OPTIMISASI NILAI KONDUKTIVITAS LISTRIK LARUTAN
NUTRISI PADA SISTEM HIDROPONIK TANAMAN TOMAT
CHUSNUL ARIF
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Optimisasi Nilai Konduktivitas
Listrik Larutan Nutrisi pada Sistem Hidroponik Tanaman Tomat adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Januari 2008
Chusnul Arif
F151040021
CHUSNUL ARIF. Optimization of EC values of Nutrient Solution on Hydroponics System for Tomato Fruits. Supervised by HERRY SUHARDIYANTO and BUDI INDRA SETIAWAN.
In order to produce tomato fruits with high quality, it is important to consider customer requirement. Total soluble solids (TSS) of tomato fruits is one of indicators to show the quality. The higher TSS, the better quality of tomato fruits. TSS consists of sucrose, fructose, and glucose, which are sugar component. The previous studies showed that increasing concentration of nutrient solution could improve tomato fruit quality by increasing the number of TSS. Unfortunely, this treatment is accompanied by yield loss through reduction in fruit weight and diameter. The concentration of nutrient solution commonly represented by Electrical Conductivity (EC) value.
However, it is important to determine the optimal EC value to gain tomato fruit with high TSS value and fruit weight. To optimize EC value, it is important to identify the relationship between differences EC value treatments with TSS value and fruit weight. It is difficult to explain the relationship in mathematical model due to the complexity of the physical and physiological processes involved. Artificial Neural Network (ANN) is suitable for identification this relationship. ANN has the ability to identify unknown dynamic plant system. Furthermore, Genetic Algorithms (GA) is powerful in the optimization process of EC value. GA is one combinatorial optimization technique. This technique dealing with a complex objective function, with a multi-point search procedure, by simulating the biological evolutionary process based on crossover and mutation in genetics.
The objectives of this research were; a) to identify the effect of different EC values and planting densities treatments on TSS value and fruit fresh weight, b) to determine the correlation between the different EC values and planting densities with TSS value and fruit fresh weight, c) to determine the optimal EC values on each plant growth.
The experiment was conducted in November 2006 to April 2007 in a hydroponics system inside a greenhouse located in Agricultural and Forestry Research Center, University of Tsukuba, Japan. Tomato plants (Lycopersicum esculentum, Mill.) cultivar ‘Money Maker’ were used in this research. Steps of reseach were; a) designing the treatments for tomato plants; b) cultivating tomato plants; c) identifying the correlation between the differences EC values and planting densities with TSS value and fruit weight by using ANN; d) optimizing the EC value by using GA.
Nutrient Film Technique (NFT) system was used in which the nutrient solution is circulated by pump. It is known that in the cultivation of tomato plants, the plants focused on development of root, stem and leaf in vegetative growth. Therefore, optimization of EC value of nutrient solution was conducted only in generative growth. The generative growth were divided into three stages; (1) flowering, (2) fruiting, (3) harvesting.
To identify TSS value and fruit fresh weight, three models of ANN with different number of node hidden layer and error analysis were developed. The result showed that the highest number of node-hidden layer (7 nodes), the smallest error between actual and predicted data. The identification process of TSS value, the number of Standard Error Prediction (SEP) were 0,08 and 0,12 in the training and validation process of ANN respectively. Even as in the identification process of fruit fresh weight, the number of Average Percentage Deviation (APD) were 4% and 3% for the training and validation process, respectively. Therefore, ANN model can be used to predict TSS value and fruit fresh weight.
The optimization process using GA resulted the optimal EC values are 1,4 mS/cm, 10,2 mS/cm and 9,7 mS/cm in the flowering stage, the fruiting stage and the harvesting stage, respectively. Under these condition, The NFT system will produce tomato fruits with TSS value of 7,9% and fruit fresh weight of 51,33 g.
Keywords: optimization, hydroponics system, computer program, artificial neural network, genetic algorithm
CHUSNUL ARIF. Optimisasi Nilai Kondukvitas Listrik Larutan Nutrisi pada Sistem Hidroponik Tanaman Tomat. Dibimbing oleh HERRY SUHARDIYANTO dan BUDI INDRA SETIAWAN.
Keinginan konsumen terhadap kualitas buah buah tomat perlu diperhatikan dalam proses produksinya. Buah tomat berkualitas tinggi salah satunya dicirikan dengan nilai Total Padatan Terlarut (TPT) yang tinggi. Total padatan terlarut (total soluble solids) dalam buah tomat terdiri dari sukrosa, fruktosa dan glukosa yang merupakan komponen dari gula.Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan nutrisi akan menghasilkan buah tomat dengan total padatan terlarut semakin tinggi pula. Akan tetapi, perlakuan tersebut akan menurunkan berat dan diameter buah tomat yang berakibat penurunan total produksi (yield loss). Konsentrasi larutan nutrisi tersebut direpresentasikan dengan nilai Konduktivitas Listrik atau Daya Hantar Listrik (DHL).
Untuk itu, diperlukan penelitian dalam menentukan nilai DHL larutan nutrisi yang optimal dalam menghasilkan nilai TPT buah tomat yang tinggi sekaligus mempertahankan berat buah tomat. Untuk menentukan nilai DHL larutan nutrisi yang optimal ini, diperlukan pengetahuan tentang pemberian konsentrasi larutan nutrisi terhadap kualitas tomat yang dihasilkan. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat kompleks dan sangat sulit dimodelkan secara matematis. Disini, Jaringan Syaraf Tiruan (JST) digunakan untuk mengindentifikasi hubungan tersebut. JST mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi sistem tanaman dinamik kompleks yang tidak diketahui. Selanjutnya, penentuan nilai DHL larutan nutrisi yang optimal dilakukan dengan Algoritma Genetika (AG) yang bertujuan memaksimalkan nilai TPT dan berat buah tomat.AG merupakan metode pencarian solusi melalui algoritma berdasarkan mekanisme seleksi dan genetika secara natural. AG bekerja dengan prosedur pencarian multi-point dengan simulasi melalui proses evolusi biologi berdasarkan penyilangan dan mutasi dalam genetika.
Tujuan dari penelitian ini adalah; a) mengidentifikasi pengaruh perlakuan konsentrasi larutan nutrisi, jarak tanam dan cahaya buatan terhadap nilai TPT dan berat buah tomat, b) menentukan hubungan antara nilai DHL larutan nutrisi yang berbeda, jarak tanam dan cahaya buatan terhadap TPT dan berat buah tomat, c) menentukan nilai DHL larutan nutrisi yang optimal pada setiap fase pertumbuhan
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 – April 2007 di greenhouse Pusat Teknologi Pertanian dan Kehutanan, University of Tsukuba, Jepang. Tahapan penelitian yang dilaksanakan adalah perancangan perlakuan terhadap tanaman tomat, budidaya tanaman tomat, tabulasi hubungan antara perlakuan yang diberikan dengan nilai TPT dan berat buah tomat dengan JST dan optimisasi nilai DHL larutan nutrisi untuk menghasilkan nilai TPT dan berat buah tomat yang maksimal dengan AG.
buah tomat yang akan dihasilkan. Fase generatif ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu: fase pembungaan, fase pembuahan dan fase pemanenan. Sehingga optimisasi nilai DHL larutan nutrisi akan dilakukan pada masing–masing fase tersebut.
Hasil perlakuan nilai DHL larutan nutrisi yang berbeda pada selang 1,4-10,2 mS/cm menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai DHL larutan nutrisi akan menghasilkan buah tomat dengan nilai TPT yang semakin tinggi, tetapi akan menurunkan berat dan diameter buah. Pada nilai DHL larutan nutrisi tinggi dihasilkan nilai TPT rata–rata 8,3% dengan berat tomat 43,4 g dan diamater tomat sebesar 4,22 cm. Sedangkan pada nilai DHL larutan nutrisi yang rendah dihasilkan nilai TPT, berat dan diameter buah tomat rata–rata masing - masing sebesar 6,0%, 68,1 g dan 5,05 cm.
Untuk mengindentifikasi nilai TPT dan berat buah tomat, dikembangkan 3 model JST dengan jumlah noda hidden layer yang berbeda dan beberapa analisis nilai error. Hasilnya menunjukkan bahwa model dengan jumlah noda hidden layer terbanyak (7 noda) memberikan nilai error terkecil. Adapun analisis error dengan persamaan Standard Error of Prediction (SEP) memberikan nilai yang terkecil pada pendugaan nilai TPT buah tomat sebesar 0,08 dan 0,12 pada proses pembelajaran dan validasi. Sedangkan pada pendugaan berat buah tomat dihasilkan nilai Average Percentage Deviation (APD) terkecil baik pada proses pembelajaran dan validasi masing–masing sebesar 4% dan 3%. Dengan hasil tersebut menggambarkan bahwa model JST yang dikembangkan dapat digunakan untuk menduga nilai TPT dan berat buah tomat.
