• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAHAPAN HUKUM ACARA PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TAHAPAN HUKUM ACARA PIDANA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Tahapan Hukum Acara Pidana

Pemeriksaan Alat Bukti Lain Penghentian Penyidikan Pra penuntutan

Umum

Penyerahan Berkas, Terdakwa dan Alat Bukti Penahanan

Penyidikan Lanjutan Surat Dakwaan

Pelimpahan Berkas ke Pengadilan Penghentian Penuntutan

Hak dan Perlindungan Pra peradilan

Persidangan

Persidangan Pengadilan Tingkat Pertama Acara Pemeriksaan Biasa

Umum

(2)

Acara Pemeriksaan Singkat Umum

Dakwaan Putusan

Acara Pemeriksaan Cepat Umum

Putusan

Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Umum

Putusan

Persidangan Pengadilan Tingkat Banding Umum

Penahanan

Permohonan Banding Pemeriksaan

Putusan

Persidangan Pengadilan Tingkat Kasasi Umum

Penahanan

Permohonan Kasasi Pemeriksaan

Putusan

Upaya Hukum Luar Biasa Umum

Kasasi Demi Kepentingan Hukum Peninjauan Kembali

Pasca Persidangan Umum

Pelaksanaan Putusan

Perampasan / Pemusnahan Barang Sitaan Hak Terpidana

Hakim Pengawas dan Pengamat Ganti Kerugian, Kompensasi, Restitusi Rehabilitasi

Grasi

Definisi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Pasal 1 Angka 24

Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

Pasal 1 Angka 25

(3)

Subyek dan Kewenangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Pasal 5

(1) Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 :

a. karena kewajibannya mempunyai wewenang :

1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.

Pasal 108

(1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.

(2) Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.

(3) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Pasal 19

(1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18, penyelidik berwenang :

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti.

Penjelasan Pasal 19

Pelaksanaan "penyelidikan" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai rangkaian tindakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam lingkup projustisia.

Ayat (1)

Huruf b.

Yang dimaksud dengan "menerima" adalah menerima, mendaftar, dan mencatat laporan atau pengaduan tentang telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dan dapat dilengkapi dengan barang bukti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia

Pasal 15

(4)

a. menerima laporan dan/atau pengaduan;

f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.

g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

i. mencari keterangan dan barang bukti;

Penjelasan Pasal 15

Ayat (1)

Huruf f

Tindakan kepolisian adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat.

Huruf i

Keterangan dan barang bukti dimaksud adalah yang berkaitan baik dengan proses pidana maupun dalam rangka tugas kepolisian pada umumnya.

Tata Cara

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Pasal 5

(2) Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.

Pasal 102

(1) Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang 'patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

Pasal 103

(1) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda-tangani oleh pelapor atau pengadu.

(2) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik.

(3) Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut.

Pasal 108

(4) Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditanda-tangani oleh pelapor atau pengadu.

(5)

(6) Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga

Pasal 20

Kepolisian segera menyampaikan kepada korban tentang :

a. identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;

b. kekerasan dalam rumah tangga adalah kejahatan terhadap martabat kemanusiaan; dan

c. kewajiban kepolisian untuk melindungi korban.

Pasal 26

(1) Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara.

(2) Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan

kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara

Pasal 27

Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Prinsip Dasar Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 24

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pasal 28D

1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28G

1. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

(6)

1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

3. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah.

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia

Pasal 5

Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina.

Pasal 6

Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.

Pasal 7

Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.

Pasal 8

Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum.

Pasal 9

Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang.

Pasal 10

Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.

Pasal 11

1. Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang perlukan untuk pembelaannya.

2. Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu tindak pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut

(7)

Pasal 12

Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini.

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

Pasal 7

Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.

Pasal 9

1. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.

2. Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan terhadapnya.

3. Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada

pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian.

4. Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum.

5. Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugian yang harus dilaksanakan.

Pasal 10

1. Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia.

2. Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, harus dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana;

3. Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.

4. Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka.

(8)

1. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan

keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali

bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.

2. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.

3. Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh:

a. Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang

dikenakan terhadapnya;

b. Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri;

c. Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya;

d. Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk

diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya;

e. Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya;

f. Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang

digunakan di pengadilan;

g. Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.

4. Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka.

5. Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali

terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum.

6. Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian

ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan

(9)

7. Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Pasal 2

(4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 3

(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 4

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 6

(1) Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Pasal 7

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 8

(1) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 9

(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

Pasal 13

(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

(10)

Pasal 17

(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.

(2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.

(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.

(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia

mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara

Pasal 56

(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.

Pra peradilan

Definisi

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Pasal 1 Angka 10

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Subyek dan Kewenangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Pasal 77

Pengadilan negeri berwenang untuk meriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

(11)

Penjelasan Pasal 77

Yang dimaksud dengan "penghentian penuntutan" tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.

Pasal 78

(1) Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan.

Tata Cara

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Pasal 79

Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Pasal 80

Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Pasal 81

Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.

Pasal 82

(1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut :

a. dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan , hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;

b. dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;

c. pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;

d. dalam hal suatu perkara sudah mulai. diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur;

(12)

(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan mengenai hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.

(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut :

a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;

b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau pentuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;

c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dican tumkan rehabilitasinya;

d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.

(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang meliputi hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95.

Pasal 83

(1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81tidak dapat dimintakan banding.

(2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

Pasal 124

Dalam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini.

Tata Cara

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

Pasal 63

(13)

Selayang Pandang Hukum Acara Pidana

Secara umum hukum acara pidana (criminal procedure law) dikenal dengan hukum pidana formil yang mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alat kekuasaannya harus bertindak untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana berfungsi untuk mencari dan menemukan kebenaran melalui proses pembuktian, sebelum hakim sampai pada keputusannya dan kemudian putusan tersebut dilaksanakan. Dalam pengertian lain, hukum acara pidana

berfungsi untuk menjalankan atau mempertahankan hukum pidana materiil yang tujuan akhirnya adalah guna mencapai ketertiban, keamanan, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat.

Hukum acara pidana merupakan bagian dari hukum publik yang esensinya mempertahankan hukum pidana materiil. Oleh karena itu sifat dari hukum acara pidana adalah ketentuan-ketentuannya bersifat memaksa guna melindungi kepentingan bersama dalam menjaga rasa aman, tentram dan damai dalam hidup bermasyarakat. Disamping itu, sifat hukum acara pidana memiliki dimensi perlindungan hak asasi manusia yang harus melindungi kepentingan dan hak-hak orang yang sedang dituntut sebagai tersangka atau terdakwa.

Hukum acara pidana menghendaki agar orang yang sedang diproses dan dituntut hukum, mendapat perlakuan secara adil, sehingga terhindar dari kesalahan dalam mengadili seseorang (error in persona), menjunjung asas praduga tak bersalah, diadili sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dikenakan pidana sesuai dengan bukti-bukti yang terungkap dimuka persidangan, dan lain sebagainya. Semua hal itu, sebagai perwujudan dan konsekwensi logis dari negara hukum yang mesti menjamin dan melindungi hak asasi manusia setiap warga negara.

(14)

terpencar dari jiwa bangsa Indonesia dari abad ke abad yang hidup dan terpelihara di tengah-tengah masyarakat.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, adanya perubahan perundang-undangan di negeri Belanda yang dengan asas konkordansi diberlakukan pula di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848. Pada masa itu di Indonesia dikenal beberapa kodifikasi peraturan hukum acara pidana, seperti reglement op de rechterlijke organisatie (RO. Stb 1847-23 jo Stb 1848-57) yang mengatur mengenai susunan organisasi kehakiman; Inladsch reglement (IR Stb 1848 Nomor 16) yang mengatur tentang hukum acara pidana dan perdata di persidangan bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia dan Timur Asing; reglement op de strafvordering (Stb. 1849 nomor 63) yang mengatur ketentuan hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan yang

dipersamakan; landgerechtsreglement (Stb 1914 Nomor 317 jo Stb. 1917 Nomor 323) mengatur acara di depan pengadilan dan mengadili perkara-perkara sumir untuk semua golongan

penduduk. Disamping itu diterapkan pula ordonansi-ordonansi untuk daearah luar Jawa dan Madura yang diatur secara terpisah.

