• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguatan hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias: studi kasus di Desa Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penguatan hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias: studi kasus di Desa Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang"

Copied!
336
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUATAN HUBUNGAN KEMITRAAN PENGRAJIN KAYU

UKlR DAN HlAS

(Studi Kasus di Desa Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten

Sumedang Propinsi Jawa Barat)

RlSNA RESNAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

RlSNA RESNAWATY, Penguatan Hubungan Kemitraan Pengrajin Kayu Ukir dan Hias (Studi Kasus di Desa Cipacing, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang). Dibimbing oleh NELSON ARITONANG sebagai Ketua, ARYA HAD1 DHARMAWAN sebagai anggota komisi pembimbing.

Usaha kecil menengah merupakan unit usaha yang dipandang potensial untuk menompang perekonomian nasional terutama pasca krisis-ekonomi. Usaha kecil dianggap telah memberikan sumbangan yang nyata dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, antara lain dalam penyediaan kesempatan untuk mendapatkan upah minimum, penciptaan lapangan kerja, serta berperan dalam penerimaan devisa nasional.

Permasalahan usaha kecil baik pada tingkat mikro maupun pada tingkat makro merupakan kendala yang menghambat pertumbuhan usaha kecil. Permasalahan yang ada kian dipersulit oleh masalah struktural dalam dunia usaha yang ditunjukkan oleh adanya kesenjangan antara usaha besar yang menguasai sebagian aset produktii, sedangkan usaha kecil hanya menguasai sebagian aset produktii. Hal tersebut dapat tercermin dalam pola hubungan produksi yang menyebabkan terhambatnya perkembangan mereka secara sosial maupun ekonomi. Salah satu instrumen untuk mengatasi perrnasalahan bagi usaha kecil adalah dengan kemitraan. Setiap pihak yang bermitra memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga untuk saling menguatkan di antara mereka keperluan kerjasama dan kemitraan. Setting kemitraan antara tiga pelaku usaha dalam kajian ini adalah tiga kelompok pengrajin yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda yaitu bandar kerajinan, pengrajin kecil dan buruh pengrajin di desa Cipacing Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang Jawa Barat.

Kajian ini dibuat dengan tujuan dapat membuat suatu strategi penguatan hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias secara partisipatoris. Sebagai landasan penyusunan rencana program, tujuan khusus dari kajian ini adalah : (1) Mengidentifikasi hubungan kemitraan yang dimiliki pengrajin kayu ukir dan hias di desa Cipacing. (2) Mengetahui Faktor Internal dan ekstemal yang mempengaruhi hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di desa Cipacing. (3) Menyusun strategi penguatarl hubungan kemitraan yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan pengrajin kayu ukir dan hias di desa Cipacing secara partisipatif.

Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara mendalam dengan responden dan informan, pengamatan lapangan dan diskusi kelompok serta kajian dokumentasi dari daia sekunder. Hasil temuan di lapangan yang dikonfirmasikan dengan komunitas pengrajin, maka dirimuskan permasalahan yang dihadapi oleh pengrajin kayu ukir dan hias dalam hubungan kemitraan mereka, antara lain: (1) Persaingan yang kurang sehat akibat belum adanya standar harga. (2) Keterlambatan dalam pembayaran upah kerja, (3) Kurangnya modal, (4) Belum adanya paguyuban atau kelompoklorganisasi. (5) Tidak adanya standar upah setiap pengerjaan komponen, (6) Belum ada Investor, (7) Penlasaran Terbatas.

(3)

ABSTRACT

Risna Resnawaty. Enhancement of Partnership Relation of Wood-carving and Handycraft Artisans (Case Study in Cipacing Village. Jatinangor Subdistrict. Regency of Sumedang). Supervised by NELSON ARITONANG as chairperson, ARYA HA Dl DHA RMA WA N as member of guide commision.

Small and medium enterprises are potential units to support national economy mainly after the economic crisis. SmaN enterprises was considered to give real contribution in both economic growth and development for instance in providing opportunity to gain minimum wage, to create jobs, and playing important role in gaining national income.

The problem of small enterprises both in micm and macro level have been to constraints in their growths. To make matter worse, the stwctural problenrs afflicted in bussines life, shown by unequal@ between b g enterprises which have so much power to dominate half of productive assets, and those the small and medium enterprises which only get small part of productive assets. It was reflected in the production relation pattern which hindered the development of small and medium enterprises both socially and economically as well. One of the instrument to solve the problem is partnership. Each party involving in the partnership has not only advanteges but also advantages. It is therefore necessary to enhance cooperation and partnership. The setting of partneship among three business actors in this study is three groups of craftmen who has special camcteristic which is different to one another, to be mentioned; the bearer/collector, the craftmen and the labour in Cipacing Village, Jatinangor Subdistrict, Regency of Sumedang, West Java.

The purpose of the study is to produce an enhancement strategy of partnership relab'ons between woodcarving and handycraft artisans in term of participatory. As

a

base of the prvgram planning, the particular purposes of this study are as follows: (1) to identify partnership relations of wood carvings and handycraft artisans, (2) To know internal and external factors influencing partnership relations of wood carving and handycraft artisans in Cipacing Village, (3) to set enforcement strategy of partnership relations to increase the prosperity of wood carving and handycraft artisans in Cipacing Village in term of participatory arpmach

The collection of data were conducted through deep interviews with respondents and informen, d i m observation, group discussion and documentary studies of secondary data. The result found in such feld then were confirm to the artisan commr~nity, and it tt!erefom were set into

a

problem of research, to be mentioned; (1) the unf& competition due to the absence of price standad, (2) the delay of remuneratbn, (3) the lack of capital, (4) the absence of group/organization, (5) the absence of wage standard to each work of component, and (7) 1imitt)d marketing.
(4)

Judul Tugas Akhir

:

Penguatan Hubungan kemitraan Pengrajin Kayu Ukir dan Hias

(Studi Kasus di Desa Cipacing, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang)

Nama

:

Risna Resnawaty

NRP. : A. 154050265

Nelson Aritonana. Drs.. MSSW. K e t u a

Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Ma

(5)

PRAKATA

Alhamdulillahi robbila'lamin, puji serta syukur Peulis panjatkan ke hadirat Allah S W , atas hidayah, perlindungan serta karunia-Nya, Penulis akhirnya dapat menyelesaikan kajian ini, sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Prodfesional Pengembangan Masyarakat di Sekolah Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor. Kajian ini berjudul: PENGUATAN HUBUNGAN KEMITRAAN PENGRAJIN KAYU UKlR DAN HlAS Dl DESA ClPAClNG ( Studi Kasus di Desa Cipacing Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang), yang penulisannya dimulai pada bulan Desember 2005 dan berakhir pada bulan Februari 2007.

Selama proses penulisan tugas akhir ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan dan arahan serta bantuan dari be-gai pihak oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih serta penghargaan setinggi-tingginya kepada:

Bapak Nelson Ariionang, Drs., MSSW., selaku ketua komisi pembimbing dalam penulisan tugas akhir ini.

Bapak Arya Hadi Dharmawan, DR.,lr., M.Sc. Agr., selaku anggota komisi pembimbing dalam penulisan tugas akhir ini.

Seluruh Dosen Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana lnstitut Pettanian Bogor yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan.

Seluruh dosen dan Staf jurusan llmu Kesejahteraan Sosial Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik Universitas Padjadjaran atas dorongan untuk segera menyelesaikan studi Pascasarjana dan tugas akhir.

Kepala Desa dan aparat Desa Cipacing, beserta komunitas pengrajin kayu ukir dan hias serta seluruh masyarakat Desa Cipacing yang tidak bosan memberikan pattisipasi selama proses pengumpulan data di lapangan.

Suamiku Rivani, atas doa, kasih sayang serta kesabaran untuk memahami kesibukan selama mengikuti pendidikan pascasarjana dan penulisan tugas akhir ini. Ravinka anakku, semoga semangat 3an perjuangan ini menjadi semangat bagimu untuk mencapai prestasi yang lebih baik dari mama.

Keluarga Rancaekek 117 dan Keluarga Pangeran Antasari

10

Jakarta, atas dukungan moril beserta materiil sehingga penulis mampu menyelesaikan studi.

Akhir kata dengan segala kerendahan hati periulis berharap semoga kajian ini dapat memberikan manfaat kepada fihak-fihak yang berkepentingan dan dapat bermanfaat bagi kbasanah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pengembangan masyarakat.

Bogor, Februari 2007

(6)

Penulis dilahirkan di kota Bandung, propinsi Jawa Barat pada tanggal 7 Desember 1981 dari pasangan H. Fathoni dan Hj. Purwita. Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara.

Penulis menyeiesaikan pendidikan Strata 1 pada jurusan llmu Kesejahteraan Sosiai, Fakultas llmu Sosial dan llmu Politik, Universitas Padjadjaran pada tahun 2004. Pada tahun 2005 penulis rnelanjutkan studi ke Magister Profesional Pengembangan Masyarakat di Sekolah Pascasarjana lnstitut Pertanian Bogor.

