• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ethnobiology of thesamin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ethnobiology of thesamin"

Copied!
315
0
0

Teks penuh

(1)

ETNOBIOLOGI MASYARAKAT SAMIN

JUMARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Etnobiologi Masyarakat Samin adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

Jumari

(4)
(5)

ABSTRACT

JUMARI. Ethnobiology of The Samin. Under direction of DEDE SETIADI, Y. PURWANTO and EDI GUHARDJA

This ethnobiological research focus on the ethnoecological, ethnobotanical and ethnozoological study of the adaptation process (correlating to management concept, impact on people’s activities, and technology usage) of Samin Community. The goals of this research were to study the beliefs, knowledge, and practice the Samin community for the comprehensive understanding of landscape use and management, ant to reveal the local knowledge of Samin community in managing their natural resource (plants and animals) whice include species diversity, the index of ecological importance value (INP), and the index of cultural significance (ICS). The study was conducted during the period of August 2009 to December 2011. The research was carried out in 7 villages in 4 districts, namely: (1) Larikrejo and (2) Kaliyoso (Kudus District); (3) Bombong and (4) Ngawen (Pati District); (5) Klopoduwur and (6) Tambak, Sumber (Blora District); (7) Jepang, Margomulyo (Bojonegoro, East Java). The research data consisted of ecological, ethnobotanical, ethnozoological and ethological data. Data collection using direct observation; open ended and structured interview, and participant observation. The results showed that the Samin society has a fairly good knowledge of biological resources and their environment. Use practices and management of natural resources is reflected in the form units of the environmentals and biological resources contained therein. Knowledge of the spatial environment simply divided into two main units, namely: mondokan (house and yard), and lemah garapan includes: fields (sawah), moor (tegalan) and teak (alas jati). Paddy field, dry field, yard, garden, teak forests, marsh ponds, and rivers were the places where the cultivation of a wide variety of production activities of plants and animals which were conducted to meet their basic needs. The research obtained more than 300 of plant species in the Samin settlement, which 235 species among those were useful for their life. Utilization of those plants include for food (118 species), traditional medicine and cosmetics (74 species), building materials (17 species) equipment (15 species), firewood (16 species), animal feed (27 species), fiber materials and the straps (3 species), ritual materials (26 species), toxic materials (2 species), pest control materials (16 species), environmental indicators (5 species), and ornamental plants and fences (45 species). Based on the role and utilization of animals, it can be grouped into: animal protein source (21 species), pets (7 species), pests of cultivated plants (17 species), pests of livestock (3 species), pest predators (11 species), animals for medicine (10 species), animals for ritual (1 species), and wildlife (35 species). The Samin community the resources and the environment only as necessery. They always maintained a harmonious relationship with nature.

(6)
(7)

RINGKASAN

Masyarakat Samin adalah masyarakat penganut ajaran Samin Surosentiko yang muncul pada akhir abad ke-19. Mereka adalah petani pedesaan yang kehidupannya sangat tergantung pada sumberdaya alam, sehingga memiliki pengetahuan bagaimana mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya. Pengetahuan yang dimiliki masyarakat lokal mulai banyak ditinggalkan digantikan dengan pengetahuan dan teknologi baru dari luar. Proses pembangunan dan kemajuan teknologi tidak dapat dihindari menjadi salah satu pemicu semakin terdegradasinya pengetahuan lokal. Untuk mengungkapkan pengetahuan lokal masyarakat diperlukan kajian berbagai bidang Etnosain. Etnobiologi merupakan suatu bidang Etnosain yang mengkaji interaksi masyarakat lokal dengan sumberdaya hayati. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses adaptasi yang dilakukan masyarakat Samin terhadap kondisi lingkungan mereka tempat beraktivitas, melalui cara-cara pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang mereka miliki dan kenali, terkait dengan sistem teknologi, konsep pengelolaan dan pemanfaatan serta akibat yang dihasilkan atas interaksi kegiatan yang dilakukan. Penelitian ini meliputi sub kajian: Etnoekologi (Pengetahuan masyarakat mengenai lingkungannya); Etnobotani (Pengetahuan masyarakat mengenai sumberdaya tumbuhan) dan Etnozoologi (Pengetahuan masyarakat mengenai sumberdaya hewan).

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2009 hingga Desember 2011, meliputi 7 dusun pemukiman masyarakat Samin yakni: (1) dusun Larikrejo (Desa Larikrejo), dan (2) dusun Kaliyoso (desa Karangrowo) Kecamatan Undaan Kab. Kudus; (3) dusun Ngawen (desa Sukolilo) dan (4) dusun Bombong (desa Baturejo) Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati; (5) dusun Klopoduwur (Desa Klopoduwur), Kecamatan Baturejo dan (6) dusun Tambak (desa Sumber) Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora; Jawa Tengah dan (7) dusun Jepang (desa Margomulyo), Kecamatan Margomulyo Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan emik (pengetahuan lokal) dan pendekatan etik (pengetahuan ilmiah). Dengan memadukan beberapa aspek yaitu etnoekologi, etnobotani, etnozoologi dan aspek sosial budaya. Pengumpulan data dengan metode survei lapang dengan teknik wawancara terbuka (open ended) dan wawancara semi terstruktur, dengan menetapkan beberapa informan kunci yang diambil berdasarkan status dan perannya dalam masyarakat. Penentuan informan menggunakan teknik sampling purposive sampling dan snowball sampling. Informan keseluruhan berjumlah 72 orang.

Penelitian etnoekologi dilakukan empat tahap: (1) Deskripsi kondisi ekosistem, (2) Penyusunan kembali pola pikir (corpus) masyarakat Samin tentang alam dan lingkungannya menggunakan metode baku penelitian antropologi. (3) Pengkajian bentuk-bentuk aktivitas pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hayati bagi masyarakat Samin (praxis), (4) Penilaian secara ilmiah (ekologis) terhadap bentuk aktivitas produksi masyarakat.

(8)

Significance, ICS).

Berdasarkan penelaahan mengenai sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkunganya didapatkan bahwa masyarakat Samin dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya didasarkan pada prinsip memanfaatkan seperlunya dan selalu menjaga keseimbangan sistem sosial dan keselarasan dengan alam sekitarnya. Praktek pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam hayati dan lingkungan tersebut didasari oleh pandangan hidup mereka. Masyarakat Samin adalah masyarakat tradisional yang mempunyai pandangan menyeluruh terhadap sistem sosial dan ekosistemnya. Secara sederhana

mereka membagi isi alam dunia ini terdiri dari dua macam yaitu wong

(manusia/hidup) dan sandang pangan (selain manusia/ sumber penghidupan). Pandangan mengenai wong dan sandang pangan ini identik dengan konsep manusia dan alam lingkungan dalam pandangan ilmiah. Pandangan ini juga terkait dengan ajaran Manunggaling Kawulo Gusti, yaitu menyatunya Tuhan dalam wujud diri manusia dan wujud selain manusia. Manusia dan alam merupakan kesatuan yang tak terpisahkan sehingga harus hidup kompak berdampingan. Karena itu manusia harus berusaha untuk dapat hidup serasi dengan bagian-bagian lain dalam ekosistem. Sebagai bagian integral ekosistemnya, masyarakat Samin dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya selalu berikhtiar untuk dapat menjaga kelestarian ekosistemnya. Pandangan ekologi-sentris ini secara umum terefleksikan dalam sikap mereka terhadap tumbuhan, binatang, dan lingkungan alam.

Interaksi masyarakat Samin dengan lingkungannya tergambar dari bentuk satuan lingkungan yang ada dan aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan hayati yang terdapat di dalamnya. Dalam kaitannya dengan pengetahuan tentang tata ruang, masyarakat Samin secara sederhana membagi aktvitas hidupnya dalam dua ruang yaitu mondokan (rumah) dan lemah garapan (sawah). Lemah garapan merupakan presentasi dari aktivitas bertani atau sumber penghidupan. Pekarangan, sawah, tegalan, hutan, merupakan lahan budidaya masyarakat. Pada lahan tersebut tersimpan beragam sumberdaya nabati dan hewani yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat Samin telah mampu memenuhi kebutuhan sendiri terutama bahan pangan pokok dari usaha pertanian mereka.

Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh lebih dari 300 jenis tumbuhan yang terdapat di lingkungan sekitar pemukiman masyarakat Samin. Jenis tumbuhan berguna bagi masyarakat jumlahnya tidak kurang dari 235 jenis. Penggunaan jenis tersebut meliputi: bahan pangan (118 jenis), obat tradisional dan kosmetik (74 jenis), bahan bangunan (16 jenis) bahan peralatan (15 jenis), kayu bakar (16 jenis), Pakan ternak (27 jenis), bahan serat dan tali (3 jenis), bahan ritual 26 jenis, bahan racun (2 jenis), bahan pengendali hama (16 jenis), indikator lingkungan (5 jenis), dan tanaman hias dan pagar (45 jenis).

(9)

Masyarakat Samin mengenal dengan baik berbagai jenis hewan yang ada di sekitar pemukiman mereka terutama hewan ternak dan hewan yang berkaitan dengan aktivitas pertanian masyarakat. Berdasarkan hasil inventarisasi dan wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat diperoleh lebih dari 80 jenis hewan yang terdapat di lingkungan masyarakat Samin. Berdasarkan kategori peran dan pemanfaatannya dapat di bedakan: hewan sumber protein (21 jenis), hewan peliharaan untuk kesenangan (7 jenis), hewan pengganggu tanaman budidaya (17 jenis), penganggu hewan ternak (3 jenis), hewan pemangsa hama (11 jenis), hewan untuk obat (10 jenis), hewan untuk ritual (1 jenis), hewan liar (35 jenis). Jenis hewan yang penting bagi masyarakat Samin adalah hewan ternak terutama Sapi, hewan peliharan untuk kesenangan adalah anjing.

