• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prevalensi Penderita Kusta Dengan Kecacatan di Poli Penyakit Kulit & Kelamin RSUP HAM tahun 2013-2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prevalensi Penderita Kusta Dengan Kecacatan di Poli Penyakit Kulit & Kelamin RSUP HAM tahun 2013-2015"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Kosasih A, Wisnu IM, Emmy, Daili ES, et al. IlmuPenyakitKulitdanKelamin: Kusta. Ed ke6. Jakarta: Universitas Indonesia; 2011. 73p.

2. World Health Organization. Weekly epidemiological record World Health

Organization. Global leprosy update2014: need for early case detection.

2015; (36): 461-7. (dariwww.who.int/werdiaksespada 12 April 2016)

3. Yudianto, Budijanto D, Hardhana B, et al. Profilkesehatan Indonesia 2014: Angkaprevalensidanangkapenemuankasusbarukusta (NCDR) tahun 2008-2014. Jakarta: KementrianKesehatan RI; 2015. 144 p. (daridepkes.go.id diaksespada 12 April 2016)

4. Adhyatma, Lapian AR, Andy AL, et al. PedomanNasional Program PengendalianKusta. Jakarta : 2012. 8-137p (dariperpustakaan.depkes.go.id diaksespada 12 April 2016)

5. Santos VS, Matos AM, Oliveira LS, et al. Clinical variables associated with disability in leprosy cases in northeast Brazil. J Infect DevCtries. 2015; 9 (3): 234. (darijidc.org diaksespada 12 April 2016)

6. Monteiro LD, Martins-Melo FR, Brito AL, et al. Physical disability at diagnosis of leprosy in a hyperendemic area of Berazil: trens and associated factors. J Heukelbach. 2015 Agu 14; 86: 244.(darilepra.org.uk diaksespada 12 April 2016)

7. Arini AW. Characteristics of leprosy patients in Jakarta. J Indon Med Assoc. 2012 Nov; 62 (11): 426-7. (dariIndonesia.digitaljournals.org diaksespada 12 April 2016)

8. Brakel WH, Sihombing B, Djarir H, et al. Disability in people sffected by leprosy: the role of impairment, activity, social participation, stigma and discrimination. Glob Health Action. 2012 Juli 19; 5: 4. (darihttp://dx.doi.orgdiaksespada 29 Mei 2016)

9. Indriani YA, Santoso B. UpayaPerMaTa (PerhimpunanMandiriKusta) dalammembangunkapitalsosialpadakomunitas orang kusta di KecamatanJenggawahKabupatenJember. E-Sospol. 2014 Januari; 1(1): 83-4. (darijurnal.unej.ac.id diaksespada 29 Mei 2016)

10.Robin GB, Tony B. Lecture Notes Dermatologi: Lepra. Ed ke8. Jakarta: Erlangga, 2005. 24 p.

11.Oentari W, Menaldi SL. Kapitaselektakedokteran I. Ed ke4.Tanto C, et al, editor. Jakarta: media Aesculapius, 2014. 312 p.

12. Manyullei S, et al. Gambaranfaktor yang berhubungandenganpenderitakusta di KecamatanTamalate Kota Makassar. Indonesia Journal of Public Health. 2012 Jul; 1 (1) : 10-17. (dariArc.Com.Healthdiaksespada 29 Oktober 2016) 13. Dimri D, et al. Leprosy continues to occur in Hilly Areas of North India.

Hindawi Publishing Corporation. 2015 Dec 27; 2016: 1-4 (darihttp://dx.doi.orgpada 29 Oktober 2016)

(2)

15. Brakel W, Sihombing B, Djarir H, et al. Disability in people affected by leprosy: the role of impairment, activity, social participation, stigma and discrimination.GlobHeatlh Action. 2012 Jul 19; 5: 1-11 (darihttp://dx.doi.orgpada 29 Oktober 2016)

16.Sales AM, Leon AP, Duppre NC, et al. Leprosy among patient contacts: A multilevel study of risk factor. Neglected Tropical Diseases. 2011 Mar; 5 (3): 5 (dariwww.plosntds.orgpada 26 November 2016)

17. Kurnianto J. Faktor-faktorrisiko yang berhubungandengankecacatanpenderitakusta di KabupatenTegal.Semarang : 2002. 61-62p (dari eprints.undip.ac.idpada 11 November 2016)

18. Vivier A. Atlas of Clinical Dermatology: Tropical infection of the skin. Ed ke4. London: Elsevier Limited; 2013. 365p.

19. Laoming KE, at al. Faktor-faktor yang berhubungandengankecacatanpadapenderitakusta di KabupatenBolangMongondow.JurnalParadigmaSehat.2016; 4 (2): 107 (dari ejournalhealth.com pada 11 November 2016)

20.Apriani DN, Rismayanti, Wahiduddin. Faktorrisikokejadiankusta di Kota Makassar.2013: 5p ( dari unhas.ac.id diaksespada 28 November 2016)

21. Yuniasari Y. Faktorrisiko yang berhubungandengankejadiankusta. Unnes Journal of Public Health. 2014 Mar; 3 (1): 5-6 (dari journal.unnes.ac.id diaksespada 28 November 2016)

22. Sari AN, Gustia R, Edison.

Hubunganpengetahuandansikapkeluargadengantingkatkecacatanpadapenderit akusta di Kabupaten Padang Pariamantahun 2013.JurnalKesehatanAndalas. 2015; 4 (3): 686 (dari jurnal.fk.unand.ac.id diaksespada 3 Desember 2016) 23.Curnelia IA. Hubungantingkatpengetahuan, pekerjaandan personal hygiene

dengankejadianpenyakitkusta di KecamatanKunduranKabupatenBloratahun 2015. 2016: 6p (dari eprints.ums.ac.id diaksespada 3 Desember 2016)

24.White C. Iatrogenic stigma in outpatient treatment for hansen’s disease (leprosy) in Brazil. Oxford University Press. 17 Jan 2007; 23 (1): 33 (dari her.oxfordjournals.org diaksespada 8 Desember 2016)

25. Rismawati D. Hubunganantarasanitasirumahdan personal hygiene dengankejadiankustamultibasiler. Unnes Journal of Public Health. Jan 2013; 2 (1): 2-3 (dari journal.unnes.ac.id diaksespada 1 Januari 2017)

26. Susanti KN, Azam M. Hubunganvaksin BCG, riwayatkontakdan personal hygiene dengankusta di Kota Pekalongan. Unnes Journal of Public Health. Apr 2016; 5 (2): 136 (dari journal.unnes.ac.id diaksespada 1 Januari 2017) 27. Muharry A. Faktorrisikokejadiankusta. JurnalKesehatanMasyarakat. Jan

(3)

BAB 3

KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Teori

Kusta

- Kusta multibasilar

(Lepramatosa, Borderline lepramatous, Mid

borderline)

Penatalaksanaan : -Farmakologis -Non-Farmakologis

Jenis cacat : -cacat primer -cacat sekunder

Tingkat kecacatan: -Tingkat 0

-Tingkat 1 -Tingkat 2 Kecacatan

Reaksi Kusta Diagnosa

- Kusta pausibasilar (Tuberkuloid,

Borderline tuberculoid, Indeterminate)

Infeksi kulit oleh bakteri

Mycobacterium leprae

(4)

3.2 Kerangka Konsep

Pada penelitian ini kerangka konsep tentang derajat kecacatan yang tercatat pada pertama kali dilakukannya diagnosa pada pasien kusta di Poli Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP HAM tahun 2013-2015 yang diuraikan berdasarkan kerangka konseptual di bawah:

Variabel Dependen

Variabel Independen

Pasien kusta

Data Demografi : -Usia

-Jenis kelamin -Pendidikan -Pekerjaan

Prevalensi

Jenis kusta : -Pausibasilar -Multibasilar

Derajat kecacatan : -Derajat 0

(5)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai derajat kecacatan penderita kusta di Poli Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) tahun 2013-2015.