(7)

DAFTAR IS1

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii ...

DAFTAR GAMBAR ... XIII ... ... DAFTAR MATRI KS XIII ... DAFTAR LAMPI RAN xiv I

.

PENDAHULUAN 1

.

1. Latar Belakang Masalah

...

1

1.2. Masalah Kajian ... 4

1.3. Tujuan

...

6

1.4. Kegunaan

...

7

II

.

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan ... 8

2.2. Usaha Kecil ... I I 2.3. Pemberdayaan Masyarakat

...

14

2.4. Kemitraan ... 19

2.5. Modal Social ... 29

2.6. Kerangka Kajian

...

31

Ill

.

METODE KAJIAN ...

.

3.1 Strategi kajian 39 3.2. Tempat dan waktu kajian ... 40

3.3. Metode dan teknik pengumpulan data ... 40

3.4. Analisis dan pelaporan

...

44

...

3.5. Rancangan penyusunan Program 44 IV

.

PETA SOSIAL MASYARAKAT DESA 4.1. Kependudukan

...

47

...

.4. 2. Sistern Ekonomi 49 4.3. Struktur Komunitas

...

52

... 4.4. Kelembagaan 53 4.5. Sumber Daya lokal

...

56

4.6. Masalah Sosial ... 57

V

.

ANALISIS HUBUNGAN KEMITRAAN PENGRAJIN KAYU UKlR DAN HlAS DESA ClPAClNG 5.1. Pola Kernitraan ... 60

5.1 . 1. Pola Kernitraan Kerjasama Operasional ... 60

5.1.2. Pola Kemitraan Subkontrak ... 62

(8)

...

5.2. Profil Hubungan Kemitraan 65

5.2.1. Hubungan Kemitraan Berdasarkan Aspek-aspek Sosial ...

5.2.1

.

1 Jejaring Kerja 65

...

5.2.1.2. Komunikasi 72

...

5.2.1.3 Kepercayaan 77

5.2.1.4 Etika Kemitraan

...

80 5.2.2.

.

Hubungan Kemitraan Berdasarkan Aspek-aspek Ekonomi

5.2.2.1. Modal

...

86 5.2.2.2. Bahan Baku

...

90

...

5.2.2.3. Pemasaran 92

...

5.2.2.4. Pengetahuan dan Keterampilan 95

...

5.2.2.5. Pendapatan 96

5.2.3. Faktor lntemal dan Ekstemal yang Mempengaruhi Hubungan Kemitraan

...

5.2.1

.

Faktor Internal 101

...

5.2.2. Faktor Eksternal 104

VI

.

PENGUATAN HUBUNGAN KEMITRAAN PENGWIN KAYU UKlR DAN HlAS Dl DESA CIPACING

...

6.1

.

ldentifikasi Potensi dan Permasalahan 128

...

6.2. Perumusan Altematif Pemecahan Masalah 135

6.3. Program Penguatan Hubungan Kemitraan

...

137

...

6.3.1

.

Latar Belakang Program 139

...

6.3.2. Tujuan Program 139

...

6.3.3. Rincian Program 139

VII

.

KESIMPULAN DAM REKOMENDASI

...

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

...

1 Teknik Pengumpulan Data 42

2 Topik-topik Pengumpulan Data ... 43 ... 3 Jumlah Penduduk Desa Cipacing berdasarkan Umur 47

... 4 Komposisi Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan 48

...

5 Komposisi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian 50 6 Topik Komunikasi dalam Hubungan Kemitraan antar Pengrajin

...

Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing 73

...

7 Mitra yang diajak Berkomunikasi 74

8 Alasan Kepercayaan dalam Hubungan Kemitraan

...

78 9 Bidang Kepercayaan dalam Hubungan Kemitraan ... 79

...

10 Mitra yang menentukan Besarmya Upah dan Harga 82 11 Mitra dalam Pengadaan Modal dalam Hubungan Kemitraan

...

88 12 Rata-rata Pendapatan Per-bulan dalam Hubungan Kemitraan ... 97

...

13 Tingkat Pendidikan Pengrajin 103

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

[image:10.563.71.466.76.755.2]

... Hubungan Kemitraan Pengrajin Kayu Ukir dan Hias Desa Cipacing 5

...

Sifat dan Kepribadian dalam Kemitraan 20

...

Kerangka Pemikiran 38

...

Salah Satu Showroom Kerajinan Milik Bandar 49

...

Pola Kemitraan Kerjasama Operasional 61

Pola Kemitraan Subkontrak ... 63 Pola Kemitraan Dagang Umum ... 64

...

Grafik Pendapatan Pengrajin di Desa Cipacing 98

Analisis Masalah Hubungan Kemitraan Pengrajin Kayu Ukir

...

dan Hias di Desa Cipacing 119

Rancangan Program Penguatan Hubungan Kemitraan ... 122

DAFTAR MATRIKS

Halarnan

...

Karakteristik Pola Inti Plasma 24

Karakteristik Pola Subkontrak ... 25 Karakteristik Pola Dagang Umum

...

26 Karakteristi~ Pola Keagenan

...

26

...

Karakteristik Pola Kerjasama Operasional 27

Hubungan Kemitraan Kegiatan Jejaring Kerja

...

71

...

Komunikasi antar Pengrajin dalam Hubungan Kemitraan 76 Kepercayaan dalam Hubungan Kemitraan

...

79

...

Etika Kemitraan dalam Hubungan Kemitraan 85

Hubungan Kemitraan dalam Bidang Pengadaan Modal ... 89

Hubungan Kemitraan dalam Pengadaan Bahan Baku

...

91 ...

Hubungan Kemitraan dalam Bidang Pemasaran 94

Hubungan Kemitraan dalam Bidang Pengetahuan dan Keterampilan

...

96 Pendapatan Pengrajin dalam Hubungan Kemitraan ... 100 Faktor Internal yang Mempengaruhi Hubungan Kemitraan ... 104 Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Hubungan Kemitraan ... 107 Perbandingan Karakteristik Pola Kemitraan dalam Aspek-aspek

...

Hubungan Kemitraan 112

...

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Ha lam an

...

1 Jadwal Pengumpulan Data 150

2 Panduan Penetapan Responden dan lnforman ... 153 3 Pedoman Wawancara ... 154

(12)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Krisis multidimensi yang terjadi sejak awal tahun 1998 telah menyebabkan berbagai dampak buruk bagi aspek kehidupan masyarakat, di antaranya keterpurukan kondisi sosial dan ekonorni masyarakat Indonesia. Hal ini merupakan dampak yang dirasakan secara menyeluruh terlebih pada masyarakat marjinal antara lain rnasyarakat lokal dan masyarakat yang berada di daerah penyangga atau sub-urban.

Penanganan terhadap masalah kemiskinan merupakan ha1 yang tidak dapat diabaikan. Menyikapi kegagalan program penanganan kemiskinan yang telah dilakukan oleh pemerintah, perlu dilakukan penanganan kemiskinan yang menekankan pada penguatan solusi-solusi yang ditemukan oleh masyarakat. Penanganan tersebut menggunakan pendekatan yang pada dasarnya lebih memfokuskan pada pengidentifikasian "apa yang dimiliki oleh orang miskinn dari pada "apa yang tidak dimiliki oleh orang miskin" sehingga dapat dilakukan penanganan yang mampu memecahkan permasalahan sosiaCekonomi mereka. (Suharto, 2003).

Pendekatan yang dilakukan adalah pemberdayaan, di mana pada pelaksanaannya dilakukan pengembangan terhadap potensi masyarakat dengan tujuan meningkatkan kondisi sosial-ekonomi mereka. Dengan demikian masyarakat dan lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis dari peningkatan produktivitas mereka. Masyarakat miskin atau yang berada pada posisi belum terrnanfaatkan secara potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya din' dan harga dirinya (Kartasasmita, 1996).

Usaha kecil menengah merupakan unit usaha yang dipandang potensial untuk menompang perekonomian nasional terutama pasca krisis-ekonomi. Usaha kecil dianggap telah memberikan sumbangan yang nyata dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonorni, antara lain dalam penyediaan kesempatan untuk mendapatkan upah minimum, penciptaan lapangan kerja, serta berperan dalarn penerimaan devisa nasional.

(13)

merupakan langkah yang selaras dengan upaya-upaya pemerintah untuk mengurangi pengangguran, memerangi kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Hal tersebut sesuai dengan peranan usaha kecil yang lebih bersifat padat karya dibandingkan dengan padat modal. Karena usaha kecil menciptakan pekerjaan dengan modal yang relatif kecil. Selain itu usaha kecil juga menyediakan pengembangan industri di waktu mendatang karena menawarkan peluang yang berarti bagi mereka yang memiliki kemampuan berwirausaha. Oleh karena itu seringkali arah kebijakan pengembangan usaha kecil secara tidak langsung merupakan kebijakan penciptaan kesempatan kerja anti kemiskinan, atau kebijakan redistribusi pendapatan.

