• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Informasi Iklim Dalam Pengembangan Model Peringatan Dini Dan Pengendalian Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Informasi Iklim Dalam Pengembangan Model Peringatan Dini Dan Pengendalian Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Indonesia"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN INFORMASI IKLIM

DALAM PENGEMBANGAN MODEL PERINGATAN

DINI DAN PENGENDALIAN KEJADIAN PENYAKIT

DEMAM BERDARAH DENGUE DI INDONESIA

RINI HIDAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Pemanfaatan Informasi Iklim Dalam Pengembangan Model Peringatan Dini dan Pengendalian Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia” adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Nopember 2008

(3)

ABSTRAK

RINI HIDAYATI. Pemanfaatan Informasi Iklim Dalam Pengembangan Model Peringatan Dini dan Pengendalian Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Dibimbing oleh RIZALDI BOER, YONNY KOESMARYONO, UPIK KESUMAWATI, dan SJAFRIDA MANUWOTO

Kejadian penyakit DBD tercatat di Indonesia sejak tahun 1968. Berbagai upaya telah dilakukan, tetapi hingga tahun 2007 angka kejadian penyakit masih lebih dari 20 per 100.000 penduduk di beberapa daerah endemik melebihi target pemerintah, yakni IR kurang dari 20. Penyebabnya antara lain adanya perubahan lingkungan termasuk iklim, kepadatan penduduk, penanganan yang masih bersifat reaktif dan kurang tepatnya dasar pertimbangan untuk upaya antisipasi atas kejadian penyakit tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan Model Peringatan Dini DBD (DEWM) yang dapat digunakan sebagai masukan dalam upaya antisipasi dan pengendalian kejadian penyakit DBD. Tiga hasil utama dari penelitian ini adalah: (1) waktu dan angka kejadian penyakit DBD dapat diprediksi berdasarkan informasi iklim rataan bergerak 3 mingguan curah hujan (cm) dan rataan bergerak 2 mingguan suhu udara maksimum, rata-rata dan minimum (oC) pada 2 minggu sebelum kejadian penyakit; (2) tingkat keakurasian model prediksi IR dapat ditingkatkan melalui penggunaan informasi faktor non iklim, yakni angka kejadian penyakit seminggu sebelum periode prediksi dalam model prediksi; dan (3) DEWM dikembangkan berdasarkan model prediksi PDN dan EIP serta model prediksi IR. Output DEWM berupa prediksi periode optimum pelaksanaan PSN, angka kejadian penyakit, dan informasi perlu tidaknya dilakukan pengasapan. Peubah iklim sebagai penduga IR hanya terdiri dari data curah hujan, yakni curah hujan 7 hingga 2 minggu sebelum kejadian penyakit, dalam bentuk persamaan: IRn = 0,795*IRn-1 + 0,067*ICH3n-2 dan ICH3n-2 = CH n-2 -

1,155*CH3n-4 + 0,702*CH n-5. Model telah tervalidasi pada berbagai klaster wilayah dengan pola indeks kerentanan yang berbeda. Prediksi panjang periode pradewasa nyamuk (PDN) dan periode inkubasi ekstrinsik (EIP) dilakukan dengan menggunakan metode satuan panas dari informasi suhu udara, digunakan untuk menduga periode optimum pembersihan sarang nyamuk (PSN) yang meliputi pembersihan tempat perindukan nyamuk (TPN) dan tempat peristirahan nyamuk dewasa (SND). DEWM yang dibangun bermanfaat untuk (1) memprediksi angka kejadian penyakit DBD, (2) membantu upaya antisipasi dan mitigasi kejadian penyakit melalui penentuan waktu optimum pelaksanaan PSN (3) membantu mengambil keputusan pengasapan, dan (4) memberi masukan pemerintah dalam upaya intervensi menyediakan obat-obatan dan sarana-prasarana untuk penanggulangan penyakit DBD. Tingkat Pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat belum cukup untuk menunjang pemberantasan penyakit DBD melalui PSN, sehingga PSN masih perlu disosialisasikan, antara lain dengan cara menggerakkan masyarakat terutama dengan melibatkan tokoh masyarakat lokal.

(4)

ABSTRACT

RINI HIDAYATI. Application of Climate Information for Developing Early Warming Model and Controlling Dengue Fever Diseases Incidence in Indonesia. Supervised by RIZALDI BOER, YONNY KOESMARYONO, UPIK KESUMAWATI, and SJAFRIDA MANUWOTO

Dengue Fever Diseases (DBD) Incidence has been recorded in Indonesia since 1968. Many efforts have been taken to control the diseases, however up to 2007, the incidence rate (IR) in many endemic areas was still higher than 2, meanwhile the Indonesian government target was lower than 20. This happens as a consequence of environmental/climate change, increasing population density, reactive solution and imprecise consideration to anticipate the diseases. This research is aimed to develop Dengue Early Warning Model (DEWM) which can be utilized to give an input to anticipate and control the incidence rate. There are three main result of this research, (1) the rate and period of Dengue Incidence can be predict by used of climate information, i.e. three-weekly moving average of rainfall (cm), and two weekly moving average of maximum, minimum and mean air temperature (oC); (2) the accuracy of the IR prediction model can be increased by utilization of non climatic information; and (3) DEWM is developed by using the model for estimating the immaturity period of the Aedes aegypty mosquito(PDN) and the extrinsic incubation period of the Dengue virus (EIP) as well as IR prediction. The best combination variables for modelling the IR prediction are two week lag prior of three-weekly moving average of rainfall (CH3n-2) and one week lag prior of incidence rate (IRn-1), using equation of :

IRn = 0,795*IRn-1 + 0,067*ICH3n-2; where ICH3n-2 = CH n-2 - 1,155*CH3n-4 + 0,702*CH n-5 .

In Indonesia rainfall controls the other climate parameters including temperature. Thus, rainfall can be used to represent climate factor in the model of IR prediction. The effect of temperature is defined by using method of Heat Unit to determine PDN and EIP. The information of PDN and EIP were used to determine the optimal period for controlling of the mosquito breeding site (PSN). Inputs for the DEWM are number of DBD cases and average of weekly temperature with one week lag prior to prediction period, population, weekly rainfall (mm) started in seven to two weeks prior to prediction period. The developed DEWM will be useful for (1) predicting the incidence rate of DBD, (2) assisting the anticipation and mitigation efforts to the decease incidence by determining the optimum time to do PSN, (3) deciding the time for fumigation, (4) providing inputs to the government in supplying medicine, facilities and tools required for coping with the DBD. As level of knowledge, attitude, and behaviour of the community are not adequate enough to support the eradication of the DBD through PSN, so PSN socialisation is still necessary, and community participatory should be enforced by the local leader.

(5)

RINGKASAN

RINI HIDAYATI. Pemanfaatan Informasi Iklim Dalam Pengembangan Model Peringatan Dini dan Pengendalian Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Dibimbing oleh RIZALDI BOER, YONNY KOESMARYONO, UPIK KESUMAWATI, dan SJAFRIDA MANUWOTO

Model Peringatan Dini Penyakit Demam Berdarah Dengue (DEWM) diperlukan dalam upaya antisipasi dan penanggulangan kejadian penyakit, yang pada akhirnya diperlukan untuk memberantas atau minimal menekan jumlah kasus DBD hingga batas yang dapat ditoleransi. Kejadian penyakit DBD berkaitan dengan kejadian iklim karena kehidupan vektor, patogen, dan perilaku maupun pengaturan fisiologi tubuh manusia dipengaruhi oleh iklim. Pengamatan, pencatatan, bahkan prediksi kejadian iklim secara rutin dan melembaga telah dilakukan. Oleh karena itu iklim berpotensi menjadi peubah penduga dalam model prediksi kejadian penyakit DBD sebagai bahan penyusun DEWM.

Beberapa permasalah yang ditemui dalam penyusunan model peringatan dini DBD adalah: (1) Belum ada model prediksi yang sesuai. Model prediksi kejadian penyakit DBD sudah ada tetapi memerlukan input yang rumit, spesifik lokasi atau mempunyai akurasi yang rendah; (2) Pola angka kejadian yang beragam antar wilayah (IR) dan belum tersedia metode penentuan indeks maupun peta kerawanan wilayah; (3) Pada model stokastik yang telah ada belum memasukkan faktor non iklim dalam model prediksi.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model peringatan dini dengan memanfaatkan informasi iklim sebagai dasar dalam penyusunan langkah-langkah antisipatif menghadapi kemungkinan kejadian penyakit DBD serta strategi penanggulangannya. Luaran yang diharapkan dari Penelitian ini adalah: (1) Metode penentuan Indeks Kerawanan dan peta sebaran wilayah rawan/endemik penyakit demam berdarah di Indonesia pada skala wilayah DTII, (2) Model prediksi angka kejadian penyakit demam berdarah berdasarkan informasi iklim dan non iklim (3) Model Peringatan Dini Kejadian Penyakit Demam Berdarah sebagai pedoman penentuan langkah-langkah antisipatif dan penanggulangan kemungkinan kejadian penyakit DBD melalui pemanfaatan model prediksi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang periode pradewasa nyamuk dan inkubasi ektrinsik dapat ditentukan berdasarkan metode satuan panas dari informasi suhu udara. Panjang periode pradewasa dan inkubasi ekstrinsik virus pada siklus hidup nyamuk dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan bentuk peubah penduga dalam model prediksi IR. Periode peubah curah hujan disesuaikan dengan periode pradewasa nyamuk dan periode peubah suhu disesuaikan dengan periode inkubasi ekstrinsik virus di dalam tubuh nyamuk.