Rancangan penelitian adalah potong lintang (cross sectional study) secara retrospektif dengan memperoleh data sekunder dari catatan rekam medis.Pengambilan data rekam medis dilakukan hanya satu kali pada suatu saat.

4.2.Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Agustus sampai November 2016

4.2.2 Tempat Penelitian

Tempat penelitian ini dilakukan di RSUP HAM Medan. Pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa RSUP HAM merupakan pusat pelayanan yang besar di Medan, lokasi terjangkau, memiliki data rekam medis yang lengkap, dan belum adanya penelitian mengenai tingkat kecacatan pada penderita kusta.

4.3. Populasi dan Sampel

(6)

Sampel di ambil adalah berdasarkan total sampling. Kriteria inklusi diantaranya :

1. Pasien dengan diagnosis kusta yang tertulis di rekam medik tahun 2013-2015. 2. Memiliki data yang lengkap, meliputi derajat kecacatan atau tingkat kecacatan, tipe kusta, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan pekerjaan.

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan adalah data sekunder berupa rekam medis di RSUP H.Adam Malik tahun 2013-2015.Pada rekam medis tersebut dilihat variable yang akan diteliti yaitu jumlah penderita kusta dengan tingkat kecacatan dan distribusinya berdasarkan tipe kusta, jenis kelamin, usia, status pendidikan, dan pekerjaan.

4.5. Metode Analisa Data

(7)

4.6 Definisi Operasional

TABEL 4-1. Definisi Operasional Masing-Masing Variabel No. Variabel Definisi Operasional Alat

(8)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (RSUP HAM) merupakan rumah sakit milik pemerintah.Rumah sakit ini dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah Prov. Sumatera Utara. Rumah Sakit ini terletak di lahan yang luas di pinggiran kota Medan Indonesia. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan Rumah Sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes no. 547/Menkes/SK/VII/1998 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991.

Sejak 1991, RSUP H. Adam Malik juga merupakan Pusat Rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau. RSUP H. Adam Malik mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni 1991 dengan pelayanan Rawat Jalan sedangkan untuk pelayanan Rawat Inap baru dimulai tanggal 2 Mei 1992.

Pada Juni 2007, RSUP.H. Adam Malik telah berubah status menjadi Badan Layanan Umum(BLU) bertahap dengan tetap mengikuti pengarahan yang diberikan oleh Ditjen Yanmed dan Departmen kewangan untuk perubahan status menjadi BLU penuh.

5.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian

Jumlah subjek penelitian adalah 81 pasien yang pernah berobat di RSUP HAM dari tahun 2013-2015.Distribusi subjek penelitian pertahun yaitu, 37 (45,7%) pasien pada 2013, 28 (34,6%) pasien pada 2014, dan 16 (19,7%) pada 2015. Prevalensi penderita kusta di RSUP HAM dari tahun 2013-2015 adalah 0,57%.

(9)

Tabel 5-1. Distribusi frekuensi subjek penelitian

No. Karakteristik pasien Frekuensi Persentase (%) 1. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan Pasien

Tidak sekolah 6. Tingkat Cacat Kusta

Tingat 0 7 Lama Keluhan Pasien

(10)

Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin, terlihat bahwa mayoritas pasien kusta adalah laki-laki sebanyak 59 (72,8%) sedangkan perempuan sebanyak 22 (27,2%). Usia subjek penelitian sebagian besar pada rentang 30-50 tahun sebanyak 39 (48%), selanjutnya 18-30 tahun sebanyak 20 (24,7%), sedangkan usia paling sedikit yaitu rentang 6-12 tahun hanya 1 (1,2%).

Tingkat pendidikan subjek penelitian paling besar yaitu pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 42 (51,9%) sedangkan untuk yang paling sedikit yaitu 1 (1,2) adalah tidak sekolah. Sebagian besar subjek penelitian adalah pegawai swasta sebanyak 26 (32,1%), sedangkan sebagian kecil adalah buruh sebanyak 2 (2,5%).

Pada jenis kusta PB sebanyak 13 (16,0%), sedangkan untuk jenis kusta MB sebanyak 68 (84,0%). Sebagian besar pasien mengalamai kecacatan tingkat 1 sebanyak 41 (50,6%), sedangkan sebagian kecil dengan kecacatan tingkat 2 sebanyak 15 (18,5%).

Untuk lamanya keluhan yang dialami pasien sebelum akhirnya memutuskan untuk berobat paling banyak1-2 tahun sebanyak 38 (46,9%), sedangkan paling sedikit di atas 4 tahun sebanyak 6 (1,4%).

5.1.3 Distribusi Tingkat Kecacatan Penderita Kusta

Dalam penelitian ini terdapat enam variabel, yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, jenis kusta, dan tingkat kecacatan. Berikut tabel yang menunjukkan distribusi prevalensi dari tingkat cacat pada penderita kusta :

Tabel 5-2. Distribusi Tingkat Kecacatan Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Pasien

Tingkat Cacat Kusta

Total (%)

0 (%) 1 (%) 2 (%)

Laki-laki

(11)

Dari tabel 5-2 dapat dilihat prevalensi tersering tingkat kecacatan pada laki-laki yaitu pada kecacatan tingkat 1 sebanyak 31 (52,5%) dan pada perempuan prevalensi tingkat kecacatan juga tersering pada kecacatan tingkat 1 sebanyak 10 (45,5%).

Tabel 5-3. Distribusi Tingkat Kecacatan Berdasarkan Jenis Kusta

Jenis Kusta Pasien

Tingkat Cacat Kusta

Total (%)

0 (%) 1(%) 2 (%)

PB 8 (61,5) 4 (30,8) 1(7,7) 13(100,0)

MB 17 (25,0) 37 (54,4) 14 (20,6) 68(100,0)

Total 25 (30,9) 41 (50,6) 15 (18,5) 81(100,0)

Dari tabel 5-3 dapat dilihat distribusi prevalensi tingkat cacat kusta berdasarkan jenis kustanya. Untuk kusta jenis PB tingkat cacat yang paling sering di alami pasien adalah tingkat 0 yaitu sebanyak 8 (61,5%) orang. Selanjutnya pada kusta jenis MB tingkat cacat yang paling sering yaitu cacat tingkat 1 sebanyak 37 (54,4%) orang.

