• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI DI KOTA KUPANG

NUSA TENGGARA TIMUR

ANNYTHA INA ROHI DETHA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

37

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Sumber informasi dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Annytha Ina Rohi Detha

(3)

38

ABSTRACT

ANNYTHA INA ROHI DETHA. Study on Q Fever in Cattle in Kupang City, East Nusa Tenggara. Under direction of MIRNAWATI SUDARWANTO and

AGUS SETIYONO.

The study on Q fever in Kupang City, East Nusa Tenggara had been done. This study is aimed to observe the Q fever in cattle in Kupang City. Coxiella burnetii is the causative agent of Q fever, which a zoonotic disease threatening public health. Q fever is considered as an occupation hazard and can cause adverse effect on health of farm workers, slaughterhouse workers, and researcher. This study used the secondary data collected from the Provincial Livestock Service, East Nusa Tenggara and the laboratory data of Coxiella burnetii detected by nested PCR. The total of 169 samples of beef livers and hearts were collected from slaughterhouse in Kupang City. The result showed that no material genetics of Coxiella burnetii were detected in the samples. This negative results indicated that the cattle slaughtered is healthy.

(4)

39

RINGKASAN

ANNYTHA INA ROHI DETHA. Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO dan AGUS SETIYONO.

Demam Query atau Q fever adalah salah satu penyakit zoonosa penting yang dapat ditularkan melalui pangan. Coxiella burnetii sebagai agen, bersifat kontagius dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap alam. Pada manusia penyakit ini menyebabkan pneumonia, hepatitis dan endokarditis. Hewan yang dapat terserang Q fever antara lain sapi, kambing, domba, ruminansia lain, unggas, hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, serta hewan liar. Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak langsung, partikel debu, bahan pangan asal hewan, luka yang terkontaminasi, cairan amnion, plasenta, selaput lendir, tinja dan urin dari hewan yang terinfeksi C. burnetii.

Q fever tersebar luas di seluruh dunia bahkan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak negara. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani yang tidak terlepas dari ternak sehingga rentan terhadap infeksi Q fever. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari penyakit ini, maka perlu dilakukan penelitian tentang infeksi C. burnetii pada ternak terutama pada daerah sumber produksi ternak salah satunya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang

Q fever di NTT.

Penggunaan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi keberadaan C. burnetii, dipercaya memiliki nilai akurasi yang tinggi dan telah banyak digunakan untuk mendiagnosa Q fever. Tahapan proses awal PCR adalah ekstraksi DNA, dilakukan dengan memakai standar DNA purification kit dengan sampel yang digunakan untuk ekstraksi adalah campuran organ hati dan jantung. Proses selanjutnya adalah first PCR, dilakukan memakai primer yang dirancang berdasarkan sekuen spesifik dari membran luar C. burnetii dengan berat molekul 29 kDa. Tahap selanjutnya adalah nested PCR, hampir sama dengan first PCR namun bedanya pada nested PCR menggunakan sampel hasil running dari first PCR dan membutuhkan waktu lebih lama. Proses selanjutnya adalah elektroforesis kemudian dimasukan dalam larutan pewarna ethydium bromida, dilihat di bawah sinar ultra violet.

Dalam kajian Q fever di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, dibutuhkan data tentang gambaran peternakan sapi yang ada di NTT. Untuk mengkaji Q fever

(5)

40 penyakit yang terjadi di NTT menunjukkan bahwa kondisi peternakan di NTT tidak terlepas dengan masalah kesehatan hewan. Melalui data penyakit ternak yang ada menunjukkan bahwa ternak di NTT memiliki peluang besar, beresiko terinfeksi penyakit hewan menular, demikian halnya peluang terjadinya kasus zoonosis pada manusia.

Penelitian ini menggunakan 169 sampel hati dan jantung menunjukkan hasil negatif dengan menggunakan PCR. Ketidakhadiran pita spesifik C. burnetii

berarti tidak adanya material genetik dari agen penyakit ini. Hal ini menunjukkan bahwa sapi di Kota Kupang NTT tidak terinfeksi penyakit Q fever. Sistem peternakan yang ada di NTT serta banyaknya jumlah ternak saat ini masih cukup aman terhadap infeksi Q fever. Hasil negatif ini mungkin disebabkan hewan tersebut belum terkena penyakit atau menjadi carrier. Masalah kesehatan hewan yang dialami peternak di NTT sering menjadi kendala dalam meningkatkan produktivitas produksi peternakan sapi.

(6)

41

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

42

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI DI KOTA KUPANG

NUSA TENGGARA TIMUR

ANNYTHA INA ROHI DETHA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

(8)

43

BOGOR

2008

Judul Tesis : Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur

Nama : Annytha Ina Rohi Detha NIM : B251060031

Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto Dr. drh. Agus Setiyono, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Kesehatan Dekan Sekolah Pascasarjana Masyarakat Veteriner

(9)

44

(10)

45

(11)

46

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Bapa di Surga atas segala berkat dan AnugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur, yang dilaksanakan sejak agustus 2007 sampai Maret 2008.

Dalam menempuh studi S2, penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, teladan, inspirasi, motivasi, semangat, doa dan kasih sayang. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto selaku ketua komisi pembimbing yang sangat sabar dan perhatian dalam membimbing serta banyak memberikan teladan yang baik kepada penulis. Ketelitian dan kesabaran beliau dalam pemeriksaan penulisan format yang benar memotivasi penulis menjadi seorang penulis yang baik.

2. Dr. drh. Agus Setiyono, MS selaku anggota komisi pembimbing yang dengan cerdas dan semangat menyumbangkan ide pikiran dan masukan selama penulisan tesis. Penulis juga menyampaikan terimakasih atas kesempatan yang diberikan beliau untuk ikut dalam penelitian lanjut Q fever ini.

3. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS selaku dosen penguji luar yang memberikan banyak masukan dalam penulisan tesis.

4. Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner atas perhatian dan kesabaran beliau sehigga penulis dapat memperbaiki segala kekurangan yang ada dalam penulisan tesis dan dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

5. Keluarga tercinta: Papa, Mama, kak Umbu, kak Gere, kak Gibson, kak Lela, ka Deasy, Ade dan keluarga besar atas doa, kasih sayang dan dukungan spiritual dan materi selama masa studi.

(12)

47 7. Dinas Peternakan Propinsi NTT, Dinas Peternakan Kota Kupang, Balai

Karantian Hewan Tenau-Kupang, atas bantuan data dan kesempatan pengambilan sampel di RPH Oeba Kota Kupang yang digunakan untuk penelitian.

8. Rektor Undana, dekan Fapet Undana dan pihak SPP Kupang, atas kesempatan yang diberikan penulis untuk menyelasaikan studi S2.

9. Dr. drh. Hapsari Mahatmi, MS., Keluarga Ir. Surya Sembiring, M.Si., atas perhatian, inspirasi, kebaikan, doa dan kasih sayang sehigga penulis dapat menyelesaikan studi tepat waktu.

10.Keluarga besar PERKANTAS Bogor atas dukungan doa, kasih sayang, perhatian dan kebersamaan sebagai keluarga selama penulis studi di Bogor. Sahabat-sahabat terkasih dan seperjuangan Tience, Nelly, kak Olly atas doa, kasih sayang, perhatian, nasehat, kebersamaan, suka duka yang dilalui bersama selama studi di Bogor. Kak Suryaty, mbak Wiwien, adik kelompok (Oving, Eka, Yessy, Kristina dan Sasti) atas doa, kasih sayang dan perhatiannya. Teman-teman seperjuangan dalam menimba ilmu di KMV IPB 2006 (Wiwin & mbak Fety) atas diskusi, semangat dan kebersamaan selama masa 2 tahun ini. Terkasih Aris atas kasih sayang, doa perhatian, motivasi yang diberikan pada penulis.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu yang turut mendukung dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2008

Annytha Ina Rohi Detha

(13)

48

(14)

49

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Maumere, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 16 Agustus 1981, adalah anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Johannes Wohangara Detha dan Imirana Detha.

Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1994 di SD Katolik Waikabubak, Sumba Barat dan Sekolah Menengah Pertama tahun 1997 di SMP Negeri 2 Same Manufahi, Timor-Timur. Sekolah Menengah Umum pada tahun 2000 di SMU Negeri 2 Waingapu, Sumba Timur dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Tahun 2004 penulis lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan dan lulus sebagai Dokter Hewan pada akhir tahun 2005. Pada tahun 2007 penulis diterima bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana di Kupang.

Pada Bulan Agustus 2006 penulis mendapat kesempatan melanjutkan jenjang S2 melalui program beasiswa dari Yayasan “Sabu Development Foundation”. Penulis mengambil program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(15)
(16)

51

Halaman

1 Luas padang pengembalaan di Nusa Tenggara Timur ………... 20 2 Populasi ternak di Nusa Tenggara Timur ……… 22 3 Pemotongan ternak di Nusa Tenggara Timur tahun 2003-2006 ……….. 23 4 Rekapitulasi pengeluaran pemasukan eksport import

lingkup Balai Karantina Hewan Kelas I tahun 2006 .………... 24 5 Pengeluaran ternak dari Nusa Tenggara Timur

(17)

52

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi C. burnetii dengan pengamatan

menggunakan mikroskop elektron ..………. 5

2 Transmisi (wildlife) Q fever …..………..………. 8

3 Transmisi (domestic cycle) Q fever ...………..………. 8

4 Skema pengambilan dan pengerjaan sampel penelitian ...…..………… 17

5 Sistem pemeliharan semi intensif .………...………. 21

6 Sistem pemeliharan ekstensif .………..……… 21

7 Model pemasaran dan transportasi ternak sapi ...………..………. 25

8 Hasil first PCR (i) ...………..………..………. 28

9 Hasil first PCR (ii) ....…………..……….………. 28

10 Hasil nested PCR (i) ……….…… 29

11 Hasil nested PCR (ii) ...……….…… 30

(18)

53

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Keterangan sampel ...………...………..….……. 38 2 Vaksinasi anthrax, hog cholera, brucellosis, dan SE ...………..…...……. 40 3 Produksi karkas/daging sapi propinsi NTT tahun 2006 ....……..………. 41 4 Pemotongan tercatat dan tidak tercacat ternak besar dan kecil Propinsi

NTT tahun 2006 ...……….……. 41 5 Rumah pemotongan hewan (RPH) atau tempat pemotongan hewan

(TPH) di Propinsi NTT tahun 2006 ...…....……….…... 42 6 Gambar produk pangan asal ternak di NTT, kondisi kios penjualan

(19)

54

PENDAHULUAN

Latar belakang

Demam Query atau Q fever adalah salah satu penyakit zoonosa penting yang dapat ditularkan melalui pangan. Coxiella burnetii adalah agen penyebab Q fever pada manusia dan coxiellosis pada hewan. C. burnetii bersifat sangat kontagius, dalam jumlah sedikit sudah mampu menyebabkan sakit (Raoult 2002), mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap alam dalam waktu lama, tahan terhadap pH rendah, serta tahan terhadap beberapa bahan kimia pembasmi bakteri dan radiasi sinar ultra violet (Maurin dan Raoult 1999).

Pada manusia Q fever menyebabkan gangguan pada tubuh seperti malaise, myalgia, sakit kepala, kedinginan, kelelahan, demam tinggi yang sering dihubungkan dengan penyakit pernafasan (Acha dan Szyfres 2003). Q fever dapat bersifat akut, sering muncul seperti pneumonia dan hepatitis (Fournier dan Raoult 2003) dan infeksi kronis seperti endokarditis dan osteomielitis (Raoult 2002). Penelitian terbaru menunjukkan gangguan pada aorta didiagnosa akibat agen C. burnetii (Panau et al. 2007). Pada wanita hamil dapat menyebabkan keguguran, kelahiran prematur, kelahiran dengan berat kurang dari normal, radang plasenta dan infeksi uterus kronis (Marrie 2003).

Hewan yang dapat terserang Q fever antara lain sapi, kambing, domba, ruminansia lain, unggas, hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, serta hewan liar (Acha dan Szyfres 2003). Rodensia, caplak dan serangga bahkan ikan juga merupakan sumber penularan penting bagi penyakit Q fever (Marrie 2003).

Penularan Q fever terjadi secara langsung dan tidak langsung dari hewan yang terinfeksi (Raoult 2002). Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak langsung, partikel debu, bahan makanan asal hewan, luka yang terkontaminasi, cairan amnion, plasenta, selaput lendir, tinja dan urin dari hewan yang terinfeksi C. burnetii (Acha dan Szyfres 2003). Transmisi manusia ke manusia dapat terjadi melalui transfusi darah, transplantasi tulang dan transmisi secara seksual (Davis 2004).

(20)

55 terjadi akibat mengkonsumsi susu yang terkontaminasi C. burnetii (Gozalan et al.

2005). Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan individu yang berisiko paling tinggi terinfeksi penyakit ini adalah orang yang sering kontak langsung dengan ternak seperti pekerja di peternakan, rumah potong hewan (Hatchette et al. 2001).

Q fever tersebar luas di seluruh dunia bahkan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Taiwan, Malaysia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara (Fournier et al. 1998). Akibat distribusi geografis Q fever yang sangat luas dan letak geografis Indonesia yang berdekatan wilayah dengan negara-negara endemik Q fever terutama Australia, maka perlu diwaspadai penyebaran penyakit ini di Indonesia.

Sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani yang tidak terlepas dari ternak sehingga rentan terhadap infeksi Q fever. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari penyakit ini baik pada manusia maupun hewan yang bisa tertular melalui produk hasil ternak seperti daging, susu dan telur, maka perlu dilakukan penelitian tentang C. burnetii pada ternak terutama pada daerah yang merupakan sumber produksi ternak di Indonesia yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Daerah NTT merupakan daerah yang secara geografis memiliki kondisi fisik yang sesuai untuk produksi ternak dan memiliki kontribusi yang sangat tinggi terhadap perdagangan sapi potong antar pulau. Bahkan usaha sapi potong dapat meningkatkan lapangan kerja, produksi daging nasional, pendapatan dan kesejahteraan petani peternak, serta meningkatkan pendapatan daerah (Anonim 2005).

(21)

56 penelitian tersebut menunjukkan prevalensi terhadap penyakit grup rickettsia (Q fever dan Murine typhus) di Indonesia.

Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian yang mendalam tentang Q fever di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal lain yang penting adalah

Q fever dapat menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan hewan serta mengingat dampak jangka panjangnya yang fatal. Penelitian Q fever pada sapi di Kota Kupang NTT diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi dasar bagi pengembangan sistem pengawasan terhadap lalu lintas ternak untuk pencegahan dan pengendalian Q fever pada hewan dan manusia.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji penyakit Q fever pada sapi potong di Kota Kupang, NTT.