Hasil penyusunan model berdasarkan data kasus dari Indramayu diperoleh peubah penduga hanya dari unsur iklim menghasilkan persamaan penduga IR, tetapi belum mencapai tingkat akurasi yang baik (R2 terkoreksi = 52,1%). Tingkat akurasi model dapat ditingkatkan dengan memasukkan faktor non iklim yaitu nilai IR seminggu sebelum perode prediksi (R2 terkoreksi = 78,4%), dalam persamaan IRn = 0,795*IRn-1 + 0,067*ICH3n-2; di mana ICH3n-2 = CH n-2 - 1,155*CH3n-4 + 0,702*CH n-5 . Hasil ini diperkuat dengan hasil validasi model yang baik terhadap data dari Kota Padang, Jakarta Utara, Bogor dan Indramayu pada periode yang berbeda.

(6)

DBD (DEWM). Model dibangun dalam paket program Microsoft Excell dipadukan dengan program Crystall Ball. Input model terdiri IR penyakit demam berdarah, rataan suhu udara mingguan, serta curah hujan mingguan (mm). Luaran model yang dihasilkan adalah periode optimum pelaksanaan pembersihan sarang nyanuk (PSN), nilai IR prediksi 2 minggu setelah kejadian iklim, dan tingkat keperluan disarankannya pelaksanaan pengasapan (fogging). Luaran DEWM diharapkan dapat membantu dalam upaya antisipasi, mitigasi dan penanggulangan kejadian penyakit DBD.

Dalam penelitian ini juga dihasilkan metode penentuan Indeks Kerentanan Wilayah terhadap kejadian penyakit DBD berdasarkan nilai IR dan frekuensi kejadian 3 tahunan berturut-turut dalam beberapa tahun waktu tinjau. Indeks kerentanan rata-rata bulanan telah dipetakan dan didapatkan 3 kelompok dominan dan beberapa kelompok tunggal. Diperoleh hasil bahwa pola rata-rata bulanan pada umumnya mengikuti pola bulanan curah hujan kecuali di kota-kota besar. Di kelompok kota besar IK masih meningkat beberapa bulan setelah puncak musim hujan. IK juga dipergunakan untuk menentukan tingkat endemik wilayah. Diperoleh hasil bahwa tingkat endemik sangat berat dan berat terutama terjadi di kota besar (kepadatan penduduk lebih dari 5000 orang km-2) dengan kelas iklim Am (curah hujan tahunan > 1000 mm dengan curah hujan rata-rata bulan terkering < 60mm), dan tingkat endemik ringan terutama terjadi di kota kecil (kepadatan penduduk < 1000 orang km-2) dengan kelas iklim Af (rata-rata curah hujan bulan terkering > 60 mm).

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah waktu dan angka kejadian penyakit DBD dapat diprediksi berdasarkan informasi iklim, yakni kombinasi antara jumlah mingguan curah hujan (cm), rata-rata mingguan suhu udara (oC) maksimum, rata-rata dan minimum. Tingkat keakurasian model prediksi IR dapat ditingkatkan melalui penggunaan informasi faktor non iklim, yakni angka kejadian penyakit seminggu sebelum periode prediksi, dalam model prediksi. Model Prediksi panjang periode pradewasa nyamuk dan inkubasi ekstrinsik virus berdasarkan metode satuan panas, dan IR digunakan untuk menyusun sistem peringatan dini Dengue. DEWM yang dikembangkan bermanfaat untuk (a) memprediksi angka kejadian penyakit DBD, (b) membantu upaya antisipasi dan mitigasi kejadian penyakit melalui penentuan waktu optimum pelaksanaan PSN, (c) membantu mengambil keputusan pengasapan, dan (d) memberi masukan pemerintah dalam upaya intervensi menyediakan obat-obatan dan sarana-prasarana untuk penanggulangan penyakit DBD sesuai dengan nilai IR hasil luaran DEWM. Efektifitas pemanfaatan luaran DEWM untuk menekan kasus penyakit DBD memerlukan peran serta masyarakat secara total dan berkelanjutan. Pada kenyataanya peranserta masyarakat masih belum sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan penyakit DBD melalui kegiatan PSN. Oleh karena itu upaya sosialisasi yang berhubungan dengan pengetahunan mengenai penyakit DBD dan perlunya dilakukan PSN masih perlu ditingkatkan, terutama secara langsung dengan melibatkan tokoh masyarakat setempat.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya:

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

c.

PEMANFAATAN INFORMASI IKLIM

DALAM PENGEMBANGAN MODEL PERINGATAN

DINI DAN PENGENDALIAN KEJADIAN PENYAKIT

DEMAM BERDARAH DENGUE DI INDONESIA

RINI HIDAYATI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Bidang Studi Agroklimatologi / Klimatologi Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian Tertutup : Dr. dr. Toni Wandra, MKM

Penguji Luar Komisi Pembimbing pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Imam Santosa

(10)

Judul Disertasi : Pemanfaatan Informasi Iklim Dalam Pengembangan Model Peringatan Dini dan Pengendalian Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia

Nama Mahasiswa : Rini Hidayati

NIM : G226010021

Program Studi : Agroklimatologi / Klimatologi Terapan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSc. Dr. Drh. Upik Kesumawati, MS.

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir Yonny Koesmaryono, MS. Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, MSc. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Klimatologi Terapan

Dr. Ir. Sobri Effendy, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala petunjuk dan karuniaNya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Penelitian telah dilaksanakan sejak awal tahun 2006 dengan judul Pemanfaatan Informasi Iklim Dalam Pengembangan Model Peringatan Dini dan Pengendalian Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue di Indonesia.

Penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Rizaldi Boer, MSc., Ibu Dr. Drh. Upik Kesumawati, MS., Bapak Prof. Dr. Ir Yonny Koesmaryono, MS., dan Ibu Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, MSc. atas bimbingan, pemberian bahan pustaka tambahan, arahan, kritik dan saran-sarannya selama penelitian hingga disertasi ini diselesaikan.

Di samping itu penulis juga menyampaikan terimakasih kepada :

1. Pimpinan Institut Pertanian Bogor yang telah memberi peluang untuk mendapatkan beasiswa BPPS guna melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB 2. Pimpinan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Agrometeorologi / Klimatologi Terapan, staf Pengajar serta Karyawan Sekolah Pascasarjana yang telah memberikan layanan pengajaran dan administrasi dengan baik

3. Pengelola dan staf Laboratorium Insektari Bag. Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, yang telah memberi fasilitas dan membantu pelaksanaan penelitian siklus hidup nyamuk

4. Pimpinan dan staf Sub Direktorat Arbovirosis, P2B2 Departemen Kesehatan RI , Pimpinan dan Staf Dinas kesehatan kabupaten / kota Indramayu, Bogor dan Padang, khususnya kepala seksi P2B2, PPM&PLP atas bantuannya dalam memberikan data kasus penderita penyakit DBD dan informasi yang relevan. 5. Seluruh penguji, baik pada saat ujian Preliminasi, Ujian sidang tertutup, maupun

ujian sidang terbuka

6. Suami, anak-anak, keempat orangtua, dan seluruh keluarga penulis yang selalu memberi dukungan total serta dan doa yang tulus

7. Seluruh staf Pengajar, Seluruh Pegawai dan Asisten di Dept Geomet dan Laboratorium Klimatologi Dept. Geomet. FMIPA-IPB atas segala masukan, dukungan dan bantuannya. Terimakasih khusus disampaikan kepada Bapak Abujamin AN atas dorongannya agar penulis mengembangkan pengajaran dan penelitian Biometeorologi manusia

8. Para Mahasiswa Program Sarjana dan Pascasarjana yang telah memberi dukungan dan bantuan

9. Banyak pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala dorongan dan bantuannya.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Bogor, Nopember 2008

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 5 Maret 1960, sebagai anak pertama dari bapak Ichwan Prijono dan ibu Soemijatoen. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Agrometeorologi Fakultas Pertanian IPB, lulus tahun 1983. Pada tahun 1990 penulis menyelesaikan studi jenjang pendidikan S2 pada Program Studi Agroklimatologi IPB. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan studi pada jenjang pendidikan S3 pada program studi Agroklimatologi/ Klimatologi Terapan dengan beasiswa BPPS dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Dari periode tahun 1987 hingga saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar mata kuliah Klimatologi, Klimatologi Tropika, Biometeorologi , Metode Klimatologi, dan Metode Klimatologi Lanjutan di Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor.

Penulis menikah dengan Akhmad Junaidi dan dikaruniai empat orang anak, yakni Rihandina Rahmi, Cita Rahma Swastika, Rahmandito Junaidi, dan Mohamad Egatama.

Karya ilmiah yang telah dan sedang dalam proses publikasi dalam jurnal ilmiah nasional dalam hubungannya dengan penelitian S3 adalah :

1. Hidayati, R., Kesumawati, U., Manuwoto, S., Boer, R., dan Koesmayono, Y. 2008. Kebutuhan Satuan Panas untuk Fase Perkembangan pada Nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) dan Periode Inkubasi Ekstrinsik Virus Dengue. J. Ekol. Kes. 6(3):648-658.

