DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku:
Arsyad, Lincolin., 1997, Ekonomi Pembangunan, STIE YKPN, Yogyakarta. Eko, Yuli. 2009. Ekonomi 1 : Untuk SMA dan MA Kelas X. Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta.
Emil Salim, Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan, tp. Jakarta, 1984
Pratama, Rahardja. dan Manurung, Mandala. 2006. “Teori Ekonomi Mikro Suatu Pengantar”. Jakarta: FE UI. Distribusi Pendapatan
Mulyati, sri Nur dan Mahfudz, Agus dan Permana, Leni. 2009. Ekonomi 1 : Untuk Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Kelas X. Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional : Jakarta.
Mudrajad Kuncoro, 1997, Ekonomi Pembangunan, Teori, masalah dan kebijakan, Cetakan pertama, Unit penerbitan dan percetakan akademi manajemen perusahaan YKPN, Yogyakarta.
Suparlan, Parsudi,. Kemiskinan di Perkotaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993
Tambunan, Tulus, TH, 2001, Perekonomian Indonesia: Teori dan TemuanEmpiris, Ghalia Indonesia,Jakarta.
Todaro, Michael P, dan Smith,Stephen C, 2004. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga Edisi Kedelapan, Jakarta : Penerbit Erlangga.
Todaro, Michael P dan Smith, Stephen C. 2006. PembangunanEkonomi, Jakarta: Erlangga.
Sumber website :
sofyan71sbw.files.wordpress.com/…/distribusi-pendapatan-dan-kemiskinan-di-indonesia.pdf
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk
mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu dan juga langkah yang
akan dilakukan dalam pengumpulan data secara empiris untuk memecahkan
masalah dan menguji hipotesis penelitian.
3.1.Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif
kuantitatif.Penelitian deskriptif kuantitatif, yaitu menjelaskan hubungan antar
variabel dengan menganalisis data numerik (angka) menggunakan metode statistik
melalui pengujian hipotesa.
3.2.Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Medan. yang terdapat 21
kecamatan yaitu Medan Johor, Medan Maimun, Medan Kota, Medan Tuntungan,
Medan Amplas, Medan Denai, Medan Area, MedanPolonia, Medan Baru, Medan
Selayang, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Barat, Medan
Timur, Medan Perjuangan, Medan Tembung, Medan Deli, Medan Labuhan,
Medan Marelan, Medan Belawan.
3.3.Definisi Operasional
1. Pertumbuhan Ekonomi merupakan proses kenaikan kapasitas produksi suatu
perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan
nasional.
Penduduk yang tidak mempunyai kemampuan dalam memenuhikebutuhan
dasar untuk kehidupan yang layak, baik kebutuhan dasarmakanan maupun
kebutuhan dasar bukan makanan di Kota Medan tahun 2004-2010. Satuan
dari variabel jumlah penduduk miskin adalah dalam ribujiwa.
3. Ketimpangan Pendapatan merupakan distribusi pendapatan antara kelompok masyarakat berpendapatan tinggi dan kelompok masyarakat berpendapatan
rendah.
3.4.Pengolahan Data
Dalam penulisan skripsi ini, data diolah dengan menggunakan program
Eviews 6.0
3.5.Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini merupakan data BPS tahun 2004-2010
jumlah penduduk miskin kota Medan di 21 kecamatan.
3.6.Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data
sekunder ini diperoleh dari buku referensi, jurnal, penelitian terdahulu, internet
dan sumber lainnya yangberhubungan dengan masalah penelitian. Sumber data
yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS) Kota Medan.
3.7.Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu :
Teknik studi kepustakaan merupakan cara yang dilakukan untuk
dengan penelitian ini. Data dan informasi dapat diperoleh melalui Badan Pusat
Statistik, buku-buku, internet, jurnal, tesis, dan sebagainya.
3.8.Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Metode Tipology Klassen
Pendekatan tipologi daerah digunakan untuk mengetahui gambaran
tentang pola dan struktur ekonomi masing-masing daerah.Dengan menggunakan
alat tipologi klassen adalah dengan pendekatan wilayah/daerah untuk mengetahui
klasifikasi daerah, yaitu Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan.Dengan garis
ketimpangan pendapatan sebagai sumbu vertikal dan garis kemiskinan sebagai
sumbu horizontal.
Pendekatan wilayah juga menghasilkan empat klasifikasi kecamatan yang
masing-masing mempunyai karakteristik tingkat ketimpangan dan tingkat kemiskinan
yang berbeda yaitu:
Tipologi I : Daerah maju, yakni daerah yang memiliki tingkat
kemiskinan rendah dan tingkat ketimpangan yang tinggi.
Tipologi II : Daerah yang sangat tidak merata, yakni daerah yang
memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi dan tingkat
ketimpangan yang tinggi.
Tipology III : Daerah tertinggal, yakni daerah yang memiliki tingkat
kemiskinan yang tinggi dan tingkat ketimpangan yang
Tipology IV : Daerah sangat merata, yakni daerah yang memiliki tingkat
kemiskinan rendah dan tingkat ketimpangan rendah.
KT
I
Daerah maju
II
Daerah sangat tidak merata
III
Daerah sangat merata
IV
Daerah tertinggal
Dimana : KT : Ketimpangan pendapatan KM : Kemiskinan
Gambar 3.1 Tipologi Klassen
Diharapkan dari analisis ini dapat ditentukan tipologi masing-masing
kecamatan yang dapat digunakan sebagai acuan pendukung untuk menentukan
prioritas dalam pengembangan pembangunan wilayah.
2. Indeks Williamson
adalah indeks untuk mengukur ketimpangan pembangunan antarkecamatan di
suatukabupaten/kota atau antarkabupaten/kota di suatu provinsi dalam waktu
tertentu. Satuan dari variabel Williamson adalah rasio.
3. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan Granger Causality Test. Digunakan metode ini adalah untuk melihat
hubungan kausalitas antar ketimpangan daerah dan tingkat kemiskinan di Kota
Medan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pengujian terhadap perilaku data
runtun waktu (time series) dan integrasinya dapat dipandang sebagai uji prasyarat
bagi digunakan metode Granger Causality Test. Sebelum dilakukan estimasi
terhadap metode Granger Causality Test diatas, maka terlebih dahulu dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Uji Akar Unit (Unit roots test)
Sebelum melakukan uji kointegrasi dan uji granger causality dengan
menggunakan data time series, maka perlu dilakukan uji stasioner terhadap
seluruh variable yang ada dalam penelitian. Pengertian stasioner terkait erat
dengan konsistensi pergerakan data time series. Data time series dikatakan
stasioner jika data tersebut tidak mengandung akar-akar unit (unit root).
Secara sederhana suatu data stasioner akan bergerak stabil dan konvergen
disekitar nilai rata-rata dengan kisaran tertentu (deviasi yang kecil) tanpa
pergerakan tren positif maupun negatif. Apabila data time series tidak
stasioner maka model yang tepat bagi data time series tersebut adalah model
regresi kesalahan atau ECM (Error Correction Model). Pengujian ini
dilakukan dengan menggunakan uji akar-akar unit (unit roots test) yang
bertujuan untuk mengetahui apakah data tersebut mengandung unit roots atau
tidak. Jika variabel tersebut mengandung unit roots, maka data tersebut
untuk uji akar unit dan diantarannya adalah Augmented Dickey Fuller(ADF)
dan Phillips Perron(PP), adapun model dari uji Augmented Dickey Fuller(ADF) dengan intercept (β1) dapat dinyatakan sebagai berikut:
∆�� = β1 + δ��−1 + �1∑∆��−1 + Ɛ�...
Sedangkan model untuk uji Phillips Perron(PP) dengan intercept (β1) adalah : ∆�� = β1 + ���−� + Ɛ�...
Kedua uji dilakukan dengan hipotesis null δ = 0 untuk ADF dan λ =1 untuk
PP. Stasioner tidaknya data didasarkan pada perbandingan nilai statistik ADF dan PP yang diperoleh dari nilai t statistik δ dan λ dengan nilai kritis statistik
dari Mac Kinnon. Jika nilai absolute statistik ADF dan PP lebih besar dari
nilai kritis Mac Kinnonmaka data stasioner dan jika sebaliknya maka data
tidak stasioner.
