PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TUMBUHAN
OBAT ANTIMALARIA
Quassia indica
TERHADAP
TOKSIKOPATOLOGI ORGAN HATI DAN GINJAL
MENCIT (
Mus musculus)
DEWI AYU AGUSTIYANTI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
DEWI AYU AGUSTIYANTI. Toxicopathology Effect of Mouse’s Liver and Kidney on Quassia indica Extracts Distribution as Antimalarial. Supervised by HERNOMOADI HUMINTO andPRAPTIWI.
The aim of this research was to study the toxicopathology effect of Quassia indica act of distributing with various level doses in the liver and kidney of mice (Mus musculus). 25 mice (Mus musculus) separated into 5 groups which were adapted for two weeks before using in this experiment. Four groups were received Quassia indica extract at various level doses, of 1, 10, 100, and 1000 mg/kg body weight, and one group of mice acted as control which received with Carboxymethocellulose (CMC-Na). After receiving Quassia indicafor seven days the mice then were euthanized with over dose of ether. The liver and kidney were taken and samples fixated in Buffer Neutral Formalin 10% solution for 48 hours then the making of histopathology slides. Histopathology slides stained with Haematoksilin Eosin and observed with video-photo microscope. In the liver, observation was founded the cell with degeneration and apoptotic around vena porta and vena centralis, and in the kidney was founded degeneration and apoptotic of tubule epithelium, glomerular atrophy and protein sedimentation. Based on the result and analized with statistic method can be concluded that the distribution of Quassia indica extract with 1000 mg/kg BW doses could emerge a significant lesion on the liver and kidney of mice (Mus musculus).
ABSTRAK
DEWI AYU AGUSTIYANTI. Pengaruh Pemberian Ekstrak Tumbuhan Obat Antimalaria Quassia indica Terhadap Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh HERNOMOADI HUMINTO dan
PRAPTIWI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksikopatologi organ hati dan ginjal mencit (Mus musculus) akibat pemberian ekstrak Quassia indica dengan dosis bertingkat. Sebanyak 25 ekor mencit (Mus musculus) dibagi dalam 5 kelompok yang terdiri atas empat kelompok yang diberi ekstrak Quassia indica
dengan dosis bertingkat yaitu 1, 10, 100, dan 1000 mg/kg BB, serta satu kelompok mencit sebagai kontrol yang diberi Carboxymethocellulose (CMC-Na). Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas lima ekor mencit. Pemberian ekstrak
Quassia indica dilakukan selama 7 hari berturut-turut. Mencit kemudian dieuthanasi dengan eter dan diambil organ hati dan ginjalnya, lalu difiksasi dalam Buffer Neutral Formalin 10% selama 48 jam. Sediaan histopatologi diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin dan diamati dengan menggunakan video foto mikroskop. Hasil pengamatan menunjukkan hati mengalami degenerasi dan apoptosis disekitar vena porta dan vena sentralis, sedangkan pada ginjal selain degenerasi dan apoptosis tubuli, juga diamati adanya atrofi glomerulus dan endapan protein. Berdasarkan pengamatan dan hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak Quassia indica dengan dosis 1000 mg/kg BB dapat menimbulkan kerusakan yang signifikan pada organ hati dan ginjal mencit (Mus musculus).
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TUMBUHAN
OBAT ANTIMALARIA
Quassia indica
TERHADAP
TOKSIKOPATOLOGI ORGAN HATI DAN GINJAL
MENCIT (
Mus musculus)
DEWI AYU AGUSTIYANTI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Ekstrak Tumbuhan Obat Antimalaria
Quassia indica Terhadap Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus).
Nama : Dewi Ayu Agustiyanti NRP : B04104116
Disetujui
drh. Hernomoadi Huminto, MVS Dr. Praptiwi, MAgr
Pembimbing Penelitian I Pembimbing Penelitian II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan FKH-IPB
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Agustus 1986 sebagai anak
pertama dari lima bersaudara pasangan Bapak Sugiarto dan Ibu Neneng Atikah.
Pendidikan penulis diawali di TK Bhakti PUSPIPTEK pada tahun
1991-1992. Kemudian melanjutkan pendidikan di SDN PUSPIPTEK pada tahun
1992-1998, SLTPN 4 Serpong pada tahun 1998-2001 dan SMA Negeri 1 Bogor pada
tahun 2001-2004. Pada tahun 2004 penulis diterima di Fakultas Kedokteran
Hewan IPB melalui jalur USMI.
Selama menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi, penulis aktif di
beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya Himpro Hewan Kesayangan dan
Satwa Akuatik serta Himpro Ruminansia.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi yang berjudul :
“Pengaruh Pemberian Ekstrak Tumbuhan Obat Antimalaria Quassia indica
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya
bagi seluruh alam semesta serta atas bimbingan ruhani sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tugas Akhir berupa penulisan skripsi guna memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Institut Pertanian Bogor.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. drh. Hernomoadi Huminto, MVS. selaku dosen pembimbing skripsi
atas segala bimbingan, nasihat, dan pengarahannya serta ilmu yang
tidak pernah habis diberikan.
2. Dr. Praptiwi, MAgr. selaku dosen pembimbing skripsi atas segala
bimbingan, nasihat dan pengarahan serta kesabarannya.
3. Dr. drh. Eva Harlina, MSi. selaku dosen penilai dan Dr. drh. Hj. Umi
Cahyaningsih, MS. selaku dosen penguji atas segala saran, kritik, dan
penilaian yang bermanfaat.
4. drh. Yudi Riyadi, MSi. selaku dosen pembimbing akademik atas
segala bimbingan dan nasihatnya.
5. Kepada Ayah dan Ibu : Sugiarto dan Neneng Atikah atas doa, kasih
sayang dan dukungan yang selalu diberikan, baik moril dan materil.
6. Kepada adik-adikku (Didit, Dinda, Danu, dan Dandi) atas doa dan
kasih saying yang diberikan.
7. Kepada Fajarrullah Fathoni yang selalu setia menemani dan membantu
penulis dari awal penyusunan tugas akhir sampai terselesaikannya
skripsi ini.
8. Kawan-kawan tercinta ‘Vet Angel’ (Iya, Inge, Atha, Dhe, Chamut dan
Na) untuk semangat, canda tawa, doa, dukungan dan nasihat sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan baik.
9. Teman seperjuangan Chamut yang tiada henti memberi bantuan,
semangat dan dukungan hingga penelitian ini dapat terselesaikan
10.Kepada seluruh staf dan pegawai bagian Patologi Fakultas Kedokteran
Hewan .
11.Teman-teman Asteroidea ’41 yang selalu kompak dan terus berjuang
untuk wisudanya.
12.Pihak-pihak yang tidak mungkin untuk disebutkan satu persatu yang
turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari dalam penulisan ini masih banyak terdapat
kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun guna menyempurnakan karya tulis ini.
Akhir kata penulis ucapkan semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan dan membutuhkannya.
Bogor, November 2008
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……….. x
DAFTAR GAMBAR ………. xi
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xii
PENDAHULUAN ……… 1
Latar Belakang ……….. 1
Tujuan Penelitian ……….. 3
Manfaat Penelitian ………. 3
Hipotesis ……….... 3
TINJAUAN PUSTAKA ……….. 4
Quassia indica ……… 4
Biologi Umum ……… 4
Kandungan ……….. 6
Penyakit Malaria ………. 7
Siklus Hidup Plasmodium sp. ………. 7
Mencit (Mus musculus) ……….. 9
Biologi Umum ………. 9
Karakteristik Fisiologis ……… 10
Hati ……….. 10
Anatomi dan Fisiologi Hati ………. 10
Histologi Hati ………... 12
Intoksikasi Hati ……… 15
Ginjal ………... 17
Anatomi dan Fisiologi Ginjal ……….. 17
Histologi Ginjal ……… 18
Intoksikasi Ginjal ………. 21
BAHAN DAN METODE ……….. 23
Waktu dan Tempat Penelitian ……….. 23
Bahan dan Alat ………. 23
Metode Penelitian ………. 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Ekstrak Quassia indica Terhadap ToksikopatologiOrganHatiMencit ………..…………. 26
Perbandingan Lesio Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan Vena Sentralis Akibat Pemberian Ekstrak Quassia indica …………. 32
Pengaruh Pemberian Ekstrak Quassia indica Terhadap Toksikopatologi Organ Ginjal Mencit ……… 34
Kesimpulan ………. 42
Saran ……… 42
DAFTAR PUSTAKA ……… 43
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TUMBUHAN
OBAT ANTIMALARIA
Quassia indica
TERHADAP
TOKSIKOPATOLOGI ORGAN HATI DAN GINJAL
MENCIT (
Mus musculus)
DEWI AYU AGUSTIYANTI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
DEWI AYU AGUSTIYANTI. Toxicopathology Effect of Mouse’s Liver and Kidney on Quassia indica Extracts Distribution as Antimalarial. Supervised by HERNOMOADI HUMINTO andPRAPTIWI.