Manfaat Penelitian

(22)

57

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Q fever

Penyakit Q fever pertama kali dilaporkan di Australia pada tahun 1935 kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia (sampai saat ini). Kejadian bermula pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane Queensland, menderita demam yang tidak diketahui penyebabnya. Setelah kejadian di Australia, kejadian secara epidemik telah diteliti di Afrika, Eropa, Asia, dan Amerika Utara. Terdapat 51 negara dilaporkan adanya Q fever dan telah dibahas hampir di setiap negara kecuali New Zealand (Page 2004).

Q fever pertama kali ditemukan oleh Edward H. Derrick pada tahun 1937, kemudian pada tahun 1939 Macfarlane Burnett dan Freeman mengisolasi agen penyebab Q fever yaitu Rickettsia, dan kemudian disebut Rickettsia burnetii. Namun demikian ternyata masih mempunyai perbedaan juga dengan kelompok tersebut, maka akhirnya agen Q fever ini berdiri dengan nama Coxiella burnetii

(Maurin dan Raoult 1999; Soejoedono 2004).

Di dunia perkembangan penelitian tentang Q fever sudah demikian maju bahkan sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap sudah dilakukan. Hal ini mengingat C. burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata biologis (bioterrorism agent), sehingga penanganan yang benar dan cepat menjadi penting bila terjadi wabah (Fournier dan Raoult 2003).

Karakteristik C. burnetii

(23)

58

Gambar 1 Morfologi C. burnetii dengan pengamatan menggunakan mikroskop elektron (Davis 2004).

C. burnetii bersifat obligat intraseluler pada inangnya dan memiliki karakter yang mirip dengan Rickettsia (Ogawa et al. 2004).Secara filogenetik C. burnetii masuk dalam kingdom Pseubacterial, filum Proteobacteriae, ordo

Gamma, genus Coxiella dan spesies C. burnetii (Marrie 2003).

C. burnetii hidup dan berproliferasi dalam sel inang. Sel target utama dari agen ini hanya pada monosit atau sel-sel makrofag. Jika infeksi terjadi melalui saluran napas maka makrofag alveolar merupakan sel utama yang berperan aktif terhadap terjadinya infeksi akut. Dalam hati sel kupfer berperan aktif terhadap adanya infeksi C. burnetii melalui aliran darah (Fournier et al. 1998).

(24)

59

Epidemiologi Q Fever

Sumber Penularan dan Transmisi Q Fever

Penyakit Q fever bersifat zoonosis dan penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi agen penyebab. Q fever dapat berpotensi besar sebagai senjata biologis karena sifatnya yang tahan terhadap lingkungan dan dapat ditransmisikan secara aerosol (Davis 2004).

Q fever dapat terjadi dalam rute transmisi yang bervariasi. Sapi, domba dan kambing adalah ruminansia domestik dianggap sebagai reservoir utama dan sumber infeksi C. burnetii pada manusia. Pada manusia, rute penyebaran secara aerosol dianggap sebagai rute infeksi yang utama yaitu lewat inhalasi terhadap yang sudah terkontaminasi dengan C. burnetii. Materi yang terkontaminasi C. burnetii seperti cairan amnion, plasenta, ekskret, wol, tanah dan debu dapat menyebarkan agen inimelalui angin (windborne)(Page 2004).

Transmisi secara oral dapat juga terjadi melalui bahan pangan asal hewan yang terinfeksi seperti daging dan produknya (Page 2004). Transmisi lain dapat terjadi melalui transfusi darah, transplantasi tulang, inokulasi intradermal dan hubungan seksual (Davis 2004). Penelitian yang dilakukan Milazzo et al. (2001), melaporkan seorang pasien terdiagnosa orchitis setelah 29 hari sebelumnya melakukan hubungan seksual dengan penderita Q fever.

Hewan peliharaan seperti kucing, anjing dan kelinci juga termasuk dalam sumber infeksi pada masyarakat perkotaan. Penelitian di Itali, menunjukkan bahwa anjing dapat mentransmisikan Q fever ke manusia melalui cairan ekskreta dan urine. Selain itu juga ditemukan bahwa C. burnetii tersebar luas di peternakan terutama selama masa partus. Hal ini disebabkan dalam masa partus, C. burnetii

dilepaskan pada lingkungan lebih dari 109 bakteri pergram plasenta yang terinfeksi (Capuano et al. 2004).

(25)

60 pasteurisasi dengan suhu 63.8 0C (147 F) selama 30 menit atau 71.7 0C (161 F). Menurut Raoult (2002), konsumsi susu yang terkontaminasi C. burnetii dapat menyebabkan distribusi sistemik melalui saluran pencernaan. Hatchette et al.

(2001), menemukan bahwa mengkonsumsi keju yang tidak dipasterurisasi merupakan faktor resiko bertambahnya kejadian Q fever di Inggris.

C. burnetii dalam urine dan feses dari hewan yang terinfeksi dapat juga sebagai sumber kontaminasi untuk rute transmisi melalui air, debu, tanah, dan muntah. C. burnetii dapat bertahan selama 19 bulan dalam feses dari beberapa jenis arthropoda yang terinfeksi agen ini (Davis 2004). C. burnetii dapat diisolasikan dari berbagai jenis arthropoda seperti kecoa, kumbang, lalat, kutu, caplak dan tungau. Telah dilaporkan lebih dari 40 jenis arthropoda dapat terinfeksi

C. burnetii melalui transovarial dan transstadial (diantara siklus hidup) (Page 2004).

Penelitian Yanasa et al. (1998), menemukan adanya C. burnetii dari sampel debu yang dikoleksi dari peternakan sapi perah di Jepang Dua penelitian lain melaporkan bahwa penularan Q fever melalui angin dapat terjadi dengan jarak 18,3 km dari pusat infeksi (Tissot et al. 1999; Hawker et al. 1998). Penelitian yang dilakukan di Inggris, ditemukan adanya kontaminasi C. burnetii

pada jerami, pupuk, dan debu dari kendaraan di peternakan. Di Swiss dilaporkan individu yang tinggal dekat jalan yang mengangkut domba beresiko tinggi terinfeksi Q fever (Page 2004)

Individu yang beresiko terinfeksi termasuk peternak, pekerja RPH, pekerja laboratorium, dan dokter hewan yang sering kontak dengan produk hewan (Davis 2004). Penelitian Psaroulaki et al. (2006) melaporkan bahwa individu yang tinggal dekat peternakan kambing atau domba beresiko besar terhadap penularan

Q fever dan serangga dianggap sebagai aspek epidemiologi yang paling berperan pada penularan tersebut.

Transmisi Q fever dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu wildlife dan

(26)

61 hewan tertular. Susu segar dan daging dari sapi yang menderita Q fever

merupakan sumber penularan penting pada manusia (Acha dan Szyfres 2003).

Manusia

Penyakit Q fever pada manusia sering bersifat menahun dan menimbulkan kondisi yang fatal yaitu mengakibatkan kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pada pembuluh darah dan yang kerap terjadi endokarditis yang berakhir dengan kematian (Stein dan Raoult 1992). Penelitian yang dilaporkan oleh Stein et al. (2005) menjelaskan bahwa penularan Q fever secara aerosol dapat menimbulkan lesi hebat pada paru-paru.

Masa inkubasi C. burnetii antara 2-3 minggu dengan gejala klinis yang bervariasi tergantung tingkat patogenitasnya, diikuti dengan demam tinggi (39–40

0

(27)

62 1999). Namun masa inkubasi dan tingkat patogenitas dapat tergantung dari kondisi kesehatan individu ketika terpapar agen C. burnetii dan rute transmisi penyakit ini (Page 2004).

