BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan menurut BPS dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan (diukur
dari sisi pengeluaran).
Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena
kehendak oleh si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari
dengan kekuatan yang ada padanya (BAPPENAS,2003)
Menurut Friedman dalam Mudrajad Kuncoro (1997), kemiskinan adalah
ketidaksamaankesempatan dalam mengakumulasikan basis kekuasaan sosial.
Basis kekuasaan sosial meliputi: modal produktif, sumber keuangan, organisasi
sosial dan politik, jaringan sosial, pengetahuan dan keterampilan, dan informasi
yang berguna untuk kemajuan hidup.
Menurut Suparlan (2004) kemiskinan sebagai suatu standar tingkat hidup
yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan pada sejumlah atau
segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang rendah ini secara
langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan
moral dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Menurut Ritonga (2003) memberikan definisi bahwa kemiskinan adalah
kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seorang atau rumah
kehidupannya.Kebutuhan dasar minimal yang dimaksud adalah yang berkaitan
dengan kebutuhan pangan, sandang, perumahan dan kebutuhan sosial yang
diperlukan oleh penduduk atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya secara layak.
Kemiskinandapat dibagi menjadi dua yaitu kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif.Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di mana
kebutuhan minimumuntuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi, sedangkan
kemiskinan relatif adalahsuatu ukuran mengenaikesenjangan/ketimpangan di
dalam distribusi pendapatanyang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya
dengan tingkat rata-rata daridistribusi yang dimaksud (Widodo, 2006: 99).
2.2. Metode Pengukuran Kemiskinan
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) cara mengukur kemiskinan yaitu
dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi
kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994). Untuk kebutuhan
minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari.Sedangkan
pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk
perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Secara umum metode pengukuran kemiskinan dikaitkan dengan tiga
konsep, yaitu:
1. Garis kemiskinan pendapatan (income-based poverty line),
2. Garis kemiskinan konsumsi (consumption-based poverty line), dan
Jhingan (1992) mengemukaan tiga ciri utama negara berkembang yang
menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada
kemiskinan.Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai
sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki
keterampilan ataupun keahlian.Kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk
sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja
produktif.Ketiga, penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan
dengan metode produksi yang telah usang dan ketinggalam zaman.Kemiskinan
merupakan fenomena yang sangat kompleks (Suharto,2004).
2.3. Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan
Faktor penyebab kemiskinan menurutSharp (2000), meliputi:
1. Rendahnya kualitas angkatan kerja.
Salah satu penyebab terjadinya kemiskinan adalah karena rendahnya kualitas
angkatan kerja. Kualitas angkatan kerja ini bisa dilihat dari angka buta huruf.
Sebagai contoh Amerika Serikat hanya mempunyai angka buta huruf sebesar
1%, dibandingkan dengan Ethiopia yang mempunyai angka diatas 50%.
2. Akses yang sulit terhadap kepemilikan modal.
Kepemilikan modal yang sedikit serta rasio antara modal dan tenaga kerja
(capital-to-labor ratios) menghasilkan produktivitas yang rendah yang pada
akhirnya menjadi faktor penyebab kemiskinan.
3. Rendahnya tingkat penguasaan teknologi.
Negara-negara dengan penguasaan teknologi yang rendah mempunyai tingkat
menyebabkan terjadinya pengangguran. Hal ini disebabkan oleh kegagalan
dalam mengadaptasi teknik produksi yang lebih modern. Ukuran tingkat
penguasaan teknologi yang rendah salah satunya bisa dilihat dari
penggunaaan alat-alat produksi yang masih bersifat tradisional.
4. Penggunaan sumber daya yang tidak efisien.
Negara miskin sumber daya yang tersedia tidak dipergunakan secara penuh
dan efisien. Pada tingkat rumah tangga penggunaan sumber daya biasanya
masih bersifat tradisional yang menyebabkan terjadinya inefisiensi.
5. Pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Menurut teori Malthus jumlah penduduk berkembang sesuai deret ukur
sedangkan produksi bahan pangan berkembang sesuai deret hitung. Hal ini
mengakibatkan kelebihan penduduk dan kekurangan bahan pangan.
