• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Sensitivitas Model Swat Terhadap Data Spasial Dengan Resolusi Yang Berbeda (Studi Kasus Sub Das Cisadane Hulu, Jawa Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Sensitivitas Model Swat Terhadap Data Spasial Dengan Resolusi Yang Berbeda (Studi Kasus Sub Das Cisadane Hulu, Jawa Barat)"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

UJI SENSITIVITAS MODEL SWAT TERHADAP

DATA SPASIAL DENGAN RESOLUSI YANG BERBEDA

(STUDI KASUS: SUB-DAS CISADANE HULU, JAWA BARAT)

NURMARANTI ALIM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Uji Sensitivitas Model SWAT

Terhadap Data Spasial Dengan Resolusi Yang Berbeda (Studi Kasus: Sub-DAS Cisadane Hulu, Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Nurmaranti Alim

(4)

RINGKASAN

NURMARANTI ALIM. Uji Sensitivitas Model SWAT Terhadap Data Spasial dengan Resolusi yang Berbeda (Studi Kasus: Sub-DAS Cisadane Hulu, Jawa Barat). Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN, DWI PUTRO TEJO BASKORO dan ENNI DWI WAHJUNIE.

Evaluasi pengelolaan DAS dapat dilakukan secara langsung di lapangan atau dengan memprediksinya menggunakan model. Model hidrologi adalah model matematis yang digunakan untuk mensimulasikan kesetimbangan air dalam suatu daerah aliran

sungai (DAS). Pada umumnya input model menggunakan data spasial yang berbeda.

Resolusi pada peta dasar yang bervariasi misalnya penggunaan peta tanah skala tinjau sedangkan peta penggunaan lahan berskala detail. Membandingkan penggunaaan model

SWAT pada DAS yang sama khususnya dengan input data resolusi spasial yang

berbeda sangat jarang dilakukan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan penggunaan model SWAT pada DAS yang sama akan tetapi dengan dua resolusi spasial yang berbeda kemudian dilakukan analisis uji sensitivitas untuk mengetahui parameter spasial mana yang berpengaruh pada tiap resolusi spasial dalam DAS yang sama. Pengujian ini dilakukan pada dua simulasi waktu yang berbeda yakni simulasi harian dan bulanan untuk masing-masing resolusi spasial, Evaluasi model (kalibrasi dan

validasi) dilakukan dengan melihat nilai determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe efficiency

(NSE) berdasarkan perbandingan hasil debit simulasi dengan debit observasi. Uji

sensitivitas dilakukan dengan menggunakan metode absolute sensitivity. Metode

absolute sensitivity merupakan metode menguji sensitivitas parameter dengan

mengubah (baik menaikkan ataupun menurunkan) nilai database dalam tiap parameter

model SWAT satu persatu sedangkan parameter lain tetap.

Berdasarkan hasil kalibrasi dan validasi untuk kedua resolusi spasial menunjukkan bahwa simulasi data harian cenderung memiliki nilai NSE yang lebih kecil dibandingkan dengan nilai NSE pada simulasi data bulanan. Hasil kalibrasi harian untuk skala 1:100 000 dan 1:250 000 dikategorikan memuaskan dengan masing-masing nilai NSE 0.55 dan 0.54. Sedangkan pada periode kalibrasi bulanan menunjukkan hasil dengan kategori sangat memuaskan. Nilai NSE kalibrasi bulanan untuk skala 1:100 000 dan 1:250 000 masing-masing 0.80 dan 0.82. Terdapat pola yang sama antara kalibrasi harian dan bulanan pada dua resolusi spasial. Pola yang sama tersebut menunjukkan kedekatan antara debit aktual dan debit hasil model.

Sensitivitas parameter dibagi menjadi tiga kategori yaitu sensitif, kurang sensitif dan tidak sensitif. Pembagian kategori tingkat sensitif parameter didasarkan pada seberapa besar parameter dianggap memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

output Terdapat tujuh parameter yang diidentifikasi sebagai parameter yang sensitif terhadap kinerja model pada perbedaan resolusi spasial di Sub-DAS Cisadane Hulu. Parameter sensitif tersebut antara lain CN2, Alpha_BNK, CH_K2, CH_N2, GW_Delay, ESCO, GW_Revap. Sensitivitas parameter tersebut tidak berbeda pada resolusi data

spasial yang berbeda. Hal tersebut dapat disebabkan antara lain karena input iklim dan

kondisi fisik yang sama. Selain itu, karena kedua resolusi spasial peta tanah yang digunakan tidak memiliki banyak perbedaan dari segi informasi atau kedetilan dari peta.

(5)

SUMMARY

NURMARANTI ALIM. Sensitivity analysis of SWAT model to spatial data with different resolutions: A case study of an Cisadane sub-watershed in West Java. Supervised by SURIA DARMA TARIGAN, DWI PUTRO TEJO BASKORO, and ENNI DWI WAHJUNIE.

Evaluation of watershed management may be performed directly in the field or can be predicted by a suitable model. Hydrological model is a mathematical model applied for simulating the water balance of a watershed area. Generally, the model uses some input with different spatial data and similar in resolution; however, performing the SWAT model by using different spatial data and different resolution is still rarely known. This study in hand was to examine the SWAT model onto a watershed area by using two different spatial data resolutions. Furthermore, a sensitivity analysis was undertaken to determine the significantly influencing parameters at each spatial data resolution. This analysis was conducted on two different time simulations, namely daily simulation and monthly simulation at each spatial data resolution. Evaluation of the model (calibration and validation) was assessed based on coefficient of determination

(R2) and Nash-Sutcliffe efficiency (NSE) according to comparison between results of

simulation flow and observation flow. The sensitivity analysis was carried out by using the absolute sensitivity method.

Our result for both spatial data resolutions showed that the NSE value of daily data simulation was higher compared to the that of monthly data simulation. The result of daily calibration for scale of 1:100,000 and 1:250,000 was satisfactory category with NSE value by 0.55 and 0.54; however, the result of monthly calibration for scale of 1:100,000 and 1:250,000 was very satisfactory category with NSE value by 0.80 and 0.82. The both calibrations at two defferent spatial data resolution had a similar pattern, indicating a close relationship between actual flow and modeling flow.

The sensitivity parameter was grouped to be three criterion, namely: sensitive, less sensitive, and no sensitive. The criterion was based on how the parameter considered to have a significant influence on output. We found 7 sensitive parameters identified in the sub-watershed Cisadane by using two different spatial resolutions, namely CN2, Alpha_BNK, CH_K2, CH_N2, GW_Delay, ESCO, and GW_Revap. The sensitive parameters were not different at different spatial data resolution, as a result of a similar climate and biophysical input. Moreover, it was also caused by spatial resolution of both soil maps which did not contain significantly different information.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Tanah

UJI SENSITIVITAS MODEL SWAT TERHADAP

DATA SPASIAL DENGAN RESOLUSI YANG BERBEDA

(STUDI KASUS: SUB-DAS CISADANE HULU, JAWA BARAT)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Karya ilmiah ini disusun guna memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi Ilmu Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan judul penelitian Uji Sensitivitas Model SWAT Terhadap Data Spasial Dengan Resolusi Yang Berbeda (Studi Kasus: Sub-DAS Cisadane Hulu, Jawa Barat).

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc, Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MScAgr dan Ibu Dr Ir Enni Dwi Wahjunie, MSi. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran, arahan dan bimbingan hingga terselesaikannya karya ilmiah ini. Rasa hormat dan terima kasih juga penulis haturkan kepada Bapak Dr Ir Atang Sutandi MSi selaku Ketua Program Studi Ilmu Tanah beserta segenap dosen dan manajemen Program Studi Ilmu Tanah IPB yang telah memberikan ilmu paling berharga selama penulis mengikuti proses

perkuliahan sebagai mahasiswa. Terima kasih yang tak terhingga kepada keluarga

terutama kedua orangtua tersayang, ayahanda Drs Alimuddin R.,MSi dan ibunda Nurnanengsi, serta saudara terkasih Nurfitriana Alim dan Agung Budiman atas doa dan dukungan yang luar biasa kepada penulis. Ungkapan terima kasih kepada kak Sri Malahayati yang senantiasa menjadi sahabat dan rekan diskusi. Terima kasih kepada sahabat di rantau Nirmala Juita, Nur Aida, Mariana Lusia R, Prilly Eka P, Yaya Rasyid, Kurniati, serta rekan-rekan seperjuangan Tanah 2013, atas segala kebersamaannya baik suka dan duka, serta semua pihak yang namanya tidak tercantum dan telah turut andil membantu penulis dalam berbagai hal.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa hasil dari karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran positif yang bersifat membangun dalam mengembangkan karya ini, sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, November 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Daerah Aliran Sungai 4