2. Uji Kointegrasi
Uji Kointegrasi (Cointegrasi test) uji kointegarsi bertujuan untuk melihat
hubungan jangka panjang antara 2 variabel atau lebih.Maka uji kointegrasi ini
bertujuan untuk mengetahui ketimpangan daerah dengan pertumbuhan
ekonomi memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang atau tidak dengan
menggunakan Johansen test.Johansen dapat digunakan untuk menentukan
kointegrasi sejumlah variabel, maka Johansen menyarankan untuk melakukan
2 uji statistik.Uji statistik Pertamaadalah uji trace (trace test, λtrace) yaitu
menguji Ho yang mensyaratkan bahwa jumlah dari arah kointegrasi adalah
p
������(r) = T ∑ in (1-�i)
i=r+i
dimana λr+1, ... λn adalah nilai eigenvectorsterkecil (p – r). Null
hypothesis yang disepakati adalah jumlah dari arah kointegrasi sama dengan
banyaknya r. dengan kata lain, jumlah vektor kointegrasi lebih kecil atau
sama dengan (≤) r, dimana r = 0,1,2 dan seterusnya.Uji statistikyang keduaadalahuji maksimum eigenvalue(λmax) yang dilakukan dengan formula
sebagai berikut:
����(r,r + 1) =T in (1-��+1)
Uji ini menyangkut kepada uji null hypothesis bahwa terdapat r dari vektor
kointegrasi yang berlawanan (r+1) dengan vektor kointegrasi.Untuk melihat
hubungan kointegarsi tersebut maka dapat dilihat dari besarnya nilat Trace
statistic dan Max Eigen statistik dibandingkan dengan nilai critical value pada
tingkat kepercayaan 5 persen.
3. Uji Granger Causality
Pengujian dengan metode Granger Causality Test digunakan untuk
melihat hubungan kausalitas (hubungan timbal balik) antara variabel-variabel
yang diteliti yakni pertumbuhan ekonomi, jumlah masyarakat miskin di Kota
Medandan ketimpangan pendapatan. Sehingga dapat diketahui ketiga variabel
tersebut secara statistik saling mempengaruhi (hubungan dua arah),
mempengaruhi). Berikut ini metode Granger Causality Test seperti berikut
ini:
r s
Y= ∑ Ci Yt-i + ∑ dj Xt-i + Vt ... (1)
i= 1 j= 1
m n
X1 = ∑ Ct Yt-i + ∑ Yt-i+ µt...(2)
i= 1 j= i
m n
X2 = ∑ Ct Yt-i + ∑ Yt-i+ µt...(3)
i= 1 j= i
X1 = Pertumbuhan Ekonomi
X2 = Jumlah Masyarakat Miskin di Kota Medan
X3 = Ketimpangan Pendapatan
µt dan Vt adalah error terms yang diasumsikan tidak mengandung korelasi serial dan m = n = r = s. Berdasarkan hasil regresi dari ketiga bentuk model regresi linear diatas akan menghasilkan empat kemungkinan mengenai nilai koefisien-koefisien yaitu:
n s
1. Jika ∑ bj≠ 0 dan ∑ dj = 0
J= 1 j= 1
Maka terdapat kausalitas satu arah dariX1 ke X2
n s 2. Jika ∑ bj = 0 dan ∑ dj≠ 0
J= 1 j= 1
Maka terdapat kausalitas satu arah dariX2 ke X3
n s
3. Jika ∑ bj = 0 dan ∑ dj = 0
J= 1 j= 1
n s
4. Jika ∑ bj≠ 0 dan ∑ dj≠ 0
J= 1 j= 1
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambar Umum Kota Medan 4.1.1 Lokasi dan Keadaan Geografis
Sebagai salah satu daerah otonom dengan status kota, maka kedudukan,
fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis baik secara regional
maupun nasional. Bahkan sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan
sering digunakan sebagai barometer dan tolok ukur dalam pembangunan dan
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki
kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian
Utara sehingga relatif dekat dengan kota-kota/negara yang lebih maju seperti
Pulau Penang, Kuala Lumpur Malaysia dan Singapura.
Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi
Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada tahun 1951,
Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 Tanggal 29 September 1951
yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha yang meliputi 4 kecamatan
dengan 59 kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul
keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21
September 1951 agar daerah Kota Medan diperluas menjadi 3 (tiga) kali lipat.
Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi
Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada tahun 1951,
yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha yang meliputi 4 kecamatan
dengan 59 kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul
keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21
September 1951 agar daerah Kota Medan diperluas menjadi 3 (tiga) kali lipat.
Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
1973, Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha
yang terdiri dari 11 kecamatan dengan 116 kelurahan. Berdasarkan luas
administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri
Nomor 140/2271/PUOD tanggal 5 Mei 1986 dimana Kota Medan melakukan
pemekaran kelurahan menjadi 144 kelurahan. Selanjutnya berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996
tanggal 30 September 1996 tentang pendefinitipan 7 kelurahan di Kotamadya
Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya
Daerah Tingkat II Medan yang dimekarkan kembali menjadi 21 kecamatan
dengan 151 kelurahan dan 2.001 lingkungan.
Berdasarkan data BPS Kota Medan (2014) menunjukkan bahwa Kota
Medan memiliki luas wilayah mencapai 265,10 km2 dan kecamatan yang
memiliki wilayah terluas adalah Kecamatan Medan Labuhan dengan luas wilayah
sebesar 36,67 km² dengan persentase mencapai 13,83 % dari luas wilayah Kota
Medan. Sedangkan untuk kecamatan yang memiliki luas wilayah terkecil adalah
sekitar 1,13 % dari luas wilayah Kota Medan. Berikut ini adalah luas wilayah
masing-masing kecamatan yang berada di wilayah Kota Medan.
Tabel 4.1
Luas Wilayah Kota Medan Berdasarkan Kecamatan
No Kecamatan Jumlah
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan (2014)
Sementara itu, secara astronomis Kota Medan terletak pada posisi 3°30’ -
3°43’ Lintang Utara dan 98°35’ - 98°44’ Bujur Timur dengan luas wilayah 265,10
km2. Sebagian besar wilayah Kota Medan merupakan dataran rendah dengan
topografi yang cenderung miring ke Utara dan menjadi tempat pertemuan 2 sungai
penting, yaitu sungai Babura dan sungai Deli. Disamping itu, Kota Medan berada
pada ketinggian 2,5 – 37,5 meter di atas permukaan laut dan secara administratif
- Sebelah Utara : Kabupaten Deli Serdang dan Selat Malaka
- Sebelah Selatan : Kabupaten Deli Serdang
- Sebelah Barat : Kabupaten Deli Serdang
- Sebelah Timur : Kabupaten Deli Serdang
4.1.2 Kondisi Demografis
Masyarakat Kota Medan merupakan masyarakat yang memiliki
kemajemukan yang meliputi unsur agama, suku, etnis budaya dan adat
istiadat.Kehidupan yang penuh kemajemukan tersebut dapat berjalan cukup
baik dan harmonis yang dilandasi oleh rasa kebersamaan dan saling
toleransi serta memiliki rasa kekeluargaan yang cukup tinggi.Kondisi ini
menunjukkan bahwa karakteristik masyarakat Kota Medan memiliki sifat
keterbukaan dan siap menerima perubahan dalam kehidupan bermasyarakat.
Berdasarkan data BPS Kota Medan, jumlah penduduk Kota Medan telah
mencapai 2.191.140 jiwa pada tahun 2014 dan menempatkan Kota Medan
pada posisi pertama dalam hal jumlah penduduk terbanyak dari seluruh
kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara. Dari data BPS
tersebut, baik secara absolut maupun relatif (yang dilihat dari laju
pertumbuhan penduduk) terlihat bahwa jumlah penduduk Kota Medan terus
bertambah selama kurun waktu 2000 - 2014. Pada tahun 2000, jumlah
penduduk Kota Medan sebesar 1.905.587 jiwa dan meningkat secara absolut
menjadi 2.191.140 jiwa pada tahun 2014 atau mengalami pertumbuhan
rata-rata pertahun sebesar 1,01 persen. Namun dilihat dari laju pertumbuhannya,
2014mengalami laju pertumbuhan yang fluktuatif. Untuk laju pertumbuhan
penduduk yang paling tinggi selama kurun waktu tersebut terjadi pada tahun
2014, yakni sebesar 2,60 persen. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk
yang mengalami penurunan signifikan terjadi pada tahun 2010 hingga
mencapai -1,11 persen.
