandingan hukum: menelaah dan membandingkan antara hukum

(23)

perbedaan pandangan, kekuatan hukum, serta sanksi yang diberikan

kepada terpidana.

e. Sejarah hukum: menelaah hubungan antara hukum dengan gejala sosial

lainnya, dari sudut sejarah. Peneliti dapat menjelaskan perkembangan dari

bidang hukum yang diteliti. Kegunaan dari penggunaan metode ini adalah

mengungkapkan fakta hukum masa lampau dan hubungannya fakta

hukum pada masa kini.

5. Metode Analisis Data

Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisa secara kualitatif dengan

cara deskriptif analisis. Penelitian ini bermaksud menggambarkan data yang

diperoleh dan memberi penjelasan terhadap data yang ada, sehingga dapat

memberikan argumentasi tentang daya efek jera dari sanksi kejahatan

perkosaan.

Sesuai dengan data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang

kemudian dianalisa, sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran dan

penjelasan khususnya mengenai daya efek jera pada sanksi pidana yang ditinjau

(24)

E. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

BAB II TINDAK PIDANA PERKOSAAN

Bab ini menjelaskan pengertian tindak pidana, pengertian perkosaan,

sejarah singkat perkosaan, jenis-jenis perkosaan, unsur-unsur tindak

pidana perkosaan, korban perkosaan dan dampak bagi korban

perkosaan, dijelaskan juga dampak medis, sosial, dan psikis.

BAB III PERKOSAAN DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Bab ini menjelaskan seputar pandangan mengenai perkosaaan yang

ditinjau dari hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.

BAB IV ANALISIS DAYA EFEK JERA DARI SANKSI PIDANA PERKOSAAN

Pada bab ini secara singkat dijelaskan pengertian dari efek jera, dan

sanksi. Selain itu penulis menjelaskan sanksi yang diberikan hukum

(25)

bagaimana kekuatannya. Dijelaskan juga ganti rugi untuk korban

perkosaan menurut hukum pidana Islam, dan sedikit manfaat dari efek

jera.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan akhir dari pembahasan yang berisi kesimpulan dari

uraian yang telah dibahas berikut saran-saran yang diberikan oleh

penulis.

(26)

BAB II

TINDAK PIDANA PERKOSAAN

A. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam

hukum pidana Belanda yaitu “Strafbaar feit”. Istilah ini terdapat dalam

Wetboek van Strafrecht Belanda, tetapi tidak ada penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit.1

Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan

dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Sedangkan Van Hamel sebagaimana dikutip oleh Moeljatno

berpendapat “Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)

yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut

dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan” 2

Hazewinkel-Suringa seperti dikutip oleh Lamintang mengartikan

Strafbaar feit sebagai “suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu

telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai

perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan

sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya”. Dalam

buku yang sama Profesor Pompe menyebutkan bahwa Strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan

1

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 67.

2

(27)

terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja maupun tidak sengaja telah

dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku

tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya

kepentingan umum.3

Menurut hukum Islam, pidana adalah terjemahan dari kata Jinayat. Jinayat adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum

yang terperinci dari al-Qur’an dan Hadits.4

Sebagian fuqaha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jinayat adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ mengenai jiwa dan

anggota badannya, yaitu pembunuhan, pelukaan, pemukulan, penjerumusan.

Sebagian fuqaha lain mengatakan bahwa jinayat adalah perbuatan-perbuatan

yang dilarang oleh syara’ mengenai jarimah hudud dan qishas diyat.5

Kejahatan (jarimah/jiyat/dam) didefinisikan oleh Abd al-Qadir Audah sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya

berakibat pada hukuman yang ditentukan-Nya. Larangan hukum berarti

melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang

diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya

dilarang oleh syariat. Dengan kata lain, melakukan (commission) atau tidak

3

Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), h. 181-182

4

Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992), h. 86.

5

(28)

melakukan (ommission) suatu perbuatan yang membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syariat adalah kejahatan.