Berdasarkan analisis gabungan nilai INP dan nilai ICS tumbuhan didapat jenis tumbuhan yang mempunyai nilai INP tinggi dan ICS tinggi, yaitu: Jati (Tectona grandis), pring ori (Bambusa bambos) dan lamtoro (Leucaena glauca). Jenis tersebut banyak tersedia di lingkungan dan banyak digunakan masyarakat. Strategi pengelolaan yang dilakukan adalah mempertahankan jenis tersebut. Jenis yang mempunyai INP rendah dan ICS tinggi adalah Meh/Ki Hujan (Samanea saman) dan pring petung (Dendrocalamus asper). Upaya pengelolaan yang perlu dilakukan adalah meningkatkan pembudidayaan. Sedang jenis tumbuhan dengan INP rendah dan ICS merupakan jenis yang ketersediaan di lingkungan rendah dan kurang penting bagi masyarakat, perlu dilakukan pengkajian potensi pemanfaatannya dan pengembangan jenis-jenis potensial.

Masyarakat Samin mempunyai strategi adaptasi untuk bertahan pada kondisi ekosistem yang ada. Mereka memanfaatkan sumberdaya alam yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dalam sistem pertanian mereka melakukan pola pertanian multiple cropping (tumpang sari) sehingga kebutuhan pangan dapat terpenuhi sepanjang musim. Untuk mengatasi keterbatasan lahan, sawah yang sering banjir, kekeringan dan perubahan iklim yang tidak menentu mereka melakukan pengaturan pola tanam dan pemilihan jenis tanaman yang tepat sesuai dengan kondisi setempat. Dalam hal teknologi pertanian mereka menerapkan cara pertanian modern namun mengadaptasikan dengan sistem pertanian tradisional. Sistem pertanian tradisional yang masih diterapkan sebagian masyarakat Samin, antara lain dalam seleksi benih padi, penggunaan pupuk organik, cara penanggulangan hama, pengaturan pola tanam, dan sistem sambatan dalam pengelolaan dari penanaman sampai pemanenan. Masyarakat Samin masih memiliki kebanggaan yang tinggi terhadap profesi sebagai petani. Bertani dengan sepenuh jiwa, ketekunan dan etos kerja yang tinggi merupakan modal yang kuat untuk bertahan dalam kehidupannya.

Pada prinsipnya masyarakat Samin memiliki sistem pengetahuan lokal hasil adaptasi terhadap kondisi lingkungannya yang terbukti memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Pengetahuan tersebut dapat diadopsi sebagai pelengkap atau alternatif pengelolaan sumberdaya alam kawasan dan pengaturan tata guna lahan. Prinsip-prinsip ajaran dan pengetahuan lokal tentang sumberdaya hayati dan lingkungan merupakan elemen penting yang dapat dikembangkan sebagai alternatif pengelolaan sumberdaya hayati lokal yang berkelanjutan. Oleh karena itu pengelolaan partisipatif masyarakat dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam hayati dan lingkungan mutlak diperlukan.

(10)
(11)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan

laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan

tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(12)
(13)

ETNOBIOLOGI MASYARAKAT SAMIN

JUMARI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Burhanudin Masy’ud

: Dr. Sri Sudarmiati Tjitrosoedirjo

(15)

Judul Penelitian : Etnobiologi Masyarakat Samin Nama : Jumari

NRP : G363070051

Program Studi : Biologi Tumbuhan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir.H. Dede Setiadi,MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto,DEA

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. H. Edi Guhardja, M.Sc

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Biologi Tumbuhan

Dr. Ir. Miftahudin, MSi Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(16)
(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul

“Etnobiologi Masyarakat Samin” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada yang saya hormati dan saya cintai Prof. Dr. Ir. H.

Dede Setiadi MS, Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto, DEA. serta Prof. Dr. Ir. H. Edi Guhardja, MSc. Selaku Komisi Pembimbing yang dengan kesabaran dan ketulusan hati telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penelitian

hingga penyelesaian penulisan disertasi ini. Terima kasih kepada Dr. Burhanudin Masy’ud dan Dr. Sri Sudarmiati Tjitrosoedirjo yang menjadi penguji luar komisi

pada ujian tertutup. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud dan Prof. Dr. Eko Baroto Walujo, atas kesediaan sebagai

penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan penulisan disertasi ini. Tidak lupa ucapan terima kasih

saya sampaikan kepada segenap Pimpinan Fakultas MIPA IPB, Ketua Departemen Biologi, serta Dr. Ir. Miftahudin, MSi selaku Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan (BOT).

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Diponegoro, Dekan beserta segenap Pembantu Dekan Fakultas Sains dan

Matematika, dan Ketua Jurusan Biologi atas dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan pendidikan di Program Doktor Sekolah Pascasarjana IPB.

Di samping itu ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada segenanp masyarakat Samin di lokasi penelitian beserta perangkat desa

di Larikrejo dan Kaliyoso Kudus, desa Sukolilo Pati, desa Klopoduwur Blora, desa Sumber Blora dan desa Margomulyo Bojonegoro atas bantuan yang

diberikan selama berada di lapangan hingga selesainya penelitian ini.

Teriring salam dan ungkapan terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak atas dukungannya. Kepada segenap keluarga tercinta, Ayah (Alm), Ibu,

Paman dan Bibi, Bapak Ibu Mertua, kakak-kakakku, adik. Kepada istriku terkasih Faridah Aryani SS serta ananda terkasih: Alyarahma Nur Aisya dan Afif Abda

(18)

pendidikan ini.

Penulis menyadari disertasi ini masih jauh dari sempurna, namun ada hal

mendasar yang penulis dapatkan pada akhir proses menempuh pendidikan ini, bahwa proses pencarian kebenaran itu tidak akan pernah berakhir dan tidak

dapat dibatasi oleh waktu, dan saya menjadi semakin sadar dan tahu atas ketidaktahuan saya, ternyata lebih banyak ketidaktahuan saya dibanding apa

yang saya ketahui. Akhirnya penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Penulis mengikhlaskan disertasi ini menjadi

rujukan pada penelitian lainnya jika hal itu diperlukan, kepada-Nya saya serahkan segala urusan. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberkahi. Amin.

Bogor, Agustus 2012

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta tanggal 26 Juli 1967 sebagai anak ke-4 dari lima bersaudara dari pasangan Dartawiyana dan Sadirah. Pada tahun 1996 penulis menikah

dengan Faridah Aryani SS, dan telah dianugerahi dua orang anak: Alyarahma Nur Aisya (15 th) dan Afif Abda Syakur (10

th).

Pendidikan dasar dan Menengah penulis selesaikan di SD Negeri Kretek 1

pada tahun 1984, SMP Negeri 1 Kretek tahun 1984 dan SMA Negeri 2 Bantul tahun 1987. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Botani Fakultas Biologi UGM, lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1994 penulis diterima menjadi staf

pengajar di Jurusan Biologi FMIPA Undip, dan bekerja pada instansi tersebut sampai sekarang. Pada tahun 1997 penulis diterima sebagai mahasiswa

Program Pascasarjana UGM dan menamatkannya pada tahun 2000. Pada tahun 2007 mendapat kesempatan untuk melanjutkan Program Doktor pada Sekolah

Pascasarjana IPB Program Studi Biologi Tumbuhan dengan Beasiswa BPPS dari DIKTI Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Selama mengikuti program S3, penulis aktif mengikuti Seminar Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia dan Etnobotani Nasional. Dua buah artikel telah diterima untuk diterbitkan di Jurnal Ilmiah. Artikel pertama

berjudul Etnoekologi Masyarakat Samin Kudus Jawa Tengah, terbit pada bulan

Juni 2012 pada Majalah Ilmiah Biologi BIOMA Jurusan Biologi FMIPA UNDIP, Vol 14:1 dan artikel kedua berjudul Pengetahuan Lokal Masyarakat Samin tentang Keanekaragaman Tumbuhan dan Pengelolaannya diterbitkan di Jurnal

(20)
(21)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xvi

DAFTAR GAMBAR... Xviii DAFTAR LAMPIRAN... xx

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Kerangka Pemikiran ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

1.6 Kebaruan Penelitian (Novelty) ... 6

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Masyarakat Samin ... 9

2.1.1 Pokok-Pokok Ajaran Samin ... 9

2.1.2 Pergerakan Samin ... 13

2.1.3 Persebaran Masyarakat Samin ... 15

2.1.4 Penelitian yang Berkaitan dengan Masyarakat Samin ... 18

2.2 Etnobiologi ... 18

2.2.1 Etnoekologi ... 19

2.2.2 Etnobotani ... 20

2.2.3 Etnozoologi ... 21

2.3 Hubungan Masyarakat dengan Sumberdaya Hayati dan Lingkungan ... 22

3 KEADAAN UMUM LOKASI DAN METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Deskripsi Dusun/Desa Penelitian... 27

3.2 Geologi dan Tanah ... 34

3.3 Iklim dan Curah Hujan ... 36

3.4 Sumberdaya Biologi... ... 39

3.5 Kondisi Sosial Budaya ... 41

3.6 Metode Penelitian... 48

3.6.1 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data... 48

3.6.2 Analisis Data ... 50

4 ETNOEKOLOGI MASYARAKAT SAMIN ... 53

Abstract ... 53

4.1 Pendahuluan ... 53

4.2 Tujuan Penelitian... 54

4.3 Metode Penelitian... 55

4.3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 55

4.3.2 Alat dan Bahan... 55

4.3.3 Tahap Penelitian ... 55

4.3.4 Metode Pengumpulan Data ... 56

4.3.5 Analisis data. ... 59

4.4 Hasil... 60

(22)