The aim of this research was to study the toxicopathology effect of Quassia indica act of distributing with various level doses in the liver and kidney of mice (Mus musculus). 25 mice (Mus musculus) separated into 5 groups which were adapted for two weeks before using in this experiment. Four groups were received Quassia indica extract at various level doses, of 1, 10, 100, and 1000 mg/kg body weight, and one group of mice acted as control which received with Carboxymethocellulose (CMC-Na). After receiving Quassia indicafor seven days the mice then were euthanized with over dose of ether. The liver and kidney were taken and samples fixated in Buffer Neutral Formalin 10% solution for 48 hours then the making of histopathology slides. Histopathology slides stained with Haematoksilin Eosin and observed with video-photo microscope. In the liver, observation was founded the cell with degeneration and apoptotic around vena porta and vena centralis, and in the kidney was founded degeneration and apoptotic of tubule epithelium, glomerular atrophy and protein sedimentation. Based on the result and analized with statistic method can be concluded that the distribution of Quassia indica extract with 1000 mg/kg BW doses could emerge a significant lesion on the liver and kidney of mice (Mus musculus).
ABSTRAK
DEWI AYU AGUSTIYANTI. Pengaruh Pemberian Ekstrak Tumbuhan Obat Antimalaria Quassia indica Terhadap Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus). Dibimbing oleh HERNOMOADI HUMINTO dan
PRAPTIWI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksikopatologi organ hati dan ginjal mencit (Mus musculus) akibat pemberian ekstrak Quassia indica dengan dosis bertingkat. Sebanyak 25 ekor mencit (Mus musculus) dibagi dalam 5 kelompok yang terdiri atas empat kelompok yang diberi ekstrak Quassia indica
dengan dosis bertingkat yaitu 1, 10, 100, dan 1000 mg/kg BB, serta satu kelompok mencit sebagai kontrol yang diberi Carboxymethocellulose (CMC-Na). Masing-masing kelompok perlakuan terdiri atas lima ekor mencit. Pemberian ekstrak
Quassia indica dilakukan selama 7 hari berturut-turut. Mencit kemudian dieuthanasi dengan eter dan diambil organ hati dan ginjalnya, lalu difiksasi dalam Buffer Neutral Formalin 10% selama 48 jam. Sediaan histopatologi diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin dan diamati dengan menggunakan video foto mikroskop. Hasil pengamatan menunjukkan hati mengalami degenerasi dan apoptosis disekitar vena porta dan vena sentralis, sedangkan pada ginjal selain degenerasi dan apoptosis tubuli, juga diamati adanya atrofi glomerulus dan endapan protein. Berdasarkan pengamatan dan hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak Quassia indica dengan dosis 1000 mg/kg BB dapat menimbulkan kerusakan yang signifikan pada organ hati dan ginjal mencit (Mus musculus).
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TUMBUHAN
OBAT ANTIMALARIA
Quassia indica
TERHADAP
TOKSIKOPATOLOGI ORGAN HATI DAN GINJAL
MENCIT (
Mus musculus)
DEWI AYU AGUSTIYANTI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Ekstrak Tumbuhan Obat Antimalaria
Quassia indica Terhadap Toksikopatologi Organ Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus).
Nama : Dewi Ayu Agustiyanti NRP : B04104116
Disetujui
drh. Hernomoadi Huminto, MVS Dr. Praptiwi, MAgr
Pembimbing Penelitian I Pembimbing Penelitian II
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan FKH-IPB
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Agustus 1986 sebagai anak
pertama dari lima bersaudara pasangan Bapak Sugiarto dan Ibu Neneng Atikah.
Pendidikan penulis diawali di TK Bhakti PUSPIPTEK pada tahun
1991-1992. Kemudian melanjutkan pendidikan di SDN PUSPIPTEK pada tahun
1992-1998, SLTPN 4 Serpong pada tahun 1998-2001 dan SMA Negeri 1 Bogor pada
tahun 2001-2004. Pada tahun 2004 penulis diterima di Fakultas Kedokteran
Hewan IPB melalui jalur USMI.
Selama menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi, penulis aktif di
beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya Himpro Hewan Kesayangan dan
Satwa Akuatik serta Himpro Ruminansia.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi yang berjudul :
“Pengaruh Pemberian Ekstrak Tumbuhan Obat Antimalaria Quassia indica
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya
bagi seluruh alam semesta serta atas bimbingan ruhani sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tugas Akhir berupa penulisan skripsi guna memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Institut Pertanian Bogor.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. drh. Hernomoadi Huminto, MVS. selaku dosen pembimbing skripsi
atas segala bimbingan, nasihat, dan pengarahannya serta ilmu yang
tidak pernah habis diberikan.
2. Dr. Praptiwi, MAgr. selaku dosen pembimbing skripsi atas segala
bimbingan, nasihat dan pengarahan serta kesabarannya.
3. Dr. drh. Eva Harlina, MSi. selaku dosen penilai dan Dr. drh. Hj. Umi
Cahyaningsih, MS. selaku dosen penguji atas segala saran, kritik, dan
penilaian yang bermanfaat.
4. drh. Yudi Riyadi, MSi. selaku dosen pembimbing akademik atas
segala bimbingan dan nasihatnya.
5. Kepada Ayah dan Ibu : Sugiarto dan Neneng Atikah atas doa, kasih
sayang dan dukungan yang selalu diberikan, baik moril dan materil.
6. Kepada adik-adikku (Didit, Dinda, Danu, dan Dandi) atas doa dan
kasih saying yang diberikan.
7. Kepada Fajarrullah Fathoni yang selalu setia menemani dan membantu
penulis dari awal penyusunan tugas akhir sampai terselesaikannya
skripsi ini.
8. Kawan-kawan tercinta ‘Vet Angel’ (Iya, Inge, Atha, Dhe, Chamut dan
Na) untuk semangat, canda tawa, doa, dukungan dan nasihat sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan baik.
9. Teman seperjuangan Chamut yang tiada henti memberi bantuan,
semangat dan dukungan hingga penelitian ini dapat terselesaikan
10.Kepada seluruh staf dan pegawai bagian Patologi Fakultas Kedokteran
Hewan .
11.Teman-teman Asteroidea ’41 yang selalu kompak dan terus berjuang
untuk wisudanya.
12.Pihak-pihak yang tidak mungkin untuk disebutkan satu persatu yang
turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari dalam penulisan ini masih banyak terdapat
kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun guna menyempurnakan karya tulis ini.
Akhir kata penulis ucapkan semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan dan membutuhkannya.