Definisi kejahatan di atas mengandung arti bahwa tiada suatu perbuatan

baik secara aktif (komisi) maupun secara pasif (omisi) dihitung sebagai suatu

kejahatan atau pelanggaran, kecuali hukuman yang khusus untuk perbuatan

atau tidak berbuat itu telah ditentukan dalam syariat. Singkatnya, jika komisi atau

omisi dari suatu perbuatan tidak membawa kepada hukuman yang ditentukan,

maka perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai suatu kejahatan.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa konsep kejahatan dalam

hukum Barat dan dalam syariat tidak memiliki perbedaan yang jauh.

Para ahli hukum menggunakannya pada setiap perbuatan yang

dinyatakan melawan hukum oleh syariat, baik dilakukan terhadap hidup dan

hak milik seseorang atau terhadap hal lainnya. Mayoritas ahli hukum menerapkan istilah jinayat ini dalam arti kejahatan yang menyebabkan hilangnya hidup dan anggota tubuh seperti pembunuhan, melukai orang,

kekerasan fisik, atau aborsi dengan sengaja. Ahli-ahli hukum lain keberatan jika

istilah ini dipakai untuk kejahatan yang dihukum dengan hudud atau qishash.

Bilamana syariat menyatakan suatu perbuatan sebagai kejahatan

dan mengancamnya dengan hukuman? Perbuatan-perbuatan yang dinyatakan

sebagai kejahatan adalah perbuatan aktif atau pasif yang dapat merusak

(mengganggu) terwujudnya ketertiban sosial, keyakinan, kehidupan individu,

hak milik kehormatan, dan ide-ide yang diterima. Hukuman ditentukan bagi

(29)

semata-mata melarang atau memerintahkan tidak menjamin akan ditaati. Tanpa

sanksi, suatu perintah atau larangan tidak punya konsekuensi apa-apa. Dengan

hukuman, perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki arti yang

legal untuk kepentingan publik. Syariat menentukan hukuman, lebih banyak

sebagai sarana untuk mencapai kebaikan kolektif dan menjaganya.

B. Pengertian Perkosaan

Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi.6 Pada zaman dahulu

perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang isteri. Perkosaan

adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh

seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar

menurut moral dan hukum.7

Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut Rifka Annisa

Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala

bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu

persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang

melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat

kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan.

6

Haryanto, Dampak sosio-psikologis korban tindak perkosaan terhadap wanita,

(Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada, 1997) dalam Ekandari Sulistyaningsih dan Faturochman, Dampak Sosial Psikologis Perkosaan, (Buletin Psikologi, Tahun X, No. 1, Juni 2002), h.3.

7

(30)

Menurut Warshaw (1994), definisi perkosaan pada sebagian besar

negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki

dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap

korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan

korban. Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun

menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan

persetujuan baik secara fisik maupun secara mental. Beberapa negara

menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke

dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa

yang sensitif gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan.

Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan. Selain itu

kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi

pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka

peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam

kategori pencabulan.8

8

(31)

Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan

Black’s Law Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001),

makna perkosaan dapat diartikan ke dalam tiga bentuk:

1. Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita

tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan,

yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa

persetujuan wanita tersebut.

2. Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap

seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan

kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur-unsur

yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang

pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan

dengan kehendak wanita tersebut.

3. Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh

seorang pria terhadap seorang wanita bukan isterinya dan tanpa

persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah

kondisi ancaman lainnya. Definisi hampir sama dengan yang tertera pada

KUHP pasal 285.

Perkosaan adalah suatu bentuk pernyataan akan adanya dominasi,

kekuatan dan penghinaan.

(32)

a denial of heir being. Rape is not passion or lust gone wrong. It is first and foremost an act of aggresion with a sexual manifestation.9

(perkosaan juga merupakan tindak pidana kekerasan ekstrem. Itu adalah ekspresi dari dominasi, kekuasaan dan penghinaan, penolakkan terhadap wanita untuk menentukan nasib sendiri, penyangkalan terhadap dirinya. Perkosaan adalah gairah atau nafsu yang tidak beres. Pertama-tama dan terutama dan bertindak agresif dengan manifestasi sexual).

