• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Masyarakat dengan Sumberdaya Hayati dan

Dalam dokumen Ethnobiology of thesamin (Halaman 50-54)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Hubungan Masyarakat dengan Sumberdaya Hayati dan

sosial dengan sistem biofisik (Rambo 1983; Parson 1985; Marten 2001; Soerjani et al. 2008; Hadi 2009). Kedua sistem berubah sesuai dengan dinamika internal masing-masing, namun tetap mempertahankan integritas mereka sebagai sistem terpisah. Hubungan timbal balik yang erat antara dua subsistem itu dapat berjalan dengan baik dan teratur karena adanya arus enegi, materi dan informasi (Gambar 4).

Aspek latar belakang sosial ekonomi budaya manusia dapat mempengaruhi perilaku manusia dalam memperlakukan alam lingkungan sekitarnya. Sebaliknya karena pengaruh lingkungan biofisik sekitarnya, manusia harus melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitar agar dapat bertahan hidup (Hutterer & Rambo 1985). Hubungan sistem sosial dan biofisik tersebut sangat dinamis setiap waktu, oleh karena itu bila ada perubahan sistem sosial masyarakat secara otomatis akan mengakibatkan perubahan sistem biofisik, dan sebagainya (Rambo 1983). Perubahan hubungan interaksi antara manusia dan lingkungannya dapat disebabkan oleh faktor internal seperti pertambahan penduduk, juga faktor eksternal, misalnya pembangunan dan kebijakan pemerintah, serta perkembangan ekonomi pasar (Iskandar 2001). Dalam melakukan pendekatan pada penelitian hubungan antara masyarakat dan lingkungannya Vayda (1983) menolak adanya pandangan homogenitas ekologi dan sosial budaya. Ia menekankan pelunya memusatkan perhatiannya pada keanekaragaman serta bagaimana individu-individu yang berbeda atau kelompok-kelompok yang berperan di dalamnya beradaptasi terhadap keseluruhan faktor lingkungan yang mempengaruhinya, misalnya: adat kebiasaan, teknologi, kelembagaan masyarakat dan kepercayaannya. Para peneliti diharapkan memprioritaskan penelitiannya untuk mengidentifikasi nilai- nilai mengenai alam lingkungannya, dan menunjukkan bagaimana perilaku masyarakat dapat mempengaruhi keharmonisan hubungan dengan lingkungannya.

Pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pengetahuan dan teknologi modern yang lebih menekannya orientasi ekonomi jangka pendek, ternyata banyak mengalami kegagalan bahkan sering menimbulkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu berbagai kalangan mulai berpaling pada sistem budaya lokal (Adimihardja 2008). Kearifan tradisi yang tercemin dalam pengetahuan dan teknologi lokal di berbagai daerah secara dominan masih diwarnai nilai-nilai kearifan sebagaimana tampak dari cara-cara mereka melakukan praktek-praktek konservasi, managemen dan eksploitasi sumberdaya alam. Sehingga menjamin ketersediaan secara berkesinambungan dari sumber alam yang ada.

Tingkat pengetahuan yang dicapai suatu kelompok masyarakat berasal dari akumulasi dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi dengan kondisi alam sekitarnya berjalan lama dan umumnya mereka memiliki tatanan

yang telah disepakati dan dilaksanakan bersama dalam menjaga keseimbangan dengan alam lingkungan sekitar (Soedjito & Sukara 2006; Purwanto 2007). Pengetahuan mengenai tatanan, aturan atau pranata sosial yang berlaku di masyarakat tersebut kita kenal sebagai pengetahuan tradisional atau indigenous knowledge. Menurut Adimihardja (2008) pengertian indigenous knowledge meliputi Sistem Pengetahuan dan Teknologi Lokal (STPL), yang didefinisikan sebagai suatu pengetahuan yang tumbuh dan berkembang secara lokal, merupakan perkembangan dari bagian keseluruhan masyarakat lokal. Dasar- dasar pengetahuan itu bersumber dari nilai-nilai tradisi dan adaptasi dengan nilai-nilai dari luar.