Gambar 4.1
Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Medan
Sementara itu, jika dilihat jumlah penduduk Kota Medan berdasarkan
masing-masing kecamatan yang ada diwilayah Kota Medan tahun 2014
menunjukkan bahwa kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak
adalah Kecamatan Medan Deli dengan jumlah penduduk sebesar 178.147 orang
yang dihuni sebanyak 87.954 orang laki-laki dan 90.193 orang perempuan.
Kecamatan Medan Baru dengan jumlah penduduk sebesar 40.519 orang yang
dihuni sebanyak 20.005 orang laki-laki dan 20.514 orang perempuan.
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Kecamatan dan Jenis Kelamin Tahun 2014
No Kecamatan Jenis Kelamin Jumlah Kepadatan
Penduduk
Perjuangan 47.293 48.497 95.790
23.421
KOTA MEDAN 1.081.797 1.109.343 2.191.140 8255,33
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Medan
Sedangkan dilihat dari tingkat kepadatan penduduk Kota Medan maka
kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk terbesar pada tahun 2014
terdapat di Kecamatan Medan Perjuangan yang mencapai sebesar 23.421 jiwa per
km2 dan tingkat kepadatan penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Medan
Labuhan yang hanya mencapai sebesar 3.173 jiwa per km2.Melihat kenyataan
serius dari Pemerintah Kota Medan.Hal ini dikarenakan jumlah penduduk yang
besar dan tingkat pertumbuhan yang tinggi dapat mengakibatkan beban
pembangunan yang semakin berat guna mencukupi kebutuhan pangan, sandang,
perumahan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.Tetapi jika mampu
diseimbangkan atau diselaraskan dengan daya dukung dan daya tampung serta
kondisi perkembangan sosial ekonomi serta sosial budaya maka jumlah penduduk
yang besar tersebut dapat menjadi salah satu modal dasar dan faktor dominan bagi
keberhasilan pembangunan Kota Medan dimasa mendatang.
4.2. JumlahPenduduk Miskin
Sumatera Utara
merupakanProvinsikeempatdenganjumlahpendudukterbesar di Indonesia.Kota
yang terbesar di Provinsi Sumatera Utara yaitu Kota Medan yang jumlah
penduduknya lebih banyak dibandingkan dengan kota lain yang ada Sumatera
Utara. Jumlah penduduk Kota Medan pada tahun 2013 berjumlah 2.123.210 jiwa.
Jumlahpendudukmiskin di Kota Medan mengalami perubahan dari tahun
2004-2010. Pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin di Kota Medan berjumlah
258.585 jiwa dan pada tahun 2005 menjadi 252.857 jiwa.Tetapi pada tahun 2006
jumlah penduduk miskin di Kota Medan meningkat yang berjumlah 284.384 jiwa.
Pada tahun 2007-2010 jumlah penduduk miskin di Kota Medan selalu mengalami
Tabel 4.3
JumlahPendudukMiskin Kota Medan Tahun 2004-2010 (ribu)
No
Tahun Angka
1 2004 258.585
2 2005 252.857
3 2006 284.384
4 2007 254.045
5 2008 231.823
6 2009 215.423
7 2010 214.168
Sumber: BPS SUMUT
4.3 Perkembangan perekonomian di Kota Medan
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator membaiknya
ekonomi di Kota Medan.Pertumbuhan ekonomi juga merupakan suatu
gambaran mengenai dampak kebijakan pembangunan yang dilaksakan
khususnya dalam bidang ekonomi.
Perekonomian Kota Medan tumbuh sebesar 7,92% pada tahun 2009.
Kemudian pertumbuhan perekonomian Kota Medan pada tahun 2010
mengalami penurunan menjadi 7,33% dan pada tahun 2011 pertumbuhan
ekonomi di Kota Medan mengalami peningkatan menjadi 7,69%.
Pada tahun 2012 perekonomian Kota Medan menurun menjadi 7,63%
kemudian pada tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 7,81%.
Perkembangan dan pertumbuhan di Kecamatan di Kota Medan mengalami
perkembangan yang cukup besar. Pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi di
Kecamatan Kota Medan yang tertinggi ialah Kecamatan Medan Deli, sebesar
tingkat perekonomian yang terendah ialah Kecamatan Medan Barat sebesar
3,42%. Untuk tahun 2010 pertumbuhan ekonomi di kecamatan di Kota
Medan yang tertinggi ialah Kecamatan Medan Amplas sebesar 7,81% dan
diikuti lagi Kecamatan Medan Maimun sebesar 7,75%. Kemudian untuk
tingkat perekonomian yang terendah ialah Kecamatan Medan Denai sebesar
5,04%. Untuk tahun 2011 pertumbuhan ekonomi di kecamatan di Kota
Medan yang tertinggi ialah Kecamatan Medan Maimun sebesar 9,22%,
diikuti Kecamatan Medan Area sebesar 8,45%, Kecamatan Medan Polonia
sebesar 7,61% serta Kecamatan Medan Baru sebesar 7,48%. Kemudian untuk
tingkat perekonomian terendah ialah Kecamatan Medan Area sebesar 4,42%.
Untuk tahun 2012 pertumbuhan ekonomi di kecamatan di Kota Medan yang
tertinggi ialah Kecamatan Medan Maimun sebesar 9,15%, diikuti Kecamatan
Medan Area sebesar 8,39%, Kecamatan Medan Polonia sebesar 7,55% serta
Kecamatan Medan Baru sebesar 7,42%. Kemudian untuk tingkat
perekonomian yang terendah ialah Kecamatan Medan Marelan sebesar
4,38%. Selanjutnya untuk tahun 2013 pertumbuhan ekonomi di kecamatan di
Kota Medan yang tertinggi ialah Kecamatan Medan Maimun sebesar 9,37%,
diikuti Kecamatan Medan Area sebesar 8,,58%, Kecamatan Medan Polonia
sebesar 7,73% serta Kecamatan Medan Baru sebesar 7,60%. Kemudian untuk
tingkat perekonomian yang terendah ialah Kecamatan Medan Marelan 4,49%.
Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya adalah gambaran dari aktifitas
perekonomian masyarakat di suatu daerah dan sebagai salah satu tolok ukur dari
tahun 2000, laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan mengalami trend
peningkatan selama periode 2000 – 2013 kecuali pada tahun 2008 dan 2009 yang
sedikit mengalami perlambatan sebagai dampak dari krisis global.
Gambar 4.2
Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan
Selama kurun waktu tahun 2000 – 2005, laju pertumbuhan ekonomi Kota
Medan cenderung meningkat dari 4,40 persen pada tahun 2000 menjadi 6,98
persen pada tahun 2005. Sedangkan laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan pada
tahun 2006 dan 2007 meningkat menjadi 7,77 persen dan 7,78 persen. Akan tetapi
pada tahun 2008 terjadi perlambatan akselerasi menjadi 6,89 persen dan kembali
mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 menjadi 6,55
persen. Namun demikian, kinerja ekonomi Kota Medan pada tahun 2010
mengalami akselerasi pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat dari 7,16 persen
Selanjutnya pada tahun 2012, laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan kembali
mengalami perlambatan menjadi 7,63 persen dan mencapai laju pertumbuhan
ekonomi terendah hingga 4,30 persen pada tahun 2013.
Sementara itu, dilihat dari sisi penawaran, kinerja pertumbuhan ekonomi
Kota Medan selama periode 2010 – 2013 menunjukkan kondisi yang
menggembirakan dan secara rata-rata (6,69 persen) masih berada diatas rata-rata
pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara dan nasional. Namunsecara
umum, tingginya laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan lebih didorong oleh
kelompok sektor tersier yang terdiri dari sektor keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan yang rata-rata tumbuh sebesar 8,91 persen pertahun.