Hasil optimisasi menunjukkan bahwa nilai DHL larutan nutrisi pada fase pembungaan memiliki kecenderungan yang berbeda dari fase pembuahan dan pemanenan. Nilai DHL larutan nutrisi pada fase pembungaan cenderung semakin kecil, sedangkan pada fase pembuahan dan pemanenan semakin besar. Namur masing – masing nlai DHL laruan nutrisi tersebut telah konvergen pada suatu nilai tertentu. Nilai DHL larutan nutrisi yang optimum pada fase pembungaan sebesar 1,4 mS/cm, sedangkan pada fase pembuahan dan pemanenan masing–masing sebesar 10,2 mS/cm dan 9,7 mS/cm. Dengan nilai tersebut diprediksikan akan menghasilkan nilai total padatan terlarut rata-rata sebesar 7,9% dan berat rata–ata buah sebesar 51,33 g.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi
OPTIMISASI NILAI KONDUKTIVITAS LISTRIK LARUTAN
NUTRISI PADA SISTEM HIDROPONIK TANAMAN TOMAT
CHUSNUL ARIF
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ilmu Keteknikan Pertanian
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Optimisasi Nilai Konduktivitas Listrik Larutan Nutrisi pada Sistem Hidroponik Tanaman Tomat
Nama : Chusnul Arif
NIM : F151040021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H. Herry Suhardiyanto, MSc
Ketua
Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Keteknikan Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, M.Agr Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MSc.
PRAKATA
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dengan judul “Optimisasi Nilai Konduktivitas Listrik
Larutan Nutrisi pada Sistem Hidroponik Tanaman Tomat”.
Penulis mengucapkan penghargaan dan rasa terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing yang
telah memberikan dukungan dan bimbingan dalam studi ini. Beliau juga yang
memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan
studi S2 ini melalui beasiswa BPPS. Selain itu, beliau juga telah dan terus
memberikan bimbingan dan motivasi untuk terus menekuni bidang ini.
Bimbingan yang diberikan tidak hanya untuk masalah studi tetapi juga
masalah lain dalam peningkatan softskill penulis.
2. Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan sebagai anggota komisi pembimbing yang
telah memberikan dukungan dan bimbingan dalam studi ini. Selain itu, beliau
juga terus memberikan motivasi dan ilmunya untuk terus berkarya di
perguruan tinggi. Ketekunan dalam mengerjakan sesuatu menjadi teladan
tersendiri bagi penulis.
3. Yudi Chadirin, S.TP, M.Agr selaku dosen penguji luar yang telah memberikan
masukan yang berarti dalam tesis ini.
4. Istri dan anak tercinta, serta keempat orang tua dan kerabat-kerabat penulis
atas doa dan dukungan dalam studi ini.
5. Rekan-rekan di wisma wageningen, Sdr Ahmad Mulyatullah, Sdri Hilda
Agustina, Bapak Gardjito, Sdr Rudiyanto, Sdr Berti, dan teman-teman
seperjuangan lainnya.
6. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas bantuannya
dalam menyelesaikan studi ini.
Akhir kata semoga karya ini memberikan manfaat dan mendapatkan ridho Allah
SWT.
Bogor, Januari 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 6 Desember 1980 sebagai
anak terakhir dari pasangan H. Masjhudi dan Hj. Siti Zaenab. Pendidikan S1
ditempuh di Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB,
lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2004, penulis diterima di Program Studi Ilmu
Keteknikan Pertanian pada program Pascasarjana IPB untuk program S2 dan
lulus pada tahun 2007. Selama menempuh studi S2 ini, penulis mendapatkan
beasiswa BPPS dari DIKTI selama 2 tahun dan mengikuti program exchange
research student selama 1 tahun di University of Tsukuba, Jepang melalui
beasiswa JASSO.
Penulis diterima kerja sebagai dosen tetap di Departemen Teknik Pertanian
IPB pada tahun 2004 sewaktu mengikuti studi S2 ini. Bidang minat yang ditekuni
adalah teknologi greenhouse dan hidroponik. Penulis juga menjadi anggota pada
organisasi profesi ilmiah PERTETA (Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia).
Beberapa makalah yang pernah ditulis dan telah dipubilkasikan baik di
jurnal nasional maupun proceeding :
a. Chusnul Arif, Budi I Setiawan, Radite P.A Setiawan, “ Error analysis in the Measurement of Evapotranspiration, in Agricultural Engineering Journal,
Indonesian Society of Agricultural Engineering, Indonesia, Vol 19. No 3 :
December, 2005.
b. Chusnul Arif, Herry Suhardiyanto, Suroso, “Penerapan Jaringan Syaraf Tiruan dan Algoritma Genetika Untuk Optimisasi Pemberian Air dan Unsur
Hara Pada Pertumbuhan Tanaman dalam Rumah Kaca”, The 7th Seminar on
Intelligent Technology and Its Applications, May 2nd, 2006, Surabaya,
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 2
Manfaat Penelitian ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Sistem Hidroponik ... 4
Tanaman Tomat ... 6
Teknik Identifikasi dengan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) ... 7
Teknik Optimisasi dengan Algoritma Genetika (AG) ... 10
III.METODOLOGI ... 13
Tempat dan Waktu Penelitian ... 13
Alat dan Bahan ... 13
Tahapan Penelitian ... 14
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24
Pengaruh Nilai DHL Larutan Nutrisi terhadap Buah Tomat ... 24
Pengaruh Jarak Tanam terhadap buah Tomat yang dihasilkan ... 26
Identifikasi nilai Total Padatan Terlarut buah Tomat ... 27
Identifikasi berat buah Tomat ... 32
Optimisasi Nilai DHL Larutan Nutrisi ... 35
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41
Kesimpulan ... 41
Saran ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Skema sistem NFT untuk budidaya tanaman ... 5
2. Struktur JST Backpropagation. ... 7
3. Greenhouse tempat penelitian ... 13
4. Layout sistem NFT yang digunakan ... 14
5. Model JST yang dikembangkan ... 18
6. Prosedur optimisasi menggunakan Algoritma Genetika ... 21
7. Tahapan penelitian ... 23
8. Pengaruh nilai DHL larutan nutrisi terhadap nilai TPT buah tomat. ... 24
9. Pengaruh nilai DHL larutan nutrisi terhadap berat dan diameter buah tomat yang dihasilkan ... 25
10.Nilai error masing–masing model pada setiap pengulangan; A: model 1; B: model 2; C: model 3 ... 29
11.Hasil validasi masing–masing model dengan berbagai fungsi error; A: model 1; B: model 2; C: model 3 ... 31
12.Hasil validasi masing–masing model dengan berbagai fungsi error A: model 1; B: model 2; C: model 3 ... 33
13.Ilustrasi proses penyilangan pada Algoritma Genetika ... 37
14.Fitness hasil optimisasi dengan peluang crossover (Pc) : 0,6 dan Pm:0,05 ... 38
15.Nilai DHL larutan nutrisi pada masing–masing fase reproduktif ... 39
16.Nilai total padatan terlarut rata–rata buah tomat hasil prediksi dengan nilai DHL larutan nutrisi hasil optimisasi... 39
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Nilai TPT, berat dan diameter rata-rata buah tomat ... 26
2. Nilai error proses pembelajaran JST pada pengulangan ke-1000 ... 30
3. Nilai error proses pembelajaran JST pada pengulangan ke-1000 ... 32
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data hasil pengukuran untuk proses identifikasi ... 44
2. Data proses pembelajaran model JST ... 48
3. Data validasi model JST ... 50
4. Tampilan program identifikasi model JST dengan bahasa Delphi 6.0 ... 51
5. Tampilan program optimisasi AG dengan bahasa Dephi 6.0 ... 52
6. Nilai pembobot hasil proses identifikasi ... 53
7. Data hasil proses pembelajaran model JST ... 54
I. PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill) merupakan tanaman
yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Untuk memproduksi tanaman tomat
dengan kualitas yang tinggi, diperlukan sistem budidaya yang tepat. Budidaya
dengan sistem hidroponik merupakan cara yang tepat untuk memproduksi
tomat dengan kualitas tinggi. Selain itu, perlu dipertimbangkan keinginan
konsumen akan kualitas buah tomat. Kadar gula merupakan salah satu faktor
terpenting dalam menentukan kualitas buah tomat dan kepuasan konsumen
(Malundo et.al., 1995). Buah tomat kualitas tinggi salah satunya dicirikan
dengan nilai total padatan terlarut yang tinggi (Saito et.al., 2006). Total
padatan terlarut (total soluble solids) dalam buah tomat terdiri dari sukrosa,
fruktosa dan glukosa yang merupakan komponen dari gula.
Beberapa penelitian telah dikembangkan untuk memproduksi buah tomat
dengan total padatan terlarut tinggi (Ehret dan Ho, 1986; Adams dan Ho,
1989; Adams, 1991; Auerswald et.al., 1999; Cuartero dan Munoz, 1999; Saito
et.al., 2006). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi
konsentrasi larutan nutrisi akan menghasilkan buah tomat dengan total padatan
terlarut semakin tinggi pula. Akan tetapi, perlakuan tersebut akan menurunkan
berat dan diameter buah tomat yang berakibat penurunan total produksi (yield
loss) (Li et.al., (2001). Konsentrasi larutan nutrisi tersebut direpresentasikan
dengan nilai Konduktivitas Listrik atau Daya Hantar Listrik (DHL).