Di dalam Hukum Pidana Islam jangankan dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan, bersetubuh di luar pernikahan saja sudah tergolong hadd

zina, apalagi disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan

tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta

tanpa adanya unsur subhat.10 Di dalam hadits Rasulullah SAW yang

diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bisa dikatakan zina jika seseorang telah

terjadi penetrasi kelamin laki-laki ke dalam vagina perempuan.

Hadits Rasulullah SAW dalam Tarjamah Bulughul Maram Hadits ke 1234:

“Dari Ibnu ‘Abbas. Ia berkata: Tatkala datang Ma’iz bin Malik kepada Rasulullah (dan mengaku berzina) ia bersabda kepadanya: “Barang kali

engkau cium atau engkau remas atau engkau lihat?” ia jawab: “tidak ya

Rasulullah” (HR. Bukhari).11

9

Chaterine N. Niarchos, “Women, War, and Rape : Challenges Facing The

International Tribunal for the Former Yugoslavia”, dalam Skripsi, Tindak Pidana Perkosaan di waktu Perang, (Universitas Sumatra Utara, 2002), h.20.

10

Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: hlm. 109.

11

(33)

Menurut Riwayat yang lengkap bahwa Ma’iz itu datang kepada Rasulullah

SAW dan mengaku beberapa kali bahwa ia berzina. Di antara itu Rasulullah

ada bersabda: “Barang kali engkau cium saja? Barang kali engkau pegang saja? Barang kali engkau lihat saja?” sesudah ia menolak semua “barangkali”

itu baru Rasulullah SAW bertanya: “Apakah betul-betul engkau telah

setubuhi dia?” Ia jawab: Betul-betul. Sabdanya: “Apakah seperti masuknya

batang celak di lobang cepunya dan seperti masuknya tali timba di perigi?” Ia

jawab: Betul. Sabdanya:”Apakah engkau mengetahui apa zina itu?”

Jawabnya: tahu, saya telah kerjakan terhadap perempuan itu dengan cara haram apa yang seseorang kerjakan terhadap perempuan itu dengan cara

halal. Sabdanya:”Engkau mau apa?” Jawabnya: Saya mau paduka tuan

bersihkan saya. Maka rasulullah SAW perintah supaya rajam dia.12

Dalam hal kejahatan perkosaan, hanya orang yang melakukan

pemaksaan saja (si pemerkosa) yang dijatuhi hukuman. Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa hukuman si pemaksa itu bisa dijatuhkan baik untuk

laki-laki maupun untuk perempuan.13 Namun sejauh pengetahuan penulis

jarang sekali ditemukan yang pelakunya adalah wanita, bahkan tidak

mungkin terjadi penetrasi, bila ia (laki-laki) benar-benar dipaksa oleh pihak

wanita.

C. Sejarah Singkat Perkosaan

Di zaman kuno hingga akhir abad pertengahan, pemerkosaan pada

umumnya tidak dianggap sebagai kejahatan terhadap seorang gadis atau

perempuan, melainkan lebih kepada pribadi sang laki-laki yang

"memilikinya". Jadi, hukuman atas pemerkosaan seringkali berupa denda,

yang harus dibayarkan kepada sang ayah atau suami yang mengalami

"kerugian" karena "harta miliknya" "dirusak". Posisi ini kemudian diubah di

12 Ibid 13

Safwat, Op.Cit., h.65. dalam Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam

(34)

banyak lingkungan budaya karena pandangan bahwa, seperti halnya sang

"pemilik", si perempuan itu sendiripun mestinya ikut mendapatkan ganti

ruginya.14

Pemerkosaan dalam peperangan juga pernah terjadi di zaman kuno

sehingga disebutkan pula di dalam Alkitab, misalnya di dalam kisah tentang

kaum perempuan yang diculik sebagai hadiah kemenangan.