2. Hidayati, R., Boer, R., Koesmayono, Y., Kesumawati, U., Manuwoto, S. 2008. Penyusunan Model Peringatan Dini Demam Berdarah di Indonesia dengan Memanfaatkan Informasi Iklim. Jurnal Lingkungan (in press)

3. Hidayati, R., Boer, R., Koesmayono, Y., Kesumawati, U., Manuwoto, S. 2008. Penyusunan Metode Penentuan Indeks Kerawanan Wilayah dan Pemetaan Wilayah Rentan Penyakit Demam Berdarah Di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan (in press)

4. Hidayati, R., Boer, R., Koesmayono, Y., Kesumawati, U., Manuwoto, S. 2008. Sebaran Daerah Rentan Penyakit DBD Menurut Keadaan Iklim Maupun Non Iklim. Jurnal Ekologi Kesehatan (in press)

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 6

1.2.1. Tujuan Umum ... 6

1.2.2. Tujuan Khusus ... 6

1.3. Luaran yang diharapkan ... 6

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Hipotesis ... 7

1.6. Kerangka Penelitian ... 7

1.6.1. Pendekatan Pemecahan Masalah ... 7

2 SINTESA PERMASALAHAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE, PERKEMBANGAN MODEL PREDIKSI, DAN PEMANFAATANNYA ... .. 10

2.1. Penyakit Demam Berdarah ... 10

2.2. Epidemiologi Penyakit Demam (Berdarah) Dengue ... 12

2.2.1. Penyebab dan Penularan Penyakit Demam Berdarah ... 12

2.2.2.Sejarah Dengue ... 14

2.2.3.Bioekologi Nyamuk Aedes aegypti ... 15

2.2.4.Pengaruh Faktor Non Iklim pada Kejadian Penyakit DBD ... 18

2.2.5. Kaitan antara Pengaruh Faktor Iklim pada Nyamuk dan Virus pada Transmisi Penyakit DBD ... 20

2.2.5.1. Teori Satuan Panas ... 25

2.3. Tingkat Kesesuaian Wilayah ... 26

2.4. Model Prediksi ... 27

2.5. Prediksi, Upaya Antisipasi dan Strategi Penanggulangan ... 30

2.6. Strategi Antisipasi dan Penanggulangan Penyakit DBD di Indonesia Saat Ini ... 31

3 PENYUSUNAN METODE PENENTUAN INDEKS KERAWANAN DAN PEMETAAN SEBARAN WILAYAH RAWAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH TINGKAT KABUPATEN DI INDONESIA ... .. 33

3.1. Pendahuluan ... 33

3.1.1. Latar Belakang ... 33

3.1.2. Tujuan ... 34

3.1.3. Manfaat ... 34

3.2. Bahan dan Metode ... 35

3.2.1. Bahan dan Data ... 35

3.2.2. Metode Analisis ... 35

(14)

3.2.2.1.b. Menentuan Tingkat Kerawanan / Endemik

Bulanan Wilayah ... 37

3.2.2.2. Membuat Klaster Wilayah berdasarkan Indeks Kerawanan dan Menentukan Pola IK Bulanan ... 38

3.2.2.3. Memetakan Wilayah Rawan Penyakit DBD... 38

3.3. Hasil dan Pembahasan ... 39

3.3.1.1. Bentuk Sebaran dan Nilai Peluang ... 39

3.3.1.2.Indeks Kerentanan Wilayah ... 41

3.3.1.3.Tingkat Endemik/Kerentanan Wilayah ... 42

3.3.2. Klaster Wilayah berdasarkan Tingkat Kerentanan ... 45

3.3.3. Peta Wilayah Rawan Penyakit DBD ... 48

3.4. Simpulan ... 49

4 SEBARAN DAERAH RENTAN PENYAKIT DBD MENURUT KEADAAN IKLIM MAUPUN NON KLIM ... 53

4.1.Pendahuluan... 53

4.1.1. Latar Belakang ... 53

4.1.2. Tujuan ... 54

4.2. Bahan Dan Metoda ... 55

4.2.1. Menentukan Kelas Iklim ... 55

4.2.2. Menentukan Ukuran Kota ... 55

4.2.3. Menghitung Frekuensi Kejadian Tingkat Endemik menurut Kelas Iklim dan Ukuran Kota ... 56

4.3. Hasil Dan Pembahasan ... 56

4.3.1. Kelas Iklim ... 56

4.3.2. Ukuran Kota (Kepadatan Penduduk) ... 57

4.3.3. Sebaran Wilayah Rentan (Frekuensi Kejadian Tingkat Endemik) menurut Kelas Iklim dan Kepadatan Pendduk ... 58

4.4. Simpulan... 62

5 TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PEMBERANTASAN PENYAKIT DBD (Studi Kasus Kabupaten Indramayu). ... 63

5.1. Pendahuluan ... 63

5.2. Bahan Dan Metoda ... 64

5.2.1. Bahan ... 64

5.2.2. Metode ... 64

5.3. Hasil Dan Pembahasan ... 64

5.3.1. Karakteristik Wilayah Survey dan Responden ... 64

5.3.2. Tingkat Pengetahuan Responden ... 65

5.3.3. Sikap Respoden TerhadapPemberantasan Sarang Nyamuk dan Penyakit DBD ... 67

5.3.4. Perilaku Masyarakat Terhadap Perlindungan Diri, Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Penyakit DBD... 68

5.3.5. Pendapat Masyarakat Terhadap Penyuluhan mengenai Penyakit DBD ... 69

5.4. Simpulan ... 70

(15)

6.1. Pendahuluan ... 71

6.2. Bahan Dan Metoda ... 72

6.2.1. Lokasi dan waktu ... 72

6.2.2. Bahan dan alat ... 73

6.2.3. Metode ... 73

6.2.3.1 Pengamatan Fase Perkembangan Nyamuk pada Stadium Pradewasa dan Dewasa ... 73

6.2.3.2. Pengumpulan informasi Panjang Periode Inkubasi Ekstrinsik dan Siklus Gonotropik ... 74

6.2.3.3. Perhitungan Satuan Panas ... 74

6.2.3.4.Perhitungan suhu Dasar ... 74

6.3.2.5.Perhitungan Panjang Periode Tiap Fase Kehidupan Nyamuk ... 75

6.3. Hasil Dan Pembahasan ... 75

6.3.1. Satuan Panas pada Stadium Pradewasa ... 75

6.3.2. Periode Inkubasi Ekstrinsik (EIP) dan Gonotropik ... 77

6.3.3. Lama Periode Hidup Nyamuk di daerah Endemik dan di beberapa ketinggian tempat ... 79

6.4. Simpulan ... 84

6.5. Saran ... 84

7 MODEL PREDIKSI ANGKA KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH BERDASARKAN INFORMASI IKLIM ... 85

7.1. Pendahuluan ... 85

7.2. Bahan dan Metode ... 86

7.2.1. Bahan ... 86

7.2.2. Metode ... 87

7.2.2.1. Menghitung angka kejadian penyakit demam berdarah (IR) per 100,000 penduduk ... 87

7.2.2.2. Menentukan panjang periode Lengas dan Bahang ... 87

7.2.2.3. Menentukan Besaran dan Memilih Prediktor ... 88

7.2.2.4. Menyususun Model Prediksi ... 88

7.3. Hasil dan Pembahasan ... 90

7.3.1. Gambaran Lokasi Studi untuk Penyusunan model ... 90

7.3.2. Suhu Udara, Pajang Periode Lengas dan Bahang ... 91

7.3.3. Unsur-unsur Iklim sebagai prediktor terbaik (Kasus Indramayu) 92

7.3.4. Penyusunan Model Prediksi angka kejadian penyakit DBD berdasarkan informasi iklim ... 94

7.4. Simpulan ... 101

7.5. Saran ... 101

8 PENYUSUNAN MODEL PERINGATAN DINI DAN PEMANFAATANNYA UNTUK MENENTUKAN LANGKAH ANTISIPATIF DAN PENANGGULANGAN KEJADIAN PENYAKIT ... 102

8.1. Pendahuluan ... 102

8.2. Bahan dan Metode ... 103

8.2.1. Membangun Model Peringatan Dini ... 103

8.2.1.1. Model Peringatan Dini waktu optimum pelaksanaan PSN 104

(16)

8.2.2. Penentuan langkah-langkah antisipatif dan penanggulangan

kejadian penyakit DBD dengan memanfaatkan model prediksi .... 106

8.3. Hasil dan Pembahasan ... 106

8.3.1. Model Peringatan Dini ... 106

8.3.1.1. Model Peringatan Dini waktu optimum pelaksanaan PSN 108

8.3.1.2. Model Peringatan Dini Angka Kejadian Penyakit dan Pengasapan ... 109

8.3.2.Penentuan langkah-langkah antisipatif dan penanggulangan kejadian penyakit DBD dengan memanfaatkan model prediksi ... 112

8.4. Kesimpulan ... 115

8.5. Saran ... 116

9 PEMBAHASAN UMUM ... 117

10 KESIMPULAN UMUM ... 124

SARAN ... 125

(17)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Panjang periode dan laju harian inkubasi ekstrinsik virus dengue di dalam

tubuh Ae. aegypti dan siklus perkembangan gonotropik (Focks, 1993) ... 21 2. Hasil Pengamatan Persentase nyamuk Aedes aegypti menghisap darah,

jangka hidup rataan dan maksimum, frekuensi bertelur dan jumlah telur, di

Laboratorium pada suhu konstan ... 22 3. Panjang periode setiap tahapan kehidupan nyamuk Aedes aegypti pada

berbagai suhu (Sumber : Beberapa peneliti dalam Christopher, 1960 dan

Focks, et al. 2000) ... 22 4. Kelebihan dan kekurangan Model Deterministik dan Stokastik ... 28 5. Dasar Penentuan Kegiatan PSN, Penanggulangan Fokus dan

Penanggulangan KLB ... 32 6. Batasan kisaran nilai IK untuk penentuan Tingkat Kerawanan dan Tingkat