Selain itu, nilai DHL larutan nutrisi yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan tanaman tumbuh lambat dan biaya produksi yang tinggi dalam
proses budidaya. Sebaliknya, konsentrasi larutan nutrisi yang terlalu rendah
akan menyebabkan produktivitas tanaman menurun. (Whipker dan Cavins,
2000). Untuk itu, diperlukan penelitian dalam menentukan nilai DHL larutan
nutrisi yang optimal dalam menghasilkan total padatan terlarut buah tomat
yang tinggi sekaligus mempertahankan berat buah tomat.
Dalam pemilihan metode optimisasi, perlu dipertimbangkan fungsi tujuan
dengan metode linear programming, sedangkan untuk fungsi tujuan yang
kompleks dan non-linear dapat digunakan metode analitik maupun numerik.
Adapun untuk kasus optimisasi ini, perlu dikembangkan pengetahuan
tentang pemberian konsentrasi larutan nutrisi terhadap kualitas tomat yang
dihasilkan. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat kompleks dan
sangat sulit dimodelkan secara matematis baik linear maupun non-liniear.
Kecerdasan Buatan merupakan teknologi yang tepat dalam aplikasi sistem
yang kompleks, termasuk hubungan antara lingkungan-tanaman dalam sistem
pertanian (Hashimoto, 1997). Metode ini telah digunakan untuk optimisasi
dalam produksi tanaman tomat secara hidroponik (Morimoto dan Hashimoto,
2000). Konsep metode ini adalah menjadikan faktor lingkungan sebagai input
dan respon tanaman sebagai output dari sistem. Konsep ini lebih dikenal
dengan Speaking Plant Approach (SPA).
Kecerdasan buatan yang dimaksud adalah Jaringan Syaraf Tiruan (JST)
dan Algoritma Genetika (AG). JST merupakan metode untuk proses
identifikasi secara black-box berdasarkan data pengukuran. Dengan JST ini
tidak diperlukan pengembangan fungsi matematik. JST ini mempunyai
kemampuan untuk mengidentifikasi sistem tanaman dinamik kompleks yang
tidak diketahui (unknown a complex dynamic system) (Purwar, et.al., 2007).
Selain itu, JST mampu untuk mempelajari data pengukuran dan kemudian
mengeneralisir (Nugroho, 2003).
Algoritma Genetika (AG) merupakan metode optimisasi yang tepat
digabungkan dengan metode JST untuk indentifikasi. JST ini bekerja dengan
cara pencarian solusi pada selang tertentu melalui algoritma berdasarkan
mekanisme seleksi dan genetika secara natural (Goldberg, 1989). AG dalam
menyelesaikan fungsi objektif yang kompleks dengan prosedur pencarian
multi-point dengan simulasi proses evolusi biologi berdasarkan penyilangan
1.2Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan optimisasi untuk
menentukan nilai DHL larutan nutrisi pada sistem hidroponik tanaman tomat.
Adapun tujuan khususnya adalah:
1. Mengidentifikasi pengaruh perlakuan konsentrasi larutan nutrisi, jarak
tanam dan cahaya buatan terhadap total padatan terlarut buah tomat dan
berat buah tomat.
2. Menentukan hubungan antara nilai DHL larutan nutrisi yang berbeda,
jarak tanam dan cahaya buatan terhadap total padatan terlarut buah tomat
dan berat buah tomat.
3. Menentukan nilai DHL larutan nutrisi yang optimal pada setiap fase
pertumbuhan.
1.3Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Diperoleh cara yang tepat dalam menentukan nilai DHL larutan nutrisi
dalam sistem hidroponik untuk maksimisasi total padatan terlarut dan
berat buah tomat.
2. Diperoleh metode baru dalam meningkatkan kualitas buah tomat melalui
sistem hidroponik.
3. Sebagai langkah awal dalam pengembangan sistem kontrol otomatis nilai
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Hidroponik
Hidroponik dalam pengertian paling sederhana adalah penumbuhan
tanaman tanpa menggunakan tanah sebagai media tanamnya. Hidroponik
mulai dilirik dan berkembang sejak tahun 1925 setelah didapati bahwa sistem
ini mempunyai potensi untuk digunakan oleh industri tanaman karena dapat
mengatasi masalah keterbatasan lahan, kesuburan tanah serta serangan hama
dan penyakit. Sistem ini dikembangkan lebih lanjut oleh Dr. W.F Gericke
pada tahun 1936 yang berhasil menumbuhkan tanaman tomat dalam kolam
berisi air dan nutrient di laboratoriumnya (Prihmantoro dan Yovita, 2000).
Beberapa kelebihan sistem hidroponik dibanding dengan media tanah
adalah kebersihan lebih mudah terjaga, tidak memerlukan pengelolaan tanah,
penggunaan pupuk dan air lebih efisien, tidak tergantung musim, tingkat
produktivitas dan kualitas cukup tinggi dan seragam, tanaman dapat dikontrol
dengan baik, dapat diusahakan di tempat yang tidak terlalu luas ataupun
dipergunakan sebagai bisnis dengan luasan yang cukup, dapat mengurangi
jumlah tenaga kerja, kenyamanan kerja dapat ditingkatkan secara ergonomis,
dan diferensiasi produk dapat dilakukan (Suhardiyanto, 2002).
Pada prinsipnya sistem hidroponik dibagi menjadi dua kelompok yaitu
sistem yang menggunakan media substrat dan sistem yang menggunakan
media air. Jenis hidroponik yang menggunakan media substrat dicirikan
dengan media tanamnya yang berupa bahan padat berpori maupun tidak
berpori dengan wadah yang tidak gampang lapuk terkena air seperti ember,
pot, polybag, dan lain – lain. Media yang digunakan dapat berupa pasir,
kerikil, perlit, zeolit, sabut kelapa, spon, batu apung dan sebagainya
(Prihmantoro dan Yovita, 2000).
Nutrient Film Technique (NFT) merupakan salah satu tipe spesial dalam
hidroponik yang dikembangkan pertama kali oleh Dr. A.J Cooper di
Glasshouse Crops Research Institute, Littlehampton, Inggris pada akhir tahun
1960-an dan berkembang pada awal 1970-an secara komersial. Konsep dasar
NFT ini adalah budidaya tanaman dengan akar tanaman tumbuh pada lapisan
cukup air, nutrisi dan oksigen. Tanaman tumbuh dalam lapisan polyethylene
dengan akar tanaman terendam dalam air yang berisi larutan nutrisi yang
disirkulasikan secara terus menerus dengan pompa. Daerah perakaran dalam
larutan nutrisi dapat berkembang dan tumbuh dalam larutan nutrisi yang
dangkal sehingga bagian atas akar tanaman berada di permukaan antara
larutan nutrisi dan styrofoam. Dengan adanya bagian akar dalam udara ini
memungkinkan oksigen masih bisa terpenuhi dan tercukupi untuk
pertumbuhan secara normal.
Beberapa keuntungan pemakaian NFT antara lain: dapat memudahkan
pengendalian daerah perakaran tanaman, kebutuhan air dapat terpenuhi
dengan baik dan mudah, keseragaman nutrisi dan tingkat konsentrasi larutan
nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman dapat disesuaikan dengan umur dan
jenis tanaman, tanaman dapat diusahakan beberapa kali dengan periode tanam
yang pendek, sangat baik untuk pelaksanaan penelitian dan eksperimen
dengan variabel yang dapat terkontrol dan memungkinkan untuk
meningkatkan produktivitas tanaman dengan high planting density. Namun
NFT mempunyai beberapa kelemahan seperti investasi dan biaya perawatan
yang mahal, sangat tergantung terhadap energi listrik dan penyakit yang
menjangkiti tanaman akan dengan cepat menular ke tanaman lain (Graves,
1983).
Gambar 1 Skema sistem NFT untuk budidaya tanaman.
Jarak tanam 10 dan 25 cm Cahaya buatan
Pompa
Dalam sistem NFT ini, penentuan nilai DHL larutan nutrisi merupakan
faktor terpenting dalam menentukan keberhasilan budidaya. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian nilai DHL larutan nutrisi yang
tinggi dapat meningkatkan kualitas hasil produksi khususnya buah tomat,
tetapi perlakuan ini juga dapat mengakibatkan yield loss (Saito et.al., 2006).
Sehingga optimisasi nilai DHL larutan nutrisi sangat diperlukan dalam sistem
hidroponik.
2.2Tanaman Tomat
Tomat (Solanum lycopersicum syn. Lycopersicum esculentum) adalah
tumbuhan dari keluarga Solanaceae, tumbuhan asli Amerika Tengah dan
Selatan, dari Meksiko sampai Peru. Tomat merupakan tumbuhan siklus hidup
singkat, dapat tumbuh setinggi 1 sampai 3 meter. Tomat merupakan keluarga
dekat dari kentang (Wikipedia Indonesia, 2007).
Buah tomat saat ini merupakan salah satu komoditas hortikultura yang
bernilai ekonomi tinggi dan masih memerlukan penanganan serius, terutama
dalam hal peningkatan hasilnya dan kualitas buahnya. Apabila dilihat dari
rata-rata produksinya, ternyata tomat di Indonesia masih rendah, yaitu 6,3
ton/ha jika dibandingkan dengan negara-negara Taiwan, Saudi Arabia dan
India yang berturut-turut 21 ton/ha, 13,4 ton/ha dan 9,5 ton/ha (Kartapradja
dan Djuariah, 1992). Rendahnya produksi tomat di Indonesia kemungkinan
disebabkan varietas yang ditanam tidak cocok, kultur teknis yang kurang baik
atau pemberantasan hama dan penyakit yang kurang efisien.