Bogor, November 2008
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……….. x
DAFTAR GAMBAR ………. xi
DAFTAR LAMPIRAN ……….. xii
PENDAHULUAN ……… 1
Latar Belakang ……….. 1
Tujuan Penelitian ……….. 3
Manfaat Penelitian ………. 3
Hipotesis ……….... 3
TINJAUAN PUSTAKA ……….. 4
Quassia indica ……… 4
Biologi Umum ……… 4
Kandungan ……….. 6
Penyakit Malaria ………. 7
Siklus Hidup Plasmodium sp. ………. 7
Mencit (Mus musculus) ……….. 9
Biologi Umum ………. 9
Karakteristik Fisiologis ……… 10
Hati ……….. 10
Anatomi dan Fisiologi Hati ………. 10
Histologi Hati ………... 12
Intoksikasi Hati ……… 15
Ginjal ………... 17
Anatomi dan Fisiologi Ginjal ……….. 17
Histologi Ginjal ……… 18
Intoksikasi Ginjal ………. 21
BAHAN DAN METODE ……….. 23
Waktu dan Tempat Penelitian ……….. 23
Bahan dan Alat ………. 23
Metode Penelitian ………. 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Ekstrak Quassia indica Terhadap ToksikopatologiOrganHatiMencit ………..…………. 26
Perbandingan Lesio Hepatosit di Sekitar Vena Porta dan Vena Sentralis Akibat Pemberian Ekstrak Quassia indica …………. 32
Pengaruh Pemberian Ekstrak Quassia indica Terhadap Toksikopatologi Organ Ginjal Mencit ……… 34
Kesimpulan ………. 42
Saran ……… 42
DAFTAR PUSTAKA ……… 43
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Persentase Lesio Hepatosit Mencit yang diberi Ekstrak
Quassia indica ……… 27 2 Persentase Lesio Hepatosit Pada Vena Porta dan
Vena Sentralis ……….. 32
3 Hasil Pemeriksaan Histopatologi Glomerulus Mencit yang
diberi Ekstrak Quassia indica ……….. 36 4 Hasil Pemeriksaan Histopatologi Tubuli Ginjal Mencit
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Quassia indica ……… 5 2 Siklus Hidup Plasmodium sp. ………..……….. 8 3 Gambaran Sistem Asinus Hati ……… 13
4 Histologi Hati Area Vena Centralis ……… 14
5 Histologi Hati Area Vena Porta ……….. 14
6 Histologi Ginjal ……… 20
7 Histologi Glomerulus Ginjal ……… 20
8 Gambaran Histopatologi Hati yang diberi Ekstrak Q. indica ……….. 26 9 Gambaran Histopatologi Hati yang diberi Ekstrak Q. indica ……….. 27 10 Diagram Persentase Lesio Hepatosit Pada Vena Porta
dan Vena Centralis ……….. 28
11 Diagram Perbandingan Lesio Hepatosit Pada Vena Porta dan
Vena Centralis ………. 33
12 Gambaran Histopatologi Jaringan Ginjal dengan
Perlakuan Ekstrak Quassia indica ……… 35 13 Gambaran Histopatologi Tubulus Ginjal dengan
Perlakuan Ekstrak Quassia indica ……… 35 14 Diagram Persentase Lesio Glomerulus ……… 38
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Bagan Pembuatan Sediaan Histopatologi ……… 48
2 Pewarnaan Hematoksilin Eosin ……… 49
3 Hasil Uji ANOVA ………. 50
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia terletak pada garis khatulistiwa yang memiliki berbagai macam
sumber daya hayati. Manusia telah memanfaatkan sumber daya hayati dengan
sebaik mungkin. Salah satu sumber daya hayati yang sering digunakan adalah
tumbuhan, diantaranya dimanfaatkan sebagai obat. Dari 40 ribu jenis flora yang
tumbuh di dunia, 30 ribu diantaranya tumbuh di Indonesia. Sekitar 26% telah
dibudidayakan dan sisanya sekitar 74% masih tumbuh liar di hutan-hutan. Dari
sejumlah tumbuhan yang telah dibudidayakan tersebut, lebih dari 940 jenis
digunakan sebagai obat tradisional (Syukur dan Hernani 2002). Di antara berbagai
jenis tumbuhan obat tersebut, beberapa ada yang dapat digunakan sebagai obat
alternatif untuk penyakit malaria.
Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tidaklah tanpa alasan, disamping
khasiatnya yang telah banyak teruji dan terbukti, efek samping dari tumbuhan
obat pun sangat minim. Penggunaan tumbuhan obat untuk penyembuhan akan
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan obat kimia
(Wijayakusuma 2005). Obat merupakan bentuk sediaan tertentu yang berasal dari
bahan obat yang dapat digunakan pada hewan dan manusia, sedangkan bahan obat
merupakan zat aktif atau berupa zat kimia yang dapat berfungsi untuk mencegah,
meringankan atau mengenali penyakit. Semua obat yang masuk ke tubuh bersifat
toksik, dan dikatakan sebagai obat apabila zat tersebut masuk ke dalam tubuh
senilai dengan ambang batas zat tersebut maksimal diabsorbsi dan bekerja tanpa
menimbulkan gejala klinis yang bersifat kontradiktif. Kerja suatu obat merupakan
hasil dari banyak sekali proses dan kebanyakan proses sangat rumit. Umumnya
hal ini didasari suatu rangkaian reaksi, yang dibagi kedalam 3 fase, yaitu fase
farmaseutik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Obat masuk kedalam
tubuh, mengalami berbagai macam proses, yaitu librasi, absorbsi, distribusi dan
pengikatan untuk sampai di target organ dan menimbulkan efek. Kemudian
mengalami metabolisme, untuk selanjutnya dengan atau tanpa biotransformasi
dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, yaitu dengan peroral,
intramuskular, intravena, inhalasi, perenteral dan sebagainya.
Malaria ditemukan hampir di seluruh bagian dunia dan merupakan
penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan penduduk
dunia. Penyakit ini tidak hanya menyerang di daerah tropis, tetapi juga daerah
subtropis (Sutarno 2005). Penyebab malaria adalah parasit protozoa darah yang
disebut Plasmodium. Dari beberapa spesies yang diketahui, P. falciparum
merupakan yang paling berbahaya hingga dapat menyebabkan kematian
(Noerhayati 1990, Mulyaningsih 2002). Upaya pengobatan penderita malaria
dengan klorokuin sudah lama diterapkan, namun diketahui lebih lanjut bahwa P. falciparum resisten terhadap klorokuin tersebut. Resistensi parasit malaria terhadap beberapa obat modern banyak terjadi, oleh karena itu digunakan obat
tradisional sebagai alternatif untuk mengobati malaria (Yoshiharu 2001).
Salah satu tumbuhan obat yang perlu diteliti dan dikembangkan adalah
Quassia indica yang berasal dari suku Simaroubaceae. Tumbuhan dari suku Simaroubaceae telah digunakan secara luas untuk pengobatan tradisional pada
penyakit malaria, kanker, disentri, dan beberapa penyakit lain di beberapa negara
di dunia (Anonimus 2007). Bioaktivitas tumbuhan berhubungan dengan
kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan tersebut, yaitu senyawa alkaloid,
xanthin, brucein, dan quassinoid golongan tripertenoid yang menunjukkan
aktifitas biologi seperti antitumor, anti malaria, anti ulser, anti piretik, fitotoksik,
antiviral dan antihelmintik (Robinson 1991). Aktivitas dari beberapa quassinod
dapat menekan pertumbuhan P. falciparum sebagai antimalaria, juga menunjukkan toksisitas yang menghambat sintesis protein parasit (Anonimus
2007). Sebuah penelitian yang telah dilakukan di Philipina, menggunakan
tumbuhan obat tersebut untuk pengobatan penyakit malaria sebagai pengobatan
alternatif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa aktifitas antiplasmodial
dari Q. indica dapat menekan pertumbuhan parasit (Quisumbing 1978). Selain itu diketahui pula dari studi pemanfaatan obat secara tradisional oleh masyarakat dari
berbagai suku di Propinsi Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah
mengatasi malaria dan juga sakit perut (Anonimus 1999). Nilai dari aktifitas
ekstrak ditentukan oleh selektifitasnya melawan Plasmodium falciparum di dalam perbandingan efek sitotoksiknya melawan sel tubuh manusia (Pouplin et al. 2006)
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ekstrak alkohol batang
Q. indica dengan dosis bertingkat selama 7 hari dapat menimbulkan efek tosikopatologi pada organ hati dan ginjal.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberikan informasi mengenai tingkatan dosis berapa dari
ekstrak alkohol batang Q. indica yang tidak memberikan efek toksik.
Hipotesis
Hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
H0 : Ekstrak Q. indica tidak menimbulkan perubahan patologi yang signifikan terhadap organ hati dan ginjal mencit.
TINJAUAN PUSTAKA
Quassia indica
Biologi Umum
Quassia indica termasuk ke dalam suku Simaroubaceae. Tumbuhan ini memiliki daerah penyebaran pada daerah dengan ketinggian yang rendah
(Anonimus 2007b). Distribusi tumbuhan ini dapat mencapai Madagaskar, Pulau
Comoros, Asia, India, Sri Lanka, Myanmar, Indo-China, Thailand, Malaysia
sampai ke Papua New Guinea dan Pulau Solomon (tetapi tidak sampai ke Pulau
Jawa dan Sunda). Di Kalimantan ditemukan di sepanjang pulau.
Di Pulau Kalimantan, tumbuhan ini memiliki nama lokal yang
bermacam-macam, yaitu gatep pait, humbi, kacang-kacang, kayu pahit, kelpahit, kepait,
manunggal, pait-pait (Anonimus 2006). Selain mempunyai nama daerah,
tumbuhan ini pun memiliki nama lain, diantaranya Manungala pendula, Niota tetrapetala dan Samadera indica (Anonimus 2007b).