Tentara Yunani, kekaisaran Persia dan kekaisaran Romawi, secara

rutin memperkosa kaum perempuan maupun anak-anak lelaki di kota-kota

yang ditaklukkan. Perilaku yang sama masih terjadi bahkan hingga tahun

1990-an, ketika pasukan-pasukan Serbia yang menyerang Bosnia dan

Kosovo, melakukan kampanye yang penuh perhitungan dengan memperkosa

kaum perempuan dan anak-anak lelaki di daerah-daerah yang mereka

kuasai.15

Hal yang sama pun terjadi di Indonesia. Kabarnya di Timor Timur,

ketika masih menjadi bagian Indonesia, kaum perempuannya seringkali

diperkosa sebagai bagian dari perang psikologis untuk menekan semangat

untuk berontak. Demikian pula dalam kerusuhan Mei 1998, dilaporkan

banyak kaum perempuan keturunan Tionghoa yang diperkosa dan dibunuh

sebagai bagian dari strategi untuk mengancam mereka.16

Pemerkosaan, sebagai strategi perang, dilarang oleh hukum militer

yang disusun oleh Richard II dan Henry V (masing-masing tahun 1385 dan

14

http://www.wikipedia.com-definisi-perkosaan.html, artikel diakses pada sabtu, 08 Januari 2011, pukul 22.03

15 Ibid. 16

(35)

1419). Hukum-hukum ini merupakan dasar untuk menjatuhkan hukuman dan

mengeksekusi para pemerkosa pada masa Perang Seratus Tahun

(1337-1453).17

D. Jenis-Jenis Perkosaan

Ada beberapa macam tipe perkosaan yang dikenal, hal ini juga dapat

menggambarkan alasan-alasan dilakukannya perkosaan terhadap perempuan:18

1. Sadistic Rape

Dalam jenis ini seksualitas dan agresi bercampur menjadi satu rasa geram

dan kekejaman, serta tindakan-tindakan merusak.

2. Anger Rape

Adalah penyerangan seksual di mana seksualitas menjadi sara untuk

mengekspresikan dan melaksanakan hasrat kemarahan yang tertahan, dan

ini ditandai dengan kebrutalan secara fisik.

3. Domination Rape

Motif dari pemerkosa adalah untuk mendemontrasikan kekuatannya dan

kekuasaannya atas si korban.

4. Seduction-turned Intor-rape

Penyerangan seksual timbul dalam situasi menggairahkan yang “diterima”

tetapi di mana korban memutuskan atau sebelumnya telah memutuskan

bahwa keintiman pribadi akan dihentikan segera sesudah “coitus”.

17 Ibid. 18

(36)

5. Exploitation Rape

Merujuk pada suatu tipe di mana si pria memperoleh keuntungan dari

mudah diserangnnya si perempuan karena perempuan tersebut tergantung

secara ekonomi atau bantuan sosial, atau karena kurangnya perlindungan

hukum bagi si perempuan.

Berdasarkan kelima tipe perkosaan tersebut diatas, tiga dari kelima

tipe tersebut menggambarkan bahwa perkosaan dilakukan sebagai

pelampiasan dari rasa marah, kekejaman, kegeraman dan penunjukkan

kekuatan dari pelakunya.

E. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perkosaan

Jika kita lihat dari KUHP Indonesia, unsur-unsur tindak pidana

perkosaan terdiri sebagai berikut:

1. Perbuatannya: Memaksa

Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan

dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tersebut menerima

kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri.