Syarat tumbuh tanaman tomat antara lain: dapat tumbuh didataran rendah
dan tinggi, waktu tanam yang baik 2 bulan sebelum musim hujan berakhir
(awal musim kemarau), tanah gembur, kaya humus dan subur, drainase baik
dan tidak menggenang, PH sekitar 5-6, curah hujan optimal 100-220
mm/hujan, suhu udara optimum 10o-20o C (malam hari), 20o-30o C (siang
2.3Teknik Identifikasi dengan Jaringan Syaraf Tiruan (JST)
Jaringan Syaraf Tiruan (JST) merupakan penjabaran fungsi otak manusia
(biologycal neuron) dalam bentuk fungsi matematika yang akan menjalankan
proses perhitungan secara paralel (Lippman, 1998). Menurut Kusumadewi
(2003), JST merupakan salah satu representasi buatan dari otak manusia yang
selalu mencoba untuk mensimulasikan proses pembelajaran pada otak
manusia tersebut.
JST pada dasarnya tersusun dari beberapa lapisan noda, yaitu input layer
(lapisan masukan), hidden layer (lapisan tersembunyi) dan output layer
(lapisan keluaran). Noda atau unit yang terhubung dari input layer ke hidden
layer atau dari layer satu ke layer yang lain dihubungkan dengan sinapsis
yang direpresentasikan dengan nilai pembobot yang diperoleh pada proses
pembelajaran.
Salah satu metode pembelajaran JST adalah backpropagation. Algoritma
backpropagation menggunakan error output untuk mengubah nilai
pembobotnya dalam arah mundur (backward). Untuk mendapatkan error
output, tahap perambatan maju (forward propagation) harus dikerjakan
terlebih dahulu (Kusumadewi, 2003).
Gambar 2 Struktur JST Backpropagation.
Algoritma pelatihan backpropagation menurut Fu (1994) adalah sebagai
berikut: Xi
Xn
Vij Zij Yk
Wjk
1. Inisialisasi pembobot (weight)
Mula-mula pembobot dipilih secara acak, kemudian setiap sinyal input
diberikan ke dalam noda pada input layer, lalu sistem akan mengirim
sinyal ke noda pada hidden layer.
2. Perhitungan nilai aktivasi
Setiap noda pada hidden layer dihitung nilai net input-nya dengan cara
menjumlahkan seluruh hasil perkalian antara noda input (Xi) dengan
pembobotnya (Vij), sebagaimana dalam persamaan berikut:
∑
= = n i XiVij Zij 1 (1)Jika setiap noda pada lapisan ini telah menerima nilai net input, langkah
selanjutnya adalah memasukkan nilai net input pada setiap noda ke dalam
fungsi aktivasi (fungsi sigmoid) berikut:
) ( exp 1 1 )
(Zij Zij
f −σ
+
= (2)
dengan σ : konstanta fungsi sigmoid.
Zj = f(Zij) (3)
∑ + = − ( ) exp 1 1 ZjWjk k
Y σ (4)
3. Perbaikan nilai pembobot
Nilai output dari setiap noda pada output layer hasil perhitungan pada
jaringan dibandingkan dengan nilai target yang diberikan dengan
persamaan jumlah kuadrat galat, seperti dalam persamaan:
∑
− = in k k k Y TE ( )2
2 1
(5)
dengan Tk = nilai target yang diberikan dalam pembelajaran JST
Yk = output dari hasil perhitungan pada jaringan
Pada setiap lapisan dilakukan perubahan pembobot dengan menggunakan
aturan delta rule. Perubahan pembobot dari hidden layer ke output layer
sesuai dengan persamaan:
ΔWjk = αδk Zj (6)
ΔWjk = perubahan nilai pembobot Wij α = laju pembelajaran
δk = galat output ke k
Zj = fungsi sigmoid
Perubahan pembobot dari hidden layer ke input layer sesuai dengan
persamaan:
ΔVij = αδj Xi (7)
Sehingga nilai perbaikan pembobot dapat dibuat dalam persamaan berikut:
Wjk (baru) = Wjk (lama) + ΔWjk (8)
Vij (baru) = Vij (lama) + ΔVij (9)
Nilai laju pembelajaran harus dipilih antara 0–0,9. laju pembelajaran
menentukan kecepatan pelatihan sampai sitem mencapai keadaan optimal,
jika nilainya besar akan membuat jaringan melompati nilai minimum
lokalnya dan akan berosilasi sehingga tidak mencapai konvergensi.
Sebaliknya jika nilainya kecil menyebabkan jaringan terjebak dalam
minimum lokal dan memerlukan waktu yang lama selama proses training.
Untuk menghindari keadaan tersebut ditambahkan suatu konstanta
momentum antara 0–0,9 pada sistem tersebut, dengan demikian laju
pelatihan dapat ditingkatkan sehingga osilasi pada sistem dapat
diminimumkan. Perubahan nilai pembobot setelah dilakukan penambahan
konstanta momentum sesuai dengan persamaan berikut:
ΔWjk (baru) = αδk Zj + βΔWjk (lama) (10) ΔVij (baru) = αδj Xi+ βΔVij (lama) (11)
dengan β adalah konstanta momentum.
4. Pengulangan
Keseluruhan proses diatas dilakukan pada setiap contoh dan sekian
pengulangan sampai sistem mencapai keadaan optimum. Pengulangan
tersebut mencakup pemberian contoh pasangan input dan output,
perhitungan nilai aktivasi dan perubahan nilai pembobot (weight).
Setelah JST terlatih memecahkan suatu masalah, kemudian harus
dilakukan validasi yang merupakan proses pengujian kinerja jaringan terhadap
dilakukan dengan memasukkan suatu set contoh input-output yang hampir
sama dengan contoh set input-output yang diberikan selama proses
pembelajaran.
JST merupakan metode identifikasi yang tepat diaplikasikan untuk
sistem yang kompleks seperti sistem dinamik hubungan antara lingkungan dan
tanaman. Di bidang teknologi greenhouse, JST telah dikembangkan antara lain
untuk memprediksi radiasi matahari (Coelho et.al., 2002), untuk optimisasi
pemberian air dan unsur hara pada pertumbuhan tanaman dalam rumah kaca
(Arif, et.al., 2006) dan model pertumbuhan tanaman (Tamrin, et.al., 2005).
2.4Teknik Optimisasi dengan Algoritma Genetika (AG)
Algoritma Genetika (AG) adalah suatu teknik pencarian dan optimisasi
stokastik (melibatkan probabilitas) dengan cara kerja meniru proses evolusi
dan perubahan genetik pada struktur kromosom mahluk hidup (Goldberg,
1989; Holland 1975; Winston, 1992; Glover 1989; 1990; Kirkpatrick, 1982;
Kirkpatrick dan Ryan, 1991). Salah satu kelebihan AG adalah relatif
sederhana karena mampu untuk belajar dan beradaptasi, yaitu hanya
memerlukan informasi tentang struktur kromosom (individu) dan bentuk
fungsi fitness dari permasalahan yang dihadapi kemudian mencari sendiri
solusi terbaik untuk permasalahan yang dihadapi (Yandra dan Hermawan,
2000). Goldberg (1989) menyebutkan empat perbedaan AG dengan teknik
pencarian dan optimasi konvensional, yaitu:
1. AG bekerja pada sekumpulan calon solusi yang telah dikodekan bukan
pada solusi itu sendiri.
2. AG melakukan pencarian nilai optimum pada sekumpulan calon solusi
secara paralel (bersifat parallel serach atau population-based search).
3. AG secara langsung memanfaatkan fungsi tujuan atau fungsi fitness,
bukan fungsi turunan.
4. AG menggunakan aturan transisi kemungkinan (probabilistik), bukan
aturan pasti (deterministik).
Operator-operator AG sederhana yang terdiri dari proses seleksi, dan
baik pada masalah sederhana. Proses seleksi adalah proses pemilihan beberapa
kromosom untuk dijadikan kromosom induk bagi generasi berikutnya. Proses
seleksi menggambarkan aspek yang sangat penting dalam AG, yaitu
memperoleh kromosom-kromosom dengan tingkat kelayakan tinggi.
Kromosom-kromosom ini memiliki kesempatan yang lebih besar untuk dipilih
dan diproduksi di dalam populasi generasi berikutnya. Besarnya ukuran slot
adalah sama antara rasio nilai fitness (kelayakan) suatu kromosom dengan
total nilai fitness semua kromosom (Goldberg, 1989).
Reproduksi adalah suatu proses pembentukan individu baru melalui
proses crossover dan mutasi. Crossover (penyilangan) adalah penyilangan
antara individu-individu yang terpilih menjadi individu yang baru.