Tabel 4.4
Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan (%)
Kategori 2010 2011 2012 2013
Pertanian 0,70 2,80 1,84 3,34
Pertambangandan Penggalian -2,86 -0,60 -0,82 -2,00
Industri Pengolahan 4,37 3,51 3,70 3,67
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS)
Selanjutnya didukung oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang
tumbuh dengan rata-rata sebesar 8,85 persen pertahun. Selain itu, pertumbuhan
ekonomi Kota Medan juga didorong oleh sektor jasa-jasa yang tumbuh rata-rata
rata-rata tumbuh sekitar 3,65 persen pertahun. Sementara itu, kontribusi sektor
sekunder yang terdiri dari sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air
bersih serta sektor konstruksi mengalami pertumbuhan dengan rata-rata sekitar
3,81 persen untuk sektor industri pengolahan dan 4,55 persen untuk sektor listrik,
gas dan air bersih serta 7,21 persen pertahun untuk sektor konstruksi atau
bangunan.
Namun demikian, sektor ekonomi yang secara signifikan kurang
berkontribusi terhadap laju pertumbuhan ekonomi Kota Medan adalah kelompok
sektor primer melalui sektor pertambangan dan penggalian yang melambat dengan
rata-rata sebesar -1,57 persen pertahun. Perlambatan ini dikarenakan peranan sub
sektor pertambangan dan sub sektor penggalian yang relatif semakin berkurang
dan cenderung tidak ada lagi. Sedangkan untuk kelompok sektor primer lainnya
terjadi perlambatan pada sektor pertanian dengan rata-rata sebesar 2,17 persen
pertahun. Penurunan sektor ini terkait dengan semakin sempitnya lahan pertanian
yang ada di Kota Medan sehingga hasil produksi dari sektor pertanian semakin
menurun setiap tahunnya.
Disamping itu, dalam struktur perekonomian Kota Medan selama kurun
waktu 2010 – 2013 menunjukkan kontribusi sektor primer dalam pembentukan
PDRB Kota Medan cenderung mengalami penurunan dari 2,67 persen tahun 2010
menjadi 2,27 persen pada tahun 2013 atau berkontribusi secara rata-rata sekitar
2,47 persen pertahun. Penurunan ini sebagai dampak dari semakin menurunnya
peranan sektor pertanian dalam pembentukan PDRB Kota Medan dari 2,67 persen
Begitupun kontribusi sektor sekunder yang cenderung menurun dari 26,45 persen
pada tahun 2010 menjadi 25,90 persen ditahun 2013 atau secara rata-rata
berkontribusi sebesar 26,29 persen pertahun. Penurunan ini terjadi pada sektor
pendukungnya, yaitu sektor industri pengolahan dari 14,97 persen tahun 2010
menjadi 13,40 persen pada tahun 2013. Begitupun untuk sektor listrik, gas dan air
bersih yang mengalami penurunan dari 1,70 persen pada tahun 2010 menjadi 1,51
persen pada tahun 2013. Namun demikian, sektor bangunan memberi kontribusi
yang meningkat dalam pembentukan PDRB Kota Medan dari 9,78 persen pada
tahun 2010 menjadi 10,99 persen pada tahun 2013.
Kategori 2010 2011 2012 2013
Sektor Primer 2,67 2,50 2,44 2,27
Pertanian 2,67 2,50 2,44 2,27
Pertambangan dan Penggalian 0,00 0,00 0,00 0,00
Sektor Sekunder 26,45 26,62 26,20 25,90
Industri Pengolahan 14,97 14,41 13,86 13,40
Listrik, Gas dan Air Bersih 1,70 1,69 1,54 1,51
Bangunan 9,78 10,52 10,80 10,99
Sektor Tersier 70,87 70,88 71,35 71,82
Perdagangan, Hotel dan Restoran 26,92 25,96 25,92 27,99
Pengangkutan dan Komunikasi 18,95 19,05 19,27 17,43
Keuangan, Persewaan dan Jasa usaha
14,27 14,97 15,21 15,43
Jasa-Jasa 10,72 10,90 10,95 10,97
Gambar 4.3
Pertumbuhan PDRB Kota Medan
Sementara itu, kontribusi sektor tersier cenderung mengalami
peningkatan dari 70,87 persen pada tahun 2010 menjadi 71,82 persen pada tahun
2013 atau secara rata-rata berkontribusi dalam pembentukan PDRB Kota Medan
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang meningkat dari 14,27 persen pada
tahun 2010 menjadi 15,43 persen pada tahun 2013. Begitupun sektor
perdagangan, hotel dan restoran yang cenderung meningkat kontribusinya dari
26,92 persen pada tahun 2010 menjadi 27,99 persen pada tahun 2013.
Selain itu, meningkatnya kontribusi sektor tersier juga didukung oleh
kontribusi sektor jasa-jasa yang cenderung meningkat dari 10,72 persen pada
tahun 2010 menjadi 10,97 persen pada tahun 2013. Sedangkan sektor
pengangkutan dan komunikasi cenderung mengalami fluktuasi dalam memberikan
kontribusinya terhadap pembentukan PDRB Kota Medan. Untuk tahun 2010,
sektor ini mampu memberi kontribusi sebesar 18,95 persen dan meningkat
menjadi 19,05 persen pada tahun 2011 serta 19,27 persen pada tahun 2012.
Namun pada tahun 2013, kontribusi sektor pengangkutan dan komunikasi
mengalami penurunan kontribusi menjadi 17,43 persen terhadap pembentukan
PDRB Kota Medan.
4.4Perkembangan Penduduk Miskin di Kota Medan
Jumlah penduduk miskin di Kota Medan mengalami penyusutan yang
cukup baik dari tahun ke tahun.Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin sebesar
258.585 jiwa. Pada tahun 2005, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan
sebesar 252.857 jiwa dan mengalami kenaikan pada tahun 2006 sebesar 284.384
jiwa. Dan mengalami penurunan pada tahun 2007 dan 2008 yaitu sebesar 254.045
dan 206.745 jiwa. Pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin sebesar 215,432 jiwa
dan pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan sebesar
Persentase penduduk miskin kecamatan Kota Medan tahun 2004-2010
mengalami fluktuasi yang menggembirakan. Jumlah penduduk miskin untuk
Kecamatan di Kota Medan yangtertinggi pada tahun 2004 adalah Kecamatan
Medan Belawan sebesar 24.483 jiwa, untuk tahun 2006 Kecamatan di Kota
Medan yang tertinggi adalah Kecamatan Kota Belawan sebesar 26.926 jiwa. Dan
pada tahun 2010 yang tertinggi masih Kecamatan Medan Belawan sebesar 20.278
jiwa yang terus mengalami penurunan.Untuk jumlah penduduk miskin Kecamatan
di Kota Medan yang terendah pada tahun 2004-2010 adalah Kecamatan Medan
Baru. Pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin kecamatan medan baru sebesar
3.959 jiwa dan pada tahun 2005 mengalami kenaikan sebesar 3.871 jiwa.
Kemudian pada tahun 2009-2010 mengalami penurunan yang cukup drastis
Tabel 4.5
Penduduk Miskin Kecamatan Kota Medan Tahun 2004-2010 (ribu)
No Kecamatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Average
215.432 214.168 244.471
4.5. Analisis Ketimpangan Daerah Dengan Tingkat Kemiskinan di Kota Medan
Untuk memberikan gambaran terhadap ketimpangan kecamatan antar Kota
Medan, maka alat analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson
(Vw).Ketimpangan pendapatan kecamatan Kota Medan selama tahun 2004-2010
yang dihitung menggunakan Indeks Williamson untuk Kota Medan menunjukan
kecenderungan peningkatan. Pada tahun 2010 nilai indeks Williamson Kota
Medan sebesar 0,20 atau lebih meningkat dibandingkan tahun 2004 sebesar 0,17.
Kondisi ketimpangan ini sangat mengkhawatirkan mengingat angka indeks yang
mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.Tingginya tingkat
ketimpangan ini dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam perkembangan
ekonomi antar wilayah yang memiliki aktifitas ekonomi yang berbeda di setiap
wilayah dan tidak semua daerah mempunyai daya tarik yang mendorong investor
menanamkan modalnya sehingga distribusi pendapatan antar daerah tidak
merata.Ketidakmerataan distribusi pendapatan yang diterima masyarakat menjadi
salah satu penyebab ketimpangan antar daerah pada tahun tersebut. Ketimpangan
antar wilayah dapat di tekan kenaikannya dengan cara menciptakan lapangan
pekerjaan baru pada wilayah kurang berkembang, munculnya penanaman modal
investasi pada sektor wilayah tersebut sehingga dapat mendukung perkembangan
perekonomian di wilayah tersebut. Perkembangan sarana transportasi akan
membantu mobilitas masyarakat dalam melaksanakan kegiatan ekonomi sehingga
Tabel 4.4
Indeks Williamson kecamatan di Kota Medan pada tahun2001-2010
Pada tahun 2001, nilai indeks williamson tertinggi adalah 0,87 pada
Kecamatan Medan Barat. Diikuti dengan Kecamatan Medan Deli sebesar 0,25.