Selain itu kemiskinan dapat terjadi akibat sistem ekonomi yang berlaku
karena yang kuat menindas yang lemah, tidak adanya sumber pendapatan yang
memadai bagi golongan yang bersangkutan, struktur pemilikan, dan penggunaan
tanah, pola usaha yang terbelakang, dan pendidikan angkatan kerja yang
rendah.Dengan rendahnya faktor-faktor diatas menyebabkan rendahnya aktivitas
ekonomi yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Dengan rendahnya aktivitas
ekonomi yang dapat dilakukan berakibat terhadap rendahnya produktivitas dan
pendapatan yang diterima, pada gilirannya pendapatan tersebut tidak mampu
memenuhi kebutuhan fisik minimun yang menyebabkan terjadinya proses
2.4. Ukuran Kemiskinan
Pada umumnya terdapat 2 indikator untuk mengukur tingkat kemiskinan di
suatu wilayah, yaitu kemiskinan absolute dan kemiskinan relatif.Mengukur
kemiskinan dengan mengacu pada garis kemiskinan yang pengukurannya tidak
didasarkan pada garis kemiskinan yang pengukurannya tidak didasarkan pada
garis kemiskinan relatif (Tulus, 2011 dalam Andono (2011).
1. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan absolut merupakan ketidakmampuan seseorang dengan
pendapatan yang diperolehnya mencukupi kebutuhan dasar minimum yang
diperlukan untuk hidup setiap hari.Kebutuhan minimum tersebut digunakan
sebagai batas garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat
yang selalu konstan secara riil, sehingga dapat ditelusuri kemajuan yang
diperoleh dalam menanggulangi kemiskinan pada level absolut sepanjang
waktu.
2. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencapai
standar kehidupan yang ditetapkan masyarakat setempat sehingga proses
penentuannya sangat subjektif. Mereka yang berada dibawah standar
penilaian tersebut dikategorikan sebagai miskin secararelatif.Kemiskinan
relatif ini digunakan untuk mengukur ketimpangan distribusi
pendapatan.Menurut Azhari (1992), menggolongkan kemiskinan kedalam
timbul sebagai akibat sumber daya yang langka jumlahnya, atau karena
perkembangan tingkat tehnologi yang sangat rendah. Termasuk didalamnya
adalah kemiskinan akibat jumlah penduduk yang melaju dengan pesat di
tengah- tengah sumber daya alam yang tetap. 2. Kemiskinan structural,
Kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur
sosial sedemikian rupa, sehingga masyarakat itu tidak dapat menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
Kemiskinan struktural ini terjadi karena kelembagaan yang ada membuat
anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan
fasilitas- fasilitas secara merata. Dengan perkataan lain kemiskinan ini tidak
ada hubungannya dengan kelangkaan sumber daya alam. 3. Kemiskinan
cultural, Kemiskinan yang muncul karena tuntutan tradisi / adat yang
membebani ekonomi masyarakat, seperti upacara perkawinan, kematian atau
pesta pesta adat lainnya termasuk juga dalam hal ini sikap mentalitas
penduduk yang lamban, malas, konsumtif serta kurang berorientasi ke masa
depan.
2.5. Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan pada dasarnya merupakan suatu konsep mengenai
penyebaran pendapatan di antara setiap orang atau rumah tangga dalam
masyarakat.Konsep pengukuran distribusi pendapatan dapat ditunjukkan oleh dua
konsep pokok, yaitu konsep ketimpangan absolut dan konsep ketimpangan
relatif.Ketimpangan absolut merupakan konsep pengukuran ketimpangan yang
merupakan konsep pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan yang
membandingkan besarnya pendapatan yang diterima oleh seseorang atau
sekelompok anggota masyarakat dengan besarnya total pendapatan yang diterima
oleh masyarakat secara keseluruhan (Ahluwalia dalam Sukirno,2006).
Ada beberapa indikator untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan yaitu dengan menggunaka metode Willamson Index.Ukuran
ketimpangan pembangunan antar wilayah yang mula-mula ditemukan
adalahWilliamson Index. Dalam Ilmu Statistik, indeks ini sebenarnyaadalah
coefficient of variationyanglazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan.
Istilah Williamson Index muncul sebagaipenghargaan kepada Jeffrey G.
Williamson yang pertama kali menggunakan teknik ini untukmengukur
ketimpangan pembangunan antar wilayah.