Perrnasalahan usaha kecil baik pada tingkat mikro maupun pada tingkat makro merupakan kendala yang menghambat pertumbuhan usaha kecil. Permasalahan yang ada kian dipersulit oleh masalah struktural dalam dunia usaha yang ditunjukkan oleh adanya kesenjangan antara usaha besar yang menguasai sebagian aset produktif, sedangkan usaha kecil hanya menguasai sebagian asd produktif. Hal tersebut dapat tercermin dalam pola hubungan produksi yang menyebabkan terhambatnya perkembangan mereka secara sosial maupun ekonomi.

Kesenjangan merupakan akibat dari tidak meratanya pemilikan sumber daya produksi dan produktivitas, serta sistem distribusi dan pasarnya, di antara para pelakv ekonomi. Kelompok usaha kecil dengan pemilikan faktor produksi terbatas dan produktivitas rendah memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah. (Kartasasmita, 1997).

Salah satu instrumen untuk mengatasi pertnasalahan bagi usaha kecil adalah dengan kemitraan. Kemitraan adalah hubungan antara pihak-pihak yang bermitra yang didasarkan pada ikatan yang saling menguntungkan dalam nubungan kerja sinergis, yang hasilnya bukanlah suatu zero sum game, tetapi positive-sum game atau win-win solution. Dalam ha1 ini setiap pihak yang bermitra memiliki potensi, kemampuan. dan keistimewaan sendiri, walaupun berbeda ukuran, jenis, sifat, dan tempat usahanya. Setiap pelaku juga memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga untuk d i n g menguatkan di antara mereka timbul keperluan kerjasama dan kemitraan.

(14)

memiliki mata pencaharian sebagai pengrajin. Masyarakat yang disebut memiliki mata pencaharian sebagai pengrajin terbagi menjadi tiga golongan sesuai dengan istilah dan kapasitas rnereka, yaitu bandar kerajinan, pengrajin kecil, dan buruh pengrajin.

Bandar kerajinan merupakan kolektor kerajinan yang telah siap jual, biasanya yang disebut sebagai bandar ini adalah pemilik modal besar dan mempekerjakan buruh pengrajin dan pengrajin kecil di sekitarnya yang memiliki keterampilan membuat kerajinan. Selain sebagai kolektor, bandar juga merakit komponen-komponen kerajinan menjadi kerajinan siap jual.

Pengrajin kecil merupakan orang yang memiliki keterampilan membuat kerajinan, yang mereka jual pada kolektor atau bandar rnaupun langsung pada konsumen. Pengrajin ini umumnya memiliki modal yang kecil.

Buruh pengrajin merupakan orang yang memiliki keterampilan membuat kerajinan, biasanya mereka mengerjakan kompanen- komponen kerajinan sebelum kerajinan tersebut dirakit dan siap untuk dijual dengan sistem orderlmakloon (sistem pembayaran sesuai dengan jumlah pekerjaan yang diselesaikan).

Jenis kerajinan yang dihasilkan meliputi puluhan jenis hiasan yang terbuat dari kayu yang merupakan kerajinan aslillokal maupun kerajinan mancanegara antara lain; alat musik hias, senjata panahan, lukisan tempel, patung hias dan patung ukir, senjata tradisional maupun senjata yang berasal dari mancanegara (ridhu-ridhu, limstick, dll). Kerajinan tangan yang dihasilkan oleh pengrajin di wilayah ini sangat diminati oleh pasar lokal mzupun internasional. Dengan demikian secara sepintas, wilayah Desa Cipacing dapat dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan ekonomi

yang tinggi. Namun pada kenyataannya kesuksesan tersebut masih dimiliki oleh sekelompok kecil usaha besar pada wilayah tersebut sedangkan sebagaian besar lainnya terrnasuk dalam kelompok miskin.

(15)

dan pemasaran. Hal tersebut mengakibatkan adanya kesenjangan secara sosial maupun ekonomi antar pengrajin.

1.2. Masalah kajian

Ketiga pelaku ekonomi yaitu bandar kerajinan, pengrajin kecil dan buruh pengrajin, merupakan motor penggerak utama laju perkembangan ekonomi lokal di Desa Cipacing. Mereka menjalankan usahanya secara bermitra.

Menurut Sasono

(2000)

dalam Hafsah

(2000):

"upaya untuk mempercepat pemberdayaan ekonomi rakyat dapat dicapai melalui kemitraan usaha yang tangguhn. Konsep kemitraan usaha merupakan suatu strategi yang efektif dalam upaya pemberdayaan usaha kecil, seperti yang tertuang dalam UU no. 9 Tahun 1995, di mana di dalam 'konsep pemberdayaan usaka kecil" melalui kemitraan perlu difahami bersama bahwa: pemberdayaan menganduny arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan hams dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, namun harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Ini berarti bahwa mitra usaha yang lebih kuat harus memperlakukan mitranya yang kecil benar-benar sebagai mitra yang sederajat. Selanjutnya pemberdayaan UKM bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, akan tetapi merupakan tanggung jawab masyarakat. (Sanjaya, 1998).

Gejolak ekonomi dan politik Indonesia yang pasang sunrt memberi dampak yang cukup besar bagi pengrajin Desa Cipacing. Sejalan dengan krisis ekonomi, perekonomian masing-masing warga Desa Cipacing mengalami dinamika yang beragam. Desa Cipacing merupakan sentra industri kerajinan yang pernasarannya sudah mencapai tingkat nasional bahkan intemasional. Pengrajin yang telah mampu memasarkan kerajinannya hingga ke luar negeri berhasil meraih kecntungan yang sangat besar. Bagi bandar kerajinan yang mengekspor kerajinan ke luar negeri, krisis ekonomi merupakan berkah bagi mereka karena keuntungan didapatkan berlipat seiring dengan naiknya harga tukar dollar. Dengan demikian di wilayah ini banyak didirikan rumah-rumah besar dan mewah milik bandar kerajinan. Akibat dari ha1 tersebut Desa Cipacing kemudian dinilai sebagai Desa yang maju dan tidak memiliki pertnasalahan kemiskinan.

(16)

sederhana yang terbuat dari bilik, yang merupakan rumah buruh-buruh pengrajin maupun pengrajin kecil. Maka secara sepintas dapat diketahui terdapat kesenjangan yang lebar di antara ketiga pelaku ekonomi di Desa Cipacing, yaitu antara bandar kerajinan, pengrajin kecil dan buruh pengrajin. Kondisi ekonomi buruh pengrajin memang bisa dianggap cukup memprihatinkan pendapatan yang mereka miliki hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Bagi pengrajin kecil maupun buruh pengrajin dampak krisis ekonomi; antara lain naiknya harga BBM, harga bahan makanan pokok dan biaya hidup menyebabkan mereka semakin terpuruk karena kenaikan harga-harga tersebut tidak diiringi meningkatnya penda~atan. Meskipun harga barang yang dijual ke luar negeri tersebut sangat tinggi, namun para pengrajin tersebut tidak mendapatkan bagian yang besar. Buruh pengrajin biasanya bekeja seharian penuh bahkan kadang dari pagi hingga malam hari, namun penghasilan mereka cenderung kecil, dengan sistem upah per satuan barang yang selesai dikerjakan. Misalnya untuk pembuatan "paser" (mata panah) mereka diupah sebesar Rp. 100,- perbuah, apabila mereka berhasil membuat sebanyak 60 buah maka upah yang mereka dapatkan adalah sebesar Rp. 6000,- per hari. Pendapatan tersebut sangat jauh dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh oleh Bandar. Setiap penjualan satu unit kerajinan panah Bandar kerajinan bisa meraih keuntungan hingga puluhan ribu rupiah.

-

Buruh pengrajin Pengrajin kecil

Baodar Kerajinan

I

Intemasional

I

Gambar

:.

Hubungan Kemitraan Pengrajin Kayu Ukir dan Hias Desa Cipacing
(17)

memproduksi dan memasarkan barang secara mandiri, seringkali terhambat persaingan harga yang tidak sehat antar pengrajin.

Berdasarkan kondisi tersebut maka didapatkan beberapa perrnasalahan di antara pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing, yaitu: 1) Terdapat potensi konflik antar pengrajin akibat adanya kesenjangan pendapatan yang tajam. 2) Terjadi ketidakadilan yang diderita oleh pengrajin kecil dan buruh pengrajin sebagai akibat peminggiran oleh pengusaha besar. 3) Terjadi masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi yang lebar di antara pengrajin. Serta, 4) terdapat hubungan yang tidak seimbang antar pengrajin.

Masalah kemiskinan yang dialami oleh pengrajin di Desa Cipacing disebabkan oleh berbagai kondisi baik internal maupun ekstemal. Namun dengan segensp potensi yang dimiliki, seharusnya masalah tersebut tidak te rjadi pada mereka. Dengan demikian bertitik tolak dari beberapa asumsi di atas, bagaimana kemitraan seharusnya menjadi solusi dari permasalahan bagi para pengrajin di Desa Cipacing, menjadi topik yang menarik untuk dikaji.

Berdasarkan ha1 tersebut maka rumusan perrnasalahan kajian yang diajukan dalam proposal ini adalah: bagaimana strategi penguatan hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing?