Model Hidrologi SWAT 5

Analisis Sensitivitas 6

Skala Peta 6

METODOLOGI 9 Lokasi dan Waktu Penelitian 9

Alat dan Bahan Penelitian 9 Tahapan Penelitian 9 Metode evaluasi model terhadap input data resolusi yang berbeda 11

Analisis Data 13

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 17

Sub-DAS Cisadane Hulu 17

Iklim 17

Penggunaan Lahan 19

Satuan Tanah 20

Topografi 24

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 Sub-DAS Cisadane Hulu 28 Simulasi Model 31 Kalibrasi 33 Analisis Pengaruh Perubahan Skala Terhadap Kinerja Model 36

Uji Sensitivitas Terhadap Resolusi Spasial Input 37

Pengaruh Karakteristik Biofisik DAS terhadap sensitivitas parameter 41

Validasi 45

SIMPULAN DAN SARAN 49

Simpulan 49

Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 50

LAMPIRAN 52

(12)

DAFTAR TABEL

1 Skala peta dalam pemetaan tanah dan tujuan penggunaan 7

2 Tingkat Performa Model NSE 12

3 File-file data input dan fungsinya dalam SWAT 13

4 Parameter input model untuk kalibrasi 15

5 Luas wilayah sebaran curah hujan untuk setiap stasiun hujan 17

6 Curah hujan rata-rata wilayah dengan teknik poligon Thiessen 19

7 Penggunaan Lahan sub-DAS Cisadane Hulu Tahun 2010

skala 1:100 000 20

8 Penggunaan Lahan sub-DAS Cisadane Hulu Tahun 2010

skala 1:250 000 20

9 Satuan Peta tanah pada sub-DAS Cisadane Hulu skala 1:100 000 22

10 Satuan Peta tanah pada sub-DAS Cisadane Hulu skala 1:250 000 22

11 Kelas kemiringan lereng sub-DAS Cisadane Hulu skala 1:100 000 24

12 Kelas kemiringan lereng sub-DAS Cisadane Hulu skala 1:250 000 27

13 Luas sub-basin sub-DAS Cisadane Hulu skala 1:100 000 28

14 Luas sub-basin sub-DAS Cisadane Hulu skala 1:250 000 30

15 Parameter model yang digunakan dalam model SWAT 31

16 Parameter Sensitif pada SUFI-2 32

17 Nilai akhir parameter kalibrasi model SWAT 32

18 Nilai evaluasi model setelah kalibrasi 36

19 Kelompok Parameter sub-DAS Cisadane Hulu 1:100 000 38

20 Kelompok Parameter sub-DAS Cisadane Hulu 1:250 000 40

21 Nilai evaluasi model setelah validasi 48

DAFTAR GAMBAR

1 Peta Lokasi Daerah Penelitian 10

2 Tahapan Simulasi model SWAT pada sub-DAS Cisadane Hulu 11

3 Alur Umum Penelitian 16

4 Sebaran Stasiun Iklim menggunakan teknik polygon 18

5 Satuan Peta Tanah skala 1:100 000 21

6 Satuan Peta Tanah skala 1:250 000 23

7 Peta kemiringan lereng skala 1:100 000 25

8 Peta kemiringan lereng skala 1:250 000 26

9 Hasil deliniasi model sub-DAS Cisadane Hulu 29

10 Grafik kalibrasi debit harian model/simulasi terhadap debit harian

observasi pada skala peta 1:100 000 33

11 Grafik kalibrasi debit harian model/simulasi terhadap debit harian

observasi pada skala peta 1:250 000 34

12 Korelasi kalibrasi debit harian model/simulasi terhadap debit observasi

harian skala 1:100 000 (a) dan 1:250 000 (b) 34

13 Grafik kalibrasi debit bulanan model/simulasi terhadap debit observasi

bulanan pada skala peta 1:100 000 35

14 Grafik kalibrasi debit bulanan model/simulasi terhadap debit observasi

(13)

15 Korelasi kalibrasi debit bulanan model/simulasi terhadap debit

observasi bulanan skala 1:100 000 (a) dan 1:250 000 (b) 36

16 Grafik parameter sensitif skala 1:100 000 39

17 Grafik parameter sensitif skala 1:250 000 42

18 Grafik validasi debit harian model/simulasi terhadap debit harian

observasi pada skala peta 1:100 000 45

19 Grafik validasi debit harian model/simulasi terhadap debit harian

observasi pada skala peta 1:250 000 45

20 Korelasi validasi debit harian model/simulasi terhadap debit observasi

harian skala 1:100 000 (a) dan 1:250 000 (b) 46

21 Grafik validasi debit bulanan model/simulasi terhadap debit bulanan

observasi pada skala peta 1:100 000 47

22 Grafik validasi debit bulanan model/simulasi terhadap debit bulanan

observasi pada skala peta 1:250 000 47

23 Korelasi validasi debit bulanan model/ simulasi terhadap debit

observasi bulanan skala 1:100 000 (a) dan 1:250 000 (b) 47

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabulasi data iklim dalam format txt. 53

2 Input parameter iklim (WGN) file stasiun pengamatan Dramaga 54

3 Grafik tingkat sensitivitas parameter skala 1:100 000 55

4 Grafik tingkat sensitivitas parameter skala 1:250 000 60

5 Nilai C, evapotranspirasi aktual dan luas penggunaan lahan dari tiap

sub-basin pada sub-DAS Cisadane Hulu Skala 1:100 000 65

6 Nilai C, evapotranspirasi aktual dan luas penggunaan lahan dari tiap

sub-basin pada sub-DAS Cisadane Hulu Skala 1:250 000 68

7 Peta penggunaan lahan Tahun 2012 untuk Kalibrasi 71

(14)
(15)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi punggung-punggung gunung serta menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak 2010). DAS bagian hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS karena selain fungsinya yang sangat penting yaitu sebagai

daerah tangkapan air (Water Catchment Area) juga adanya keterkaitan biofisik

dengan daerah tengah dan hilir. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air karena setiap terjadi kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dampak yang dapat diakibatkan antara lain adalah terjadinya banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Selain itu, dampak lain berupa terjadinya erosi tanah yang mempengaruhi kesuburan dan produktivitas lahan. Dengan demikian, DAS sebaiknya dikelola dengan tepat, efektif, dan efisien sehingga ekosistem dan lingkungan dapat terjaga keberlangsungan dan keberlanjutannya.

Pengelolaan DAS merupakan proses perencanaan dan aktivitas yang memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik. Pengelolaan secara konseptual terhadap sistem perencanaan meliputi aktivitas pengelolaan sumberdaya termasuk praktek pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya setempat (Asdak 2010). Evaluasi pengelolaan DAS dapat dilakukan secara langsung di lapangan atau

dengan memprediksinya menggunakan model. Menurut Mechram et al. (2012)

pengukuran secara langsung membutuhkan waktu pengamatan yang relatif lama dan memerlukan biaya yang mahal, baik untuk instalasi alat, pengoperasian, maupun pemeliharaan alat. Oleh karena itu, penggunaan model dapat menjadi salah satu pilihan dalam perencanaan pengelolaan.

Model hidrologi adalah model matematis yang digunakan untuk mensimulasikan neraca kesetimbangan air dalam suatu daerah hidrologi (DAS).

Model Soil and Water Assesment Tools (SWAT) merupakan salah satu model

hidrologi yang popular saat ini. Model yang dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold

untuk USDA ARS (United State Departement of Agricultural Research Services)

telah diaplikasikan di berbagai negara. SWAT merupakan model yang memiliki

kompleksitas menengah dan bisa digunakan untuk analisis kontinyu. Neitsch et al.

(2005) mengemukakan bahwa model SWAT mempunyai beberapa keunggulan yaitu dibangun berdasarkan proses yang terjadi dengan menghimpun informasi mengenai iklim, sifat tanah, tanaman, dan pengelolaan lahan yang terdapat dalam DAS dan memungkinkan pengguna untuk mengevaluasi dampak jangka panjang dalam suatu DAS.

Panhalkar (2014) mengemukakan bahwa penggunaan model matematika untuk evaluasi hidrologi DAS adalah tren saat ini. Ekstraksi parameter DAS menggunakan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) di komputer kecepatan tinggi dapat dijadikan sebagai alat dan teknik yang mendukung untuk evaluasi tersebut. Model SWAT telah banyak diaplikasikan di

(16)

2

SWAT di Sub-DAS Gumbasa sangat menggembirakan untuk ditindaklanjuti dalam proses validasi dan simulasi permodelan sumber daya air dan simulasi perubahan penutupan lahan. Selain itu, penelitian Yustika (2012) di DAS Ciliwung Hulu dengan menggunakan model SWAT menunjukkan model SWAT dapat digunakan untuk memprediksi kondisi hidrologi sehingga dapat dipergunakan untuk tahapan lebih lanjut dalam permodelan DAS.