Tabel 5-4. Distribusi Tingkat Kecacatan Berdasarkan Usia

Usia Pasien Tingkat Cacat Kusta

Total (%)

0 (%) 1(%) 2 (%)

6-12 thn 0 (,0) 1 (100,0) 0 (,0) 1 (100,0)

12-18 thn 7 (87,5) 1 (12,5) 0 (,0) 8 (100,0)

18-30 thn 10 (50,0) 9 (45,0) 1 (5,0) 20 (100,0)

30-50 thn 5 (12,8) 24 (61,5) 10 (25,6) 39 (100,0) > 50 thn 3 (23,1) 6 (46,2) 4 (30,8) 13 (100,0)

Total 25 (30,9) 41(50,6) 15 (18,5) 81 (100.,0)

(12)

tahun yaitu sebanyak 39 pasien (48,1%) dan tingkat kecacatan yang paling tinggi di usia ini adalah kecacatan tingkat 1 yaitu sebanyak 24 pasien (61,5%).

Tabel 5-5. Distribusi Tingkat Kecacatan Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan

Dari tabel 5-5 terdapat distribusi prevalensi tingkat kecacatan penderita kusta berdasarkan tingkat pendidikannya. Paling banyak pada jenjang SMA dengan tingkat kecacatan paling sering tingkat 1 sebanyak 25 (59,5%) dari jumlah pasien sebanyak 42 orang.

Tabel 5-6. Distribusi Tingkat Kecacatan Berdasarkan Pekerjaan

Dari tabel 5-6 dapat dilihat distribusi prevalensi tingkat kecacatan berdasarkan pekerjaan pasien. Pasien paling banyak terdapat pada jenis pekerjaan pegawai swasta sebanyak 26 orang, dengan tingkat cacat 0 ada 11(42,3%) orang, tingkat cacat 1 ada 14 (53,8%) orang dan tingkat cacat 2 ada 1 (3,8%) orang.

Pekerjaan Pasien Tingkat Cacat Kusta

(13)

5.2 Pembahasan

5.2.1 Distribusi Tingkat Kecacatan Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin di dapat bahwa pasien laki-laki lebih banyak dibanding pasien perempuan. Pada penelitian sebelumnya juga didapatkan hasil laki-laki lebih banyak yaitu 31 (60,8%) sedangkan perempuan 20 (39,2%).[12]Hasil penelitian di India juga menunjukkan jumlah pasien laki-laki lebih tinggi 81 (62,8%) dan perempuan 48 (37,2%).[13]Pada laki-laki mempunyai aktivitas diluar rumah yang lebih banyak dibanding perempuan, sehingga laki-laki lebih rentan untuk tertular penyakit kusta.[14]

Di lihat dari distribusi tingkat cacat, baik laki-laki maupun perempuan dalam penelitian ini sama-sama lebih sering datang dengan kondisi cacat tingkat 1. Dalam peneltian lain menunjukkan laki-laki maupun perempuan mempunyai jumlah terbanyak pada tingkat cacat 2, yaitu laki-laki 436 (53%) dan perempuan 201 (41,4%).[15]Penelitian di Brazil menyebutkan, meskipun penderita kusta sebagian besar laki-laki, tetapi penelitian tidak menemukan perbedaan jenis kelamin mempengaruhi resiko keparahan penyakit ini.[16]

5.2.3Distribusi Tingkat Kecacatan Berdasarkan Jenis Kusta

Sebagian besar jenis kusta yang dialami pasien dalam penelitian ini adalah jenis Multibasiler (MB).Sejalan dengan penelitian lain yang menyebutkan perbedaan yang cukup tinggi antara kasus kusta tipe MB dan PB, yaitu dari 69 pasien 66 diantaranya menderita kusta tipe MB dan hanya 3 pasien dengan kusta tipe PB.[17]

Dalam penelitian ini di dapat pasien dengan jenis kusta MB paling banyak mengalami kecacatan tingkat 1, sedangkan untuk pasien dengan jenis kusta (Pausibasilar) PB cacat tingkat 0. Dalam penelitian lain didapatkan pasien dengan jenis kusta MB mengalami cacat tingkat 2 sebanyak 53 (57,6%) sedangkan jenis kusta PB jumlah pasien paling tinggi pada tingkat cacat 1 yaitu 10 (58,8) orang.[14]

(14)

kurang dari 5 lesi dan apusan negative sedangkan tipe MB lebih dari 6 lesi dengan apusan positif.[18]Besarnya peluang tipe MB untuk menderita cacat dibandingkan tipe PB ini berkaitan dengan ditemukannya Basil Tahan Asam (BTA) pada tipe MB, sedangkan pada tipe PB tidak diketemukan.[19]

5.2.3 Distribusi Tingkat Kecacatan Berdasarkan Usia

Hasil penilitian ini menunjukkan usia yang paling sering penderita kusta adalah usia 30-59 tahun sebanyak 39 pasien dengan tingkat cacat yang paling sering diderita cacat tingkat 1. Pada penelitian sebelumnya didapatkan hasil bahwa penderita kusta paling banyak pada usia di atas 55 tahun dengan cacat tingkat 2 yaitu 28 (66,7%). Selanjutnya di ikuti penderita dengan usia 35-54 tahun dengan tingkat cacat paling banyak tingkat 2 juga yaitu 20 (57,1%).[14]Penelitian di Brazil juga menyebutkan kasus terbanyak pada umur 15-60 tahun yaitu 1.819 penderita, tetapi sebagian besar (73,1%) tidak menderita kecacatan.[5]

Dalam penelitian lain menunjukkan penderita paling banyak pada usia 19-60 tahun.[13]Dalam data lain disebutkan penderita paling banyak pada usia 25-44 tahun dengan total kasus 455 (44,6%).[7]Tetapi distribusi tingkat cacatnya tidak disebutkan.

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa umur merupakan faktor protektif kejadian penyakit kusta. Disebutkan responden yang berumur 0-14 tahun dapat tercegah dari penyakit kusta.Hal ini dapat disebabkan oleh masa inkubasi penyakit kusta yang lama. Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diridan memiliki masa inkubasi rata-rata 2-5 tahun bahkan dapat lebih dari 5 tahun.[20]

(15)

5.2.4 Distribusi Tingkat Kecacatan Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Dalam banyak penelitian dikatakan bahwa tingkat pendidikan mempunyai peranan penting dalam penyakit kusta dan tingkat kecacatannya. Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan paling sering ditemukan pada penderita adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan tingkat kecacatan paling tinggi pada cacat tingkat 1 yaitu sebnayak 25 (59,5%).

Hasil penelitian sebelumnya disebutkan penderita kusta paling banyak pada tingkat pendidikan sekolah menengah pertama yaitu sebanyak 588 (43,9%).[15] Perbedaan ini terjadi karena, penelitian ini dilakukan di rumah sakit yang terletak di pusat Kota Medan. Dalam suatu penelitiandisebutkan bahwa pendidikan yang rendah mempengaruhi jumlah penderita kusta karena akan berkaitan dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah pula dan dapat dikaitkan dengan akhir diagnosis penyakit kusta.[16]

Akan tetapi dalam penelitian lain menyeebutkan pendidikan rendah tidak menjadi salah satu faktor kejadian kusta, karena dilihat juga pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang mengenai kusta. Kebanyakan penderita melihat gejala-gejala-gejala dari penyakit kusta, namun menganggap gejala yang muncul merupakan penyakit lain seperti panu, sehingga kurang adanya kesadaran untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan dan tidak sedikit yang mengalami keterlambatan pengobatan.[21]

(16)

5.2.5 Distribusi Tingkat Kecacatan Berdasarkan Pekerjaan

Sebagian besar penderita kusta bekerja sebagai pegawai swasta, selanjutnya adalah wiraswata.Hasil penelitian sebelumnya pekerjaan yang paling sering pada penderita kusta adalah petani 47 (43,1%) sedangkan untuk pegawai sendiri berada pada urutan ketiga terbanyak 15 (13,8%).[14]Perbedaan ini terjadi karena pada penelitian-penelitian sebelumnya dilakukan di puskesmas daerah yang sebagian respondennya bekerja sebagai petani.

