• Tidak ada hasil yang ditemukan

Khasiat Hepatoproteksi Ekstrak Daun Sangitan (Sambucus Javanica Reinw. ex Blume) pada Tikus Putih Salur Sprague Dawley yang Diberi Parasetamol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Khasiat Hepatoproteksi Ekstrak Daun Sangitan (Sambucus Javanica Reinw. ex Blume) pada Tikus Putih Salur Sprague Dawley yang Diberi Parasetamol"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

Penyakit hati merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia. Secara epidemiologis Indonesia termasuk daerah endemi sedang sampai tinggi hepatitis B di dunia. Sekitar 300-350 juta orang terinfeksi virus hepatitis B (Dufour et al. 2000), dan 78 % di antaranya ada di Asia. Sebanyak 170 juta orang terinfeksi hepatitis C (Dufour et al. 2000). Tahun 2001, penduduk Indonesia yang menderita hepatitis B dan C sebanyak 12 juta orang. Dua jenis penyakit inilah yang sering dikaitkan dengan penyakit hati kronis, dampaknya adalah kerusakan jaringan hati berkelanjutan yaitu pengerasan hati (sirosis). Sirosis dapat berkembang menjadi kanker hati. Sirosis maupun kanker hati akan berakhir dengan kematian penderitanya.

Sampai saat ini belum ada obat yang memuaskan untuk penyakit (kerusakan) hati. Walaupun sudah ada, obat-obatan tersebut selain khasiat penyembuhannya belum sempurna juga memiliki efek samping yang berbahaya. Selain itu, harga obat yang mahal masih menjadi kendala utama dalam pengobatan penyakit hati.

Pengobatan oleh dokter umumnya bersifat simptomatik, yakni untuk meringankan gejala penyakit yang timbul selain sebagai terapi yang membantu kelangsungan fungsi hati. Obat-obat tersebut umumnya bersifat membantu proses perbaikan fungsi hati biasanya bersifat hepatoprotektor, melindungi sel hati dari pengaruh zat beracun yang dapat merusak dengan cara memperbaiki dan meningkatkan daya regenerasi (Dalimartha 2002).

Obat tradisional yang telah lama digunakan oleh masyarakat dan dipercaya dapat menyembuhkan penyakit hati menjadi alternatif bagi para penderita. Khasiat dari obat-obatan tersebut belum teruji secara ilmiah. Hal ini disebabkan penggunaan obat-obatan tradisional berdasarkan pengalaman secara empiris. Salah satu tanaman yang digunakan untuk pengobatan penyakit hati yaitu sangitan.

Sangitan telah lama dikenal sebagai obat berbagai penyakit seperti, bronkhitis, rematik, beri-beri, disentri, rubella (German measles), eksim, nephritic edema, freckles (bercak hitam di wajah), keram, erysipelas (infeksi kulit akut oleh Steptococcus sp), luka terpukul, tulang patah (fracture), analgesik (pereda nyeri) dan perangsang saraf (Dalimartha 2002). Daun Sangitan berkhasiat sebagai obat pegal linu, diuretik (peluruh air seni) dan obat demam (Hutapea 1994; Depkes 1995), laksatif (pencahar isi perut) dan

sudorifik (peluruh keringat) (Lemmens & Bunyapraphatsara 2003), antispasmodik (penghilang kolik), mengobati radang (termasuk peradangan hati) dan melancarkan sirkulasi darah (Afifah 2003).

Era globalisasi yang melanda dunia menyebabkan kita harus mendukung argumentasi kebiasaan atau pengalaman nenek moyang dengan data ilmiah. Kajian ilmiah harus dilakukan terhadap bahan obat asli Indonesia. Hal inilah yang menjadi permasalahan dari penelitian ini, yaitu belum dibuktikannya secara ilmiah efek hepatoprotektor dari ekstrak daun sangitan. Pembuktian secara ilmiah dapat dilakukan dengan cara mengukur aktivitas ALT dan AST tikus yang telah mengalami gangguan fungsi hati melalui pemberian parasetamol dosis tinggi.

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian ekstrak air dan etanol 70% daun sangitan terhadap aktivitas enzim hati yang dirusak dengan pemberian parasetamol berlebih. Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini yaitu ekstrak daun sangitan memiliki efek hepatoprotektor terhadap senyawa parasetamol yang dapat merusak organ hati tikus. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang khasiat ekstrak daun sangitan sebagai obat alternatif dalam mencegah kerusakan hati.

TINJAUAN PUSTAKA

Sangitan

Sangitan (Sambucus javanica Reinw. ex Blume.) merupakan tanaman asli Indonesia. Sangitan umumnya menyukai tempat-tempat yang tidak terlalu kering maupun lembab dan terletak di dataran rendah sampai ketinggian 1000 m dpl. Sangitan mempunyai beberapa nama seperti kerak nasi (Sunda), abur (Aceh), babalat (Bengkulu) dan halemaniri (Tidore) (Hutapea 1994). Sangitan berdasarkan klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, bangsa Rubiales, suku Caprifoliaceae, marga

Sambucus, dan jenis Sambucus javanica

(2)

1

PENDAHULUAN

Penyakit hati merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia. Secara epidemiologis Indonesia termasuk daerah endemi sedang sampai tinggi hepatitis B di dunia. Sekitar 300-350 juta orang terinfeksi virus hepatitis B (Dufour et al. 2000), dan 78 % di antaranya ada di Asia. Sebanyak 170 juta orang terinfeksi hepatitis C (Dufour et al. 2000). Tahun 2001, penduduk Indonesia yang menderita hepatitis B dan C sebanyak 12 juta orang. Dua jenis penyakit inilah yang sering dikaitkan dengan penyakit hati kronis, dampaknya adalah kerusakan jaringan hati berkelanjutan yaitu pengerasan hati (sirosis). Sirosis dapat berkembang menjadi kanker hati. Sirosis maupun kanker hati akan berakhir dengan kematian penderitanya.

Sampai saat ini belum ada obat yang memuaskan untuk penyakit (kerusakan) hati. Walaupun sudah ada, obat-obatan tersebut selain khasiat penyembuhannya belum sempurna juga memiliki efek samping yang berbahaya. Selain itu, harga obat yang mahal masih menjadi kendala utama dalam pengobatan penyakit hati.

Pengobatan oleh dokter umumnya bersifat simptomatik, yakni untuk meringankan gejala penyakit yang timbul selain sebagai terapi yang membantu kelangsungan fungsi hati. Obat-obat tersebut umumnya bersifat membantu proses perbaikan fungsi hati biasanya bersifat hepatoprotektor, melindungi sel hati dari pengaruh zat beracun yang dapat merusak dengan cara memperbaiki dan meningkatkan daya regenerasi (Dalimartha 2002).

Obat tradisional yang telah lama digunakan oleh masyarakat dan dipercaya dapat menyembuhkan penyakit hati menjadi alternatif bagi para penderita. Khasiat dari obat-obatan tersebut belum teruji secara ilmiah. Hal ini disebabkan penggunaan obat-obatan tradisional berdasarkan pengalaman secara empiris. Salah satu tanaman yang digunakan untuk pengobatan penyakit hati yaitu sangitan.

Sangitan telah lama dikenal sebagai obat berbagai penyakit seperti, bronkhitis, rematik, beri-beri, disentri, rubella (German measles), eksim, nephritic edema, freckles (bercak hitam di wajah), keram, erysipelas (infeksi kulit akut oleh Steptococcus sp), luka terpukul, tulang patah (fracture), analgesik (pereda nyeri) dan perangsang saraf (Dalimartha 2002). Daun Sangitan berkhasiat sebagai obat pegal linu, diuretik (peluruh air seni) dan obat demam (Hutapea 1994; Depkes 1995), laksatif (pencahar isi perut) dan

sudorifik (peluruh keringat) (Lemmens & Bunyapraphatsara 2003), antispasmodik (penghilang kolik), mengobati radang (termasuk peradangan hati) dan melancarkan sirkulasi darah (Afifah 2003).

Era globalisasi yang melanda dunia menyebabkan kita harus mendukung argumentasi kebiasaan atau pengalaman nenek moyang dengan data ilmiah. Kajian ilmiah harus dilakukan terhadap bahan obat asli Indonesia. Hal inilah yang menjadi permasalahan dari penelitian ini, yaitu belum dibuktikannya secara ilmiah efek hepatoprotektor dari ekstrak daun sangitan. Pembuktian secara ilmiah dapat dilakukan dengan cara mengukur aktivitas ALT dan AST tikus yang telah mengalami gangguan fungsi hati melalui pemberian parasetamol dosis tinggi.

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian ekstrak air dan etanol 70% daun sangitan terhadap aktivitas enzim hati yang dirusak dengan pemberian parasetamol berlebih. Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini yaitu ekstrak daun sangitan memiliki efek hepatoprotektor terhadap senyawa parasetamol yang dapat merusak organ hati tikus. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang khasiat ekstrak daun sangitan sebagai obat alternatif dalam mencegah kerusakan hati.

TINJAUAN PUSTAKA

Sangitan

Sangitan (Sambucus javanica Reinw. ex Blume.) merupakan tanaman asli Indonesia. Sangitan umumnya menyukai tempat-tempat yang tidak terlalu kering maupun lembab dan terletak di dataran rendah sampai ketinggian 1000 m dpl. Sangitan mempunyai beberapa nama seperti kerak nasi (Sunda), abur (Aceh), babalat (Bengkulu) dan halemaniri (Tidore) (Hutapea 1994). Sangitan berdasarkan klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, bangsa Rubiales, suku Caprifoliaceae, marga

Sambucus, dan jenis Sambucus javanica

(3)

2

menyirip dan tidak berambut. Helaian anak daun bertangkai. Permukaan atas daun berwarna hijau tua dan permukaan bawah hijau muda (Gambar 1a). Bunga sangitan berukuran kecil-kecil, berwarna putih agak krem, berkumpul membentuk payung, dengan kelopak kecil berlekuk malai rata, keluar dari ujung ranting dan berbau harum (Gambar 1b). Buah sangitan merupakan buah batu yang menyerupai buni dengan bentuk bulat, berwarna ungu kehitaman, berdiamater 3-4 mm dan jumlah biji 1-3 buah (Gambar 1c). Sangitan dapat diperbanyak dengan stek maupun biji (Van Steenis 1948; Backer & Bakhuizen van den Brink 1965; Hutapea 1994; Depkes 1995; Lemmens & Bunyapraphatsara 2003; Tjitrosoepomo 1994).