Penyilangan ini bekerja pada sepasang kromosom induk untuk menghasilkan
dua kromosom anak dengan menukarkan beberapa gen yang dimiliki
masing-masing kromosom induk. Tingkat penyilangan atau peluang penyilangan
adalah rasio antara jumlah kromosom yang diharapkan mengalami
penyilangan dalam setiap generasi dengan jumlah kromosom total dalam
populasi. Tingkat penyilangan yang tinggi menyebabkan semakin besarnya
kemungkinan AG mengekplorasi ruang pencarian sekaligus mempercepat
ditemukannya solusi optimum. Penentuan peluang penyilangan yang tepat
sangat tergantung pada permasalahan yang dihadapi.
Beberapa metode penyilangan yang dapat dilakukan antara lain metode
PMX (partially mapped crossover), metode OX (order crossover) dan metode
modifikasi. Metode modifikasi merupakan modifikasi dari metode crossover
yang umum, yaitu bahwa jika diketahui satu batas crossover maka anak
(offspring) yang dihasilkan bagian kiri berisi penggal gen dari induknya
sendiri (parent) sampai batas crossover, sedangkan bagian kanan tidak dapat
semata-mata mengambil penggal bagian kanan dari induknya yang lain, tetapi
mengambil gen dari induk yang lain tersebut secara berurutan yang tidak sama
dengan penggal gen yang sudah ada pada offspring.
Proses mutasi merupakan proses bergantinya gen atau kromosom induk
menentukan keragaman individu yang didapatkan sehingga dapat terhindar
dari maksimum atau minimum lokal.
Di bidang teknologi greenhouse, metode AG makin banyak digunakan
sebagaimana dikemukakan oleh Ursem et.al., (2002). Beberapa contoh
aplikasi AG untuk optimisasi antara lain; optimisasi penjadwalan air irigasi
(Nixon et.al., 2001), optimisasi tata guna lahan (Matthews, 2001),
penjadwalan pemasokan larutan nutrisi pada sistem aeroponik tanaman
kangkung (Zulaedah, 2005), perencanaan golongan pemberian air (Soehadi
III. METODOLOGI
3.1Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 - April 2007 di
greenhouse Pusat Teknologi Pertanian dan Kehutanan, University of Tsukuba,
Jepang. Greenhouse yang digunakan menggunakan konstruksi kaca di
lengkapi alat pemanas otomatis.
Gambar 3 Greenhouse tempat penelitian. 3.2Alat dan Bahan
1) Alat Penelitian
Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Alat pengukur nilai DHL larutan nutrisi dengan satuan mS/cm.
b. A hand refractometer (N-20E, Atago Co., Ltd., Tokyo, Japan) untuk
mengukur total padatan terlarut buah tomat dengan satuan % brix.
c. Light meter untuk mengukur intensitas cahaya buatan yang diberikan
dengan satuan µmol.
d. Timbangan digital untuk mengukur berat buah tomat dengan satuan g.
e. Jangka sorong untuk mengukur diameter buah tomat dengan satuan
cm.
2) Bahan Penelitian
a. Tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill) kultivar ”Money
Maker”
b. Rockwool cubes 125 cm3 (125 cm3, Nittobo Co., Ltd., Japan).
c. Tray semai untuk penyemaian.
d. Larutan nutrisi yang digunakan adalah Otsuka-B nutrient solution.
Larutan ini mengandung NH4+, 20; NO33-, 210; PO43-, 93; K+, 377;
Ca2+, 219; Mg2+, 80; Mn2+, 1.0; B-, 1.0; Fe3+, 2.9; Cu2+, 0.02; Zn2+,
0.04; and Mo+, 0.02 ppm.
3.3Tahapan Penelitian
1) Desain perlakuan dalam sistem hidroponik
Sistem hidroponik yang digunakan adalah Nutrient Film Tehnique
(NFT) dimana larutan nutrisi dialirkan secara sirkulasi dengan
menggunakan pompa seperti terlihat pada Gambar 4. Ada 2 sistem NFT
yang digunakan untuk 2 nilai DHL larutan nutrisi yang berbeda.
Gambar 4 Layout sistem NFT yang digunakan.
Tangki
Larutan Nutrisi Lampu
Adapun detail perlakuan terhadap tanaman adalah sebagai berikut:
a. Tahap pertumbuhan tanaman dibagi menjadi dua, yaitu fase vegetatif
dan fase generatif. Pada fase vegetatif, pada HST (Hari Setelah
Tanam) ke-1 sampai HST ke-22, tanaman fokus dalam pembentukan
batang, akar dan daun sehingga pada fase ini nilai DHL larutan nutrisi
yang digunakan sama sebesar 1,2 mS/cm.
b. Pada fase generatif yang terjadi pada HST ke-23 sampai ke-121,
tanaman fokus pada pembentukan bunga dan buah, sehingga nilai
DHL larutan nutrisi diberikan berbeda untuk mengetahui respon buah
tomat yang akan dihasilkan.
c. Untuk mempermudah pelaksanaan, fase generatif ini dibagi menjadi
tiga fase yaitu fase pembungaan (HST ke-23 sampai ke-46), fase
pembuahan (HST 47 sampai 96) dan fase pemanenan (HST
ke-97 sampai ke-121) sehingga pada masing – masing fase tersebut nilai
DHL larutan nutrisi diberikan berbeda dan optimisasi akan dilakukan
terhadap masing – masing fase tersebut.
d. Nilai DHL larutan nutrisi pada masing – masing fase tersebut terdiri
dari dua nilai yang berbeda, yaitu nilai DHL larutan nutrisi rendah dan
tinggi. Nilai DHL larutan nutrisi rendah dan tinggi ini berdasarkan
penelitian sebelumnya oleh Saito et.al., 2006. Adapun nilai DHL
larutan nutrisi rendah berkisar antara 1,2-2,4 mS/cm dan nilai DHL
larutan nutrisi tinggi berkisar antara 8,0-10,2 mS/cm.
e. Cara pembuatan DHL larutan nutrisi yang rendah dan tinggi hampir
sama. Sebelumnya larutan nutrisi Otsuka-B nutrient solution dibuat
menjadi larutan pekat dan di simpan dalam tangki tersendiri. Untuk
membuat DHL larutan nutrisi rendah dan tinggi, air murni yang akan
ditambahkan larutan nutrisi pekat diukur nilai DHL-nya, kemudian
ditambahkan larutan nutrisi pekat sampai dengan nilai DHL larutan
nutrisi yang dikehendaki. Untuk pembuatan nilai DHL larutan nutrisi
yang tinggi ditambahkan larutan pekat ± 5000 ml sampai nilai DHL
nutrisi rendah ditambahkan larutan pekat ± 1200 ml sampai nilai DHL
larutan nutrisi berkisar 2 mS/cm.
f. Setiap hari nilai DHL larutan nutrisi tersebut di monitor secara manual,
setelah seminggu kemudian, untuk nilai DHL larutan nutrisi rendah
ditambahkan larutan nutrisi pekat sedangkan nilai DHL larutan nutrisi
tinggi selain ditambahkan larutan nutrisi pekat juga ditambahkan NaCl
sampai nilai DHL larutan nutrisi yang dikehendaki.
g. Jarak tanam yang tanam yang digunakan adalah jarak tanam 10 cm
(jarak tanam rendah) dan 25 cm (jarak tanam tinggi).
h. Pada masing-masing sistem NFT dipasang cahaya buatan pada sisi
ujung NFT. Cahaya buatan ini dinyalakan mulai jam 23.00 sampai jam
07.00 mulai tanaman berumur 23 HST sampai pemanenan selesai (121
HST). Dengan cahaya buatan ini, tanaman akan memperoleh cahaya
yang berbeda tergantung jarak dengan sumber cahaya tersebut.
i. Jumlah tanaman tomat yang digunakan sebanyak 48 tanaman setiap
sistem NFT, sehingga total tanaman adalah 96 tanaman. Adapun
rinciannya adalah 64 tanaman dengan jarak tanam 10 cm dan 32
tanaman dengan jarak tanam 25 cm. Tetapi pada proses budidaya, satu
tanaman dengan jarak 10 cm mengalami kegagalan tanam.
2) Budidaya tanaman tomat dengan sistem hidroponik Tahapan budidaya tanaman tomat terdiri dari:
a. Penaburan benih (sowing) yang dilakukan pada tanggal 7 November
2006
b. Pindah tanam (transplanting) ke dalam rockwool cubes yang telah
disiapkan pada tanggal 15 November 2006
c. Pindah tanam ke dalam greenhouse pada tanggal 21 Desember 2006.
d. Pembungaan pertama (anthesis) terjadi pada tanggal 12 Januari 2007
(23 HST).
e. Pada penelitian ini, setiap tanaman hanya dimungkinkan memiliki satu
tangkai buah. Jumlah buah pada setiap tangkai bervariasi, dengan
kisaran 7-14 buah/tangkai. Sedangkan tangkai kedua dan selanjutnya
digunakan relatif lebih pendek dari biasanya dan untuk mempermudah
pengontrolan terhadap buah.
f. Pemanenan mulai dilakukan pada tanggal 27 Maret 2007 (97 HST)
secara bertahap. Buah tomat yang dipanen kemudian dilakukan
analisis. Proses pemanenan ini berlangsung selama 25 hari sampai
tanggal 20 April 2007 (121 HST).