Pada penelitian Panau et al. (2007), melaporkan adanya kasus Q fever

dengan gejala klinis berupa gangguan jantung yang hebat diikuti infeksi pernapasan. Penelitian di Turki, melaporkan terdapat 46 kasus Q fever dalam kurun waktu 3 bulan dengan gejala klinis yang ditimbulkan berupa muntah (100.0%), nausea (85.7%), diare (57.1%), demam (42.9%), sakit pada perut (42.9%) dan sakit kepala (42.9%) (Gozalan et al. 2007).

Q fever pada wanita hamil dapat menimbulkan gangguan yang serius. Penelitian yang dilaporkan Raoult et al (2002), menyebutkan bahwa wanita hamil yang didiagnosa menderita Q fever, beresiko mengalami keguguran, kelahiran prematur dan lahir dengan berat badan tidak normal pada usia 3 bulan pertama masa kehamilan sedangkan untuk kehamilan tua, abortus jarang terjadi. Dari hasil penelitian lain terhadap 7 wanita dengan kasus Q fever pada umur kehamilan 3 bulan pertama semuanya mengalami abortus (Page 2004).

Kejadian pada hewan

Kejadian Q fever pada hewan tidak selalu menimbulkan gejala klinis bahkan lebih sering tidak ada gejala yang tampak. Studi seroprevalensi yang dilaporkan Masala et al (2004), menunjukkan penularan Q fever yang sangat tinggi terjadi pada peternakan kambing dan domba. Penelitian lain di Itali dengan kurun waktu 4 tahun, dilaporkan dari 514 kasus abortus, 138 diantaranya dari ternak sapi dan 376 lainnya adalah kambing dan domba (376). Data ini menunjukan bahwa hampir semua infeksi C. burnetii pada hewan sering berhubungan dengan kejadian abortus (Parisi et al. 2006).

Pada hewan C. burnetii berlokasi pada glandula mamae, uterus dan plasenta, diantara ketiganya konsentrasi C. burnetii paling banyak di plasenta. Menurut Tissot et al (1999), menjelaskan bahwa kejadian Q fever yang tiap tahun dilaporkan di sekitar daerah peternakan. Hewan peliharaan termasuk kucing, anjing, kelinci dan tikus liar adalah sumber yang baru bagi infeksi C. burnetii

(28)

63 kejadian Q fever melalui feses merpati yang terkontaminasi C. burnetii (Marrie 2003).

Q Fever Di Indonesia

Dalam laporan World Health Organization (WHO), berdasarkan pemeriksaan serologis dinyatakan bahwa penyakit Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1937 (Kaplan dan Bertagna 1955). Penelitian selanjutnya yang pernah dilaporkan adalah studi seroepidemiologi tentang Q fever di Indonesia pada tahun 1978 (Koesharjono 1978). Kasus pneumonia yang terbukti disebabkan oleh C. burnetii dari seorang penderita yang mempunyai riwayat pernah tinggal di Indonesia (Miyasita 2001).

Penelitian seroepidemiologi di Indonesia terhadap Spotted fever group Rickettsia (SFGR), telah dilakukan di Kepulauan Gag, Irianjaya ternyata persentasi sero prevalensi positif SFGR berkisar 21 % -20,4% (Richard et al. 2003). Prevalensi terhadap penyakit grup rickettsia, Murine typhus juga telah diinvestigasi pada tikus liar di Indonesia. Sampel yang diambil dari Jakarta dan Boyolali menunjukkan dari 327 tikus liar, sebanyak 128 (39,1%) diantaranya infeksi terdapat Murine typhus (Ibrahim et al. 2001).

Penelitian selanjutnya yang dilaporkan Mahatmi (2006), adanya infeksi Q fever pada sapi bali dan domba di Bali dan dengan hasil positif 6,8% dari jumlah sampel campuran hati dan jantung mengandung materi genetik C. burnetii. Penelitian terbaru seorang pria Jepang yang baru kembali dari Bali, Indonesia telah terdiagnosa Murine typhus, ini kasus kedua yang terjadi pada wisatawan yang pernah ke Indonesia (Ohji et al. 2008).

Metode Diagnosa Q fever

(29)

64 digunakan untuk mendiagnosa Q fever (Ogawa 2004; Fournier dan Raoult 2003). Beberapa metode serodiagnosis yang diterapkan untuk pemeriksaan Q fever

adalah enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), capilary tube mikroagglutination, complement fixation (CFT) dan micro indirect immunoflourescent antibody test, immunohistochemical staining dan

immunoflourescent assay (IFA) (Slaba et al. 2005; Setiyono et al. 2005, Marrie 2003).

Pencegahan dan Pengobatan

Pengobatan Q fever akut yang direkomendasikan adalah doxycycline

sedangkan macrolides direkomendasikan untuk wanita hamil. Fluoroquinolones

dan macrolides baik untuk terapi alternatif bagi penderita Q fever. Pneumonia akibat Q fever dapat diobati dengan erythromycin (Page 2004), tetracycline juga efektif terhadap endokarditis akibat infeksi Q fever kronis. Terapi kombinasi

chloroquine dan doxycycline atau doxycycline dan ofloxacin dapat dianjurkan karena telah berhasil menyembuhkan penderita Q fever (Calza et al. 2001).

Pencegahan Q fever dengan vaksinasi dianjurkan pada individu yang mempunyai resiko tinggi tertular Q fever seperti peternak, dokter hewan dan pekerja rumah potong. Berbagai jenis vaksin telah dicoba, di Rusia telah dikembangkan jenis vaksin dari C. burnetii yang dilemahkan. Selama periode 5 tahun di Australia telah dikembangkan vaksin formalin inaktif yang disebut Q-vak

(30)

65

BAHAN DAN METODE

Pengumpulan Data Sekunder

Dalam pengkajian Q fever di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, dibutuhkan data tentang gambaran peternakan sapi yang ada di NTT secara menyeluruh baik dalam sistem manajemen peternakan sapi skala kecil, menengah dan besar termasuk usaha meningkatkan kesehatan ternak dan jenis ternak yang sedang dikembangkan. Hal lain yang penting untuk mengkaji Q fever dari sudut pandang kesehatan masyarakat veteriner antara lain distribusi atau pergerakan ternak antar kota di Propinsi NTT, model penyebaran ternak dari dan keluar NTT serta penyakit zoonosis yang ada di NTT. Data yang diperlukan diperoleh dari Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Balai Karantina Hewan Kelas I Tenau, Kupang Nusa Tenggara Timur.

Pengambilan Sampel di Lapangan

Dalam pengambilan sampel difokuskan pada rumah potong hewan yang berada di Kota Kupang yaitu di rumah potong hewan (RPH) Oeba dengan waktu pengambilan sampel dilakukan pada bulan Agustus 2007. Kota Kupang diasumsikan sebagai pusat pemotongan hewan yang berasal dari kabupaten lain di Pulau Timor NTT. Rata-rata pemotongan sapi di rumah potong hewan Kota Kupang berkisar antara 30-40 ekor perhari. Pengambilan sampel dilakukan selama 2 minggu dengan interval 2 hari sekali, hal ini dikarenakan alasan keterbatasan waktu. Jumlah pengambilan sampel berkisar antara 75-80% dari jumlah pemotongan perhari.

(31)

66

Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Penyakit Hewan, Departemen Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Penelitian

Sampel penelitian terdiri dari hati dan jantung sapi potong yang diperoleh dari rumah potong hewan kota Kupang (sesuai dengan tata cara pengambilan sampel pada penelitian Mahatmi, 2006).

