PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN POLISULFON
DENGAN PENGISI MIKROBENTONIT SEBAGAI
PENYARING AIR GAMBUT
TESIS
PEVI RIANI
127006004/KIM
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN POLISULFON
DENGAN PENGISI MIKROBENTONIT SEBAGAI
PENYARING AIR GAMBUT
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Dalam Program Studi Ilmu Kimia Pada Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara
Oleh
PEVI RIANI
127006004/KIM
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul Tesis : PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN
POLISULFON DENGAN PENGISI MIKROBENTONIT SEBAGAI PENYARING AIR GAMBUT
Nama Mahasiswa : PEVI RIANI Nomor Pokok : 127006004
Program Studi : MAGISTER (S2) ILMU KIMIA
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D
Ketua Anggota
Prof. Dr. Thamrin, M.Sc
Ketua Program Studi Dekan
Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Dr. Sutarman, M.Sc
Telah diuji pada
Tanggal : 22 Juli 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D
: 1. Prof. Dr. Thamrin, M.Sc
2. Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc
3. Dr. Yugia Muis, MS
PERNYATAAN ORISINALITAS
PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN POLISULFON DENGAN PENGISI MIKROBENTONIT SEBAGAI
PENYARING AIR GAMBUT
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan jelas.
Medan, 22 Juli 2014 Penulis
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya sehingga tesis dengan judul “Preparasi dan Karakterisasi Membran
Polisulfon dengan Pengisi Mikrobentonit Sebagai Penyaring Air Gambut” dapat
diselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Orang tua penulis ayahanda Alm. Ramli dan ibunda Masniar yang selalu mendo’akan, memberikan dukungan dan selalu membuat semangat penulis untuk terus belajar, adik-adik penulis Brigadir Gusva Riani dan suami (Briptu Joni Firmansyah Telaumbanua) dan Briptu Oswar Riani dan suami (Brigadir Gorrahman) serta nenek tercinta Nurbani yang selalu memberikan semangat untuk penulis sehingga terselesaikannya penulisan tesis ini.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof.Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTMH,M.Sc (CTM), SP.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Prof. Dr. Sutarman, M.Sc selaku Dekan FMIPA Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana Ilmu Kimia. Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D dan Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Pascasarjana Ilmu Kimia atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa di Pascasarjana Ilmu Kimia.
Polimer dan Kimia Fisika yang telah banyak memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada sahabat-sahabat terbaik penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tesis ini : Deni Reflianto Manik, Sri Handayani dan Diana Adnanda Nasution. Sahabat dan teman-teman angkatan 2012: Bapak Thomas, Bapak Lumban, Bapak Malemta, Bang Barita, Soni, Bang Nasir, Kak Najla, Kak Mayang, Kak Lia Saragih, Buk Maulidna dan Buk Ratna Kristina. Sahabat dan teman-teman mahasiswa S3 : Bapak Taufik, Bapak Ridwanto, Buk Bina, Kak Nunuk dan teman-teman lainnya. Rekan kerja di Pendidikan Teknologi Kimia Industri (PTKI) Medan: Bapak Ir.H. Mansyur, M.Si, Bapak Hamdan.S.Bintang, ST.MM, Bapak Halomoan Simalango, SE, Buk Farida Hanum, Pak Syarifuddin, Nana Isnaini, Srikumala Tarigan, Sopar Budi Simanjuntak dan Bang Andre Chairun. Bunda Reni selaku Staf Laboratorium Kimia Fisika Universitas Riau, asisten Laboratorium Kimia Fisisk Universitas Riau serta teman-teman yang selalu mendo’akan dan telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pihak pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.
Medan, Juli 2014
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Padang, Sumatera Barat pada tanggal 16 Februari 1984. Merupakan anak pertama dari 3 bersaudara (Brigadir Gusva Riani dan Briptu Oswar Riani) dari Bapak Ramli Tain (Alm) dan Ibunda Masniar.
Pendidikan Formal:
Lulus SD Negeri 05 Sawahan, Kec.Padang Timur, Padang pada tahun 1996.
Lulus SLTP Negeri 1 Padang pada tahun 1999.
Lulus SMU Negeri 1 Padang pada tahun 2002.
Lulus Sarjana Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas pada tahun 2006.
Riwayat Pekerjaan:
Tahun 2009 diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Pendidikan Teknologi Kimia Industri Medan, Kementerian Perindustrian R.I
Tahun 2010 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Pendidikan Teknologi Kimia Industri Medan, Kementerian Perindustrian R.I
PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN POLISULFON DENGAN PENGISI MIKROBENTONIT SEBAGAI
PENYARING AIR GAMBUT
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh penambahan mikrobentonit pada membran polisulfon terhadap nilai fluks (permeabilitas) membran pada penyaringan air gambut secara inversi fasa. Pada penelitian ini terdiri dari lima tahap pengerjaan, yaitu persiapan mikrobentonit, pembuatan membran polisulfon dengan penambahan mikrobentonit, karakterisasi membran, uji permeabilitas membran polisulfon-mikrobentonit terhadap air gambut serta analisis parameter sampel air gambut yang meliputi kekeruhan, pH, TSS dan TDS. Komposisi membran yang digunakan yaitu PSf 15% (w/w), dimetil asetamida (DMAc) dan mikrobentonit 0% ;
5% ; 10% ; 15% ; 20% (w/w). Air gambut sebelum penyaringan dengan membran
polisulfon-mikrobentonit masih belum sesuai dengan standar persyaratan air bersih berdasarkan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990. Hasil penelitian menunjukkan bahwa membran PSf 15% mempunyai nilai fluks paling baik yaitu 1,31 x 10-5 ml/cm2.s; kekeruhan 3,12 NTU; pH 6.8; TSS 52 mg/L; TDS 400 mg/L dan telah memenuhi standar air bersih berdasarkan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990. Karakterisasi dengan SEM menunjukkan bahwa membran polisulfon setelah penambahan mikrobentonit 15% (PSf-B15%) terjadi perubahan morfologi di permukaan membran. Analisa gugus fungsi membran polisulfon (PSf) menunjukkan adanya gugus sulfon teridentifikasi pada bilangan gelombang 1294,41 cm-1, bilangan gelombang 1169,5 cm-1 menunjukkan ulur asimetrik O=S=O dari gugus tersulfonasi dan 1150,45 cm-1 merupakan ulur asimetrik O=S=O dari gugus sulfon. Analisa gugus fungsi PSf-15% dapat diidentifikasi bahwa O=S=O muncul pada bilangan gelombang 1294 cm-1. Pada bilangan gelombang 1013 cm-1 muncul puncak serapan O-Si-O dan 794 cm-1 puncak serapan Al-O-Al yang menunjukkan adanya gugus yang terkandung di dalam bentonit.
PREPARATION AND CHARACTERIZATION OF POLYSULFONE MEMBRANES WITH FILLER MICROBENTONITE
AS PEAT WATER FILTER
ABSTRACK
This research aimed at investigating the effect of microbentonite augmentation for membrane to membrane flux in peat water filtration with inversion phase method. This research was carried out in five processing stages, namely preparation of microbentonite, make of polysulfone-microbentonite membrane toward the peat water and analysis of the peat water samples parameters including water turbidity, pH, TSS, and TDS. The composition of the membranes used were PSf 15%, DMAc and microbentonite 0%, 5%, 10%, 15% and 20%. The result showed that peat water before filtration with polysulfone–microbentonite membrane had not been suitable yet with the clear water qualification based on the PERMENKES RI NO.416/MENKES/PER/IX/1990. The result showed that PSf –B15% membrane had the best flux, that was 1,31 x 10-5 ml/cm2.s; turbidity 3,12 NTU; pH 6,8; TSS 52 mg/L; TDS 400 mg/L and suitable with PERMENKES RI NO.416/MENKES/PER/IX/1990. The characterization by using SEM showed that the polysulfone membrane after microbentonit augmentation had morphology changes in the membrane surface. The analysis of polysulfone membrane functional groups showed a sulfon group identified at wave number 1294,41 cm-1, wave number 1169, 5 cm-1 showed symmetric O=S=O of sulfonated group and 1150,45 cm-1 was symmetric groove O=S=O of sulfone group. The analysis of PSf 15% functional groups can identified that O=S=O appeared at wave number 1294 cm-1. At wave number 1013 cm-1 O-Si-O an absorption peak appeared and Al-O-Al absoption peak appeared at wave number 794 cm-1 that showed group consisted in the bentonite.