3) Analisis Buah Tomat hasil budidaya
Buah tomat yang telah dipanen diukur berat, diameter dan total
padatan terlarut untuk masing-masing tanaman. Buah dipanen secara
bertahap secara visual dengan melihat warna buah. Apabila buah telah
berwarna merah kekuning-kuningan maka buah siap dipanen. Buah yang
telah dipanen dikelompokkan berdasarkan nomor tanaman dan perlakuan
yang diberikan.
Setelah itu, dilakukan analisis terhadap pengaruh perlakuan nilai
DHL larutan nutrisi dan jarak tanam terhadap jumlah total padatan terlarut,
berat dan diameter buah tomat yang dihasilkan.
4) Pengembangan Model Jaringan Syaraf Tiruan (JST)
Model JST ini digunakan sebagai model black-box non-linear.
Pembelajaran yang digunakan adalah backpropagation dengan multiplayer
networks. Pembejaran ini merupakan pembelajaran yang paling populer
(Nugroho, 2003). Metode pembelajaran ini terdiri dari dua prosedur, yaitu
a) feed-forward dan b) back propagation weight training. Sedangkan fungsi
aktivasi yang digunakan adalah fungsi sigmoid (Persamaan 2). Fungsi ini
mempunyai sejarah yang panjang dalam aplikasi JST (Kros, et al., 2006).
Model yang dikembangkan terdiri dari 3 layer, yaitu input layer,
hidden layer dan output layer. Input layer yang digunakan terdiri dari 5
noda, yaitu intensitas cahaya yang diterima masing-masing tanaman
(µmol), jarak tanam (cm), DHL1 (nilai DHL larutan nutrisi pada fase
pembungaan (mS/cm)), DHL2 (nilai DHL larutan nutrisi pada fase
pembuahan (mS/cm)) dan DHL3 (nilai DHL larutan nutrisi pada fase
total padatan terlarut rata–rata (%) buah tomat dan berat rata-rata (g) buah
[image:33.612.77.548.125.738.2]tomat. Detail model JST yang dikembangkan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Model JST yang dikembangkan.
Pada proses pembelajaran digunakan 5 fungsi error yang berbeda,
yaitu: Standard Error of Prediction (SEP), koefisien determinasi (R2),
Average Percentage Deviation (APD), Mean Absolute Error (MAE) dan
Root Mean Square Error (RMSE). Persamaan fungsi error tersebut
diberikan sebagai fungsi berikut:
∑
=−
−
=
n in
Yp
Ya
SEP
1 21
)
(
(12)⎥
⎥
⎥
⎥
⎦
⎤
⎢
⎢
⎢
⎢
⎣
⎡
−
−
−
=
∑
∑
= = n i n iYa
Yp
Ya
Yp
R
1 2 2 1 2)
(
)
(
1
(13)Berat (g) Jarak tanam (cm)
Intensitas cahaya (µmol)
Total Padatan Terlarut (%) DHL1 (mS/cm)
DHL2 (mS/cm)
DHL3 (mS/cm)
Input layer Hidden layer Output layer
∑
=⎟
⎠
⎞
⎜
⎝
⎛
−
=
n iYa
Yp
Ya
n
APD
1 2100
(14)∑
=−
=
n iYa
Yp
n
MAE
11
(15)(
)
∑
=−
=
n iYa
Yp
n
RMSE
1 21
(16)Dimana Ya adalah nilai aktual dari pengukuran, Yp adalah nilai prediksi oleh JST, n adalah jumlah data dan Ya adalah nilai rata-rata aktual pengukuran.
5) Pengembangan Model Algoritma Genetika (AG)
Model AG yang dikembangkan bertujuan untuk mencari nilai DHL
larutan nutrisi yang optimum pada fase pembungaan, pembuahan dan
pemanenan dengan tujuan maksimisasi total padatan terlarut (%) dan berat
buah tomat.
Sebelum mengembangkan model AG, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam proses optimisasi dengan AG ini, yaitu:
1. Pendefinisian individu dalam populasi.
Sebelum melakukan optimisasi, sebuah individu dalam populasi harus
didefinisikan. Dalam kasus ini, ada 3 parameter yang akan dioptimisasi
sehingga dalam satu individu ini mengandung 3 parameter. Individu ini
akan dikodekan dalam 6 bit binary string seperti contoh berikut ini:
Individu = DHL1, DHL2, DHL3
100100, 001001, 001100.
2. Pendefinisian fungsi fitness
Fungsi fitness merupakan indikator dalam menentukan kualitas individu
yang akan dihasilkan. Seluruh individu dalam populasi akan di evaluasi
kualitas dan performansinya. Solusi optimum pada proses ini adalah
individu dengan nilai fitness tertinggi. Dalam kasus ini, tujuan dari
optimisasi adalah maksimisasi fungsi tujuan maka fungsi fitness yang
3. Operator Algoritma Genetika (AG)
Operator AG yang dimaksud adalah penyilangan dan mutasi.
Penyilangan antara dua individu induk akan dilakukan dengan satu titik
pemotongan pada tiap-tiap parameter. Sedangkan mutasi akan dilakukan
dengan beberapa macam peluang mutasi dengan tujuan untuk
meningkatkan keragaman individu dalam populasi dan untuk
menghindari optimum lokal.
Sedangkan prosedur AG melalui tahapan sebagai berikut:
1. Inisialisasi individu awal secara acak.
2. Penyilangan (crossover) berdasarkan peluang penyilangan yang
diinginkan
3. Mutasi berdasarkan peluang mutasi yang diinginkan
4. Perhitungan Fungsi Fitness
5. Seleksi berdasarkan peluang seleksi
6. Elitism (pengurutan)
7. Pengulangan (iterasi) pada tahap kedua sampai kondisi konvergen
Gambar 6 Prosedur optimisasi menggunakan Algoritma Genetika.
individu
Parameter 3 Parameter 2
Parameter 1
1 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0
1 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 0 0 1 0
POPULASI AWAL
Fungsi Fitness
Parameter 3 Parameter 2
Parameter 1
0 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 0 0 0
1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 0
SELEKSI
Baik
Buruk
0 1 0
CROSSOVER
0 0 0
0 1 1 0 1 1
Titik Potong Induk
0 1 0 0 1 1
0 1 1 0 0 0
Anak 0 1 1
MUTASI
0 0 0 Induk
Anak 0 1 1 0 1 0
CUKUP ?
OPTIMUM
YA
6) Optimisasi nilai DHL larutan nutrisi
Fungsi tujuan dari model AG ini adalah maksimisasi total padatan
terlarut rata-rata (%) dan berat rata-rata (g) buah tomat yang dihasilkan.
Untuk kemudahan dalam formulasi persamaan matematika, maka fungsi
tujuan yang dikembangkan merupakan penjumlahan nilai total padatan
terlarut rata–rata dan berat rata–rata buah tomat. Kendala penjumlahan
tersebut adalah satuan yang berbeda, sehingga untuk memberikan bobot
yang sama kedua paramater digunakan sistem normalisasi dengan nilai
antara 0,2 dan 0,8. Persamaan fungsi tujuan tersebut diberikan pada
persamaan 16 berikut ini:
⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛
+
=
∑∑
∑∑
= = = = n j m i ij n j m i ijm
B
m
TPT
m
DHL
DHL
DHL
F
1 1 1 1 3 2 11
)
,
,
(
(16)Fungsi tujuan: maksimisasi F(DHL1, DHL2, DHL3)
Fungsi batas: 1.4 ≤ DHL1≤ 9.6; 2.2 ≤ DHL2≤ 10.2; 2.1≤ DHL3≤ 9.7;
Dimana:
F(DHL1, DHL2, DHL3) : fungsi dari konsentrasi larutan nutrisi;
TPTij : nilai total padatan terlarut (% brix) buah tomat
Bij: berat buah tomat (g)
m : 48, jumlah tanaman pada masing-masing perlakuan
n : 2, jumlah perlakuan
DHL1 : nilai DHL larutan nutrisi pada fase pembungaan (mS/cm);
DHL2 : nilai DHL larutan nutrisi pada fase pembuahan (mS/cm);
Gambar 7 Tahapan penelitian. Mulai
Rancangan perlakuan pada budidaya tanaman tomat yang meliputi:
a. Persiapan pemberian nilai DHL larutan nutrisi
b. Pengaturan jarak tanam c. Pemberian cahaya buatan
Proses budidaya tanaman tomat yang meliputi:
a.Penaburan benih b.Pindah tanam c.Perawatan tanaman d.Pemanenan
Analisis buah tomat hasil pemanenan yang meliputi:
a)Pengurukuran nilai total padatan terlarut
b)Diameter buah c)Berat buah
Pengembangan model JST dan AG
Optimisasi nilai DHL larutan nutrisi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Nilai DHL Larutan Nutrisi terhadap Buah Tomat
Parameter yang diamati sebagai penilaian pengaruh nilai DHL larutan
nutrisi terhadap buah tomat meliputi nilai Total Padatan Terlarut (TPT) (%),
berat (g) dan diameter buah (cm). Nilai TPT sebagai indikator kualitas buah
tomat sedangkan bobot dan diameter buah sebagai indikator total produksi
buah tomat. Semakin tinggi nilai TPT maka semakin bagus kualitasnya, dan
semakin berat dan besar diameter buah maka semakin besar pula total
produksi yang dicapai.