Proses pada model SWAT terdiri dari beberapa tahapan awal antara lain pengumpulan data, pembuatan database dan simulasi model. Tahapan selanjutnya dalam menjalankan model sebelum dilakukan kalibrasi dan validasi adalah melakukan analisis uji sensitivitas. Analisis uji sensitivitas model hidrologi merupakan kunci untuk mengetahui ketidakpastian pada model kuantifikasi

(Xiaomeng et al. 2012). Jika suatu perubahan kecil dalam parameter

menyebabkan perubahan drastis pada output, maka dikatakan bahwa output

tersebut sangat sensitif terhadap nilai parameter. Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa analisis sensitivitas mengacu pada penentuan kontribusi

input individu untuk ketidakpastian dalam output dari model.

Analisis sensitivitas akan ditentukan parameter-parameter input yang

memiliki peran paling berpengaruh terhadap variabilitas output sehingga antara

lain dapat diketahui: 1) parameter input yang penting, 2) parameter yang saling

berinteraksi satu sama lain; dan 3) parameter konstan ataupun yang tidak

signifikan terhadap output. Data input dengan resolusi yang berbeda dapat

berpengaruh terhadap output model sehingga fokus pada parameter yang sensitif

dapat memberikan pemahaman dan perkiraan nilai untuk mengurangi ketidakpastiaan dari model. Dengan demikian, analisis sensitivitas bertujuan untuk mengefisiensikan sistem permodelan yang kompleks baik berupa efisiensi waktu, tenaga, dan biaya dalam penggunaan model.

Perumusan Masalah

SWAT adalah model yang digunakan untuk memprediksi pengaruh jangka panjang pada praktek penggunaan lahan. Model tersebut didasarkan pada kondisi

fisik sehingga membutuhkan data yang detail untuk setiap parameter input nya.

Penggunaan model SWAT untuk daerah tropis terutama Indonesia sering mengalami kendala pada pengumpulan data karena memerlukan jumlah parameter yang banyak. Dalam pengumpulan data, pengguna mengumpulkan data parameter yang dianggap paling berpengaruh terhadap proses hidrologi berdasarkan studi literatur. Akan tetapi data tersebut memberikan pengaruh yang berbeda antar DAS. Perbedaan pengaruh antar DAS dapat terjadi karena kondisi fisik dan geografis dari DAS berbeda satu dengan yang lainnya.

DAS Cisadane Hulu merupakan kawasan yang memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi sehingga perubahan penggunaan lahan banyak terjadi. Perubahan penggunaan lahan mengakibatkan daerah ini makin terdegradasi dimana lahan kiritisnya mencapai 36% dari luas DAS Cisadane (Ridwansyah 2015). Selain itu Sub-DAS Cisadane Hulu memiliki ketersediaan data yang sesuai

untuk input pada permodelan hidrologi sehingga daerah ini dijadikan lokasi

penelitian.

Penggunaan data spasial berdasarkan studi literatur, umumnya

(17)

3

penggunaan lahan berskala detail. Hal ini menjadi salah satu landasan untuk melakukan perbandingan resolusi dua data spasial yang berbeda untuk simulasi model. Pada beberapa penelitian telah membandingkan penggunaan model SWAT pada DAS yang berbeda dan menunjukkan hasil yang memuaskan. Akan tetapi, membandingkan penggunaaan model SWAT pada DAS yang sama khususnya

dengan input data resolusi spasial yang berbeda sangat jarang dilakukan. Oleh

karena itu, pada penelitian ini dilakukan penggunaan model SWAT pada DAS yang sama akan tetapi dengan dua resolusi spasial yang berbeda kemudian dilakukan analisis uji sensitivitas untuk mengetahui parameter mana yang

berpengaruh pada tiap resolusi spasial dalam DAS yang sama. Berdasarkan hal

tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh

skala data input tehadap tingkat sensitivitas model yang dapat mempengaruhi

terhadap input parameter yang berbeda dan apakah ada parameter yang sensitif

akibat perbedaan data dengan resolusi spasial yang berbeda.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengidentifikasi tingkat sensitivitas model terhadap input data dengan

resolusi spasial yang berbeda

2. Untuk mengetahui sensitivitas parameter model terhadap input data dengan

resolusi spasial yang berbeda

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan menjadi tambahan informasi untuk menjalankan model hidrologi SWAT dan pengaplikasiannya dalam simulasi sehingga

mendapatkan output yang diinginkan serta perencanaan dalam pengelolaan DAS

(18)

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Klasifikasi DAS adalah pengkategorian DAS berdasarkan kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah. Daya dukung DAS adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan (PP No. 37 Tahun 2012).

Pengelolaan DAS adalah suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya air dan tanah. Pengelolaan DAS mempunyai arti sebagai pengelolaan dan alokasi sumberdaya alam di daerah aliran sungai termasuk pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan nilai keindahan yang berkaitan dengan sumberdaya alam. Termasuk dalam pengelolaan DAS adalah identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS.

DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali estuaria yang didominasi hutan bakau/gambut. Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut (Asdak 2010).

Daerah hulu suatu sungai merupakan bagian penting karena memiliki fungsi perlindungan terhadap seluruh DAS (Asdak 2010). Adanya fungsi perlindungan tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara hulu dan hilir suatu DAS yang berarti bahwa kegiatan yang dilakukan di hulu selain akan memberikan dampak di tempat dilaksanakannya kegiatan tersebut juga akan berpengaruh terhadap

keadaan di hilir (Sudadi et al.1991).

Model Hidrologi SWAT

Tujuan dari model hidrologi adalah untuk mempelajari siklus air yang ada di

alam dan meramalkan outputnya. Model hidrologi dapat digunakan untuk

(19)

5

dan pengembangan DAS. Hal ini tergantung dari tujuan pembuatan model tersebut. Saat ini sudah banyak model hidrologi yang dibuat untuk berbagai kepentingan. Salah satu cara untuk memodelkan siklus hidrologi adalah dengan pendekatan sistem. Suatu sistem didefinisikan sebagai suatu kesatuan hubungan dari beberapa komponen yang akan membentuk keseluruhan. Siklus hidrologi, misalnya dapat dianggap sebagai suatu sistem yang komponennya berupa hujan (precipitation), penguapan (evaporation), aliran permukaan (run-off) dan fase lainnya dari siklus hidrologi (Indarto 2010).

SWAT merupakan gabungan dari beberapa model yang dikembangkan ARS

dan merupakan pengembangan lebih lanjut dari model SWRRB (Simulator for

Water Resources in Rural Basins). Model lain yang berperan dalam

pengembangan SWAT adalah CREAMS (Chemical, Runoff, and Erosion from

Agriculture Managemen System), GLEAMS (Groundwater Loading Effects on Agriculture Managements System) dan EPIC (Erosion-Productivity Impact Calculator). Soil and Water Assessment Tool yang disingkat SWAT adalah model prediksi untuk skala daerah aliran sungai (DAS) yang dikembangkan untuk memprediksi dampak praktik pengelolaan lahan terhadap air, sedimen dan bahan kimia pertanian yang masuk ke sungai atau badan air pada suatu DAS yang kompleks dengan tanah, penggunaan tanah, dan pengelolaannya yang

bermacam-macam sepanjang waktu yang lama (Neitsch et al. 2011).

SWAT memungkinkan sejumlah proses fisik (physical processes) yang

berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS. Untuk permodelan, suatu DAS dibagi menjadi beberapa sub-DAS atau sub-basin (Arsyad 2010). Simulasi hidrologi suatu DAS dapat dipisahkan ke dalam dua bagian utama, yaitu fase lahan dan fase air. Fase lahan siklus hidrologi mengendalikan jumlah air, sedimen, unsur hara, dan pestisida yang masuk ke dalam saluran utama pada setiap sub-basin. Bagian kedua adalah fase air siklus hidrologi yang didefinisikan sebagai gerakan air, sedimen, dan lainnya melalui jaringan saluran DAS ke tempat keluar (outlet).

Komponen model SWAT mencakup iklim, hidrologi, temperatur tanah, sifat-sifat tanah, pertumbuhan tanaman, hara, pestisida, bakteri dan manajemen lahan. Untuk pemodelan, suatu DAS dibagi menjadi beberapa basin atau sub-DAS. Sub-basin adalah pembagian atau pengelompokan berdasarkan kesamaan penggunaan lahan dan tanah atau sifat lain yang berpengaruh terhadap hidrologi.