Rumusan kajian tersebut selanjutnya dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan : (1) Bagaimana profil hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa

Cipacing?

(2) Apakah faktor internal dan ekstemal yang mempengaruhi hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing?

(3) Bagaimana strategi peguatan hubungan kemitraan dalam meningkatkan kesejahteraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing?

1.3. Tujuan Kajian

Tujuan yang ingin dicapai dari kajian pengembangan masyarakat ini adalah: 1. Mengidentifikasi hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dart hias di

Desa Cipacing.

2. Mengetahui Faktor Internal dan eksternal yang mernpengaruhi hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing.

(18)

1.4. Kegunaan

Kegunaan dari kajian ini adalah :

1. Kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemahaman teoriiis mengenai hubungan kemitraan yang dimiliki oleh pengrajin.

2. Kajian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengrajin untuk mengantisipasi permasalahan dan mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk penyelesaian masalahnya.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kemiskinan

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf hidup kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompokm tersebut (Soekanto, 1990).

Definisi kemiskinan di atas menggambarkan bahwa orang dengan predikat miskin merupakan orang yang tidak memiliki mata pencaharian, tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dibandingkan dengan taraf hidup orang lain dalam kelompok tersebut. Berdasarkan perkembangan dalam pola hidup masyarakat, terjadi perbedaan antara kemiskinan pada satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Baharsyah (1999), mengemukakan penduduk miskin merupakan orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang iayak bagi kemanusiaan. Dalam ha1 ini, penduduk miskin memiliki mata pencaharian namun pendapatan yang mereka peroleh dari mata pencaharian tersebut tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka. Pada definisi ini predikat miskin dapat diberikan pada seseorang meskipun seseorang tersebut memiliki mata pencaharian namun tidak layak bagi penghidupannya serta tidak sesuai dengan taraf hidup kelompok di mana dia tinggal.

Dalam perspektif pekerjaan sosial, orang miskin adalah orang yang terhambat dalam melaksanakan keberfungsian sosial mereka. Keberfungsian sosial berarti; (1) kemampuan memenuhi kebutuhan hidup mereka, (2) kemampuan memecahkan pernasalahan mereka dan (3) kemampuan menjalankan peranan mereka (Sukoco, 1991). Berdasarkan kedua pengertian di atas kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan dari seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokok dalam menjalankan keberlangsungan hidup mereka.

(20)

disebut lingkaran yang tak berujung pangkal. Kondisi tersebut selanjutnya mempersulit kelompok miskin untuk bangkit dari kemiskinan (Soetomo, 1995).

Masalah kemiskinan merupakan masalah multidimensional yang sebab dan akibatnya saling berkaitan dan beresiprositas. Kemiskinan dapat diakibatkan oleh faktor internal maupun eksternal dari masyarakat itu sendiri yang tidak jelas ujung pangkalnya. Masalah kemiskinan melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia. kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar hidup yang rendah yaitu adanya tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar hidup yang berlaku dalam masyarakat.

Kemiskinan di wilayah sub urban dinyatakan sebagai kehidupan warga masyarakat yang labil, antara lain dengan melambungnya harga-harga di perkotaan, masalah pemutusan hubungan kerja, tingkat konsumerisme yang tinggi seta ketergantungannya kepada hasil kerja saat itu, dengan kata lain kalau hari ini tidak bekerja berarti tidak mempunyai penghasilan dan tidak bisa makan (Pinbuk, 2004).

Definisi diatas sesuai dengan keadaan di wilayah Desa Cipacing yang merupakan daerah sub-urban atau daerah penyangga daerah kota Bandung, dengan penduduknya yang heterogen, baik dilihat dari kehidupan sosial, ekonomi, poliik, budaya, adat istiadat maupun karakteristiknya yang bervariasi. Selain itu kehidupan buwh pengrajin yang kembung kempis dalam arti hanya mendapatkan penghasilan ketika mendapat orderan, memperburuk situasi sosial ekonomi mereka. Sumarjan (1974) menyatakan kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita suatu golongan masyaraKat karena struktur sosialnya membuat masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenamya. Dalam ha1 ini yang menjadi masalahnya adalah sulitnya akses terhadap sumber-sumber kehidupan yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka.

Studi tentang kemiskinan perlu mencakup suatu asumsi dengan jangkauan luas ketika ha1 tersebut digunakan untuk memahami kelompok-kelompok orang miskin tertentu yang tinggal di suatu daerah spesifik. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa kemiskinan adalah suatu fenomena spesifik secara lokal dan mungkin saja merupakan suatlr rnasalah yang kompleks yang dihadapi oleh suatu komunitas tertentu (Alcock, 1997; yang dikutip oleh Dharmawan 2000).

(21)

dalam rangka menangkap suatu gambaran situasi yang lebih lengkap. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa kemiskinan dipercaya muncul sebagai respon langsung terhadap kelernbagaan sosial yang tidak efektif yang bisa mengakibatkan ketidaksamaan secara ekonomis dan kelompok orang yang tidak beruntung secara terstruktur.( Dharmawan, 2000)

Paparan tersebut menggambarkan bahwa kondisi dan situasi kemiskinan tidak dapat terlepas dari aspek ekonomi, politik dan sosial budaya yang tidak adil yang mengakibatkan kemiskinan. Kemiskinan merupakan kondisi ketika pendapatan lebih rendah dari kebutuhan pokok, pemilikan asset ekonomi yang terlalu sedikit serta produksi barang dan jasa yang terlalu sediki.

Friedmann, yang dikutip oleh Suharto, et al (2003) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi ketidaksamaan kesernpatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada); modal yang produktif atau asset (misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dll): sumber keuangan (income dan kredit yang memadai); organisasi-organisasi sosial politik yang dapat digunakan untuk rnencapai kepentingan bersama (parpol, sindikat, koperasi, dll), network atau jaringan sosial politik untuk rnemperokh pekerjaan, barang dan iain-lain. Pengetahuan dan keterampilan yang memadai; dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan orang.

lndikator kemiskinan yang dirniliki tiap daerah berbeda satu dengan yang lainnya. Departemen Sosial mengernukakan bahwa indikator kerniskinan adalah sebagai berikut:

1. Penghasilan rendah, atau berada di bawah garis kemiskinan yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran per-orangan per-bulan berdasarkan standar BPS perwilayah provinsi dan Kabupaten kota.

2. Ketergantungan pada bantuan pangan kemiskinan (zakat, raskin, santunan sosial)

3. Keterbatasan kepemilikan pakaian yang cukup setiap anggota keluargz per tahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun) 4. Tidak mampu mernbiayai pengobatan jika salah satu anggota keluarga sakit. 5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya. 6. Tidak memiliki harta benda yang dapat dijual untuk membiayai hidup selama

tiga bulan atau dua kali batas garis kemiskinan

7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40 tahun akibat tidak mampu rnengobati penyakit sejak awal.

(22)

Sedangkan indikator kemiskinan di Desa cipacing antara lain 1. Tidak memiliki pekerjaan yang tetap

2. Tingkat penghasilan yang rendah (seperti buruh pengrajin, buruh tani, buruh bangunan, dll.)

3. Tinggal di rumah yang tidak layak huni.

(Hasil wawancara kelompok dengan penduduk desa Cipacing, 2005)

2.2.

Usaha

Kecil

Keberadaan usaha kecil dalam perekonomian Indonesia merupakan bagian dari sejarah panjang perkembangan pembangunan ekonomi nasional. Namun demikian belum ada catatan dan kriteria baku mengenai usaha kecil. Berdasarkan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 256lMPPlKepl1997, usaha kecil dibedakan menjadi tiga yaitu : (1) semua jenis industri dalam kelompok kecil dengan nitai investasi perusahaan seluruhnya di bawah Rp. 5 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, tidak diwajibkan memperoleh daftar usaha kecil, (2) semua jenis dalam kelompok industri kecil dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya sebesar Rp. 50 juta sampai Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan dan wajib memperoleh ijin industri, (3) semua jenis industri dengan nilai. investasi di atas Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha

dan

wajib memperdeh ijin usaha industri.

Usaha kecil menurut beberapa ahli ditejemahka~ sebagai usaha yang bersifat padat karya, melibatkan anggota keluarga dan dengan ukuran unit kecil. (Widyaningrum, 2003). Bila dilihat dari akumulasi modal, usaha kecil merupakan usaha subsisten dicirikan oleh sistem produksi yang hasilnya lebih banyak digunakan untuk kebutuhan rumah tangga daripada mencari keuntungan yang dapat diinvestasikan untuk pengembangan usaha (Mulyoutami dan Susilowati, 2003).

(23)

(4) orientasi pasar sangat terbatas dan (5) pendidikan rata-rata manajer hanya sekolah dasar, dan (6) usaha dibuat sebagai usaha sampingan.