4.4.1.2 Pandangan Tentang Manusia dan Lingkungan .. 62 4.4.1.3 Pandangan Tentang Makhluk Hidup ... 62 4.4.2 Pengetahuan Tentang Tata Ruang dan Satuan

(23)

6.3 Metode Penelitian... 176 6.3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian... 176 6.3.2 Alat dan Bahan... 176 6.3.3 Pengumpulan Data Etnozoologi... 176 6.3.4 Analisis Data... 177 6.4. Hasil... 178 6.4.1 Pengetahuan Keanekaragaman Jenis Hewan ... 178 6.4.2 Kategori Pemanfaatan Jenis Hewan ... 183 6.4.2.1 Sumber Protein Hewani... ... 183 6.4.3.2 Hewan Peliharaan untuk Kesenangan... 190 6.4.3.3 Hewan Pemangsa Hama... 191 6.4.3.4 Hewan Pengganggu Tanaman Budidaya... 192 6.4.3.5 Hewan untuk Obat... 194 6.4.3.6 Hewan untuk Ritual... 195 6.4.3.7 Hewan Liar Hutan... 195 6.5 Pembahasan: ... 196 6.6 Simpulan... 199 7 PEMBAHASAN UMUM... 201 7.1 Masyarakat Samin Saat ini ... 201 7.2 Hubungan Masyarakat Samin dengan Lingkungan ... 205 7.3 Hubungan Masyarakat Samin dengan Sumberdaya Hayati... 212

7.4 Strategi Pengelolaan Sumberdaya Tumbuhan Menggunakan

Nilai INP dan ICS... 216 7.5 Pengelolaan Sumberdaya Hayati dan Pengembangan Kampung Samin Masa Depan... 219 7.6 Pelajaran yang Dapat Diambil dari Studi Kearifan Lokal

Masyarakat Samin dalam Mengelola Sumberdaya Hayati dan

Lingkungannya... 226 8 SIMPULAN UMUM DAN SARAN... 229

(24)
(25)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Lokasi penelitian masyarakat Samin... 28 2 Enam kategori iklim di Indonesia ... 37 3 Jumlah penganut ajaran Samin di desa penelitian ... 41 4 Tingkat pendidikan penduduk Samin... 42 5 Rincian data primer yang diambil pada penelitian Etnobiologi

masyarakat Samin... 49 6 Jumlah informan setiap dusun pengamatan ... 50 7 Jenis data sekunder yang digunakan pada penelitian Etnobiologi

masyarakat Samin... 50 8 Jenis satuan lingkungan pada lokasi penelitian... 64 9 Keanekaragaman tanaman pekarangan dan kegunaannya... 73 10 Indeks Nilai Penting (INP) pohon dominan pada pekarangan... 76 11 Jenis tanaman di tegalan Masyarakat Samin... 78 12 Indek Nilai Penting (INP) pohon dominan pada tegalan Masyarakat

Samin... 80 13 Jenis sawah dan sistem pengairan pada lingkungan masyarakat

Samin... 83 14 Pola tanam lahan sawah di lingkungan Masyarakat Samin... 84

15 Jenis Tanaman yang budidayakan di sawah masyarakat Samin 85

16 Tanda tanda alam yang berkaityan dengan aktifitas pertanian pada

masyarakat Samin... 86 17 Jenis pupuk organik dan teknologi pembuatannya... 88 18 Tahapan kegiatan pengerjaan sawah dan pembagian tenaga pada

masyarakat Samin... 89 19 Teknologi tradisional penanggulangan hama pada pertanian

masyarakat Samin... 93 20 Jenis pohon di hutan jati dan potensi pemanfaatannya... 98 21 Indek Nilai Penting (INP) pohon dominan pada hutan jati di

lingkungan masyarakat Samin... 100 22 Jenis Pohon di sekitar Sumber mata air ... 104 23 Keanekaragaman jenis hasil hutan bukan kayu bangunan yang

diekstraksi masyarakat Samin... 107 24 Kondisi persawahan dan jenis aktivitas yang dilakukan pada desa

pengamatan ... 109 25 Kalender masa tanam padi dan palawija sawah di lingkungan

masyarakat Samin... 110 26 Luas tanam produktivitas dan produksi padi tahun 2008/2009... 111 27 Luas tanam dan produktivitas dan produksi jagung

tahun2008/2009...

113

28 Jenis ikan hasil tangkapan di sungai, rawa dan embung pada

lingkungan masyarakat Samin... ... 114 29 Pengaruh aktivitas masyarakat Samin terhadap lingkungannya... 118 30 Nilai kualitas kegunaan suatu jenis tumbuhan menurut kategori

(26)

of use) jenis tumbuhan berguna... 32 Kategori yang menggambarkan tingkat eksklusivitas atau tingkat

kesukaan...

129

33 Pengelompokan tumbuhan pada Masyarakat Samin... 130 34 Kategori pemanfaatan jenis tumbuhan berguna... 131

35 Jenis tumbuhan sebagai bahan makanan pokok dan sumber

karbohidrat ... 132 36 Jenis Sayur-sayuran, buah-buahan, bahan minuman, bumbu dan

aroma masakan ... 133 37 Kategori kegunaan dan jumlah jenis tumbuhan obat yang digunakan

masyarakat Samin...

137

38 Jenis tumbuhan obat yang digunakan Masyarakat Samin... 139 39 Jenis tumbuhan sebagai bahan bangunan rumah masyarakat ... 145 40 Peralatan rumah tangga dan jenis tumbuhan yang digunakan ... 147 41 Peralatan pertanian dan Jenis tumbuhan yang digunakan... 150 42 Peralatan pemeliharaan ternak dan Jenis tumbuhan yang digunakan 151 43 Peralatan penangkap ikan dan jenis tumbuhan yang digunakan... 152 44 Peralatan senjata dan Jenis tumbuhan yang digunakan... 153 45 Jenis kerajinan dan benda seni pada Masyarakat Samin... 154 46 Jenis tumbuhan sebagai bahan kayu bakar... 156 47 Jenis tumbuhan sebagai bahan pakan ternak sapi dan kambing... 158 48 Bahan sesaji dan jenis tumbuhan yang digunakan dalam kegiatan

ritual pertanian... 161 49 Bahan sesaji dan jenis tumbuhan yang digunakan pada kegiatan

ritual atau hajatan... 162 50 Jenis tumbuhan yang berkaiatan dengan mitos atau legenda... 163 51 Sepuluh jenis tumbuhan dengan Nilai ICS tertinggi bagi Masyarakat

Samin... 166 52 Keanekaragaman jenis hewan pada lingkungan

(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Skema kerangka pikir etnobiologi... 5 2 Peta persebaran masyarakat Samin pada awal pergerakan... 16 3 Peta persebaran masyarakat Samin saat ini... 17 4 Hubungan antara sistem sosial dengan ekosistem... 22 5 Peta lokasi penelitian Masyarakat Samin di Jawa... 27 6 Peta administrasi dan penggunaan lahan Desa Larikrejo dan

Karangrowo Kecamatan Undaan Kudus... 29 7 Peta administrasi dan penggunaan lahan Desa Baturejo dan Sukolilo

Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati...

30

8 Peta administrasi dan penggunaan lahan desa Klopoduwur

Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora...

31

9 Peta administrasi dan penggunaan lahan desa Sumber Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora...

32

10 Peta administrasi dan penggunaan lahan Desa Margomulyo

Kecamatan Margomulyo Kabupaten Bojonegoro...

33

11 Peta tanah pada lokasi penelitian... 36 12 Rata-rata curah hujan pada wilayah penelitian (2005-2009)... 38 13 Rata-rata kelembaban udara pada wilayah penelitian (2005-2009) 38 14 Rata-rata suhu udara pada wilayah penelitian (2005-2009)... 38 15 Persentase tingkat pendidikan penduduk Samin... 42 16 Persentase mata pencaharian penduduk masyarakat Samin... 43 17 Skema konsep jagad gede dan jagad cilik dalam pandangan

masyarakat Samin... 60

18 Skema pandangan masyarakat Samin mengenai manusia dan

lingkungan... 62 19 Skema pembagian tata ruang masyarakat Samin... 64 20 Grafik persentase luas lahan di desa lokasi penelitian... 65 21 Lingkungan pemukiman warga Samin di dusun Tambak Desa

Sumber Kab Blora... 67 22 Bentuk rumah di lingkungan masyarakat Samin... 67 23 Skema bagian- bagian rumah masyarakat Samin... 68 24 Rata-rata luas pekarangan di lingkungan masyarakat Samin... 70 25 Pekarangan di lingkungan masyarakat Samin dusun Tambak

Sumber Blora... 71 26 Embung dan Sungai di Karangrowo Kudus... 95

27 Jumlah jenis tumbuhan berguna pada pekarangan dan tegalan

(28)

35 Persentase jumlah tumbuhan berguna berdasar kategori

pemanfaatannya... 212 36 Jumlah jenis tumbuhan bahan pangan... 213 37 Persentase intensitas penggunaan tumbuhan bahan pangan... 214 38 Persentase subsistensi pemanfaatan tumbuhan bagi

masyarakat Samin... 215 39 Jumlah jenis dan kategori pemanfaatan hewan bagi

(29)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Analisis vegetasi pohon pekarangan masyarakat Samin Kudus... 243 2 Analisis vegetasi pohon pekarangan Masyarakat Samin

Klopoduwur Blora...