Penelitian lain tentang gambaran pekerjaan penderita kusta diketahui bahwa separuh lebih penderita kusta telah bekerja (72,2%) dan sisanya tidak bekerja (27,8%). Dalam penelitian tersebut terlihat mayoritas telah bekerja, dan pekerjaan yang paling banyak adalah sebagai buruh atau petani, dan lainnya sebagai pedagang/wiraswasta dan tidak bekerja.[23]Hal ini selaras dengan sebuah penelitian yang menyatakan penderita dengan pekerjaan berat (66,7%) lebih rentan daripada penderita dengan pekerjaan ringan (33,8%).[17]

Penelitian lain menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai wiraswata paling banyak pada penderita kusta yaitu 559 (41,8%) dan untuk pegawai berada di urutan paling rendah yaitu 211 (15,8%).[15]Sedangkan dalam penelitian ini, pekerjaan wiraswasta berada pada urutan kedua sebagai pekerjaan yang paling sering dimiliki oleh penderita kusta. Sedangkan tingkat cacat yang paling sering dialami oleh pegawai swasta dan wiraswasta adalah tingkat 1.

Dalam sebuah penelitian menyebutkan bahwa ketakutan terbesar penderita kusta adalah sebagai orang cacat dan menjadi lumpuh. Penderita kusta memiliki stigma bahwa orang-orang lumpuh akan ditinggalakan.[24]Literatur menyebutkan jika cacat tingkat 1 memiliki gejala anastesi dan kelemahan otot. Komplikasi berupa kerusakan syaraf sangat penting untuk penyakit kusta. Kerusakan tersebutdapat terjadi pada serabut saraf sensorik dan otonom, menyebabkan hilangnya sensasi lokal dan penurunan keringat.[18]

(17)

kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya. Tingkat cacat yang tinggi dapat dicegah bila pasien cepat terdiagnosis saat timbulnya tanda-tanda penyakit kusta.

Selain faktor-faktor resiko di atas, kusta juga berkaitan erat dengan keadaan lingkungan dan hygiene.Mycrobacterium leprae mampu hidup di luar tubuh manusia dan dapat ditemukan pada tanah atau debu di sekitar rumah penderita. Faktor resiko hygiene perorangan yang mempengaruhi terhadappenularan penyakit kusta meliputi kebiasaan masyarakat tidur bersama, pakai pakaian dan handuk bergantianserta buang air besar di kebun.[25]

Dalam sebuah penilitian yang menggunakan metode wawancara pada pasien kusta rawat jalan menunjukkan kondisi personal hygiene pasien, yaitu 25% pasien tidak mandi memakai sabun minimal 2 kali sehari, 30% pasien tidak mencuci rambut memakai sampo minimal 2 kali seminggu dan 45% pasien tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan.[25]

Dalam penelitian lain menyebutkan bahwa dari 64 orang yang menderita kusta, terdapat 37 orang (57,8%) yang mempunyai personal hygiene buruk dan 27 orang (42,2%) yang mempunyai personal hygiene baik. Responden yang menderita kusta cenderung memiliki personal hygiene yang buruk sedangkan responden yang tidak menderita kusta cenderung memiliki personal hygiene yang baik.[26]

(18)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan data demografi, usia paling sering penderita kusta adalah 30-50 tahun dengan cacat tingkat 1, pendidikan paling sering Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan cacat tingkat 1, jenis kelamin lebih sering pada laki-laki dengan cacat tingkat 1, dan pekerjaan paling sering pada penderita adalah pegawai negeri atau pegawai swasta (kategori lain-lain) dengan cacat tingkat 1.

2. Prevalensi penderita kusta di RSUP HAM Medan dari tahun 2013-2015 sebesar 0,57% dan jumlah penderitanya 81 pasien.

3. Jenis kusta paling sering menimbulkan kecacatan adalah jenis Multibasilar (MB).Hal ini berkaitan dengan lebih banyaknya lesi dan ditemukannya BTA pada kusta jenis MB.

4. Kecacatan yang paling sering terdiagnosis pada penderita saat pertama kali berobat adalah cacat tingkat 1, penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan mengenai gejala awal kusta.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi, karakteristik penderita dan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit kusta di pusat kesehatan layanan primer.

2. Perlu adanya penelitian secara analitik untuk melihat hubungan antara penderita kusta dengan jenis kelamin, usia, jenis kusta, tingkat pendidikan dan pekerjaan.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta

2.1.1 Definisi dan Etiologi Kusta

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah

Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.[1]

Kusta merupakan penyakit pada saraf perifer, tetapi bisa juga menyerang kulit dan kadang-kadang jaringan lain seperti mata, mukosa saluran respirasi atas, tulang, dan testis. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa anak-anak.[1]

Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1974 di Norwegia, yang sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artifisial.M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 um x 0,5 um, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.[1]

M.leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan sel dari sistem retikulo endothelial.Waktu pembelahannya sangat lama, yaitu 2-3 minggu.Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal

in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 270-300C.[10]

2.1.2 Epidemiologi

Distribusi menurut faktor manusia:[4] a. Etnik dan suku

(20)

kejadian kusta lepramatosa lebih banyak pada etnik Cina dibandingkan etnik Melayu atau India

b. Faktor sosial ekonomi

Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa.Dengan peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang.

c. Distribusi menurut umur

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur saat diketemukan dari pada saat ditimbulnya penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, angka prevalensi penyakit berdasarkan kelompok umur tidak menggambarkan risiko kelompok umur tertentu untuk terkena penyakit. Kusta diketahui terjadinya pada semua usia berkisar antara bayi sampai usia lanjut (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif.

d. Distribusi menurut jenis kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan.Berdasarkan laporan, sebagian besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang daripada perempuan.

2.1.3 Patogenesis Kusta

(21)

Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata. Berikut bagan patogenesis kusta :

Gambar 2-1. Patogenesis Kusta[1]

Sumber : Buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI Edisi keenam

2.1.4 Klasifikasi Kusta

Pola klinis penyakit ini ditentukan oleh respon imunitas yang diperantarai sel (cell-mediated immunity) atau imunitas seluler (celluler immunity) host terhadap organisme, yaitu :[10]

a. Bila respons imunitasnya baik, maka timbul lepra tuberkuloid.

b.Bila respons imunitas selulernya rendah, maka multipikasi kuman menjadi tidak terkendali dan timbul bentuk lepra lepromatosa.

c. Di antara kedua bentuk lepra yang ekstrem tadi, terdapat spektrum penyakit ini yang disebut lepra borderline, di mana gambaran klinis dan histopatologisnya menggambarkan berbagai derajat respon imunitas seluler terhadap kuman.