2. Caranya:

a) Kekerasan

kekerasan dalam pengertian Pasal 285 (kekerasan yang disebut

(37)

(sifatnya abstrak) yang ditujukan pada orang lain yang untuk

mewujudkannya disyaratkan dengan menggunakan kekuatan badan

yang besar, kekuatan badan mana mengakibatkan bagi orang lain itu

menjadi tidak berdaya secara fisik. Karena dalam keadaan yang tidak

berdaya itulah, orang yang menerima kekerasan terpaksa menerima

segala sesuatu yang akan diperbuat terhadap dirinya (walaupun

bertentangan dengan kehendaknya), atau melakukan perbuatan sesuai

atau sama dengan kehendak orang yang menggunakan kekerasan yang

bertentangan dengan kehendaknya sendiri.

b) Ancaman Kekerasan

Ancaman kekerasan adalah ancaman kekerasan fisik yang ditujukan

kepada orang, yang pada dasarnya juga berupa perbuatan fisik,

perbuatan fisik dapat saja berupa perbuatan persiapan untuk

dilakukannya perbuatan fisik yang besar atau lebih besar, berupa

kekerasan yang akan dan mungkin segera dilakukan/diwujudkan,

kemudian bilamana ancaman itu tidak membuahkan hasil sebagaimana

yang diinginkan pelaku.

3. Objek: Seorang perempuan bukan isterinya

Perempuan yang tidak terikat pernikahan olehnya, siapapun perempuan

tersebut, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal.

4. Bersetubuh

(38)

F. Korban Perkosaan

Pada kasus perkosaan sering kali disebutkan bahwa korban perkosaan

adalah perempuan. Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi

korban perkosaan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual

meskipun tidak menghendaki hal tersebut.19 Apabila mengacu pada KUHP,

maka laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat

laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan

rangsangan yang diterima oleh tubuhnya dan direspon oleh alat kelaminnya.

Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban

perkosaan baik secara oral maupun anal.

Alasan lainnya yang menyebabkan perempuan sangat rentan terhadap

tindak kekerasan perkosaan dalam perang adalah karena adanya pandangan

bahwa perempuan adalah milik kaum laki-laki20

G. Dampak Bagi Korban Perkosaan

a. Dampak Medis

Perkosaan bisa menimbulkan lecet pada vagina perempuan atau

luka fisik lain yang menyakiti. Ini terjadi bila perbuatan tersebut dilakukan

dengan jangka waktu yang lama dan bila seseorang sedang terpengaruh

19

Ekandari Sulistyaningsih dan Faturochman, Dampak Sosial Psikologis Perkosaan, (Buletin Psikologi, Tahun X, No. 1, Juni 2002), h.6.

20

Sulistyowati Irianto, “Menumbuhkan Budaya Hukum Baru Anti Kekerasan

Terhadap Perempuan” (makalah disampaikan dalam Sesi tentang Kesukubangsaan dan

negara” dalam Seminar Jubileum ke-30 Jurnal Antropologi Indonesia “Memasuki Abad

ke-21 : Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya Bangsa”, di Pusat Studi

(39)

oleh minuman keras atau obat.21 Dalam beberapa kasus, perempuan

bahkan bisa saja mengalami memar wajah, luka kepala, pecah bibir,

patahnya gigi depan, dan perihnya pendarahan vagina. Ini biasanya

diakibatkan perlakuan kasar dalam sebuah hubungan seks. Akibat lain dari

hubungan seks yang dipaksakan adalah sulitnya proses persalinan, bayi

lahir premature, dan bahkan keguguran.22

b. Dampak Sosial

Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik

secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat

dialami oleh korban antara lain: (1) kerusakan organ tubuh seperti

robeknya selaput dara, pingsan, meninggal; (2) korban sangat mungkin

terkena penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan tidak dikehendaki.

Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan

dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan

menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban

perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan

adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang

akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar,

apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku

seksual.

21

Nurul Ilmi Idrus, Marital Rape, h. 71, dalam Milda Marlia, Marital Rape (Kekerasan Seksual Terhadap Isteri), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), h. 24.