244

3 Analisis vegetasi pohon pekarangan masyarakat Samin Pati... 245 4 Analisis vegetasi Pohon pekarangan masyarakat Samin Tambak

Sumber Blora... 246 5 Analisis vegetasi pohon pekarangan masyarakat Samin di Jepang

Bojonegoro... 247

6 Analisi vegetasi pohon Tegalan masyarakat Samin Kudus... 248 7 Analisi vegetasi Pohon Tegalan masyarakat Samin Pati... 249 8 Analisi vegetasi Pohon Tegalan masyarakat Samin Klopoduwur... 250 9 Analisis vegetasi Pohon Tegalan masyarakat Samin Tambak

Sumber Blora... 251 10 Analisis vegetasi Pohon Tegalan masyarakat Samin Jepang

Bojonegoro...

252

11 Analisis vegetasi Pohon kawasan hutan jati Sukolilo Pati... 253 12 Analisis pohon kawasan Perhutani Klopoduwur Blora... 254 13 Analisis vegetasi Kawasan Perhutani dusun Jepang Margomulyo

Bojonegoro...

255

14 Data hasil analisis tanah... 257

15 Keanekaragaman jenis tumbuhan di lingkungan masyarakat Samin 259

(30)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Samin merupakan suatu kelompok masyarakat yang secara idiologis disatukan oleh kesamaan ajaran atau keyakinan. Komunitas ini adalah sekelompok orang yang mengikuti ajaran Samin Surosentiko yang muncul pada

masa kolonial Belanda (Benda & Castel 1969; Hutomo 1996; Mumfangati et al. 2004; Poluso 2006). Saat ini mereka tinggal di pedesaan di daerah perbatasan

Jawa Tengah dan Jawa Timur yakni di desa Larikrejo dan Karangrowo, Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus; di wilayah Kecamatan Sukolilo Pati; di

beberapa desa di Kabupaten Blora; dan di desa Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro.

Komunitas Samin merupakan bagian dari masyarakat Jawa. Mereka mempunyai budaya unik dan menyimpan banyak nilai-nilai tradisi. Dalam aspek

idiologi mereka memiliki ajaran dan pandangan hidup tersendiri, mengajarkan kesetaraan hidup dan kemerdekaan menjalankan keyakinannya. Dalam aspek sosial mereka hidup mengelompok dalam komunitasnya sendiri, mempunyai

tradisi tersendiri. Dalam aspek ekonomi mereka mempunyai sifat madiri, tidak menggantungkan diri pada pemerintah atau kelompok manapun (Arybowo 2008).

Nilai-nilai yang masih dipertahankan antara lain kejujuran, kesederhanaan, semangat gotong royong dan kesederhanaan (Sukari 1993; Tashadi et al. 1998)

selain itu mereka dikenal mempunyai ketekunan dan etos kerja yang tinggi (Mumfangati et al. 2004; Rosyid 2008).

Masyarakat Samin masih memiliki sifat tradisional yang kental. Segala aspek kehidupannya sangat erat berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai petani mereka mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap

sumberdaya hayati dan lingkungannya. Mereka sebagian besar tinggal di di sekitar kawasan hutan jati, dengan lahan pertanian yang kering dan luas lahan

yang terbatas. Sebagian tinggal di pedesaan dengan lahan sawah berawa dan sering dilanda banjir saat musim hujan. Kondisi biofisik yang kurang

menguntungkan ini tidak menyurutkan semangat mereka untuk bertahan menjadi petani. Sebaliknya mereka justru tertantang untuk melakukan berbagai upaya

(31)

2

sumberdaya hayati dan lingkungan. Pengalaman itulah yang diajarkan secara turun-temurun kepada generasi penerusnya menjadi suatu pengetahuan lokal.

Sebagai masyarakat pedesaan yang hidup dari sektor pertanian,

masyarakat Samin mempunyai tradisi yang kuat dan mempunyai strategi adaptasi, teknik budidaya, teknik produksi, dan teknik pengelolaan sumberdaya

biologi terutama tumbuhan dan hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dewasa ini banyak pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan dan

hewan yang hilang sebelum dicatat atau diketahui peneliti. Dilain pihak muncul gerakan ‘back to nature’, diantaranya upaya pemanfatan kembali sumberdaya

nabati alami, misalnya bahan obat tradisional, bahan kosmetik, bahan pewarna makanan dan lainnya. Hal ini menunjukkan pentingnya pengetahuan

pemanfaatan tumbuhan dan hewan secara tradisional tersebut, dimana hal tersebut merupakan informasi yang sangat berharga untuk pemanfaatan maupun pelestariannya. Pengetahuan memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hayati

dan lingkungan yang dimiliki masyarakat lokal merupakan pengetahuan yang kharakteristik, dipengaruhi oleh kekuatan tradisi, faktor sosial budaya dan kondisi

biofisik lingkungan setempat. Karena adanya keterkaitan yang kuat antara masyarakat Samin dengan sumberdaya hayati dan lingkungannya maka sangat

relevan untuk dilakukan kajian dengan pendekatan bidang biologi (etnobiologi).

Pada umumnya pengetahuan ฀lokal terakumulasi dari generasi ke

generasi dan merupakan kekayaan bangsa yang tidak tergantikan dan bermanfaat bagi masa kini dan masa yang akan datang. Pengetahuan tersebut

perlu didokumentasi dan dikaji keilmiahannya tentang potensi, kegunaan, manfaat atau prospek pengembangannya. Disamping itu pengetahuan ฀lokal dapat dijadikan sebagai data dasar untuk pengembangan sumberdaya hayati

dan lingkungan yang lebih bermanfaat dan berdayaguna.

Untuk mengungkapkan pengetahuan tradisional suatu kelompok

masyarakat atau etnik diperlukan suatu kajian multidisiplin mencakup berbagai aspek kajian etnosain antara lain adalah Etnobiologi. Secara sederhana Cotton

(1996) mendefinisikan etnobiologi sebagai suatu kajian pengetahuan biologi tradisional dan penilaian pengaruh manusia pada aspek biologi dan

lingkungannya. Etnoekologi, etnobotani dan etnozoologi merupakan tiga bidang utama kajian etnobiologi (Johnson 2002). Studi etnobiologi masyarakat Samin hanya akan menitik-beratkan pada kajian aspek etnoekologi, etnobotani, dan

(32)

lokal masyarakat Samin tentang pengelolaan sumberdaya hayati tumbuhan. Studi etnozoologi akan mengkaji pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan sumberdaya hayati fauna dan studi etnoekologi membahas

pengetahuan masyarakat Samin dalam mengelola lingkungannya. Kajian multidisipliner berbagai pengetahuan masyarakat dari aspek pengelolaan

sumberdaya hayati dan lingkungannya ini akan menjadi ฀focus bahasan dalam penelitian ini.

Studi etnobiologi masyarakat Samin mendesak dilakukan untuk mendokumentasi dan mengkaji pengetahuan masyarakat dan mengungkapkan

interrelasi masyarakat dengan sumberdaya hayati dan lingkungannya, mengingat semakin besarnya degradasi pengetahuan lokal akibat kemajuan

teknologi maupun aktivitas manusia yang mengancam kerusakan lingkungan. Kajian ini diharapkan dapat memberi kontribusi yang besar dalam proses pengungkapan manfaat dan potensi sumberdaya hayati dan lingkungan yang

ada di suatu wilayah untuk pengelolaan selanjutnya.

1.2 Perumusan Masalah

Pada era keterbukaan komunikasi dan pesatnya pembangunan dewasa ini, masyarakat Samin masih bisa bertahan dengan tatanan tradisi yang kuat

dalam mengelola sumberdaya biologi dan lingkungan. Bagaimana mereka mampu bertahan dalam kondisi yang demikian tidak hanya merupakan cerminan

tingginya faktor adaptasi masyarakat terhadap segala perubahan itu tetapi juga kekuatan tradisi yang diyakininya. Kekuatan tradisi dan adaptasi inilah yang

melahirkan pengetahuan dalam mengelola sumberdaya biologi dan lingkungan. Dalam konteks hubungan keterkaitan inilah yang kemudian dijadikan sebagai alasan mengapa didekati dari perspektif penelitian etnobiologi.

1.3 Kerangka Pemikiran

Perbedaan latar belakang historis, sosial, ekonomi dan budaya mempengaruhi masyarakat Samin dalam mengelola sumberdaya alam

lingkungannya. Sifat masyarakatnya yang agraris menyebabkan segala aspek kehidupannya menjadi sangat tergantung dari lingkungannya. Interaksi

masyarakat Samin dengan lingkungan alamnya dapat tergambar dari konsep tata ruang lingkungan, bentuk satuan lingkungan dan bagaimana mereka

(33)

4

Kondisi biofisik yang kurang mendukung dan minimnya sumberdaya alam yang tersedia, melahirkan bentuk-bentuk kearifan tertentu yang bersifat mengoptimalkan pemanfaatan, menjaga dan melestarikan lingkungan tersebut.

Menurut Berkes dan Folke (1998), masyarakat yang sering dihadapkan pada tantangan mempunyai banyak pengetahuan lokal dibanding dengan

masyarakat yang jarang menghadapi masa-masa kritis, mereka bisa bertahan hidup karena mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Pengetahuan

lokal tersebut terbentuk dari hasil adaptasi interaksi masyarakat dengan lingkungannya dalam jangka waktu yang lama. Pengetahuan tersebut

merupakan informasi yang berharga sebagai acuan untuk mengelola sumberdaya hayati masyarakat Samin (Gambar 1).

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dititik beratkan pada masyarakat Samin yang tinggal di

pedesaan Kabupaten Blora, Pati, Kudus dan Bojonegoro. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses adaptasi yang dilakukan

masyarakat Samin terhadap kondisi lingkungan mereka tempat beraktivitas, melalui cara-cara pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang mereka miliki

dan kenali, terkait dengan sistem teknologi, konsep pengelolaan dan pemanfaatan serta akibat yang dihasilkan atas interaksi kegiatan yang dilakukan.