Tanaman ini mengandung flavonoid, minyak atsiri, KNO3, triterpenoid (a

-sitosterol, asam ursolat dan a-amyrin

palmitat), glukosida sianogen (L(+)-mandelonitril-D-glukosida atau sambunigrin), saponin dan tanin (Depkes 1995; Afifah 2003). Daun dan akar sangitan mengandung saponin dan tanin, sedangkan buahnya mengandung saponin dan flavonoid (Hutapea 1994). Sangitan mengandung glikosida yang bersifat sedatif bagi rahim, oleh karena itu wanita hamil dilarang minum air rebusan tanaman ini (Tjitrosoepomo 1994).

Aktivitas farmakologi dari sangitan belum banyak diketahui. Hasil-hasil penelitian farmakologinya sangat menjanjikan dan penelitian lebih lanjut tentang sangitan terlihat sangat bermanfaat. Sangitan menunjukkan sifat anti hepatotoksik karena mengandung asam ursolat (Lemmens & Bunyapraphatsara 2003).

Hati

Hati merupakan organ terbesar dan kompleks di dalam tubuh, beratnya mencapai 1.200-1.600 gram atau 2.5 % dari bobot total orang dewasa. Hati terletak di dalam rongga perut kanan atas, dibawah diafragma kanan dan dilindungi tulang iga kanan bawah. Hati terbagi menjadi dua bagian, bagian kanan enam kali lebih besar dari pada bagian kiri (Kaplan & Pesce 1989).

(a) (b) (c) Gambar 1 (a) daun sangitan; (b) bunga

sangitan; dan (c) buah sangitan.

Hati memiliki banyak fungsi diantaranya metabolisme biomolekul (asam amino, protein, lipid, karbohidrat, hormon dan bilirubin), menyebarkan zat-zat makanan yang telah diserap melalui dinding usus dan mempertahankan kadarnya dalam peredaran darah agar tetap. Fungsi tersebut sebagian besar dilakukan oleh sel-sel hati dan untuk menjalankan fungsi tersebut sel-sel hati dilengkapi berbagai perangkat diantaranya enzim (Mitchel et al 1972).

Sel hati mengandung beberapa enzim dalam jumlah besar seperti alanin amino-transferase (ALT), aspartat aminoamino-transferase (AST), alkalin fosfatase, laktat dehidrogenase (LD), γ-glutamiltransferase (GGT) dan 5-nukleotidase (Anderson & Cockayne 1993). Kerusakan sel-sel hati (nekrosis) akan menyebabkan enzim-enzim tersebut keluar dari sel hati sehingga kadarnya dalam darah akan meningkat (Girindra 1989). Oleh karena itu enzim-enzim tersebut dapat dijadikan parameter terjadinya kerusakan hati. Konsentrasi keenam enzim tersebut akan meningkat dalam beberapa macam kerusakan hati seperti, hepatitis, sirosis, penyakit hati kronis, penyakit hati alkoholik dan tumor hati (Kaplan & Pesce 1989).

Enzim ALT banyak ditemukan di sitosol sel hati sedangkan AST ditemukan di jantung, otot rangka dan hati. Kedua enzim tersebut sering dijadikan parameter kerusakan awal hati (nekrosis hati) karena kedua enzim ini lebih mudah keluar dari sel hati yang rusak dibandingkan enzim lainnya. Konsentrasi tertinggi kedua enzim ini didapati pada penyakit hati yang disebabkan virus hepatitis, nekrosis hati yang disebabkan racun atau obat dan ischemia hati, tetapi tingginya konsentrasi kedua enzim ini tidak berkorelasi dengan jumlah sel hati yang rusak. Pada umumnya konsentrasi ALT lebih tinggi dibandingkan AST (Kaplan & Pesce 1989).

Parasetamol Sebagai Senyawa Hepatotoksik

(4)

3

Parasetamol relatif aman pada dosis terapi, tetapi pada dosis tinggi dapat menyebabkan hepatotoksik, kerusakan (nekrosis) sentrilobularis hati pada tikus, mencit dan manusia (Gan et al. 1980; Gibson & Sket 1991; Graham et al. 2004; Raghavendran et al. 2004).

Parasetamol dimetabolisme oleh enzim-enzim mikrosom dalam hati melalui reaksi konjugasi dengan asam glukoronat dan asam sulfat, hasilnya diekskresikan melalui urin. Sisa parasetamol dimetabolisme oleh sitokrom P-450 menghasilkan N-asetil p-benzokuinon imin (NAPQI), suatu senyawa yang toksik dan reaktif. NAPQI didetoksifikasi dengan konjugasi oleh glutation (GSH) membentuk asam merkapturat (Gupta et al. 2004).

Dosis tinggi parasetamol akan menghabiskan kapasitas konjugasi asam glukoronat dan asam sulfat, sehingga pembentukan metabolit reaktif NAPQI bertambah banyak. Konsekuensinya, NAPQI yang dikonjugasi oleh GSH bertambah banyak dan ketika melewati kapasitas konjugasi GSH, NAPQI akan berikatan kovalen dengan makromolekul vital sel hati (seperti lipid dan protein membran sel) dan menyebabkan nekrosis hati (Gibson & Sket 1991; Sumioka et al. 2004).

Adanya kerusakan sel-sel parenkim hati atau permeabilitas membran akan mengakibatkan enzim ALT, AST, alkalin fosfatase, laktat dehidrogenase dan γ-glutamiltransferase bebas keluar sel, sehingga enzim yang masuk ke pembuluh darah melebihi keadaan normal dan kadarnya dalam darah meningkat (Girindra 1986). Selain itu obat ini dapat mengalami hidroksilasi dan hasilnya dapat menimbulkan methemoglobinemia (Hb diubah menjadi met-Hb) dan hemolisis eritrosit (Gan et al. 1980).

BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan

Hewan percobaan yang akan digunakan adalah tikus dewasa galur Sprague Dawley

berkelamin jantan, sehat dan beraktivitas normal. Tikus diperoleh dari koleksi Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Daun Sangitan yang sudah dikeringkan diperoleh dari koleksi Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Alat-alat yang akan digunakan adalah alat-alat gelas, kertas saring, rotary vapour evaporator, alumunium foil, sentrifus, spektrofotometer UV dan oven.

Bahan-bahan yang akan digunakan antara lain daun sangitan, parasetamol, akuades, etanol, reagen ALT dan AST Randox, kloroform, amoniak, H2SO4, pereaksi Meyer,

Dragendorf, Wagner dan Lieberman-Buchard.

Metode Penelitian

Ekstraksi Daun Sangitan (Harbone 1987)

Daun Sangitan yang telah dikeringkan dimaserasi panas dengan air dan dengan etanol 70%. Kedua campuran dipanaskan dalam water bath pada suhu 100 oC dan 70 oC. Larutan ekstrak dipisahkandengan penyaringan biasa dan pelarutnya dipisahkan dengan menggunakan rotapavor pada suhu 50 oC. Ekstrak dalam bentuk pasta dikeringkan dalam oven bersuhu 40 oC.

Analisis Fitokimia (Harbone 1987)

Uji Alkaloid. Residu hasil ekstraksi ditambahkan 10 ml kloroform dan beberapa tetes amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan H2SO4. Fraksi H2SO4

dimasukan ke dalam 3 tabung reaksi, pereaksi Dragendorf ditambahkan pada tabung pertama, pereaksi Meyer pada tabung kedua dan pereaksi Wagner pada tabung ketiga. Terdapatnya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih pada tabung pertama (pereaksi Meyer), endapan merah pada tabung kedua (pereaksi Dragendorf) dan endapan coklat pada tabung ketiga (pereaksi Wagner).

Uji Flavonoid dan Senyawa Fenolik.

Residu hasil ekstraksi ditambah metanol sampai terendam dan dipanaskan. Terbentuknya warna merah karena penambahan NaOH 10% (b/v) menunjukkan adanya senyawa fenolik hidrokuinon sedangkan warna merah yang terbentuk akibat penambahan H2SO4 pekat menunjukkan

adanya senyawa flavonoid.

Uji Saponin. Residu hasil ekstraksi ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama lima menit. Larutan tersebut didinginkan kemudian dikocok. Timbulnya busa sampai selang waktu 10 menit menunjukkan adanya saponin.

Uji Triterpenoid dan Steroid. Residu hasil ekstraksi ditambah 25 ml etanol lalu dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan lalu ditambahkan eter. Lapisan eter ditambah pereaksi Lieberman Buchard (tiga tetes asam asetat anhidrida dan satu tetes H2SO4 pekat).

Warna merah atau ungu menunjukkan adanya kandungan triterpenoid sedangkan warna hijau menunjukkan adanya kandungan steroid.

Uji Tanin. Residu hasil ekstraksi ditambah air kemudian dididihkan selama beberapa menit. Larutan ini disaring dan filtratnya ditambah FeCl3 (b/v). Warna biru

(5)

3

Parasetamol relatif aman pada dosis terapi, tetapi pada dosis tinggi dapat menyebabkan hepatotoksik, kerusakan (nekrosis) sentrilobularis hati pada tikus, mencit dan manusia (Gan et al. 1980; Gibson & Sket 1991; Graham et al. 2004; Raghavendran et al. 2004).