Pada prakteknya kelompok usaha kecil sering kali dikaitkan dengan pihak yang lemah secara ekonomi, sosial, politik dan kemampuan teknologi. Dengan demikian pula status usahanya yang bersifat pribadi dan kekeluargaan, tenaga berasal dari lingkungan setempat, kemarnpuan mengadopsi teknologi, manajemen dan administrasi sangat sederhana, dan struktur permodalannya sangat tergantung pada modal tetap.(Bobo, 2003)

Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah terrnasuk kerajinan menghadapi beberapa kendala atau permasalahan seperti permodalan, sarana dan prasarana serta masalah sumber day^ manusia. Beberapa masalah umum usaha kecil dan kerajinan menurut Lengkong yang dikutip oleh Maulani (1999) antara lain: * Jumlah unit usaha yang tersebar di Indonesia berada di pedesaan yang belum terjangkau sarana dan prasarana yang memadai, sehingga menyulitkan jangkauan pembinaan.

Taraf pendidikan pengusaha dan karyawannya rendah, mengakibatkan lemahnya pengetahuan mereka di bidang manajemen dan bisnis, sulit menerima gagasan h yang diperlukan untuk modemisasi industri kecil, serta sikap mental cepat puas dengan hasil yang dicapai;

Baru sebagaian kecil pengusaha kecil yang memanfaatkan modal untuk menjalankan usahanya, kredit perbankan maupun lembaga non bank karena persyaratan teknis administratif usaha belum tertib dan perlu ada agunan.

Menggunakan teknologi proses tradisional sehingga mutu dan produktivitas rendah.

Penguasaan teknologi proses diwariskan dari generasi sebelumnya, sehigga kesulitan dalam rnengembangkan keterampilan selanjutnya. Belum mampu mengikuti pameran dengan skala besar baik nasional maupun intemasional, rnisi dagang dan sebagainya karena mernerlukan biaya rnahal.

Promosi melalui media cetak dan elektronik masih kurang.

(24)

usaha kecil dinilai sebagai usaha yang paling mampu bertahan dibandingkan dengan sektor usaha lainnya. UKM menurut Syaukat dan Hendrakusumaatmadja (2005) masih mampu bertahan pada masa krisis karena memiliki beberapa kelenturan, antara lain: 1) UKMK mampu mempertahankan daya tahannya selama krisis, dari 225.000 unit UKMK, sebanyak 64,lpersen masih mampu bertahan, 0,9 persen mampu berkembang serta 3lpersen mengurangi volume usahanya dan 4 persen tidak mampu bertahan hidup. 2) Usaha-usaha yang dapat berkembang selama krisis yaitu agribisnis, usaha furniture kayu/bambu, industri elektronika. Usaha-usaha tersebut mampu bertahan karena tidak bergantung pada bahan impor serta menjual produknya untuk tujuan ekspor.

Kondisi tersebut menimbulkan kebutuhan akan pemberdayaan usaha kecil untuk dapat berorientasi lebih percaya diri serta dapat berkembang sesuai dengan kapasitas mereka. Pemberdayaan usaha kecil merupakan pemberdayaan ekonomi rakyat (komunitas) karena sektor usaha ini memberikan sumbangan terhadap PORB sebesar 88 persen. (Syaukat dan Hendrakusumaatmadja, 2005). Selain itu seMor usaha sangat cocok untuk dikembangkan di lndonesia dengan berbagai macam hambatan usaha dan potensi sumberdaya manusia Indonesia. Sumberdaya rnanusia Indonesia yang masih rendah bisa terserap deh sektor usaha kecil karena pada sektor ini tingkat pendidikan bukan merupakan syarat penting berjalannya usaha.

Pengembangan usaha kecil menjadi sangat penting dalam perekonomian nasional, sebab kemampuan usaha ini untuk bertahan hidup sangat tinggi serta karena kegiatan usaha ini tersebar dalam seluruh sektor ekonomi maka usaha kecil memiliki potensi besar dalam penyerapan tenaga kerja. Selain itu usaha ini dapat bertahan karena dapat menghasitkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyaralrat luas dengan harga yang terjangkau. (Syaifudin, 1995)

(25)

Berkaitan dengan masalah sosial yang dialami oleh pelaku usaha kecil adalah pendapatan yang terbatas sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan minim keluarga. Selain itu tenaga kerja yang dilibatkan yaitu secara kekeluargaan biasanya menyebabkan rendahnya produktivitas, serta menyebabkan munculnya permasalahan lain seperti rendahnya posisi tawar pekerja terhadap pemilik usaha dalam usaha ini. Dengan demikian selain pemberdayaan di bidang ekonomi diperlukan pemberdayaan sosial bagi sektor usaha kecil.

2.3. Pemberdayaan Masyarakat

Salah satu upaya mengurangi kemiskinan adalah upaya pengembangan masyarakat dengan tujuan pemberdayaan atau rnanumbuhkan kemandirian, mengembangkan partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasamya pemberdayaan dapat dilakukan pada tingkatan individu maupun komunitas pada tataran makro maupun mikro.

Upaya pembangunan sosial pada dasarnya meruapakan suatu pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif, dan jika memungkinkan berdasarkan prakarsa komunitas ( Adi, 2003).

Strategi pembangunan dengan konsep pengembangan masyarakat merupakan pendekatan pembangunan yang dilaksanakan berdasarkan potensi dan sumber-sumber yang terdapat di dalam diri masyarakat itu sendiri dengan melibatkan partisipasi seluruh masyarakat untuk berperan aktif sehingga tumbuh kemandirian dalam mengatasi dan memecahkan permasalahan yang mereka miliki. Strategi pengembangan masyarakat merupakan pergeseran pola pembangunan yang tadinya bersifat asal atas atau top down menjadi bottom up atau hasil dari inisiatif masyarakat akar rumput atau grassroot.

(26)

Makna pemberdayaan dikemukakan sebagai :

A process of having enough energy enabling people to expand fheir capabilities, to have greater bargaining power, to make their own decisions, and to more easily access to a source of better li,/ing". ( Dharrnawan,

2000)

Pemahaman di atas memiliki pengertian bahwa pemberdayaan memiliki kaitan dengan upaya untuk memperoleh posisi yang lebih baik dalam mendapatkan akses terhadap sumber kehidupan.

"empowerment aims to increase the power of the disadvantaged" (Ife,

2000)

pernyataan tersebut memiliki pengeitian bahwa pemberdayaan merupakan pemberian power (kekuatan) bagi mereka yang tidak memilikinya atau biasa disebut sebagai kaum lemah. Selanjutnya Ife, mengungkapkan " giving power to individuals or groups, allowing them to make into their own hands, redistributing power from the

"havesJJ to the "have nots". Maka pemberdayaan berarti mengembangkan kondisi dan situasi (melalui pendistribusian kekuatan) sehingga masyarakat memiliki daya dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupannya berdasarkan hasil kekuatan yang mereka miliki secara mandiri. Memberdayakan masyzrakat memiliki arti menempatkan masyarakat sebagai subyek dalam upaya meningkatkan kesejahteraan mereka maupun dalam upaya mengatasi dan memecahkan permasalahan mereka.

Sumardjo dan Saharudin

(2003)

mengemukakan ciri-ciri dari masyarakat yang berdaya adalah :

-1. mampu memahami diri dan potensinya

2.

marnpu merencanakanlmengantisipasi kondisi perubahan ke depan dan mengarahkannya dirinya sendiri

3. memiliki kekuatan untuk berunding, bekerjasama secara saling menguntungkan dengan bargaining power yang memadai

4. bertmggungjawab atas tindakannya sendiri.

(27)

mengusahakan membentuk masa depan membentuk masa depan sesuai keinginan mereka.

Sehubungan dengan masalah kemiskinan, pemberdayaan merupakan salah satu tujuan dari pengembangan masyarakat, dengan cara memberikan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya (Ife, 2002).

Batasan pemberdayaan masyarakat menurut Departemen sosial RI adalah: Upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok dan memecahkan masalah mereka sendiri seara mandiri dengan mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya. Adapun prinsipprinsip dasar yang digunakan dalam pemberdayaan masyarakat menurut perpektif pekerjaan sosial adalah :

1. Setiap masalah dipandang sebagai tantangan bersama yang hams dihadapi. 2. Orientasi terhadap masalah simultan dengan orientasi terhadap sumber

kekuatan,

3. Semua proses ditujukan untuk menghasilkan yang terbaik di masa depan, 4. Bentuk rdasi antar aktor bersifat kolaboratif

5. Posisi antar aktor berupa kemitraan

Pemberdayaan dapat meningkatkan kemandirian individu atau keiompok masyarakat untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan, serta mengambil iceputusan dalam kehidupan mereka. Dalam ha1 ini pemberdayaan menjembatani kesenjangan antara pemilik kekuatan dengan orang yang kurang beruntung

(disadvantaged) melalui aksi dan kerjasama untuk pemecahan masalah mereka.

"Empowerment bridges the gap between the personal and the political and

reduces the humiliation that keeps powerless" (Rubin-Rubin, 1992)

(28)

berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya dan memanfaatkan peluang, (3) melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah, pemberdayaan di sini tidak hanya menyangkut pendanaan tetapi juga peningkatan kemampuan sumberdaya manusia itu sendiri.