Informasi input untuk setiap sub-basin dikelompokkan atau disusun ke dalam

katagori berikut: iklim, unit respon hidrologi (HRUs), daerah basah, air bawah tanah dan saluran utama yang mendrainase sub-basin yang memiliki kombinasi tanaman penutup, tanah, dan pengelolaan yang unik. Untuk mendapatkan

Hydrologic Response Unit (HRU) sebagai unit analisis dilakukan tumpang tindih (overlay) antara peta tanah dengan peta penggunaan lahan. HRU yang terbentuk

selanjutnya dihubungkan dengan data iklim yang telah di-entry menggunakan

format file.pcp dan file.tmp. Simulasi dijalankan setelah periode simulasi

ditentukan. Simulasi hidrologi DAS dengan menggunakan SWAT dapat dibagi

menjadi dua bagian utama (Neitsch et al. 2011).

Mulyana (2012) telah melakukan beberapa uji coba model hidrologi DAS,

akhirnya terpilih model Soil Water Assessment Tool (SWAT). Pelaksanaan

(20)

6

model 0.88. Parameter p-factor menunjukkan nilai 0.86. Model SWAT dapat

diaplikasikan di Sub DAS Cisadane Hulu karena hasil kalibrasi mempunyai nilai

R2 = 0.881 dan setelah validasi R2 = 0.72. Metode pemodelan DAS menggunakan

model SWAT dapat dipergunakan di Indonesia dan mampu menjelaskan hubungan antara hasil air dengan luas hutan dalam suatu DAS. Model SWAT mewakili proses hidrologi DAS yang akurat dan bias menggambarkan limpasan,

ground water, evapotranspirasi, kadar air tanah, dan debit secara rinci.

Kondisi hidrologi di DAS Cisadane Hulu dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan yang tercermin pada sensitifitas nilai kurva aliran terhadap

perbedaan debit dan aliran permukaan. Model SWAT merupakan continuous

model (permodelan periode panjang) dapat mensimulasi pengelolaan DAS Cisadane dengan kategori memuaskan. Kalibrasi model hidrologi SWAT

didapatkan nilai R2 adalah 0.76 dan nilai NSE adalah 0.68 sehingga permodelan

pada sub-DAS Cisadane Hulu termasuk pada kategor memuaskan. Selain itu, hasil permodelan hidrologi SWAT tidak hanya digunakan dalam perencanaan untuk mendapatkan potensi pengembangan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) tetapi juga bias digunakan untuk pengelolaan PLMTH bila sudah beroperasi (Ridwansyah 2015).

Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dianggap sebagai salah satu komponen yang penting

dalam pengembangan model, dan digunakan untuk menguji tingkat variasi output

atau respons model yang timbul akibat ketidakpastian dari faktor-faktor input,

baik secara individu atau dalam kombinasi. Oleh karena itu, analisis sensitivitas

berguna untuk memahami hubungan parameter output dan input dari model

tertentu dalam situasi tertentu. Hasil analisis sensitivitas akan dapat memberikan dasar bagi pengembangan model secara utuh, dan akan menunjukkan aspek prioritas dalam hal perbaikan jika versi lebh lanjut dari model tersebut akan dikembangkan (Baja 2012).

Skala Peta

Skala mengandung arti perbandingan antara jarak pada peta atau fotograf dengan jarak sebenarnya pada permukaan bumi. Nilai skala umumnya dituliskan dalam bentuk angka tanpa dimensi, yang menunjukkan bahwa pengukuran-pengukuran pada peta dan pada permukaan bumi menggunakan unit yang sama. Untuk memudahkan pemahaman tentang skala dalam pemetaan perlu dibuat pembedaan secara umum tentang tingkat-tingkat skala yang biasanya dipakai dalam survey pemetaan. Secara umum peta dapat dikategorikan sebagai peta

berskala kecil (general) dan berskala besar (detail). Cara pembedaan yang

(21)

7

Hal yang sangat penting dalam penerapan skala peta dalam zonasi tata guna lahan adalah tentang tingkat kerincian (detail) informasi yang terkandung di dalamnya. Sebagai contoh, peta dengan skala 1:100 000 dapat dengan mudah ditransformasi ke skala 1:50 000 hanya dengan memperbesar 2 kali (misalnya

dengan fotocopy). Dalam kasus yang demikian, meskipun skala numeriknya telah

berubah namun informasi yang terkandung pada kedua peta tersebut masih tetap sama. Untuk disebut sebagai peta dengan skala 1:50 000, suatu peta bukan hanya diperhatikan dari segi perbandingan jarak atau ukuran benda saja, tetapi juga kerincian informasinya. Dengan kata lain, perbesaran fisik peta sebagaimana disebutkan di atas harus pula dibarengi dengan penambahan informasi sehingga pada tataran kerincian informasi yang dapat diterima untuk peta skala 1:50 000, dengan tingkat akurasi yang ditetapkan. Dengan demikian semakin kecil skala peta, semakin umum informasi yang dikandungnya, demikian pula sebaliknya (Baja 2012). Skala peta dalam pemetaan tanah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Skala peta dalam pemetaan tanah dan tujuan penggunaan

Kelas/

Tingkatan Skala

Luas (ha) per 1

cm2 dalam peta Tujuan/cakupan ruang

Eksplorasi 1:1 000 000

2 500 000 10 000 – 62 500

Perencanaan tingkat nasional, bagian suatu benua

Tinjau 1:250 000 625 Perencanaan regional/propinsi,

pulau besar

Tinjau

mendalam 1:100 000 100

Perencanaan provinsi kecil, kabupaten, atau perencanaan khusus misalnya DAS besar

Semi-detail 1:50 000 25

Perencanaan semi detail

kabupaten, kota besar, DAS, dan Sub-DAS, kawasan tertentu

Detail 1:10 000 1

Perencanaan kawasan

perkotaan, kawasan khusus pesisir, pariwisata, industri dan lain-lain.

Sumber: Baja 2012

Umumnya peta tanah tinjau berskala 1:250 000. Atas dasar tujuan bagi daerah-daerah tertentu dapat disusun peta tanah tinjau berskala lebih kecil (1:500 000) atau lebih besar (1:100 000). Penyusunan dengan skala lebih kecil biasanya dimaksud untuk memperkecil volume atau luas gambar tanpa mengurangi tingkat ketelitiannya. Penyusunan dengan skala lebih besar menunjukkan bahwa pengamatan untuk daerah tersebut cukup dapat dipertanggungjawabkan guna menyusun peta dalam skala yang lebih besar.

Peta tanah tinjau disusun berdasarkan hasil survey di lapangan. Satuan tanah

ditetapkan dari penyidikan profil-profil tanah dan hasil analisa contoh-contoh tanah di laboratorium. Penetapan batas-batas penyebaran satuan peta disusun berdasarkan geomorfologi daerah dan pemboran-pemboran tanah. Pengamatan untuk penyusunan peta tanah tinjau dengan 20-40 pemboran dan lebih dari 2 (dua)

profil/100 km2 (10.00 ha). Peta dasar yang digunakan dalam survey berskala

(22)

8

(23)

9

3 METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di sub-DAS Cisadane Hulu dengan outlet di

Batubelah yang terletak di Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2015 hingga Februari 2016. Lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1) seperangkat

komputer dengan perangkat lunak yang digunakan adalah Arc.GIS 10.1 dan

software Arc.SWAT 2000, Software SWAT CUP SUFI 2; 2) Global Positioning System (GPS).

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu 1) data peta dengan skala 1:100 000; dan 1:250 000 yang meliputi peta jenis tanah diperoleh dari Balai Penelitian Tanah Bogor, peta penggunaan lahan, dan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG) selanjutnya diturunkan

menjadi digital elevation model (DEM) dan kelas kemiringan lahan (slope); 2)

Data curah hujan dan data iklim yang diperoleh dari Stasiun Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dramaga untuk sub-DAS Cisadane Hulu pada periode tahun 2004 sampai 2014 pada lima stasiun hujan (Dramaga, Kracak, Pasir Jaya, Empang, dan Cihideung) dan stasiun iklim yaitu Dramaga dan Citeko;

3) data debit harian untuk outlet Batubelah (periode tahun 2004 sampai 2014)

diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung Cisadane dan Pusat

Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air – Bandung.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahapan. Tahapan pertama yaitu pengumpulan data sekunder. Tahap kedua yaitu menjalankan (simulasi) model SWAT yag terbagi dalam beberapa tahapan tersendiri. Tahapan dalam aplikasi model SWAT dilakukan secara berurutan, dengan terlebih dahulu dilakukan studi

literatur kemudian melakukan persiapan data sebagai input. Tahapan penelitian

secara umum dapat dilihat pada Gambar 2.