1. Williamson Index (Vw)
Williamson Index adalah suatu ukuran yang digunakan agar pertumbuhan
ekonomi yang dicapai dinikmati secara merata diantara wilayah dalam
suatu negara. Pemerataan dapat dilihat melalui indeks williamsonyang
menunjukkan nilai mendekati 1 maka pembangunan semakin tidak merata,
dan sebaliknya jika mendekati 0 maka pembangunan semakin
merata.Walaupun indeks ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain
sensitif terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan,
namun demikian indeks ini cukup lazim digunakan dalam mengukur
ketimpangan pembangunan antar wilayah
.
VW= �∑( ��−�)2 ��/�
Dimana : VW : Koefisien Ketimpangan Yi : Pendapatan Perkapita di daerah Y : Pendapatan Perkapita di Provinsi Fi : Penduduk di daerah
N : Jumlah Penduduk
2.6. Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan
Menurut Irma Adelma dan Cynthia Taft Morris (dalam Lincoln Arsyad,
1997) ada 8 hal yang menyebabkan ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi
pendapatan di negara sedang berkembang :
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya
pendapatan perkapita.
2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara
proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah.
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal
(Capital Insentive), sehingga persentase pendapatan modal dari kerja
tambahan besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal
dari kerja, sehingga pengangguran bertambah.
5. Rendahnya mobilitas sosial.
6. Pelaksanaan kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan
kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha
golongan kapitalis.
7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi Negara Sedang Berkembang
ketidakelastisan permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang
ekspor Negara Sedang Berkembang.
8. Hancurnya industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah
tangga, dll.
2.7.Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Kemiskinan
Penghapusan kemiskinan dan berkembangnya ketidakmerataan distribusi
pendapatan merupakan salah satu inti masalah pembangunanterutama di negara
sedang berkembang.Todaro dan Smith (2004), mengatakan penanggulangan
kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan merupakan inti dari semua
masalah pembangunan dan merupakan tujuan utama kebijakan pembangunan di
banyak daerah.
Menurut Todaro (2000), Pengaruh antara ketimpangan distribusi
pendapatan terhadap kemiskinan dipengaruhi oleh adanya peningkatan jumlah
penduduk. Pertambahan jumlah penduduk cenderung berdampak negatif terhadap
penduduk miskin, terutama bagi mereka yang sangat miskin.Sebagian besar
keluarga miskin memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak sehingga kondisi
perekonomian mereka berada di garis kemiskinan semakin memburuk seiring
dengan memburuknya ketimpangan pendapatan atau kesejahteraan.Penyebab dari
kemiskinan adalah adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang
selanjutnya akan menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang.
Menurut Todaro (2003), pemerataan yang lebih adil di negara berkembang
merupakan suatu kondisi atau syarat yang menunjang pertumbuhan ekonomi.
negara atau daerah, akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan. Ketimpangan pendapatan antar daerah, tergantung dari besarnya
jumlah pendapatan yang diterima oleh setiap penerima pendapatan dalam daerah
tersebut, baik itu golongan masyarakat maupun wilayah tertentu dalam daerah
tersebut. Perbedaan jumlah pendapatan yang diterima itu menimbulkan suatu
distribusi pendapatan yang berbeda, sedangkan besar kecilnya perbedaan tersebut
akan menentukan tingkat pemerataan pendapatan (ketimpangan pendapatan)
daerahtersebut. Oleh karena itu, ketimpangan pendapatan ini akan tergantung dari
besar kecilnya perbedaan jumlah pendapatan yang diterima oleh penerima
pendapatan. Sehingga timpang atau tidaknya pendapatan daerah dapat diukur
melalui distribusi penerimaan pendapatan antar golongan masyarakat ataupun
antar wilayah tertentu, dimana pendapatan yang diterima wilayah tersebut terlihat
pada nilai PDRB-nya, sedangkan untuk golongan masyarakat tentunya adalah
jumlah yang diterimanya pula.Ketimpangan pendapatan sebenarnya telah terjadi
di seluruh negara di dunia ini, baik negara yang sudah maju maupun
negara-negara yang sedang berkembang.Namun perbedaannya adalah ketimpangan
pendapatan lebih besar terjadi di negara-negara yang baru memulai
pembagunannya, sedangkan bagi negara maju atau lebih tinggi tingkat
pendapatannya cenderung lebih merata atau tingkat ketimpangannya rendah.