Tumbuhan ini dapat tumbuh sampai ketinggian 20 m. Batang pohonnya
berwarna pucat dan memanjang. Batang tumbuhan ini membengkok tidak teratur.
Kayunya ringan dan lunak. Daunnya berbentuk elips sederhana, bulat seperti telur
dengan panjang daun sekitar 5-25 cm dan lebar sekitar 20cm dan ujung agak
membulat. Bunganya banyak, berwarna kuning kemerahan, pada bagian atas tebal
dan padat serta memiliki tangkai yang pendek (Anonimus 2007b). Buahnya
berwarna kuning kemerahan, memiliki 1-4 karpel, masing-masing buah memiliki
biji yang berbentuk elips dengan bentuk tipis unilateral pada bagian atasnya. Buah
memiliki panjang 4-5 cm, luas 2,5-3,7 cm dan tebalnya 1,3-1,9 cm.
Kayu pahit merupakan anti klorik dan anti hipertensif serta dapat
mengobati penyakit kulit dan sakit perut, sampai demam. Daunnya dapat
digunakan sebagai shampo rambut dan untuk menyembuhkan kerusakan kulit.
Akarnya pula boleh digunakan sebagai tonik dan mengobati sakit perut (Goh
1995).
Hampir semua bagian dari tumbuhan ini dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Di Malaysia, masyarakat menggunakan kayunya untuk membuat kerajinan tangan
untuk mengobati demam, mengobati penyakit kulit, juga sebagai tonik. Bijinya
dapat digunakan untuk mengobati penyakit asthma, rheumatik dan sakit perut,
juga sebagai obat emetika dan purgative, serta kadang-kadang digunakan sebagai
obat demam yang disebabkan karena kerusakan pada empedu.
Selain itu tumbuhan ini dapat digunakan sebagai racun serangga
(insektisida organik) dan anti serum (Anonimus 2006).
Gambar 1 Daun dan Bunga Quassia indica (a), pohon Q. indica (b), daun
Q. indica (c), buah Q. indica (d). Sumber : Anonimus 2007b
(b) (a)
Berdasarkan Anonimus (2007b), secara umum taksonomi Quassia indica
adalah :
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Suku : Simaroubaceae
Genus : Quassia
Spesies: Quassia indica
Kandungan
Tumbuhan ini mengandung lemak dan asam lemak tinggi, sterol dan
triterpenoid, alkaloid, quassinoid, gula pereduksi, glikosida steroid, brucein,
xanthin, dan flavonoid (Anonimus 2007a). Lima jenis quassinoid yang telah
dikenal, samaderines, indaquassin, dan simarinolide, quassinod glycoside, dan
2-O-glucosylsamaderine diisolasi dari batang Q. indica (Simaroubaceae). Quassinoid memperlihatkan kemampuannya sebagai penghambat pertumbuhan
parasit melawan parasit penyebab penyakit malaria yaitu Plasmodium falciparum
(chloroquine resistant-K1 strain). Samaderines, seperti halnya indaquassin,
bersifat menghambat aktifitas in vitro sel endotelial-neutrophil leukosit serta untuk memperlihatkan aktivitas anti-inflamasi (Lemmens 2003). Dari berbagai
macam kandungan yang terdapat pada tumbuhan tersebut, senyawa alkaloid,
xanthin, dan quassinoid merupakan senyawa yang dapat menunjukkan aktivitas
antimalaria. Kandungan senyawa lain seperti flavonoid yaitu dapat menunjukkan
aktivitas antioksidasi, yang merupakan komponen aktif tumbuhan untuk
pengobatan tradisional dalam pengobatan gangguan fungsi hati. Alkaloid pun
dapat digunakan sebagai senyawa penolak serangga dan antifungi. Triterpenoid
merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat yang dapat digunakan dalam
pengobatan penyakit diabetes, gangguan menstruasi, gangguan kulit, kerusakan
Penyakit Malaria
Malaria merupakan masalah utama kesehatan penduduk, tidak hanya di
Indonesia, tetapi juga di dunia. Penyakit malaria tidak hanya menyerang daerah
tropis, tetapi juga subtropis diseluruh dunia dan kematian banyak terjadi pada
daerah-daerah endemik malaria, antara lain negara-negara Asia Tenggara
termasuk Indonesia, India, Meksiko, Amerika Tengah dan negara-negara Afrika.
Malaria atau disebut pula paludisme, demam intermitens, panas dingin,
demam rawa, demam pantai, demam tropik, dan “ague”. Istilah malaria diambil
dari bahasa Italia yaitu mal (buruk) dan aria (udara). Disebabkan oleh parasit yang disebut Plasmodium, yang merupakan suatu protozoa darah yang tergolong ke dalam kelas Sporozoa. Di Indonesia, ditemukan 4 spesies penyebab penyakit
malaria pada manusia yaitu Plasmodium falciparum, P. vivax, P. malariae, dan P. ovale. Diantara ke empat macam parasit tersebut yang paling banyak ditemukan yaitu P. falciparum dan P. vivax, sedangkan yang paling berbahaya adalah P. falciparum (Brown 1979). Terdapat pula jenis lain yaitu P. berghei yang merupakan parasit dari genus Plasmodium yang bersifat parasitik pada sel darah merah yang dapat menyebabkan penyakit malaria pada rodent (mencit). P. berghei mempunyai siklus hidup maupun morfologi sama seperti parasit malaria pada manusia, dalam hal ini yang berbeda hanya inangnya saja. Selain itu,
penyakit malaria dapat ditemukan pada unggas yang disebabkan oleh berbagai
jenis Plasmodium seperti Plasmodium gallinaceum, P. juxtanucleare, P. relicticum, P. durae, P. circumflexum, P. fallax, dan P. rouxi. Penyakit malaria ditularkan oleh vektor seperti nyamuk Anopheles (pada manusia dan rodent) serta nyamuk agas dan lalat (pada unggas) (Levine 1990).
Siklus Hidup Plasmodium
Siklus hidup parasit malaria terdiri dari siklus aseksual yang berlangsung
pada induk semang vertebrata dan siklus seksual yang berlangsung pada induk
semang avertebrata. Skizogoni akan berlangsung dalam tiga tahap yaitu skizon
pra-eritrosit, skizon eritrosit, dan skizon eksoeritrosit. Sporozoit yang berasal dari
kelenjar saliva nyamuk dipindahkan kepada inang melalui gigitan nyamuk
dengan cepat, lalu masuk ke dalam hati dan menembus hepatosit serta menetap
dalam sel hati tersebut dan bermultiplikasi. Sporozoit selanjutnya kembali ke
dalam darah dan menembus eritrosit, kemudian melepaskan merozoit yang
menginfeksi kembali organ hati atau mikrogametosit dan makrogametosit yang
tidak melakukan aktifitas selanjutnya pada inang. Nyamuk lain menghisap darah
inang ketika gametosit matang ditemukan dalam darah, perkembangan mereka
berlanjut dalam usus atau lambung nyamuk, dimana terjadi pelepasan flagella dan
menjadi mikrogamet serta proses fertilisasi dari makrogamet. Zigot yang
terbentuk berkembang menjadi ookinet dan menembus dinding epitel usus.
Ookinet membulat dan terbentuk ookista. Sporogoni yang berada di dalam ookista
menghasilkan banyak sporozoit, selanjutnya terjadi ruptura ookista. Sporozoit
menuju kelenjar saliva untuk menggigit inang yang lain (Soulsby 1982).
Gambar 2 Siklus hidup Plasmodium sp.
Mencit (Mus musculus) Biologi Umum
Mencit merupakan salah satu hewan laboratorium atau hewan percobaan.
Hewan ini paling kecil diantara jenisnya dan memiliki galur mencit yang
berwarna putih. Mencit termasuk hewan pengerat (rodentia) yang dapat dengan
cepat berkembang biak. Pemeliharaan hewan ini pun relatif mudah, walaupun
dalam jumlah yang banyak. Pemeliharaannya ekonomis dan efisien dalam hal
tempat dan biaya. Mencit memiliki variasi genetik cukup besar serta sifat
anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Malole dan Pramono
1989).