Bahan yang digunakan untuk ekstraksi DNA: cell lysis solution,

proteinase K solution, RNase A solution, protein precipitation solution, 100% isopropanol (2- propanol), 70% etanol, DNA hydration solution. Bahan primer yang digunakan pada first PCR adalah OMP 1(5’-AGT AGA AGC ATC CCA AGC ATT-G), OMP2 (TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT-G), 10 x taq buffer, dNTP, akuabidestilata bebas DNA, taq polymerase, DNA sampel, kontrol positif

C. burnetii strain Nine Mile II (ATCC) sedangkan bahan primer pada Nested PCR adalah OMP3 (5’-GAA GCG CAA GAA GAA CAC-3’), OMP4 (5-TTG GAA GTT ATC ACG CAG TTG-3’). Primer nested PCR dirancang dari susunan membran luar C. burnetii dengan berat 29 kDa yang merupakan bagian converse region C. burnetii dengan produk amplifikasi 437 bp seperti yang dilakukan oleh Zhang et al. (1998) dan Ogawa et al. (2004), selebihnya menggunakan bahan yang sama seperti first PCR.

Bahan untuk mendeteksi hasil amplifikasi menggunakan agar agarose (sigma), Larutan 1 x tris acetate EDTA dan bromo phenol blue. Alat yang digunakan antara lain cleanbench, timbangan mikro, mikropipet, ependorf steril,

microtube PCR, PCR (Perkin Elmer Gene Amp PCR System 9600), elektroforesis, vortex, sentrifus, microwave, ultra violet iluminator, erlenmeyer, kamera.

Identifikasi DNA C. burnetii dengan Metode PCR

(32)

67 yang dipercaya memiliki nilai akurasi yang tinggi telah banyak digunakan untuk mendiagnosa Q fever (Zhang et al. 1998; Ogawa et al. 2004). Dari penelitian Ogawa et al. (2004), telah dievaluasi bahwa untuk mendeteksi C. burnetii dengan menggunakan metode nested PCR memiliki tingkat sensitivitas 10 kali lebih baik dibanding metode PCR assay. Metode PCR yang diterapkan pada penelitian ini berdasarkan standar yang dipakai di National Institut of Infectious Disease (NIID) Jepang (Setiyono et al. 2005).

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan dengan memakai standar DNA purification kit. Setiap sampel (campuran hati dan jantung) diambil kira-kira 50 mg dihaluskan dan dimasukkan ke dalam tabung mikro. Tambahkan cell lysis solution

(puregene), dihomogenisasi sampai terbentuk suspensi. Proses selanjutnya penambahan 1,5 μl proteinase K solution dan diinkubasikan pada suhu 65 0C selama 1 jam, tambahkan precipitation solution (puregene) 100 μl, dan di-vortex. Sentrifus dengan kecepatan 15.000 x g selama 5 menit pada suhu 4 0C. Supernatan hasil sentrifus diambil dan dipindahkan ke dalam tabung mikro baru dan ditambahkan 300 μl isopropanol, di-vortex 20 kali. Setelah itu sampel lalu disentrifus dengan kecepatan 15.000 x g selama 5 menit pada suhu 4 0C. Supernatan dibuang, filtrat yang tersisa di dasar tabung merupakan pelet DNA, tambahkan etanol 70% sebanyak 500 μl, untuk proses pencucian. Disentrifus 15.000 x G selama 5 menit pada suhu 5 0C. Supernatan dibuang secara hati-hati, penguapan alkohol yang tersisa dilakukan dalam cleanbench selama 1 jam. Tambahkan DNA dehydration solution, diinkubasi selama 1 jam pada suhu 65 0C. DNA yang diperoleh disimpan pada suhu 4 0C dan siap untuk preparasi PCR.

First PCR

(33)

68 yang mungkin ada. PCR mixture diawali dengan menyiapkan tabung mikro volume 1,5 ml untuk PCR mixture yang terdiri dari primer, dNTP, taq buffer, akuabidestilata dan terakhir adalah taq polymerase sebanyak volume diatas dikalikan jumlah sampel yang diperiksa, dicampur menggunakan pipet mikro dan dipindahkan ke dalam tabung PCR yang telah diberi nomor sampel, masing-masing sebanyak 27 µl. Untuk menghindari kontaminasi dan terlalu lama pada suhu ruang, maka bahan-bahan seperti primer, taq polymerase, dNTP segera disimpan kembali ke dalam freezer -84 0C.

Ekstraksi DNA sampel disiapkan. Setiap tabung PCR yang telah ditandai dan berisi PCR mixture masing-masing ditambahkan 3 µl ekstraksi DNA sampel. Setiap penambahan DNA sampel diusahakan mencampur dengan sempurna dengan menggunakan pipet mikro. Setelah semua sampel DNA dimasukan dalam setiap tabung PCR, sisa sampel DNA disimpan kembali ke dalam medicool. Selanjutnya kontrol positif C. burnetii NM-2 pada 437 bp ditambahkan ke dalam tabung PCR yang telah berisi 27 µl mixture PCR sebanyak 3 µl, sehingga semua tabung PCR masing-masing berisi 30 µl. Kemudian diatur dalam mesin thermal cycler (Perkin-Elmer Gene Amp PCR system 9600).

Amplifikasi diatur dengan program 35 cycles, yang terdiri dari proses denaturasi pada suhu 94 0C selama 1 menit, anneling pada suhu 54 0C selama 1 menit dan ekstensi pada suhu 72 0C selama 2 menit dan diakhiri dengan proses pendinginan 4 0C. Produk amplifikasi berjalan kira-kira 3 jam. Setelah proses amplifikasi selesai, tabung PCR dikeluarkan dari mesin PCR dan siap untuk dilakukan elektroforesis dan nested PCR.

Deteksi Hasil Amplifikasi

(34)

69 sampel hasil first PCR dengan bromo phenol blue sebanyak 5 µl diatas plastik steril.

Kotak pertama yang berisi bromo phenol blue 5 µl ditambahkan 2 µl penanda DNA (100-1200 bp) disuspensikan dengan sempurna menggunakan mikro pipet dan diambil 7 µl dengan hati-hati dimasukan ke dalam sumuran pada gel yang sudah dimasukan dalam tangki mesin elektroforesis. Kotak kedua dan seterusnya yang berisi bromo phenol blue ditambahkan 2 µl masing-masing sampel hasil amplifikasi first PCR. Kemudian dicampur dengan mikropipet dan dimasukan secara hati-hati ke dalam sumuran pada gel yang ada di dalam tangki mesin elekroforesis, hal yang sama dilakukan terhadap penanda DNA, kontrol positif dan beberapa sumuran untuk sampel hasil amplifikasi first PCR.

Molekul DNA akan bergerak dari kutub negatif ke positif, molekul DNA dibiarkan berjalan sampai batas 3 garis dari bawah, kemudian mesin dimatikan. Proses elektroforesis berlangsung ±30 menit. Gel hasil elektroforesis diangkat dari dalam tangki mesin elektroforesis dan dibilas dengan akuades serta kemudian dimasukan dalam larutan pewarna ethydium bromida (60 µg/ml) selama 20 menit kemudian dilihat dibawah sinar ultra violet dan difoto.

Nested PCR

Primer yang dipakai untuk nested PCR dirancang dari susunan membran luar C. burnetii dengan berat 29 kDa, yang merupakan bagian conserve region C. burnetii dengan produk amplifikasi 437 bp. PCR mixture diawali dengan menyiapkan tabung mikro volume 1,5 ml untuk PCR mixture yang terdiri dari primer, dNTP, taq buffer, akuabidestilata dan taq polymerase sebanyak volume diatas dikalikan jumlah sampel yang diperiksa.