Keberhasilan pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh berbagai indikator, salah satunya adalah adanya pendayagunaan modal sosial sebagai salah satu kekuatan sosial masyarakat. Modal sosial didefinisikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti: pandangan umum, kepercayaan, pertukaran timbal balik, pertukaran ekonomi dan informasi, kelompok-kelompok formal dan informal, serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi dan budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan (colleta & Cullen, 2000 dalam Tonny 2005)

Dalam konteks pengembangan masyarakat, modal sosial serta kelembagaan dapat dikelola menjadi suatu aktivitas gerakan sosial yang melibatkan sekelompok orang yang dicirikan oleh adanya kerjasama dan kepercayaan. Menurut Daryanto (2004) pembentukan modal sosial dapat menyumbang pada pembangunan ekonomi karena adanya jaringan (networks), norma (norms) dan kepercayaan (trust) di dalamnya yang menjadi kolaborasi (kwrdinasi dan kooperasi) sosial untuk kepentingan bersama.

Pemberdayaan masyarakat terbagi dalam enam dimensi yang sangat penting, yaitu

:

a. Dimensi pembangunan sosial, dalam dimensi ini pengembangan masyarakat dapat dikategorisasikan ke dalam empat bidang yaitu: service development, the neighboufiood house/community centre, sosial planning, dan sosial animation. Tujuan dari dimensi sosial ini tidak hanya menbangun sistem sosial kemasyarakatan yang baru namun juga membantu dan menguatkan sistem yang ada agar dioperasikan lebih efektif melalui kwrdinasi dan pereqsanaan yang baik.

(29)

karena pendekatan tersebut berorientasi pada sektor formal, urban

setting industrial oriented, serta kurang memperhatikan sustainabilitas lingkungan hidup (Korten dan Camer, 1993 dalam pelatihan Pengembangan masyarakat dan akuntabilitas publik, 2004)

c. Dimensi Politik, kegiatan pengembangan masyarakat dalam dimensi politik terbagi atas internal dan external political development. Internal political development umumnya berkaitan dengan proses-proses partisipasi dan pengambilan kepututsan dalam masyarakat melalui peningkatan kesadaran dan pengorganisasian. Sedangkan external political development bertujuan melakukan pmberdayaan masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan sosial dan politik yang lebih has. d. Dimensi lingkungan hidup, merupakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan

meningkatakan kualitas lingkungan hidup rnasyarakat, rneningkatkan kesadaran akan pentingnya isu-isu lingkungan hidlip dan meningkatkan tanggung jawab masyarakat untuk meningkatkan dan melindungi lingkungan sekiiar.

e. Dimensi personal/spiritual, merupakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan Cualiias hidup anggota masyarakat melalui pengernbangan diri tenrtama pembangunan spiritual.

f. Dimensi kebudayaan, mengarah pada kegiatan untuk mempertahankanlmengangkat kebudayaan lokal dalam rangka menciptakan identitas masycrakat dan kesadaran lintas budaya. (Ife,

2004)

(30)

2.4.

Kemitraan

Kemitraan mengandung makna adanya kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. (Sumardjo, 2001)

Berdasarkan pengertian di atas, kemitraan merupakan jalinan kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah dengan maksud agar tiga jenis usaha tersebut bisa mencapai kemajuan dengan adanya ikatan yang saling menguntungkan. Dalam ha1 ini buruh pengrajin dan pengrajin kecil merupakan usaha kecil yang mengalami keterpurukan ekonami sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan mereka diperlukan adanya jalinan kemitraan dengan usaha yang lebih besar.

Tujuan dari kemitraan adalah untuk meningkatkan pendapatan, kesinambungan usaha, meningkatkan kualitas sumber daya kelompok mitra, peningkatan skala usaha, serta menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kelompok mandiri.

Kemitraan merupakan solusi pemecahan yang dianggap ideal dalam mengatasi masalah kemiskinan yang dialami oleh pengrajin di Desa Cipacing. Sedapat mungkin kerjasama ini akan mencapai posisi saling menguntungkan dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Kata kunci dalam kemitraan ini adalah adanya jalinan ke rjasama dan trust (kepercayaan).

Kemitraan dibangun dan dikembangkan atas dasar kepentingan bersama, kesetaraan, dan saling menguntungkan. Jadi, tidak ada pihak yang tinggi atau rendah, tetapi setara (egaliter), dan hasilnya memberikan keuntungan bagi pihak- pihak yang bermitra. Untuk dapat melaksanakan kemitraan dengan baik diperlukan ketaatan dan kepatuhan di antara yang bermitra terttadap kesepakatan bersama, sehirtgga tumbuh etika kemitraan baik dalam hubungan sosial dan ekonomi yang dijalin. (Sukoco, 2006).

(31)

Hubungan kemitraan memiliki beberapa syarat penting antara lain; diantara mereka yang bermitra perlu menyadari kekuatan dan kelemahan masing-masing untuk saling melengkapi, saling memperkuat, serta tidak saling mengeksploitasi. Usaha dengan skala menengah atau besar memiliki kemungkinan untuk takut tersaingi, akan tetapi dengan dengan adanya trust maka akan bisa mendukung bagi keberhasilan ekonomi baik pada usaha skala kecil, menengah maupun besar. Dengan demikian kemitraan merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi antara sektor usaha yang memiliki skala yang berbeda dengan serta rnenghilangkan kemungkinan terjadinya eksploitasi ekonomi melalui kamitmen yang kuat untuk saling melengkapi, memperkuat dan tidak saling mengeksploitasi.

Mariotti (1996) yang dikutip oleh Sukoco (2006) menyatakan ada beberapa sifat kepribadian yang dibutuhkan dalam kemitraan. Sifat-sifat tersebut dinilai dapat mengokohkan t i a k hanya hubungan ekonomi namun juga hubungan sosial dalam masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. Sifat dan Kepribadian dalam Kemitraan

Gambar di atas menunjukkan sifat kepribadian yang d~butuhkan dalam kemitraan yaitu :

(32)

2) Integritas; merupakan sikap orang untuk mewujudkan nilai dan etika yang dimiliki, sehingga integritas menunjukkan adanya kesesuaian antara yang dikatakan dengan yang dilakukan.

3) Kejujuran; dalam kemitraan dibutuhkan kejujuran untuk menyusun program kemitran yang jelas dan transparan.

4) Kepercayaan; berkaitan dengan kepercayaan pada pihak mitra untuk mempertahankan komitmen bersama atas kesepakatan-kesepakatan yang disetujui bersama.

5) Komunikasi; berkaitan dengan proses penyampaian informasi antara pihak- pihak yang berrnitra mengenai ide, gagasan, informasi yang terus berkembang.

6) Adil; tidak berat sebelah, tidak memihak, memperlakukan sesuai dengan hak dan kewajibannya.

7) Keinginan; baik ekonomi maupun non ekonomi. Berkaitan dengan harapan, tujuan yang ingin diperoleh sebagai nilai tambah. Seperti peningkatan modal, keuntungan, daya pemasaran, penguasaan teknoiogi, sumber daya manusia, dan lain-lain.

8) Perbandingan; menganalisis bersama antara resiko yang dilakukan dengan hasil yang dicapai.

Beberapa peluang usaha yang dapat diperoleh melalui kegiatan kemitraan yaitu :

1. Kerjasama pemasaran atau penampungan produk usaha secara lebih jelas. 2. Kerjasama dalam bentuk bantuan dsna, teknologi, atau sarana lain yang

diberikan usaha besar.

3. Kerjasama untuk dapat manghindar dari proses persaingan terhadap produk yang sama antara pengusaha kecil, pengusaha menengah atau pengusaha bssar.

4. Kerjasama dengan berbagi tugas masing-masing pengusaha sesuai dengan spesialisasi dan tugas masing-masing dalam system bisnis yang berkesinambungan. (Sumardjo dkk., 2004)

Poole (2000) yang dikutip oleh Sukoco (2006) menyatakan ada beberapa prinsip yang dibutuhkan dalam kemitraan terutama kaitannya dengan kemitraan dalam masyarakat (six action principles in the community partnerships model),

(33)

1. Mernbangun agenda rnasyarakat (community agenda building)

untuk dapat rnelakukan kemitraan, rnaka terlebih dahulu perlu disusun dan diidentifikasi kebutuhan apa saja yang perlu dirnitrakan. Dengan jelasnya kebutuhan kernitraan, hal-ha1 yang dimitrakan, dan pihak-pihak yang akan diajak bennitra, maka program kemitraan akan rnudah dirancang bangun.