Pengaruh nilai DHL larutan nutrisi pada nilai TPT dapat dilihat pada
Gambar 8. Pada gambar tersebut cukup jelas menunjukkan bahwa semakin
tinggi nilai DHL larutan nutrisi akan menghasilkan buah tomat dengan nilai
TPT yang semakin tinggi pula. Hal ini berarti semakin tinggi konsentrasi
larutan nutrisi maka akan dihasilkan buah tomat dengan nilai TPT yang
semakin tinggi.
0 2 4 6 8 10 12
DHL DHL1 DHL2 DHL3 TPT (%)
t (hari)
DHL
(
m
S
/c
m
)
DHL tinggi DHL rendah
8,3%
6,0%
1 22 46 96 121
Gambar 8 Pengaruh nilai DHL larutan nutrisi terhadap nilai TPT buah
tomat.
Peningkatan nilai TPT dalam buah tomat pada konsentrasi larutan nutrisi
tinggi dapat disebabkan terhambatnya penyerapan air (water uptake) oleh akar
[image:39.612.142.499.389.595.2]tomat. Alasan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sanchez,
et.al., (2005) yang menjelaskan bahwa jumlah penyerapan air oleh tanaman
menurun dengan meningkatnya konsentrasi larutan nutrisi. Dengan
menurunnya jumlah air yang masuk kedalam buah tomat akan mengakibatkan
terjadinya akumulasi padatan terlarut didalam buah tomat yang menyebabkan
meningkatnya nilai TPT dalam buah tomat. Menurut Adams (1991),
peningkatan nilai TPT ini akan meningkatkan rasa yang dapat meningkatkan
mutu dan kualitas buah tomat.
Pengaruh nilai DHL larutan nutrisi terhadap berat dan diameter buah
tomat dapat dilihat pada Gambar 9. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa
semakin tinggi nilai DHL larutan nutrisi maka berat dan diameter buah tomat
akan semakin kecil.
0 2 4 6 8 10 12
DHL DHL1 DHL2 DHL3 Berat
(x10 g)
Diameter (cm)
t (hari)
DH
L
(
m
S/
c
m
)
DHL tinggi DHL rendah
1 22 46 96 121 4,34 (x 10 g)
6,81 (x 10 g)
[image:40.612.148.502.320.534.2]4,22 cm 5,05 cm
Gambar 9 Pengaruh nilai DHL larutan nutrisi terhadap berat dan diameter
buah tomat yang dihasilkan.
Menurut Li, et.al., (2001), penurunan berat dan diameter buah ini karena
penurunan aliran air (water transport) didalam buah yang disebabkan oleh
tingginya nilai DHL larutan nutrisi. Saito et.al., (2006) dan Cuartero dan
Munoz (1999) yang menyebutkan bahwa penurunan ukuran buah karena
pengembangan sel di dalam buah tomat karena aliran air didalam buah tomat
berkurang.
Hasil penelitian ini memperkuat penelitian–penelitian sebelumnya (Ehret
dan Ho, 1986; Adams dan Ho, 1989; Adams, 1991; Cuartero dan Munoz,
1999; Sanchez, et.al., 2005; Saito et.al., 2006) tentang pengaruh nilai DHL
larutan nutrisi yang tinggi. Semakin tinggi nilai DHL larutan nutrisi maka
akan dihasilkan buah tomat dengan nilai TPT yang semakin tinggi tetapi akan
menurunkan berat dan diameter buah tomat yang berakibat penurunan total
produksi (yield loss).
Pengaruh Jarak Tanam terhadap buah Tomat yang dihasilkan
Parameter yang digunakan sebagai penilaian pengaruh jarak tanam
terhadap buah tomat yang dihasilkan adalah sama, yaitu nilai TPT, berat dan
diameter buah. Nilai TPT, berat dan diameter rata–rata buah pada jarak tanam
yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Nilai TPT, berat dan diameter rata-rata buah tomat
No Perlakuan nilai
DHL larutan nutrisi
Jarak Tanam
(cm)
Nilai TPT
(%)
Berat (g) Diameter
(cm)
1 Tinggi 10 8,4a 39,43e 4,10
2 Tinggi 25 8,1b 51,26f 4,45
3 Rendah 10 6,0c 65,63g 4,99
4 Rendah 25 6,0d 73,85h 5,22
a,b,c,d
Standard Deviation (SD) masing – masing sebesar 0,35, 0,27 , 0,25 , 0,31 dan Standard Error (SE) sebesar 0,06 , 0,07 , 0,04 , 0,08
e,f,g,h
SD masing-masing sebesar 9,39, 7,49 , 11,64, 12,98 dan SE sebesar 1,61, 1,87, 2,03, 3,24
Pada Tabel 1 diatas memperlihatkan bahwa pada nilai DHL larutan
nutrisi yang tinggi dan jarak tanam 10 cm menghasilkan nilai TPT rata-rata
yang lebih tinggi daripada pada jarak tanam 25 cm, tetapi menghasilkan berat
dan diameter rata-rata buah tomat yang lebih rendah. Peningkatan nilai TPT
rata-rata mencapai 4%, sedangkan peningkatan berat dan diameter rata-rata
mencapai 8% dan 23%.
Pada nilai DHL larutan nutrisi yang rendah, nilai TPT rata-rata adalah
diameter rata-rata pada jarak tanam 10 cm lebih rendah daripada jarak 25 cm.
Penurunan berat dan diameter rata-rata buah tomat mencapai 5% dan 11%.
Dengan semakin kecil jarak tanam dengan luas area yang sama maka
jumlah tanaman akan semakin besar. Menurut Cuartero dan Munoz (1999),
nilai DHL larutan yang tinggi akan menyebabkan water deficit pada daerah
perakaran. Hal ini kemungkinan akan berakibat penyerapan air oleh akar akan
berkurang sehingga mempengaruhi juga aliran air dalam buah. Dengan
berkurangnya penyerapan air oleh akar akan berakibat naiknya nilai TPT dan
juga menurunkan berat dan diameter buah. Penurunan berat dan diameter buah
dengan jarak tanam rendah ini tidak otomatis akan menurunkan total produksi
buah, karena dengan jarak tanam rendah maka jumlah buah yang diperoleh
juga semakin besar.
Identifikasi nilai Total Padatan Terlarut buah Tomat
Data yang didapatkan dibagai menjadi 2 set data, yaitu data pembelajaran
dan data validasi. Data pembelajaran digunakan dalam proses pembelajaran
JST, sedangkan data validasi digunaan untuk uji performansi model JST.
Pemisahan data ini biasa disebut “cross-validation” (Morimoto dan
Hashimoto, 2000). Total data pembelajaran sebanyak 65% data total
sedangkan data validasi sebanyak 35%. Pada proses pembelajaran dan validasi
seluruh variabel di normalisasi dengan nilai antara 1 dan 0 menggunakan nilai
maksimum dan minimum pada masing-masing variabel.
Proses identifikasi nilai Total Padatan Terlarut (TPT) ini dilakukan
sebagai langkah awal untuk mengetahui hubungan antara nilai DHL larutan
nutrisi, jarak tanam dan intensitas cahaya sebagai parameter input dengan nilai
TPT buah tomat sebagai parameter output. Pada proses ini sebanyak 95 set
data digunakan untuk identifikasi (Lamp. 1). Total data ini kemudian dibagi
menjadi dua, yaitu 64 set data untuk proses pembelajaran model (Lamp. 2)
4.3.1 Proses Pembelajaran Model
Pada proses ini digunakan tiga model JST dengan jumlah noda
hidden layer berbeda dengan tujuan mencari model dengan nilai error
yang terkecil. Model 1 digunakan jumlah noda hidden layer 3 (lebih kecil
dari jumlah noda input layer), model 2 dengan jumlah noda hidden layer 5
(sama dengan jumlah noda input layer) dan model 3 dengan jumlah noda
hidden layer 7 (lebih besar jumlah noda input layer). Jumlah pengulangan
yang digunakan adalah 1000 dengan konstanta laju pembelajaran 0,6 dan
konstanta momentum 0,6 untuk semua model.
Hasil pembelajaran terhadap 64 set data menghasilkan nilai error
pada setiap iterasi seperti terlihat pada Gambar 10. Pada gambar terlihat
bahwa model 3 dengan jumlah hidden layer terbanyak menghasilkan nilai
error yang konvergen tercepat dibandingkan dengan model yang lain. Hal
ini berarti jumlah noda hidden layer akan mempengaruhi kinerja proses
pembelajaran JST. Semakin besar jumlah noda hidden layer akan
menghasilkan error yang cepat konvergen, tetapi juga akan menyebabkan
proses pembelajaran semakin lama.