DAFTAR ISI
Halaman
PERSETUJUAN i
PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
RIWAYAT HIDUP vi
ABSTRAK vii
ABSTRACK viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR GAMBAR xiv
1.6 Metodologi Penelitian 5
1.7 Lokasi Penelitian 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teknologi Membran 8
2.1.1 Klasifikasi Membran 9
2.1.2 Karakterisasi Membran Mikrofiltrasi 13
2.1.3 Teknik Pembuatan Membran 13
2.1.4.1 Permeabilitas 15
2.1.4.2 Selektivitas 15
2.2 Polisulfon Sebagai Material Membran 16
2.3 N,N-Dimetilasetamida (DMAc) 17
2.4 Bentonit 18
2.4.1 Sifat-Sifat Fisik Bentonit 21
2.4.2 Bentonit Aceh 22
2.5 Karakterisasi 22
2.5.1 X-Ray Diffraction (XRD) 22
2.5.2 Scanning Electron Microscopy (SEM) 24
2.5.3 Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR) 25
2.6 Air Gambut 25
2.6.1 Karakteristik Air Gambut 27
2.6.2 Pengolahan Air Gambut 28
2.7 Uji Kualitas Air 28
2.7.1 Kekeruhan 28
2.7.2 Derajat Keasaman 29
2.7.3 Zat Padat Tersuspensi 29
2.7.4 Zat Padat Terlarut 30
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan 31
3.1.1 Alat-alat yang Digunakan 31
3.1.2 Bahan-bahan yang Digunakan 31
3.2 Prosedur Kerja 31
3.2.1 Persiapan Mikrobentonit 31
3.2.2 Pembuatan Membran Polisulfon-Mikrobentonit 32
3.2.3 Uji Permeabilitas 32
3.2.4 Uji Selektivitas 32
3.2.5.1 Kekeruhan 33
3.2.5.2 pH 33
3.2.5.3 Zat Padat Tersuspensi 33
3.2.5.4 Zat Padat Terlarut 34
3.3 Skema Kerja 35
3.3.1 Persiapan Mikrobentonit 35
3.3.2 Pembuatan Membran Polisulfon-Mikrobentonit 36
3.3.3 Uji Permeabilitas 37
3.3.4 Uji Selektifitas 37
3.3.5 Analisis Air Gambut 38
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Preparasi dan Karakterisasi Bentonit sebagai Pengisi Membran 39 4.2 Membran Polisulfon dengan Bahan Pengisi Mikrobentonit 41
4.2.1 Sintesis Membran Polisulfon 41
4.3 Permeabilitas Membran 43
4.4 Karakterisasi dengan Fourier Transform Infrared46
Spectroscopy (FTIR) 46
4.5 Karakterisasi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) 49
4.6 Analisis Air Gambut 51
4.6.1 Analisis Air Gambut Sebelum Penyaringan dengan
Membran Polisulfon 51
4.6.2 Analisis Kekeruhan 52
4.6.3 Analisis pH 54
4.6.4 Analisis Jumlah Zat Padat Tersuspensi (TSS) 55 4.6.5 Analisis Jumlah Zat Padat Terlarut (TDS) 57
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 60
DAFTAR PUST AKA 62
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 4.1 Nilai sudut 2θ dari bentonit Bener Meriah 40 Tabel 4.2 Fluks membran polisulfon dengan berbagai variasi
penambahan mikrobentonit 43
Tabel 4.3 Pita serapan spektrum IR membran polisulfon 15% 47 Tabel 4.4 Pita serapan spektrum IR membran polisulfon +
mikrobentonit 15% 49
Tabel 4.5 Analisis parameter sampel air gambut sebelum
penyaringan dengan membran polisulfon 51 Tabel 4.6 Hasil analisis kadar total padatan tersuspensi (TSS) air
gambut 55
Tabel 4.7 Hasil analisis kadar total zat padat terlarut (TDS) air
gambut 58
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 2.1 Skema pemisahan dengan menggunakan membran 8
Gambar 2.2 Membran berdasarkan strukturnya 11
Gambar 2.3 Perbandingan sistem desain operasi (a) dead-end,
(b) crossflow 16
Gambar 2.4 Struktur molekul polisulfon 17
Gambar 2.5 Struktur N,N-Dimetilasetamida 17
Gambar 2.6 Struktur molekul mineral monmorillonit 18
Gambar 2.7 Difraksi sinar-X pada kristal 23
Gambar 4.1 Difraktogram bentonit alam asal Bener Meriah sebelum
aktivasi 39
Gambar 4.2 Difraktogram bentonit alam asal Bener Meriah setelah
aktivasi 40
Gambar 4.3 Warna membran polisulfon dengan variasi penambahan
Mikrobentonit 42
Gambar 4.4 Grafik fluks membran polisulfon dan polisulfon
mikrobentonit 45
Gambar 4.5 Pola FTIR membran polisulfon (PSf15%) 46
Gambar 4.6 Pola FTIR polisulfon + mikrobentonit 15% (PSf-B15%) 48
Gambar 4.7 Scanning Electron Microscopy (SEM) permukaan
membran tanpa mikrobentonit (PSf) 50
Gambar 4.8 Scanning Electron Microscopy (SEM) permukaan
membran setelah penambahan mikrobentonit 15%
(PSf-B15%) 50
Gambar 4.9 Nilai kekeruhan air gambut sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran polisulfon dan
Gambar 4.10 Nilai pH air gambut sebelum dan sesudah penyaringan
dengan membran polisulfon dan polisulfon-mikrobentonit 54 Gambar 4.11 Nilai total zat padat tersuspensi (TSS) air gambut sebelum
dan sesudah penyaringan dengan membran polisulfon dan
polisulfon-mikrobentonit 57
Gambar 4.12 Nilai total zat padat terlarut (TDS) air gambut sebelum dan sesudah penyaringan dengan membran polisulfon dan polisulfon-mikrobentonit
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran A.1 Difraktogram bentonit sebelum aktivasi 67 Lampiran A.2 Difraktogram bentonit setelah aktivasi 67
Lampiran A.3 Spektrum FTIR membran PSf 68
Lampiran A.4 Spektrum FTIR membran PSf-B15% 68
Lampiran A.5 Permukaan membran polisulfon (PSf) 69 Lampiran A.6 Permukaan membran poisulfon+mikrobentonit 15%
(PSf-B15%) 69
Lampiran B.1 Ketebalan Membran Polisulfon Tanpa Bentonit (PSf) 70 Lampiran B.2 Ketebalan Polisulfon dengan Bentonit 5%(w/w)
(PSf-B5%) 70
Lampiran B.3 Ketebalan Membran Polisulfon dengan Bentonit
10%(w/w) (PSf-B10%) 70
Lampiran B.4 Ketebalan Membran Polisulfon dengan Bentonit
15%(w/w) (PSf-B15%) 70
Lampiran B.5 Ketebalan Membran Polisulfon dengan Bentonit
20%(w/w) (PSf-B20%) 70
Lampiran B.6 Waktu Permeat Membran Polisulfon 71
Lampiran B.7 Komposisi dope 71
Lampiran B.8 Waktu alir (fluks) membran 72
Lampiran C.1 Bentonit alam asal Kabupaten Bener Meriah, Aceh 73 Lampiran C.2 Proses pengayakan bentonit hingga ukuran 200 Mesh 73 Lampiran C.3 Bentonit 200 mesh sebelum aktivasi 74 Lampiran C.4 Bentonit 200 mesh setelah aktivasi 74 Lampiran C.5 Air gambut Daerah Panam Kota Pekanbaru 75
Lampiran C.6 Polisulfon (Psf) 75
Lampiran C.8 Plat kaca dan batang stainless steel 76
Lampiran C.9 Proses pengadukan larutan dope 77
Lampiran C.10 Pencetakan membran polisulfon 77
Lampiran C.11 Sel membran 78
Lampiran C.12 Membran setelah filtrasi 78
Lampiran C.13 Membran sebelum dan sesudah filtrasi 79 Lampiran C.14 Air gambut sebelum dan sesudah filtrasi 79
Lampiran C.15 Neraca analitik 80
Lampiran C.16 Alat Shimadzu X-ray Diffractometer Shimadzu 6000 80 Lampiran C.17 Fourier Transform Infrared Spectroscopy (Perkin
Elmer Spectrum Version10.03.07) 80
Lampiran D.1 PERMENKES RI No.416/PER/IX/1990 Tentang
PREPARASI DAN KARAKTERISASI MEMBRAN POLISULFON DENGAN PENGISI MIKROBENTONIT SEBAGAI
PENYARING AIR GAMBUT
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh penambahan mikrobentonit pada membran polisulfon terhadap nilai fluks (permeabilitas) membran pada penyaringan air gambut secara inversi fasa. Pada penelitian ini terdiri dari lima tahap pengerjaan, yaitu persiapan mikrobentonit, pembuatan membran polisulfon dengan penambahan mikrobentonit, karakterisasi membran, uji permeabilitas membran polisulfon-mikrobentonit terhadap air gambut serta analisis parameter sampel air gambut yang meliputi kekeruhan, pH, TSS dan TDS. Komposisi membran yang digunakan yaitu PSf 15% (w/w), dimetil asetamida (DMAc) dan mikrobentonit 0% ;
5% ; 10% ; 15% ; 20% (w/w). Air gambut sebelum penyaringan dengan membran
polisulfon-mikrobentonit masih belum sesuai dengan standar persyaratan air bersih berdasarkan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990. Hasil penelitian menunjukkan bahwa membran PSf 15% mempunyai nilai fluks paling baik yaitu 1,31 x 10-5 ml/cm2.s; kekeruhan 3,12 NTU; pH 6.8; TSS 52 mg/L; TDS 400 mg/L dan telah memenuhi standar air bersih berdasarkan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990. Karakterisasi dengan SEM menunjukkan bahwa membran polisulfon setelah penambahan mikrobentonit 15% (PSf-B15%) terjadi perubahan morfologi di permukaan membran. Analisa gugus fungsi membran polisulfon (PSf) menunjukkan adanya gugus sulfon teridentifikasi pada bilangan gelombang 1294,41 cm-1, bilangan gelombang 1169,5 cm-1 menunjukkan ulur asimetrik O=S=O dari gugus tersulfonasi dan 1150,45 cm-1 merupakan ulur asimetrik O=S=O dari gugus sulfon. Analisa gugus fungsi PSf-15% dapat diidentifikasi bahwa O=S=O muncul pada bilangan gelombang 1294 cm-1. Pada bilangan gelombang 1013 cm-1 muncul puncak serapan O-Si-O dan 794 cm-1 puncak serapan Al-O-Al yang menunjukkan adanya gugus yang terkandung di dalam bentonit.