Endemik Wilayah ... 37 7. Jumlah data yang dapat dipakai untuk analisis peluang ... 39 8. Bentuk sebaran yang diujikan untuk mendapatkan nilai peluang data IR

bulanan dan hasil parameter uji yang dihasilkan ... 40 9. Jumlah kabupaten / kota dengan indeks kerentanan bulanan sebesar 16,5 42 10. Kisaran nilai indeks kerentanan untuk menentukan tingkat dan sifat

kerentanan daerah terhadap kejadian penyakit DBD ... 43 11. Kabupaten/Kota dengan 10 peringkat tertinggi (jumlah tahunan) Tingkat

Kerentanan berdasarkan IR DBD bulanan tahun 2001 sampai 2005 ... 45 12. Daftar anggota kelompok wilayah DTII dengan tingkat keserupaan

85% pada sifat kerentanan wilayah terhadap penyakit DBD ... 46 13. Pengelompokan wilayah studi ke dalam 3 kelompok iklim dan kota serta 4

kelompok tingkat endemik ... 57 14. Jumlah Wilayah DTII yang termasuk dalam masing-masing kelompok

iklim, kota dan tingkat endemik ... 57 15. Jumlah kejadian empat tingkat endemik pada berbagai kelas iklim ... 58 16. Nilai frekuensi kejadian empat tingkat endemik pada tiga kelas iklim

ditinjau dari masing-masing tingkat endemik ... 59 17. Nilai frekuensi kejadian empat tingkat endemik pada tiga kelas iklim

ditinjau dari masing-masing kelas iklim ... 59 18. Jumlah kejadian empat tingkat endemik pada berbagai ukuran kota ... 60 19 Nilai frekuensi kejadian empat tingkat endemik pada tiga ukuran kota

(18)

20 Nilai frekuensi kejadian empat tingkat endemik pada tiga ukuran kota

ditinjau dari masing-masing ukuran kota... ... 61 21 Nilai frekuensi kejadian empat tingkat endemik pada tiga ukuran kota

ditinjau pengaruh kombinasi kelas iklim dan ukuran kota ... 61 22 Lokasi, Sifat Endemik Lokasi dan Jumlah Responden target wawancara .. 65 23. Pengetahuan Masyarakat tentang Penyakit DBD ... 66 24. Sikap Masyarakat Terhadap upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk ... 67 25. Perilaku Masyarakat Terhadap upaya Pemberantasan Penyakit DBD ... 68 26. Pendapat Masyarakat Terbanyak (kedua terbanyak) Terhadap Penyuluhan

yang berhubungan dengan Penyampaian informasi tentang Penyakit DBD

... 69 27. Waktu yang dibutuhkan (hari) untuk merubah telur hingga menjadi

nyamuk dewasa setelah diairi pada lokasi (suhu 0C) yang berbeda ... 76 28. Perbandingan satuan panas (derajat hari) pada stadium pradewasa nyamuk

Aedes aegypti pada beberapa lokasi dengan suhu dasar yang berbeda .... 76 29. Satuan Panas (DH) EIP virus Dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti

pada suhu dasar 0, 10, 15, 17 , dan 20 0C. (diolah berdasarkan data EIP

dalam satuan hari dari Focks, et al., 1993) ... 77 30. Perhitungan satuan panas (derajat hari) umur nyamuk Aedes aegypti dewasa

pada beberapa suhu dasar yang berbeda ... 77 31. Satuan Panas (Derajat Hari) siklus gonotropik nyamuk Aedes aegypti pada

suhu dasar 15, 17 , 17.5 dan 18 0C. (diolah berdasarkan data siklus

gonotropik dalam jumlah hari, sumber : Focks, et al., 1993) ... 78 32. Suhu Dasar (Tb) dan Satuan Panas pada berbagai Fase Kehidupan ... 78 33. Rataan panjang periode stadium pradewasa , rataan umur, EIP, dan siklus

gonotropik (hari) nyamuk Aedes aegypti di kota Indramayu, Jakarta Utara,

Bogor dan Padang, hasil perhitungan berdasarkan satuan panas ... 79 34. Panjang stadium pradewasa dan EIP (hari) musiman di 3 lokasi ... 80 35. Panjang periode stadium pradewasa (PD) , periode inkubasi ekstrinsik

(EIP), siklus gonotropik (SG) dan umur nyamuk dewasa (hari) Aedes aegypti di beberapa ketinggian tempat (a) suhu dihitung berdasarkan perkiraan suhu secara empiris saat ini; dan (b) suhu dihitung berdasarkan

perkiraan suhu empiris berdasarkan rumus Braak (1929) ... 83 36. Panjang periode lengas dan energi peubah penduga dalam model prediksi

angka kejadian penyakit DBD di kota Indramayu, Jakarta Utara, Bogor dan

Padang ... 92 37. Nilai Koefisien Korelasi dan tingkat uji nyata antara IR mingguan DBD

dengan unsur –unsur iklim di Kabupaten Indramayu ... 92 38. Nilai Koefisien Korelasi dan tingkat uji nyata antara IR mingguan DBD

(19)

39. Hasil validasi model prediksi berdasarkan persamaan 7 Validasi dilakukan dengan data dari kab. Indramayu (2007); kota Bogor (2003- 2006); Jakarta

(20)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Jumlah penderita DBD per 100.000 penduduk Indonesia dan jumlah Kabupaten/

Kota yang terjangkit penyakit DBD tahunan dari tahun 1968 hingga 2007 1 2. Kerangka Pikir dan Struktur Penelitian ... 9 3. Transmisi Virus Dengue oleh Aedes aegypti, masa inkubasi dan viremia .... 14 4. Bentuk telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa Aedes aegypti ... 15 5. Skema proses perkembangan nyamuk Aedes aegypti dan siklus tunggal

penularan virus Dengue hingga timbul gejala sakit pada penderita DBD ... 17 6. Pengaruh pencahayaan terhadap lamanya waktu untuk perubahan dari tahap

pupa ke tahap nyamuk dewasa An gambiae pada suhu yang berbeda di

laboratorium ... 24 7. Distribusi geografis nyamuk Aedes dan penyakit Demam Berdarah di Dunia

(Sumber : Gubler, 2004) ... 27 8. Diagram alir percobaan Menyusun indeks kerawanan wilayah tingkat kabupaten

dan Pemetaannya ... 35 9. Pola sebaran data IR diplotkan bersama dengan nilai peluang menurut sebaran

teoritis pada tingkat kepercayaan 95% (a, b, dan c); dan fungsi kumulatif

sebaran empiris Lognormal 3 parameter ... 41 10. Sebaran data IK dan nilai IK pada peluang 25%, 50%, 75% dan 95% ... 43 11. Pola rata-rata Indeks Kerentanan (IK) dan Curah Hujan Bulanan pada

klaster 1, 2, dan 3 ... 47 12. Pola rata-rata Indeks Kerentanan (IK) dan Curah Hujan Bulanan pada klaster

tunggal subklaster 4 dan 5 ... 47 13. Pola rata-rata Indeks Kerentanan (IK) dan Curah Hujan Bulanan pada klaster

tunggal Kota Pontianak, Padang, Madiun, dan Kupang ... 48 14. Peta Pewilayahan Daerah Rentan terhadap Tenyakit Demam Berdarah

Dengue ... 50 15. Kondisi suhu rata-rata harian ruang pemeliharaan nyamuk ... 75 16. Plot panjang periode berbagai tahapan kehidupan nyamuk dan inkubasi

ekstrinsik virus pada berbagai suhu ... 81 17. Pola Indeks Kerentanan dan Tingkat Endemik tahun 2001- 2005, serta

rata-rata Hujan bulanan di 4 Kota / Kabupaten lokasi studi ... 90 18. Kerangka waktu kejadian iklim dua minggu sebelum periode prediksi, dan

angka kejadian awal penyakit untuk menduga Angka Kejadian Penyakit DBD

(21)

20. Plot IR data vs IR hasil prediksi berdasarkan persamaan 7 pada proses validasi dengan IR data dari kejadian di kota Bogor (2003- 2006), kab. Indramayu (2007); kota Padang (2003 – 2005), dan kota Jakarta Utara

(1998-2002) ... 100 21. Hasil luaran 1000 kali simulasi model peringatan dini dengue ... 108 22. Periode optimum pembersihan tempat perindukan nyamuk (TPN) dan

pembersihan tempat peristirahatan nyamuk dewasa (SND) pada berbagai tingkat suhu udara dengan peluang terlampaui 75% (TPN75 dan SND75) dan

90% (TPN90 dan SND90) ... 109 23. Hasil simulasi IR prediksi berdasarkan nilai IRn-1 dan ICHn-2 dengan peluang

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Peta Tingkat Endemik Wilayah Terhadap Penyakit Demam Berdarah di Seluruh Kabupaten / Kota di Indonesia bulan Januari ... 132 2. Peta Tingkat Endemik Wilayah Terhadap Penyakit Demam Berdarah di Seluruh

Kabupaten / Kota di Indonesia bulan Pebruari ... 133 3. Peta Tingkat Endemik Wilayah Terhadap Penyakit Demam Berdarah di Seluruh

Kabupaten / Kota di Indonesia bulan Maret ... 134 4. Peta Tingkat Endemik Wilayah Terhadap Penyakit Demam Berdarah di Seluruh

Kabupaten / Kota di Indonesia bulan April ... 135 5. Peta Tingkat Endemik Wilayah Terhadap Penyakit Demam Berdarah di Seluruh

Kabupaten / Kota di Indonesia bulan Mei ... 136 6. Peta Tingkat Endemik Wilayah Terhadap Penyakit Demam Berdarah di Seluruh

Kabupaten / Kota di Indonesia bulan Juni ... 137 7. Peta Tingkat Endemik Wilayah Terhadap Penyakit Demam Berdarah di Seluruh