Pada tahun 2002-2003, nilai indeks Williamson tertinggi ialah Kecamatan Medan
Barat sebesar 0,78 dan 0,79. nilai Pada tahun 2004 nilai indeks Williamson
tertinggi ialah Kecamatan Medan Barat sebesar 0,96 diikuti Kecamatan Medan
Polonia sebesar 0,33 ini berarti angka indeks yang semakin mendekati 1
menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar. Dan untuk ketimpangan yang
terendah ialah Kecamatan Medan Helvetia dan Medan Kota sebesar 0,05. Pada
tahun 2005 ke tahun 2006 mengalami kenaikan nilai indeks, nilai indeks tertinggi
Polonia sebesar 0,89. Dan untuk ketimpangan yang terendah pada tahun 2005
ialah Kecamatan Medan Kota sebesar 0,04 dan tahun 2006 ialah 0,05. Pada tahun
2007 ke tahun 2008 mengalami kestabilan nilai indeks, nilai indeks tertinggi ialah
Kecamatan Medan Barat sebesar 0,89 dan 0,94. kemudian diikuti Kecamatan
Medan Polonia sebesar 0,40 dan 0,42. Dan untuk ketimpangan yang terendah
pada tahun 2006 dan 2007 ialah Kecamatan Medan Kota sebesar 0,05. Pada tahun
2009 ke tahun 2010, nilai indeks tertinggi ialah Kecamatan Medan Barat sebesar
0,89 dan 0,95.
4.6Tipologi Klassen
Pendekatan tipologi daerah digunakan untuk mengetahui gambaran
tentang pola dan struktur ekonomi masing-masing daerah.Dengan menggunakan
alat tipologi klassen adalah dengan pendekatan wilayah/daerah untuk mengetahui
klasifikasi daerah yaitu Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan.Dengan garis
ketimpangan pendapatan sebagai sumbu vertikal dan garis kemiskinan sebagai
sumbu horizontal.
Pendekatan wilayah juga menghasilkan empat klasifikasi kecamatan
yang masing-masing mempunyai karakteristik tingkat ketimpangan dan tingkat
kemiskinan yang berbeda yaitu:
Tipologi I : Daerah maju, yakni daerah yang memiliki tingkat kemiskinan
rendah dan tingkat ketimpangan yang tinggi.
Tipologi II :Daerah yang sangat tidak merata, yakni daerah yang memiliki
tingkat kemiskinan yang tinggi dan tingkat ketimpangan yang
Tipologi III :Daerah tertinggal, yakni daerah yang memiliki
tingkatkemiskinan yang tinggi dan tingkat ketimpangan yang
rendah.
Tipology IV :Daerah sangat merata, yakni daerah yang memiliki tingkat
kemiskinan rendah dan tingkat ketimpangan rendah.
Gambar 4.4 Tipologi Klassen
Keterangan:
1. Medan Tuntungan 12. Medan Helvetia
2. Medan Johor 13. Medan Petisah
3. Medan Amplas 14. Medan Barat
4. Medan Denai 15. Medan Timur
5. Medan Area 16. Medan Perjuangan
6. Medan Kota 17. Medan Tembung
7. Medan Maimun 18. Medan Deli
8. Medan Polonia 19. Medan Labuhan
9. Medan Baru 20. Medan Marelan
10. Medan Selayang 21. Medan Belawan 11. Medan Sunggal
I II
Dari gambar diatas menunjukkan bahwa kecamatan Medan Polonia dan
Medan Marelan termasuk dalam kategori maju yaitu kemiskinan rendah tetapi
ketimpangan tinggi.
Sementara itu, kecamatan Medan Deli, Medan Barat, dan Medan Labuhan
termasuk kategori daerah sangat tidak merata yaitu memiliki Ketimpangan yang
tinggi dan kemiskinan yang tinggi.
Selanjutnya, kecamatan Medan Johor, Medan Denai, Medan Area, Medan
Tembung, Medan Belawan termasuk kategori daerah tertinggal yaitu tingkat
kemiskinan tinggi tetapi ketimpangan rendah.
Terakhir, kecamatan Medan Tuntungan, Medan Petisah, Medan Amplas,
Medan Kota, Medan Maimun, Medan Baru, Medan Selayang, Medan Sunggal,
Medan Helvetia, Medan perjuangan termasuk kategori daerah yang sangat merata
yaitu tingkat kemiskinan tinggi dan ketimpangan tinggi.
4.7 Hasil Estimasi
4.7.1 Hasil Uji Akar Unit
Sebelum melakukan uji kointegrasi dan uji granger causality dengan
menggunakan data time series, maka perlu dilakukan uji stasioneritas yang
tujuannya adalah untuk mengetahui apakah data tersebut mengandung unit roots
atau tidak. Jika variabel tersebut mengandung unit roots, maka data tersebut
dikatakan data yang tidak stasioneritas. Berikut ini untuk variabel yang akan
digunakan dalam penelitian ini, yaitu laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan
tingkat kemiskinan (TK) di Kota Medan dengan menggunakan uji Augmented
Tabel 4.7
Hasil Pengujian ADF dan Phillips-Perron
Null Hypothesis: D(PE,2) has a unit root
Adj. t-Stat Prob.*
Phillips-Perron test statistic -6.704528 0.0016 Test critical values: 1% level -4.803492
5% level -3.403313
10% level -2.841819
Null Hypothesis: D(TK,2) has a unit root
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -3.578150 0.0069 Test critical values: 1% level -3.271402
5% level -2.082319
10% level -1.599804
Dari hasil uji akar unit di atas menunjukkan bahwa hasil uji akar unit
untuk variabel laju pertumbuhan ekonomi (LPE) stasioner pada derajat integrasi 2
atau pada I (2) dan tingkat kemiskinan (TK) stasioner pada derajat integrasi 2 atau
pada none (2). Dimana laju pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam
penelitian ini stasioner pada data first difference dan variable tingkat kemiskinan
ini stasioner pada data second difference dengan tingkat signifikan α=1 %. Hal
tersebut diketahui dari nilai probabilitas 0.0016 (untuk LPE) dan 0.0069 (untuk
TK).Kedua nilai tersebut lebih kecil daripada 0.01 (α 1 %), yang menjelaskan
bahwa variabel laju pertumbuhan ekonomi (LPE) stasioner pada derajat integrasi
2 dan variabel tingkat kemiskinan (TK) stasioner pada derajat integrasi 2.
4.7.2. Hasil Uji Kointegrasi
Uji ini dilakukan untuk melihat hubungan jangka panjang dari
ekonomi.hasil estimasi dari penelitian ini dapat digunakan untuk melihat
hubungan keseimbangan jangka panjang.
Tabel 4.8
Hasil Uji Kointegrasi dengan Metode Johansen
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.791081 18.09441 15.49471 0.0198 At most 1 * 0.501421 5.567948 3.841466 0.0183
Dari hasil uji Kointegrasi pada tabel 4.6. Dapat dilihat bahwa nilai trace
statistic lebih besar dari critical value pada α = 5%. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa kedua variable pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki hubungan
jangka panjang.Dengan demikian dapat disimpulkan adanya hubungan
keseimbangan dalam jangka panjang antara Pertumbuhan Ekonomi dan
ketimpangan di Kota Medan.
4.7.3. Hasil Uji Granger Causality
Untuk melihat hubungan kausalitas (timbal-balik) antara variabel-variabel
yang diteliti yakni Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan tingkat
ketimpangan.maka dapat dilakukan pengujian dengan menggunakan metode
Tabel 4.9
Hasil Uji Granger Causality
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.