22

(40)

Situasi dalam masyarakat seringkali dapat memperburuk trauma

yang dialami oleh korban. Media massa juga memiliki pengaruh terhadap

keadaan yang dirasakan oleh korban. Pada kasus-kasus perkosaan, media

massa memiliki peranan dalam membentuk opini masyarakat tentang

korban perkosaan. Baik buruknya korban perkosaan dapat dipengaruhi

oleh cara penulisan berita tersebut. Selama ini, para wartawan cenderung

menggunakan bahasa denotatif dalam mendeskripsikan runtutan peristiwa

perkosaan, termasuk deskripsi tentang korban sehingga posisi korban

dalam pandangan masyarakat semakin lemah.

Ada stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa

perempuan korban perkosaan adalah perempuan yang hina. Ada pula

pandangan yang mengatakan bahwa dalam sebuah kasus perkosaan, yang

salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban perkosaan seringkali

dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah

mengenai perkosaan. Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat

memberi “label” bahwa perempuan korban perkosaan sengaja “menggoda”

dan “menantang” laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat,

berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa. Hal seperti ini akan membuat korban

semakin takut untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya.

Korban akan merasa bahwa dirinya telah merusak nama baik keluarga,

(41)

membuat korban enggan untuk menceritakan pengalamannya kepada

orang-orang di sekitarnya karena takut menerima “vonis” dari lingkungan.

c. Dampak Psikis

Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam

bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk

terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh

kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula

yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain,

berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya

kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami

trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan

dorongan yang kuat untuk bunuh diri.

Secara Psikis Perkosaan bisa menimbulkan kekecewaan yang

berkepanjangan atau ketakutan dan trauma berhubungan seks. Akibat lain

perempuan tidak lagi percaya diri. Pada tingkat yang luar biasa,

perempuan akan mengalami ketakutan yang luar biasa (semacam

paranoia), sampai-sampai ia merasa terus terancam oleh lingkungannya.23

Selanjutnya, perkosaan juga bisa membuat perempuan mengalami

dampak psikis jangka pendek (short term effect) dan jangka panjang (long term effect). Dampak psikis jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Korban biasanya marah, jengkel, merasa

malu, dan terhina. Gangguan emosional ini pada beberapa kasus ditandai

23

(42)

dengan gejala sulit tidur (insomnia) dan berkurangnya selera makan (lost apetite).24

Adapun dampak psikis jangka panjang adalah timbulnya sikap atau

persepsi negatif terhadap laki-laki dan seks terhadap trauma yang ia

tanggung. Trauma adalah “luka jiwa” yang diderita seseorang usai

mengalami hal-hal yang dirasanya di luar batas wajar atau abnormal.25

Kadangkala ketakutan yang dialami oleh korban membuat ia tidak

berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan mengalami

ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban

dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain.

Posisi ini membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain,

bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula

menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya.

24

Elli Nur Hayati, Panduan Untuk Pendamping, h. 45-46. 25

(43)

BAB III

PERKOSAAN DALAM PANDANGAN

HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pandangan Hukum Pidana Positif

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pengertian

perkosaan tidak terlepas dari pengertian kesusilaan karena perkosaan

merupakan salah satu kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Bab XIV Pasal

2851, 2862, dan 2873, dan 2884 KUHP. Istilah kesusilaan berasal dari kata

susila yang berarti beradab, sopan, tertib, atau adat istiadat yang baik. Kesusilaan karenanya berarti sesuatu yang terkait dengan adab atau sopan

santun.5 Sedangkan delik kesusilaan adalah segala perbuatan yang dapat

dikenai hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap aturan

undang-undang.

1 “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memerkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun”. Lihat R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Politeia, 1996), h. 210.

2 “Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, se dang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak berdaya, dihukum penjara

selama-lamanya 9 tahun”. Ibid., h. 211.

3 “Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya 9 tahun”. Ibid.

4

(1) Barang siapa bersetubuh dengan isterinya yang diketahuinya atau harus patut disangkanya bahwa perempuan itu belum masanya untuk dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya 4 tahun, kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka. (2) Kalau perbuatan itu menyebabkan perempuan mendapat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 8 tahun. (3) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian perempuan itu, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun. Ibid., h. 212.