Adapun tujuan secara khusus penelitian ini adalah:

1. Untuk mengungkapkan pengetahuan lokal masyarakat Samin mengenai

sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya terutama mengenai persepsi dan konsepsi, pengetahuan tata ruang, terkait dengan kegiatan yang dilakukan masyarakat hingga terbentuknya satuan-satuan lingkungan

dengan berbagai macam penutup vegetasi.

2. Untuk mengungkapkan keanekaragaman jenis tumbuhan berguna bagi

masyarakat Samin, nilai kepentingan tumbuhan pada sosial budaya, serta pemanfaatan dan pengelolaannya.

3. Mengungkapkan pengetahuan lokal Masyarakat Samin mengenai

sumberdaya hewan, keanekaragaman jenis, pemanfaatan dan

(34)

Gambar 1 Skema kerangka pikir etnobiologi

Konsep Pengelolaan Sumberdaya Hayati beserta Lingkungan Masyarakat Samin Adaptasi terhadap kondisi lingkungan biofisik

untuk memenuhi kebutuhan hidup

Pandangan tentang Sumberdaya hayati, keanekaragaman jenis, pemanfaatan dan pengelolaan

dalam kehidupan sehari-hari Konsep tata ruang lingkungan,

bentuk satuan lingkungan, Pandangan (Corpus) dan Praktek pemanfaatan (praxis)

Pengetahuan mengenai lingkungan

Pengetahuan Sumberdaya hayati hewan Pengetahuan

Sumberdaya hayati tumbuhan

Latar Belakang Historis-Sosial-Ekonomi-Budaya mempengaruhi masyarakat Samin

dlm mengelola sumberdaya hayati dan lingkungan

ETNOBIOLOGI MASYARAKAT SAMIN

Lingkungan alam (ekosistem) masyarakat Samin

Sumberdaya hayati pada masyarakat Samin

EKOLOGI EMIK

ETIK BOTANI ZOOLOGI

(35)

6

1.5 Manfaat Penelitian

1. Manfaat penelitian adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran baru

tentang pengembangan interdisiplin keilmuan bidang etnologi dan biologi untuk menganalisis dan mengevaluasi hubungan saling ketergantungan

antara masyarakat Samin sebagai produsen (informan) dalam menyusun pola pikir (corpus) dalam mengelola dan memanfaatkan (praxis) sumberdaya di

lingkungan tempat mereka bermukim. Dengan demikian antara informan, corpus dan praxis menjadi bagian-bagian yang penting untuk menjelaskan

proses adaptasi yang terjadi akibat hubungan keterkaitan antara masyarakat Samin dengan sumberdaya biologi dan lingkungannya.

2. Bagi masyarakat Samin kearifan lokal yang dimiliki merupakan nilai positif

yang dapat menghapus citra negatif tentang masyarakat Samin. Inventarisasi tentang keanekaragaman, manfaat dan potensi sumberdaya alam hayati yang

tersedia dapat dikelola dan dikembangkan lebih untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Samin sendiri atau menjadi bahan bagi

pengembangan bagi masyarakat lainnya.

3. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu kerangka

acuan dalam merencanakan, menangani dan mengelola sumberdaya alam hayati terkait dengan masyarakat Samin dan masyarakat sekitar, serta

reformasi kebijakan pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan pangan rakyat.

4. Bagi masyarakat dan bangsa pada umumnya, falsafah hidup dan kearifan masyarakat Samin dapat dijadikan teladan untuk memperbaiki moralitas bangsa, dan penanganan pembangunan fisik yang tetap ramah lingkungan.

1.6 Kebaruan Penelitian (Novelty)

1. Mengungkapkan proses adaptasi masyarakat Samin dengan pendekatan interdisiplin keilmuan bidang etnologi dan biologi dalam menganalisis

keterkaitan hubungan masyarakat Samin dengan sumberdaya hayati dan lingkungannya.

2. Mengungkapkan jenis-jenis tumbuhan potensial bagi masyarakat Samin untuk dikaji lebih lanjut potensi pengembangannya.

3. Mengungkapkan jati diri masyarakat Samin, bahwa mereka menganggap

(36)

mengolah tanah, tanah adalah asal muasal manusia, maka bertani bagi masyarakat Samin sama artinya dengan mengamalkan ajaran mereka tentang “Sangkan paraning dumadi”.

4. Mengungkapkan bahwa pandangan masyarakat Samin mengenai wong dan sandang pangan merupakan pandangan yang universal, identik dengan

pandangan ilmiah tentang manusia dan lingkungan. Manusia itu ‘hidup’ dan sandang pangan adalah ‘penghidupan’, menyatunya dua unsur antara ‘yang

dihidupkan’ (manusia) dengan ‘Yang Menghidupkan’ (Tuhan), ini merupakan inti dari ajaran ‘Manunggaling Kawulo Gusti’.

5. Mengusulkan konsep pengembangan desa Samin menjadi “Cagar Budaya Kampung Samin”, untuk mendukung kedaulatan pangan dan pelestarian

(37)

9

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Masyarakat Samin

2.1.1 Pokok-Pokok Ajaran Samin

Masyarakat Samin adalah kelompok masyarakat atau komunitas penganut ajaran Samin (Saminisme). Ajaran Samin merupakan semacam aliran kebatinan

yang diajarkan oleh

kebatinan tersebut berkaitan dengan ajaran Manunggaling Kawulo Gusti1 atau

Sangkan paraning dumadi2

Samin Surosentiko mengajarkan kepada murid-muridnya agar berbuat kebajikan, kejujuran dan kesabaran. Meskipun hidup menderita, teraniaya, atau disakiti, murid-muridnya dilarang membalas dendam. Menurut Hutomo (1996) ini

merupakan sifat-sifat yang dimiliki Prabu Puntodewo

(Hutomo 1996). Manunggaling kawulo Gusti menurut

Samin Surosentiko diibaratkan sebagai curigo umanjing rangka (keris yang

meresap masuk ke dalam tempat kerisnya). Oleh beberapa peneliti ajaran ini disebut sebagai agama Adam (King 1973; Benda & Castel 1969).

Samin Surosentiko dilahirkan tahun 1859 di dusun Plosowetan, Desa Kediren, Distrik Randublatung, Blora. Nama asli Samin Surosentiko adalah

Raden Kohar, kemudian diubah menjadi Samin, karena lebih bernafas kerakyatan (Hutomo 1996). Samin Surosentiko masih kerabat Pangeran

Kusumaningayu (Raden Adipati Brotodiningrat) yang memerintah di Kabupaten Sumoroto (sekarang Tulungagung). Ayahnya bernama Raden Surowijoyo yang dikenal sebagai Samin Sepuh (Benda & Castle 1969; King 1973; Hutomo 1996;

Mumfangati et al. 2004).

3

1

Manunggaling Kawulo Gusti adalah suatu ajaran yang dibawa oleh Syeh Siti Jenar yang menganggap Tuhan itu ada dalam diri manusia yaitu, dalam budi pekerti

2

Sangkan paraning dumadi, suatu ajaran Jawa yang mengajarkan dari mana manusia berasal dan akan kemana nantinya

3

Puntodewo nama tokoh pewayangan, nama lain adalah Yudistira, merupakan pemimpin Kerajaan Amarta, mempunyai sifat yang menonjol yaitu adil, jujur, taat ajaran agama dan percaya diri

.

Prinsip ajaran Samin pada hakekatnya menyangkut tentang nilai-nilai kehidupan manusia. Ajaran itu dijadikan sebagai pedoman bersikap dan tingkah laku atau perbuatan manusia,

(38)

keturunan kelak (Mumfangati et al. 2004). Ajaran Samin biasanya disampaikan secara lisan, bukan tertulis, ini menyebabkan banyak versi dikalangan penganut ajaran Samin.

Menurut penganutnya, ajaran Samin memiliki

. Buku ini dianggap berasal dari Prabu Puntodewo

(Hutomo 1996). Kitab tersebut terdiri dari 5 buku, yaitu

dan

Tapelan, tetapi keberadaannya sudah tidak diketahui lagi (Hutomo 1996;

Sastroatmodjo 2003).

Buku Serat Panjer Kawitan berisi silsilah keluarga, adipati-adipati di Jawa

Timur dari garis raja-raja di Jawa dan wali-wali terkenal di Jawa. Ajaran ini pada prinsipnya mengakui bahwa orang Jawa adalah sebagai keturunan Adam dan keturunan Pendowo. Hal ini membuat semua yang ada di bumi Jawa adalah milik atau hak orang Jawa. Dengan demikian Belanda tidak berhak atas bumi Jawa. Ajaran ini secara simbolik memacu semangat nasionalisme bagi orang Jawa menghadapi penjajahan Belanda (Hutomo 1996; Widyarini 2006).

Serat Pikukuh Kasejaten, berisi ajaran tenang tata cara dan hukum perkawinan yang dipraktikkan oleh komunitas Samin. Konsep pokok yang terkandung dalam ajaran ini adalah membangun keluarga yang merupakan sarana keluhuran budhi, yang akan menghasilkan atmajatama (anak yang utama). Rumah tangga (dalam kitab ini) harus berlandaskan pada ungkapan ‘kukuh demen janji’ (kokoh memegang janji). Maka dalam berumah tangga, unsur yang utama adalah kesetiaan dan kejujuran guna menciptakan saling percaya dalam rangka membangun kebahagiaan keluarga.