PREPARATION AND CHARACTERIZATION OF POLYSULFONE MEMBRANES WITH FILLER MICROBENTONITE
AS PEAT WATER FILTER
ABSTRACK
This research aimed at investigating the effect of microbentonite augmentation for membrane to membrane flux in peat water filtration with inversion phase method. This research was carried out in five processing stages, namely preparation of microbentonite, make of polysulfone-microbentonite membrane toward the peat water and analysis of the peat water samples parameters including water turbidity, pH, TSS, and TDS. The composition of the membranes used were PSf 15%, DMAc and microbentonite 0%, 5%, 10%, 15% and 20%. The result showed that peat water before filtration with polysulfone–microbentonite membrane had not been suitable yet with the clear water qualification based on the PERMENKES RI NO.416/MENKES/PER/IX/1990. The result showed that PSf –B15% membrane had the best flux, that was 1,31 x 10-5 ml/cm2.s; turbidity 3,12 NTU; pH 6,8; TSS 52 mg/L; TDS 400 mg/L and suitable with PERMENKES RI NO.416/MENKES/PER/IX/1990. The characterization by using SEM showed that the polysulfone membrane after microbentonit augmentation had morphology changes in the membrane surface. The analysis of polysulfone membrane functional groups showed a sulfon group identified at wave number 1294,41 cm-1, wave number 1169, 5 cm-1 showed symmetric O=S=O of sulfonated group and 1150,45 cm-1 was symmetric groove O=S=O of sulfone group. The analysis of PSf 15% functional groups can identified that O=S=O appeared at wave number 1294 cm-1. At wave number 1013 cm-1 O-Si-O an absorption peak appeared and Al-O-Al absoption peak appeared at wave number 794 cm-1 that showed group consisted in the bentonite.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Teknologi membran telah banyak digunakan pada berbagai proses pemisahan dan sangat spesifik terhadap molekul-molekul dengan ukuran tertentu. Selektifitas membran ini didasarkan pada perbedaan ukuran, bentuk permukaan, elektrostatik, difusifitas, interaksi terhadap zat kimia, volatilitas, polaritas, maupun kelarutan (Hafidzah,2008).
Teknologi membran mempunyai beberapa keunggulan yaitu proses pemisahannya berlangsung pada suhu kamar, dapat dilakukan secara kontiniu, sifatnya bervariasi, dapat diatur sesuai kebutuhan, membran yang dihasilkan dapat digunakan kembali dan ramah lingkungan karena tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi lingkungan. Membran juga dapat berfungsi sebagai filter yang sangat spesifik, dikarenakan hanya molekul-molekul tertentu saja yang bisa melewati membran sedangkan sisanya akan tertahan di permukaan membran.
Mikrofiltrasi merupakan salah satu proses dengan melewatkan umpan pada membran mikropori. Membran mikrofiltrasi dapat diaplikasikan dalam industri diantaranya pada sterilisasi dingin dari minuman dan bahan farmasi, penjernihan jus buah, wine, dan bir, air ultra murni pada industri semi konduktor, recovery logam,
pengolahan limbah, fermentasi kontiniu, pemisahan emulsi minyak dan air (General,2013)
Produksi membran pada saat ini dibuat dengan dengan metode inversi fasa melalui teknik presipitasi terendam. Polimer yang digunakan harus dapat larut pada pelarut yang sesuai, dan dapat dibuat menjadi dua konfigurasi yaitu datar (lembaran) dan pipa (turbular). Teknik inversi fasa dapat menghasilkan struktur membran yang rapat dan berpori yang dipengaruhi oleh pelarut dan bahan perendaman yang digunakan.
Membran polisulfon secara umum telah banyak dipelajari dan diteliti dengan berbagai variasi kondisi. Berbagai macam kondisi pada preparasi membran akan mempengaruhi kinerja membran dari segi sifat permeabilitas dan selektifitas. Cynthia L.Radiman dkk (2002) telah melakukan pengujian pengaruh media perendam terhadap permeabilitas membran polisulfon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa etanol merupakan media perendam yang sangat efektif untuk membran polisulfon dimana dapat meningkatkan permeabilitas melalui peningkatan hidrofilisitas tanpa menimbulkan penurunan berarti terhadap selektifitasnya. Pengaruh waktu sonifikasi terhadap kinerja membran polisulfon telah diteliti oleh Rendra Juniarzadinata (2011). Waktu sonifikasi mempengaruhi kinerja membran dengan menghasilkan nilai fluks yang berbeda di setiap variasi waktu.
Salah satu faktor penghambat dalam teknologi membran mikrofiltrasi adalah terjadinya fouling. Adanya fouling atau penyumbatan pada membran akan
mempengaruhi usia membran dan menurunkan kinerja membran yang disebabkan oleh interaksi fisik dan kimia antara membran dengan komponen yang terkandung dalam aliran proses filtrasi. Salah satu cara untuk meningkatkan kinerja membran adalah dengan menambahkan bahan tambahan atau pengisi pada saat proses pembuatan membran. Salah satu bahan yang dapat ditambahkan pada membran polisulfon yaitu dengan penambahan titanium dioksida (TiO2), nanosilver, Fe3O4
bahwa pori membran polisulfon dan karakteristik permeasi berubah dengan penambahan lempung dan PEG.
Aplikasi penggunaan membran paling banyak dimanfaatkan untuk degradasi warna pada limbah industri pakaian, dan penyaringan air gambut. Zahrol Athiyah (2012) telah melakukan studi kinerja membran polisulfon dengan pendoping TiO2
untuk filtrasi air tercemar. Dengan penambahan TiO2
Ni Nyoman Rupiasih dkk telah melakukan studi mengenai pengaruh ketebalan membran terhadap penyaringan air tercemar yang mengandung asam humat (polutan organik). Semakin tebal membran maka ukuran pori yang terbentuk semakin kecil dan semakin sedikit. Ketebalan membran juga akan mempengaruhi fluks dan koefisien rejeksi pada larutan asam humat. Semakin tebal membran, nilai fluks/permeabilitas menurun namun koefisien rejeksi semakin meningkat.
mampu meningkatkan kinerja membran dan menurunkan kadar logam berat yang terdapat di dalam air tercemar.
Bentonit alam merupakan mineral lempung yang mampu menyerap air dan mengembang sehingga menjadikan bentonit memiliki banyak kegunaan. Salah satu sifat bentonit yang sangat berguna di bidang industri dan dapat diterapkan dalam aplikasi teknologi membran yaitu pertukaran ion. Sifat ini menentukan jumlah air yang dapat diserap bentonit. Hal ini disebabkan karena struktur kisi-kisi kristal mineral bentonit serta adanya unsur kation yang mudah tertukar maupun menarik air (Hidayat,Taufik.2013).
Pada tahun terakhir ini, bentonit banyak dimanfaatkan untuk mengontrol pencemaran air yang diakibatkan oleh polutan organik maupun anorganik yang diakibatkan oleh limbah industri maupun air gambut yang terdapat di sebagian besar daerah Sumatera. Kandungan humic acid (asam humat) atau bahan-bahan organik
yang terdapat dalam air tanah, air gambut, dan air laut merupakan salah satu penyebab munculnya fouling pada membran mikrofiltrasi. Oleh karena itu diperlukan metode
untuk mengatasi fouling yang terjadi pada saat proses filtrasi membran dengan
mengadsorbsi, karena ukuran partikel koloidnya sangat kecil dan memiliki kapasitas permukaan yang tinggi (Suharto,1997).
Pengolahan air gambut dengan bentonit telah dilakukan oleh Yusnimar dkk (2010). Pada penelitian ini, Yusnimar melakukan pengolahan air Sungai Siak dengan gabungan metode adsorpsi, koagulasi-sedimentasi dan filtrasi. Pada proses adsorbsi menggunakan bentonit sebagai adsorben. Penggunaan bentonit diawal proses pengolahan air Sungai Siak mampu mengurangi warna dan bau air gambut.
Pada penelitian ini akan dilakukan preparasi dan karakterisasi membran polisulfon dengan menambahkan pengisi mikrobentonit untuk penyaringan air gambut untuk mengurangi kekeruhan, pH, jumlah zat padat tersuspensi (TSS) dan jumlah zat padat terlarut (TDS). Hasil yang diperoleh akan dibandingkan dengan standar yang ditetapkan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990 lampiran II tentang persyaratan kualitas air bersih.