(35)

70 kira-kira selama 3 jam 30 menit. Setelah proses amplifikasi selesai, tabung PCR dikeluarkan dari mesin PCR dan siap untuk dilakukan elektroforesis.

Analisa Data

Data yang digunakan untuk kajian Q fever adalah hasil identifikasi C. burnetii dengan menggunakan metode polymerase chain reaction dan data pendukung lainnya. Data dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

Tempat pengambilan sampel (RPH Oeba Kupang)

Sampel ditransportasikan ke

Sampel disimpan dalam freezer dan diambil saat akan dilakukan penelitian

Tempat penelitian

(36)

71

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT

Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur meliputi 566 pulau besar dan kecil dengan luas daratan sekitar 47,3 ribu km2. Kondisi alam NTT berbukit dan bergunung dengan dataran rendah yang tersebar luas. Keadaan iklim daerah ini umumnya kering, dengan musim kemarau panjang antara 8 hingga 9 bulan per tahun, sedangkan musim penghujan hanya 3-4 bulan (Sunaryo et al. 2007). Sebagian besar penduduk NTT berdomisili di Pulau Flores, Pulau Sumba, Pulau Timor, serta gugusan Kepulauan Lembata dan Alor.

Daerah Nusa Tenggara Timur memiliki 3 pulau besar, Pulau Timor, Pulau Sumba, Pulau Flores. Adapun pemasok sapi potong terbesar berasal dari Pulau Timor. Kota Kupang merupakan salah satu kabupaten di Pulau Timor dan merupakan ibu kota propinsi sehingga banyak sapi yang didatangkan ke Kota Kupang dari kabupaten lain yang ada di Pulau Timor (DISNAK NTT 2006).

(37)

72 Tabel 1 Luas padang pengembalaan di Nusa Tenggara Timur tahun 2006

No Kabupaten

Sistem pemeliharaan dan populasi ternak di NTT

Nusa Tenggara Timur daerah yang memiliki musim kering dan penghujan yang mempengaruhi ketersediaan pakan ternak. Pada umumnya, sistem pemeliharaan ternak sapi mengandalkan sumber pakan ternak dari rumput alam di lahan penggembalaan dengan biaya produksi yang relatif murah dan penggunaan tenaga yang minim.

(38)

73 menurun dengan tajam, sehingga terjadi kehilangan bobot badan dimana penurunannya dapat mencapai 20-25 % dari berat badannya pada musim hujan. Oleh karena itu pertumbuhan ternak di lahan NTT mengikuti pola seperti mata gergaji (Bamualim dan Wirdahayati 2003). Sistem pemeliharaan ternak di NTT dibagi menjadi dua kategori yaitu :

1 Semi intensif

Sistem pemeliharaan ternak semi intensif yang dilakukan dengan menempatkan ternak dekat dengan peternak sehingga peluang kedekatan kontak langsung dengan ternak lebih banyak/sering, seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Sistem pemeliharan semi intensif

2 Ekstensif

Pada sistem pemeliharaan ini, ternak kebanyakan ditinggal merumput secara bebas dan sedikit melibatkan peternak seperti terlihat pada Gambar 7.

(39)

74 Penggemukan ternak sapi di NTT banyak menggunakan sistem kerjasama antara penduduk desa yang memiliki ladang pengembalaan dengan pemilik sapi (pemerintah atau pengusaha). Pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada penduduk untuk dipelihara hingga mencapai bobot tertentu atau siap dipotong. Sistem ini juga memungkinkan peluang besar kontak individu (masyarakat desa) dengan ternak sehingga penting sekali mengontrol penyebaran penyakit dari ternak ke manusia khususnya penyakit Q fever.

Pemeliharaan ternak sapi di daerah NTT baru mulai dikenal pada awal abad ke-20, ternyata usaha peternakan ini mempunyai prospek yang cukup menggembirakan. Sampai tahun 1980-an populasi sapi berkembang dengan cepat, sehingga NTT telah menjadi pemasok sapi potong dan bibit bagi daerah lainnya di Indonesia. Namun kenyataan yang ada saat ini terdapat banyak sapi betina produktif yang dipotong di rumah potong hewan di Kota Kupang, jika terus dibiarkan akan mengancam keberadaan jumlah populasi yang ada di NTT.

Dalam sensus ternak tahun 2000, populasi sapi bali di NTT hanya sekitar 500.000 ekor dan 50.000 ekor sapi Ongole di Pulau Sumba, 85% sapi bali tersebar di Pulau Timor dan Pulau Sumba. Setiap tahun sebanyak 60.000-80.000 ekor sapi bali yang terjual ke luar NTT dan menyumbang bagi pendapatan daerah sekitar 12%.

Data ternak yang ada di NTT menunjukkan bahwa penduduk NTT memiliki peluang yang lebih besar beresiko terkena penyakit zoonosis, khususnya

(40)

75 Tabel 2 Populasi ternak di Nusa Tenggara Timur tahun 2003-2006

Jumlah Ternak (ekor) No Tahun

Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi Unggas

1 2003 512.999 134.900 94.625 435.151 56.403 1.2254.040 10.451.988

2 2004 522.930 136.938 96.416 462.102 56.502 1.276.166 9.482.871

3 2005 533.710 139.592 97.952 479.883 57.150 1.319.237 10.710.506

4 2006 544.482 142.257 99.872 496.766 58.305 1.385.962 9.832.729

Sumber: DISNAK NTT (2006)

Berdasarkan data yang ada, terlihat jumlah pemotongan ternak sapi potong mengalami peningkatan tiap tahunnya (Tabel 3). Berdasarkan hasil observasi di lapangan ditemukan sekitar 80% pemotongan ternak sapi potong yang dilakukan setiap harinya di RPH Kota Kupang adalah sapi betina. Hal ini tidak sesuai dengan undang-undang veteriner yang berlaku sebab jika tidak ditindaklanjuti maka akan berpengaruh pada jumlah populasi ternak di waktu yang akan datang..

Tabel 3 Pemotongan ternak di Nusa Tenggara Timur Tahun 2003-2006

Jumlah Ternak (ekor) No Tahun

Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi Unggas

1

Model Pemasaran dan Transportasi Ternak di NTT

(41)

76 ekspor sapi ke pulau-pulau di Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 (Bamualim dan Wirdahayati 2003). Data Ditjen Bina Produksi Peternakan tahun 2002, menyebutkan dari total neraca perdagangan antar pulau sapi potong di Indonesia adalah 466.258, dan 56.085 ekor berasal dari NTT (Ilham dan Yusdja 2004).

Berdasarkan data yang ada pada tahun 2006 terdapat 62.621 ekor sapi potong yang dikeluarkan Balai Karantina Hewan Kupang dan populasi sapi bali meliputi sekitar 85% dari seluruh populasi sapi yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT) (DISNAK NTT 2007). Hal ini menunjukkan kondisi ternak NTT cukup mempengaruhi populasi ternak yang ada di Indonesia. Data yang ada pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan jumlah ternak sapi yang masuk dan keluar dari NTT.