Kabupaten / Kota di Indonesia bulan Juli ... 138 8. Peta Tingkat Endemik Wilayah Terhadap Penyakit Demam Berdarah di Seluruh

Kabupaten / Kota di Indonesia bulan Agustus ... 139 9. Peta Tingkat Endemik Wilayah Terhadap Penyakit Demam Berdarah di Seluruh

Kabupaten / Kota di Indonesia bulan September ... 140 10. Peta Tingkat Endemik Wilayah Terhadap Penyakit Demam Berdarah di Seluruh

Kabupaten / Kota di Indonesia bulan Oktober ... 141 11. Peta Tingkat Endemik Wilayah Terhadap Penyakit Demam Berdarah di Seluruh

Kabupaten / Kota di Indonesia bulan Nopember ... 142 12. Peta Tingkat Endemik Wilayah Terhadap Penyakit Demam Berdarah di Seluruh

Kabupaten / Kota di Indonesia bulan Desember ... 143 13. Daftar Istilah ... 144 14. Indeks Kerentanan Bulanan yang Berada pada Peringkat 10 Tertinggi

masing-masing bulan Januari hingga Desember di Indonesia ... 146 15. Waktu yang dibutuhkan (hari) untuk berubah fase, pada lokasi

(suhu lingkungan , 0C) yang berbeda……… 147 16. Hasil wawancara pada masyarakat tentang cara memberantas Nyamuk

Aedes aegyptiyang biasa dilakukan……… 148 17. Correlations: CH, SD, CH3, SD3, CH4, SD4, IR, IRn+1, IRn+2, IRn+3,

Rn+4……… 148

17A. Segitiga untuk penentuan kelas iklim Koppen :Af, Am, dan Aw 148 18. Regression Analysis: IRM versus IRMn-1, PCCH1... 149 19. Anggota klaster wilayah rentan DBD ... 152 20. Kajian Perilaku, Sosial Budaya Masyarakat dan Kondisi Lingkungan di Sekitar

Keluarga Penderita Penyakit Demam Berdarah Di Daerah Indramayu

(23)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit deman berdarah (DBD) berkembang menjadi masalah kesehatan yang serius di dunia, terutama di Indonesia. Di Indonesia dalam periode 5 tahun antara 1986 sampai 1990 tercatat jumlah kasus DBD yang pada tahun-tahun sebelumnya terjadi dalam kurun waktu 30 tahun (Agoes, 2005). Data 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa jumlah kasus DBD meningkat sangat tajam dibandingkan antara tahun 1986 hingga 1990 (Gambar 1). Selain itu, jumlah kabupaten yang terjangkit DBD juga meningkat tajam. Pada tahun 1970an, kurang dari 10 kota / kabupaten yang terjangkit penyakit DBD, dan pada tahun 2003 sudah menjadi lebih dari 200 kota / kabupaten.

Gambar 1 menunjukkan adanya kecendrungan bahwa jumlah kasus DBD dan jumlah kota/kabupaten yang terjangkit DBD meningkat tajam pada tahun kejadian La Nina setelah tahun kejadian El Nino (misalnya pada tahun 1988 dan 1998). Pada tingkat global, diperkirakan pada awal abad ke 21 jumlah manusia berisiko terinfeksi DBD mencapai 2,5 miliar manusia atau dua perlima dari populasi dunia (WHO, 2000; Wawolumaya dan Irianto, 2004).

0 10 20 30 40 50 60 70 80

68 70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02 04 06

Tahun IR pe r 1 0 0 0 0 0 pd dk 0 50 100 150 200 250 300 350 400 K a b/ K ot a Te rj a ng k it

IR per 100.000 penduduk

Kota/Kab Terjangkit

Gambar 1. Jumlah penderita DBD per 100.000 penduduk Indonesia dan jumlah Kota / Kabupaten yang terjangkit penyakit DBD dari tahun 1968 hingga 2007 (Sumber :

(24)

Pemerintah Indonesia telah menyusun Indikator Indonesia sehat tahun 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi sehat dan Kabupaten / Kota Sehat melalui Keputusan Menteri Kesehatan No: 1202 / MenKes / SK / VIII / 2003. Target angka kesakitan (morbiditas) untuk penyakit DBD adalah 2 orang / 100.000 penduduk. Menurut Kusriastuti (2006) di tingkat operasional, target angka kejadian penyakit DBD melalui Proyek Penanggulangan Nasional kurang dari 5 orang penderita setiap 100.000 penduduk (Incidence Rate kurang dari 5 atau IR<5), dan di Daerah Endemis IR sebesar kurang dari 20 orang / 100.000 penduduk. Berdasarkan perkembangan data mutakhir indikator IR tingkat KOTA/KABUPATEN yang berlaku secara nasional disesuaikan menjadi sebesar kurang dari 20 orang / 100.000 penduduk (Komunikasi pribadi dengan Kepala sub Direktorat Arbovirosis Departemen Kesehatan RI, September 2008).

Berbagai upaya telah dilakukan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No: 581 tahun 1992, pemberantasan DBD mengutamakan kegiatan pencegahan dan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan :

1. Kegiatan PSN-3M Plus, yaitu Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan cara : menguras, menutup dan mengubur penampung air, plus membubuhkan larvasida, memelihara ikan, menggunakan kelambu, menyemprot sendiri, dan usaha lain. Selain itu bubuk abate diberikan secara gratis di daerah endemis 2. Pemeriksaan dan pemberantasan jentik berkala paling lambat tiap 3 bulan

sekali

3. Pengasapan menurut kriteria yang ditetapkan (Tabel 5)

Walaupun demikian menurut catatan Depkes pada tahun 2005 IR di Indonesia secara keseluruhan morbiditas mencapai lebih dari 41 orang per 100.000 penduduk. Pada awal tahun tahun 2007 kejadian penyakit DBD masih sangat tinggi; yakni dari Januari hingga awal Februari 2007 jumlah penderita 16.803 orang, ini berati bahwa IR hampir mencapai 7,5 orang per 100.000 penduduk dalam waktu kurang dari 2 bulan, dan 267 orang meninggal (Depkes, 2007). Unit pelayanan kesehatan masih belum mampu memberikan pelayanan yang memadai pada saat musim kejadian DBD tiba.

(25)

kejadian belum dapat diprediksi dengan baik. Hal ini terjadi karena kemampuan antisipasi masih rendah, indeks dan peta kerawanan wilayah serta model prediksi yang dapat diandalkan belum tersedia. Suatu model prediksi yang dapat diandalkan perlu dikembangkan.

Tingkat Kerawanan terhadap angka kejadian penyakit DBD (Demam Berdarah dengue) antar wilayah di Indonesia berbeda-beda. Hingga saat ini kriteria yang dipakai untuk menilai tingkat kerawanan daerah adalah berdasarkan data kejadian penyakit DBD dalam 3 tahun berturut-turut. Katagori daerah Endemik diterapkan pada suatu daerah apabila di daerah tersebut dalam 3 tahun terakhir burturut-turut terjadi serangan penyakit DBD. Daerah sporadis DBD adalah daerah dengan serangan penyakit DBD apabila dalam 3 tahun tidak terjadi secara berturutan, dan daerah potensial DBD apabila tidak terjadi serangan dalam 3 tahun. Penggolongan ini tidak dihubungkan dengan angka (jumlah) kejadian. Selanjutnya secara terpisah kategori kejadian berat ditetapkan untuk daerah dengan angka kejadian (IR, Incidence rate) dalam setahun lebih dari 20 orang setiap 100.000 penduduk (Komunikasi pribadi dengan Kepala sub Direktorat Arbovirosis Departemen Kesehatan RI, Februari 2006).

Upaya untuk memetakan sebaran wilayah menurut tingkat kerawanan terhadap kejadian penyakit DBD dengan cara mengkombinasikan data intensitas dan frekuensi kejadian penyakit sampai saat ini belum dilakukan. Informasi mengenai sebaran wilayah rawan menurut tempat dan waktu sangat diperlukan dalam menentukan wilayah prioritas untuk pelaksanaan program antisipasi dan penanggulangan DBD. Karena itu pemetaan sebaran wilayah rawan penyakit DBD perlu segera dibuat.

Adanya kecenderungan semakin meningkatnya tingkat kejadian penyakit DBD, telah menarik perhatian banyak pihak untuk segera menangani dan mengantisipasi masalah. Salah satu upaya yang dilakukan ialah mengembangkan model-model prediksi angka kejadian penyakit DBD baik dalam bentuk model matematik / statistik (stokastik / blackbox model) maupun deterministik (model berdasarkan mekanisme kejadian). Model dijadikan sebagai salah satu komponen dalam menyusun model peringatan dini terhadap kejadian penyakit DBD.

(26)

dengan semakin baiknya kemampuan prakiraan cuaca/iklim dan didukung dengan sistem pengamatan cuaca dan diseminasi informasi prakiraan yang telah melembaga dan dilakukan secara kontinu, maka upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dalam mengantisipasi dan mengendalikan kejadian penyakit DBD pada masa yang akan datang.

Banyak studi menunjukkan bahwa cuaca secara langsung mempengaruhi tersedianya tempat perindukan, laju pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, dan mortalitas nyamuk vektor Aedes aegypti (Christopher, 1960; Gubler, 2004) yang menularkan virus dari famili Flaviviridae penyebab deman berdarah. Ini berarti bahwa cuaca merupakan faktor penentu tingkat dan distribusi populasi nyamuk. Selain itu, cuaca juga mempengaruhi kecepatan replikasi virus (Sehgal, 1997; Chan et al., 1999; Chadee, 2006), serta mempengaruhi ekskresi hormon dalam tubuh manusia yang mengatur metabolisme dalam tubuh (Thom, 1980). Jadi, cuaca mempengaruhi faktor-faktor epidemiologi penyakit DBD, yaitu mempengaruhi laju penularan penyakit DBD oleh karena perbedaan frekuensi gigitan nyamuk per periode, lamanya periode inkubasi extrinsik1, dan juga daya tahan tubuh manusia.