Parasetamol dimetabolisme oleh enzim-enzim mikrosom dalam hati melalui reaksi konjugasi dengan asam glukoronat dan asam sulfat, hasilnya diekskresikan melalui urin. Sisa parasetamol dimetabolisme oleh sitokrom P-450 menghasilkan N-asetil p-benzokuinon imin (NAPQI), suatu senyawa yang toksik dan reaktif. NAPQI didetoksifikasi dengan konjugasi oleh glutation (GSH) membentuk asam merkapturat (Gupta et al. 2004).

Dosis tinggi parasetamol akan menghabiskan kapasitas konjugasi asam glukoronat dan asam sulfat, sehingga pembentukan metabolit reaktif NAPQI bertambah banyak. Konsekuensinya, NAPQI yang dikonjugasi oleh GSH bertambah banyak dan ketika melewati kapasitas konjugasi GSH, NAPQI akan berikatan kovalen dengan makromolekul vital sel hati (seperti lipid dan protein membran sel) dan menyebabkan nekrosis hati (Gibson & Sket 1991; Sumioka et al. 2004).

Adanya kerusakan sel-sel parenkim hati atau permeabilitas membran akan mengakibatkan enzim ALT, AST, alkalin fosfatase, laktat dehidrogenase dan γ-glutamiltransferase bebas keluar sel, sehingga enzim yang masuk ke pembuluh darah melebihi keadaan normal dan kadarnya dalam darah meningkat (Girindra 1986). Selain itu obat ini dapat mengalami hidroksilasi dan hasilnya dapat menimbulkan methemoglobinemia (Hb diubah menjadi met-Hb) dan hemolisis eritrosit (Gan et al. 1980).

BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan

Hewan percobaan yang akan digunakan adalah tikus dewasa galur Sprague Dawley

berkelamin jantan, sehat dan beraktivitas normal. Tikus diperoleh dari koleksi Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Daun Sangitan yang sudah dikeringkan diperoleh dari koleksi Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Alat-alat yang akan digunakan adalah alat-alat gelas, kertas saring, rotary vapour evaporator, alumunium foil, sentrifus, spektrofotometer UV dan oven.

Bahan-bahan yang akan digunakan antara lain daun sangitan, parasetamol, akuades, etanol, reagen ALT dan AST Randox, kloroform, amoniak, H2SO4, pereaksi Meyer,

Dragendorf, Wagner dan Lieberman-Buchard.

Metode Penelitian

Ekstraksi Daun Sangitan (Harbone 1987)

Daun Sangitan yang telah dikeringkan dimaserasi panas dengan air dan dengan etanol 70%. Kedua campuran dipanaskan dalam water bath pada suhu 100 oC dan 70 oC. Larutan ekstrak dipisahkandengan penyaringan biasa dan pelarutnya dipisahkan dengan menggunakan rotapavor pada suhu 50 oC. Ekstrak dalam bentuk pasta dikeringkan dalam oven bersuhu 40 oC.

Analisis Fitokimia (Harbone 1987)

Uji Alkaloid. Residu hasil ekstraksi ditambahkan 10 ml kloroform dan beberapa tetes amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan H2SO4. Fraksi H2SO4

dimasukan ke dalam 3 tabung reaksi, pereaksi Dragendorf ditambahkan pada tabung pertama, pereaksi Meyer pada tabung kedua dan pereaksi Wagner pada tabung ketiga. Terdapatnya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih pada tabung pertama (pereaksi Meyer), endapan merah pada tabung kedua (pereaksi Dragendorf) dan endapan coklat pada tabung ketiga (pereaksi Wagner).

Uji Flavonoid dan Senyawa Fenolik.

Residu hasil ekstraksi ditambah metanol sampai terendam dan dipanaskan. Terbentuknya warna merah karena penambahan NaOH 10% (b/v) menunjukkan adanya senyawa fenolik hidrokuinon sedangkan warna merah yang terbentuk akibat penambahan H2SO4 pekat menunjukkan

adanya senyawa flavonoid.

Uji Saponin. Residu hasil ekstraksi ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama lima menit. Larutan tersebut didinginkan kemudian dikocok. Timbulnya busa sampai selang waktu 10 menit menunjukkan adanya saponin.

Uji Triterpenoid dan Steroid. Residu hasil ekstraksi ditambah 25 ml etanol lalu dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan lalu ditambahkan eter. Lapisan eter ditambah pereaksi Lieberman Buchard (tiga tetes asam asetat anhidrida dan satu tetes H2SO4 pekat).

Warna merah atau ungu menunjukkan adanya kandungan triterpenoid sedangkan warna hijau menunjukkan adanya kandungan steroid.

Uji Tanin. Residu hasil ekstraksi ditambah air kemudian dididihkan selama beberapa menit. Larutan ini disaring dan filtratnya ditambah FeCl3 (b/v). Warna biru

(6)

4

Dosis Penggunaan Ekstrak Daun Sangitan.

Dosis ekstrak daun sangitan yang digunakan didasarkan pada dosis yang digunakan masyarakat tradisional yaitu 2 X 20 gram = 40 gram per hari. Berat badan rata-rata diasumsikan sebesar 60 Kg dan perolehan kembali sebesar 40%, maka dosis yang digunakan secara tradisional sebesar 267mg/Kg BB perhari. Perhitungan:

Residu hasil ekstraksi = 40% X 40 gram = 16 gram

Dosis yang digunakan per kilogram berat badan per hari

KgBB mg g mg X Kg g / 267 1 1000 60 16 = =

Hewan Coba dan Rancangan Penelitian

Pada awal penelitian, tikus diadaptasikan untuk menghindari stres yang dapat mempengaruhi kandungan serum darah yang akan diambil dan untuk menyeragamkan pola hidup masing-masing kelompok perlakuan. Pada masa adaptasi ini, tikus hanya diberi pakan standar.

Tikus yang akan digunakan dibagi menjadi empat kelompok dan masing-masing kelompok terdiri atas enam ekor tikus. Keempat kelompok tikus diberi pakan standar selama penelitian. Tikus kelompok I merupakan kontrol normal yang selama penelitian hanya diberi pakan standar dan dicekoki akuades. Tikus dalam kelompok II adalah kelompok kontrol parasetamol yang dicekoki parasetamol dosis 500mg/kg BB selama 4 minggu yaitu hari ke-8 sampai 35. Kedua kelompok lainnya merupakan kelompok perlakuan. Tikus dalam kelompok III dicekoki ekstrak air daun sangitan dari hari ke-0 sampai 35 dengan dosis 267mg/Kg BB. Tikus dalam kelompok IV dicekoki ekstrak etanol 70% daun sangitan dari hari ke-0 sampai 35 dengan dosis 267mg/Kg BB. Selanjutnya, kedua kelompok ini diberi parasetamol peroral dengan dosis 500mg/kg BB dari hari ke-8 sampai 35. Pengukuran parameter kerusakan hati yang meliputi aktivitas ALT dan AST darah dilakukan pada keempat kelompok sebanyak lima kali, yaitu pada hari ke-0, 7, 14, 21 dan 35.

Pengukuran Kadar ALT dan AST (Bergmeyer 1986)

Metode Bergmeyer digunakan untuk mengukur aktivitas ALT dan AST dalam darah tikus. Sampel serum tikus diambil sebanyak 0.1 mL lalu dicampur dengan 1.0 mL reagen. Setelah satu menit tepat absorban larutan dibaca pada panjang gelombang 340 nm dan diulangi lagi pada menit ke-2, 3 dan 4. Analisis dilakukan pada suhu 25 0C.

Pereaksi yang digunakan dalam pengukuran ALT mengandung buffer tris, L-alanin, laktat dehidrogenase, α-ketoglutarat dan NADH. Perhitungan aktivitas ALT = 1746 X ΔA Hg 340 nm/menit. Pereaksi yang digunakan dalam pengukuran AST mengandung buffer tris, laktat dehidrogenase, L-aspartat, α-ketoglutarat, malat dehidrogenase dan NADH. Perhitungan aktivitas AST = 1746 X ΔA Hg 340 nm/menit.

Analisis Statistik

Data aktivitas ALT dan AST dianalisis secara statistik dengan menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL). Model rancangan tersebut adalah:

ij i ij

Y

=

m

+

l

+

e

keterangan:

μ = Pengaruh rataan umum.

l = Pengaruh perlakuan ke-i, i = 1, 2, 3, 4.

ξ = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j, j= 1, 2, 3, 4, 5.

i = 1 adalah perlakuan pemberian pakan standar saja.

i = 2 adalah perlakuan pemberian pakan standar dan parasetamol 500 mg/Kg BB. i = 3 adalah perlakuan pemberian pakan

standar, parasetamol 500 mg/Kg BB dan ekstrak air daun sangitan 267mg/Kg BB. i = 4 adalah perlakuan pemberian pakan standar,

parasetamol 500 mg/Kg BB dan ekstrak etanol 70% daun sangitan 267mg/Kg BB. Perbedaan pengaruh perlakuan diuji dengan uji lanjutan Beda Nyata Terkecil (BNT/LSD).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penapisan Fitokimia

Pada ekstrak daun sangitan dilakukan uji fitokimia. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang diharapkan dapat berfungsi sebagai hepatoprotektor. Hasil uji fitokimia pada ekstrak air dan etanol 70% daun sangitan menunjukkan keberadaan senyawa alkaloid, steroid, triterpenoid dan tanin. Selain itu pada ekstrak air juga ditemukan flavonoid, sedangkan pada ekstrak etanol 70% ditemukan saponin (Tabel 1). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Hutapea (1994) bahwa daun sangitan mengandung saponin dan tanin. Kandungan triterpenoid pada daun sangitan diduga a-sitosterol, a-amyrin palmitat dan

(7)

4

Dosis Penggunaan Ekstrak Daun Sangitan.