Tabel 4 Rekapitulasi pengeluaran pemasukan eksport import lingkup Balai Karantina Hewan Kelas I tahun 2006

Bulan

1933 2430 3231 4886 6291 4926 7236 7005 6295 6205 8229 4654 92691

(42)

77

(43)

78

Jenis Ternak Budidaya dan Masalah Kesehatan Hewan

Data pembangunan peternakan di Nusa Tenggara Timur tahun 2006, menunjukan ternak sapi masih menjadi komoditi utama bagi pengembangan peternakan di daerah NTT. Komoditi ternak lain yang sedang dikembangkan di NTT adalah kuda, kerbau, babi dan ayam. Komoditi yang berasal dari produk pangan asal hewan adalah daging se’i (daging asap), abon dan produk pangan dari bagian oval ternak. Produk produk ini tidak saja dikonsumsi oleh masyarakat di NTT namun juga di jual ke daerah lain di Indonesia. Diketahui Q fever dapat tertular melalui produk pangan asal hewan. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih terhadap cara penanganan pangan asal hewan untuk menghindari penularan Q fever.

Tabel 6 Kasus penyakit hewan menular di NTT tahun 2007 No. Penyakit Jumlah 15 Bovine Ephemeral Fever 376

Sumber: DISNAK NTT (2008)

(44)

79 peluang terjadinya kasus zoonosis pada manusia, hal ini didukung sistem pemeliharaan ternak yang memungkinkan individu sering berkontak langsung dengan ternak.

Q fever di Nusa Tenggara Timur

Dalam mengkaji penyakit Q fever di NTT dilakukan pengujian laboratorium dengan metode PCR dari sampel asal sapi potong. Dalam fase akut,

C. burnetii bisa ditemukan dalam darah (Maurin dan Raoult 1999) sedangkan pada fase kronis agen C. burnetii banyak terakumulasi dalam sel fagosit yang terdapat pada organ-organ seperti jantung, hati, limpa dan plasenta (Marrie 2003). Penelitian ini menggunakan organ hati dan jantung sebagai sampel, hal yang sama pernah dilakukan oleh Mahatmi (2006). Dalam penelitian ini ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan bahan dan standar seperti yang telah dilakukan NIID, Jepang (Setiyono et al. 2005).

Tahap awal pengujian menggunakan deteksi PCR dengan melakukan ekstraksi DNA dari 169 sampel asal jantung dan hati sapi yang telah diambil. Dari 169 sampel yang ada dilakukan polling, sehingga diperoleh 34 sampel dari 169 sampel, hal ini dilakukan untuk alasan efesiensi bahan. Dari hasil ekstraksi DNA diperoleh cairan seperti awan putih pada dasar tabung dan terlarut setelah ditambahkan DNA dehydration sol. Ekstraksi DNA ini dapat disimpan dalam beberapa hari pada suhu 4 0C atau pada -84 0C bila dipakai untuk jangka waktu yang lama.

(45)

80

Pengujian First PCR

Tahap selanjutnya setelah ekstraksi DNA adalah pengujian dengan first PCR menggunakan OMP 1 dan OMP 2. Pada first PCR yang dielektroforesis dan diwarnai dengan ethydium bromida serta diamati dengan uv iluminator. Dalam first PCR terdapat terdapat empat tahap suhu sebagai prinsip kerja yaitu komplementasi antar DNA. Reaksi komplementasi tersebut adalah denaturasi, penempelan primer (annealing), perpanjangan rantai oleh DNA polimerase (extension) dan pendinginan.

Hasil first PCR (yang telah dilakukan kemudian) dielektroforesis dan diamati pada uv iluminator, menunjukkan hasil negatif. Hal ini diindikasikan dengan ketidakhadiran pita yang menunjukkan pita spesifik C. burnetii strain Nine Mile II yang digunakan sebagai referensi dengan pita kontrol positif yang terlihat pada Gambar 8 dan 9.

600 bp

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Gambar 8 Hasil first PCR (sampel 1-15).

(46)

81

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

600 bp

Gambar 9 Hasil First PCR (sampel 16-34)

Keterangan : Pada Gambar 9 terlihat gambaran dari elektroforesis dan pewarnaan dari ethydium bromida. Pada lajur M adalah penanda DNA (100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii, lajur 2 sampai 20 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 16 sampai 34)

Pengujian Nested PCR

Pengujian selanjutnya adalah nested PCR yamg menggunakan OMP 3 dan OMP 4 kemudian dilanjutkan proses elektroforesis dan diwarnai dengan ethydium bromida serta diamati dengan uv iluminator. Nested PCR dilakukan sesuai dengan penelitian Ogawa (2004), menunjukkan bahwa Nested PCR memiliki tingkat sensitifitas 10 kali lebih tinggi dibanding first PCR. Pada Gambar terlihat pita kontrol C. burnetii memberikan Gambaran pita yang lebih spesifik dibanding pada First PCR, hal ini menunjukan bahwa nested PCR lebih sensitif dibanding First PCR.

(47)

82 Contoh organ sapi yang diuji memperlihatkan tidak ada pita spesifik sesuai dengan kontrol positif dari C. burnetii strain Nine Mile II. Hasil uji nested PCR dari 34 sampel campuran hati dan dan jantung sapi menunjukkan hasil negatif seperti terlihat pada Gambar 10, 11 dan 12.

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Gambar 10 Hasil nested PCR (sampel 1-15)

Keterangan: Deteksi C. burnetii menggunakan nested PCR dengan primer OMP3 dan OMP4 terlihat lajur M adalah penanda DNA (100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii (437 bp), lajur 2 sampai 16 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 1 sampai 15).

437 bp

600 bp 600 bp

437 bp

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Gambar 11 Hasil nested PCR (sampel 16-30)

(48)

83

Keterangan: Pada lajur M adalah penanda DNA(100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii (437 bp), lajur 2 sampai 5 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 31 sampai 34).

Telah diketahui bahwa asal sampel dari rumah potong hewan Oeba yang berada di Kota Kupang. Jumlah hewan yang dipotong setiap hari 40-50 ekor. Ternak yang dipotong dipasok dari beberapa tempat yang ada di Kabupaten Kupang seperti kecamatan Amfu’ang, Sulamu, Camplong, Takari, Baun, Tablolong dan Semau. Daerah-daerah tersebut merupakan tempat penghasil ternak yang ada di kota Kupang. Semua ternak sapi yang akan dipotong sebelumnya dikarantina di sekitar RPH tersebut.

Secara keseluruhan daerah NTT memiliki sumber peternakan yang sangat menjanjikan karena hampir seluruh wilayah pertanian adalah disektor peternakan. Hal ini dimungkinkan 80% tanah pertanian adalah untuk usaha peternakan. Wilayah peternakan ini tersebar di tiap-tiap kabupaten di NTT terutama di Timor dan Sumba Timur. Data terakhir menyatakan populasi ternak sapi di NTT berjumlah lebih dari 540.000 ekor (DISNAK NTT 2007) sehingga NTT telah menjadi pemasok penting sapi potong dan bibit bagi daerah lainnya di Indonesia.

(49)

84 Waktu yang diperlukan bagi tindakan karantina tergantung dari jenis pemasaran ternak. Ternak yang didatangkan dari luar negeri harus mengalami proses karantina selama 16 hari sedangkan untuk ternak yang berasal dari luar daerah NTT menjalani proses karantina 7 hari. Selama proses karantina dilakukan perlakuan monitoring dan pencegahan. Hewan yang sakit diasingkan, kemudian dilakukan tindakan pengobatan. Tindakan pemusnahan dilakukan apabila ternak didiagnosa terkena penyakit yang belum pernah terjadi di NTT (BKH NTT 2006).