Oleh karena itu, penelitian ini akan dikerjakan untuk melihat pengaruh penambahan bentonit alam sebagai bahan pengisi membran polisulfon terhadap kinerja dan fluks membran polisulfon.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan diteliti, yaitu :
a. Apakah bentonit alam dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada membran polisulfon?
b. Bagaimana sifat permeabilitas, analisa gugus fungsi dan morfologi permukaan membran polisulfon dengan pengisi mikrobentonit alam dalam pemurnian air gambut?
1.3 Pembatasan Masalah
Agar penelitian menjadi lebih tepat sasaran, maka pada penelitian ini dibatasi pada: a. Mikrobentonit yang digunakan yaitu bentonit alam dari Kabupaten Bener
Meriah, Aceh yang telah diaktivasi.
b. Metode penyaringan membran polisulfon dengan pengisi mikrobentonit yaitu menggunakan teknik inversi fasa prestipitasi terendam.
c. Parameter air gambut yang dianalisis yaitu kekeruhan, pH, TSS dan TDS.
1.4Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini, yaitu :
a. Mengetahui pembuatan membran polisulfon dengan bahan pengisi mikrobentonit alam.
b. Mengetahui permeabilitas, analisa gugus fungsi dan morfologi permukaan membran polisulfon dengan pengisi mikrobentonit alam terhadap air gambut. c. Mengevaluasi hasil penyaringan air gambut dengan membran
polisulfon-bentonit berdasarkan PERMENKES RI No.416/MENKES/PER/IX/1990 lampiran II tentang persyaratan kualitas air bersih.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam pembuatan membran polisulfon dengan pengisi mikrobentonit dan aplikasinya untuk pemurnian air gambut secara inversi fasa prestipitasi terendam, serta pengaruhnya terhadap permeabilitas membran polisulfon-mikrobentonit.
1.6 Metodologi Penelitian
1. Persiapan mikrobentonit teraktivasi.
Bentonit alam diaktivasi menggunakan larutan asam H2SO4
2. Karakterisasi mikrobentonit.
dan diharapkan dapat meningkatkan sifat kristalin mikrobentonit.
Pada tahapan ini mikrobentonit dikarakterisasi dengan X-Ray Diffraction
(XRD) sebelum dan sesudah aktivasi.
3. Pembuatan membran polisulfon dengan bahan pengisi mikrobentonit.
Pada tahapan ini, membran polisulfon-mikrobentonit dibuat dengan metode inversi fasa prestipitasi terendam. Polisulfon 15% (w/w) dilarutkan ke dalam
dimetil asetamida (DMAc) dengan variasi penambahan mikrobentonit 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20% terhadap berat polisulfon. Larutan dope diaduk dengan
menggunakan pengaduk magnet hingga homogen dan dicetak di atas plat kaca sekitar 7 menit dan direndam ke dalam bak koagulasi air selama 10 menit hingga membran lepas dengan sendirinya.
4. Uji permeabilitas membran polisulfon-mikrobentonit
Membran yang telah dicetak dengan berbagai variasi diuji permeabilitasnya dengan melewatkan air gambut pada sel membran pada tekanan 2 bar sehingga didapatkan waktu alir dan nilai fluks masing-masing membran.
5. Karakterisasi membran polisulfon-mikrobentonit
Karakterisasi meliputi analisis gugus fungsi membran dengan Fourier
Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), morfologi permukaan dan pori
membran dengan Scanning Electron Microscopy (SEM).
6. Analisis parameter sampel air gambut
1.7 Lokasi Penelitian
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teknologi Membran
Membran merupakan suatu lapisan tipis antara dua fasa fluida yaitu fasa umpan (feed)
dan fasa permeat yang bersifat sebagai penghalang (barrier) terhadap suatu spesi
tertentu, yang dapat memisahkan zat dengan ukuran yang berbeda serta membatasi transpor dari berbagai spesi berdasarkan sifat fisik dan kimianya. Membran bersifat semipermeabel, berarti membran dapat menahan spesi-spesi tertentu yang lebih besar dari ukuran pori membran dan melewatkan spesi-spesi lain dengan ukuran lebih kecil. Sifat selektif dari membran ini dapat digunakan dalam proses pemisahan.
Proses pemisahan dengan membran mempunyai kemampuan memindahkan salah satu komponen berdasarkan sifat fisik dan kimia dari membran serta komponen yang dipisahkan. Perpindahan yang terjadi karena adanya gaya dorong (driving force)
dalam umpan yang berupa beda tekanan (∆P), beda konsentrasi (∆C), beda potensial listrik (∆E) dan beda temperatur (∆T) serta selektifitas membran yang dinyatakan dengan rejeksi. Pada gambar 2.1 memperlihatkan skema proses pemisahan dengan membran (Mulder,1991).
Gambar 2.1 Skema pemisahan dengan menggunakan membran
fasa 1 membran fasa 2
umpan permeat
driving force
Membran dapat dibuat dari bahan alami dan bahan sintetis, dimana bahan alami adalah bahan yang berasal dari alam seperti dari pulp, kapas sedangkan bahan sintetis dibuat dari bahan kimia seperti polimer. Membran juga dapat dibuat dari polimer alam (organik) dan polimer anorganik.
Membran berfungsi memisahkan material berdasarkan ukuran dan bentuk molekul, menahan komponen dari umpan yang mempunyai ukuran lebih besar dari pori-pori membran dan melewatkan komponen yang mempunyai ukuran yang lebih kecil. Filtrasi dengan menggunakan membran berfungsi sebagai sarana pemisahan dan juga sebagai pemekatan dan pemurnian dari suatu larutan yang dilewatkan pada membran tersebut.
Teknologi membran mempunyai beberapa keunggulan yaitu proses pemisahannya berlangsung pada suhu kamar, dapat dilakukan secara kontiniu, sifat yg bervariasi, dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Proses pemisahan dengan membran menggunakan gaya dorong berupa beda kuat tekan, medan listrik dan beda konsentrasi dan dapat dikelompokkan menjadi mikromembran, ultramembran, nanomembran dan reverse osmosis. Selain memiliki sifat yang unggul, teknologi
membran juga mempunyai kelemahan yaitu pada fluks dan selektifitas. Pada proses membran terjadi perbedaan yang berbanding terbalik antara fluks dan selektifitas. Semakin tinggi fluks berakibat menurunnya selektifitas pada membran. Sedangkan yang paling diharapkan pada membran adalah mempertinggi fluks dan selektifitas dari kinerja membran tersebut(Agustina, Siti dkk, 2008).
2.1.1 Klasifikasi Membran
Membran dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan bahan yang digunakan, yaitu :
a. Membran Polimer
Pada dasarnya semua polimer dapat digunakan sebagai penghalang (barrier)
Membran polimer diklasifikasikan menjadi membran berpori dan membran tidak berpori. Membran berpori diaplikasikan pada mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi, sedangkan membran nonpori diaplikasikan pada pemisahan gas dan pervaporation. Faktor utama untuk penentuan pemisahan material pada membran berpori adalah ukuran pori dan distribusi ukuran pori serta stabilitas kimia dan termal pada membran. Sedangkan pada membran nonpori yang digunakan untuk pemisahan gas/pervaporasi ditentukan oleh performansi membran yaitu pada selektifitas dan fluks. Pada umumnya menggunakan membran asimetrik.
b. Membran Anorganik
Pada membran anorganik stabilitas kimia dan termalnya berhubungan dengan material polimer. Pembagian tipe membran anorganik dibedakan menjadi 3, yaitu :
1. Membran keramik 2. Membran gelas 3. Membran metalik
Membran keramik dibentuk dengan perpaduan sebuah logam dengan non logam sehingga membentuk oksida, nitrida, atau karbida. Membran gelas (silika, SiO2
c. Membran Biologi
) menggunakan teknik demixed glasses. Sedangkan membran metalik ditentukan
dengan sintering bubuk logam, namun penjelasan mengenai membran ini masih terbatas.
Struktur dan fungsi dari membran biologi sangat berbeda dengan membran sintetik. Membran biologi atau membran sel mempunyai struktur yang sangat kompleks. Karakteristik beberapa membran sel mengandung struktur lipid bilayer.
dan asimetris. Membran simetris tersusun atas satu macam lapisan (homogen) dengan ketebalan 10-200 μm. Membran jenis ini dapat menahan hampir semua partikel umpan dalam pori-porinya sehingga dapat tersumbat dan menurunkan permeabilitas dengan cepat. Membran asimetris terdiri dari lapisan tipis yang aktif dan beberapa lapisan pendukung yang berpori di bawahnya (heterogen). Ukuran dan kerapatan porinya tidak sama dari bagian atas ke bagian bawah. Ketebalan lapisan tipisnya adalah 0,1-0,5 μm dan lapisan pendukungnya 50-150 μm.
Gambar 2.2 Membran berdasarkan strukturnya
Berdasarkan prinsip pemisahannya, membran digolongkan kepada tiga kelompok, yaitu :
a. Membran berpori (porous membrane)
Membran ini digunakan untuk pemisahan partikel besar hingga makromolekul (mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi). Ukuran pori akan menentukan sifat pemisahannya, dimana selektifitas yang tinggi dapat diperoleh jika ukuran pori lebih kecil daripada ukuran partikel yang akan dipisahkan
b. Membran tidak berpori (dense membrane)
Membran ini digunakan dalam pemisahan gas dan pervaporasi yang mampu memisahkan campuran senyawa yang memiliki berat molekul relatif sama, misalnya dalam proses pemisahan gas yang dapat memisahkan campuran H2/N2, O2/N2, CO2/N2.
c. Membran cair
Selektifitas pada membran ini terjadi akibat perbedaan kelarutan (solubility) atau difusifitas.