5

(44)

Perkosaan sebagai delik kesusilaan diartikan: pertama, kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan untuk bersetubuh di luar

perkawinan. Kedua, Kekerasan atau ancaman kekerasan dengan memaksa perempuan yang bukan isterinya untuk melakukan hubungan seksual

sebagaimana dalam Pasal 285 KUHP. Oleh karena itu, sebuah perbuatan

disebut perkosaan jika di dalamnya terdapat unsur: (1) kekerasan atau

ancaman kekerasan yang membuat si perempuan tidak mampu menolak, (2)

keterpaksaan perempuan dalam melakukan hubungan biologis, dan (3)

hubungan biologis terjadi secara nyata.6

Unsur-unsur perkosaan yang melekat pada Pasal 285 KUHP itu

dikembangkan lagi oleh Pasal 389 Rancangan KUHP Nasional. Dalam

rancangan KUHP Nasional, perbuatan disebut perkosaan bila: (1)

bertentangan dengan kehendak korban, (2) tanpa persetujuan korban, (3)

dengan persetujuan korban, tapi persetujuan itu dicapai lewat ancaman, (4)

dengan persetujuan korban, sebab korban percaya bahwa pelaku adalah

suaminya yang sah atau pelakunya orang yang seharusnya disetujui, dan (5)

dengan persetujuan korban, namun korban berumur di bawah 14 tahun.7

Kini, penerapan pasal-pasal delik kesusilaan, khususnya Pasal 285

KUHP dirasa belum sepenuhnya memperdulikan rasa keadilan. Vonis yang

dijatuhkan untuk para pelaku perkosaan ternyata sering tidak mencapai

setengah dari besarnya sanksi yang terdapat pada pasal-pasal tersebut,

padahal penderitaan yang ditanggung korban sedemikian besar dan nyaris tak

6

Muyassarotussolichah, Ibid, h. 344. 7

(45)

terbayangkan. Korban mengalami stress, depresi, trauma, dan bahkan

kegilaan pada akhirnya.

Reformasi hukum di Indonesia antara lain terjadi dengan dikeluarkan

dan dibahasnya RUU KUHP. Akan tetapi, pasal-pasal perkosaannya belum

juga menunjukan pembelaan pada kesederajatan laki-laki dan perempuan.

Kian maraknya tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya

perkosaan, terkait erat dengan lemahnya penegakan hukum (law enforcement)

dan lunaknya ancaman hukuman. Pasal 423 RUU KUHP, sebagaimana

dikutip oleh Aroma Almina Martha, menyebutkan ketentuan-ketentuan

perkosaan sebagai berikut:

1. Tindak Pidana perkosaan dipidana dengan penjara paling lama 12 tahun

dan paling singkat 3 tahun. Sedangkan tindak pidana perkosaan yang

dimaksud adalah:

a. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, bertentangan

dengan kehendak perempuan.

b. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan tanpa

persetujuan.

c. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan sedang

persetubuhan itu terwujud lewat ancaman pembunuhan atau pelukaan.

d. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan karena

perempuan percaya bahwa ia suaminya yang sah.

e. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan berusia 14

(46)

f. Laki-laki melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal

diketahuinya si perempuan tidak berdaya dan pingsan.

2. Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, bila dalam keadaan

sebagaimana dimaksud ayat (1):

a. Laki-laki memasukkan penisnya ke anus atau mulut si perempuan.

b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian

tubuh ke vagina atau anus si perempuan.

Selanjutnya bandingkan dengan pasal 285 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memerkosa, dengan hukuman selama-lamanya 12 tahun”8

Rumusan Pasal 285 KUHP ini dinilai masih sangat sederhana dan

tidak memadai. Pasal 423 RUU KUHP karenanya merasa perlu melakukan

perubahan mendasar terhadapnya. Pasal 423 RUU KUHP menyebutkan

tentang ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Perkosaan terjadi sebab tipu daya atau penyesatan, sehingga si perempuan

menduga pelaku adalah suaminya.