Dalam perkembangannya ketentuan “Inlandsch Reglement” diperbaharui menjadi “Het Herzien Inlandsch Reglement” (HIR), yang mendapat persetujuan Volksraad pada tahun 1941. HIR ini memuat reorganisasi atas penuntutan dan pembaharuan peraturan undang-undang mengenai pemeriksaan pendahuluan. Dengan hadirnya HIR ini, muncullah Lembaga Penuntut Umum (Openbare Ministrie) yang tidak lagi dibawah pamongpraja, tetapi langsung berada dibawah Officer van Justitie dan Procucuer General.

Pada pendudukan Jepang pada umumnya tidak terjadi perubahan yang fundamental kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan unttuk golongan Eropa. Dengan demikian acara pidanapun tidak berubah. HIR dan reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechtreglment berlaku untuk pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan pengadilan agung.

Setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, dilakukan berbagai upaya perubahan dengan mencabut dan menghapus sejumlah peraturan masa sebelumnya, serta melakukan unifikasi hukum acara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara semua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Dalam hal ini, melalui penerapan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Drt tahun 1951 ditegaskan, untuk hukum acara pidana sipil terhadap penuntut umum semua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, masih berpedoman pada HIR dengan perubahan dan tambahan.

Barulah pada tahun 1981, melalui UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), segala peraturan yang sebelumnya berlaku dinyatakan dicabut. KUHAP yang disebut-sebut sebagai “karya agung” bangsa Indonesia merupakan suatu unifikasi hukum yang diharapkan dapat memberikan suatu dimensi perlindungan hak asasi manusia dan

keseimbangannya dengan kepentingan umum. Dengan terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap. Dalam arti, seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) penyelidikan sampai pada kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.

Namun demikian dalam penerapannya, KUHAP masih memerlukan aturan pelaksana yang diatur oleh lembaga masing-masing (kepolisan, kejaksaan dan pengadilan). Selain itu dalam

perkembangannya sekarang, terutama sebagai akibat dari pengaruh perkembangan tekonologi yang mempengaruhi system pembuktian, pengaturan yang ada didalam KUHAP dipandang sudah tidak memadai lagi. Pandangan dan perkembangan nilai yang ada didalam masyarakat, baik didalam lingkungan nasional maupun global juga berpengaruh terhadap cara-cara

penanggulangan tindak kriminal atau kejahatan yang demikian kompleks. Sehingga kemudian mengakibatkan munculnya berbagai prosedur yang secara khusus dibuat, yang berbeda dengan KUHAP dan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Referensi

Dokumen terkait

Mengangkat kembali Bapak Gandi Sulistiyanto Soeherman sebagai Presiden Komisaris Perseroan dan mengangkat kembali Bapak Deddy Saleh, Bapak Sarwono Kusumaatmadja,

menggunakan metode team quizberbasis Lesson study, hal ini sesuai dengan hasil angket yang diperoleh yakni dari 32 siswa 28 siswa setuju berdasarkan hasil angket

Hubungan dari 4 aspek tersebut didapatkan hasil pada jumlah stomata dengan panjang dan lebar stomata memiliki nilai korelasi yang negatif, sehingga dengan meningkatnya

Adapun bahan pakan ternak dalam penelitian ini yang akan digunakan untuk menyusun ransum alternatif sapi perah pada peternakan sapi perah Bestcow Farm Jember

Konseling rasional emotif digunakan untuk membantu siswa-siswa yang mengalami kecemasan dan pada siswa yang mengalami masalah-masalah pribadi. Dalam penerapannya konseling

Prinsip pengangkatan anak menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam

Dalam pengujian densitas hal yang harus dilakukan adalah mempersiapkan alat dan bahan, selanjutnya memasukkan sample kedalam gelas ukur yang berkapasitas 50 ml dengan

Tambahan lagi, universiti yang bertindak sebagai pembekal tenaga kerja (mahasiswa) kepada industri perlu menekankan faktor- faktor jangka panjang seperti latihan dalam pekerjaan,