Buku yang paling penting menurut Hutomo (1996) adalah Serat uri-uri Pambudi yang mengajarkan tentang cara memelihara tingkah laku manusia yang

berbudi. Kitab ini memuat beberapa aturan atau hukum, yang oleh masyarakat Samin di Tapelan disebut sebagai angger-angger pratikel (Hukum tindak tanduk),

yang berbunyi : “Aja drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Ojo kutil jumput, mbedog colong, nemu wae emoh. Maksudnya orang Samin dilarang berhati

jahat, berperang mulut, iri hati, dilarang mengambil milik orang lain, menemukan

4

(39)

11

barang milik orang lain saja tidak mau. Ajaran ini merupakan salah satu ajaran Samin Surosentiko yang sampai saat ini masih banyak ditaati penganutnya.

Serat Jati Sawit, buku yang membahas tentang kemuliaan hidup sesudah mati (kemuliaan hidup di akhirat). Ajaran ini mengenal konsep ‘hukum karma’. Disinilah kata-kata mutiara yang menjadi falsafah berbunyi: Becik ketitik, olo ketoro, sopo goroh bakal gronoh, sopo salah seleh (yang baik dan yang jelek akan kelihatan, siapa yang berbohong akan nista, siapa yang bersalah akan kalah).

Serat Lampahing Urip, buku yang berisi tentang primbon yang berkaitan dengan kelahiran, perjodohan, mencari hari baik untuk seluruh kegiatan aktivitas kehidupan.

Dalam tradisi di kalangan masyarakat Samin juga terdapat anjuran untuk berperilaku dengan dengan prinsip: kudu weruh theke dewe, lugu, mligi lan rukun (Rosyid 2010). Kudu weruh theke dewe, maksudnya, masyarakat Samin hanya

boleh menggunakan barang yang memang jelas merupakan kepunyaannya sendiri. Pantangan untuk memanfaatkan/menggunakan hak milik orang lain

tanpa ada ijin. Lugu artinya, jika mengadakan suatu perjanjian, jika ya harus katakan ya, jika tidak katakan tidak. Mligi, taat memegang aturan dalam beretika

dan berinteraksi dengan orang lain (misalnya, tidak boleh berjudi, atau melakukan pergaulan bebas). Rukun dengan istri/suami, anak, orang tua,

tetangga kanan kiri dan rukun kepada sesama makhluk.

Masyarakat Samin dikenal sebagai masyarakat yang menjungjung tinggi

kejujuran. Kejujuran ini sebagai wujud dari ajaran mereka tentang nilai-nilai kehidupan. Mereka menghayati dan mempraktekkan ajaran mereka sebagai landasan manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Kuatnya para

penganut ajaran Samin menjaga prinsip, menyebabkan mereka sering berbeda pandangan dengan masyarakat umum. Sehingga mereka sering dicap sebagai

orang yang aneh, atau kolot, tradisional atau sebutan miring lainnya. Masyarakat luar sering menyebutnya Wong Samin dengan konotasi negatif

yang melekat pada nama tersebut. Sebagian masyarakat Samin sendiri kurang suka disebut sebagai Wong Samin, mereka lebih suka disebut wong sikep

(40)

Istilah wong sikep tersebut dapat diartikan sebagai orang dewasa yang

sudah menjalani tatane wong sikep rabi5

Ajaran Samin juga mengandung paham mesianisme yaitu mengharap

datangnya “Ratu adil” yang akan membebaskan masyaralat Samin dari kesengsaraan (Benda & Castel 1969; Hutomo 1996; Warto 2006). Gerakan

Samin dapat disejajarkan dengan gerakan mesias

(pernikahan dengan tatacara ajaran

Samin), dan mengakui apa yang dijalankannya. Orang Samin yang belum

menjalani pernikahan dengan cara mereka belum disebut wong sikep. Sebutan untuk anak-anak atau orang yang belum dewasa, belum ‘brai’ (akil balik) atau

belum disunat disebut dengan istilah Adam Timur.

Orang Samin tidak menyebut ajaran Samin sebagai agama atau kepercayaan sebagaimana yang kita pahami. Agama disebut sebagai lakon,

yaitu hal-hal yang harus dilakukan manusia selama hidup di dunia (Djokosoewardi 1969), atau agama bermakna sebagai ugeman atau pegangan

hidup (Rosyid 2010).

6

Orang Samin mempercayai adanya satu Tuhan, (monoteisme). Mereka menyebut Tuhan dengan berbagai istilah, antara lain: Gusti, Pangeran, Gusti

Allah (Hutomo 1996), Gusti atau Hyang Bethara (Prasongko 1981). Masyarakat

Samin Kudus menyebut Tuhan sebagai Ya’i

dalam Jongko Joyoboyo.

Dasar ajaran Samin adalah pemikiran primitif tentang perkawinan langit dan bumi, yang mempunyai hubungan penting dengan petani (Warto 2006). Oleh

karena itu mereka mengharapkan hadirnya pemimpin yang dapat membebaskan mereka dari segala kewajiban yang berkaitan dengan pembebasan tanah.

7

Tentang agama yang dianutnya mereka menegaskan bahwa: “Agama niku

gaman, Adam pangucape, man gaman lanang”. Pengertian gaman lanang bagi

masyarakat Samin adalah sikep rabi. Mereka tidak membeda-bedakan agama,

semua agama adalah baik, mereka tidak mengingkari atau membenci suatu agama. Yang penting dalam hidup ini adalah tabiatnya, bukan lahirnya tapi isi

hati dan perbuatan nyata (Mumfangati et al. 2004).

(Rosyid 2008).

5

Menurut Tradisi lisan masyarakat Samin di Tapelan, pengantin laki-laki mengucapkan ijab kabul sebagai berikut: “Wit Jeng Nabi jenenge lanang, damele rabi tata-tata jeneng wedok

pangaran...kukuh demen janji buk nikah empun kulo lakoniKukuh demen janji berarti kesetiaan suci yang harus ditepati

6

Kata mesias merujuk pada orang yang diurapi Tuhan, dianggap sebagai milik Tugan dan mempunyai tugas khusus

7

(41)

13

Masyarakat Samin mempercayai adanya penitisan atau reinkarnasi sesuai dengan apa yang disampaikan Djokosoewardi (1969); Hutomo (1996), yaitu penjelmaan kembali sesudah mati. Pemahaman tersebut berkaitan dengan

ajaran Sangkan paraning dumadi, yakni dari mana kita berasal dan kemana sesudah mati. Mereka percaya apabila selama hidupnya banyak berbuat

kebaikan, maka dalam hidup yang akan datang akan mengalami nasib yang baik. Sebaliknya bila dalam hidupnya banyak melakukan hal yang tidak baik,

maka hidup yang akan datang mereka dapat menjelma menjadi kayu atau batu atau derajat yang lebih rendah menjadi binatang seperti sapi atau kerbau, bila

dosanya terlalu besar dapat menjelma menjadi binatang hutan misalnya kera atau babi hutan.

2.1.2 Pergerakan Samin

Sebelum kedatangan kolonial Belanda masyarakat Samin mengganggap bahwa tanah sebagai warisan nenek moyang dan anak cucu mereka berhak atas

pemakaiannya (Widiyanto 1983). Kedatangan pemerintah kolonial Belanda, banyak merubah tatanan-tatanan masyarakat tradisional yang telah tercipta dan

tertradisi. Penguasaan tanah atau hutan, penerapan tanam paksa, penerapan pajak tanah yang tinggi melatar belakangi munculnya gerakan Samin di daerah

Blora. Sikap dan tindakan pemerintah saat itu menimbulkan kebencian komunitas Samin terhadap pemerintah Belanda. Munculnya gerakan Samin lebih

disebabkan karena adanya disharmonisasi hubungan antara komunitas Samin dengan pemerintah kolonial Belanda (Widyarini 2006).

Awalnya gerakan Samin dipelopori oleh Raden Surowijoyo, bentuk

perlawanannya adalah menjadi seorang bromocorah8

8

Bromocorah merupakan istilah untuk penjahat pada jaman dahulu

, untuk kepentingan

masyarakat bawah. Setelah Raden Surowijoyo gerakan ini diteruskan oleh anaknya yaitu Samin Surosentiko. Gerakan ini oleh Samin Surosentiko banyak

mengalami penyegaran dan perubahan melalui ajaran-ajarannya. Bentuk perlawanan tidak dilakukan dengan menggunakan kekerasan fisik melainkan

dengan simbol-simbol, bahasa, budaya, busana serta adat istiadat yang berbeda jika berhadapan dengan masyarakat umum dan pemerintah. Bentuk perlawanan

(42)

Pergerakan Samin dicatat oleh beberapa peneliti Samin antara lain Benda & castle (1968), King (1973), Sastroatmojo (2003), dan dirangkum oleh Hutomo (1996) disampaikan secara kronologis sebagai berikut:

• Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di desa klopoduwur, Blora. Banyak orang-orang desa tertarik pada ajaran

Samin dan berguru kepadanya.

• Tahun 1905 orang-orang desa pengikut Samin mulai mengubah tatacara

hidup dan pergaulan sehari-hari di desa. Mereka tidak mau menyetor padi ke lumbung desa dan menolak membayar pajak, dan menolak mengandangkan

sapi dan kerbau mereka di kandang umum bersama orang desa lain yang bukan Samin. Sikap demikian dipelopori oleh Samin Surosentiko.

• Pada tahun 1907 dilaporkan pengikut Samin berjumlah 5000 orang.

Pemerintah Belanda terkejut dan merasa takut dengan pesatnya

perkembangan gerakan Samin tersebut. Pada tanggal 1 Maret 1907 pemerintah Belanda menangkap sejumlah pengikut Samin karena dianggap

akan melakukan pemberontakan.