Dosis ekstrak daun sangitan yang digunakan didasarkan pada dosis yang digunakan masyarakat tradisional yaitu 2 X 20 gram = 40 gram per hari. Berat badan rata-rata diasumsikan sebesar 60 Kg dan perolehan kembali sebesar 40%, maka dosis yang digunakan secara tradisional sebesar 267mg/Kg BB perhari. Perhitungan:

Residu hasil ekstraksi = 40% X 40 gram = 16 gram

Dosis yang digunakan per kilogram berat badan per hari

KgBB mg g mg X Kg g / 267 1 1000 60 16 = =

Hewan Coba dan Rancangan Penelitian

Pada awal penelitian, tikus diadaptasikan untuk menghindari stres yang dapat mempengaruhi kandungan serum darah yang akan diambil dan untuk menyeragamkan pola hidup masing-masing kelompok perlakuan. Pada masa adaptasi ini, tikus hanya diberi pakan standar.

Tikus yang akan digunakan dibagi menjadi empat kelompok dan masing-masing kelompok terdiri atas enam ekor tikus. Keempat kelompok tikus diberi pakan standar selama penelitian. Tikus kelompok I merupakan kontrol normal yang selama penelitian hanya diberi pakan standar dan dicekoki akuades. Tikus dalam kelompok II adalah kelompok kontrol parasetamol yang dicekoki parasetamol dosis 500mg/kg BB selama 4 minggu yaitu hari ke-8 sampai 35. Kedua kelompok lainnya merupakan kelompok perlakuan. Tikus dalam kelompok III dicekoki ekstrak air daun sangitan dari hari ke-0 sampai 35 dengan dosis 267mg/Kg BB. Tikus dalam kelompok IV dicekoki ekstrak etanol 70% daun sangitan dari hari ke-0 sampai 35 dengan dosis 267mg/Kg BB. Selanjutnya, kedua kelompok ini diberi parasetamol peroral dengan dosis 500mg/kg BB dari hari ke-8 sampai 35. Pengukuran parameter kerusakan hati yang meliputi aktivitas ALT dan AST darah dilakukan pada keempat kelompok sebanyak lima kali, yaitu pada hari ke-0, 7, 14, 21 dan 35.

Pengukuran Kadar ALT dan AST (Bergmeyer 1986)

Metode Bergmeyer digunakan untuk mengukur aktivitas ALT dan AST dalam darah tikus. Sampel serum tikus diambil sebanyak 0.1 mL lalu dicampur dengan 1.0 mL reagen. Setelah satu menit tepat absorban larutan dibaca pada panjang gelombang 340 nm dan diulangi lagi pada menit ke-2, 3 dan 4. Analisis dilakukan pada suhu 25 0C.

Pereaksi yang digunakan dalam pengukuran ALT mengandung buffer tris, L-alanin, laktat dehidrogenase, α-ketoglutarat dan NADH. Perhitungan aktivitas ALT = 1746 X ΔA Hg 340 nm/menit. Pereaksi yang digunakan dalam pengukuran AST mengandung buffer tris, laktat dehidrogenase, L-aspartat, α-ketoglutarat, malat dehidrogenase dan NADH. Perhitungan aktivitas AST = 1746 X ΔA Hg 340 nm/menit.

Analisis Statistik

Data aktivitas ALT dan AST dianalisis secara statistik dengan menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL). Model rancangan tersebut adalah:

ij i ij

Y

=

m

+

l

+

e

keterangan:

μ = Pengaruh rataan umum.

l = Pengaruh perlakuan ke-i, i = 1, 2, 3, 4.

ξ = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j, j= 1, 2, 3, 4, 5.

i = 1 adalah perlakuan pemberian pakan standar saja.

i = 2 adalah perlakuan pemberian pakan standar dan parasetamol 500 mg/Kg BB. i = 3 adalah perlakuan pemberian pakan

standar, parasetamol 500 mg/Kg BB dan ekstrak air daun sangitan 267mg/Kg BB. i = 4 adalah perlakuan pemberian pakan standar,

parasetamol 500 mg/Kg BB dan ekstrak etanol 70% daun sangitan 267mg/Kg BB. Perbedaan pengaruh perlakuan diuji dengan uji lanjutan Beda Nyata Terkecil (BNT/LSD).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penapisan Fitokimia

Pada ekstrak daun sangitan dilakukan uji fitokimia. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang diharapkan dapat berfungsi sebagai hepatoprotektor. Hasil uji fitokimia pada ekstrak air dan etanol 70% daun sangitan menunjukkan keberadaan senyawa alkaloid, steroid, triterpenoid dan tanin. Selain itu pada ekstrak air juga ditemukan flavonoid, sedangkan pada ekstrak etanol 70% ditemukan saponin (Tabel 1). Hasil ini sesuai dengan pernyataan Hutapea (1994) bahwa daun sangitan mengandung saponin dan tanin. Kandungan triterpenoid pada daun sangitan diduga a-sitosterol, a-amyrin palmitat dan

(8)

5

yang bersifat antihepatotoksik dan diharapkan memiliki khasiat hepatoprotektor pada penelitian ini.

Pada ekstrak air dan etanol 70% daun sangitan tidak ditemukan senyawa fenolik hidrokuinon. Selain itu pada ekstrak etanol 70% juga tidak ditemukan senyawa flavonoid, sedangkan pada ekstrak air tidak ditemukan saponin. Pada pembanding juga tidak ditemukan senyawa triterpenoid. Perbedaan hasil fitokimia ini disebabkan daun sangitan dan tanaman pembanding yang digunakan berasal dari sumber yang berbeda, sedangkan kandungan metabolit sekunder dipengaruhi oleh lingkungan hidup suatu tumbuhan.

Keadaan Hewan Coba Sebelum Perlakuan

Tikus diadaptasikan dalam kandang selama 5 minggu sebelum memulai perlakuan. Adaptasi dilakukan untuk menghindari resiko timbulnya gangguan stress yang dapat mempengaruhi kandungan serum darah. Selama masa adaptasi tikus hanya diberi pakan standar dan belum diberi perlakuan apa-apa. Pada akhir masa adaptasi dilakukan analisis serum pada keempat kelompok perlakuan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui keadaan normal aktivitas ALT dan AST yang kemudian akan dijadikan keadaan populasi normal.

Hasil analisis serum awal hewan coba menunjukkan rerata aktivitas ALT semua tikus adalah 16.76 ± 1.66 U/L (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan kisaran aktivitas ALT tikus normal menurut Girindra (1989) yaitu sebesar 17.0-30.2 U/L. Demikian juga dengan hasil analisis aktivitas AST diperoleh rerata sebesar 55.14 ± 7.62 U/L (Tabel 2). Nilai ini masih sesuai dengan kisaran normal AST tikus menurut Girindra (1989) yaitu sebesar 45.7-80.8 U/L.

Efek Pemberian Ekstrak Daun Sangitan Terhadap Aktivitas ALT dan AST

Hewan coba diberi ekstrak daun sangitan selama 7 hari sebelum pemberian parasetamol. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun sangitan terhadap aktivitas ALT dan AST. Ekstrak daun sangitan diharapkan dapat melindungi dan mencegah terhadap kerusakan hati akibat pemberian parasetamol dengan dosis tinggi pada minggu-minggu selanjutnya. Oleh karena itu ekstrak daun sangitan tidak boleh menyebabkan gangguan fungsi hati (hepatotoksik).

Aktivitas ALT pada hari ke-7 mengalami peningkatan menjadi 55.29 ± 5.35 U/L pada kelompok ekstrak air dan 57.33 ± 3.91 U/L pada kelompok ekstrak etanol 70%. Kenaikan ini tidak signifikan (p>0.05) dibandingkan dengan kenaikan pada kelompok kontrol normal 57.13 ± 5.33 U/L (Tabel 3). Begitu pula dengan aktivitas AST, kelompok ekstrak air mengalami peningkatan menjadi 183.04 ± 42.80 U/L dan kelompok ekstrak etanol 70% menjadi 188.37 ± 36.19 U/L. Kenaikan aktivitas AST tersebut tidak signifikan (p>0.05) dibandingkan dengan peningkatan pada kelompok kontrol normal yaitu 168.10 ± 18.88 U/L (Tabel 3).

Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan aktivitas ALT dan AST pada kedua kelompok ekstrak bukan disebabkan oleh pengaruh ekstrak daun sangitan. Dengan kata lain, pemberian ekstrak daun sangitan tidak menyebabkan gangguan fungsi hati. Adanya keragaman (kenaikan) aktivitas ALT dan AST dibandingkan dengan nilai normal menurut Girindra (1989) dapat disebabkan perbedaan bobot tikus, terjadinya hemolisis, keadaan fisiologis dan makro enzim yang berbeda. Hemolisis dapat disebabkan mekanisme biokimia, fisik atau kimia. Selain itu stres akibat pencekokan juga dapat meningkatkan aktivitas ALT dan AST

Tabel 1 Uji fitokimia ekstrak daun sangitan

Ekstrak daun sangitan Uji

Air Etanol 70% Pembanding

Alkaloid

(9)

6

0 50 100 150 200 250 300

14 21 35

Hari P e n in g k a ta n A k ti v it a s A L T ( % ) Kontrol normal Kontrol parasetamol Ekstrak air Ekstrak etanol

Tabel 2 Kondisi hewan coba sebelum perlakuan Kelompok ALT (U/L) AST (U/L) Kontrol normal 17.36 ± 1.49 53.35 ± 8.76 Kontrol

parasetamol 17.27 ± 1.36 55.10 ± 6.93 Ekstrak air

daun sangitan 16.01 ± 1.83 55.48 ± 7.53 Ekstrak etanol

daun sangitan 16.39 ± 1.93 56.65 ± 8.89

Rerata 16.76 ± 1.66 55.14 ± 7.62

Tabel 3 Pengaruh pemberian ekstrak terhadap aktivitas ALT dan AST sebelum pemberian parasetamol

Kelompok ALT (U/L) AST (U/L) Kontrol normal 57.13 ± 5.33 168.10 ± 18.88 Kontrol

parasetamol 61.69 ± 5.38 190.90 ± 21.90 Ekstrak air

daun sangitan 55.29 ± 5.35 183.04 ± 42.80 Ekstrak etanol

daun sangitan 57.33 ± 3.91 188.37 ± 36.19

Efek Pemberian Parasetamol Terhadap Aktivitas ALT dan AST

Pemberian parasetamol bertujuan untuk merusak hati hewan coba sehingga kemampuan ekstrak dalam melindungi hati dapat terlihat. Efek hepatoprotektor dilihat dari kemampuannya menghambat peningkatan aktivitas ALT dan AST dibandingkan terhadap kontrol yang tidak menerima ekstrak (kelompok kontrol parasetamol).