Pada membran ini proses transpor tidak dipengaruhi oleh membran atau material membran, melainkan oleh molekul pembawa (carrier) yang sangat
spesifik. Pembawa yang mengandung membran berada di dalam pori membran. Selektifitas membran bergantung kepada kekhususan molekul pembawa yang digunakan.
Berdasarkan gradien tekanan sebagai daya dorong dan permeabilitasnya, membran dibagi menjadi:
a. Mikrofiltrasi (MF)
Membran ini beroperasi dengan tekanan sekitar 0,1 – 2 bar dan permeabilitasnya lebih besar dari 50 L/m2
b. Ultrafiltrasi (UF)
.jam.bar
Membran ini beroperasi dengan tekanan berkisar 1-5 bar dan permeabilitasnya 10 – 50 L/m2
c. Nanofiltrasi
.jam.bar
Membran ini beroperasi dengan tekanan berkisar 5 – 20 bar dan permeabilitasnya mencapai 1,4 – 12 L/m2
d. Reserve Osmosis (RO)
.jam.bar
Membran ini beroperasi dengan tekanan berkisar 10 – 100 bar dan permeabilitasnya mencapai 0,005 – 1,4 L/m2.jam.bar
2.1.2 Karakterisasi Membran Mikrofiltrasi
Mikrofiltrasi merupakan pemisahan partikel berukuran mikron atau submikron yaitu berkisar diantara 0,1 – 10 μm. Ada beberapa metoda yang digunakan dalam karakterisasi membran mikrofiltrasi, yaitu :
a. Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM merupakan salah satu teknik yang digunakan pada karakterisasi membran yang berfungsi untuk mengamati struktur pori. SEM dapat mengamati semua bentuk struktur membran mikrofiltrasi, diantaranya struktur permukaan membran, dan penampang lintang membran.
b. Metoda permeabilitas
Membran yang bagus adalah membran yang mempunyai permeabilitas dan selektifitas yang tinggi. Permeabilitas membran diukur dengan menentukan koefisien rejeksinya, yaitu kemampuan membran untuk menahan partikel terlarut, sedangkan pelarutnya melewati membran. Karakterisasi ini diperlukan untuk mengetahui kekuatan membran terhadap gaya luar yang dapat merusak membran.
c. Metoda bubble-point
Metoda bubble point merupakan salah satu metoda karakterisasi membran
mikrofiltrasi untuk melihat ukuran pori maksimum pada suatu membran. Diperlukan suatu peralatan bubble point test dengan menggunakan tekanan
untuk meniup udara yang melewati membran cair. d. Metoda mercury intrusion
Metoda mercury intrusion merupakan variasi dari metoda bubble point. Pada
metoda ini, merkuri didorong ke dalam membran kering dengan volume yang disesuaikan dengan tekanan yang digunakan.
2.1.3 Teknik Pembuatan Membran
Teknik pembuatan membran yang penting diantaranya adalah sintering, stretching,
(Mulder,1991). Sebagian besar membran yang diproduksi saat ini dibuat dengan metode inversi fasa melalui teknik presipitasi terendam. Membran inversi fasa dapat dibuat dari berbagai macam polimer dengan syarat polimer yang digunakan harus larut pada pelarut yang sesuai atau campuran pelarut. Secara umum membran dapat dibuat menjadi dua konfigurasi yaitu datar (lembaran) atau pipa (turbular). Tahapan dasar pembuatan membran dengan teknik inversi fasa (presipitasi terendam) (Roilbilad’s 2010) yaitu :
a. Pembuatan larutan polimer
b. Proses casting (penebaran diatas permukaan) membentuk lapisan
tipis(100-200 μm)
c. Perendaman di non pelarut di bak koagulasi d. Perlakuan akhir
Inversi fasa adalah suatu proses dimana polimer ditransformasi dari fasa cair ke fasa padat melalui mekanisme pengontrolan tertentu. Proses perubahan fasa ini sangat sering diawali dengan transisi fasa cairan pembentuk membran dari satu fasa cairan menjadi dua fasa cairan (liquid-liquid demixing). Pada tahap tertentu selama
proses demixing, salah satu fasa cairan mengalami pembekuan sehingga fasa padat
terbentuk. Dengan mengendalikan tahap awal perubahan fasa, maka morfologi membran dapat dikendalikan.
Kebanyakan membran yang diproduksi dengan presipitasi terendam. Larutan polimer (dope) disebar pada media pencetakan kemudian direndam di bak koagulasi
yang berisi non-pelarut. Presipitasi terjadi karena pertukaran pelarut dan non-pelarut. Struktur membran yang dihasilkan merupakan akibat dari kombinasi perpindahan masa dan pemisahan fasa.
2.1.4 Kinerja Membran
2.1.4.1 Permeabilitas
Permeabilitas merupakan kecepatan permeasi diartikan sebagai volume yang melewati membran persatuan luas dalam satuan waktu tertentu dengan gaya penggerak berupa tekanan. Permeabilitas membran dilihat dari fluks. Fluks adalah kecepatan aliran melewati membran dihitung dengan persamaan (1):
(1)
Dalam hal ini: J adalah fluks cairan, V adalah volume permeat, t adalah waktu
permeat dan A adalah luas permukaan membran.
Grafik fluks terhadap tekanan akan menghasilkan garis lurus dan kemiringan (slope) merupakan konstanta permeabilitas sesuai dengan persamaan (2).
J= Lp.
L
∆P (2)
p merupakan permeabilitas air dan ∆P merupakan perubahan tekanan.
2.1.4.2 Selektifitas
Selektifitas menggambarkan kemampuan membran memisahkan satu jenis spesi dari yang lain. Selektifitas dinyatakan oleh 2 parameter, yaitu tolakan (R) dan faktor
pemisahan (α). Parameter tolakan berlaku pada sistem pemisahan padat-cair, sedangkan faktor pemisahan ditentukan pada sistem pemisahan gas-gas dan cair-cair. Penentuan tolakan ditentukan oleh persamaan (3).
(3)
Dalam hal ini, Cp adalah konsentrasi zat terlarut di dalam permeat dan Cb adalah rata-rata konsentrasi zat terlarut di dalam umpan (feed) dan retentat.
Ukuran pori juga berperan dalam menentukan selektifitas membran. Membran yang memiliki ukuran pori kecil akan memberikan tolakan yang lebih besar daripada membran yang mempunyai ukuran pori lebih besar (Mulder, 1991).
Wenten (1999) menyatakan bahwa terdapat empat jenis desain membran yaitu
dead-end, cross-flow, hybrid dead-end crossflow dan cascade. Sistem dead-end arah
aliran tegak lurus terhadap membran, mempunyai kelemahan yaitu cenderung mengakibatkan fouling yang sangat tinggi karena terbentuknya cake di permukaan
membran pada sisi umpan. Sedangkan pada sistem crossflow, umpan dialirkan arah
sejajar dengan permukaan membran. Akibatnya pembentukan cake terjadi sangat
lambat karena tersapu oleh gaya geser yang disebabkan oleh aliran crossflow umpan.
Umpan
Gambar 2.3 Perbandingan sistem desain operasi (a) dead-end, (b) crossflow
2.2 Polisulfon Sebagai Material Membran
Polisulfon adalah salah satu polimer dengan berat molekul besar yang mengandung gugus sulfonat dan inti aromatik dalam rantai polimer utama. Sifat polimer ini adalah keras, rigid dan memiliki sifat termoplastik dengan suhu transisi gelas 180-250o
Polisulfon merupakan polimer yang mengandung sulfur yang dihasilkan dari sintesa substitusi aromatik nukleofilik antara aromatik halida dengan garam bisfenol. Polimer ini bersifat hidrofobik karena mempunyai gugus aromatik pada struktur
kimianya dan memiliki kelarutan yang rendah dalam larutan alifatik rendah namun masih bisa larut dalam beberapa pelarut polar (Kesting,1993).
Gambar 2.4 Struktur molekul polisulfon
Salah satu sifat polisulfon sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan membran adalah sifatnya yang stabil, tahan terhadap perubahan pH karena mempunyai rentang pH yang lebar (1-13), tidak meregang meskipun pada suhu yang tinggi dan sifat fleksibilitas dan kekuatan yang tinggi.
Unit pengulangan polimer ini adalah difenil sulfon. Gugus –SO2 dalam
polimer polisulfon cukup stabil yang disebabkan oleh gaya tarik elektronik teresonansi antar gugus-gugus aromatik. Molekul-molekul oksigen dengan 2 pasang elektron tak berpasangan didonorkan untuk membentuk ikatan hidrogen yang kuat dengan pelarut (wenten,1999).