Pengumpulan Data Sekunder

Persiapan data berupa data spasial (peta-peta) dan data atribut, diantaranya.:

1. Persiapan Data Spasial

Peta-peta dasar yang memiliki resolusi spasial berbeda yaitu skala 1:100 000; dan 1:250 000 dan meliputi peta jenis tanah, peta penggunaan lahan, dan peta topografi.

- Peta jenis tanah dan penggunaan lahan dikonversi dari format shapefile ke

tipe format TIFF.

- Data DEM diperoleh dari kontur peta RBI skala 1: 25 000 sistem proyeksi

(24)

Gambar 1. Peta Lokasi Daerah Penelitian

(25)

2. Penyiapan Data Iklim

- Membuat tabulasi koordinat stasiun hujan dan iklim yang digunakan dalam

simulasi dengan format text files (.txt) dengan nama pcpfork.

- Membuat tabulasi file harian untuk curah hujan (.pcp); temperatur (.tmp);

kecepatan angin (.wnd); radiasi matahari (.slr); dan kelembaban (.hmd)

semuanya mengikuti format pada dokumen teori SWAT 2009 (Neitsch et al.

2011).

- Membuat file weather generator (.wgn) berdasarkan data iklim dan curah

hujan periode tahun 2004 sampai 2014 (untuk sub-DAS Cisadane Hulu) dan

periode 2008-2013 untuk sub-DAS Ciliwung Hulu.

Metode evaluasi model terhadap input data resolusi yang berbeda

Simulasi SWAT pada sub-DAS Cisadane dilakukan terhadap dua resolusi spasial peta dasar yang masing-masing skala terbentuk dari peta dasar homogen atau sama resolusinya (peta tanah, penggunaan lahan dan peta topografi yang berasal dari DEM) yaitu skala 1:100 000 dan skala 1:250 000. Perlakuan tersebut dilakukan untuk melihat pengaruh resolusi peta dan mengetahui parameter-parameter yang sensitif dalam evaluasi model. Untuk skema tahapan simulasi dapat dilihat pada Gambar 2.

2010-2012 2013- 2014

Gambar 2. Tahapan Simulasi model SWAT pada sub-DAS Cisadane Hulu

Resolusi spasial 1:100 000

oPeta tanah

oPeta Penggunaan Lahan oTopografi (berasal dari

DEM 25 m x 25 m)

Resolusi spasial 1:250 000

oPeta tanah

oPeta Penggunaan Lahan oTopografi (berasal dari

DEM 50 m x 50 m)

Data Iklim 2004-2014 Uji Sensitivitas

Parameter Model

(26)

12

Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE) merupakan suatu model statistik yang menunjukkan besar dari pengaruh hubungan data simulasi dan data observasi. Nilai NSE berkisar antara 0 dan 1, yang mana mendekati 1 menunjukkan bahwa performa dari suatu model yang baik. Model statistik NSE ini yang paling banyak dipakai untuk menunjukkan performa suatu model karena dapat memberikan informasi yang lebih akurat mengenai model. Nash (1970) membagi kriteria nilai statistik untuk NSE pada Tabel 2.

Tabel 2. Tingkat Performa Model NSE

Tingkat Performa NSE

Baik (Sangat Memuaskan) NSE > 0.75

Memuaskan 0.75 >NS > 0.36

Kurang Memuaskan NS < 0.36

Sumber: Nash (1970)

Simulasi Model SWAT

Data atribut yang dimasukkan ke dalam file-file data input model SWAT

yang tersusun dalam format database SWAT disajikan pada Tabel 3. Data input

yang telah disiapkan meliputi:

1. Data tanah yang disiapkan dalam file SOL pada database soil pada penelitian

ini terdiri 5 masukan untuk jenis tanah dan 11 masukan untuk setiap horison

a. Masukan untuk setiap jenis tanah meliputi: 1) SNAM (nama tanah);

2) NLAYERS (jumlah horizon); 3) HYDGRP (grup hidrologi tanah kriteria SCS); 4) SOL_ZMX (kedalaman efektif); dan 5) TEXTURE (tekstur tanah pada semua lapisan tanah).

b. Masukan untuk masing-masing horizon meliputi: 1)SOL_Z (ketebalan

horizon dari permukaan tanah); SOL_BD (bulk density); 3) SOL_AWC

(kapasitas menahan air pada setiap lapisan dengan menggunakan pendekatan tekstur tanah); 4) SOL_K (konduktivitas hidrolik jenuh menggunakan pendekatan tekstur tanah); 5) SOL_CBN (kandungan bahan organic); 6) CLAY (kandungan liat); 7) SILT (kandungan debu); 8) SAND (kandungan pasir tanah); 9) ROCK (kandungan fraksi batuan); 10) albedo tanah; dan 11) K_USLE (nilai erodibilitas tanah)

2. Data iklim berupa data harian yang meliputi curah hujan (mm), temperatur

maksimum dan minimum (0C), radiasi matahari (MJ/m2/hari), kelembaban

udara (%) dan kecepatan angin dalam format dbf.

3. Data penggunaan lahan berupa tutupan lahan dan pemukiman menggunakan

data yang disediakan oleh SWAT dalam file CROP dan URBAN. Perubahan beberapa parameter disesuaikan dengan hasil survei lapang.

4. Sedangkan file FIG, CIO, BSN, SUB, HRU, MGT, GW, dan RTE terbentuk

(27)

Tabel 3. File-file data input dan fungsinya dalam SWAT

No. Nama File Fungsi

1. SOL Data input karakteristik tanah

2. PCP Data curah hujan harian

3. TMP Data temperature maksimum dan minimum

4. SLR Data radiasi matahari

5. HMD Data kelembaban

6. WGN Statistic generator iklim

7. CROP Database penggunaan lahan dan pertumbuhan tanaman

8. URBAN Database daerah pemukiman

9. FIG Mendefinisikan DAS dan parameter-parameternya

10. CIO Menggambarkan jaringan DAS dan mengontrol file

input waktu simulasi

11. BSN Mengontrol proses fisik pada model

12. SUB Mengontrol file input sub-DAS

13. HRU Mengontrol file di tingkat HRU (unit lahan)

14. MGT Data input pengelolaan lahan

15. GW Data input air bawah tanah

16. RTE Data input saluran utama

Sumber: Neitsch et al. 2005

Ada empat tahap yang dilakukan setelah persiapan data telah dilakukan, yaitu: 1. Automatic Watershed Delineation

Pada tahapan ini, merupakan langkah pertama dalam menggunakan SWAT

yaitu dengan membentuk sub-DAS menggunakan program Arc.GIS 10.1 dan

membutuhkan data DEM dan batas DAS sebagai input spasial dan lokasi titik

stasiun AWLR sebagai outlet model.

2. Hydrologic Response Units (HRU)

Tahapan selanjutnya adalah membagi subbasin DAS ke dalam unit respon

hidrologi yang merupakan satuan analisis hidrologi karakteristik tanah

kemiringan lereng, dan penggunaan lahan. HRU diperoleh dari hasil overlay

peta tanah, penggunan lahan, dan peta topografi yang telah terbentuk. 3. Climatic Definition

Pembuatan basis data iklim membutuhkan parameter berdasarkan data iklim meliputi data iklim harian (curah hujan, suhu maksimum dan minimum, radiasi matahari dan kelembaban relatif)

4. SWAT simulation

SWAT siap melakukan simulasi setelah file input telah dihasilkan (proses

penggabungan HRU dengan data iklim selesai). Terdapat beberapa pilihan

pada simulasi model, tergantung dari tujuan penelitian atau simulasi yang akan

dihasilkan. Model SWAT yang telah dijalankan akan menghasilkan output file

yang terpisah untuk subbasin, HRU, dan outlet sungai.

Analisis Data

Analisis data dilakukan pada tiga level data yang terdapat pada file output

(SWAT output file) yang terangkum dalam file HRU, SUB, dan RCH. Informasi

(28)

14

yang keluar (FLOW_OUT m3/dt). Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini

berupa:

1. Analisis Sensitivitas Parameter Model

Analisis sensivitas dilakukan secara otomatis dengan menggunakan aplikasi SWAT-CUP versi 2012 dengan menggunakan prosedur SUFI-2. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui parameter sensitif yang akan digunakan untuk kalibrasi model. Prosedur SUFI-2 dalam penelitian dilakukan sebanyak 500 iterasi untuk masing-masing resolusi spasial.