Nilai error masing–masing model pada proses pembelajaran setelah
pengulangan ke-1000 disajikan pada Tabel 2. Pada tabel dapat dilihat
bahwa model 3 memiliki nilai error paling kecil untuk nilai SEP, APD,
MAE dan RMSE, sedangkan nilai R2 terbesar. Hal ini berarti model 3
dengan jumlah noda hidden layer terbanyak merupakan model yang
0.00 0.40 0.80 1.20 1.60 2.00
0 200 400 600 800 1000
Pengulangan
Ni
la
i E
rr
o
r
SEP APD MAE R2 RMSE
A
0.00 0.40 0.80 1.20 1.60 2.00
0 200 400 600 800 1000
Pengulangan
Ni
la
i E
rr
o
r
B
0.00 0.40 0.80 1.20 1.60 2.00
0 200 400 600 800 1000
Pengulangan
N
ilai E
rr
o
r
[image:44.612.111.456.80.664.2]C
Gambar 10 Nilai error masing – masing model pada setiap pengulangan; A:
Tabel 2 Nilai error proses pembelajaran JST pada pengulangan ke-1000
No Model SEP R2 APD (%) MAE RMSE
1 Model 1 0,09 0,93 0,56 0,25 0,31
2 Model 2 0,08 0,95 0,48 0,21 0,28
3 Model 3 0,08 0,95 0,48 0,21 0,28
Nilai SEP untuk semua model berkisar antara 0,07–0,09 yang berarti
bahwa akurasi proses pembelajaran dalam menduga nilai target (nilai
TPT) memiliki tingkat error berkisar 0,07 - 0,09. Nilai R2 lebih dari 0,93
yang mengindikasikan 93% lebih nilai target dapat diterangkan secara
liniear dengan nilai pendugaan. Nilai APD mencapai 0,5% - 0,4% lebih
yang berarti bahwa nilai penyimpangan rata – rata nilai pendugaan
terhadap nilai target mencapai 0,5% lebih. Nilai MAE mencapai 0,2
menerangkan bahwa rata – rata selisih antara nilai pendugaan dan nilai
target mencapai 0,2 secara absolut, sedangkan nilai RMSE mencapai 0,3
menerangkan bahwa rata-rata selisih antara nilai pendugaan dan nilai
target mencapai 0,3.
Dari pengertian beberapa nilai error tersebut menunjukkan bahwa
analisis error dengan persamaan SEP mengindikasikan nilai error yang
terkecil, sehingga persamaan ini sangat tepat digunakan untuk
menentukan nilai error proses pembelajaran.
4.3.2 Proses Validasi Model
Proses validasi model dilakukan terhadap 31 set data yang berbeda
dengan set data pada proses pembelajaran. Hasil validasi masing – masing
model dapat dilihat pada Gambar 11.
Sebagaimana disajikan pada Gambar 11, hasil validasi dengan
berbagai error untuk masing – masing model memperlihatkan perbedaan
hasil yang tidak terlalu signifikan antara model 2 dan model 3. Hal ini
semakin menguatkan bahwa jumlah noda hidden layer yang semakin
5 6 7 8 9 10
5 6 7 8 9 10
Total padatan terlarut hasil pengukuran (%)
Tota l pa da ta n te rl a rut ha s il p re d ik s i (%)
R2 = 0.9017
y = x SEP = 0.1446 APD = 0.9906
MAE = 0.3292 RMSE = 0.3740
A 5 6 7 8 9 10
5 6 7 8 9 10
Total padatan terlarut hasil pengukuran (%)
Tota l pa da ta n te rl a rut ha s il pr e d ik s i ( % )
R2 = 0.9191
y = x SEP = 0.1196 APD = 0.8707
MAE = 0.2914 RMSE = 0.3665
B 5 6 7 8 9 10
5 6 7 8 9 10
Total padatan terlarut hasil pengukuran (%)
Tota l pa da ta n te rl a rut ha s il pr e d ik s i (%)
R2 = 0.9185
y = x SEP = 0.1208 APD = 0.8796
MAE = 0.2915 RMSE = 0.3420
[image:46.612.222.412.83.252.2]C
Gambar 11 Hasil validasi masing – masing model dengan berbagai
Nilai SEP hasil validasi semua model mencapai nilai 0,11 – 0,14
yang mengindikasikan akurasi yang cukup tinggi dalam menduga nilai
target yang belum pernah dipelajari. Tingkat akurasi model yang cukup
tinggi juga dapat dilihat dari nilai R2 yang lebih besar 0,90, APD kurang
dari 1%, MAE berkisar 0,3 dan RMSE berkisar antara 0,34 - 0,37.
Sehingga semua model dapat digunakan untuk menduga nilai TPT buah
tomat.
Identifikasi berat buah Tomat
Proses identifikasi berat buah tomat merupakan satu kesatuan model
dengan identifikasi nilai TPT buah tomat. Proses yang dilakukan dalam
identifikasi ini juga terdiri dari proses pembelajaran dan proses validasi.
Adapun hasil dari kedua proses tersebut dijelaskan pada Butir 4.4.1 dan 4.4.2
berikut ini.
Proses Pembelajaran Model
Adapun hasil dari proses pembelajaran model untuk menduga berat
buah tomat pada pengulangan ke-1000 dapat di lihat pada Tabel 3 berikut ini;
Tabel 3 Nilai error proses pembelajaran JST pada pengulangan ke-1000
No Model SEP R2 APD (%) MAE RMSE
1 Model 1 137,60 0,55 3,78 9,00 11,64
2 Model 2 126,72 0,59 3,53 8,51 11,17
3 Model 3 125,39 0,59 3,45 8,56 11,11
Hasil proses pembelajaran dengan jumlah pengulangan yang sama
menunjukkan hasil yang sangat berbeda dengan proses pembelajaran untuk
menduga nilai TPT buah tomat seperti terlihat pada Tabel 3 di atas. Hasil ini
menunjukkan nilai yang lebih buruk untuk semua model. Secara umum,
meskipun menunjukkan hasil yang kurang bagus, model 3 menunjukkan
hasil yang terbaik daripada kedua model yang lain. Sehingga jumlah noda
hidden layer mempengaruhi kinerja proses pembelajaran.
Analisis dengan persamaan APD menunjukkan nilai yang paling rendah
dari analisis error yang lain. Sehingga persamaan APD ini paling tepat
berkisar antara 3,4–3,7 yang mengindikasikan bahwa nilai penyimpangan
rata – rata nilai pendugaan berat buah tomat terhadap nilai pengukuran berat
buah tomat berkisar antara 3,4–3,7%.
Proses Validasi Model
Adapun hasil validasi dengan 31 set data disajikan pada Gambar 12
berikut ini; 30 40 50 60 70 80 90 100
30 40 50 60 70 80 90 100
Berat buah hasil pengukuran (%)
B er at b u ah h asi l p red iksi ( % )
R2 = 0.5468
y = x SEP = 127.259
APD = 3.5782 MAE =9.2103 RMSE = 11.0974
A 30 40 50 60 70 80 90 100
30 40 50 60 70 80 90 100
Berat buah hasil pengukuran (%)
B e ra t bua h ha s il pr e di k s i
(%) R2 = 0.5811
y = x SEP = 117.383
APD = 3.3492 MAE =8.7592 RMSE = 10.6582
B 30 40 50 60 70 80 90 100
30 40 50 60 70 80 90 100
Berat buah hasil pengukuran (%)
B e ra t bua h h a s il pr e d ik s i ( % )
R2 = 0.6266
y = x SEP = 101.67
APD = 3.0429
MAE =8.0928 RMSE = 9.9191
C
[image:48.612.121.524.195.620.2]-
Gambar 12 Hasil validasi model untuk menduga berat buah tomat.
Hasil validasi juga menunjukkan hasil yang tidak terlalu berbeda dengan
hasil proses pembelajaran. Model 3 dengan jumlah noda hidden layer
terbanyak menunjukkan nilai validitas yang tertinggi dibandingkan model
Analisis error dengan persamaan APD juga menunjukkan nilai yang
terendah dari analisis error yang lain. Sehingga persamaan APD ini paling
tepat digunakan untuk menunjukkan kinerja proses validasi. Nilai APD
model 3 sebesar 3,04% yang mengindikasikan bahwa nilai penyimpangan
rata–rata nilai pendugaan berat buah tomat terhadap nilai pengukuran berat
buah tomat berkisar antara 3,04%. Nilai ini lebih rendah daripada nilai pada
proses pembelajaran, sehingga bisa disimpulkan bahwa model 3 telah
menunjukkan hasil yang terbaik.
Dalam proses optimisasi dengan Algoritma Genetika (AG) akan dipilih
satu model untuk mempersingkat dan mempermudah proses optimisasi. Dari
ketiga model yang dikembangkan, model 3 memiliki tingkat akurasi lebih
baik dari kedua model yang lain, sehingga model 3 ini akan dipilih untuk
digunakan dalam proses optimisasi.
Hasil dari pengembangan model JST ini adalah nilai pembobot (weight)
yang menghubungkan antara input layer dengan hidden layer dan hidden
layer dengan output layer. Model 3 dengan 5 noda pada input layer, 7 noda
hidden layer dan 2 noda output layer akan menghasilkan total pembobot
sebesar 49 nilai. Nilai ini merupakan konstanta yang akan digunakan untuk
menduga nilai TPT buah tomat dan berat buah tomat dengan 5 parameter
Tabel 4 Nilai pembobot pada Model 3
No Vij Nilai
Pembobot
No Vij Nilai
Pembobot