2.3 N,N-Dimetilasetamida (DMAc)
N,N-Dimetilasetamida (DMAc) merupakan pelarut organik dengan rumus kimia CH3C(O)N(CH3)2. DMAc adalah pelarut yang tidak mudah menguap dan mempunyai
Gambar 2.5 Struktur N,N-Dimetilasetamida
2.4 Bentonit
Bentonit adalah salah satu lempung yang banyak terdapat di wilayah Indonesia dengan kemampuan daya koloid yang kuat dan bila bercampur dengan air maka dapat mengembang. Bentonit merupakan salah satu jenis lempung yang mempunyai kandungan utama mineral smektit (montmorillonit) dengan kadar 85 – 95%, bersifat plastis dan koloidal tinggi. Bentonit mengandung monmorilonit dengan rumus kimia Al2O3.4SiO2 + xH2
Secara geologi bentonit terjadi karena hasil dari pelapukan, hidrotermal, akibat transformasi dan sedimentasi. Bentonit memiliki komposisi kalsium oksida (CaO) sebanyak 0.23%, magnesium oksida (MgO) sebanyak 0.98%, aluminium oksida (Al
O. Berdasarkan sifat fisiknya bentonit dibedakan atas Na-Bentonit dan Ca-Bentonit.
2O3) sebanyak 13.45%, ferri oksida (Fe2O3) sebanyak 2.18%, silika (SiO2)
sebanyak 74.9%, kalium oksida (K2O) sebanyak 1.72% dan air sebanyak 4%.
Struktur monmorillonit memiliki konfigurasi 2:1 yang terdiri dari dua silikon oksida tetrahedral dan satu alumunium oksida tetrahedral. Pada tetrahedral, empat atom oksigen berikatan dengan atom silikon di ujung struktur. Sedangkan pada oktahedral atom alumunium berikatan dengan enam atom oksigen pada ujung struktur (Soedjoko, 1987).
Mineral-mineral bentonit umumnya berupa butiran sangat halus yang mempunyai struktur kristal berlapis dan berpori. Mineral tersebut mempunyai kemampuan mengembang (swellability) karena ruang antar lapis yang dimilikinya,
dan dapat mengakomodasi ion-ion atau molekul terhidrat dengan ukuran tertentu. Potensi mengembang-mengerut dan adanya muatan negatif yang tinggi merupakan penyebab mineral ini dapat menerima dan menyerap ion-ion logam dan kation-kation organik menghasilkan senyawa komplek berupa organo-mineral. Kation organik diyakini mampu menggantikan kation-kation anorganik pada posisi antar lapis (Tan, 1993).
Berdasarkan tipenya, bentonit dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Na-Bentonit
Na bentonit memiliki daya mengembang hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air. Dalam keadaan kering berwarna putih dan dalam keadaan basah berwarna coklat dan akan mengkilap apabila terkena sinar matahari. Suspensi koloidal mempunyai pH 8,5 sampai dengan 9,8.
Na bentonit digunakan sebagai bahan perekat, pengisi, lampu bor sesuai dengan sifatnya yang mampu membentuk suspensi kental setelah bercampur dengan air.
b. Ca-Bentonit
Ca bentonit banyak digunakan untuk sebagai bahan lampu bor setelah melalui pertukaran ion sehingga terjadi perubahan menjadi Na-bentonit dan diharapkan menjadi peningkatan sifat reologi dari suspensi mineral tersebut.
Secara umum menurut Minto Supeno (2009) proses terjadinya bentonit di alam ada 4, yaitu :
a. Terjadi karena proses pelapukan batuan
Pembentukan bentonit sebagai hasil pelapukan batuan dapat disebabkan oleh adanya reaksi antara ion-ion hidogen yang terdapat di dalam air dan di dalam tanah dengan persenyawaan silikat dalam batuan. Mineral utama dalam pembentukan bentonit adalah plagioklas, kalium-feldspar, biotit, muskovit dan senyawa alumina dan ferromagnesian.
b. Terjadi karena proses hidrotermal alam
Dengan adanya unsur logam alkali dan alkali tanah, mineralmika, ferromagnesian, feldspar, dan plagioklas pada umumnya akan membentuk monmorilonit. Proses hidrotermal mempengaruhi alterasi yang sangat lemah sehingga mineral-mineral yang kaya magnesium cenderung membentuk mineral klorit.
c. Terjadi karena proses transformasi
Pada daerah danau, lautan, dan cekungan sedimentasi terjadi proses transformasi (pengubahan) abu vulkanis yang mempunyai komposisi gelas yang akan menjadi mineral lempung. Pada daerah gunung merapi akan terjadi transformasi apabila debu gunung merapi diendapkan dalam cekungan seperti danau dan air.
d. Terjadi karena proses pengendapan batuan
2.4.1 Sifat-sifat Fisis Bentonit
Bentonit memiliki beberapa sifat fisis, diantaranya :
a. Kapasitas pertukaran kation/cation exchange capacity
Sifat ini menentukan jumlah kadar air yang diserap oleh bentonit di dalam kesetimbangan reaksi kimia. Struktur kisi-kisi montmorilonit ion dan kation mudah tertukar dan menarik air menyebabkan bentonit segar mengembang bila dimasukkan ke dalam air, semakin tinggi harga serapan maka mutu semakin baik.
b. Daya serap
Adanya ruang pori antar ikatan mineral lempung serta ketidaksetimbangan muatan listrik dalam ion-ionnya maka bentonit dapat digunakan sebagai galian penyerap pada berbagai keperluan. Daya serap bentonit dapat ditingkatkan dengan menambahkan larutan asam atau disebut dengan aktivasi.
c. Luas permukaan
Makin luas bentonit makin besar zat yang melekat, maka bentonit dapat dipakai sebagai galian pembawa dalam insektisida, pengisi kertas, plastik. Luas permukaan biasanya dinyatakan sebagai galian jumlah luas permukaan kristal/butir bentonit yang berbentuk tepung setiap gram berat (m2
d. Reologi
/gr).
Bentonit apabila dicampurkan dengan air dan dikocok maka akan menjadi agar-agar, namun apabila didiamkan akan mengeras seperti semen. Apabila kekentalan dan daya suspensinya baik maka bentonit ini baik untuk lumpur pemboran, industri cat, kertas.
e. Sifat mengikat dan melapisi
Kemampuan bentonit mengikat bijih/logam dan melapisi, membuat bentonit dapat digunakan untuk pengikat pelet konsentrat/bijih dan perekat cetakan logam.
f. Sifat plastis
Dari sifat-sifat fisis dan kimia dari bentonit merupakan bagian yang penting pada setiap karakterisasi lempung baik sebagai katalis, pendukung katalis, maupun adsorben.
2.4.2 Bentonit Kabupaten Bener Meriah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Kabupaten Bener Meriah merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah. Topografi alam Kabupaten Bener Meriah bercorak pergunungan dan perbukitan serta sedikit lembah. Secara geografis, Kabupaten Bener Meriah terletak pada 4o33’50’’ – 4o54’50’’ LU dan 96o40’75’’ – 97o
Berdasarkan hasil inventarisasi dan evaluasi Pusat Sumber Daya Geologi, Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (2010), geologi yang teramati di Kabupaten Bener Meriah teramati 8 formasi dari 28 formasi dan terdapat 23 lokasi bahan galian non logam berupa : andesit, bentonit, batu gamping, feldspar, granit, diorit, lempung, magnesit, batu mulia nephrit, serpentinit, sirtu dan tras. Bahan galian yang disarankan untuk dikembangkan di Kabupaten Bener Meriah adalah andesit, bentonit, feldspar, granit, lempung, pasir kuarsa, sirtu dan tras.
17’50’’ BT serta berada pada ketinggian 100-2.500 m dpl.
2.5 Karakterisasi
2.5.1X-Ray Diffraction (XRD)
Difraksi sinar-X adalah metode analisis yang didasarkan pada interaksi antara materi dengan radiasi sinar elektromagnetik sinar-X (Dann, 2000). Difraksi sinar-X merupakan metode analisis utama dalam identifikasi zat atau material padatan. Hampir setiap kristal memiliki jarak antar atom atau jarak bidang kristal yang berukuran hampir sama dengan panjang gelombang (λ) sinar-X.
tersusun di dalam kristal menghasilkan pola yang berbeda bergantung kepada konfigurasi yang dibentuk oleh atom-atom dalam kristal.
Teknik ini dilakukan dengan menempatkan sampel materi yang ingin dipelajari pada wadah sampel. Radiasi sinar-X pada panjang gelombang tertentu ditembakkan pada sampel. Intensitas radiasi hasil difraksi dicatat oleh goniometer. Hasil analisis ditunjukkan dalam bentuk 2θ yang dapat dikonversikan ke satuan jarak d. Analisis difraktogram dilakukan untuk menentukan interatom spacing (d) melalui
pencocokan dengan database. Perubahan pada lebar puncak atau posisi puncak
menentukan ukuran, kemurnian serta tekstur kristal.
Pada difraksi sinar-Xcahaya yang dihamburkan jatuh pada bidang paralel dari
suatu sampel terlihat pada Gambar 2.7. Agar terjadi interferensi konstruktif antara sinar yang terhambur dan beda jarak lintasannya harus memenuhi pola nλ .