Selain faktor cuaca dan iklim, penyebaran yang cepat dari penyakit ini juga disebabkan oleh perubahan lingkungan lain (Reiter, 2001; Sukowati, 2004), seperti laju pertambahan penduduk yang cepat, kurang baiknya sistem sanitasi lingkungan dan tumbuhnya kantong-kantong kemiskinan (Gubler, 2002 dalam Gubler, 2004), serta meningkatnya kegiatan migrasi antar wilayah. Di samping itu, pemberantasan nyamuk vektor yang masih kurang efektif, adanya berbagai serotipe virus patogen dan adanya mekanisme penularan transovarial (Khin dan Than, 1983; Vazeille et al., 2003), menyebabkan jumlah kejadian penyakit DBD dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat. Berdasarkan kondisi di atas, pengembangan model-model prediksi kejadian penyakit DBD kurang baik jika hanya memperhitungkan informasi iklim saja, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor non iklim antara lain kepadatan penduduk, keadaan lingkungan, dan tingkat pembangunan manusia.

Pengembangan model prediksi deterministik merupakan salah satu pendekatan pengembangan model prediksi yang mengakomodasikan berbagai faktor lain selain cuaca/iklim seperti kondisi tempat perindukan dalam hubungannya dengan dinamika populasi nyamuk Aedes, keberadaan dan kemampuan virus untuk menginfeksi, daya

1

(27)

tahan tubuh manusia dan lain-lain, serta keterkaitan antara faktor-faktor tersebut dalam mempengaruhi kejadian penyakit DBD secara komprehensif. Pendekatan ini sangat rumit karena memerlukan informasi yang sangat banyak dan harus memahami secara rinci saling keterkaitan antara berbagai faktor dan hubungannya dengan kejadian penyakit DBD (Reiter, 2001). Oleh karena itu, pendekatan stokastik lebih sering digunakan yaitu dengan melihat hubungan kuantitatif antara kondisi cuaca dengan kejadian penyakit DBD (Reiter, 2001; Schreiber, 2001; Sukowati, 2004; Peterson et al., 2005; Sasmito et al., 2006).

Model prediksi kejadian penyakit DBD sudah cukup banyak tersedia baik yang bersifat deterministik maupun yang stokastik. Beberapa model yang bersifat deterministik di antaranya ialah kombinasi model CinSim (Fock et al., 1993) dan DenSim (Fock et al., 1995). Di Indonesia jenis model deterministik sudah dicoba dikembangkan oleh Sintorini (2006). Dalam model-model deterministik, input yang dibutuhkan adalah informasi yang bersifat pengamatan khusus seperti iklim mikro, tingkat ketersediaan tempat perindukan dan parameter kepadatan populasi nyamuk. Informasi ini memerlukan pengamatan yang relatif rumit dan mahal sehingga pemanfaatan model untuk peramalan penyakit DBD, walaupun dapat lebih akurat, tetapi dinilai sulit diterapkan. Oleh karena itu, sampai saat ini model prediksi yang lebih banyak dikembangkan ialah model-model prediksi yang bersifat stokastik karena relatif lebih mudah dan praktis baik dalam pembuatannya maupun penggunaannya. Prototipe model prediksi stokastik yang sudah dikembangkan di Indonesia di antaranya yang dikembangkan oleh tim dari Badan Meteorologi dan Geofisika (Sasmito et al., 2006).

(28)

Kendala yang dihadapi dalam mengembangkan model prediksi stokastik dengan menggunakan data iklim harian dan non-iklim ialah ketersediaan data penyakit dan iklim harian sangat terbatas, data non-iklim yang tersedia seringkali berbeda periode waktu pengamatan dan wilayah cakupannya dengan data iklim. Oleh karena itu perlu dikembangkan metode penyusunan model stokastik prediksi angka kejadian penyakit DBD yang dapat mengatasi kendala dan permasalahan tersebut. Penelitian ini akan mengembangkan model stokastik menggunakan faktor iklim dengan mempertimbangkan siklus hidup nyamuk dan virus dalam tubuh nyamuk.

1.2 Tujuan :

1.2.1. Tujuan umum:

Tujuan umum dari Penelitian ini adalah untuk mendapatkan model peringatan dini dengan memanfaatkan informasi iklim sebagai dasar dalam penyusunan langkah-langkah antisipatif menghadapi kemungkinan kejadian penyakit DBD serta strategi penanggulangannya.

1.2.2. Tujuan khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

i. Menyusun metode penentuan indeks kerawanan dan tingkat endemik wilayah kabupaten/kota terhadap kejadian penyakit demam berdarah dan mendapatkan peta sebaran wilayah rawan di Indonesia

ii. Mengindentifikasi peubah iklim dan non-iklim yang menentukan angka kejadian penyakit

iii. Menyusun model prediksi tingkat kejadian penyakit DBD

iv. Menyusun model peringatan dini dan pemanfaatannya untuk menyusun langkah antisipatif dan pengendalian tingkat kejadian penyakit DBD

1.3. Luaran yang diharapkan

Penelitian ini akan menghasilkan tiga luaran yaitu :

1. Metode Penentuan Indeks Kerawanan dan peta sebaran wilayah rawan penyakit demam berdarah di Indonesia pada tingkat kabupaten/kota

(29)

3. Model Peringatan Dini Kejadian Penyakit Demam Berdarah sebagai pedoman penentuan langkah-langkah antisipatif dan penanggulangan kemungkinan kejadian penyakit deman berdarah melalui pemanfaatan model prediksi

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatan oleh instansi terkait dan masyarakat untuk : (i) mengetahui wilayah dan waktu rawan kejadian penyakit demam berdarah

(ii) mengetahui perkiraan angka kejadian berdasarkan perkembangan kondisi musim (iii) menyusun langkah-langkah antisipasi dan penanggulangannya.

1.5 Hipotesis

1. Waktu dan kemungkinan angka kejadian penyakit demam berdarah dapat atau tidak dapat diprediksi berdasarkan informasi iklim

2. Tingkat keakurasian model prediksi kejadian penyakit DBD dapat atau tidak dapat ditingkatkan melalui penggunaan faktor koreksi yang disusun berdasarkan informasi non-iklim

3. Model prediksi dapat atau tidak dapat digunakan untuk menyusun rekomendasi langkah antisipasi dan strategi penanggulangan penyakit demam berdarah secara lebih efektif

1.6. Kerangka Penelitian

1.6.1. Pendekatan Pemecahan Masalah

(30)

Untuk mendapatkan model prediksi angka kejadian penyakit DBD yang lebih baik, maka wilayah administrasi yang menjadi cakupan kajian seharusnya lebih sempit, bukan tingkat kabupaten tetapi tingkat kecamatan karena pada cakupan wilayah ini tingkat kehomogenan data penyakit maupun iklim lebih baik. Meskipun demikian berdasarkan pertimbangan bahwa mobilitas penduduk antar kecamatan dalam satu kabupaten / kota pada umumnya sangat tinggi, maka peluang penularan penyakit DBD sangat mungkin terjadi di luar kecamatan tempat tinggal, tetapi diasumsikan masih terbatas pada tingkat kabupaten. Oleh karena itu data penyakit tingkat kabupaten dan data iklim dari kecamatan endemik (jika tersedia) dipergunakan sebagai bahan penyusun model prediksi.

Mengingat penyakit DBD ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus dengue, maka pengaruh iklim maupun non iklim dalam siklus hidup nyamuk dalam hubungannya dengan proses penularan penyakit DBD diperhitungkan dalam menyusun peubah prediktor model prediksi. Untuk selanjutnya model prediksi dipergunakan sebagai bahan penyusun model peringatan dini penyakit DBD.

Metode penyusunan model peringatan dini penyakit DBD yang akan dilakukan ialah dengan mengembangkan metode penyusunan bertahap. Tahapan langkah analisis yang dilakukan dalam menyusun model yang dimaksud di atas ialah sebagai berikut: Tahap 1a. Mendapatkan metode perhitungan dan nilai Indeks Kerawanan wilayah

KOTA/KABUPATEN terhadap penyakit DBD, kemudian mengelompokkan kabupaten menurut pola Indeks Kerawanan tersebut. Tahap 1b. Memetakan wilayah rentan tingkat KOTA/KABUPATEN menurut hasil

pengelompokan dan nenurut tingkat kerawanan bulanannya.

Tahap 2. Menyusun model prediksi angka kejadian penyakit deman berdarah dengan menggunakan informasi iklim dan mempertimbangkan siklus hidup nyamuk vektor.

Tahap 3. Menyusun model peringatan dini dan pedoman pemanfaatan model dalam menentukan langkah-langkah antisipasi menghadapi kemungkinan kejadian penyakit demam berdarah dan strategi mitigasi dan penanggulangannya. Secara skematis, kerangka penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

(31)
[image:31.595.87.508.61.807.2]

Gambar 2. Kerangka Pikir dan Struktur Penelitian

Hasil dari tahap ke 3, yaitu Model Prediksi akan dipakai sebagai dasar dalam menyusun model peringatan dini untuk pedoman penyusunan langkah-langkah antisipasi kemungkinan kejadian penyakit demam berdarah dan strategi penanggulangannya.