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe dan bentuk, yaitu :[1]

TT : Tuberkuloid polar (bentuk yang stabil) Ti : Tuberkuloid indefinite (bentuk yang labil)

(22)

BB : Mid borderline(bentuk yang labil)

BL : Borderline lepromatous(bentuk yang labil)

Li : Lepromatosa indefinite(bentuk yang labil) LL : Lepromatosa polar (bentuk yang stabil)

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe I (indeterminate), TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.[1]

2.1.5 Gejala Klinis Kusta

Penyakit kusta memiliki gejala klinis yang berbeda-beda sesuai dengan tipenya, berikut dapat dilihat gambaran klinis dari kusta :

TABEL 2-1. GAMBARAN KLINIS, BAKTERIOLOGI, DAN IMUNOLOGIK KUSTA MULTIBASILAR (MB) [1]

- Jumlah Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit - Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak berkilat

- Batas Tidak Jelas Agak jelas Agak jelas

- Anestesia Tidak ada sampai tidak jelas

Tak Jelas Lebih jelas

BTA

- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agakbanyak - Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif

(23)

TABEL 2-2. GAMBARAN KLINIS, BAKTERIOLOGIK, DAN IMUNOLOGIK

- Bentuk Makula saja, makula dibatasi infiltrate

Makula dibatasi infiltrat; infiltrat saja

Hanya makula - Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu

dengan satelit

Satu atau beberapa

- Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi

- Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat

- Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah

atau negatif Sumber : Buku Ilmu Kulit dan Kelamin FK UI Edisi keenam

2.1.6 Penegakan Diagnosis Kusta

Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan hispatologis, dan serologis.Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana.Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari.Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menentukan terapi yang sesuai.[1]

(24)

tersebut.Sebaiknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai, dan sebagainya.Bahkan pada satu lesi (kelainankulit) pun dapat berbeda tipenya, umpamanya di sisi kiri berbeda dengan sisi di kanan.Begitu pula dasar diagnosis histopatologik, tergantung pada beberapa tempat dan dari tempat mana biopsinya diambil. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu: jarum, kapas, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinta, dan sebagainya.[1]

2.1.7 Penatalaksanaan Kusta

1. Terapi Farmakologis

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah Diaminodifenil Sulfon (DDS) kemudian klofazimin, dan rifampisin.DDS mulai dipakai sejak 1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952.Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh Brown dan Hogerzeil, dan rifampisin sejak tahun 1970. Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberkulosisi telah menggunakan Multi Drug Treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971.[1]

Cara pemberian MDT

1. MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA positif) adalah :

- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan - DDS 100 mg setiap hari

- Klofazimin : 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.

2. MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT, dengan BakteriTahan Asam negatif) adalah:

(25)

2.Terapi Non-Farmakologis[11]

- Pasien kusta secara rutin perlu menjaga kebersihan diri, terutama pada region yang mengalami penurunan fungsi neurologis. Tangan atau kaki yang anastetik dapat direndam setiap hari selama 10-15 menit. Lesi kalus atau kulit keras di sekitar ulkus dapat diabrasi, paling baik dilakukan oleh tenaga medis dengan bilah skapel. Selanjutnya, untuk menjaga nutrisi dan kelembapan yang adekuat pada kulit, dapat diberikan pelembab topikal;

- Istirahatkan region yang terlihat kemerahan atau melepuh. Hindari tekanan yang berlebihan pada region lesi, misalnya dengan elevasi tungkai saat istirahat atau mencegah berjalan kaki dalam jangka waktu lama;

- Untuk mencegah dan menangani komplikasi yang ada, dibutuhkan kerja sama dengan bedah ortopedi, podiatrist, neurologi, oftalmologi, dan rehabilitasi medis.

2.1.8 Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan yang sangat kronis.Reaksi kusta merupakan reaksi hipersensitivitas, yaitu hipersensitivitas seluler (reaksi tipe 1/reaksi reversal), saat terjadinya peningkatan

Cellular Mediated Immunity (CMI) atau hipersensitivitas humoral (reaksi tipe2/ eritema nodosum leprosum).Bila reaksi tidak didiagnosis dan diobati secara cepat dan tepat maka dapat berakibat merugikan pasien. Jika reaksi mengenai saraf tepi akan menyebabkan gangguan fungsi saraf yang akhirnya dapat menyebabkan cacat.[4]

Terdapat dua jenis reaksi kusta, yaitu reaksi tipe 1 dan reaksi tpe 2.Reaksi tipe 1 lebih banyak terjadi pada pasien yang berada di spektrum borderline,

karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak stabil.Sedangkan reaksi tipe 2 terjadi pada pasien tipe Multibasilar.Reaksi kusta dapatterjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.Penyebab pasti terjadinya reaksi masih belum jelas. Diperkirakan sejumlah faktor pencetus memegang peranan penting.[4]

(26)

TABEL 2-3. FAKTOR PENCETUS REAKSI TIPE 1 DAN TIPE 2[4]

Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2

Pasien dengan bercak multiple Obat MDT, kecuali lampren Bercak luas pada wajah dan lesi BI > 4+

Saat puerpurium (karena peningkatan CMI), selama kehamilan trimester ke-3 (karena penurunan CMI). Paling tinggi 6 bulan pertama setelah melahirkan/masa menyusui

Kehamilan awal (karena stres mental), trimester ke-3, dan puerpurium (karena stres fisik), setiap masa kehamilan (karena infeksi penyerta)

Infeksi penyerta : Hepatitis B dan C Infeksi penyerta: streptokokus, virus Neuritis atau riwayat nyeri saraf Stress fisik dan mental

Lain-lain seperti trauma, operasi Sumber : Program Nasional Pengendalian Kusta 2012

2.2Kecacatan

Program pemerintah untuk mengendalikan penyakit kusta sudah berjalan ke arah yang semestinya, namun masalah stigma, diskriminasi dan kecacatan masih menjadi masalah bagi orang yang mengalami kusta dengan kecacatan.Beban akibat kecacatan kusta di Indonesia masih tinggi, bukan hanya fisik yang berdampak pada aktivitas sehari-hari dan partisipasi sosial, tetapi juga ekonomi dan psikis.Untuk penanganan kusta komprehensif mulai dari kegiatan promotif, preventif, kuratif hingga rehabilitatif.Enhance Global strategy WHO tahun 2011-2015 menyatakan bahwa rehabilitasi menjadi bagian dari program pengendalian penyakit kusta.[4]

2.2.1 Pengertian Kecacatan

Menurut InternasionalClassification of Function Disability and Health

(27)

individu, misalnya usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan. Sedangkan faktor lingkungan adalah kebijakan pemerintah, masyarakat sekitar, stigma serta kondisi lingkungan.[4]

Cacat kusta terjadi akibat gangguan fungsi saraf pada mata, tangan atau kaki.Semakin lama waktu sejak saat pertama ditemukan tanda dini hingga dimulainya pengobatan, semakin besar risikotimbulnya kecacatan akibat terjadinya kerusakan saraf yang progresif. [4]. Cacat kusta paling sering pada kusta lepramatosa, karena pada kusta lepramatosa multipikasi kuman menjadi tidak terkendali dan tipe kusta ini sangat mudah menular. Kusta lepramatosa termasuk dalam tipe kusta multibasilar[10]. Pada penelitian di Jakarta, dari 91 pasien kusta dengan derajat cacat 2, 12 diantaranya di diagnosis dengan kusta tipe Pausibasilar, sedangkan 79 pasien dengan kusta tipe Multibasilar[7].