Gambar 2.7 Difraksi sinar-Xpada kristal
Metode XRD berdasarkan sifat difraksi sinar-X yaitu hamburan dengan panjang gelombang λ saat melewati kisi kristal dengan sudut θ melewati kisi kristal dengan jarak antar bidang kristal d berdasarkan Hukum Bragg.
2d sin θ = nλ (4)
Keterangan: n = suatu bilangan bulat (orde difraksi)
λ = panjang gelombang sinar-X
d = jarak kisi pada kristal dalam bidang
Identifikasi senyawa dapat dilakukan secara cepat dengan membandingkan atom intensitas spektrum sampel dengan intensitas standar, karena intensitas spektrum suatu senyawa sangat spesifik dan berbeda untuk setiap senyawa. Setiap jenis mineral memiliki susunan atom yang spesifik sehingga menghasilkan bidang atom karakteristik yang dapat memantulkan sinar-X. Sinar-X dapat dipantulkan oleh atom-atom yang tersusun dalam bidang kristal dan menghasilkan pola-pola khas dari setiap jenis mineral pada saat analisa. Montmorilonit (kering udara) dicirikan oleh puncak difraksi sinar-X tingkat pertama sebesar 12,3 Å yang bergeser ke 17,7 Å setelah contoh mengalami solvasi (Tan, 1998).
2.5.2 Scanning Electron Microscopy (SEM)
Scanning Electron Microscope (SEM) merupakan sebuah tipe mikroskop elektron
yang menggambarkan permukaan sampel melalui proses scan dengan menggunakan pancaran energi yang tinggi dari elektron dalam suatu pola scan raster.
SEM digunakan untuk mengamati morfologi suatu bahan dengan prinsip kerja sifat gelombang dari elektron yaitu difraksi pada sudut yang sangat kecil. Penggunakan SEM sebagai salah satu mikroskop elektron didasarkan pada fakta bahwa alat ini dapat digunakan untuk mengamati dan mengkarakterisasi bahan dengan skala mikrometer (μm) hingga nanometer (nm).
Dalam SEM lensa yang digunakan adalah suatu lensa elektromagnetik, yakni medan magnet dan medan listrik, yang dibuat sedemikian rupa sehingga elektron yang melewatinya dibelokkan seperti cahaya oleh lensa eletromagnetik tersebut. Sebagai pengganti sumber cahaya dipergunakan suatu pemicu elektron (electron gun), yang
Analisa SEM pada membran yaitu untuk melihat morfologi permukaan membran, ukuran pori. Permukaan membran dan ukuran pori mempengaruhi kinerja membran dalam filtrasi suatu bahan.
2.5.3Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR)
Spektrofotmeter inframerah merupakan suatu metode yang dapat mengidentifikasi kandungan gugus fungsi suatu senyawa organik dan membandingkan dengan daerah sidik jarinya tetapi tidak dapat menentukan molekular unsur penyusunnya.
Karakterisasi menggunakan FTIR dapat dilakukan dengan menganalisis spektra yang dihasilkan sesuai dengan puncak-puncak yang dibentuk oleh suatu gugus fungsi. Spektrum inframerah senyawa organik bersifat khas, artinya senyawa yang berbeda akan mempunyai spektrum yang berbeda pula. Daerah inframerah terletak pada daerah spektrum 4000-200 cm-1
Sistem analisa spektroskopi infra merah telah memberikan keunggulan dalam mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisa infra merah akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan regangan pada daerah serapan infra merah. Tahap awal identifikasi bahan polimer, maka harus diketahui pita serapan yang karakteristik untuk masing-masing polimer dengan membandingkan spektrum yang telah dikenal. Pita serapan yang khas ditunjukan oleh monomer penyusun material dan struktur molekulnya.
.
Analisis gugus fungsi suatu bahan polimer menggunakan metode Spektroskopi Infra merah Transformasi Fourier (FT-IR) dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat dalam membran polisulfon.
2.6 Air Gambut
kandungan zat organik tinggi, pH rendah, keruh, kandungan kation rendah (Kusnaedi, 2006).
Air gambut berdasarkan parameter baku mutu air tidak memenuhi persyaratan kualitas air bersih. Air gambut mengandung senyawa organik terlarut yang menyebabkan air menjadi warna coklat dan bersifat asam, sehingga perlu pengolahan khusus sebelum siap untuk dikonsumsi. Senyawa organik tersebut adalah asam humus yang terdiri dari asam humat, asam fulvat dan humin(Nainggolan, 2011).
Air gambut di Indonesia secara kuantitatif sangat potensial untuk dikelola sebagai sumber daya air yang dapat diolah menjadi air bersih atau air minum, karena menurut kajian Pusat Sumber Daya Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral melaporkan bahwa lahan gambut di Indonesia tersebar ±50% berada di pulau Kalimantan, 40% di pulau Sumatera dan sisanya tersebar di Papua dan pulau-pulau lainnya.
Air gambut tidak memenuhi persyaratan air bersih karena memiliki karakteristik :
a. Berwarna kuning/merah kecoklatan.
b. Tingkat keasaman tinggi, sehingga kurang enak diminum. c. Zat organik tinggi sehingga menimbulkan bau.
Berdasarkan sifat-sifat air gambut tersebut diperlukan proses pengolahan air untuk mendapatkan kualitas air gambut menjadi air minum dan memenuhi standar baku mutu air bersih.
Berdasarkan sumber airnya, lahan gambut dibedakan menjadi dua yaitu (Trckova,2005) :
a. Bog
b. Fen
Merupakan lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air tanah yang biasanya dikontaminasi oleh mineral sehingga pH air gambut memiliki pH netral dan basa.
2.6.1 Karakteristik Air Gambut
Air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa maupun dataran rendah di Sumatera dan Kalimantan yang mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :
a. Intensitas warna yang tinggi (berwarna merah kecoklatan) b. pH yang rendah
c. Kandungan zat organik yang tinggi
d. Kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah e. Kandungan kation yang rendah
Air gambut berwarna coklat dan bersifat asam karena mengandung senyawa organik yaitu asam humus yang terdiri dari tiga fraksi utama, yaitu :
a. Asam humat
Asam humat atau humus merupakan hasil akhir dekomposisi bahan organik oleh organisme secara aerobik.
b. Asam fulvat
Asam fulvat merupakan senyawa asam organik alami yang berasal dari humus, larut dalam air, sering dijumpai dalam air permukaan dengan berat molekul yang rendah yaitu 1000-10.000. Warnanya bervariasi mulai dari kuning sampai kuning kecoklatan.
c. Humin
2.6.2 Pengolahan Air Gambut
Menurut Nainggolan (2011) beberapa penelitian mengenai pengolahan air gambut telah pernah dipelajari sebelumnya, antara lain : Pengolahan air gambut dengan menggunakan protein biji kelor sebagai koagulan untuk penjernihan warna air gambut (Chaidir,Z et al.,1999), Pemisahan berbasis membran yang sering digunakan untuk pengolahan air gambut adalah membran reserve osmosis (RO). Pemanfaatan ini
merupakan teknologi baru dalam mengolah air gambut menjadi air minum. Salah satu keunggulan teknologi ini adalah kemurnian produk yang dihasilkan lebih baik dari proses konvensional.
Berdasarkan kandungan warna pada air gambut dan sifat-sifatnya, maka proses dan metode pengolahan yang diterapkan untuk mengolah jenis air berwarna alami adalah dengan proses oksidasi, proses adsorpsi, proses koagulasi-flokulasi dan proses elektrokoagulasi.
2.7 Uji Kualitas Air
Air yang berkualitas baik untuk air bersih maupun untuk air minum memiliki parameter fisika seperti kondisi air yang jernih atau tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, tidak mengandung zat padat tersuspensi (TSS) dan zat padat terlarut (TDS).
2.7.1 Kekeruhan
Air dikatakan berlumpur ketika air tersebut mengandung banyak partikel yang tersuspensi sehingga memberikan warna yang berlumpur dan kotor. Kekeruhan pada air akan menimbulkan dampak kurang memuaskan dalam penggunaan air. Untuk menentukan kekeruhan dapat digunakan turbidimeter.
konsentrasi jika kondisi-kondisi lainnya konstan. Turbidimeter meliputi pengukuran cahaya yang diteruskan. Pada turbidimeter cahaya masuk melalui sampel, kemudian sebagian diserap dan sebagian diteruskan. Cahaya yang diserap itulah yang merupakan tingkat kekeruhan. Maka jika semakin banyak cahaya yang diserap maka semakin keruh cairan tersebut (Khopkar,1990) .
2.7.2 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu larutan melalui konsentrasi ion hidrogen (H+). Air dapat bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH air atau besarnya konsentrasi ion hidrogen di dalam air. Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH berkisar antara 6,5-7,5. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal akan bersifat asam, sedangkan air yang memiliki pH lebih besar dari pH normal akan bersifat basa. Mengingat nilai pH ditentukan oleh interaksi berbagai zat dalam air, termasuk zat-zat yang secara kimia dan biokimia tidak stabil, maka penentuan pH harus seketika setelah contoh diambil dan tidak diawetkan.
2.7.3 Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid=TSS)
dengan ukuran partikel maksimal 2 μm atau lebih besar dari ukuran partikel koloid. Jumlah zat padat atau residu terdiri dari bahan terlarut dan tersuspensi yang ada di air.