Aktivitas ALT kelompok kontrol parasetamol mulai mengalami peningkatan yang signifikan setelah 1 minggu diberi parasetamol (hari ke-14), dibandingkan dengan sebelum pemberian parasetamol (hari ke-7). Aktivitas ALT pada hari ke-14, 21 dan 35 meningkat sebesar 71.54%, 90.88% dan 255.98% (Gambar 2). Hal ini menunjukkan gangguan fungsi hati mulai terlihat setelah 1 minggu pemberian parasetamol pada masa percobaan.

Berbeda dengan aktivitas ALT, pemberian parasetamol dosis 500mg/kg BB selama seminggu tidak menyebabkan kenaikan aktivitas AST yang signifikan, hal ini sesuai dengan penelitian Adji (2004). Rerata aktivitas AST kelompok kontrol parasetamol pada hari ke-14, 21 dan 35 yaitu 170.82 ± 20.68 U/L, 187.70 ± 46.22 U/L dan 242.02 ± 34.15 U/L (Tabel 5). Hasil ini menunjukkan bahwa parasetamol dosis 500mg/kg BB bersifat hepatotoksik dan ALT sangat cocok sebagai tes untuk menentukan adanya gangguan fungsi hati walaupun dalam derajat ringan.

Efek Ekstrak Daun Sangitan Terhadap Kerusakan Hati Akibat Pemberian

Parasetamol Dosis Tinggi

Aktivitas ALT. Pada hari ke-14 kedua kelompok ekstrak mengalami peningkatan aktivitas ALT dibandingkan sebelum pemberian parasetamol, yaitu 41.29% pada kelompok ekstrak etanol dan 31.40% pada kelompok ekstrak air (Gambar 2). Nilai ini berbeda nyata dengan peningkatan pada kelompok kontrol parasetamol, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan peningkatan pada kelompok kontrol normal. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun sangitan selama 14 hari mampu menghambat peningkatan aktivitas ALT akibat pemberian parasetamol dosis tinggi. Dengan kata lain, ekstrak air dan etanol 70% daun sangitan berfungsi sebagai hepatoprotektor.

Pada hari ke-21, aktivitas ALT kedua kelompok ekstrak mengalami penurunan. Kedua kelompok ekstrak hanya mengalami peningkatan 18.78% (ekstrak etanol) dan 17.37% (ekstrak air) dibandingkan dengan sebelum pemberian parasetamol. Nilai ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan pada kelompok kontrol parasetamol, tetapi tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol normal. Hal ini menunjukkan kedua ekstrak mampu menghambat dan memperbaiki kerusakan hati akibat parasetamol.

Pada hari ke-35, kelompok ekstrak etanol mengalami peningkatan aktivitas ALT yang paling rendah dibandingkan dengan semua kelompok, yaitu 9.04%. Kelompok ekstrak air mengalami peningkatan 33.26%. Nilai kedua kelompok ekstrak tidak berbeda nyata dengan peningkatan pada kelompok kontrol normal, yaitu 18.78%. Akan tetapi berbeda nyata dengan peningkatan pada kelompok kontrol parasetamol, yaitu 255.98%. Berdasarkan nilai ini kelompok ekstrak etanol memiliki kemampuan menghambat peningkatan aktivitas ALT paling besar dibandingkan dengan kelompok ekstrak air.

(10)

7

-30 -20 -10 0 10 20 30

14 21 35

Hari P e n in g k a ta n A k ti v it a s A S T ( % ) Kontrol normal Kontrol parasetamol Ekstrak air Ekstrak etanol

Tabel 4 Aktivitas ALT setelah pemberian parasetamol dan ekstrak daun sangitan ALT (U/L) Kelompok

Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-35 Kontrol normal 72.56 ± 3.35 (a) 63.44± 14.01 (a) 67.86 ± 11.17 (a) Kontrol parasetamol 105.83 ± 16.82 (b) 117.76 ± 6.16 (b) 219.61 ± 67.46 (b) Ekstrak air daun sangitan 72.65 ± 7.39 (a) 64.89 ± 5.19 (a) 73.68 ± 13.18 (a) Ekstrak etanol daun sangitan 81.00 ± 13.85 (a) 68.09 ± 15.38 (a) 62.51 ± 11.22 (a) Keterangan : Nilai dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan

yang nyata (p<0.05).

Tabel 5 Aktivitas AST setelah pemberian parasetamol dan ekstrak daun sangitan AST (U/L) Kelompok

Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-35 Kontrol normal 129.69 ± 43.44 155.01 ± 44.31 191.59 ± 37.25 Kontrol parasetamol 170.82 ± 20.68 187.70 ± 46.22 242.02 ± 34.15 Ekstrak air daun sangitan 134.15 ± 23.77 163.54 ± 54.59 224.42 ± 42.24 Ekstrak etanol daun sangitan 143.37 ± 51.82 155.74 ± 34.76 225.70 ± 49.14

Aktivitas AST. Pada hari ke-14, semua kelompok mengalami penurunan. Kelompok ekstrak air mengalami penurunan sebesar 26.71%, sedangkan kelompok ekstrak etanol sebesar 23.89% (Gambar 3). Nilai kedua kelompok ekstrak tidak berbeda nyata dengan penurunan pada kelompok kontrol normal dan kontrol parasetamol.

Pada hari ke-21, semua kelompok masih mengalami penurunan dibandingkan hari ke-7. Kelompok ekstrak air mengalami penurunan 10.65%, sedangkan kelompok ekstrak etanol 17.32% (Gambar 3). Nilai kedua kelompok ekstrak tidak berbeda nyata dengan nilai pada kelompok kontrol parasetamol maupun kontrol normal.

Pada hari ke-35, aktivitas AST semua kelompok mulai mengalami peningkatan dibandingkan sebelum pemberian parsetamol. Kelompok ekstrak air mengalami peningkatan 22.61%, sedangkan kelompok ekstrak etanol 19.82% (Gambar 3). Akan tetapi peningkatan ini tidak signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol parasetamol dan kontrol normal.

Gambar 3 Peningkatan aktivitas AST tikus setelah pemberian parasetamol.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Ekstrak air dan etanol daun sangitan dengan dosis 267mg/Kg BB memiliki efek hepatoprotektor. Khasiat hepatoproteksi terlihat setelah 7 hari pemberian parasetamol dosis 500mg/Kg BB. Ekstrak etanol 70% daun sangitan memiliki efek yang lebih lama dibandingkan dengan ekstrak air daun sangitan. Hal ini terlihat pada penurunan aktivitas ALT sampai hari ke-35. Akan tetapi ektrak air daun sangitan mampu menghambat peningkatan ALT lebih besar dibandingkan ekstrak etanol 70% daun sangitan.

Saran

Penelitian lanjutan mengenai senyawa aktif yang terdapat pada daun sangitan yang memiliki efek hepatoprotektor. Pemeriksaan histopatologi untuk memeriksa tingkat kerusakan hati tikus akibat pemberian parasetamol. Hewan coba lain, seperti kelinci atau satwa primata dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun sangitan sebelum diaplikasikan pada manusia. Konsentrasi yang beragam juga perlu dilakukan untuk mengetahui konsentrasi yang aman dan berkhasiat optimal dalam melindungi hati.

DAFTAR PUSTAKA

(11)

KHASIAT HEPATOPROTEKSI EKSTRAK DAUN SANGITAN

(

Sambucus javanica

Reinw. ex Blume.) PADA TIKUS PUTIH

GALUR

Sprague Dawley

YANG DIBERI PARASETAMOL

MAMAN FIRMANSYAH

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

7

-30 -20 -10 0 10 20 30

14 21 35

Hari P e n in g k a ta n A k ti v it a s A S T ( % ) Kontrol normal Kontrol parasetamol Ekstrak air Ekstrak etanol

Tabel 4 Aktivitas ALT setelah pemberian parasetamol dan ekstrak daun sangitan ALT (U/L) Kelompok

Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-35 Kontrol normal 72.56 ± 3.35 (a) 63.44± 14.01 (a) 67.86 ± 11.17 (a) Kontrol parasetamol 105.83 ± 16.82 (b) 117.76 ± 6.16 (b) 219.61 ± 67.46 (b) Ekstrak air daun sangitan 72.65 ± 7.39 (a) 64.89 ± 5.19 (a) 73.68 ± 13.18 (a) Ekstrak etanol daun sangitan 81.00 ± 13.85 (a) 68.09 ± 15.38 (a) 62.51 ± 11.22 (a) Keterangan : Nilai dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan

yang nyata (p<0.05).

Tabel 5 Aktivitas AST setelah pemberian parasetamol dan ekstrak daun sangitan AST (U/L) Kelompok

Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-35 Kontrol normal 129.69 ± 43.44 155.01 ± 44.31 191.59 ± 37.25 Kontrol parasetamol 170.82 ± 20.68 187.70 ± 46.22 242.02 ± 34.15 Ekstrak air daun sangitan 134.15 ± 23.77 163.54 ± 54.59 224.42 ± 42.24 Ekstrak etanol daun sangitan 143.37 ± 51.82 155.74 ± 34.76 225.70 ± 49.14

Aktivitas AST. Pada hari ke-14, semua kelompok mengalami penurunan. Kelompok ekstrak air mengalami penurunan sebesar 26.71%, sedangkan kelompok ekstrak etanol sebesar 23.89% (Gambar 3). Nilai kedua kelompok ekstrak tidak berbeda nyata dengan penurunan pada kelompok kontrol normal dan kontrol parasetamol.