2. Perkosaan terjadi sebab mudanya usia korban (dibawah 14 tahun) karena

pada usia ini, perempuan dianggap belum bisa menentukan kehendaknya

dengan nalar.

3. Perkosaan tidak hanya terkait dengan persetubuhan (sexsual intercourse), tetapi juga dengan bentuk-bentuk kekerasan atau serangan seksual lain.

4. Hukuman minimal bagi tindak pidana perkosaan adalah 3 tahun penjara.9

8

(47)

Ketentuan tentang perkosaan dalam Rancangan KUHP di atas

sesungguhnya melindungi posisi perempuan sebagai korban. Unsur-unsur

pasalnya jauh lebih luas, variatif, dan ampuh dalam menjerat pelaku. Carol

Smart, seperti dikutip Nursyahbani Katjasungkana, berpendapat, lemahnya

kedudukan perempuan sesungguhnya merupakan konsekuensi perbedaan

seksualitas manusia.10

B. Pandangan Hukum Pidana Islam

Di dalam hukum pidana Islam perkosaan tergolong ke dalam jarimah

takzir, karena tidak memenuhi unsur jarimah zina, hukuman diterapkan kepada pemerkosa dan tidak ada hukuman yang diterapkan kepada orang

yang diperkosa. Jika pemerkosa itu budak, maka menjadi tanggung jawab

tuannya, kecuali ia mau menyerahkannya.11

Islam adalah agama yang rahmatan lil „alamin, yang mengajarkan

kesamaan hak. Terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan, Islam

mengakui dan mengajarkan kesamaan hak bagi laki-laki dan perempuan

(sexual equality).12 Sejumlah ayat al-Qur’an menegaskan:

9

Aroma Elmina Martha, Perempuan, h. 56-57. Dalam, Milda Marlia, Marital Rape (Kekerasan Seksual Terhadap Isteri), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2007), h. 39.

10

Dikutip oleh Nursyahbani Katjasungkana, Aspek hukum kekerasan Terhadap Perempuan, dalam Potret Perempuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 96.

11

Imam Malik ibn Anas, Al-Muwatta’, (Kumpulan Hadis dan Hukum Islam Pertama), diterjemahkan oleh Dwi Surya Atmaja dari Al-Muwatta of Imam Malik Ibn Anas The First, transleted by Aisha Abdurrahman Bewley, cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo, 1999), h. 416.

12

(48)

















“Hai Manusia, Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi

Allah adalah yang paling taqwa.” (Q.S. al-Hujurat 49:13).









“Siapapun, laki-laki dan perempuan yang beramal shaleh dan beriman,

niscaya Kami berikan kehidupan yang baik.13 Dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S al-Nahl 16:97).

























Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, keinginan berkomunikasi pembina dan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Anak Pekanbaru ternyata adanya kecendrungan yang

Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk menguji efektivitas peningkatan Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial dan Belanja Bantuan Keuangan melalui pengaruh ketiga pos

Berdasar penelitian ini dapat dikemukakan hal-hal yang berkaitan dengan tindakan sosial Max weber dalam praktek tata tertib sekolah sebagai sarana pendidikan moral di SMAN 1

nilai Set Shoot sebesar 20,38 sedangkan Jump Shoot sebesar 18,63 dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai hasil latihan shooting dengan awalan dan nilai hasil

ANALISIS PERBANDINGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH

Adapun penelitian ini dibatasi hanya pada faktor petunjuk produk untuk merek (brand), desain (design) dan harga (proce) serta pengaruhnya terhadap niat beli (purchase

Form kasir digunakan user untuk mengolah transaksi yang terjadi di kasir, jika user ingin melakukan memulai transaksi maka tekan tombol tambah, jika user ingin

Maka dapat disimpulkan bila presuposisi itu di ambil dari sebuah pernyataan dalam bentuk percakapan atau komunikasi maka presuposisi itu pasti memiliki