Taksonomi mencit adalah sebagai berikut (Ballenger 1999) :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Subkelas : Theria
Ordo : Rodentia
Sub ordo : Sciurognathi
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Mus
Species : Mus musculus
Mencit laboratorium merupakan strain mencit yang telah dikembangkan
oleh ahli genetik dari peternak mencit peliharaan sejak 100 tahun silam (Pen
1999). Manusia telah mengembangkan mencit selama 4000 tahun di Mesir,
Yunani dan Cina. Mencit laboratorium mempunyai berat badan kira-kira sama
dengan mencit liar yang banyak ditemukan di dalam gedung dan rumah yang
dihuni manusia, dengan berat badan bervariasi 18-20 gram pada umur empat
yang lalu, sekarang ada berbagai warna bulu dan timbul banyak galur dengan
berat badan berbeda-beda (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Mencit putih memiliki bulu pendek halus berwarna putih serta ekor
berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang daripada badan dan kepala.
Mencit memiliki warna bulu yang berbeda disebabkan oleh perbedaan proporsi
darah dengan mencit liar dan memiliki kelenturan pada sifat-sifat produksi dan
reproduksinya (Nafiu 1996).
Karakteristik fisiologis
Mencit bila diperlakukan dengan halus akan mudah dikendalikan,
sebaliknya bila diperlakukan kasar mereka akan menjadi agresif atau bahkan
menggigit. Mencit dapat mencapai umur 2-3 tahun, tetapi terdapat perbedaan
besar dalam usia maksimal di berbagai galur mencit terutama karena perbedaan
dalam kepekaan penyakit (Malole dan Pramono 1989).
Menurut Malole dan Pramono (1989), data biologis mencit laboratorium :
Lama hidup : 1-2 tahun, bisa sampai 3 tahun
Berat badan : 20-40 gr untuk jantan, 18-35 gr untuk betina
Berat lahir : 0,5-1,0 gr
Suhu tubuh : 35-390 C
Pernafasan : 140-180/menit, turun menjadi 80/menit dengan anastesi,
naik sampai 230/menit jika stress.
Denyut jantung: 600-650/menit, turun hingga 350/menit dengan anastesi,
dan naik 750/menit jika stress.
Tekanan darah : 130-160 sistol
Hati
Anatomi dan Fisiologi Hati
Hati adalah organ terbesar dalam tubuh (Ressang 1984). Organ ini terletak
di rongga perut sebelah kanan, tepat di bawah diafragma, berwarna merah
kecoklatan. Hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesies hewannya.
Hati secara umum dapat dibagi menjadi tiga lobus, bagian kanan lebih besar
posterior (Underwood 1992). Pada mencit, terdapat empat lobus (medial, lateral
kiri, lateral kanan, dan kaudal) (Harada et al. 1999). Hati memiliki tiga jaringan penting yaitu saluran empedu, susunan pembuluh darah dan sel parenkim (Lu
1995).
Hati mempunyai selubung peritoneum dan menerima darah dari vena porta
dan arteri hepatika yang akan menyuplai 40-50% oksigen dan lebih kurang
setengah dari sirkulasi menuju hati. Percabangan-percabangan vena porta, arteri
hepatika dan saluran empedu akan bergabung dalam suatu daerah trias porta
(segitiga Kiernand). Sedangkan darah keluar dari hati melalui vena hepatika yang
masuk ke dalam vena cava caudalis (Ressang 1984, Underwood 1992).
Di antara hepatosit terdapat saluran halus empedu (kanalikuli empedu). Sel
hati (hepatosit) menyerap bahan pembentuk cairan empedu dari darah dalam
sinusoid dan produk empedu keluar dari hepatosit melalui kanalikuli empedu.
Kanalikuli-kanalikuli akan bergabung menjadi duktus hepatikus. Cairan empedu
yang dibentuk hepatosit tidak bercampur dengan darah karena masing-masing
mengalir di dalam saluran yang berbeda. Empedu akan disalurkan dari kantung
empedu ke duodenum melalui duktus koledokus (Guyton dan Hall 1997).
Menurut Dellmann dan Brown (1992), hati memiliki fungsi yang
kompleks, yaitu fungsi ekskresi, fungsi sekresi (empedu), fungsi penyimpan
(lipid, vitamin A dan B, glikogen), fungsi sintesa (fibrinogen, komplemen,
globulin, albumin, faktor pembekuan darah), fungsi fagositosis (partikel benda
asing), fungsi detoksifikasi, fungsi konjugasi/penggabung (substansi racun,
hormon steroid), fungsi esterifikasi (asam lemak bebas hingga trigliserida), fungsi
metabolisme (protein, karbohidrat, lemak, hemoglobin, obat), dan fungsi
hemopoietik.
Fungsi detoksifikasi hati yaitu sebagai penawar racun produk buangan
metabolisme. Produk buangan metabolisme itu dapat berasal dari usus,
toksin-toksin, kuman dan kelebihan hormon, juga dapat berasal dari penggunaan obat
obatan contohnya kamfer, fenol, asam benzoate, morfin dan barbiturate (Ressang
1984). Pada saat melakukan fungsi detoksifikasi, hepatosit dapat mengalami
resiko terpapar bahan metabolit yang toksik dan menderita kerusakan. Selain itu
dapat meracuni sistem organ tubuh selain hati karena tidak mengalami
detoksifikasi di hati. Hati merupakan organ yang sangat penting dalam tubuh dan
memiliki daya cadangan yang sangat besar, karena fungsinya yang dapat
membantu dalam mengatur proses homeostatis dalam tubuh. Kerusakan pada hati
dapat menyebabkan gangguan pada fisiologis dan metabolismenya (Hayes 2007).
Histologi hati
Sel hati (hepatosit) berbentuk polihedral, berdiameter 20-25 mikron pada
hewan dewasa, sedangkan pada hewan muda sekitar 2-7 mikron. Inti bulat
ditengah-tengah dan kadang-kadang tampak lebih dari satu inti (Hartono 1992).
Hepatosit tersebut berbentuk radial di sekeliling vena sentralis. Diantara deretan
hepatosit terdapat suatu saluran sinusoid yang menuju vena sentralis. Saluran ini
merupakan suatu sistem sinusoidal, yang membawa darah dari pembuluh portal
menuju vena sentralis dan pembuluh empedu. Tiap lobus dari hati ditutupi oleh
kapsul lapis serosa yang khusus (viseral peritoneum) dengan lapisan tipis jaringan
ikat di bawahnya. Jaringan ikat dari kapsula meluas hingga ke lobulus hati, seperti
jaringan penghubung interlobular untuk mengelilingi lobulus-lobulus hati serta
mendukung sistem vaskularisasi dan saluran empedu. Serabut retikuler berfungsi
mengelilingi sel hati dan sinusoid. Sel otot polos berada pada kapsula dan jaringan
penghubung interlobular. Jaringan penghubung interlobular sulit diamati, kecuali
pada babi karena jaringan penghubung interlobularnya memiliki septa yang jelas.
Area luar yang mendukung jaringan penghubung interlobular diantaranya seperti
pembuluh limfe, cabang arteri hepatika, cabang vena porta dan duktus empedu
muncul melalui beberapa bagian di hati. Kumpulan dari beberapa pembuluh dan
duktus bersama-sama dengan jaringan penghubung yang mendukungnya disebut
saluran porta (Dellmann dan Brown 1992).
Struktur hati secara anatomik dapat dipandang secara mikroskopik dari dua
pendapat, yaitu terdiri atas sistem lobulus dan sistem asinus. Sistem lobulus hati
berbentuk heksagonal yang terdiri dari vena porta, arteri hepatika dan duktus
empedu (membentuk segitiga Kiernand) yang terletak pada tepi lobulus. Darah dari
segitiga Kiernand mengalir ke arah vena sentralis dihubungkan melalui kapiler
Hepatosit dalam lobulus dibagi ke dalam tiga daerah. Daerah periportal meliputi
hepatosit yang berdekatan dengan segitiga Kiernand. Daerah midzonal meliputi
hepatosit yang berada pada pertengahan antara segitiga Kiernand dan vena
sentralis. Dan daerah sentrilobular terdiri dari daerah hepatosit yang berdekatan
dengan vena sentralis.
Sistem asinus hepatik berdasar kepada segitiga Kiernand dengan unit sel
asinar yang dibentuk oleh vena porta dan arteri hepatik yang menghubungkan
dengan segitiga Kiernand berikutnya melalui penetrasi terhadap vena-vena. Unit
asinar tersusun atas tiga zona. Zona 1 terdiri dari hepatosit yang terdekat dengan
vena-vena kecil yang berada di sekitar segitiga Kiernand. Zona dua memiliki
daerah yang berada pada pertengahan antara vena-vena kecil dan ujung vena
hepatik. Dan zona tiga terdiri dari area yang terdekat dengan ujung vena hepatik.