Pengetahuan secara turun-temurun yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengelola lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil dari adaptasi mereka terhadap lingkungan yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian lingkungan melahirkan suatu konsep Kearifan tradisional. Dove (1985) mendefinisikan kearifan tradisional sebagai seperangkat nilai budaya, pengetahuan, aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan sejumlah perilaku budaya yang arif dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan tersebut, sehingga tidak sedikit sumberdaya alam yang dapat dipertahankan.

Pengetahuan lokal memberikan informasi yang berharga bagi kita untuk memahami aspek-aspek ekologi lansekap serta kekayaan sumberdaya hayati di sekitar mereka (Raynor & Kostka 2003). Dewasa ini banyak pengetahuan lokal mengenai pemanfaatan tumbuhan dan hewan yang hilang sebelum dicatat dan ketahui peneliti. Di lain pihak timbul gerakan kembali ke alam (Back to nature) diantaranya upaya memanfaatkan kembali sumberdaya nabati alami, misalnya penggunaan obat tradisional, kosmetik, pewarna dan lain-lain. Hal ini menunjukkan pentingnya pengetahuan pemanfaatan tumbuhan dan hewan tersebut secara tradisional, dan informasi tersebut merupakan informasi yang sangat berharga untuk pelestarian pemanfaatan keanekaragaman sumberdaya hayati dan lingkungannya.

Pengetahuan tradisional sering dianggap tidak ilmiah, karena belum dapat dijelaskan secara kuantitatif, terukur oleh metode penelitian. Padahal dalam kehidupan nyata pengetahuan tradisional terbukti mampu menyelesaikan kehidupan masyarakat sehari-hari. Masyarakat tradisional melestarikan

sumberdaya dan menghindari over konsumsi melalui aturan tabu atau sistem kepercayaan lainnya. Pengelolaan ruang dan lahan dilembagakan dalam sistem adat yang dipegang teguh serta dipatuhi oleh segenap masyarakat anggotanya. Sehingga tercipta kehidupan yang harmonis antara manusia dan alam karena kesimbangan ekologi tetap terjaga (Soedjito & Sukara 2006).

Upaya untuk menjaga keseimbangan antara sumberdaya alam dengan lingkungannya dilakukan dengan konservasi. Konservasi alam diartikan sebagai upaya pengelolaan yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan biosfer sehingga dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya dan berkelanjutan bagi kehidupan generasi manusia. Upaya ini bertujuan memelihara dan mempertahankan potensi alam agar dapat memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang. Pengertian konservasi tersebut mencakup perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan, restorasi dan penguatan lingkungan alam (IUCN 1980). Selain itu ditekankan bahwa konservasi alam tidak bertentangan dengan pemanfaatan beranekaragam jenis, varietas dan ekosistem bagi kepentingan manusia selama pemanfaatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan.

Tujuan konservasi adalah terjaminnya kebutuhan dasar material, spiritual dan budaya masyarakat baik kualitas maupun kuantitasnya secara lestari dan berkesinambungan (Setiadi 2007). Tujuan tersebut dapat dicapai dengan melakukan upaya: (1) menjamin kelestarian manfaat sumberdaya alam bagi masyarakat dalam pembangunan berkesinambungan; (2) menjamin terpeliharanya keanekaragaman jenis dan sumber plasma nutfah; (3) menjamin terpeliharanya kelangsungan proses-proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan; (4) meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya konservasi sumberdaya alam.

Penerapan konservasi alam yang menekankan pada aspek perlindungan alam fisik semata-mata, tanpa melibatkan aspirasi dan kepentingan sosial ekonomi dan budaya penduduk sekitar, cepat atau lambat akan menemui kesulitan. Konservasi semacam itu tidak mungkin dapat mewujudkan tujuan mulianya, yaitu pembangunan berwawasan lingkungan dan memberikan manfaat secara adil kepada segenap lapisan masyarakat.

Dalam dokumen Ethnobiology of thesamin (Halaman 50-54)

Dokumen terkait