2.2.2 Jenis Cacat

Ada 2 jenis cacat kusta, yaitu cacat primer yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap M.leprae, seperti anestesi, claw hand dan kulit kering; sedangkan cacat sekunder terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf, seperti ulkus dan kontraktur.[4]

Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses :

a. Infiltrasi langsung M.leprae ke susunan saraf tepidan organ (misalnya; mata)

b. Melalui reaksi kusta

Secara umum fungsi saraf ada 3 macam, yaitu fungsi motorik memberikan kekuatan pada otot, fungsi sensoris memberi sensasi raba, nyeri dan suhu serta fungsi otonom mengurus kelenjar keringat dan kelenjar minyak. Kecacatan yang terjadi tergantung pada komponen saraf yang terkena, dapat sensoris, motoris, otonom, maupun kombinasi ketiganya.[4]

(28)

Berikut adalah skema yang menggambarkan proses terjadinya kecacatan akibat kerusakan dari fungsi saraf.

Gambar2-2. Gangguan Fungsi Saraf Tepi[4]

Sumber : Program Nasional Pengendalian Kusta 2012

2.2.3 Tingkat Kecacatan

(29)

Berikut mengenai tingkat cacat menurut WHO :

TABEL 2-4. TINGKAT CACAT KUSTA MENURUT WHO[4]

Tingkat Mata Telapak tangan/kaki

0 Tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus)

Tidak ada cacat akibat kusta

1 Ada kelainan pada mata, tetapi tidak terlihat (anestesi kornea), visus sedikit berkurang

Anestesi, kelemahan otot. (tidak ada cacat/kerusakan yang kelihatan akibat kusta) 2 Ada kelainanmata yang terlihat

(misalnya lagoftalmos, kekeruhan

Sumber : Program Nasional Pengendalian Kusta 2012

Untuk Indonesia, karena beberapa keterbatasan pemeriksaan dilapangan, maka tingkat cacat disesuaikan sebagai berikut :

TABEL 2-5. MODIFIKASI TINGKAT CACAT KUSTA DI LAPANGAN (di Indonesia)[4]

Tingkat Mata Telapak tangan/kaki

0 Tidak ada kelainan pada mata akibat kusta

Tidak ada cacat akibat kusta

1 * Anestesi, kelemahan otot. (tidak ada

cacat/kerusakan yang kelihatan akibat kusta)

2 Ada lagoftalmos Ada cacat/kerusakan yang kelihatan akibat kusta, misalnya ulkus, jari kiting(claw hand), kaki semper(drop foot).

Sumber : Program Nasional Pengendalian Kusta 2012

(30)

2.2.4 Pencegahan Cacat Kusta

Pasien harus mengerti bahwa pengobatan MDT dapat membunuh kuman kusta. Tetapi cacat pada mata, tangan atau kakinya yang sudah terlanjur terjadi akan tetap ada seumur hidupnya, sehingga dia harus bisa melakukan perawatan diri dengan teratur agar cacatnya tidak bertambah berat. Berikut adalah kegiatan pencegahan cacat yang bisadilakukan :[4]

1. Kegiatan pencegahan cacat di rumah.

Prinsip pencegahan cacat dan bertambah beratnya cacat pada dasarnya adalah 3M yaitu :

- Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur. - Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik. - Merawat diri.

2. Kegiatan pencegahan cacat di Puskesmas

Berikut adalah pencegahan cacat yang dapat dilakukan di Puskesmas. Masalah dengan mata :

- Mata lagoftalmos jika sangat kering, membutuhkan tetes mata mengandung saline.

- Antibiotik dan bebat mata, bila terjadi konjungtivitis. - Rujuk pasien untuk kondisi yang lebih serius.

Masalah dengan tangan :

- Jikaada kelemahan jari dianjurkan digerakkan sebanyak mungkin. Sedangkan kalau lumpuh dapat di pasang bidai pada malam hari, Bidai dapat dibuat sendiri dari bilah bambu atau selang.

- Merujuk jika perlu Masalah dengan kaki :

- Mengupayakan alas kaki yang sesuai.

(31)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kusta termasuk penyakit tertua di dunia.Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi.Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae

bersifat intraseluler obligat, ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1974 di Norwegia, yang sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artifisial.M.leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 um x 0,5 um, tahan asam dan alkohol serta Gram positif.[1]

Dalam World Health Organinization(WHO)Global leprosy update2014 terdeteksikasus kusta baru sebanyak 213.899per 10000 penduduk. Data statistik diterima dari 121 negara dari 5 wilayah WHO. Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus kusta terbanyak berada di urutan ketiga dengan jumlah kasus baru tahun 2014 sebanyak 17.025. Sedangkan diurutan pertama India sebanyak 125.785 kasus kusta baru dan diurutan kedua Brazil sebanyak 31.064 kasus.[2]

Pada tahun 2014 dilaporkan 17.025 kasus baru di Indonesia, dengan 83,5% kasus diantaranya merupakan tipe Multi Basiler (MB). Jumlah kasus baru kusta terbanyak di Provinsi Jawa Timur dengan 4.116 kasus lalu diikuti Jawa Barat dengan 1.917 kasus.Sedangkan Indonesia bagian timur seperti Sulawesi Selatan dan Papua juga mempunyai jumlah kasus baru yang tinggi. Di Provinsi Sumatera Utara tercatat 176 kasus kusta baru.[3]

(32)

Prevalensi tertinggi penderita yang mengalami kecacatan berada pada usia dia atas 60 tahun, pasien laki-laki, pasien dengan lebih dari dua saraf yang terkena, pada kasus kusta multibasiler, pada kasus reaksi kusta, dan pada kasus kusta lepromatosa. Hasil pengamatan menunjukkan pendidikan yang baik adalah faktor pencegah untuk kecacatan.[5]

Studi di salah satu wilayah yang paling endemik di Brasil,menunjukkan tingkat kecacatan berlanjut menjadiderajat 2 pada saat diagnosis kusta cukup banyak, penyebabnya karenaketerlambatan diagnosis.Mereka mengidentifikasi kelompok risiko tinggi untuk keterlambatan diagnosis kusta termasuk usia lanjut, tinggal di pedesaan, dan status pendidikan rendah. Variabel yang terkait dengan kemiskinan terlihat jelas berhubungan dengan cacat fisik saat diagnosis. [6]

Di Indonesia sendiri, penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2006-2009, temuan dari cacat kusta pada saat diagnosis menunjukkan bahwa penegakan diagnosis dilakukan di akhir perjalanan penyakit dan penyakit cenderung sudah memiliki perkembangan yang jauh. Dalam penelitian ini, jumlah cacat kelas II adalah 8,9%.[7]

Akibat kecacatan kusta, sekitar 60% penderita memiliki keterbatasan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Pada persentase yang sama, penderita memiliki masalah untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan 35,5% menyatakan bahwa mereka mendapat stigma dari masyarakat. Profildari

Explanatory Model Interview Catalogue(EMIC) mengenai skala stigma

masyarakat menunjukkan bahwa masalah utama yang berkaitan dengan stigma adalah rasa malu, masalah dalam menemukan pasangan untuk menikah dan kesulitan dalam mencari pekerjaan yang berpenghasilan. Masalah diskriminasi yang menonjol adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan pernikahan dan pekerjaan.[8]

(33)

kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya, dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di lingkungan masyarakat.[9]

Dengan mengetahui besarnya derajat kecacatan serta faktor risiko kusta yang dilihat dari data demografi para penderita kusta,maka akan sangat bermanfaat dalam merencanakan program yang tepat untuk mencegah terjadinya kecacatan maupun untuk mencegah kecacatan berlanjut. Berdasarkan uraian latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengetahui prevalensi penderita kusta dengan kecacatannya di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik selama periode 2013-2015.