KETIM does not Granger Cause PE 8 0.27196 0.7789 PE does not Granger Cause KETIM 1.98200 0.2827
Pada tabel 4.7 menunjukkan bahwa nilai probability lebih kecil dari α =
0,05 (0,7789 > 0,05) sehingga H1 ditolak yang akan mempengaruhi variabel
lainnya. Ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan daerah di Kota
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil estimasi dan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan
beberapa hal antara lain:
1. Jumlah penduduk miskin di Kota Medan mengalami penyusutan yang cukup
baik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin sebesar
258.585 jiwa. Pada tahun 2005, penduduk miskin mengalami penurunan
sebesar 215,432 jiwa dan pada tahun 2006, mengalami kenaikan sebesar
284.384 jiwa. Kemudian pada tahun 2007-2009 mengalami penurunan yang
cukup drastis sebesar 254.045 jiwa, 231.823 jiwa dan 206.745 jiwa.Pada tahun
2010 mengalami peningkatan sebesar 214.168 jiwa.
2. Ketimpangan pendapatan Kecamatan di Kota Medan selama tahun 2001-2010
yang dihitung menggunakan Indeks Williamson untuk Kota Medan
menunjukan kecenderungan mengalami kenaikan yaitu sebesar 0,17, 0,17, 0,18
, 0,20 , 0,19 , 0,19 , 0,19 , 0,20 0,19 , 0,20.Ketimpangan pendapatan di Kota
medan termasuk dalam kategori ketimpangan rendah.
3. Hasil analisis tipologi Klassen menunjukkan bahwa Kecamatan yang termasuk
dalam daerah maju (Kuadran I) terdapat 2 kecamatan dan untuk daerah sangat
tidak merata (Kuadran II) terdapat 3 kecamatan, sedangkan daerah tertinggal
(Kuadran III) terdapat 6 kecamatan dan daerah sangat merata (kuadran IV) ada
4. Dari hasil Uji Kointegrasi terdapat hubungan keseimbangan dalam jangka
panjang antara laju perumbuhan ekonomi dan ketimpangan daerah di Kota
Medan.
5. Dari hasil uji Granger Causalitytidak ditemukan adanya hubungan timbal balik
antara laju pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan daerah di Kota Medan.
5.2. Saran
Dari beberapa kesimpulan diatas dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Kota Medan, maka perlu peningkatan
kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan. Sehingga menghasilkan Sumber
Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Dan untuk daerah-daerah yang
terisolir, diperlukan infrastruktur yang merata disetiap daerah sehingga akan
mengurangi tingkat kemiskinan serta mengurangi ketimpangan antar daerah.
2. Dimana pemerintah daerah sebaiknya lebih banyak lagi mempromosikan
potensi ekonominya kepada para investor. Untuk mengurangi ketimpangan
perlu diamati secara cermat sektor ekonomi mana yang perlu
dikembangkan.Untuk daerah-daerah yang memiliki potensi alam yang tinggi
dapat lebih memaksimalkan penggunaan sumber daya alam tersebut untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Sementara untuk daerah yang
tidak memiliki potensi sumber daya alam yang memadai dapat
mengkonsentrasikan kegiatan ekonomi pada sektor lain yang potensial di
daerah tersebut.
3. Pemerintah daerah juga dapat memilih kebijakan pembangunan ekonomi
menyokong satu sektor saja melainkan pemerataan di seluruh sektor
(pertanian, industri, pemabangunan) dan kebijakan itu tidak terpusat di
wilayah tertentu saja melainkan kesemua wilayah yang ada sehingga
ketimpangan pendapatan bisa dikurangi.
4. Sektor ekonomi yang lebih dominan kontribusinya perlu dilakukan
pengembangan secara berkualitas agar dapat menjadi lokomotif
pembangunan ekonomi Kota Medan ditahun-tahun mendatang. Namun, untuk
sektor yang masih kecil peranannya juga harus tetap diperhatikan sehingga
sektor-sektor ekonomi tersebut dimasa mendatang secara bersama-sama akan
mampu menjadi salah satu pilar dalam mendorong perekonomian Kota
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan menurut BPS dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan (diukur
dari sisi pengeluaran).
Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena
kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari
dengan kekuatan yang ada padanya (BAPPENAS,2003)
Menurut Friedman dalam Mudrajad Kuncoro (1997), kemiskinan adalah
ketidaksamaankesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial.
Basis kekuasaan sosial meliputi: modal produktif, sumber keuangan, organisasi
sosial dan politik, jaringan sosial, pengetahuan dan keterampilan, dan informasi
yang berguna untuk kemajuan hidup.
Menurut Suparlan (2004) kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup
yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan pada sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang rendah ini secara
langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan
moral dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Menurut Ritonga (2003) memberikan definisi bahwa kemiskinan adalah
kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seorang atau rumah
kehidupannya.Kebutuhan dasar minimal yang dimaksud adalah yang berkaitan
dengan kebutuhan pangan, sandang, perumahan dan kebutuhan sosial yang
diperlukan oleh penduduk atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya secara layak.
Kemiskinandapat dibagi menjadi dua yaitu kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif.Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di mana
kebutuhan minimumuntuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi, sedangkan
kemiskinan relatif adalahsuatu ukuran mengenaikesenjangan/ketimpangan di
dalam distribusi pendapatanyang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya
dengan tingkat rata-rata daridistribusi yang dimaksud (Widodo, 2006: 99).
2.2. Metode Pengukuran Kemiskinan
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) cara mengukur kemiskinan yaitu
dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi
kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan
minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari.Sedangkan
pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk
perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Secara umum metode pengukuran kemiskinan dikaitkan dengan tiga
konsep, yaitu:
1. Garis kemiskinan pendapatan (income-based poverty line),
2. Garis kemiskinan konsumsi (consumption-based poverty line), dan
Jhingan (1992) mengemukaan tiga ciri utama negara berkembang yang
menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada
kemiskinan.Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai
sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki
keterampilan ataupun keahlian.Kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk
sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja
produktif.Ketiga, penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan
dengan metode produksi yang telah usang dan ketinggalam zaman.Kemiskinan
merupakan fenomena yang sangat kompleks (Suharto,2004).
2.3. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
Faktor penyebab kemiskinan menurutSharp (2000), meliputi:
1. Rendahnya kualitas angkatan kerja.
Salah satu penyebab terjadinya kemiskinan adalah karena rendahnya kualitas
angkatan kerja. Kualitas angkatan kerja ini bisa dilihat dari angka buta huruf.
Sebagai contoh Amerika Serikat hanya mempunyai angka buta huruf sebesar
1%, dibandingkan dengan Ethiopia yang mempunyai angka diatas 50%.
2. Akses yang sulit terhadap kepemilikan modal.
Kepemilikan modal yang sedikit serta rasio antara modal dan tenaga kerja
(capital-to-labor ratios) menghasilkan produktivitas yang rendah yang pada
akhirnya menjadi faktor penyebab kemiskinan.
3. Rendahnya tingkat penguasaan teknologi.
Negara-negara dengan penguasaan teknologi yang rendah mempunyai tingkat
menyebabkan terjadinya pengangguran. Hal ini disebabkan oleh kegagalan
dalam mengadaptasi teknik produksi yang lebih modern. Ukuran tingkat
penguasaan teknologi yang rendah salah satunya bisa dilihat dari
penggunaaan alat-alat produksi yang masih bersifat tradisional.
4. Penggunaan sumber daya yang tidak efisien.
Negara miskin sumber daya yang tersedia tidak dipergunakan secara penuh
dan efisien. Pada tingkat rumah tangga penggunaan sumber daya biasanya
masih bersifat tradisional yang menyebabkan terjadinya inefisiensi.
5. Pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Menurut teori Malthus jumlah penduduk berkembang sesuai deret ukur
sedangkan produksi bahan pangan berkembang sesuai deret hitung. Hal ini
mengakibatkan kelebihan penduduk dan kekurangan bahan pangan.
Selain itu kemiskinan dapat terjadi akibat sistem ekonomi yang berlaku
karena yang kuat menindas yang lemah, tidak adanya sumber pendapatan yang
memadai bagi golongan yang bersangkutan, struktur pemilikan, dan penggunaan
tanah, pola usaha yang terbelakang, dan pendidikan angkatan kerja yang
rendah.Dengan rendahnya faktor-faktor diatas menyebabkan rendahnya aktivitas
ekonomi yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Dengan rendahnya aktivitas
ekonomi yang dapat dilakukan berakibat terhadap rendahnya produktivitas dan
pendapatan yang diterima, pada gilirannya pendapatan tersebut tidak mampu
memenuhi kebutuhan fisik minimun yang menyebabkan terjadinya proses
2.4. Ukuran Kemiskinan
Pada umumnya terdapat 2 indikator untuk mengukur tingkat kemiskinan di
suatu wilayah, yaitu kemiskinan absolute dan kemiskinan relatif.Mengukur
kemiskinan dengan mengacu pada garis kemiskinan yang pengukurannya tidak
didasarkan pada garis kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada
garis kemiskinan relatif (Tulus, 2011 dalam Andono (2011).
1. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut merupakan ketidakmampuan seseorang dengan
pendapatan yang diperolehnya mencukupi kebutuhan dasar minimum yang
diperlukan untuk hidup setiap hari.Kebutuhan minimum tersebut digunakan
sebagai batas garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat
yang selalu konstan secara riil, sehingga dapat ditelusuri kemajuan yang
diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang
waktu.
2. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencapai
standar kehidupan yang ditetapkan masyarakat setempat sehingga proses
penentuannya sangat subjektif. Mereka yang berada dibawah standar
penilaian tersebut dikategorikan sebagai miskin secararelatif.Kemiskinan
relatif ini digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi
pendapatan.Menurut Azhari (1992), menggolongkan kemiskinan kedalam
timbul sebagai akibat sumber daya yang langka jumlahnya, atau karena
perkembangan tingkat tehnologi yang sangat rendah. Termasuk didalamnya
adalah kemiskinan akibat jumlah penduduk yang melaju dengan pesat di
tengah- tengah sumber daya alam yang tetap. 2. Kemiskinan structural,
Kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur
sosial sedemikian rupa, sehingga masyarakat itu tidak dapat menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
Kemiskinan struktural ini terjadi karena kelembagaan yang ada membuat
anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan
fasilitas- fasilitas secara merata. Dengan perkataan lain kemiskinan ini tidak
ada hubungannya dengan kelangkaan sumber daya alam. 3. Kemiskinan
cultural, Kemiskinan yang muncul karena tuntutan tradisi / adat yang
membebani ekonomi masyarakat, seperti upacara perkawinan, kematian atau
pesta pesta adat lainnya termasuk juga dalam hal ini sikap mentalitas
penduduk yang lamban, malas, konsumtif serta kurang berorientasi ke masa
depan.
2.5. Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan pada dasarnya merupakan suatu konsep mengenai
penyebaran pendapatan di antara setiap orang atau rumah tangga dalam
masyarakat.Konsep pengukuran distribusi pendapatan dapat ditunjukkan oleh dua
konsep pokok, yaitu konsep ketimpangan absolut dan konsep ketimpangan
relatif.Ketimpangan absolut merupakan konsep pengukuran ketimpangan yang
merupakan konsep pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan yang
membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang atau
sekelompok anggota masyarakat dengan besarnya total pendapatan yang diterima
oleh masyarakat secara keseluruhan (Ahluwalia dalam Sukirno,2006).
Ada beberapa indikator untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan yaitu dengan menggunaka metode Willamson Index.Ukuran
ketimpangan pembangunan antar wilayah yang mula-mula ditemukan
adalahWilliamson Index. Dalam Ilmu Statistik, indeks ini sebenarnyaadalah
coefficient of variationyanglazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan.
Istilah Williamson Index muncul sebagaipenghargaan kepada Jeffrey G.
Williamson yang pertama kali menggunakan teknik ini untukmengukur
ketimpangan pembangunan antar wilayah.
1. Williamson Index (Vw)
Williamson Index adalah suatu ukuran yang digunakan agar pertumbuhan
ekonomi yang dicapai dinikmati secara merata diantara wilayah dalam
suatu negara. Pemerataan dapat dilihat melalui indeks williamsonyang
menunjukkan nilai mendekati 1 maka pembangunan semakin tidak merata,
dan sebaliknya jika mendekati 0 maka pembangunan semakin
merata.Walaupun indeks ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain
sensitif terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan,
namun demikian indeks ini cukup lazim digunakan dalam mengukur
ketimpangan pembangunan antar wilayah
.
VW= �∑( ��−�)2 ��/�
Dimana : VW : Koefisien Ketimpangan Yi : Pendapatan Perkapita di daerah Y : Pendapatan Perkapita di Provinsi Fi : Penduduk di daerah
N : Jumlah Penduduk
2.6. Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan
Menurut Irma Adelma dan Cynthia Taft Morris (dalam Lincoln Arsyad,
1997) ada 8 hal yang menyebabkan ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi
pendapatan di negara sedang berkembang :
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya
pendapatan perkapita.
2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara
proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal
(Capital Insentive), sehingga persentase pendapatan modal dari kerja
tambahan besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal
dari kerja, sehingga pengangguran bertambah.
5. Rendahnya mobilitas sosial.
6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan
kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha
golongan kapitalis.
7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi Negara Sedang Berkembang
ketidakelastisan permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang
ekspor Negara Sedang Berkembang.
8. Hancurnya industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah
tangga, dll.
2.7.Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Kemiskinan
Penghapusan kemiskinan dan berkembangnya ketidakmerataan distribusi
pendapatan merupakan salah satu inti masalah pembangunanterutama di negara
sedang berkembang.Todaro dan Smith (2004), mengatakan penanggulangan
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan inti dari semua
masalah pembangunan dan merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di
banyak daerah.
Menurut Todaro (2000), Pengaruh antara ketimpangan distribusi
pendapatan terhadap kemiskinan dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah
penduduk. Pertambahan jumlah penduduk cenderung berdampak negatif terhadap
penduduk miskin, terutama bagi mereka yang sangat miskin.Sebagian besar
keluarga miskin memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak sehingga kondisi
perekonomian mereka berada di garis kemiskinan semakin memburuk seiring
dengan memburuknya ketimpangan pendapatan atau kesejahteraan.Penyebab dari
kemiskinan adalah adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang
selanjutnya akan menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
Menurut Todaro (2003), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang
merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi.
negara atau daerah, akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan. Ketimpangan pendapatan antar daerah, tergantung dari besarnya
jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap penerima pendapatan dalam daerah
tersebut, baik itu golongan masyarakat maupun wilayah tertentu dalam daerah
tersebut. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima itu menimbulkan suatu
distribusi pendapatan yang berbeda, sedangkan besar kecilnya perbedaan tersebut
akan menentukan tingkat pemerataan pendapatan (ketimpangan pendapatan)
daerahtersebut. Oleh karena itu, ketimpangan pendapatan ini akan tergantung dari
besar kecilnya perbedaan jumlah pendapatan yang diterima oleh penerima
pendapatan. Sehingga timpang atau tidaknya pendapatan daerah dapat diukur
melalui distribusi penerimaan pendapatan antar golongan masyarakat ataupun
antar wilayah tertentu, dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut terlihat
pada nilai PDRB-nya, sedangkan untuk golongan masyarakat tentunya adalah
jumlah yang diterimanya pula.Ketimpangan pendapatan sebenarnya telah terjadi
di seluruh negara di dunia ini, baik negara yang sudah maju maupun
negara-negara yang sedang berkembang.Namun perbedaannya adalah ketimpangan
pendapatan lebih besar terjadi di negara-negara yang baru memulai
pembagunannya, sedangkan bagi negara maju atau lebih tinggi tingkat
pendapatannya cenderung lebih merata atau tingkat ketimpangannya rendah.
Keadaan ini antara lain dijelaskan oleh Todaro (1981), bahwa
negara-negara maju secara keseluruhan memperlihatkan pembagian pendapatan yang
lebih merata dibandingkan dengan negara dunia ketiga yakni
bahwa semakin tidak merata pola distribusi pendapatan, semakin tinggi pula laju
pertumbuhan ekonomi karena orang-orang kaya memiliki rasio tabungan yang
lebih tinggi dari pada orang-orang miskin sehingga akan meningkatkan aggregate
saving rate yang diikuti oleh peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Jika laju pertumbuhan PDRB merupakan satu-satunya tujuan masyarakat, maka
strategi terbaik adalah membuat pola distribusi pendapatan setimpang
mungkin.Dengan demikian, model Kuznets dan Kaldor menunjukkan adanya
trade off atau pilihan antara pertumbuhan PDRB yang lambat tetapi dengan
distribusi pendapatan yang lebih merata.