2. Kalibrasi

Kalibrasi merupakan proses pengujian model dengan tujuan mendapatkan kondisi yang mendekati dengan keadaan di lapangan, dalam penelitian ini

output yang diamati adalah debit. Kalibrasi dilakukan dengan cara membandingkan debit model dengan debit terukur diuji secara statistik menggunakan uji koefisien determinasi dengan menggunakan data debit harian periode 2012. Metode kalibrasi yang digunakan yaitu metode kombinasi. Metode ini merupakan kalibrasi secara otomatis untuk menentukan

kisaran (range) nilai suatu parameter dengan menggunakan metode trial and

error untuk menentukan nilai parameter yang optimal sesuai dengan kondisi lapangan. Metode statistik yang digunakan adalah koefisien efisiensi

Nash-Sutcliffe (ENS) pada persamaan (1) dan koefisien determinasi (R2) pada

persamaan (2). Dengan persamaan ENS sebagai berikut:

=1(�� − ��)²

ENS = 1 ……… (1)

(�� − �)² �

�=1

dimana: ENS = koefisien Nash-Sutcliffe

Os = nilai simulasi model/prediksi

Oa = nilai observasi

O = rata-rata nilai observasi

n = jumlah data

Nilai R2 dapat dikalkulasikan dengan menggunakan rumus :

( Oa O )2– (Oa Os )2

R2 = ……… (2)

( Oa O )2

dimana Oa adalah nilai observasi, O adalah data observasi rata-rata, dan Os

adalah nilai simulasi.Untuk mendapatkan nilai R2 dan NS yang terbaik, maka

dilakukan kalibrasi terhadap beberapa parameter model yang mempengaruhi

besaran output debit dan hasil sedimen. Parameter input model yang mengacu

pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mulyana (2012) di Sub-DAS Cisadane Hulu, Yustika (2013) di Sub-DAS Ciliwung Hulu dan Firdaus

(2014) di Sub-DAS Lengkong, maka dapat ditetapkan parameter input model

(29)

Tabel 4. Parameter input model untuk kalibrasi

No. Parameter Definisi Unit

1. CN2.mgt Bilangan kurva aliran permukaan -

2. ALPHA_BF.gw Faktor alpha aliran dasar hari

3. GW_DELAY.gw Waktu “delay” air bawah tanah hari

4. GWQMN.gw Ketinggian minimum aliran dasar mm

5. ESCO.hru Faktor evaporasi tanah -

6. EPCO.hru Faktor uptake tanaman -

7. CH_N2.rte Nilai manning untuk saluran utama -

8. GW_REVAP.gw Koefisien revap air bawah tanah -

9. CH_K2.rte Hantaran hidrolik saluran utama mm/jam

10. ALPHA_BNK.rte faktor alpha aliran dasar „bank storage‟ -

11. SOL_AWC.sol Kapasitas air yang tersedia pada lapisan tanah mm/mm

12. SOL_K.sol Konduktivitas hidrolik jenuh mm/jam

13. SOL_BD.sol Kelembanan “bulk” densitas -

14. RCHRG_DP.gw fraksi perkolasi perairan dalam -

15. SURLAG.bsn Koefisien lag aliran permukaan hari

16. REVAPMN.gw Ambang batas kedalaman air di akuifer

dangkal untuk “revap” mm

17. GWHT.gw Tinggi air tanah awal m

18 SHALLST.gw Kedalaman permukaan air awal pada akuifer

dangkal

mm

19. DEEPST.gw Kedalaman air awal di akuifer dalam mm

20. GW_SPYLD.gw Spesifik hasil akuifer dangkal m3/m3

21. SOL_ZMX.sol Maksimum perakaran kedalaman profil tanah mm

22. SOL_CRK.sol Crack volume potensi tanah m3/m3

23 SLSUBBSN.hru Rata-rata panjang lereng mm

24. HRU_SLP.hru Rata-rata kemiringan m/m

25. OV_N.hru Nilai manning untuk limpasan -

26. LAT_TTIME.hru Waktu tempuh aliran lateral hari

27. LAT_SED.hru Konsentrasi sedimen di aliran lateral dan aliran air tanah

mg/l

28. SLSOIL .hru Panjang lereng untuk lateral aliran bawah

permukaan

m

3. Uji Sensitivitas Parameter Input

Uji sensivitas dilakukan secara manual dengan menggunakan metode

absolute sensitivity. Metode absolute sensitivity merupakan metode menguji sensitivitas parameter dengan mengubah (baik menaikkan ataupun

menurunkan) nilai database dalam tiap parameter model SWAT satu persatu

sedangkan parameter lain tetap. Hal tersebut dilakukan untuk menguji tingkat sensitivitas dan konsistensi parameter yang sensitif maupun tidak sensitif pada model ini.

4. Validasi

Validasi merupakan proses evaluasi terhadap model untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat ketidakpastian yang dimiliki oleh suatu model dalam

memprediksi proses hidrologi. Proses validasi dilakukan dengan

membandingkan data debit aktual dengan data debit simulasi. Pada penelitian ini, periode data untuk validasi adalah data debit harian periode 2014. Metode statistik yang digunakan dalam melakukan validasi adalah model koefisien

determinasi (R2) dan model Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE).

(30)

16

Adapun tahapan masing-masing kegiatan pada penelitian dapat dapat dilihat pada Gambar 3.

Tahapan Penelitian

Tahap 1

Kegiatan pengumpulan data

Tahap 2 Penggunaan Model

Gambar 3. Alur Umum Penelitian

Pengumpulan Data (Input)

Peta

Topografi Data Debit

Peta Penggunaan

Lahan

Peta Tanah Data Iklim

Survey Lapangan

HRU (Hydrologycal Respone Unit)

Input WGN

Running SWAT

Output

Kalibrasi Uji Sensitivitas

Parameter Model SWAT Data Tanah

Deliniasi DAS

Validasi Batas DAS jaringan

(31)

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Sub-DAS Cisadane Hulu

Penelitian ini dilaksanakan pada sub-DAS Cisadane Hulu yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan sub-DAS ini dikarenakan pada tersedianya data pengukuran yang lengkap sehingga dapat digunakan untuk validasi dan kalibrasi model SWAT. Luas wilayah pada sub-DAS Cisadane Hulu adalah 84 115 ha.

Sub-DAS Cisadane Hulu secara geografis terletak pada 106°28‟53.61”

-106°56‟42.32” BT dan 06°31‟21.54”-06°47‟16.87” LS. Outlet sungai pada

Batubelah terletak pada 106°41‟211”BT dan 06°31‟21”LS. Daerah Aliran Sungai

(DAS) Cisadane yang mencakup daerah mengalir dari gunung salak mengalir melalui kota Bogor hingga kabupaten Tangerang kemudian bermuara di laut Jawa.

Iklim

Iklim merupakan salah satu faktor utama yang secara langsung mempengaruhi proses hidrologi. Iklim tidak bernilai konstan karena terjadinya perubahan menurut ruang dan waktu yang berbeda-beda dari tahun ke tahun dan mengalami fluktuasi dalam jangka waktu yang lama. Unsur-unsur iklim yang sering dipakai adalah curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan energi matahari. Data curah hujan harian selama sepuluh tahun

(periode 2004 – 2014) diperoleh dari empat stasiun di sekitar lokasi penelitian

yaitu Stasiun Cihideung, Pasir Jaya, Kracak, dan Empang, sedangkan data suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan energi matahari selama sepuluh tahun (periode 2004-2014) diperoleh dari Stasiun Dramaga. Sebaran lokasi stasiun iklim menggunakan teknik poligon dapat dilihat pada Gambar 4.

Curah hujan wilayah ditetapkan dengan menggunakan teknik polygon

Thiessen (Thiessen polygon) yaitu dengan membagi daerah menjadi beberapa polygon sebagai wilayah yang terwakili oleh setiap stasiun. Luas wilayah yang terwakili oleh setiap stasiun yang ada di Sub-DAS Cisadane Hulu disajikan pada Tabel 5. Rata-rata curah hujan wilayah di Sub-DAS Cisadane Hulu yang dihitung

dengan menggunakan metode Polygon Thiessen disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5. Luas wilayah sebaran curah hujan untuk setiap stasiun hujan

No. Nama Stasiun Titik Luas

BT LS Ha % DAS

1. Cihideung 106.72 -6.59 12 391 14.731

2. PS. Jaya 106.79 -6.73 22 586 26.851

3. Kracak 106.64 -6.62 41 405 49.224

4. Empang 106.79 -6.61 7 733 9.193

(32)

Gambar 4. Sebaran Stasiun Iklim menggunakan teknik polygon

(33)

19

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt-Ferguson, lokasi penelitian

termasuk dalam tipe iklim A yakni iklim sangat basah dengan nilai Q yaitu rasio antara jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah sebesar 0.067. Perbandingan antara rataan bulan kering (curah hujan bulan <60 mm) dengan rataan bulan basah (curah hujan bulan >100 mm).