1.2Perumusan Masalah

Untuk mengetahui prevalensi penderita kusta dengan kecacatannya di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) selama periode 2013-2015?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui prevalensi penderita kusta dengan kecacatannya di RSUP HAM tahun 2013-2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui data demografi pada pasien kusta dengan kecacatan berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan.

(34)

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.4.1 Bagi Masyarakat Umum

Memberi gambaran mengenai penyakit kusta yang masih ada di masyarakat dan kecacatan yang dapat ditimbulkannya.

1.4.2 Bagi Bidang Akademik / Ilmiah

Sebagai masukan dan informasi dari program kesehatan dalam rangka menurunkan angka penderita kusta dan kecacatan di Indonesia.

1.4.3 Bagi Penulis

1. Menambah pengetahuan penulis mengenai penyakit kusta dan prevalensinya.

2. Sebagai kesempatan untuk mengintegrasikan ilmu yang telah didapat di bangku kuliah dalam bentuk melakukan penelitian secara mandiri.

3. Memenuhi tugas mata kuliah Community Research Program

(35)

ABSTRAK

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah

Mycobacterium leprae. Indonesia sebagai salah satu Negara dengan kasus kusta terbanyak berada di urutan ketiga dengan jumlah kasus baru tahun 2014 sebanyak 17.025. Secara medis penyakit ini menimbulkan kecacatan pada penderitanya.Tingkat cacat kusta di bagi menjadi cacat tingkat 0, cacat tingkat 1, dan cacat tingkat 2.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi penderita kusta dengan kecacatannya di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2013-2015.

Penelitian ini telah dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif, dan rancangan penelitian adalah potong lintang (cross sectional study) secara retrospektif dengan memperoleh data sekunder dari catatan rekam medis. Pengambilan sampel dengan total sampling.

Jumlah subjek penelitian adalah 81 pasien. Cacat yang paling sering ditemukan adalah cacat tingkat 1 (50,6%). Penderita paling banyak laki-laki dengan caca tingkat 1 (52,5%), usia 30-50 tahun dengan cacat tingkat 1 (61,5%), tipe kusta Multibasilar dengan cacat tingkat 1 (54,4%), tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas dengan cacat tingkat 1 (59,5%), pekerjaan pegawai swasta atau negri cacat tingkat 1 (48,3%), lamanya keluhan 1-2 tahun dengan cacat tingkat 1 (73,7%).

Perludilakukan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi penderita kusta di daerah perifer.

(36)

ABSTRACT

Leprosy is a chronic infectious disease which caused by Mycobacterium leprae. Indonesia as one of countries with the most leprosy case was in third place with the number of new cases in 2014 was 17.025. Medically, these diseases cause disability to the patient. Disability rate of leprosy is divided into disability level 0, disability level 1 and disability level 2.

The purpose of this study is to determine the prevalence of leprosy patients with disability in Haji Adam Malik General Hospital Medan in 2013-2015.

This research had been conducted using a descriptive study, and the study design was cross-sectional (cross-sectional) retrospectively with secondary data obtained from the medical record. The samples were taken by total sampling.

The number of subjects were 81 patients. The most common defect was disability level 1 (50.6%). Most patients were men with disabilities level 1 (52.5%), aged 30-50 years with disability level 1 (61.5%), the type of Multibasilar leprosy with disabilities level 1 (54.4%), High School level with disability level 1 (59.5%), private sector employee or officer with disability level 1 (48.3%), duration of 1-2 years complain with disability level 1 (73.7%).

It is necessary to do more research on the prevalence of leprosy patients in peripheral areas.

(37)

PREVALENSI PENDERITA KUSTA DENGAN KECACATAN DI POLI

PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2013-2015

Oleh:

AMELLIA SEFTI LESTARI

130100380

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(38)

PREVALENSI PENDERITA KUSTA DENGAN KECACATAN DI POLI

PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2013-2015

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh:

AMELLIA SEFTI LESTARI

130100380

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(39)
(40)

ABSTRAK

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah

Mycobacterium leprae. Indonesia sebagai salah satu Negara dengan kasus kusta terbanyak berada di urutan ketiga dengan jumlah kasus baru tahun 2014 sebanyak 17.025. Secara medis penyakit ini menimbulkan kecacatan pada penderitanya.Tingkat cacat kusta di bagi menjadi cacat tingkat 0, cacat tingkat 1, dan cacat tingkat 2.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi penderita kusta dengan kecacatannya di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun 2013-2015.

Penelitian ini telah dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif, dan rancangan penelitian adalah potong lintang (cross sectional study) secara retrospektif dengan memperoleh data sekunder dari catatan rekam medis. Pengambilan sampel dengan total sampling.

Jumlah subjek penelitian adalah 81 pasien. Cacat yang paling sering ditemukan adalah cacat tingkat 1 (50,6%). Penderita paling banyak laki-laki dengan caca tingkat 1 (52,5%), usia 30-50 tahun dengan cacat tingkat 1 (61,5%), tipe kusta Multibasilar dengan cacat tingkat 1 (54,4%), tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas dengan cacat tingkat 1 (59,5%), pekerjaan pegawai swasta atau negri cacat tingkat 1 (48,3%), lamanya keluhan 1-2 tahun dengan cacat tingkat 1 (73,7%).

Perludilakukan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi penderita kusta di daerah perifer.

(41)

ABSTRACT

Leprosy is a chronic infectious disease which caused by Mycobacterium leprae. Indonesia as one of countries with the most leprosy case was in third place with the number of new cases in 2014 was 17.025. Medically, these diseases cause disability to the patient. Disability rate of leprosy is divided into disability level 0, disability level 1 and disability level 2.

The purpose of this study is to determine the prevalence of leprosy patients with disability in Haji Adam Malik General Hospital Medan in 2013-2015.

This research had been conducted using a descriptive study, and the study design was cross-sectional (cross-sectional) retrospectively with secondary data obtained from the medical record. The samples were taken by total sampling.

The number of subjects were 81 patients. The most common defect was disability level 1 (50.6%). Most patients were men with disabilities level 1 (52.5%), aged 30-50 years with disability level 1 (61.5%), the type of Multibasilar leprosy with disabilities level 1 (54.4%), High School level with disability level 1 (59.5%), private sector employee or officer with disability level 1 (48.3%), duration of 1-2 years complain with disability level 1 (73.7%).

It is necessary to do more research on the prevalence of leprosy patients in peripheral areas.

(42)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah ‘azzawajalla atas petunjuk ilmu yang dikaruniakan-Nya, penelitian berjudul Prevalensi Penderita Kusta Dengan Kecacatan di Poli Penyakit Kulit & Kelamin RSUP HAM tahun 2013-2015. Besar harapan penulis penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu kedokteran, menjadi masukan yang berarti khususnya dalam upaya preventif terhadap timbulnya ecacatan akibat penyakit kusta.