Zona dari sistem asinus, secara anatomi sangat mirip dengan daerah pada unit
sistem lobulus (Plumlee 2004), hanya saja penamaan daerah-daerah tersebut
terbalik dengan sistem lobulus. Hepatosit daerah sentrolobular adalah daerah
[image:36.595.136.473.418.608.2]periasinar dan hepatosit perilobular adalah daerah sentroasinar atau periportal.
Gambar 3 A. Sistem asinus hati yang terdiri dari 3 zona, yaitu zona 1, zona 2, dan
zona 3. B. Sistem lobulus hati yang tersusun atas vena porta, arteri
hepatika, dan duktus empedu.
Gambaran mikroskopik hati mencit
Gambar 4 Histologi hati area vena sentralis
[image:37.595.128.509.427.684.2]Sumber : www.deltagen.com
Gambar 5 Histologi hati area vena porta
Intoksikasi Hati
Hati merupakan organ kelenjar yang terbesar dan sangat penting dalam
tubuh dengan memiliki daya cadangan yang sangat besar, karena fungsinya yang
dapat membantu dalam mengatur proses homeostatis dalam tubuh. Kerusakan
pada hati dapat menyebabkan gangguan fisiologis dan metabolisme. Akibatnya,
kerusakan hati dari yang tergolong ringan pada hewan, tidak menimbulkan gejala
klinis yang nyata (Plumlee 2004).
Hati memiliki keistimewaan karena memiliki sirkulasi yang berlainan dari
alat tubuh. Namun, karena keistimewaannya itulah hati merupakan organ yang
mudah mengalami kerusakan (Ressang 1984). Hati menerima 80% suplai darah
dari vena porta sehingga memungkinkan zat-zat toksik yang diserap ke darah
portal dari usus halus ditransportasikan ke hati. Kerusakan hati juga dapat terjadi
karena sel hati terlibat dalam metabolisme obat-obatan sehingga dapat
menimbulkan efek toksik pada fungsi vital hati (Underwood 1992). Kerusakan
yang terjadi pada hati dapat bersifat sementara dan tetap. Sel akan mengalami
perubahan untuk beradaptasi mempertahankan hidup dengan kerusakan yang
bersifat sementara, dan dapat pulih kembali (reversibel). Kerusakan ini tergolong
non-letal dan perubahan ini biasa disebut degenerasi. Umumnya yang sering
menunjukkan perubahan ini adalah sel-sel yang secara metabolik aktif seperti
pada ginjal, hati, dan jantung. Degenerasi melibatkan sitoplasma sel, isi cairan sel
bertambah dan membengkak, sedangkan nukleus mempertahankan integritas
selama sel tidak mengalami cedera yang parah. Bila kerusakan parah (letal), maka
inti sel akan mengalami piknosis, rheksis, dan karyolisis. Selain degenerasi, sel
juga sering mengalami akumulasi terutama akumulasi protein di dalam
sitoplasmanya (Carlton dan McGavin 1995).
Beberapa jenis lesio hati akibat senyawa racun adalah degenerasi lemak,
degenerasi hidropis, nekrosis dan bila kronis sirosis (Lu 1995). Degenerasi
merupakan keadaan dimana hati kehilangan struktur dan fungsi normalnya.
Degenerasi hidropis, degenerasi lemak degenerasi berbutir, albuminoid atau
parenkim, sering terlihat pada proses-proses septik atau toksik. Gambaran
makroskopik pada hati terlihat membesar dan tepinya membulat, konsistensinya
dimasak. Degenerasi hidropis merupakan kondisi dimana terdapat air dalam
jumlah yang lebih banyak terakumulasi dalam sitoplasma sel. Degenerasi lemak
merupakan perubahan morfologi dan penurunan fungsi organ hati yang
disebabkan oleh akumulasi lemak dalam sitoplasma hepatosit. Degenerasi lemak
pada hati menunjukkan bahwa di dalam tubuh terdapat ketidakseimbangan proses
normal metabolisme sehingga mempengaruhi kadar lemak di dalam dan di luar
jaringan hati (Jones et al. 2006).
Tipe kematian sel dapat terjadi secara nyata melalui dua jalur yaitu
apoptosis dan nekrosa. Nekrosis terjadi akibat adanya perlukaan secara langsung
pada organel sel dan mengawali terjadinya penurunan yang tidak teratur pada
perubahan morfologi sel yang bervariasi dari lisis hingga terjadinya koagulasi
protein sel (Cheville 2006). Nekrosis merupakan kematian sel hati. Nekrosis dapat
bersifat lokal (sentral, midzonal, perifer) atau masif (Lu 1995). Jika terjadi
kerusakan sel yang parah atau berlangsung lama, sel akan mencapai suatu titik
dimana sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan tidak dapat melangsungkan
metabolisme. Pada keadaan ini sel bersifat irreversibel dan mati. Nekrosa
sentrolobuler terjadi terutama di sekitar vena sentralis karena pengaruh toksin dari
aliran darah (Ressang 1984, Plumlee 2004). Nekrosa ditandai dengan bengkaknya
sel karena upaya membran plasma mengatur lesio mekanisme keluar masuknya
ion dan air. Nekrosa melibatkan sekelompok besar sel dalam jaringan dan
menghasilkan molekul-molekul pra peradangan sehingga akan diinfiltrasi oleh
sel-sel radang. Sitoplasma dari sel nekrosa akan terlihat lebih asidofilik (merah)
yang disebabkan denaturasi protein sitoplasma dan kerusakan lisosom. Khromatin
inti menggumpal, inti mengecil dan berwarna biru yang dikenal dengan proses
piknosis. Inti piknosis dapat pecah menjadi bagian-bagian kecil (karyorrhexis)
atau menghilang (karyolisis) (Cheville 2006).
Apoptosis atau programme cell death dapat dibedakan dengan nekrosis. Pada nekrosis sel tidak mengalami kematian secara alami dalam siklus hidup sel
tersebut (Plumlee 2004), sedangkan apoptosis sel mengalami kematian yang
bersifat fisiologis (perkembangan normal) dan patologis (akibat agen infeksius
atau toksik) serta melibatkan sel secara individu tanpa menghasilkan produk sel
menstimuli peradangan. Apoptosis ditandai dengan sel yang menyusut,
mitokondria pecah dan dibebaskannya sitokrom-c membentuk blebs seperti gelembung pada permukaan sel, khromatin (protein DNA) dalam nukleus terurai,
sel pecah menjadi pecahan-pecahan kecil (badan apoptosis) namun membran sel
tetap utuh. Badan apoptosis nantinya akan difagosit oleh makrofag (Cheville
2006).
Sirosis hati merupakan kelanjutan dari nekrosis yang tersebar luas di
banyak lobulus hati, karena kurangnya mekanisme regenerasi dan bisa juga
didukung oleh tidak cukupnya aliran darah dalam hati. Sirosis hati ditandai oleh
adanya septa kolagen yang tersebar di sebagian besar hati (Lu 1995).
Ginjal
Anatomi dan Fisiologi Ginjal
Pada hampir semua spesies mamalia, ada dua ginjal dilihat dari tepi
berbentuk mirip kacang kedelai, terletak di retroperitoneum dengan posisi
keduanya mendatar pada kedua tepi otot lumbar atau menggantung pada dorsal
abdomen. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit lebih cranial dibandingkan ginjal
kiri. Pada ginjal, arteri dan vena, pembuluh limfe, syaraf dan ureter berjalan
melewati lekukan ginjal atau hilus. Permukaan ginjal ditutupi oleh jaringan ikat
kapsula, dimana terutama tersusun oleh serabut kolagen, tetapi dapat juga
tersusun dari otot polos dan pembuluh darah (Verlander 2002). Jika ginjal dibagi
dua dari permukaan ke arah hillus, tiga daerah utama yang dapat digambarkan
yaitu korteks di bagian luar, medulla di bagian tengah dan rongga pelvis ginjal di
bagian dalam. Medulla ginjal terbagi atas beberapa massa jaringan berbentuk
kerucut yang disebut piramida ginjal. Dasar dari setiap piramida dimulai pada
perbatasan antara korteks dan medulla serta diakhiri pada papilla yang menonjol
ke dalam ruang pelvis ginjal, yaitu daerah penampungan sementara berbentuk
corong yang merupakan pangkal dari ureter (Guyton dan Hall 1997).
Nefron merupakan unit fungsional terkecil dari ginjal. Produksi urin
dilakukan dalam nefron tersebut, yang tersusun atas glomerulus dan berbagai
Fungsi dari nefron adalah untuk membersihkan atau menjernihkan plasma darah
dari substansi yang tidak diinginkan oleh tubuh (Guyton dan Hall 1997).