Tabel 6. Curah hujan rata-rata wilayah dengan teknik polygon Thieesen

Bulan Tahun

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Januari 335 242 381 177 394 352 461 218 361 493 573 Februari 359 305 337 469 386 332 560 137 470 293 416 Maret 205 234 153 321 457 253 676 178 174 424 318 April 487 169 223 382 494 246 68 302 401 312 494 Mei 311 216 125 339 214 418 637 315 191 470 579 Juni 49 316 106 296 171 254 330 221 55 124 168 Juli 166 171 40 78 102 156 355 204 48 400 126 Agustus 32 185 59 165 227 85 466 62 139 277 385 September 333 193 74 140 251 287 629 191 135 304 50 Oktober 167 238 103 323 436 607 516 177 344 331 253 November 351 239 418 465 671 631 608 282 500 270 631 Desember 352 167 595 531 364 371 228 199 365 365 296

Bulan Kering 2 0 2 1 0 0 0 0 2 0 1

Bulan Basah 10 12 9 10 12 11 11 11 10 12 11

Rataan bulan kering (Xd) 0.73

Q = = = 0.067 Rataan bulan basah (Xw) 10.82

Penggunaan Lahan

(34)

20

Tabel 7. Penggunaan Lahan sub-DAS Cisadane Hulu Tahun 2010 skala 1:100 000

No. Penggunaan Lahan Simbol SWAT * Luas Ha % DAS

1. Kebun Campuran AGRC 30 929 36.77

2. Tubuh Air WATR 351 0.42

3. Pemukiman URMD 4 366 5.19

4. Sawah RICE 15 457 18.38

5. Perkebunan OILP 6 494 7.72

6. Hutan Alam FRSE 3 128 3.72

7. Hutan Lahan Kering FRST 18 501 21.99

8. Semak belukar LBLS 4 019 4.78

9. Tanah Terbuka HAY 208 0.25

10. Ladang AGRL 575 0.68

11. Rawa WETN 86 0.10

Jumlah 84 115 100

*) Simbol SWAT: kode yang digunakan dalam model SWAT

Penggunaan lahan untuk sub-DAS Cisadane Hulu skala 1:250 000 berdasarkan citra satelit tahun 2012 yang digunakan sebagai masukkan untuk kalibrasi terdapat 7 penggunaan lahan dan didominasi oleh kebun campuran dengan luas 31 556 ha atau 37.52% dari luas sub-DAS. Peta penggunaan lahan pada Sub-DAS Cisadane Hulu dapat dilihat pada Lampiran 7 (penggunaan lahan untuk kalibrasi) dan Lampiran 8 (penggunaan lahan untuk validasi) sedangkan

luasan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Penggunaan Lahan sub-DAS Cisadane Hulu Tahun 2010 skala 1:250 000

No. Penggunaan Lahan Simbol SWAT* Luas

Ha % DAS

1. Kebun Campuran AGRC 31 556 37.53

2. Tubuh Air WATR 440 0.52

3. Pemukiman URMD 4 375 5.2

4. Perkebunan OILP 6 469 7.69

5. Sawah RICE 15 482 18.41

6. Semak Belukar LBLS 4 238 5.04

7. Hutan Alam FRSE 21 529 25.6

Jumlah 84 089 100

*) Simbol SWAT: kode yang digunakan dalam model SWAT

Satuan Tanah

(35)
(36)

22

Tabel 9. Satuan Peta Tanah pada sub-DAS Cisadane Hulu Skala 1:100 000

No. Satuan Peta Tanah Simbol SWAT*

Luas

Ha % DAS

1. Typic Troporthents-Typic Fluvaquents TTPT 6 193 7.36

2. Typic Humitropepts THMP 19 555 23.25

3. Asosiasi Humitropepts - Typic Eutropepts ATHE 2 716 3.23

4. Asosiasi Typic Hapludults - Aquic Hapludults ATHH 2 504 2.98

5. Typic Tropopsamments TTPS 7 513 8.93

6. Asosiasi Trapopsamments Andic Humitropepts ATAH 24 120 28.68

7. Kompleks Typic Humitropepts - Lithic

Troporthen KTLT 199 0.24

8. Asosiasi Typic Dystropepts-Typic Paleudults ATDP 2 354 2.80

9. Asosiasi Hapludands - Typic Tropopsamment ATHT 12 934 15.38

10. Typic Dystropepts TDTP 17 0.02

11. Typic Eutropepts TERP 1 526 1.81

12. Aeric Tropaquept ATPQ 1 0.00

13. Andic Humitropepts AHMT 4 483 5.33

Jumlah 84 115 100

Hasil Groundcheck dan klaririfikasi data tanah diperoleh dari disertasi (Ridwansyah 2015) *) Simbol SWAT: kode yang digunakan dalam model SWAT

Pada skala 1:250 000 di sub-DAS Cisadane Hulu dijumpai 12 satuan tanah dan didominasi oleh tanah latosol coklat tua kemerahan dengan luas 16 384 ha atau 19.48% dari luas sub-DAS. Sebaran satuan tanah pada Sub-DAS Cisadane Hulu dapat dilihat pada Gambar 6 dan luas disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Satuan Tanah pada sub-DAS Cisadane Hulu Skala 1:250 000

No. Satuan Peta Tanah Simbol SWAT*

Luas Ha % DAS

1. Asosiasi Aluvial Kelabu & Aluvial Coklat

kekelabuan AAKT 1 424 1.69

2. Latosol Coklat Tua Kemerahan LCTM 16 384 19.48

3. Podsolik Merah PDMK 3 729 4.43

4. Kompleks Regosol Kelabu & Litosol KRKL 7 027 8.36

5. Asosiasi Latosol Coklat & Regosol Kelabu ALCR 15 162 18.03

6. Andosol Coklat Kekuningan ADCK 6 397 7.61

7. Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat AACR 4 461 5.3

8. Asosiasi Latosol Coklat & Latosol Coklat

Kekuningan ALCC 9 521 11.32

9. Litosol Coklat LTSC 11 814 14.05

10. Komp. Lat.Merah Kekuningan, Latosol Coklat merah KLMC 798 0.95

11. Latosol Coklat Kekuningan LTCK 2 213 2.63

12. Asosiasi Latosol Coklat Kemerahan & Latosol

Coklat ALCM 5 158 6.13

Jumlah 84 089 100

(37)
(38)

24

Topografi

Topografi merupakan penampakan wilayah dari suatu daerah, termasuk di dalamnya kemiringan lereng dan panjang lereng yang memiliki pengaruh terhadap siklus hidrologi terutama debit. Pengaruh secara langsung yaitu dapat mempengaruhi jumlah curah hujan yang berubah menjadi aliran permukaan maupun aliran lateral. Secara tidak langsung mempengaruhi proses pembentukan tanah. Jenis tanah mempengaruhi kemampuan menerima dan menyimpan air yang pada akhirnya mempengaruhi aliran permukaan. Peta skala 1:100 000 menggunakan DEM resolusi 25m x 25m sedangkan peta skala 1:250 000 dengan resolusi 50m x 50m. Pada gambar peta topografi tidak terlihat secara visual perbedaan antara skala 1:100 000 dan skala 1:250 000, akan tetapi perbedaan dari dua resolusi tersebut terdapat pada luas dari tiap kelas kemiringan lereng dan dapat dilihat pada Tabel 11 dan Tabel 12. Adapun peta topgrafi masing-masing dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Kelas kemiringan lereng di sub-DAS Cisadane Hulu yang dibentuk secara otomatis oleh SWAT dari DEM 25m x 25m untuk skala 1:100 000 dan digunakan sebagai masukan data model terbagi menjadi 5 kelas dan dibuat sesuai dengan kelas interval yang telah ditetapkan yaitu datar (0-8%), landai (8-15%), agak curam (15-25%), curam (25-40%), dan sangat curam (>40%). Dari hasil klasifikasi menunjukkan bahwa daerah sub-DAS Cisadane Hulu didominasi oleh kelas lereng datar (0-8%) yaitu sekitar 31.99% atau seluas 26 911 ha. Daerah dengan kemiringan sangat curam menempati sekitar 18.16% dari luas daerah atau seluas 15 273 ha. Luasan masing-masing kelas kemiringan lerang disajikan pada

Tabel 11.