2. Menetapkan struktur kernitraan rnasyarakat (community partnership structure)

Dengan teridentifikasinya agenda dan tersusunnya program kernitraan, rnaka perlu segera dibentuk dan ditetapkan struktur kemitraan yang akan rnengimplementasikan agenda dan program tersebut. Struktur tersebut hams melibatkan semua pihak yang bermitra. Penetapan struktur harus adil dan setara, sehingga tidak ada pihak yang rnerasa diperalat dan dirugikan atau sebaliknya merasa dimenangkan dan diuntungkan. Kernitraan narus rnemberikan keuntungan kepada semua pihak dan posisi rnereka adalah sejajar. 3. Menganalisis (analysis)

Program dan struktur kemitraan yang sudah dirancang perlu dianalisis dengan baik untuk mengetahui efektif atau tidak, menguntungkan atau rnerugikan. Metode analisis yang digunakan dapat dengan cost benefit analysis rnaupun

cost effective analysis. Jadi, dirnanfaatkan berbagai penelitian tindakan (action research) untuk menganalisis isu-isu yang terjadi dan pencarian alternative pernecahannya.

4. Pernilikan rnasyarakat (community ownership)

Jika hasil anaiisis rnenunjukkan bahwa program dan struktur kemitraan efektif dan menguntungkan dilaksanakan, jika isu-isu dan atternative pemecahannya dapat dideteksi dan dipahami, maka hat itu harus diinformasikan dan disosialisasikan kepada pihak yang bermitra, sehingga menjadi milik mereka. Dengan merasa memiliki program kemitraan tersebut, maka diharapkan rnuncul tanggung jawab untuk melaksanakan kemitraan dengan sungguh-sungguh. 5. Teknologi (technology)

(34)

melaksankan kemitraan tersebut harus menguasai teknologi yang mendukung keragaan usaha kerajinan.

6. Pengayoman (stewardship)

pelaksanaan kemitraan membutuhkan komitmen yang tinggi, akuntabilitas, dukungan, dan keseriusan dan semua pihak yang terlibat, guna mewujudkan kelancaran dan kesuksesan kemitraan. Pelaksanaan kemitraan perlu dipantau dan dievaluasi untuk mengetahui kesulitan yang dihadapi untuk dicarikan solusi dan mengetahui hasil yang telah dicapai untuk menetapkan dilanjutkannya kemitraan.

Dalam memahami kemitraan, perlu diketahui beberapa jenis kemitraan usaha yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan penguatan kemitraan pengrajin di Desa Cipacing. Secara lebih lengkap, Sumardjo (2001) mengungkapkan beberapa jenis pola kemitraan sekali~us lesson learnt dari masing- masing pola kemitraan tersebut antara lain :

a Pola inti plasma

(35)

Matriks 1. Karakteristik Pola Inti Plasma Keunggulan

Terciptanya saling ketergantungan dan saling meinperoleh keuntungan, bagi usaha kecil sebagai plasma tersedia permodalan, pembinaan teknologi dan manajemen, sarana produksi secara tepat dan bermutu, pengolahan hasil serta pemasaran, dan bagi perusahaan sebagai inti dapat diperoleh standar mutu bahan baku industri yang lebih terjamin.

= Bagi usaha kecil terciptanya skala usaha secara lebih ekonomis dan efisien, sedangkan bagi pengusaha besarlmenengah mempunyai kemampuan dan kawasan pasar yang lebih luas, seita dapat mengem bangkan komoditas, barang produksi yang mempunyai keunggulan dan lebih mampu bersaing pada pasar yang lebih luas (nasional, regional maupun intemasional).

Keberhasilan kemitraan inti plasma dapat menjadi daya tarik bagi pengusaha besadmenengah yang lain sebagai investor swasta nasional maupun swast3 asing. Berkembangnya kemitraan inti- plasma

mendorang

tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru yang semakin berkembang, sehingga dapat menjadi media pemerataan pembangunan dan mencegah kesenjangan sosiat

Sumber : Sumardjo, dkk. 2001

b Pola sub-kontrak

Kelemahan

Pihak plasma masih kurang mampu memahami hak dan kewaiibannva dengan baik, sehingga kesepakatan kemitraan yang telah ditetapkan menjadi kurang berjalan sehingga kesepakatan kemitraan yang telah ditetapkan menjadi kurang berjalan secara saling menguntungkan. Misalnya pemasaran tidak kepada inti, tetapi kepada pihak lain sehingga kredit modal usaha kecil melalui perusahaan inti menjadi tidak terbayar dan inti menjadi kurang berkembang selayaknya. Komitmen perusahaan inti masih lemah dalam memenuhi fungsi dan kewajibannya sesuai dengan kesepakatan yang diharapkan. Belum ada kontrak kemitraan yang benar-benar menjamin hak dan kewajiban dari komoditi yang dimitrakan, serta belum ada pihak ketiga yang secara efektif berfungsi sebagai arbitrator atas penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak kerja.

(36)

Matriks 2. Karakteristik Pola Subkontrak

Mendorong terciptanya alih teknologi, modal, dan keterampilan Pemasaran produk kelompok mitra usaha jelas dan te jamin.

Keunggulan

Hubungan subkontrak cenderung mengisolasi produsen kecil sebagai subkontrak pada suatu bentuk yang mengarah ke monopoli atau monopsoni, terutarna dalam penyediaan bahan baku dan pemasaran.

Kecenderungan tersebut bisa menyebabkan berkurangnya nilai- nilai kemitraan seperti saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling menghidupi, misalnya berupa penekanan terhadap harga input yang tinggi dan harge produk yang rendah.

Kecenderungan kontrol kualitas produk secara ketat, namun tidak diimbangi dengan sistem pembayaran yang tepat, melainkan sering terlambat atau bahkan pola konsinyasi, di lain pihak juga timbul gejala eksploitasi tenaga untuk mengejar target produksi.

Belum ada pihak yang berperan secara efektif sebagai arbitrator

,

dapat mengatasi persoalan dalam

Kelemahan

I

hubungan kemitraan semacam itu. Sumber : Sumardjo, dkk. 2081

c Pola Dagang Umum

(37)

I

1

permodalan. Sumber : Sumardjo, dkk. 2001

Matriks 3. karakteristik Pola dagang Umum

d Pda Keagenan Keunggulan

Margin harga serta kualitas produk yang diperjualbelikan sesuai dengan kesepakatan pihak yang bermitra. Pemasaran produk te jamin bagi mitra usaha kecil penghasil produk.

Pola keagenan merupakan salah satu bentuk hubungan kemitraan di mana Kelemahan

Sering ditemukan pengusaha besar secara sepihak menentukan harga dan volume, hanya menguntungkan satu pihak saja.

Sering ditemukan pembayaran dalam bentuk konsinyasi, sehingga pem bayaran barang-barang pengusaha kecil tertunda dan bahkan menjadi penganggung beban modal pemasaran produk. Kondisi seperti ini sangat merugikan perputaran uang pada pengusaha

usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa dari usaha

I kecil yang memiliki keterbatasan

menengah atau usaha besar sebagai mitranya. Usaha menengah atau besar sebagai mitra usahanya bertanggung

jawab

terhadap produk (barang atau jasa) yang dihasilkan, sedangkan usaha kecil sebagai kelompok mitra diberi kewajiban untuk memasarkan barang atau jasa tersebut, bahkan disertai dengan target-target yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.

Matriks 4. Karakteristik Pola Keagenan Keunggulan

Usaha kecil mitra tidak kesulitan mencari permodalan dalam usaha. Usaha kecil mendapatkan keuntungan sesuai fee yang dijanjikan oleh pengusaha atau agen.

Kelemahan

* Usaha kecil mitra menetapkan secara sepihak harga produk pada tingkat konsumen sehingga terlalu tinggi dibanding dengan jangkauan daya beli konsumen.

(38)

e Pola Kerjasama Operasional

Merupakan pola hubungan bisnis, di mana kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga. Sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen, dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau memproduksi suatu komoditi.

Disamping itu perusahaan mitra sering berperan sebagai penjamin pasar produk, diantaranya juga mengolah produk tersebut dan dikemas lebih lanjut untuk dipasarkan. Pola kemitraan ini ditandai dengan kesepakatan tentang pembagian hasil dan resiko usaha.

Matriks 5. Karakteristik Pola Kerjasama Operasional Keunggulan

dalam mempersiapkan modal dan biaya operasional produksi.

Kelemahan Pemasaran produk te jamin

ivlitra usaha kecil tidak kesulitan

pengolahan produk megambil keuntungan berlebihan, sehingga dirasakan kurang adil oleh kelompok

usaha kecil mitranya.

Perusahaan mitra kemudian cenderung berperilaku monopsoni, sehingga menekan keuntungan yang diperoleh oleh usaha ~ e c i l mitranya.

Belum ada pihak ketiga yang secara efektii dalam memecahkan Pengusaha mitra yang sering juga menangani aspek pemasaran dan

I

permasalahan di atas.

J

Sumber : Sumardjo, dkk. 2001

Berbagai pola kemitraan dibangun untuk menciptakan hubungan ke rja atau jaringan kerja (networks) kemitraan antara usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan usaha besar sebagai satu kesatuan ekonomi. Networks ini menjadi dasar pembangunan struktur usaha yang kokoh dan memiliki keterkaitan struktural dan fungsional yang kuat antara pelaku. Sinergi antar skala usaha ini akzn rnernacu pertumbuhan dengan pemerataan. Pada gilirannya dapat dibangun perekonomian

yang senat yang rnarnpu rurnoun aan oersalng.