Pada hari ke-21, semua kelompok masih mengalami penurunan dibandingkan hari ke-7. Kelompok ekstrak air mengalami penurunan 10.65%, sedangkan kelompok ekstrak etanol 17.32% (Gambar 3). Nilai kedua kelompok ekstrak tidak berbeda nyata dengan nilai pada kelompok kontrol parasetamol maupun kontrol normal.

Pada hari ke-35, aktivitas AST semua kelompok mulai mengalami peningkatan dibandingkan sebelum pemberian parsetamol. Kelompok ekstrak air mengalami peningkatan 22.61%, sedangkan kelompok ekstrak etanol 19.82% (Gambar 3). Akan tetapi peningkatan ini tidak signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol parasetamol dan kontrol normal.

Gambar 3 Peningkatan aktivitas AST tikus setelah pemberian parasetamol.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Ekstrak air dan etanol daun sangitan dengan dosis 267mg/Kg BB memiliki efek hepatoprotektor. Khasiat hepatoproteksi terlihat setelah 7 hari pemberian parasetamol dosis 500mg/Kg BB. Ekstrak etanol 70% daun sangitan memiliki efek yang lebih lama dibandingkan dengan ekstrak air daun sangitan. Hal ini terlihat pada penurunan aktivitas ALT sampai hari ke-35. Akan tetapi ektrak air daun sangitan mampu menghambat peningkatan ALT lebih besar dibandingkan ekstrak etanol 70% daun sangitan.

Saran

Penelitian lanjutan mengenai senyawa aktif yang terdapat pada daun sangitan yang memiliki efek hepatoprotektor. Pemeriksaan histopatologi untuk memeriksa tingkat kerusakan hati tikus akibat pemberian parasetamol. Hewan coba lain, seperti kelinci atau satwa primata dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun sangitan sebelum diaplikasikan pada manusia. Konsentrasi yang beragam juga perlu dilakukan untuk mengetahui konsentrasi yang aman dan berkhasiat optimal dalam melindungi hati.

DAFTAR PUSTAKA

(13)

8

Afifah E. 2003. Tanaman Obat untuk Mengatasi Hepatitis. Jakarta : Agromedia Pustaka. Anderson CS, Cockayne S. 1993. Clinical

Chemistry Concepts and. Saunders Bergmeyer HU, Scheibe P, Wahlefeld AW.

1978. Optimization of methods for aspartate aminotransferase and alanine aminotransferase. Clin Chem; 24:58-61. Dalimartha S. 2000. Ramuan Tradisional

untuk Pengobatan Hepatitis. Jakarta : Penebar Swadaya.

Dalimartha S. 2002. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta : Puspa Swara. Departemen Kesehatan. 1995. Materi Medika

Indonesia. Jilid VI. Jakarta : Depkes. Dufour DR, et al. 2000. Diagnosis and

monitoring of hepatic injury. I. Performance characteristics of laboratory tests. Clinical Chemistry; 46 : 2050-2068 Gan S et al. 1980. Farmakologi dan Terapi.

Edisi 2. Jakarta : UI.

Gibson GG, Sket P. 1991. Pengantar Metabolisme Obat. Aisyah BI, Penerjemah; Jakarta : UI.

Girindra A. 1986. Patologi Klinik Veteriner. Bogor : PAU IPB.

Girindra A. 1989. Biokimia Patologi Hewan. Bogor : PAU IPB.

Graham GG, Scott KF, Day RO. 2004. Alcohol and paracetamol. Australian Prescriber; 27 : 14-15.

Gupta M, et al. 2004. Antioxidant and hepatoprotective effects of Bauhinia racemosa against paracetamol and carbon tetrachlorida induced liver damage in rats. Iranian Journal of Pharmacology & Therapeutics; 3 : 12-20.

Harborne. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung : ITB.

Hutapea JR, dkk. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid III. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes.

Kaplan LA, Pesce JA. 1989. Clinical Chemistry: Theory, Analysis, and Correlation, Third ed. New York: Mosby.

Lemmens RHMJ, Bunyapraphatsara N. 2003.

Plant Resources of South-East Asia : Medicinal and Poisonous Plants 3. Leiden : Backhuys.

Raghavendran HRB, Sathivel A, Devaki T. 2004. Hepatoprotective nature of seaweed alcoholic extract on acetaminophen induced hepatic oxidative stress. Journal of Health Science; 50 : 42-46

Sumioka I, Matsura T, Yamada K. 2004. Acetaminophen-induced hepatotoxicity: Still an important issue. Acta Medica; 47 : 17-28.

(14)

KHASIAT HEPATOPROTEKSI EKSTRAK DAUN SANGITAN

(

Sambucus javanica

Reinw. ex Blume.) PADA TIKUS PUTIH

GALUR

Sprague Dawley

YANG DIBERI PARASETAMOL

MAMAN FIRMANSYAH

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

ABSTRAK

MAMAN FIRMANSYAH. Khasiat Hepatoproteksi Ekstrak Daun Sangitan

(

Sambucus javanica

Reinw. ex Blume.) Pada Tikus Putih Galur

Sprague Dawley

yang Diberi Parasetamol. Dibimbing oleh SULISTIYANI dan ERVIZAL A. M.

ZUHUD.

Daun sangitan diduga mempunyai aktivitas hepatoprotektor terhadap

kerusakan hati yang disebabkan agen hepatotoksik, seperti parasetamol. Penelitian

ini bertujuan menguji ekstrak daun sangitan terhadap peningkatan aktivitas alanin

aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST) serum darah tikus

putih yang dicekok parasetamol dosis tinggi. Kelompok hewan percobaan yang

terdiri atas 24 ekor tikus jantan terbagi atas 4 kelompok sebagai berikut:

kelompok kontrol normal, kelompok kontrol parasetamol (500 mg/kg BB),

kelompok ekstrak air daun sangitan (267 mg/kg BB) dan kelompok ekstrak etanol

70% daun sangitan (267 mg/kg BB). Pemberian ekstrak dimulai 7 hari sebelum

pemberian parasetamol dan seterusnya sampai akhir percobaan selama 35 hari.

(16)

ABSTRACT

MAMAN FIRMANSYAH. Hepatoprotection Potency of Sangitan

(

Sambucus javanica

Reinw. ex Blume.) Leaf Extracts in Paracetamol-Induced

Sprague Dawley

Rats. Under the direction of SULISTIYANI and ERVIZAL A.

M. ZUHUD.

Sangitan leaf is being thought as hepatoprotector againts liver damage

caused by hepatotoxic agent such as paracetamol. This research is to test the

potency of sangitan leaf extract in reducing the activity of ALT (alanine

aminotransferase) and AST (aspartate aminotransferase) in rats were given high

dose paracetamol. Total of 24 rats were used in this research which were divided

into 4 experimental groups as follows: normal control group, paracetamol control

group (500 mg/kg BW), sangitan leaf water extract group (267 mg/kg BW) and

sangitan leaf 70% ethanol extract group (267 mg/kg BW). This experiment was

carried out for 35 days with extract given 7 days before paracetamol treatment.

(17)

KHASIAT HEPATOPROTEKSI EKSTRAK DAUN SANGITAN

(

Sambucus javanica

Reinw. ex Blume.) PADA TIKUS PUTIH

GALUR

Sprague Dawley

YANG DIBERI PARASETAMOL

MAMAN FIRMANSYAH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Program Studi Biokimia

PROGRAM STUDI BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(18)

Judul skripsi :

Khasiat Hepatoproteksi Ekstrak Daun Sangitan (

Sambucus Javanica

Reinw. ex Blume.) pada Tikus Putih Galur

Sprague Dawley

yang

Diberi Parasetamol

Nama

: Maman Firmansyah

NIM

: G08400040

Disetujui

Komisi Pembimbing

drh. Sulistiyani, M. Sc., Ph. D

Ir. Ervizal A. M. Zuhud, MS.

Ketua

Anggota

Diketahui

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS.

NIP 131 473 999

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kuningan, 20 Maret 1982 sebagai anak pertama dari

empat bersaudara, anak pasangan Tarsono dan Icah Anisah.

Tahun 2000 penulis lulus dari SMU Negeri I Kuningan dan pada tahun yang

sama diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di

Program Studi Biokimia, Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam IPB. Penulis melakukan Praktek Kerja Lapang di

Subdepartemen Toksikologi Forensik Puslabfor Bareskrim Mabes Polri (Pusat

Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polisi Republik

Indonesia), Kebayoran Baru dari bulan Juni sampai Agustus 2003.

(20)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala

rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilakukan dari

bulan Juni 2005 sampai Maret 2006, di Laboratorium Biokimia Hewan dan

Tumbuhan Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, IPB Bogor. Tema yang dipilih adalah potensi daun sangitan sebagai

hepatoprotektor dengan judul Khasiat Hepatoproteksi Ekstrak Daun Sangitan

(

Sambucus Javanica

Reinw. ex Blume.) Pada Tikus Putih Galur

Sprague Dawley

yang Diberi Parasetamol.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian penulisan karya ilmiah ini, terutama kepada Ibu

Sulistiyani (Departemen Biokimia) dan Bapak Ervizal A. M. Zuhud (Departemen

Konservasi Sumber Daya Hutan) sebagai dosen pembimbing atas bimbingan,

saran dan bantuannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh staf

dan Laboran Biokimia antara lain Bapak Arya, Bapak Katma, Bapak Nana, Ibu

Iis, Ibu Merry dan Mbak Martini atas bantuannya. Selain itu ucapan terima kasih

juga disampaikan kepada Metha, Khirani, Wida, Dini, Anton dan Fatkurohman,

serta keluarga yang telah membantu dan memberikan doa, kasih sayang, motivasi

serta dukungannya.

Karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini

bermanfaat dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan umat

manusia.

Bogor, Juli 2007

(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ...

1

TINJAUAN PUSTAKA

Sangitan ...

1

Hati ...

2

Parasetamol Sebagai Senyawa Hepatotoksik ...

2

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan ...

3

Metode Penelitian ...

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penapisan Fitokimia ...

4

Keadaan Hewan Coba Sebelum Perlakuan ...

5

Efek Pemberian Ekstrak Daun Sangitan Terhadap Aktivitas ALT dan AST 5

Efek Pemberian Parasetamol Terhadap Aktivitas ALT dan AST ...

6

Efek Ekstrak Daun Sangitan Terhadap Kerusakan Hati Akibat Pemberian

Parasetamol ...

6

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan ...

7

Saran ...

7

DAFTAR PUSTAKA ...

7

(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Uji fitokimia ekstrak daun sangitan ...

5

2

Kondisi awal hewan coba sebelum perlakuan ...

6

3

Pengaruh pemberian ekstrak terhadap aktivitas ALT dan AST sebelum

pemberian parasetamol ...

6

4

Aktivitas ALT setelah pemberian parasetamol dan ekstrak daun sangitan

7

5

Aktivitas AST setelah pemberian parasetamol dan ekstrak daun sangitan

7

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

(a) daun sangitan; (b) bunga sangitan; dan (c) buah sangitan ...

2

2

Peningkatan aktivitas ALT tikus setelah pemberian parasetamol ...

6

3

Peningkatan aktivitas AST tikus setelah pemberian parasetamol ...

7

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

(23)

1

PENDAHULUAN

Penyakit hati merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia. Secara epidemiologis Indonesia termasuk daerah endemi sedang sampai tinggi hepatitis B di dunia. Sekitar 300-350 juta orang terinfeksi virus hepatitis B (Dufour et al. 2000), dan 78 % di antaranya ada di Asia. Sebanyak 170 juta orang terinfeksi hepatitis C (Dufour et al. 2000). Tahun 2001, penduduk Indonesia yang menderita hepatitis B dan C sebanyak 12 juta orang. Dua jenis penyakit inilah yang sering dikaitkan dengan penyakit hati kronis, dampaknya adalah kerusakan jaringan hati berkelanjutan yaitu pengerasan hati (sirosis). Sirosis dapat berkembang menjadi kanker hati. Sirosis maupun kanker hati akan berakhir dengan kematian penderitanya.

Sampai saat ini belum ada obat yang memuaskan untuk penyakit (kerusakan) hati. Walaupun sudah ada, obat-obatan tersebut selain khasiat penyembuhannya belum sempurna juga memiliki efek samping yang berbahaya. Selain itu, harga obat yang mahal masih menjadi kendala utama dalam pengobatan penyakit hati.

Pengobatan oleh dokter umumnya bersifat simptomatik, yakni untuk meringankan gejala penyakit yang timbul selain sebagai terapi yang membantu kelangsungan fungsi hati. Obat-obat tersebut umumnya bersifat membantu proses perbaikan fungsi hati biasanya bersifat hepatoprotektor, melindungi sel hati dari pengaruh zat beracun yang dapat merusak dengan cara memperbaiki dan meningkatkan daya regenerasi (Dalimartha 2002).

Obat tradisional yang telah lama digunakan oleh masyarakat dan dipercaya dapat menyembuhkan penyakit hati menjadi alternatif bagi para penderita. Khasiat dari obat-obatan tersebut belum teruji secara ilmiah. Hal ini disebabkan penggunaan obat-obatan tradisional berdasarkan pengalaman secara empiris. Salah satu tanaman yang digunakan untuk pengobatan penyakit hati yaitu sangitan.

Sangitan telah lama dikenal sebagai obat berbagai penyakit seperti, bronkhitis, rematik, beri-beri, disentri, rubella (German measles), eksim, nephritic edema, freckles (bercak hitam di wajah), keram, erysipelas (infeksi kulit akut oleh Steptococcus sp), luka terpukul, tulang patah (fracture), analgesik (pereda nyeri) dan perangsang saraf (Dalimartha 2002). Daun Sangitan berkhasiat sebagai obat pegal linu, diuretik (peluruh air seni) dan obat demam (Hutapea 1994; Depkes 1995), laksatif (pencahar isi perut) dan

sudorifik (peluruh keringat) (Lemmens & Bunyapraphatsara 2003), antispasmodik (penghilang kolik), mengobati radang (termasuk peradangan hati) dan melancarkan sirkulasi darah (Afifah 2003).

Era globalisasi yang melanda dunia menyebabkan kita harus mendukung argumentasi kebiasaan atau pengalaman nenek moyang dengan data ilmiah. Kajian ilmiah harus dilakukan terhadap bahan obat asli Indonesia. Hal inilah yang menjadi permasalahan dari penelitian ini, yaitu belum dibuktikannya secara ilmiah efek hepatoprotektor dari ekstrak daun sangitan. Pembuktian secara ilmiah dapat dilakukan dengan cara mengukur aktivitas ALT dan AST tikus yang telah mengalami gangguan fungsi hati melalui pemberian parasetamol dosis tinggi.

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian ekstrak air dan etanol 70% daun sangitan terhadap aktivitas enzim hati yang dirusak dengan pemberian parasetamol berlebih. Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini yaitu ekstrak daun sangitan memiliki efek hepatoprotektor terhadap senyawa parasetamol yang dapat merusak organ hati tikus. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang khasiat ekstrak daun sangitan sebagai obat alternatif dalam mencegah kerusakan hati.

TINJAUAN PUSTAKA

Sangitan

Sangitan (Sambucus javanica Reinw. ex Blume.) merupakan tanaman asli Indonesia. Sangitan umumnya menyukai tempat-tempat yang tidak terlalu kering maupun lembab dan terletak di dataran rendah sampai ketinggian 1000 m dpl. Sangitan mempunyai beberapa nama seperti kerak nasi (Sunda), abur (Aceh), babalat (Bengkulu) dan halemaniri (Tidore) (Hutapea 1994). Sangitan berdasarkan klasifikasi taksonomi termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, bangsa Rubiales, suku Caprifoliaceae, marga

Sambucus, dan jenis Sambucus javanica

(24)

2

menyirip dan tidak berambut. Helaian anak daun bertangkai. Permukaan atas daun berwarna hijau tua dan permukaan bawah hijau muda (Gambar 1a). Bunga sangitan berukuran kecil-kecil, berwarna putih agak krem, berkumpul membentuk payung, dengan kelopak kecil berlekuk malai rata, keluar dari ujung ranting dan berbau harum (Gambar 1b). Buah sangitan merupakan buah batu yang menyerupai buni dengan bentuk bulat, berwarna ungu kehitaman, berdiamater 3-4 mm dan jumlah biji 1-3 buah (Gambar 1c). Sangitan dapat diperbanyak dengan stek maupun biji (Van Steenis 1948; Backer & Bakhuizen van den Brink 1965; Hutapea 1994; Depkes 1995; Lemmens & Bunyapraphatsara 2003; Tjitrosoepomo 1994).

Tanaman ini mengandung flavonoid, minyak atsiri, KNO3, triterpenoid (a

-sitosterol, asam ursolat dan a-amyrin

palmitat), glukosida sianogen (L(+)-mandelonitril-D-glukosida atau sambunigrin), saponin dan tanin (Depkes 1995; Afifah 2003). Daun dan akar sangitan mengandung saponin dan tanin, sedangkan buahnya mengandung saponin dan flavonoid (Hutapea 1994). Sangitan mengandung glikosida yang bersifat sedatif bagi rahim, oleh karena itu wanita hamil dilarang minum air rebusan tanaman ini (Tjitrosoepomo 1994).

Aktivitas farmakologi dari sangitan belum banyak diketahui. Hasil-hasil penelitian farmakologinya sangat menjanjikan dan penelitian lebih lanjut tentang sangitan terlihat sangat bermanfaat. Sangitan menunjukkan sifat anti hepatotoksik karena mengandung asam ursolat (Lemmens & Bunyapraphatsara 2003).

Hati

Hati merupakan organ terbesar dan kompleks di dalam tubuh, beratnya mencapai 1.200-1.600 gram atau 2.5 % dari bobot total orang dewasa. Hati terletak di dalam rongga perut kanan atas, dibawah diafragma kanan dan dilindungi tulang iga kanan bawah. Hati terbagi menjadi dua bagian, bagian kanan enam kali lebih besar dari pada bagian kiri (Kaplan & Pesce 1989).

(a) (b) (c) Gambar 1 (a) daun sangitan; (b) bunga

sangitan; dan (c) buah sangitan.

Hati memiliki banyak fungsi diantaranya metabolisme biomolekul (asam amino, protein, lipid, karbohidrat, hormon dan bilirubin), menyebarkan zat-zat makanan yang telah diserap melalui dinding usus dan mempertahankan kadarnya dalam peredaran darah agar tetap. Fungsi tersebut sebagian besar dilakukan oleh sel-sel hati dan untuk menjalankan fungsi tersebut sel-sel hati dilengkapi berbagai perangkat diantaranya enzim (Mitchel et al 1972).

Sel hati mengandung beberapa enzim dalam jumlah besar seperti alanin amino-transferase (ALT), aspartat aminoamino-transferase (AST), alkalin fosfatase, laktat dehidrogenase (LD), γ-glutamiltransferase (GGT) dan 5-nukleotidase (Anderson & Cockayne 1993). Kerusakan sel-sel hati (nekrosis) akan menyebabkan enzim-enzim tersebut keluar dari sel hati sehingga kadarnya dalam darah akan meningkat (Girindra 1989). Oleh karena itu enzim-enzim tersebut dapat dijadikan parameter terjadinya kerusakan hati. Konsentrasi keenam enzim tersebut akan meningkat dalam beberapa macam kerusakan hati seperti, hepatitis, sirosis, penyakit hati kronis, penyakit hati alkoholik dan tumor hati (Kaplan & Pesce 1989).