2.8.Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam
masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat (Sadono Sukirno,
1994:10). Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP (Gross
Domestic Bruto) tanpa memandang bahwa kenaikan itu lebih besar atau lebih
kecil dari pertumbuhan penduduk dan tanpa memandang apakah ada perubahan
dalam struktur ekonominya.
Menurut Hicks dalam kutipan Azulaidin (2003), menarik kesimpulan dari
perbedaanyang umum terdapat dalam konteks perkembangan dan
pertumbuhan.Pendapattersebut diperjelas dengan mengatakan bahwa
perkembangan ekonomi mengacu padamasalah negara-negara dengan ekonomi
yang terbelakang, sedangkan pertumbuhanlebih mengacu pada masalah di
Teori Schumpeter (1934) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
adalahperubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaan stasioner yang
senantiasamengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada
sebelumnya.Pembangunanekonomi mengacu pada masalah negara berkembang,
sedangkan pertumbuhanekonomi adalah perubahan jangka panjang secara
perlahan dan mantap yang terjadimelalui kanaikan tabungan, pendapatan dan
pertumbuhan ekonomi mengacu kepadamasalah negara maju.
Menurut Boediono (1992) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan
output per kapita dalam jangka panjang, sehingga persentase pertambahan output
tersebut harus lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlahpenduduk dan ada
kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan perkapita daerah (PDRB perkapita) juga
harus dilibatkan berbagai faktor produksi (sumber-sumber ekonomi)dalam setiap
kegiatan produksi.Pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi faktor produksi
tenaga kerja, kapital, sumberdaya alam, teknologi dan faktor sosial (seperti adat
istiadat, keagamaan, sistem pemerintahan).
Menurut Tarigan (2004) pertumbuhan ekonomi wilayah adalah
pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan
seluruh nilai tambah yang terjadi di wilayah tersebut.Pertambahan pendapatan itu
diukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalam harga konstan.Hal itu juga
menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di wilayah
tersebut (tanah, modal,tenaga kerja dan teknologi) yang berarti secara kasar dapat
ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta diwilayah tersebut juga oleh
seberapa besar terjadi transfer-payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke
luar wilayah atau mendapat aliran dana di luar wilayah.
2.9.Penelitian Terdahulu
Studi empiris mengenai kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan distribusipendapatan telah banyak dilakukan.Berikut ini adalah
beberapa penelitian terdahulu yangberkaitan dengan topik tersebut.
Tabel 2.1
Judul Penelitian Metode
yaitu Gini Rasio.
jumlah penduduk miskin di Indonesia juga akan
selalu berubah seiring tinggi rendahnya tingkat ketimpangan pendapatan.
2.10.Kerangka Konseptual
Berdasarkan dasar pemikiran tersebut di atas, maka kerangka konseptual
dalam penelitian ini adalah bagaimana hubunganantara ketimpangan dalam
pendistribusian pendapatan dengan peningkatan jumlah masyarakat miskin di
Kota Medan.Setinggi apapun tingkat pendapatannasional per kapita jika tidak
diimbangi pemerataan distribusi pendapatan, makatingkat kemiskinan akan terus
meningkat. Akan tetapi jika pemerataan pendapatansudah sangat baik sedangkan
tingkat pendapatan nasional tidak mengalamipeningkatan yang berarti maka
kemiskinan juga akan meluas. Secara sederhanakerangka pemikiran dalam
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 2.11.Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu terdapat hubungan kausalitas
(timbal balik) antara tingkat kemiskinan dengan tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan di Kota Medan. Jumlah
masyarakat Miskin di Kota
Medan
Ketimpangan pendapatan Pertumbuhan
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah besar yang dihadapi negara sedang berkembang adalah disparitas
(ketimpangan) distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan.Tidak meratanya
distribusi pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang
merupakan awal dari munculnya masalah kemiskinan.Hal ini bisa terjadi akibat
perbedaan produktivitas yang dimiliki oleh setiap individu dimana satu
individu/kelompok mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan
individu/kelompok lain, sehingga ketimpangan distribusi pendapatan tidak hanya
terjadi di Indonesia saja tetapi juga terjadi di beberapa negara di dunia.
Membiarkan kedua masalah tersebut berlarut-larut akan semakin memperparah
keadaan, dan tidak jarang menimbulkan konsekuensi negatif terhadap kondisi
sosial dan politik.
Masalah distribusi pendapatan mengandung dua aspek.Aspek
pertamaadalah bagaimana menaikkan tingkat kesejahteraan mereka yang masih
berada dibawah garis kemiskinan, sedang aspek kedua adalah pemerataan
pendapatansecara menyeluruh dalam arti mempersempit perbedaan tingkat
pendapatanantarpenduduk atau rumah tangga.Keberhasilan mengatasi aspek yang
pertamadapat dilihat dari penurunan persentase penduduk yang masih berada di
pendapatansecaramenyeluruh, adalah jika laju pertambahan pendapatan golongan
miskinlebih besar dari laju pertambahan pendapatan golongan kaya.
Ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan merupakan sebuah
realita yang ada di tengah-tengah masyarakat dunia ini baik di negara maju
maupun negara berkembang,Perbedaannya terletak pada proporsi tingkat
ketimpangan dan angka kemiskinan yang terjadi, serta tingkat kesulitan
mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah dan jumlah penduduk suatu
negara.
Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan
kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Sistem distribusi yang tidak pro poor
hanya akan menciptakankemakmuran bagi golongan tertentu saja, sehingga ini
menjadi isu sangat penting dalam menyikapi angka kemiskinan hingga saat ini.
Masalah kesenjangan pendapatan dan kemiskinan terjadi di seluruh
Indonesia khususnya kota besar seperti Medan. Perbedaannya terletak pada
proporsi atau besar kecilnya tingkat kesenjangan dan angka kemiskinan yang
terjadi, serta tingkat kesulitan mengatasinya yang dipengaruhi oleh luas wilayah
dan jumlah penduduk suatu wilayah.Semakin besar angka kemiskinan, semakin
tinggi pula tingkat kesulitan mengatasinya.
Kota Medan merupakan kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak
di provinsi Sumatera Utara yaitu 3.418.645 jiwa dengan luas wilayah 265,10 km2
tahun 2016. Secara administratif, kota Medan dibagi atas 21 kecamatan yang
Tabel 1.1
DataJumlah Penduduk Miskin Tahun 2010 di Kota Medan
NO
KECAMATAN JUMLAH PENDUDUK MISKIN
2010
16 Medan Perjuangan 8.636
17 Medan Tembung 10.750
Sumber : BPS Kota Medan dalam angka 2011
Berdasaran tabel di atas, jumlah penduduk miskin paling besar terjadi di
kecamatan Medan Belawan sebesar 20.278 penduduk miskin. Dan jumlah
penduduk miskin terkecil berada pada kecamatan Medan Baru sebesar 3.279
penduduk miskin.
Kondisi ini membuat ketimpangan terhadap pendapatan dan jumlah
penduduk miskin serta distribusi yang tidak merata. Maka, harus ditingkatkan
pemerataan distribusinya agar jumlah penduduk miskin dapat berkurang dan
Berdasarkan permasalahan diatas, penulis tertarik mengadakan penelitian
untuk mengetahui sejauhmana kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan
di kota Medan dengan judul “Analisis Tingkat Kemiskinan dan Tingkat Ketimpangan Distribusi Pendapatan Masyarakat di Kota Medan”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas,
maka dapat dikemukakan rumusan masalah, yaitu:
1. Bagaimana Tingkat Kemiskinan di Kota Medan?
2. Bagaimana Tingkat Ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Medan?
3. Bagaimana hubungan antara tingkat kemiskinan dengan tingkat ketimpangan
distribusi pendapatan di Kota Medan.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui tingkat kemiskinan di Kota Medan.
2. Untuk mengetahui tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Medan.
3. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat kemiskinan dengan tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan di Kota Medan.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini yaitu secara teoritis
1. Sebagai bahan masukan dan menambah pengetahuan bagi penulis dan
pembaca khususnya yang berkaitan dengan kemiskinan dan ketimpangan
distribusi pendapatan.
2. Sebagai referensi bagi penulis lainnya yang ingin melakukan penelitian
selanjutnya berkenaan dengan kemiskinan dan ketimpangan distribusi
pendapatan.
3. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah, dalam hal