(39)

Angkat seperti halnya program pengembangan usaha kecil lainnya tidak memperlihatkan adanya kepentingan usaha besar. Sehingga pada kemitraan yang pemah dijalankan ditemukan pengalaman-pengalaman buruk seperti halnya adanya eksploitasi dari pihak usaha besar terhadap usaha kecil.

Kemitraan sebagai ide dasar untuk memperkuat perekonomian nasional justru dapat menjadi pola kerjasama yang merugikan bagi pengusaha kecil atau sebaliknya. Sejauh ini pola kernitraan yang pemah dilakukan lebih senng mengalami kegagalan karena rnelupakan unsur-unsur dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat yang ada. Dengan demikian pengembangan kemitraan bukan hanya pada dimensi ekonomi semata namun juga dimensi sosial masyarakat. Menyinggung konsep kemitraan yang cenderung digunakan sebagai konsep dasar pemberdayaan ekonomi, pada dasamya kemitraan rnerupakan suatu cara kerjasama dengan menggunakan tidak hanya prinsip-prinsip ekonomi, namun juga meliputi aspek sosial antara pihak-pihak yang bermitra, yang dlbuat untuk menguntungkan semua pihak yang bermitra dengan tujuan tertentu. (Materi Bintek Kemitraan Otonomi daerah, Kerjasama Antar Daerah dengan Badan Uszha Miiiu lvegara arau uaerah, Swasta dan Masyarakat, 2005).

vaiam ~ajian ini ~emiiraan aipanaang wuitan hanya seiteciar kerjasama kolaboratif antara sektor usaha besar denaan menenaah dan sektor lebih kecil vanc terbatas oada hubunaan dalam bidana ekonomi saia. Namun iuaa hubunasn d'

antara pihak-pihak yang bermitra tersebut meliputi te rjalinnya kerjasama sosial dar~ ekonomi yang harmonrs. Hubungan tersebut diharapkan tidak hanya akan berjalan

.. . paua senior enorlorr~i sajia, rlartlurl juga pads ~ e i ~ i u u ~ r ~ uerrnasyara~a: GI :uar

kehidupan ekonomi. Hal ini didasari kenyataan bahwa ketiga sektor usaha yang aaa

- - - - .- -- .- -- - - -- .- .

s . u r uyu.su.. vuuru m\uuu.uut I 1-0 I suew r u u uulu* I I I\VI ~auupuma uvm I n a u u x u n u..u..

6erdasarirar1 pengaiarr~an ~eberi~asiiar~ dart Kegagaian Kerr~iiraar~ yarig ieiai~

- -

-

.

. ,

benarkah kemitraan mamou menaanakat keseiahteraan sosial-ekonomi usaha kecil dan menenaah untuk menahadaui dominasi usaha skala

besar

(2) bentuk kemitraar,
(40)

2.5. Modal Sosial

Modal sosial didefinisikan sebagai :

"suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal baik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif." (Colletta &Cullen, 2000. yang dikutip oleh Tonny 2005)

Berdasarkan pengertian tersebut maka modal sosial dipahami sebagai informasi, kepercayaan dan norma-norma timbal balik yang melekat dalam suatu sistem jaringan sosial.

Modal sosial menurut Fukuyama (2000) seperti yang dikutip Hermawati (2002) diartikan sebagai seperangkat rangkaian nilai-nilai internal atau norma- norma yang disebarkan di antara anggota-anggota suatu kelompok yang mengijiakan mereka untuk bekerjasama antara satu dengan yang lain. Prasyarat penting untuk munculnya modal sosial adalah adanya kepercayaan (trust), norma (norms), dan jejaring (nefworks).

Secara umum, modal sosial dipandang sebagai stok capital yang penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat dunia ketiga (Dharmawan, 2002). Meskipun hingga saat ini wujud modal sosial belum sejelas modal fisik maupun modal manusia, namun pemahamannya lebih ditekankan pada hubungan timbal balik antara modal dan sifat sosial yang menjelaskan modal tersebut. Sifat sosial dalam modal sosial menurut Dasgupta (2000), seperti dikutip Tonny dan Kolopaking (2005) adalah: 1) adanya saling menguntungkan paling kurang antara dua orang, kelompok, kolektivitas, atau manusia pada umumnya, 2) diperoleh melalui proses sosial, 3) menunjuk pada hubungan sosial, institusi, struktur sosial, 4) semua sifat berhubungan dengan rasa percaya (trust), hubungan timbal balik, hak dan kewajiban, dan jejaring sosial.

(41)

jaringan sosial dengan kata lain disebut sebagai stakeholder atau pihak-pihak yang diperlukan dalam penyelesaian suatu masalah.

Dengan demikian, kuatnya modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat tergantung dari kepercayaan yang dimiliki oleh mereka. Mollering dikutip oleh Dharmawan (2002) menjelaskan enam fungsi kepercayaan dalam hubungan- hubungan sosial-kemasyarakatan, antara lain:

1. Kepercayaan dalam arti confidence, yang bekerja pada ranah psikologis- individual. Sikap ini mendorong orang berkeyakinan dalam mengambil satu keputusan setelah memperhitungkan resiko-resiko yang ada. Dalam waktu yang sama, orang lain juga akan berkeyakinan sama atas tindakan sosial tersebut, sehingga tindakan itu mendapatkan legitimasi kolektif.

2. Kerjasama, yang berarti sebagai proses sosial asosiati di mana trust

menjadi dasar terjalinnya hubungan-hubungan antara individu tanpa dilatarbelakangi rasa curiga. Selanjutnya, semangat kerjasama akan mendorong integrasi sosial yang tinggi.

3. Penyederhanaan peke rjaan, di mana trust membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja kelembagaan-kelembagaan sosial. Pekerjaan yang menjadi sederhana itu dapat rnengurangi biaya-biaya transaksi yang bisa jadi akan sangat mahal sekiranya

pota

hubungan sosial dibentuk atas dasar moralitas ketidakpercayaan.

4. Ketertiban. Trust berfungsi sebagai inducing behavior setiap individu, yang ikut menciptakan suasana kedamaian dan meredam kemungkinan timbulnya kekacauan sosial. Dengan demikian, trust membantu menciptakan tatanan sosial yang teratur, tertib dan beradab.

5. Pemeliharaan kohesivitas sosial. Trust membantu merekatkan setiap komponen sosial yang hidup dalam sebuah komunitas menjadi kesatuan yang tidak tercerai berai.

6. Modal sosial. Tmst merupakan asset penting dalan? hidup kemasyarakatan yang menjamin stuktur-stuktur sosial berdiri secara utuh dan berfungsi secara operasional serta efisien.

(42)

ekonomi lemah maupun kuat. Sifat-sifat dalam modal sosial yaitu kolektivitas yang saling menguntungkan, trust, norms dan networks, memiliki peranan yang penting dalam dibangunnya suatu kemitraan.

Modal sosial memiliki empat dimensi relasional yang sangat erat kaitannya dengan penguatan kemitraan dalam ha1 perluasan jejaring (networks) terutama bagi pengembangan usaha kecil, yaitu :

a. integritas

b. lingkage (pertalian) c. integritas organisasional d. sinergi

Dewasa ini konsep modal sosial kemudian ditawarkan untuk memperkuat pengembangan usaha ekonomi rakyat termasuk dalam pengembangan usaha kecil. Modal sosial sebagai suatu sistem dalam masyarakat memegang peranan penting dalam maju atau mundurnya perekonomian masyarakat. Dengan demikian pada kajian pengembangan poia hubungan sosial ekonomi pengrajin ini modal sosiat dianggap sebagai modal yang sangat penting dan mendukung penguatan kem

Gambar

Grafik Pendapatan Pengrajin di Desa Cipacing
Table 1. Teknik Pengumpulan Data
Tabel 2. Topik-topik Pengumpulan Data
Table 3. Jumlah Penduduk Desa Cipacing berdasarkan umur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini di karenakan motivasi merupakan faktor kuat untuk mendorong semangat atau gairah karyawan untuk melalukan kegiatan tertentu dalam memaksimalkan kinerja dan

Hal ini disebabkan karena kecelakaan fatal yang terjadi pada sekitar tahun 1950 lebih banyak melibatkan pesawat-pesawat kecil yang hanya mengangkut beberapa orang sedangkan

Manajemen waktu yang terdapat dalam proyek ini dapat dikatakan masih belum begitu baik, hal ini dapat dilihat dari adanya kesimpangan antara jadwal yang direncanakan dengan

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa leverage , likuiditas dan komite audit independen secara bersama-sama tidak berpengaruh signifikan terhadap luas

[r]

Lebih dari 1257 orang Palestina tercatat telah menerima manfaat berbagai kegiatan peningkatan kapasitas yang diselenggarakan Indonesia untuk Palestina.. Bidang- bidang

PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI BERBASIS PENDIDIKAN ENTERPRENEURSHIP DI TK KHALIFAH 2 SERANG.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Instead he argued for an “integrating sense of Spanish identity” ( un españolismo integrador ) that would allow him to consider al-Andalus as being fundamentally Spanish