1. Menyusun indeks kerawanan wilayah tingkat DTII terhadap penyakit DBD, digunakan untuk memetakan

sebaran wilayah rawan

Data IR bulanan ( 1992 – 2005) tingkat kabupaten

Penyusunan indeks kerawanan wilayah

Peta kerawanan wilayah tingkat DTII

2. Menyusun model prediksi kejadian penyakit DBD

3 Menyusun model peringatan dini untuk upaya antisipasi, mitigasi,

dan penanggulangan penyakit

Model prediksi berdasarkan informasi iklim dan peubah

non iklim

Model peringatan dini Siklus hidup nyamuk

Panjang periode peubah penduga, data

IR dan Iklim

(32)

2. SINTESA PERMASALAHAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM

BERDARAH DENGUE, PERKEMBANGAN MODEL PREDIKSI

DAN PEMANFAATANNYA (Tinjauan Pustaka)

2.1. Penyakit Demam Berdarah

Demam Berdarah merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue telah lama menyebar, yaitu sejak abad ke 17. Pada awalnya virus Dengue hidup dalam siklus hutan hujan primer Afrika yang di dalamnya terdapat kehidupan primata dan vegetasi bertajuk rendah tempat hidup nyamuk dalam siklus primata - nyamuk - primata. Virus Dengue dapat menular di daerah urban di antara manusia dan domestikasi nyamuk Aedes aegypti (Soper et al., 1944 dalam Gubler, 2004). Penyebaran penyakit secara geografis dalam abad ke 17 hingga awal abad ke 20 berhubungan dengan penyebaran secara global nyamuk Aedes aegypti dari Afrika ke wilayah Tropis lainnya yang terbawa serta dalam aktivitas industri pelayaran dan ekspansi perdagangan pada abad ke 17 dan 18. Nyamuk ini merupakan vektor epidemi yang sangat efisien disebabkan oleh adanya asosiasi nyamuk dengan kehidupan manusia di daerah urban, serta perilaku menggigit dan menghisap darah pada beberapa orang (multiple feeding) oleh satu nyamuk betina dewasa. Virus hidup dengan baik di pusat kota besar di tropis dalam siklus nyamuk – manusia – nyamuk (Gubler, 1997 dalam Gubler, 2004).

Perkembangan dramatis terjadi di Asia Tenggara selama Perang Dunia II. Epidemi Penyakit Demam Berdarah di Asia umumnya terjadi pada 50 tahun awal abad ke 20. Selama periode ini virus Dengue menjadi endemik di beberapa wilayah Asia. Epidemiologi penyakit DBD menjadi dramatik di Asia selama dan setelah Perang Dunia ke II. Masuknya ratusan ribu tentara sekutu dan Jepang ke dalam wilayah endemik Asia, berkombinasi dengan kepadatan penduduk dan menyebarnya nyamuk Aedes aegypti yang terbawa oleh material perang, menyebabkan kejadian epidemik di antara pasukan kedua angkatan perang dan kejadian hiperendemik di kota-kota di Asia disertai dengan meningkatnya penularan multi serotipe virus Dengue.

(33)

Jakarta dan Surabaya pada tahun 1968, dan kasusnya meningkat hingga saat ini (Kusriastuti, 2006; Anonim, 2006)

Penyakit Demam berdarah adalah penyakit akut, bersifat musiman, dan seringkali menyebabkan kematian dalam waktu yang singkat dalam hitungan hari. Dengan relatif mudah penyakit ini ditularkan oleh berbagai nyamuk spesies Aedes jika keadaan iklim sesuai, dan ketahanan tubuh manusia lemah. Oleh karena itulah hingga saat ini penyakit tersebut menjadi penyakit yang ditakuti, dan pemberantasannya masih belum berhasil, bahkan jumlah penderitanya cenderung meningkat dari tahun ke tahun baik di Dunia maupun di Indonesia (WHO, 2000; Wawolumaya dan Irianto, 2004; Anonim, -).

Studi tentang penyakit DBD sudah banyak dilakukan baik dalam bidang medik yang berhubungan dengan perkembangan penyakit di dalam tubuh manusia, dalam hubungannya dengan virus pathogen, nyamuk sebagai vektor, maupun lingkungan yang berhubungan dengan iIklim dan sosial-ekonomi-budaya yang menunjang. Penelitian mengenai penyakit DBD telah melibatkan banyak peneliti di bidang medik, biologi yang meliputi entomologi dan virologi, kimia dalam hubungannya dengan pemberantasan dengan pestisida, geografi termasuk ahli lingkungan fisik, dan ahli pemodelan. Pustaka mengenai keadaan medik, vektor dan patogen, maupun lingkungan yang berhubungan, relatif mudah didapatkan. Yang masih relatif jarang adalah informasi mengenai hubungan iklim dengan perkembangan virus dan ketahanan tubuh manusia.

Selain penelitian – penelitian yang bersifat parsial, penyusunan model prediksi juga sudah dilakukan antara lain Cinsim-Densim dan model-model lain (Fock, 1993. Fock, 1995; Sintorini ,2006; Sasmito et al., 2006; Sukowati, 2004; Schreiber, 2001; Peterson et al., 2005). Beberapa model telah memperhitungkan keadaan cuaca untuk menduga kejadian penyakit DBD, tetapi masih terdapat perbedaan antara bentuk informasi dan model yang tersedia dengan yang dibutuhkan oleh para pemangku kepentingan. Akibatnya hingga saat ini di Indonesia, model prediksi yang ada belum dimanfaatkan secara operasional untuk memprediksi angka kejadian penyakit DBD. Aplikasi yang kreatif dan terorganisir dari sumberdaya yang ada merupakan hal yang sangat diperlukan untuk membangun model dan mengontrol penyakit ini menghadapi perubahan iklim pada masa mendatang (Reiter, 2001).

(34)

tulisan ini diutamakan yang relevan untuk membangun model prediksi berdasarkan informasi iklim dan dapat dipergunakan dalam penyusunan rekomendasi untuk mengantisipasi kejadian penyakit pada masa mendatang.

2.2. Epidemiologi Penyakit Demam (Berdarah) Dengue

2.2.1. Penyebab dan Penularan Penyakit Demam Berdarah

Penyakit Demam Berdarah Dengue atau sering disingkat DBD, merupakan penyakit infeksi oleh virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk vektor Aedes. Oleh karena itu virus Dengue diklasifikasikan ke dalam salah satu jenis arbovirus, yang merupakan kepanjangan dari arthropod-borne viruses (Agoes, 2005). Virus Dengue (DENV) termasuk famili Flaviviridae dengan 4 serotipe, yaitu DENV-1 hingga DENV-4 (Gubler, 1998 dalam Lindback et al., 2003; Gubler, 2004).

Vektor utama penular penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (Christopher, 1960) yang berkembangbiak di lingkungan permukiman di perkotaan. Vektor keduanya adalah Aedes albopictus, yang juga berkembang biak di lingkungan permukiman, tetapi banyak ditemukan di daerah semi urban (Sukowati, 2004). Pada awalnya A. albopictus mendominasi penularan penyakit DBD. Setelah periode tahun 1950, penyebaran virus Dengue terutama terjadi melalui A. aegypti menggantikan dominasi peran A. albopictus (Vazeille et al., 2003). Rosen dan Freier (1987) mendapatkan 12 spesies Aedes scutellaris subgrup dalam percobaan transmisi virus dan mendapatkan 8 spesies di antaranya dapat menularkan virus Dengue secara vertikal, yang berarti ke 8 spesies tersebut dapat menularkan penyakit DBD baik secara normal atau dengan cara transovarial. Penularan secara normal adalah penularan virus setelah nyamuk menghisap darah penderita yang sedang Viremia , yakni keadaan dimana dalam darah penderita penyakit DBD sedang terkandung virus Dengue yang cukup banyak, sedangkan secara transovarial, virus ditularkan melalui telur nyamuk.

(35)

nyamuk hingga jumlahnya cukup untuk dapat menginfeksi dengan waktu inkubasi berkisar antara 3 – 14 hari, dengan kejadian paling sering 4 – 7 hari.

Epidemiologi dan ekologi dengue menjadi kompleks karena terdapat empat serotipe virus, beberapa di antaranya dalam waktu bersamaan terdapat di wilayah endemik. Pada populasi lokal yang ada, tingkat imunitas terhadap keempat serotipe berbeda oleh pengaruh pertumbuhan populasi dan paparan populasi terhadap serotipe pada masa lampau (www.who.int/heli/risk/vectors/denguecontrol/en/). Infeksi oleh satu tipe virus menimbulkan imunitas, tetapi tidak menimbulkan imunitas protektif silang terhadap serotipe lainnya (Gubler, 1998 dalam Lindback et al., 2003).

Suatu studi di Thailand selama periode endemik mendapatkan beberapa serotipe DENV secara simultan menginfeksi nyamuk DBD (Barbazan, 2002). Kejadian serupa juga didapatkan pada studi di Indonesia oleh Corwin et al., (2001). Berdasarkan identifikasi serologi dengan kultur jaringan, inokulasi nyamuk contoh dan RT-PCR dari kasus penyakit di Rumah Sakit Charitas dan Rumah Sakit Umum M. Hoesin Palembang, didapatkan bahwa pada sampel ditemukan serotipe terbanyak adalah DENV-1, diikuti oleh DENV-3, DENV-2, kombinasi DENV-1 dan 3, DENV-4, dan kombinasi DENV 1-2, 1-4, dan 2-4.