• Tanggal 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh para

pengikutnya menjadi Ratu adil dengan gelar Panembahan Suryongalam. Empat puluh hari setelah penobatan Samin Surosentiko di tangkap dan di

tahan di Rembang. Kemudian bersama beberapa pengikutnya di buang ke luar Jawa. Samin Surosentiko meninggal di Padang tahun 1914.

• Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan Pergerakan Samin.

Beberapa pengikutnya mulai menyebarkan gerakannya ke luar daerah.

• Tahun 1911, Suro Kidin menantu Samin Surosentiko; dan Engkrak, murid

Samin Surosentiko menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan

(Purwodadi), Karsiyah pengikut Samin menyebarkan ajaran Samin di Kajen, Pati.

• Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin, karena terjadi penolakan

membayar pajak oleh pengikut Samin di berbagai tempat.

• Tahun 1916, ajaran Samin mulai dikembangkan di daerah Kudus

• Tahun 1930, pergerakan Samin tampak terhenti karena ketiadaan pemimpin

yang tangguh

• Tahun 1945, Pak Engkrek, seorang murid Samin Surosentiko di Klopoduwur

(43)

15

Pergerakan Samin tersebut oleh sejumlah penulis sering disebut Geger Samin. Pada dasarnya catatan tersebut menggambarkan sejarah dan tahab perjuangan Samin Surosentiko dan para pengikutnya. Gerakan tersebut menguat

karena Samin Surosentiko sekaligus menyampaikan ajaran-ajaran moral kepada para pengikutnya.

Samin Surosentiko merupakan seorang pejuang yang membela rakyat melawan ketidakadilan yang dialami akibat penindasan oleh pemerintah kolonial

Belanda pada saat itu. Samin Surosentiko yang hidup dari tahun 1859 sampai dengan tahun 1914 telah memberi warna sejarah perjuangan bangsa. Walaupun

orang-orang yang bukan warga Samin mencemoohnya, tetapi sejarah telah mencatatnya, bahwa dia telah menghimpun kekuatan yang luar biasa untuk

membebaskan dari pemerintah kolonial.

2.1.3 Persebaran Masyarakat Samin

Samin Surosentiko mulai menyebarkan ajarannya di desa Klopoduwur,

Kabupten Blora, pada tahun 1890. Kemudian meluas ke desa Bapangan Kecamatan Menden. Selanjutnya ke daerah Kedungtuban, Sambong, Jiken,

Jepon, Blora, Tunjungan, Ngawen, Todanan, Kunduran, Bangirejo dan Doplang (Benda & Castel 1969).

Persebaran masyarakat Samin meluas ke luar wilayah Kabupaten Blora, ada dua alasan yang menjelaskan penyebaran ini, pertama: dilakukan sendiri

oleh Samin Surosentiko, dibantu oleh murid-muridnya seperti Wongsorejo (di Jiwan, Madiun), Engkrak (di Grobogan) dan Karsiyah (di Kajen Pati). Kedua,

banyak orang Samin yang meninggalkan desanya, menghindarkan diri dari penangkapan kolonial Belanda karena menolak membayar pajak dan menyerahkan sebagian hasil panen mereka, mereka sembunyi di pinggiran

hutan jati atau sungai (Mumfangati et al. 2004).

Jumlah pengikut Samin pada awal pergerakannya mengalami

perkembangan pesat. Pada tahun 1903, Residen Rembang melaporkan bahwa pengikut Samin berjumlah sekitar 772 orang di desa-desa Blora selatan dan

sebagian wilayah Bojonegoro (Hutomo 1996). Pata tahun 1907 dilaporkan pengikut Samin berjumlah 5000 orang (Hutomo 1996) atau 3000 keluarga

menurut Poluso (2006). Sedangkan Residen Rembang J.E. Jasper pada tahun 1916 melaporkan jumlah pengikut Samin berjumlah 2305 keluarga, meliputi 1701 keluarga di Blora dan 283 keluarga tinggal di Pati, Rembang, Grobokan, Ngawi

(44)

gerakan Samin mulai menurun jumlah pengikutnya karena ketiadaan pemimpin yang tangguh. Pada jaman pemerintahan Jepang paham Samin tidak banyak diceritakan lagi.

Gambar 2 Peta persebaran masyarakat Samin pada awal pergerakannya berdasarkan laporan Jasper tahun 1917 (Sumber Benda & Castle 1969) Keterangan: Komunitas Samin, arah persebaran

Tidak banyak bukti sejarah yang mengungkapkan perkembangan ajaran Samin pada awal masa kemerdekaan. Namun menurut beberapa tokoh Samin

yang berhasil diwawancarai, masyarakat Samin pada saat itu banyak yang tidak mengetahui kalau bangsanya sudah merdeka. Sehingga mereka masih menutup diri dan tidak kooperatif terhadap terhadap penguasa.

Di desa Klopoduwur Blora pada masa kemerdekaan sampai tahun 1965, ajaran Samin masih berkembang. Namun setelah tahun ini gerakan Samin di

desa tersebut tidak terlihat dengan nyata (Widyarini 2006). Pada saat meletusnya pemberontakan PKI tahun 1965, banyak tokoh Samin yang ikut

ditangkap, karena dituduh ikut terlibat dalam gerakan tersebut. Kondisi tersebut semakin menyudutkan keberadaan orang Samin. Berdasarkan wawancara

(45)

17

komunitas`Samin di Klopoduwur sudah tidak ada. Namun hasil pengamatan di lapangan masih menunjukkan terdapat kelompok masyarakat yang masih meyakini ajaran Samin.

Hingga saat ini belum didapatkan data akurat mengenai di mana saja persebaran masyarakat Samin dan berapa jumlah penganut Samin yang ada.

Sifat ajaran Samin yang merupakan bentuk ajaran kebatinan, atau kepercayaan dan tidak tercantum dengan jelas pada kartu identitas (misalnya KTP, KK atau

lainnya), sehingga menyulitkan dalam pendataannya.

Komunitas Samin di Blora yang masih bisa dijumpai selain di Klopoduwur

adalah di dusun Tambak, desa Sumber Blora, desa Kemantren, desa Sambong, dan desa Bapangan. Sedang di Bojonegoro komunitas Samin tinggal di dusun

Jepang Desa Margomulyo. Di Kabupaten Pati masyarakat Samin tinggal di dusun Bombong dan Ngawen, Kecamatan Sukolilo dan desa Nggaliran. Sedang di Kabupaten Kudus masyarakat Samin masih banyak di jumpai di dusun

Kaliyoso desa Karangrowo dan desa Larikrejo Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus (Gambar 3).

(46)

2.1.4 Penelitian yang Berkaitan dengan Masyarakat Samin

Penelitian mengenai masyarakat Samin terutama banyak mengamati

mengenai pergerakan Samin dan perubahan kondisi dinamika ฀social budaya masyarakat. Beberapa peneliti mengenai masyarakat Samin diantaranya: Benda & Castle (1969) yang menulis The Samin Movent, King (1973) menganalisis

penyebab gerakan Samin, Hutomo (1996) memaparkan tentang Samin dan ajaran-ajarannya dalam bukunya Tradisi dari Blora. Dan Sastroatmodjo (2003)

menulis tentang siapa Samin Surosentiko.

Penelitian skripsi dan thesis pernah dilakukan mahasiswa dengan

pendekatan berbagai bidang. Skripsi dalam bidang antropologi diantaranya dilakukan oleh Soekanwo (1968) dan Djokosoewardi (1969) yang mengkaji

tentang Ajaran Saminisme di Blora. Widyarini (2008) mengkaji tentang Perubahan ฀social komunitas Samin di Blora Tahun 1968-1999 dengan pendekatan bidang sejarah. Penelitian thesis dalam bidang komunikasi dan

budaya diantaranya: Warsito (2001) membahas tentang Pergeseran budaya masyarakat Samin; Wibowo (2004) mengenai Pengetahuan lokal dan

kemandirian petani Samin dalam usahatani; dan Darmastuti (2005) tentang

Pola komunikasi social masyarakat Samin khususnya komunitas di Sukolilo.

Peneliti penelitian yang berkaitan dengan lingkungan dan sumberdaya hayati pernah dilaporkan oleh Munfangati et al. (2004) memaparkan kearifan

lokal masyarakat Samin di Blora khususnya di dusun Tambak desa Sumber Kecamatan Kradenan Blora, dengan pendekatan antropologi. Al-Susanti (2007),

serta Mahfudhloh (2011), menulis skripsi tentang etnobotani tumbuhan obat di Margomulyo Bojonegoro. Sejauh ini penelitian yang berkaitan lingkungan dan sumberdaya hayati masyarakat Samin yang lebih komprehensif mencakup

leseluruhan masyarakat Samin yang ada belum dilakukan. Oleh karena itu peluang penelitian dengan aspek biologi (etnobiologi) terkait dengan

sumberdaya hayati dan lingkungannya masih sangat terbuka untuk dilakukan.

2.2 Etnobiologi

Etnobiologi didefinisikan sebagai suatu kajian pengetahuan biologi

tradisional dan penilaian pengaruh manusia pada aspek biologi dan

lingkungannya (Cotton1996). Sedangkan Society of Ethnobiology

(47)

19

sekarang (Anonim 2010). Studi ini juga dipahami sebagai bidang kajian yang mengungkapkan hubungan masyarakat atau kelompok masyarakat pada etnik tertentu sesuai dengan karakteristik geografisnya dalam mengatur kelompoknya

terhadap objek biologi (Suryadarma 2008). Kajian etnobiologi setidaknya mejawab pertanyaan mengenai bagaimana pandangan masyarakat terhadap

alam dan bagaimana praktek pemanfaatan dan pengelolaan alam oleh masyarakat (Anonim 2010). Secara luas etnobiologi mengkaji berbagai aspek

mengenai: pengetahuan terhadap sumberdaya hayati; pengetahuan terhadap ekologi; pengetahuan terhadap etnobotani cognitive; pengetahuan terhadap

budaya materi; pengetahuan terhadap palaeoetnobotani; pengetahuan terhadap fitokimia tradisional; dan pengetahuan terhadap sistem pertanian tradisional

(Purwanto 2007).