Kebanyakan orang telah mengenal satu fungsi ginjal yang terpenting, yaitu
membuang bahan-bahan sampah tubuh dari hasil pencernaan atau yang diproduksi
oleh metabolisme. Fungsi kedua adalah mengontrol volume dan komposisi cairan
tubuh (Guyton dan Hall 1997).
Pada umumnya fungsi ginjal adalah untuk mempertahankan keseimbangan
susunan darah dengan :
1. Mengeluarkan kelebihan air dalam tubuh terutama dari depo interstitium.
2. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme sebagai ureum, asam kemih, alantoin,
ammonia, asam hipurat, dan metabolit-metabolit triptofan.
3. Mengeluarkan garam-garam anorganik yang kebanyakan berasal dari makanan.
4. Mengeluarkan bahan-bahan asing yang terlarut dalam darah, contohnya
pigmen-pigmen darah atau pigmen-pigmen-pigmen-pigmen yang terbentuk di dalam tubuh.
Selain itu ginjal juga mempunyai enzim tertentu yang dapat membantu
dalam proses metabolisme, detoksifikasi, dan biotransformasi dari xenobiotik
(Maronpot 1999).
Ginjal dapat melakukan tugas-tugas tersebut di atas karena fungsi saring
pada glomeruli, karena daya serap kembali daripada tubuli serta karena fungsi
sekretorik sel-sel tubuli (Ressang 1984).
Histologi Ginjal
Pada pemotongan membujur ginjal terdapat parenkim yang terbagi
menjadi bagian luar yang berwarna merah gelap disebut korteks dan bagian dalam
yang lebih cerah disebut medula. Pada bagian korteks tersebut lebih banyak
mengandung nefron. Nefron merupakan unit fungsional dan struktural dari ginjal,
ribuan nefron terdapat pada setiap ginjal. Jumlah nefron dari tiap-tiap spesies
hewan sangat bervariasi, anjing mempunyai sekitar 400.000 per-ginjal, sedangkan
kucing 200.000 per-ginjal (Dellman dan Brown 1998). Pada dasarnya nefron
terdiri atas sebuah glomerulus dimana cairan tersebut difiltrasi dan sebuah tubulus
yang panjang dimana cairan filtrasi tersebut diubah menjadi urin dalam perjalanan
lokasi glomerulus pada korteks, contohnya superfisial (dekat dengan kapsula),
midkortikal, atau juxtamedullary (dekat dengan medulla), atau berdasarkan
panjang dari loop of Henle seperti short-looped dan long-looped. Short-looped
nefron pada umumnya terletak pada superfisial atau midkortikal glomerulus dan
tubulus yang hanya meluas sampai ke bagian luar medulla sebelum kembali lagi
ke dalam korteks. Sedangkan long-looped nefron terletak pada juxtamedullary glomerulus dan tubulus yang meluas hingga ke bagian dalam medulla sebelum
kembali ke dalam korteks. Kebanyakan spesies memiliki kedua loop nefron tersebut. Pada kucing, anjing, dan beberapa spesies yang hidup pada daerah
beriklim panas hanya memiliki long-looped nefron, yang dapat menyimpan air dengan lebih efisien daripada short-looped nefron, sedangkan pada hewan yang hidup dalam air hanya memiliki short- looped nefron.
Tiap ginjal mendapat suplai darah dari arteri renalis yang masuk dari bagian
hilus renalis. Arteri renalis kemudian bercabang secara progresif membentuk arteri
interlobularis, arteri aciformes (arcuata), arteri interlobularis (arteri radialis), dan
arteriol afferent (vas afferent) yang menuju ke kapiler glomerulus dalam
glomerulus (Guyton dan Hall 1997). Dan pada glomerulus inilah dimulai proses
pembentukan urin, contohnya pada hewan besar, dimana kira-kira 800 liter dari
cairan plasma, mengalami filtrasi sejumlah 180 liter, sebagian besar dari cairan
tersebut di reabsorbsi di tubulus (Underwood 1992). Ujung distal kapiler dari setiap
glomerulus bergabung untuk membentuk arteriol efferent (vas efferent), yang
menuju ke jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler peritubular, yang mengelilingi
tubulus ginjal. Tiap glomerulus menerima darah dari arteriol afferent yang
kemudian menuju ke kapiler glomerulus, sedangkan darah meninggalkan
glomerulus melalui arteriol efferent dan menuju ke kapiler peritubular. Kapiler
peritubular melapisi seluruh tubulus dan mengembalikan material seperti air,
ion-ion dan nutrisi yang dipompa melewati epitel tubulus (Guyton dan Hall 1997,
Gambaran mikroskopik ginjal mencit
Gambar 6 Histologi ginjal
Sumber: www.deltagen.com
Gambar 7 Histologi Glomerulus Ginjal. AA, afferent arteriole; DT, distal tubule; EA, efferent arteriole; EMC, extraglomerular mesangial cells; GC,
glomerular capillaries; IMC, intraglomerular messangial cells; JC,
juxtaglomerular cells; MD, macula densa; P, podocyte; US, urinary space.
[image:43.595.210.415.397.626.2]Intoksikasi Ginjal
Gangguan pada ginjal dalam melakukan fungsinya akan sangat
mempengaruhi pembuangan zat-zat yang tidak diperlukan tubuh, dan mungkin
zat-zat yang tertimbun tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Kerja
utama ginjal adalah memproduksi urin sehingga urin merupakan jalur utama
ekskresi sebagian besar senyawa racun. Hal ini yang menyebabkan ginjal sebagai
organ sasaran utama efek toksik (Lu 1995).
Perubahan patologi yang dapat terjadi pada ginjal antara lain nephrosis
(nefrosa) yaitu peradangan pada ginjal yang disebabkan oleh gangguan pertukaran
zat. Nefrosa dapat dibagi menjadi tubulo-nephrosis dan glomerulo-nephrosis.
Tubulo-nephrosis disebabkan oleh perubahan pada epitel tubuli karena tubuli
selain berfungsi sebagai sekresi juga berfungsi sebagai reasorbsi. Yang termasuk
dalam tubulo-nephrosis antara lain degenerasi hidropik vakuoler yang disebabkan
oleh gangguan metabolisme air dan protein dalam sel, degenerasi hialin, nefrosa
hipokhloremik dan sebagainya. Glomerulo-nephrosis yaitu perubahan yang
bersifat radang pada glomerulus, yang disebabkan gangguan pra-renal dan
humoral (Ressang 1984).
Pada ginjal dapat terjadi kematian sel, baik dalam bentuk apoptosis
maupun nekrosa. Sama halnya yang terjadi pada sel hepatosit hati, pada ginjal pun
terjadi hal yang sama pada sel tubuli. Nekrosa merupakan kematian sel dan
jaringan yang terjadi pada hewan yang hidup. Jaringan nekrotik tampak secara
makro seperti noktah atau bercak yang pucat secara mikroskopik dalam
pewarnaan HE, massa sel yang mengalami koagulasi pada jaringan yang mati
akan berwarna lebih eosinofilik dibandingkan sel-sel yang normal. Pada
umumnya nekrosa disebabkan oleh iskhemia dan beberapa agen eksogen,
termasuk agen fisik (trauma dan luka bakar), racun kimia, virus, mikroorganisme
lain dan racun-racunnya (Cheville 2006).
Sel tubuli ginjal pun dapat mengalami kerusakan sel yang reversibel, yang
disebut degenerasi. Perubahan pada sel tersebut masih dapat pulih atau normal
kembali apabila intoksikasi toksin dihentikan, namun apabila terus berlanjut akan
mencapai suatu keadaan dimana terjadi pula kematian sel. Degenerasi hidropis
nukleus dan bintik-bintik sitoplasma terdesak ke belakang terhadap perifer dari sel
(Jones et al. 2006). Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh gangguan metabolisme air dan protein dalam sel (Ressang 1984).