Transmisi virus Dengue oleh nyamuk Aedes dimulai dengan adanya orang yang terinfeksi Dengue (Gambar 3). Orang ini akan membawa virus di dalam peredaran darahnya yang disebut dengan keadaan veremia paling lambat selama 5 hari. Selama periode veremia inilah, jika nyamuk Aedes betina yang belum terinfeksi menggigit orang dan menghisap darah yang mengandung virus Dengue tersebut akan terinfeksi virus Dengue dan selanjutnya akan menularkan virus Dengue penyebab penyakit DBD ke individu lain.

Kejadian yang sering adalah nyamuk terinfeksi karena menggigit orang yang sedang veremia. Akan tetapi banyak juga ditemui transmisi transovarial, keberadaan virus Dengue pada nyamuk Aedes karena terbawa telur nyamuk. Virus dapat diturunkan baik oleh nyamuk betina kepada keturunan F1 (Bosio et al., 1992), maupun oleh nyamuk jantan melalui proses perkawinan, yang kemudian menularkan baik ke betina maupun pada telur yang dihasilkan (Khin dan Than, 1983; Rosen, 1987)

(36)

perkembangbiakan virus di dalam tubuh manusia disebut periode inkubasi intrinsik, lamanya berkisar antara 3 – 14 hari.

Veremia dimulai sesaat sebelum timbulnya gejala. Keadaan sakit yang

disebabkan oleh infeksi dengue terjadi selama 3 – 10 hari, dengan rata-rata 5 hari, setelah dimulainya gejala. Keadaan sakit terjadi hingga beberapa hari setelah veremia

berakhir (http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/dengue/slideset/set1/i/slide04.htm) .

Gambar 3. Transmisi virus Dengue oleh Aedes aegypti, masa inkubasi dan viremia (http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/dengue/slideset/set1/i/slide04.htm)

2.2.2. Sejarah Dengue

Pada awalnya virus Dengue hidup dalam siklus hutan hujan primer Afrika yang di dalamnya terdapat kehidupan primata dan tumbuhan bertajuk rendah tempat hidup nyamuk dalam siklus primata - nyamuk - primata. Virus Dengue dapat menular di siklus urban di antara manusia, oleh domestikasi nyamuk Aedes aegypti (Soper et al., 1944 dalam Gubler, 2004). Penyebaran penyakit secara geografis dalam abad ke 17 hingga awal abad ke 20 berhubungan dengan penyebaran secara global nyamuk Aedes aegypti dari Afrika ke wilayah Tropis lainnya yang terbawa serta dalam aktivitas industri pelayaran dan ekspansi perdagangan pada abad ke 17 dan 18. Nyamuk ini merupakan vektor epidemi yang sangat efisien disebabkan oleh adanya asosiasi dengan kehidupan manusia di daerah urban, dan perilaku menggigit dan menghisap darah beberapa orang (multiple feeding) oleh satu nyamuk betina dewasa. Virus hidup dengan baik di pusat kota besar di tropis dalam siklus nyamuk – manusia – nyamuk (Gubler, 2004).

(37)

setelah Perang Dunia ke II.Masuknya ratusan ribu tentara sekutu dan Jepang ke dalam wilayah endemik Asia, berkombinasi dengan kepadatan penduduk dan menyebarnya nyamuk Aedes aegypti yang terbawa oleh material perang, menyebabkan kejadian epidemik di antara pasukan kedua angkatan perang dan kejadian hiperendemik di kota-kota di Asia kemudian disertai pula dengan meningkatnya penularan multi serotipe virus Dengue (Gubler, 2002). Di Indonesia kasus penyakit DBD ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, dan kasusnya meningkat hingga saat ini (Kusriastuti, 2006; Anonim, 2006))

2.2.3. Bioekologi Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti betina bertelur setelah menghisap darah. A. aegypti meletakkan telurnya pada dinding di dekat permukaan air pada tempat tempat perindukan. Telur nyamuk ini dapat bertahan lama hingga berbulan bulan tanpa syarat kelembaban yang tinggi. Telur menetas menjadi larva instar I, yang akan diikuti dengan 3 kali pergantian kulit (moulting). Dengan demikian dijumpai larva instar I, larva instar II, larva instar III dan larva instar IV. Setelah fase larva, pergantian kulit kembali terjadi untuk berkembang menjadi pupa. Perubahan bentuk terakhir terjadi saat membentuk imago atau nyamuk dewasa. Bentuk telur nyamuk, larva, pupa, dan nyamuk dewasa dapat dilihat pada Gambar 4. Nyamuk dewasa betina sehari atau dua hari setelah keluar dari pupa akan kawin (kopulasi) dan menghisap darah untuk pembentukan telur (Christopher, 1960). Darah dibutuhkan untuk mengaktifkan folikel ovarium (Christopher, 1960; Reiter, 2001)

Gambar 4. Bentuk telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa Aedes aegypti Sumber : science.howstuffworks.com/ mosquito2.htm

(38)

dilanjutkan menjadi pupa selama 1 hingga 2 hari (Christopher, 1960). Dengan demikian waktu yang diperlukan dari telur hingga menjadi nyamuk berkisar antara 8 hingga 13 hari.

Setelah 1 atau 2 hari keluar dari pupa, nyamuk berkopulasi atau mengadakan perkawinan. Telur pertama dihasilkan 2 hingga 6 hari setelah menghisap darah. Sesudah bertelur, dengan rata-rata jumlah telur 100 butir, nyamuk akan menghisap darah kembali untuk pembentukan telur selanjutnya. Di laboratorium nyamuk Aedes aegypti dapat bertelur hingga 17 kali sampai dengan umur 25 hingga 56 hari dan mampu menghisap darah 17 hingga 40 kali ( Christopher, 1960; Bahang, 1978).

Keberlanjutan kehidupan nyamuk tergantung dari beberapa hal antara lain Christopher (1960) : (1) Tersedianya darah untuk dihisap; (2) Tersedianya air yang sesuai untuk kehidupan larva; dan (3) Suhu yang memungkinkan spesies tetap melanjutkan aktivitas untuk keberlangsungan hidupnya. Darah yang paling disukai dan dapat memperpanjang hidup nyamuk adalah darah manusia. Jadi siklus hidup nyamuk sangat tergantung pada kepadatan manusia dan iklim pada lingkungan hidupnya.

Nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama penyakit DBD berkembangbiak di lingkungan permukiman di perkotaan pada penampung air buatan dengan air yang relatif jernih yang banyak ditemukan di dalam dan sekitar rumah. Para peneliti juga menemukan jentik Aedes aegypti di air yang berhubungan langsung dengan tanah, seperti sumur (Gionar et al., 2001), pot bunga yang mengandung air, dan air yang mengandung bahan organik. Vektor keduanya adalah Aedes albopictus, yang juga berkembang biak di lingkungan pemukiman, banyak ditemukan di daerah semi urban, dan berkembangbiak di luar rumah (Sukowati, 2004). Walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit, Nyamuk Aedes albopictus ditemukan baik di dalam maupun di luar rumah, berasosiasi dengan meningkatnya risiko penularan DBD. Nyamuk ini berkembangbiak dan menularkan penyakit di luar rumah (Ishak et al, 1997 dalam Ali et al., 2003; dan Yadaf, et al, 1997 dalam Ali et al., 2003) , terutama di daerah pedesaan dan semi urban (Chung dan Pang, 2002 dalam Ali et al., 2003; dan Choochote et al., 2001 dalam Ali et al., 2003). Tempat perkembangbiakan adalah di lubang pohon, potongan bambu, juga di kaleng dan ban bekas, serta pot bunga (Hawley, 1988 dalam Ali et al., 2003).

(39)

nyamuk dewasa maupun larva tidak ditemukan berasosiasi dengan peningkatan kasus penyakit di Colombia. Indikator entomologi yang berhubungan dengan jumlah manusia terinfeksi virus hanya laju nyamuk terinveksi virus Dengue. Laju infe

Gambar

Gambar 2.  Kerangka Pikir dan Struktur Penelitian
Tabel 2.  Hasil Pengamatan Persentase nyamuk Aedes aegypti menghisap darah, jangka hidup rataan dan maksimum, frekuensi bertelur dan jumlah telur,  di Laboratorium pada suhu konstan (Hasan, 1995)
Gambar 6.  Pengaruh pencahayaan terhadap lamanya waktu untuk perubahan dari
Gambar 7.  Distribusi geografis nyamuk Aedes dan penyakit Demam Berdarah di
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pisang selain buahnya yang diambil tetapi pelepahnya pun juga dapat digunakan untuk Pisang selain buahnya yang diambil tetapi pelepahnya pun juga dapat digunakan untuk

-20% 0% 20% 40% 60% 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Pertumbuhan Ekspor dan Impor Barang (% ytd, USD) X brng M brg Neraca migas defisit, Neraca non migas

Berdasarkan data yang diperoleh dapat dilihat bahwa sebanyak 8 responden atau 44,4 % berpendapat bahwa persepsi masyarakat Bali terhadap sistem kasta di Desa

Para Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, yang telah memberikan ilmudansemangatnya sebagai bekal untuk meraih

Berdasarkan hasil yang telah dipaparkan, hasil hipotesis 3 menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor tes akhir hasil belajar keterampilan

Kebutuhan alumina PT Inalum saat ini sebanyak 500.000 ton (setara 775.000 ton) per tahun, sementara kemampuan produksi bijih bauksit per tahun di Kalimantan Barat sebesar

Multi User - yang dimaksud dengan sistem operasi multi user adalah sistem operasi yang bisa melayani beberapa user pada saat yang bersamaan untuk menjalankan satu aplikasi tertentu

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian Peran Pimpinan Ranting Muhammadiyah adalah langkah, yang dilakukan oleh seseorang Pimpinan Ranting Muhammadiyah