Adanya perkembangan teknologi dan dinamika masyarakat maka muncul berbagai bidang kajian yang terkait dengan objek-objek biologi oleh kelompok

masyarakat. Menurut Cotton (1996) Studi Etnobiologi meliputi berbagai macam kajian antara lain etnobotani, etnomikologi, etnoentomologi, etnozoologi.

Etnobiologi juga membahas tentang etnotaksonomi, etnomedisin, ekonomi subsisten, budaya materi dan etnoekologi. Dalam penelitian ini hanya mengkaji

etnoekologi, etnobotanidan etnozoologi

.

2.2.1 Etnoekologi

Istilah etnoekologi dicetuskan oleh Harold Conklin pada tahun 1954 ketika

mempelajari masyarakat Hanunoo di Philipina. Secara istilah Etnoekologi dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu multidisiplin yang mengkaji hubungan timbal

balik antara aspek pola pikir dan aspek praktis suatu etnik terhadap sumberdaya alam mereka berikut pengaruhnya dalam suatu proses produksi.

Etnoekologi merupakan satu sains yang bertumpu pada kebutuhan praktis (Suryadarma 2008). Merupakan bidang studi yang kehadirannya relatif baru, sehingga terminologinya masih menjadi perdebatan diantara para ahli. Menurut

Toledo (1992) bidang ilmu etnoekologi berkembang dari 4 bidang ilmu yaitu:

etnobiologi, agro-ekologi, etnosain dan geografi lingkungan. Kajiannya bertumpu

pada bagaimana pemanfaatan alam oleh kelompok masyarakat sesuai ragam kepercayaan, pengetahuan, dan bagaimana pandangan kelompok etnis tersebut

(48)

pengelolaan sumberdaya alam (praxis), pengamatan terhadap karakteristik dan penilaian dinamika kualitas ekosistemnya adalah wujud totalitas kegiatannya. Corpusnya mencakup simbol, konsepsi dan persepsi masyarakat terhadap alam

dan praksisnya berupa praktek atau rentetan aktivitas dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Studi etnoekologi berkembang tidak hanya mempelajari interaksi antara suatu bentuk kehidupan dengan kehidupan lainnya, dan lingkungannya, tetapi

bersifat menganalisis secara holistik sampai pada analisis tentang sistem pengetahuan masyarakat lokal dalam mengelola lingkungannnya berikut strategi

adaptasi dan sistem produksi yang dikembangkan di lingkungannya tersebut (Purwanto 2007).

Pengetahuan etnoekologi mencakup keseluruhan pengetahuan ekologi yang menganalisis semua aspek pengetahuan lokal masyarakat tentang lingkungannya meliputi persepsi dan konsepsi masyarakat lokal terhadap

lingkungannya beserta strategi adaptasi dan sistem produksi serta pengelolaan sumberdaya alam yang terdapat di dalamnya. Pengetahuan ini juga

menganalisis pengaruh formatif persepsi lokal tentang lingkungan dan pengetahuan lokal mengenai pembangunan, serta pengaruh semua aktivitas

manusia terhadap lingkungannya (Purwanto 2007).

2.2.2 Etnobotani

Istilah etnobotani dikemukakan pertama kali oleh Harshberger pada tahun 1895 yang memberikan batasan etnobotani adalah ilmu yang mempelajari

berbagai jenis tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat primitif (Walujo 2004). Etnobotani secara sederhana didefinisikan sebagai sebagai kajian

interaksi manusia dengan keanekaragaman jenis tumbuhan (Cotton 1996; Martin 1995). Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan kajian etnobotani berkembang menjadi ilmu multidisiplin yang mempelajari hubungan manusia

dengan sumberdaya tumbuhan.

Etnobotani secara etimologi terdiri atas dua penggal kata yaitu etno yang

berarti bangsa atau kelompok etnis, dan botani yaitu tentang tumbuh-tumbuhan. Faham ini memadukan dalam satu ranah etnologi dan botani yang harus mampu

(49)

21

tentang persepsi dan konsepsi masyarakat dalam memahami sumberdaya nabati di sekitar tempat bermukim.

Pengetahuan tradisional tentang botani membahas secara menyeluruh

pengetahuan botani yang dimiliki masyarakat lokal. Pengetahuan lokal merupakan pengetahuan masyarakat mencakup segala aspek pemanfaatan,

aspek ekologis dan kognitif pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan dan pengelolaannya. Sehingga pengetahuan tradisional ini mencakup seluruh aspek

pengetahuan lokal tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tumbuhan dan lingkungannya, meliputi identifikasi, pemanfaatan dan

pengelolaan keanekaragaman jenis tumbuhan secara subsisten, serta sistem pengetahuan dalam konteks sosiologis dan spiritual (Purwanto 2007).

Etnobotani dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mendokumentasikan pengetahuan masyarakat tradisional yang telah menggunakan berbagai macam jasa tumbuhan untuk menunjang kehidupannya.

Pendukung kehidupan untuk kepentingan makan, obat-obatan, bahan bangunan, upacara adat, budaya, bahan bakar, pakan ternak dan lainnya. Semua kelompok

masyarakat memiliki ketergantungan terhadap tumbuhan tidak hanya sebagai sumber pangan (Suryadarma 2008).

Peneliti etnobotani dalam melakukan analisis etnosain pengetahuan tradisional harus menitik beratkan pada dunia tumbuhan meliputi berbagai aspek

diantaranya adalah pemanfaatannya, pengelolaannya, persepsi dan konsepsi dari berbagai kelompok masyarakat atau etnik yang berbeda. Pada umumnya

penelitian etnobotani selalu menitikberatkan pada pengetahuan tradisional masyarakat lokal, namun perkembangan terkini telah dimulai upaya mempelajari etnobotani masyarakat urban, misalnya kelompok masyarakat Matizaro di

Amerika tengah (Purwanto 2007); Varanasi Uttar Pradesh, India (Verma et al. 2007)

2.2.3 Etnozoologi

Hewan tidak hanya makhluk yang berguna dan menarik dalam dunia biologi. Sebagian bangsa menganggap bahwa hewan adalah makhluk sosial

yang hidup bersama dengan manusia, dan sebagian kebutuhan manusia bergantung pada hewan (Johnson 2002). Studi Etnozoologi mengkaji interaksi

(50)

pengetahuan keterkaitan dengan budaya masyarakat lokal, dan kegunaannya baik hewan liar maupun hewan budidaya (Johnson 2002). Studi ini juga mempelajari persepsi manusia tentang hewan kaitannya dengaan ajaran moral

atau nilai-nilai spiritual (Ellen 1993).

Studi etnozoologi mengkaji pengetahuan masyarakat mengenai

pengelolaan sumberdaya hayati fauna. Studi ini sangat jarang dilakukan di Indonesia dan bahkan sangat langka, walaupun sebenarnya masyarakat

Indonesia mengenal dengan baik pemanfaatan bebagai jenis hewan (fauna) yang digunakan dalam berbagai kepentingan, seperti sebagai bahan pangan,

bahan kerajinan, bahan pakaian, bahan obat-obatan, bahan hiasan, ritual, peralatan dan lain-lainnya.

2.3 Hubungan Masyarakat dengan Sumberdaya Hayati dan Lingkungannya

Kehidupan manusia senantiasa terjadi hubungan timbal balik antara sistem

sosial dengan sistem biofisik (Rambo 1983; Parson 1985; Marten 2001; Soerjani et al. 2008; Hadi 2009). Kedua sistem berubah sesuai dengan dinamika internal

masing-masing, namun tetap mempertahankan integritas mereka sebagai sistem terpisah. Hubungan timbal balik yang erat antara dua subsistem itu dapat

berjalan dengan baik dan teratur karena adanya arus enegi, materi dan informasi (Gambar 4).

Gambar

Gambar 1 Skema kerangka pikir etnobiologi
Gambar 3  Peta sebaran masyarakat Samin saat ini
Gambar 4  Hubungan antara sistem sosial dengan ekosistem ( Rambo 1983)
Gambar 5  Peta lokasi penelitian  masyarakat Samin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu asas penting yang wajib diperhatikan adalah bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut

2. Pendingin diperlukan untuk meredam suhu dan membersihkan kotoran selama proses penggerindaan pada saat putaran roda gerinda yang sangat tinggi memerlukan langkah

Penelitian yang berkaitan dengan segmentasi pemilik hewan peliharaan dengan dimensi dari human-pet relationship sebagai variabel inti dan perilaku konsumsi yang dipengaruhi

Dengan ini penulis akan mencoba merancang, membuat serta mengimplementasikan sistem pengambilan keputusan ke dalam bentuk yang terkomputerisasi yaitu dalam bentuk

Semasa pemain daripada pasukan lawan yang dibenarkan berada dalam kawasan itu membuat hantaran percuma, bola tidak boleh dibaling melebihi kawasan gelanggang

Peningkatan kompetensi peserta PEDAMBA: Kelas Pemanfaatan Software Tracker dalam pelajaran Fisika Tahap ke-I” dapat dilihat dari hasil evaluasi pelaksanaan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi tentang Kewajiban

Infrastruktur yang ada pada organisasi/perusahaan, telah mencakup lapisan transport yang merupakan lapisan yang menyediakan kemampuan jaringan/networking dan