Akumulasi protein pada sitoplasma sel biasanya berbentuk butiran-butiran
eosinofil yang khas, sepert butiran-butiran hialin. Akumulasi protein biasanya
dihubungkan dengan degenerasi butir hialin, namun sebenarnya itu bukan
merupakan perubahan akibat degenerasi. Secara sederhana hal tersebut merupakan
gambaran dari meningkatnya penyerapan protein dari isi lumen tubuli oleh epitel
tubuli proksimal dan distal. Biasanya sering terlihat di bagian sitoplasma sel
epitelial dari tubulus proksimal ginjal. Plasma protein yang keluar dari kapiler
glomerulus yang abnormal akan di reabsorbsi secara pinositosis pada lumen
tubulus oleh sel-sel tubulus (Jones et al. 2006). Degenerasi butir hialin dapat menjadi indikasi bahwa terdapat zat toksik yang lolos dari filter glomerulus dan
setelah terabsorbsi oleh epitel tubuli, dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari November 2007 sampai Mei 2008 di
Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan sebanyak
25 ekor, pakan mencit, sekam sebagai alas untuk mencit, ekstrak alkohol Q. indica, antibiotik, obat cacing, eter, Buffer Neutral Formalin 10%, alkohol absolut, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, xylol, paraffin
cair, Mayers Hematoksilin, Lithium carbonat, eosin, CMC-Na.
Peralatan yang digunakan adalah kandang mencit, tempat makan dan
minum, kertas label, kapas, gunting, pinset, pisau skalpel, spoit, sonde lambung,
kantung plastik tempat spesimen, sarung tangan, gelas objek, cover glass, mikroskop, mikrotom, timbangan digital, kaset jaringan, dan video foto
mikroskop.
Metode Penelitian
1. Persiapan kandang dan adaptasi mencit
Sebelum mencit digunakan untuk penelitian, terlebih dahulu disiapkan
kandang yang terbuat dari boks plastik yang dimodifikasi dan ditutup dengan
kawat. Kandang diberi sekam agar mencit tidak kedinginan yang diganti setiap
3 hari sekali. Mencit dibagi dalam 5 kandang masing-masing berisi 5 ekor
yang akan menerima perlakuan ekstrak empat dosis bertingkat dan satu grup
sebagai perlakuan kontrol. Sebelum melakukan perlakuan mencit
diadaptasikan terlebih dahulu. Mencit diberi perlakuan antibiotik berupa
Ampicillin dengan dosis IU 125mg/5ml diberikan 1 kali selama 3 hari dan
perubahan-perubahan yang tidak spesifik pada jaringan akibat agen-agen
infeksius.
2. Perlakuan terhadap mencit
Setelah perlakuan adaptasi selama 2 minggu, masing-masing kelompok
diberi konsentrasi ekstrak Q. indica yang berbeda. Pemberian dilakukan dengan menggunakan sonde lambung dengan dosis bertingkat yaitu
1000-100-10-1 mg/kg BB yang dilarutkan dengan Carboxymethocellulose (CMC-Na)
dalam 0,1 ml/mencit selama 7 hari.
3. Nekropsi
Setelah pemberian ekstrak selama 7 hari, kemudian dilakukan nekropsi.
Sebelum dilakukan nekropsi, terlebih dahulu mencit dibius dengan
menggunakan eter sampai over dosis. Setelah terbius, rongga abdomen mencit
dibuka untuk mengambil sampel hati dan ginjal yang kemudian difiksasi
dalam Buffer Neutral Formalin 10% (pH netral) pada suhu ruang selama 48 jam.
4. Pembuatan preparat histologi
Organ hati dan ginjal dari setiap sampel yang telah dinekropsi, ditriming
dengan tebal ±0,3 cm, kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassette, jaringan kemudian didehidrasi dengan alkohol bertahap dan diinfiltrasi
paraffin dengan bantuan alat automatic tissue processor. Selanjutnya dilakukan proses embedding, yaitu proses penanaman organ ke dalam paraffin dan dibiarkan hingga mengeras dalam cetakan blok paraffin. Blok tersebut
disimpan dalam refrigerator (4-60C) sebelum diiris dengan mikrotom. Setiap
blok paraffin diiris dengan mikrotom dengan ketebalan 3 mikron. Paraffin
yang telah dipotong diletakkan di atas air hangat agar jaringan tersebut tidak
mengkerut, lalu potongan jaringan tersebut diletakkan di atas gelas objek yang
telah diberi perekat putih telur. Jaringan yang telah diletakkan di atas gelas
objek disimpan dalam inkubator selama ±24 jam. Kemudian dilanjutkan
dengan pewarnaan HE (Hematoxylin Eosin).
5. Pengamatan histopatologi dan uji statistik
Preparat yang telah siap untuk diamati, dapat segera dilakukan
mikroskop cahaya serta dapat dibantu dengan menggunakan video foto
mikroskop dengan pembesaran 400x. Terhadap preparat tersebut, dilakukan
penghitungan jumlah perubahan sel pada jaringan. Pengamatan pada organ
hati dilakukan dengan menghitung jumlah sel yang mengalami degenerasi
hidropis, degenerasi lemak, apoptosis, dan sel hati yang normal di sepuluh
lapang pandang sekitar vena sentralis dan di sepuluh lapang pandang sekitar
vena porta. Pada masing-masing lapang pandang dihitung jumlah sel hati
(hepatosit) yang mengalami degenerasi dan apoptosis kemudian dibagi dengan
jumlah hepatosit dalam satu lapang pandang. Hasil yang diperoleh dianalisa
dengan menggunakan uji ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk
mengetahui tingkat signifikan antar kelompok kontrol dan perlakuan. Pada
ginjal, dilakukan pengamatan terhadap perubahan glomerulus dan sel epitel
tubuli, serta sel epitel tubuli yang normal. Perubahan yang terjadi pada epitel
sel tubuli dapat berupa degenerasi dan apoptosis serta ada tidaknya endapan
protein pada tubuli proksimal ginjal. Sedangkan pada glomerulus, dapat
diamati atrofi glomerulus dan adanya endapan protein pada glomerulus
tersebut. Sama halnya dengan hati, pada ginjal dilakukan pula pengamatan
terhadap 20 lapang pandang di daerah sekitar glomerulus. Pada
masing-masing lapang pandang tersebut, dihitung jumlah total sel epitel tubuli ginjal
yang mengalami degenerasi, apoptosis dan persentase tubuli dengan endapan
protein dan dan dibagi dengan jumlah sel epitel tubuli dalam satu lapang
pandang. Sedangkan pada glomerulus, perubahan yang terjadi antara lain
berupa atrofi anyaman glomerulus dan adanya endapan protein pada ruang
Bowman. Hasil penghitungan dicari persentasenya dan dirata-ratakan antar
kelompok perlakuan. Hasil yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan uji
ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui tingkat
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Ekstrak Quassia indica Terhadap Perubahan Histopatologi Hati Mencit
Berdasarkan hasil pengamatan histopatologi organ hati mencit pada kelima
kelompok baik pada perlakuan maupun kontrol ditemukan adanya perubahan pada
parenkim maupun interstitium. Perubahan pada parenkim terjadi pada sel hati
(hepatosit) berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan kematian sel tanpa
peradangan (apoptosis). Pada interstitium terjadi perubahan berupa kongesti dan
perluasan sinusoid. Kongesti dan perluasan sinusoid dapat dimungkinkan karena
penggunaan eter anestetikum yang over dosis. Eter merupakan anastetik umum
yang sangat kuat, dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit, menekan
kontraktilitas otot jantung dan pembuluh darah organ-organ (Ganiswara 1995).
Dengan demikian adanya kongesti pada sinusoid tidak dijadikan sebagai
parameter dalam perubahan mikroskopis akibat pemberian ekstrak Q. indica.
[image:49.595.155.499.424.664.2]Gambar 9 Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi ekstrak Quassia indica. Lesio hepatosit berupa Degenerasi lemak (A), Apoptosis (B), dan Kongesti (C). Dosis 1000 mg/kg BB. Pewarnaan HE; Bar:2µm
Untuk membandingkan lesio antara kelompok kontrol dan perlakuan maka
dilakukan penghitungan persentase jumlah sel yang mengalami degenerasi
hidropis, degenerasi lemak dan apoptosis di sekitar vena sentralis dan vena porta.
Hasil perhitungan dan analisis statistik persentase jumlah hepatosit yang
mengalami lesio degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan apoptosis di sekitar
[image:50.595.141.498.82.363.2]vena sentralis dan vena porta tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Persentase lesio hepatosit mencit yang diberi ekstrak Quassia indica
Persentase Lesio Hati
Dosis (mg/kg)
Normal Degenerasi Hidropis
Degenerasi lemak
Apoptosis
Kontrol 56.216±6.376a 4.944±1.918a 15.256±8.272b 23.583±0.567b 1 53.226±4.921a 6.787±3.668a 12.267±3.416bc 27.719±3.548b 10 54.282±4.547a 9.805±3.88