Tabel 11. Kelas Kemiringan Lereng sub-DAS Cisadane Hulu Skala 1:100 000

No. Kelas Kemiringan Lereng Luas

Ha % DAS

1. 0-8 % (datar) 26 911 31.99

2. 8-15 % (landai) 14 278 16.97

3. 15-25 % (agak curam) 14 683 17.46

4. 25-40 % (curam) 12 969 15.42

5. >40 % (sangat curam) 15 273 18.16

(39)

Gambar 7. Peta Kemiringan Lereng skala 1:100 000

(40)

Gambar 8. Peta Kemiringan Lereng skala 1:250 000

(41)

27

Kelas kemiringan skala 1:250 000 di sub-DAS Cisadane Hulu digunakan DEM 50m x 50m dan terbentuk secara otomatis oleh model. Dari hasil bentukan model yang terbagi menjadi 5 kelas tersebut didominasi oleh kelas lereng datar dengan luas 26 790 ha atau 31.86% dari luas sub-DAS. Peta kemiringan lereng dapat dilihat pada Gambar 8 sedangkan luasan daerah kelas kemiringan lerang

disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Kelas Kemiringan Lereng sub-DAS Cisadane Hulu Skala 1:250 000

No. Kelas Kemiringan Lereng Luas

Ha % DAS

1. 0-8 % (datar) 26 790 31.86

2. 8-15 % (landai) 17 330 20.61

3. 15-25 % (agak curam) 14 844 17.65

4. 25-40 % (curam) 12 420 14.77

5. >40 % (sangat curam) 12 704 15.11

(42)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sub-DAS Cisadane Hulu

Deliniasi sub-DAS Cisadane Hulu dilakukan secara otomatis oleh model sebagai hasil dari masukkan model meliputi data spasial berupa peta penggunaan lahan, jenis tanah, topografi yang dibentuk dari DEM untuk masing-masing skala yaitu 1:100 000 dan 1:250 000. Deliniasi sub-DAS ini disajikan pada Gambar 9

dengan outlet Batubelah sebagai lokasi pengukuran data debit observasi. Luas

wilayah hasil dari deliniasi DAS oleh model yang terbentuk berbeda dibandingkan

input sub-DAS Cisadane. Hal ini dikarenakan model kurang sempurna memproses area topografi yang datar, persoalan ini dapat diatasi jika menggunakan peta DEM dengan resolusi yang lebih tinggi (Junaedi 2010). Terdapat perbedaan luas antara skala 1:100 000 dan 1:250 000, pada skala 1:100 000 luas wilayah yaitu 84 115 ha sedangkan pada skala 1:250 000 yaitu 84 089 ha. Perbedaan luas dari kedua skala yaitu 26 ha. Perbedaan luas kurang dari 5%, relatif bisa diabaikan untuk permodelan pada rentang waktu harian (Indarto 2010).

Sub-Basin Cisadane Hulu

Kedudukan aliran sungai dapat diklasifikasikan secara sistematik berdasarkan urutan daerah aliran sungai. Setiap aliran sungai yang tidak bercabang disebut sub-DAS (sub-basin) (Asdak 2010). Hasil deliniasi model baik yang menggunakan skala 1:100 000 maupun 1:250 000 membagi daerah penelitian menjadi 37 sub-basin. Walaupun jumlah sub-basin sama, tapi luas masing-masing sub-basin hasil deliniasi kedua skala tersebut berbeda. Luas tiap sub-basin untuk masing-masing skala disajikan pada Tabel 13 dan Tabel 14.

Tabel 13. Luas sub-basin sub-DAS Cisadane Hulu skala 1:100 000

(43)
(44)

30

Tabel 14. Luas sub-basin sub-DAS Cisadane Hulu skala 1:250 000

No. Nama

Standar deviasi dari ketinggian dan lereng akan menurun dengan penurunan resolusi DEM, dan menunjukkan bahwa resolusi DEM yang lebih rendah mengurangi variasi dari ketinggian dan lereng kemudian dapat dikaitkan dengan berkurangnya kerincian dari karakteristik topografi.Untuk delineasi DAS, jumlah Sub-basin tetap tidak berubah ketika resolusi DEM berkisar dari 30 m sampai

300 m (Zhang et al. 2014).

Unit Respon Hidrologi

Unit respon hidrologi (Hydrology Respond Unit) merupakan satuan yang

terbentuk dari analisis hidrologi karakteristik tanah, kemiringan lereng dan

penggunaan lahan. Metode pembentukan HRU yang digunakan yaitu threshold by

percentage dengan threshold masing-masing 0%, 0%, dan 0% untuk jenis tanah,

penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Jumlah HRU yang terbentuk dari kedua

skala tersebut memiliki perbedaan walaupun sub-basin dari kedua skala tersebut sama yaitu sejumlah 37 sub-basin pada masing-masing resolusi spasial. Perbedaan

jumlah HRU yang terbentuk pada skala 1:100 000 dan 1:250 000 masing-masing

sejumlah 2 149 sedangkan 1 453 HRU. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan

data masukan dari tiap simulasi model yang berbeda. Pada skala 1:100 000 karakteristik masukan data lebih spesifik dibandingkan karakteristik pada skala 1:250 000 yang lebih umum rincian data masukan modelnya.

Parameterisasi Model SWAT

Parameter menyatakan ukuran numeris dari karakteristik sistem yang

dimodelkan. Parameter akan mengendalikan input dan output dari sistem (Indarto

(45)

31

Ridwansyah (2015) mengemukakan bahwa parameter yang sensitif terhadap nilai debit adalah CN2, Alpha_BF, GW_Delay, GWQMN, GW_Revap, ESCO, CH_N2 dan CH_K2. Dari dua puluh delapan parameter pada Tabel 3 diidentifikasi lima belas parameter yang digunakan untuk proses kalibrasi dan disajikan pada Tabel 15. Parameter tersebut merupakan parameter yang sensitif terhadap debit aliran di sub-DAS Cisadane.

Tabel 15. Parameter model yang digunakan dalam Model SWAT

No. Parameter Nilai Awal Unit

1. ALPHA_BF.gw 0.39 hari

2. GW_REVAP.gw 0.03 -

3. REVAPMN.gw 600 mm

4. GWHT.gw 5 M

5. GW_SPYLD.gw 0.033 m3/ m3

6. GW_DELAY.gw 15 hari

7. ESCO.hru 0.5 -

8. EPCO.hru 0.2 -

9. LAT_TIME.hru 30 hari

10. LAT_SED.hru 20 mg/l

11. CH_N2.rte 0.03 -

12. CH_K2.rte 150 mm/jam

13. ALP_BNK.rte 0.033 -

14. Surlag.bsn 4 Hari

15. CN2.mgt** 56-92 -

*) Nilai berdasarkan penggunaan lahan dan Kelompok Hidrologi Tanah

Simulasi Model

Parameter yang digunakan dalam proses kalibrasi berbeda antar suatu DAS dengan DAS yang lain karena setiap DAS memiliki karakteristik yang berbeda-beda tentang kondisi iklim, topografi, tanah, penggunaan lahan dan karakteristik hidrologi. Analisis sensitivitas merupakan langkah pertama kalibrasi model karena dengan dilakukan analisis ini maka dapat diketahui metode pengumpulan data yang diperlukan, langkah untuk mengestimasi nilai parameter; dan kepentingan relatif dari berbagai parameter. Analisis sensitivitas dapat mengidentifikasi parameter yang paling berkonstribusi dan menentukan nilai parameter untuk

digunakan dalam proses kalibrasi. Parameter dinilai sensitif apabila nilai P-Value

<0.05 atau nilai t-Stat absolutnya lebih besar dari nilai P-Value (Abbaspour

Gambar

Gambar 3. Tahapan Penelitian
Gambar 4. Sebaran Stasiun Iklim  menggunakan teknik polygon
Tabel 6. Curah hujan rata-rata wilayah dengan teknik polygon Thieesen
Tabel 8. Penggunaan Lahan sub-DAS Cisadane Hulu Tahun 2010 skala 1:250 000
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat kekritisan lahan kawasan Sub DAS Cisadane Hulu bervariasi mulai dari tidak kritis hingga sangat kritis.Analisis tingkat kekritisan lahan dirinci menurut tiga (3)

Dengan menghubungkan nilai kerapatan pengaliran sungai sebagai karakteristik sub-DAS dengan tingkat kemiringan lereng dapat menjadi indikator dari karakteristik batuan,

Model hidrologi yang mencerminkan hubungan antara curah hujan dengan limpasan, secara umum dibedakan menjadi dua pendekatan yaitu konsep lump (lumped) parameter dan

Selain nilai korelasi, terdapat nilai P-Value yang kecil dan menunjukkan dugaan bahwa kelimpahan perifiton tidak dipengaruhi oleh nilai dari kondisi parameter fisika-kimia