Keadaan ini antara lain dijelaskan oleh Todaro (1981), bahwa
negara-negara maju secara keseluruhan memperlihatkan pembagian pendapatan yang
lebih merata dibandingkan dengan negara dunia ketiga yakni
bahwa semakin tidak merata pola distribusi pendapatan, semakin tinggi pula laju
pertumbuhan ekonomi karena orang-orang kaya memiliki rasio tabungan yang
lebih tinggi dari pada orang-orang miskin sehingga akan meningkatkan aggregate
saving rate yang diikuti oleh peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Jika laju pertumbuhan PDRB merupakan satu-satunya tujuan masyarakat, maka
strategi terbaik adalah membuat pola distribusi pendapatan setimpang
mungkin.Dengan demikian, model Kuznets dan Kaldor menunjukkan adanya
trade off atau pilihan antara pertumbuhan PDRB yang lambat tetapi dengan
distribusi pendapatan yang lebih merata.
2.8.Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam
masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat (Sadono Sukirno,
1994:10). Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP (Gross
Domestic Bruto) tanpa memandang bahwa kenaikan itu lebih besar atau lebih
kecil dari pertumbuhan penduduk dan tanpa memandang apakah ada perubahan
dalam struktur ekonominya.
Menurut Hicks dalam kutipan Azulaidin (2003), menarik kesimpulan dari
perbedaanyang umum terdapat dalam konteks perkembangan dan
pertumbuhan.Pendapattersebut diperjelas dengan mengatakan bahwa
perkembangan ekonomi mengacu padamasalah negara-negara dengan ekonomi
yang terbelakang, sedangkan pertumbuhanlebih mengacu pada masalah di
Teori Schumpeter (1934) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
adalahperubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaan stasioner yang
senantiasamengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada
sebelumnya.Pembangunanekonomi mengacu pada masalah negara berkembang,
sedangkan pertumbuhanekonomi adalah perubahan jangka panjang secara
perlahan dan mantap yang terjadimelalui kanaikan tabungan, pendapatan dan
pertumbuhan ekonomi mengacu kepadamasalah negara maju.
Menurut Boediono (1992) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan
output per kapita dalam jangka panjang, sehingga persentase pertambahan output
tersebut harus lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlahpenduduk dan ada
kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan perkapita daerah (PDRB perkapita) juga
harus dilibatkan berbagai faktor produksi (sumber-sumber ekonomi)dalam setiap
kegiatan produksi.Pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi faktor produksi
tenaga kerja, kapital, sumberdaya alam, teknologi dan faktor sosial (seperti adat
istiadat, keagamaan, sistem pemerintahan).
Menurut Tarigan (2004) pertumbuhan ekonomi wilayah adalah
pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan
seluruh nilai tambah yang terjadi di wilayah tersebut.Pertambahan pendapatan itu
diukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalam harga konstan.Hal itu juga
menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di wilayah
tersebut (tanah, modal,tenaga kerja dan teknologi) yang berarti secara kasar dapat
ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta diwilayah tersebut juga oleh
seberapa besar terjadi transfer-payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke
luar wilayah atau mendapat aliran dana di luar wilayah.
2.9.Penelitian Terdahulu
Studi empiris mengenai kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan distribusipendapatan telah banyak dilakukan.Berikut ini adalah
beberapa penelitian terdahulu yangberkaitan dengan topik tersebut.
Tabel 2.1
Judul Penelitian Metode Analisis
yaitu Gini Rasio.
jumlah penduduk miskin di Indonesia juga akan
selalu berubah seiring tinggi rendahnya tingkat ketimpangan pendapatan.
2.10.Kerangka Konseptual
Berdasarkan dasar pemikiran tersebut di atas, maka kerangka konseptual
dalam penelitian ini adalah bagaimana hubunganantara ketimpangan dalam
pendistribusian pendapatan dengan peningkatan jumlah masyarakat miskin di
Kota Medan.Setinggi apapun tingkat pendapatannasional per kapita jika tidak
diimbangi pemerataan distribusi pendapatan, makatingkat kemiskinan akan terus
meningkat. Akan tetapi jika pemerataan pendapatansudah sangat baik sedangkan
tingkat pendapatan nasional tidak mengalamipeningkatan yang berarti maka
kemiskinan juga akan meluas. Secara sederhanakerangka pemikiran dalam
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 2.11.Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini, yaitu terdapat hubungan kausalitas
(timbal balik) antara tingkat kemiskinan dengan tingkat ketimpangan distribusi
pendapatan di Kota Medan. Jumlah
masyarakat Miskin di Kota
Medan
Ketimpangan pendapatan Pertumbuhan