Enzim ALT banyak ditemukan di sitosol sel hati sedangkan AST ditemukan di jantung, otot rangka dan hati. Kedua enzim tersebut sering dijadikan parameter kerusakan awal hati (nekrosis hati) karena kedua enzim ini lebih mudah keluar dari sel hati yang rusak dibandingkan enzim lainnya. Konsentrasi tertinggi kedua enzim ini didapati pada penyakit hati yang disebabkan virus hepatitis, nekrosis hati yang disebabkan racun atau obat dan ischemia hati, tetapi tingginya konsentrasi kedua enzim ini tidak berkorelasi dengan jumlah sel hati yang rusak. Pada umumnya konsentrasi ALT lebih tinggi dibandingkan AST (Kaplan & Pesce 1989).

Parasetamol Sebagai Senyawa Hepatotoksik

(25)

3

Parasetamol relatif aman pada dosis terapi, tetapi pada dosis tinggi dapat menyebabkan hepatotoksik, kerusakan (nekrosis) sentrilobularis hati pada tikus, mencit dan manusia (Gan et al. 1980; Gibson & Sket 1991; Graham et al. 2004; Raghavendran et al. 2004).

Parasetamol dimetabolisme oleh enzim-enzim mikrosom dalam hati melalui reaksi konjugasi dengan asam glukoronat dan asam sulfat, hasilnya diekskresikan melalui urin. Sisa parasetamol dimetabolisme oleh sitokrom P-450 menghasilkan N-asetil p-benzokuinon imin (NAPQI), suatu senyawa yang toksik dan reaktif. NAPQI didetoksifikasi dengan konjugasi oleh glutation (GSH) membentuk asam merkapturat (Gupta et al. 2004).

Dosis tinggi parasetamol akan menghabiskan kapasitas konjugasi asam glukoronat dan asam sulfat, sehingga pembentukan metabolit reaktif NAPQI bertambah banyak. Konsekuensinya, NAPQI yang dikonjugasi oleh GSH bertambah banyak dan ketika melewati kapasitas konjugasi GSH, NAPQI akan berikatan kovalen dengan makromolekul vital sel hati (seperti lipid dan protein membran sel) dan menyebabkan nekrosis hati (Gibson & Sket 1991; Sumioka et al. 2004).

Adanya kerusakan sel-sel parenkim hati atau permeabilitas membran akan mengakibatkan enzim ALT, AST, alkalin fosfatase, laktat dehidrogenase dan γ-glutamiltransferase bebas keluar sel, sehingga enzim yang masuk ke pembuluh darah melebihi keadaan normal dan kadarnya dalam darah meningkat (Girindra 1986). Selain itu obat ini dapat mengalami hidroksilasi dan hasilnya dapat menimbulkan methemoglobinemia (Hb diubah menjadi met-Hb) dan hemolisis eritrosit (Gan et al. 1980).

BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan

Hewan percobaan yang akan digunakan adalah tikus dewasa galur Sprague Dawley

berkelamin jantan, sehat dan beraktivitas normal. Tikus diperoleh dari koleksi Fakultas Peternakan IPB, Bogor. Daun Sangitan yang sudah dikeringkan diperoleh dari koleksi Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Alat-alat yang akan digunakan adalah alat-alat gelas, kertas saring, rotary vapour evaporator, alumunium foil, sentrifus, spektrofotometer UV dan oven.

Bahan-bahan yang akan digunakan antara lain daun sangitan, parasetamol, akuades, etanol, reagen ALT dan AST Randox, kloroform, amoniak, H2SO4, pereaksi Meyer,

Dragendorf, Wagner dan Lieberman-Buchard.

Metode Penelitian

Ekstraksi Daun Sangitan (Harbone 1987)

Daun Sangitan yang telah dikeringkan dimaserasi panas dengan air dan dengan etanol 70%. Kedua campuran dipanaskan dalam water bath pada suhu 100 oC dan 70 oC. Larutan ekstrak dipisahkandengan penyaringan biasa dan pelarutnya dipisahkan dengan menggunakan rotapavor pada suhu 50 oC. Ekstrak dalam bentuk pasta dikeringkan dalam oven bersuhu 40 oC.

Analisis Fitokimia (Harbone 1987)

Uji Alkaloid. Residu hasil ekstraksi ditambahkan 10 ml kloroform dan beberapa tetes amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan dengan H2SO4. Fraksi H2SO4

dimasukan ke dalam 3 tabung reaksi, pereaksi Dragendorf ditambahkan pada tabung pertama, pereaksi Meyer pada tabung kedua dan pereaksi Wagner pada tabung ketiga. Terdapatnya alkaloid ditandai dengan terbentuknya endapan putih pada tabung pertama (pereaksi Meyer), endapan merah pada tabung kedua (pereaksi Dragendorf) dan endapan coklat pada tabung ketiga (pereaksi Wagner).

Uji Flavonoid dan Senyawa Fenolik.

Residu hasil ekstraksi ditambah metanol sampai terendam dan dipanaskan. Terbentuknya warna merah karena penambahan NaOH 10% (b/v) menunjukkan adanya senyawa fenolik hidrokuinon sedangkan warna merah yang terbentuk akibat penambahan H2SO4 pekat menunjukkan

adanya senyawa flavonoid.

Uji Saponin. Residu hasil ekstraksi ditambah air secukupnya dan dipanaskan selama lima menit. Larutan tersebut didinginkan kemudian dikocok. Timbulnya busa sampai selang waktu 10 menit menunjukkan adanya saponin.

Uji Triterpenoid dan Steroid. Residu hasil ekstraksi ditambah 25 ml etanol lalu dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan lalu ditambahkan eter. Lapisan eter ditambah pereaksi Lieberman Buchard (tiga tetes asam asetat anhidrida dan satu tetes H2SO4 pekat).

Warna merah atau ungu menunjukkan adanya kandungan triterpenoid sedangkan warna hijau menunjukkan adanya kandungan steroid.

Uji Tanin. Residu hasil ekstraksi ditambah air kemudian dididihkan selama beberapa menit. Larutan ini disaring dan filtratnya ditambah FeCl3 (b/v). Warna biru

(26)

4

Dosis Penggunaan Ekstrak Daun Sangitan.

Dosis ekstrak daun sangitan yang digunakan didasarkan pada dosis yang digunakan masyarakat tradisional yaitu 2 X 20 gram = 40 gram per hari. Berat badan rata-rata diasumsikan sebesar 60 Kg dan perolehan kembali sebesar 40%, maka dosis yang digunakan secara tradisional sebesar 267mg/Kg BB perhari. Perhitungan:

Residu hasil ekstraksi = 40% X 40 gram = 16 gram

Dosis yang digunakan per kilogram berat badan per hari

KgBB mg g mg X Kg g / 267 1 1000 60 16 = =

Hewan Coba dan Rancangan Penelitian

Pada awal penelitian, tikus diadaptasikan untuk menghindari stres yang dapat mempengaruhi kandungan serum darah yang akan diambil dan untuk menyeragamkan pola hidup masing-masing kelompok perlakuan. Pada masa adaptasi ini, tikus hanya diberi pakan standar.

Tikus yang akan digunakan dibagi menjadi empat kelompok dan masing-masing kelompok terdiri atas enam ekor tikus. Keempat kelompok tikus diberi pakan standar selama penelitian. Tikus kelompok I merupakan kontrol normal yang selama penelitian hanya diberi pakan standar dan dicekoki akuades. Tikus dalam kelompok II adalah kelompok kontrol parasetamol yang dicekoki parasetamol dosis 500mg/kg BB selama 4 minggu yaitu hari ke-8 sampai 35. Kedua kelompok lainnya merupakan kelompok perlakuan. Tikus dalam kelompok III dicekoki ekstrak air daun sangitan dari hari ke-0 sampai 35 dengan dosis 267mg/Kg BB. Tikus dalam kelompok IV dicekoki ekstrak etanol 70% daun sangitan dari hari ke-0 sampai 35 dengan dosis 267mg/Kg BB. Selanjutnya, kedua kelompok ini diberi parasetamol peroral dengan dosis 500mg/kg BB

Gambar

Tabel 1 Uji fitokimia ekstrak daun sangitan
Gambar 2 Peningkatan aktivitas ALT tikus setelah pemberian parasetamol.
Tabel 4 Aktivitas ALT setelah pemberian parasetamol dan ekstrak daun sangitan
Tabel 4 Aktivitas ALT setelah pemberian parasetamol dan ekstrak daun sangitan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengamatan pada pra siklus di SMP N 2 Suruh, ada kecenderungan siswa yang memang melakukan perilaku pacaran tidak sehat dalam observasi yang dilakukan oleh

Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari segi biologis semua makhluk

[r]

CITY STRUCTURE ANALYSIS ON QUICKBIRD IMAGERY BY MULTISCALE RADON TRANSFORMATION.. Arpad Barsi

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka diperoleh simpulan bahwa penelitian yang berjudul “Analisis Kesantunan Imperatif dalam Alquran Surat At Taubah”

Sebuah database dalam model ini disusun dalam bentuk tabel dua dimensi yang terdiri dari baris (record) dan kolom (field), pertemuan antara baris dengan kolom disebut item data (

Proses Pembinaan Kesadaran Beragama Berbasis Pendidikan Orang Dewasa yang Diterapkan pada Pembinaan Kerohanian Islam bagi Warga Binaan Tindak Pidana Korupsi di Pesantren

Pemilihan Model Analisis Regresi Linear Berganda Data Panel.. Uji