Penelitian ini bisa diselesaikan akhirnya atas dukungan dari banyak pihak, kepadamerekapenulismengucapkanterimakasihsedalam-dalamnya, diantaranya:

1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran USU tempa tpenulis menimba ilmu.

2. dr. Aryati Yosi, Sp.KK selaku Dosen Pembimbing I dalam Skripsi ini, atas segala kesabaran dalam proses bimbingan dan ilmu yang telah diberikan

3. dr. Murniati Manik Sp.KKSp.GK selaku Dosen Pembimbing II dalam Skripsi ini, atas segala masukan dalam proses bimbingan dan ilmu yang telah diberikan.

4. dr. Rr. Suzy Indharty, M.Kes, Sp.BS dan dr. Kiki M. Iqbal, Sp.SselakuDosenPengujiSkripsiini, ataskritikdan saran yang membangun.

5. Pihak RSUP Haji Adam Malik Medan, atas izin penelitian yang diberikan.

6. Ayah dan Ibu penulis, Elvin Ismail S.Tdan Lili Endriyani S.H, atas segenap cinta dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis. Kakak penulis, FeniAlvionita S.T yang juga selalu memberikan semangat demi selesainya skripsi ini.

(43)

8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung.

Meskipun berbagai upaya dan kerja keras telah dilakukan dalam penelitian ini, penulis yakin bahwa laporan hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan guna proses penyempurnaannya. Semoga penelitian ini pada akhirnya dapat member manfaat yang bermakna bagi kemajuan ilmu kedokteran.

Medan, Desember 2016

(44)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………. i

LEMBAR PENGESAHAN…....………..…... iii

ABSTRAK……….. iv

ABSTRACT……….…… v

KATA PENGANTAR……….…… vi

DAFTAR ISI..……….……... viii

DAFTAR TABEL……..……….………....…... xi

DAFTAR GAMBAR.……….……….…...xii

DAFTAR SINGKATAN………. xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LatarBelakang..……….….… 1

1.2. RumusanMasalah………...… 3

1.3. TujuanPenelitian………...…. 3

1.4. ManfaatPenelitian………... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 DefinisidanEtiologiKusta……….. 5

2.1.2 Epidemiologi………. 5

2.1.3 PatogenesisKusta………. 6

2.1.4 KalsifikasiKusta……….……….. 7

2.1.5 GejalaKlinisKusta……..……….. 8

2.1.6 Penegakan Diagnosis Kusta…..……… 10

2.1.7 PenatalaksanaanKusta………. 10

(45)

2.2 Kecacatan

2.2.1 PengertianKecacatan………. 13

2.2.2 JenisCacat………. 13

2.2.3 TingkatKecacatan ..……… 15

2.2.4 PencegahanCacatKusta……….16

BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN 3.1 KerangkaTeori………. 17

3.2 KerangkaKonsep………. 18

BAB IV METODE PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL 4.1 JenisPenelitian……….. 19

4.2 WaktudanTempatPenelitian 4.2.1 WaktuPenelitian………. 19

4.2.2 TempatPenelitian……… 19

4.3 PopulasidanSampel……….. 19

4.4 MetodePengumpulan Data……… 20

4.5 MetodeAnalisa Data………. 20

4.6 DefinisiOperasional………... 21

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 HasilPenelitian 5.1.1 DeskripsiLokasiPenelitian………. 22

5.1.2 KarakteristikSubjekPenelitian……….. 22

5.1.3 Distribusi Tingkat KecacatanPenderitaKusta...……….. 24

5.2 Pembahasan 5.2.1 Distribusi Tingkat KecacatanBerdasarkanJenisKelamin…….. 27

5.2.2 Distribusi Tingkat KecacatanBerdasarkanJenisKusta………... 27

(46)

5.2.4 Distribusi Tingkat KecacatanBerdasarkan

Tingkat Pendidikan………... 29 5.2.5 Distribusi Tingkat KecacatanBerdasarkanPekerjaan…………. 30 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan……….….. 32 6.2 Saran………..….. 32 DAFTAR PUSTAKA………... 33

(47)

DAFTAR TABEL

TABEL2-1. GambaranKlinis, Bakteriologi, danImunologikKusta

Multibasilar (MB) ……… 8 TABEL 2-2. GambaranKlinis, Bakteriologi, danImunologikKusta

Pausibasilar (PB)………... 9 TABEL 2-3. FaktorPencetusReaksiTipe 1 danTipe 2……….. 12 TABEL 2-4. Tingkat CacatKustaMEnurut WHO……….. 15 TABEL 2-5. Modifikasi Tingkat CacatKusta di Lapangan

(di Indonesia)……… 15 TABEL 4-1 DefinisiOperasionalMasing-MasingVariabel……… 21 TABEL 5-1 DistribusiSubjekPenelitian………. 23 TABEL 5-2 Distribusi Tingkat KecacatanBerdasarkanJenisKelamin….. 24 TABEL 5-3 Distribusi Tingkat KecacatanBerdasarkanJenisKusta……... 25 TABEL 5-4 Distribusi Tingkat KecacatanBerdasarkanUsia……….. 25 TABEL 5-5 Distribusi Tingkat KecacatanBerdasarkan

(48)

DAFTAR GAMBAR

(49)

DAFTAR SINGKATAN

BLU BadanLayananUmum BTA Basil TahanAsam DDS DiaminodifenilSulfon

EMIC Explanatory Model Interview Catalogue

IB IndeksBakteri

ICF InternasionalClassification of Function Disability and Health

MB Multibasiler

MDT Multi Drug Treatment

PB Pausibasiler

(50)

LAMPIRAN

Daftar Riwayat Hidup

Ethical Clearence

SuratI zin Penelitian

Data Induk Penelitian

Gambar

TABEL 4-1. Definisi Operasional Masing-Masing Variabel
Tabel 5-1. Distribusi frekuensi subjek penelitian
Tabel 5-2. Distribusi Tingkat Kecacatan Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 5-3. Distribusi Tingkat Kecacatan Berdasarkan Jenis Kusta
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Arman Hakim Nasution (2008), peramalan adalah proses memperkirakan berapa kebutuhan di masa datang yang meliputi kebutuhan dalam urusan kuantitas,

Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) adalah surat yang diberikan oleh penyidik kepada saksi, keluarga tersangka, atau pihak lain yang

Dimana diajukan lima variabel bebas dan satu variabel terikat, yaitu bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan dan empati sebagai variabel bebas dan

Dasar Teori dan Aplikasi Program Interaktif Berbasis Web untuk Menghitung Panjang Gelombang dan Pasang Surut.. Universitas

Al haba’ yang paling dekat dengan nur Allah adalah hakikat Muhammad SAW yang disebut dengan Aql, dialah sayyid al alam yang mencakup segalanya, dan dialah yang

2012 Analisis kepuasan pelanggan pada Alfamart tembalang dari dimensi pelayanan (studi kasus pada Alfamart Jl.Ngesrep timur V/69, Kota Semarang), skripsi Fakultas Ekonomi Universitas

If people are more accurate for truths than deception (the veracity effect), which is clearly the case in Professor Burgoon’s data, then as the pro- portion of truthful senders

Dengan demikian, penelitian ini berfokus untuk menganalisis dampak yang terjadi pada pasar ekspor perikanan dengan komoditas udang dan ikan ke Eropa bila