2.7.4 Zat Padat Terlarut (Total Dissolved Solid=TDS)
Zat padat terlarut menyatakan jumlah bahan yang terlarut dalam suatu larutan yang dinyatakan dalam mg/L. Interaksi antara pelarut air dengan zat padat, zat cair dan gas sehingga menghasilkan bahan terlarut dalam bentuk zat organik ataupun zat anorganik. Mineral logam dan gas merupakan zat anorganik yang mungkin terlarut dalam air. Zat tersebut dapat berhubungan dengan air di atmosfer, permukaan ataupun di dalam tanah. Zat organik bisa berasal dari pembusukan tumbuh-tumbuhan, bahan organik dan gas organik.
Penentuan jumlah zat padat terlarut dapat dilakukan dengan menguapkan sampel air yang telah disaring untuk menghilangkan padatan tersuspensi. Residu yang tersisa ditimbang dan merupakan jumlah zat padat terlarut dalam air. Kadar zat padat terlarut yang tinggi menunjukkan adanya kandungan ion-ion seperti K+, Na+dan Cl
-Beberapa gangguan dalam analisis TDS harus dihindari agar data lebih akurat dan tepat. Air yang mengandung kadar mineral tinggi seperti kalsium, magnesium, klorida dan sulfat dapat bersifat higroskopis sehingga memerlukan pemanasan yang lama, pendinginan dalam desikator yang baik. Garam-garam yang telah mengendap akibat penguapan dalam oven, maka penimbangan zat padat harus dilakukan dengan cepat.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat-alat yang Digunakan
Sel berpengaduk, kertas Whatman 42, botol plastik, pH meter, hotplate, tabung gas,
neraca analitis, oven, ayakan 200 mesh, pengaduk magnetik, batang stainless steel,
kaca ukuran 25 x 30 cm, selotip tebal, bak koagulasi, regulator, tabung gas nitrogen, stopwatch, dan peralatan gelas yang umum digunakan di laboratorium.
3.1.2 Bahan-bahan yang Digunakan
Polisulfon, bentonit alam asal Kabupaten Bener Meriah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Dimetil Asetamida (DMAc) (E.Merck), air gambut, aseton (E.Merck) dan akuades.
3.2 Prosedur Kerja
3.2.1 Persiapan Mikrobentonit (Dewi dan Hidajati, 2012)
Sampel yang digunakan diperoleh dari Kabupaten Bener Meriah Nanggroe Aceh Darussalam. Bentonit dihancurkan dengan menggunakan alat Hummer Mill dan
diayak dengan ayakan 200 mesh. Sebanyak 100 gr bentonit direndam dalam 600 mL H2SO4 1,5 M dan diaduk dengan pengaduk magnet selama 6 jam. Suspensi yang
terbentuk didiamkan selama 24 jam dan disaring dengan alat vakum dan dicuci dengan akuades panas sampai bebas ion sulfat. Bentonit dikeringkan ke dalam oven pada suhu 105oC selama 3-4 jam kemudian diayak dengan ayakan 200 mesh. Mikrobentonit aktif diidentifikasi dengan X-Ray Diffraction (XRD) dan selanjutnya
3.2.2 Pembuatan Membran Polisulfon dengan Pengisi Mikrobentonit
Membran polisulfon-mikrobentonit dibuat secara inversi fasa perendaman yaitu Polisulfon 15% (w/w) dilarutkan dalam dimetil asetamida (DMAc), kemudian
dicampur dengan mikrobentonit aktif dengan perbandingan 0%, 5%, 10%, 15% dan 20% terhadap polisulfon dan biarkan selama 24 jam. Larutan ini kemudian diaduk dengan pengaduk magnet hingga homogen. Larutan ini disebut dengan larutan dope.
Sebelum proses pencetakan, larutan dope didiamkan 30 menit yang bertujuan untuk
menghilangkan gelembung udara yang terkandung di dalamnya. Larutan dope dituang
di atas plat kaca yang telah diolesi aseton lalu diratakan dengan batang stainless steel
hingga terbentuk lapisan tipis dan dibiarkan selama 7 menit. Lapisan tipis direndam di dalam bak koagulasi air selama 10 menit hingga membran terlepas. Membran dikarakterisasi dengan Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), permukaan
dan pori membran dengan Scanning Electron Microscopy (SEM).
3.2.3 Uji Permeabilitas
Uji permeabilitas dilakukan dengan menggunakan sampel air gambut asal daerah Panam, Kota Pekanbaru. Membran polisulfon-mikrobentonit dipotong berbentuk lingkaran sesuai dengan ukuran sel membran dan diletakkan di dalam sel. Membran dikompaksi pada tekanan 2 bar untuk mendapatkan kondisi stabil. Pengambilan data dimulai pada tetesan pertama air melewati membran. Air yang melewati membran ditampung dengan gelas ukur hingga volume mencapai 5 mL. Waktu yang dibutuhkan air untuk melewati membran dari tetes pertama hingga mencapai volume tersebut dicatat sebagai waktu alir. Kecepatan alir air melewati membran tersebut dinyatakan sebagai fluks yang dihitung menggunakan persamaan (1).
3.2.4 Uji Selektifitas
pengukuran selektifitas, terlebih dahulu membran dikompaksi pada tekanan 2 bar untuk mendapatkan keadaan stabil. Sampel air gambut diedarkan pada membran dengan tekanan 2 bar, dengan laju pengadukan 400 rpm pada temperatur kamar. Permeat yang melewati membran tersebut diambil sebanyak 5 mL.
3.2.5 Analisis Parameter Sampel Air Gambut
3.2.5.1 Analisis Kekeruhan
Alat turbidimeter dikalibrasi sesuai dengan petunjuk penggunaan alat. Pemeriksaan kekeruhan sampel menggunakan standar 100 NTU kemudian dikalibrasi dengan standar 100 NTU. Sampel air gambut dikocok terlebih dahulu dan dibiarkan hingga gelembung udara pada sampel hilang. Sampel air gambut dimasukkan kedalam tabung pada turbidimeter. Skala kekeruhan dibaca langsung dari alat dan catat nilai kekeruhan yang didapat.
3.2.5.2 Analisis Derajat Keasaman (pH)
Alat pHmeter dikalibrasi terlebih dahulu menggunakan larutan buffer standar dengan
pH 4,7 dan 9. Elektroda dibilas dengan akuades kemudian dikeringkan. Elektroda dicelupkan ke dalam sampel air gambut sehingga menunjukkan nilai yang stabil dan catat nilai pH yang teramati pada alat.
3.2.5.3 Analisis Jumlah Zat Padat Tersuspensi (TSS) (SNI 06-6989.3-2004)
cepat sampai berat konstan. Kandungan TSS air gambut ditentukan dengan persamaan :
Keterangan: a = berat kertas saring dan residu sesudah pemanasan (mg) b = berat kertas saring sesudah dipanaskan (mg)
c = volume sampel (ml)
3.2.5.4 Analisis Jumlah Zat Padat Terlarut (TDS) (SNI 06-6989.27-2005)
Pengukuran padatan terlarut total secara gravimetri. Sampel air gambut dimasukkan ke dalam alat penyaring yang telah dilengkapi dengan alat pompa penghisap dan kertas saring. Operasikan alat penyaringnya. Setelah sampel tersaring semuanya bilas kertas saring dengan air suling sebanyak 10 mL dan dilakukan dengan 3 kali pembilasan. Lanjutan penghisapan selama kira-kira 3 menit setelah penyaringan sempurna. Pindahkan seluruh hasil saringan ke dalam cawan yang telah mempunyai berat tetap. Uapkan hasil saringan hingga kering pada penangas air. Masukkan cawan yang berisi padatan terlarut yang sudah kering ke dalam oven pada suhu 180oC kurang lebih 1 jam. Dinginkan cawan ke dalam desikator, setelah dingin timbang dengan neraca analitik. Kandungan TDS air gambut ditentukan dengan persamaan :
Keterangan : a = berat cawan kosong setelah pemanasan 180o
b = berat cawan berisi padatan terlarut setelah pemanasan 180 C (gr)
o
c = volume sampel (ml)
3.3 Skema Kerja
3.3.1 Persiapan Mikrobentonit
Direndam dalam 600 mL H2SO4 1,5 M
Diaduk dengan pengaduk magnet selama 6 jam
Suspensi
Dikeringkan dalam oven suhu 105oC (3-4 jam) Bentonit aktif
100 bentonit 200 mesh
Disaring dengan penyaring vakum
Dicuci dengan akuades panas Didiamkan selama 24 jam
Digerus dan diayak ukuran 200 mesh
3.3.2 Pembuatan Membran Polisulfon-Mikrobentonit
Dilarutkan dalam DMAc
Ditambahkan mikrobentonit 0%,5%,10%,15%,20%
Larutan dope
Diamkan selama 24 jam
Didiamkan selama 30 menit
Membran polisulfon-mikrobentonit Polisulfon 15% ( w/w )
Dituangkan diatas plat kaca
Diratakan dengan batang stainless steel
Lapisan dibiarkan selama 7 menit
Lapisan tipis direndam dalam air selama 10 menit Aduk selama 1 jam atau sampai homogen