Menurut data DISNAK NTT (2008), menyebutkan bahwa terdapat 10 jenis penyakit yang menyerang ternak besar maupun kecil pada tahun 2007. Penyakit pada ternak yang paling sering dihadapi di NTT adalah brucellosis, fascioliasis dan septicaemia epizootica. Ketiga penyakit ini yang sering menjadi kendala dalam meningkatkan produktivitas produksi peternakan sapi. Menyikapi banyaknya kasus penyakit pada sapi, Dinas Peternakan di NTT melaksanakan kegiatan vaksinasi dan pengobatan antibiotik. Kegiatan ini untuk meningkatkan kesehatan ternak yang ada di NTT.

(50)

85

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian Q fever dengan menggunakan metode PCR dan data kondisi peternakan di NTT maka tidak ditemukan keberadaan material genetik C. burnetii pada 169 sampel organ sapi di Kota Kupang NTT

Saran

Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang keberadaan Q fever di NTT melalui pengambilan sampel yang lebih merata di seluruh daerah peternakan yang ada di NTT, hal ini perlu untuk mendiagnosa keberadaan Q fever

(51)

86

DAFTAR PUSTAKA

Acha PN, Szyfres B. 2003. Zoonosis and Communicable Disease Common to Man and Animals. Ed ke-3. Washington: World Health Organization. [Anonim]. 2005. Penampilan produksi dan struktur populasi ternak sapi Bali di

pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. http://www.litbang.deptan.go.id/. html [11 Apr 2007].

Bamualim A, Wirdahayati RB. 2003. Nutrition and management strategies to improve Bali cattle productivity in Nusa Tenggara. Entwistle K dan Linsay DR, editor. Proceedings of a Workshop Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia; Denpasar, 4–7 Feb 2002. Canberra: The Australian Centre for International Agricultural Research. hlm 17-22.

[BKH NTT] Balai Karantina Hewan Kelas I Nusa Tenggara Timur. 2006.

Rekapitulasi Frekuensi Pengeluaran dan Pemasukan Ternak. BKH NTT.

Bergallo et al. 2008. Variants of Parvovirus B19: bioinformatical evaluation of nested PCR assays. Intervirology 22:75-80

Calza et al. 2001. Doxycycline and chloroquine as treatment for chronic Q fever endocarditis. J Infect 45:127-129.

Capuano F, Parisi A, Cafiero MA, Pitaro L, Fenizia D. 2004. Coxiella burnetii: what is the reality?. Parasitologia 46:131-4.

Davis R. 2004. Query Fever (Coxiellosis). Iowa: Iowa State University.

[DISNAK NTT] Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur. 2008. Situasi Penyakit Hewan Menular Propinsi NTT tahun 2007. DISNAK NTT.

[DISNAK NTT] Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur. 2007. Statistik Peternakan NTT 2006. DISNAK NTT.

Fournier PE, Raoult D. 2003. Comparison of PCR and serology assays for early diagnosis of acute Q fever. J Clin Microbiol 41:5094-5098.

Fournier PE, Thomas JM, Raoult D. 1998. Diagnosis of Q fever. J Clin Microbiol

36:1823-1834.

(52)

87 Gozalan A, Esen B, Rolain JM, Akin J, RaoultD. 2007. Is Q fever an emerging

infection in Turkey? Journal of Infection 54: 313-318.

Hatchette T, Hudson R, Schlech W. 2001. Caprine–associated Q fever in Newfoundland. Can Commun Dis Rep 26:17–19.

Hawker JI, Ayres JG, Blair MR. 1998. A large outbreak of Q fever in the West Midlands: windborne spread into a metropolitan area. Commun Dis Public Health 1:180–187.

Htwe KK et al. 1992. Seroepidemiology of Coxiella burnetii in domestic and companion animals in Japan. Vet Record 131:490.

Ibrahim IN et al. 1999. Serosurvey of wild rodents for Rickettsioses (spotted fever, Murine typhus and Q fever) in Java island, Indonesia. Eur J Epidemiol 15:89-93.

Ilham N, Yusdja Y. 2004. Sistem transportasi perdagangan ternak sapi dan implikasi kebijakan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian AKP 2:37-53.

Kaplan MM, Bertagna P. 1955. The geographical distribution of Q fever. Bulletin of the World Health Organization 13:829-860.

Koesharjono. 1978. Seroepidemiological evidence for occupational exposure to Q fever in Indonesia. J Occup Med 20:488-497.

Mahatmi H. 2006. Studi Q fever pada ruminansia di wilayah Bogor dan provinsi Bali [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Marrie TJ. 2003. Coxiella burnetii pneumonia. Eur Respir Journal 21:713-719.

Masala G et al. 2004. Occurrence, distribution, and role in abortion of Coxiella burnetii in sheep and goats in Sardinia, Italy. Vet Microbiol 99:301-315.

Maurin M, Raoult D. 1999. Q fever. Clin Microbiol Rev 12:518-553.

Milazzo A et al. 2001. Sexually-transmitted Q fever. Clin Infect Dis 2001;33:399– 402

Miyasita N et al. 2001 A case of Coxiella burnetii pnemonia in an adult. Nihon Kokyuki Gakkai Zasshi 39: 446.

(53)

88 Ohji G et al. 2008. Murine typhus-Japan ex Indonesia. www.promedmail.org.

html [9 Jul 2008].

Page W. 2004. Health Effects of Project Shipboard Hazard and Defence Biologycal AgentCoxiella burnetii. Brookville: SHAD press.

Panau F et al. 2007. Infective aortic valve endocarditis from Coxiella burnetii.

Hellenic J Cardiol 48: 177-180.

Parisi A et al. 2006. Diagnosis of Coxiella burnetii-related abortion in Italian domestic ruminants using single-tube nested PCR. J Vet Microbiol

10:1016

Psaroulaki A et al. 2006. Epidemiological study of Q fever in humans, ruminant animals, and ticks in Cyprus using a geographical information system.

Eur J Clin Microbiol Infect Dis 25:576-86.

Raoult D, Fenollar F, Stein A. 2002. Q Fever during pregnancy. Arch Intern

Med 162:701-704.

Raoult D. 2002. Q fever: still a mysterious disease. Q J Med 95:491.

Richard A et al. 2003. Serologic evidence of infection with Erlichiae and Spotted fever group Rickettsiae among residents of Gag island, Indonesia. Am J Trop Med Hyg 68:480-484.

Setiyono A et al. 2005. New criteria of immunofluorescence assay for Q fever diagnosis in Japan. J Clin Microbiol 43:5555-5559.

Slaba K, Skultety I, Toman R. 2005. Efficiency of various techniques for diagnosing C. burnetii infection. Acta Virol 49:123-127.

Soejoedono RR. 2004. Zoonosis [buku kuliah]. Bogor: Laboratorium Kesmavet Departemen Penyakit Hewan Kesmavet FKH IPB.

Stein A et al. 2005. Q fever pneumonia: virulence of C. burnetii pathovars in a murine model aerosol infection. Infect Immunol 73:2469-2477.

Stein A, Raoult D. 1992. Detection of C. burnetii by DNA amplification using polymerase chain reaction. J Clin Microbiol 30:2462-2466.

Sunaryo et al. 2007. Iklim usaha di propinsi NTT: kasus perdagangan hasil pertanian di Timor Barat. Lembaga Penelitian Smeru.

(54)

89 Tissot D H, Torres S, Nezri M, Raoult D. 1999. Hyperendemic focus of Q fever

related to sheep and wind. Am J Epidemiol 150:67–74.

Yanasa T et al. 1998. Detection of Coxiella burnetii from dust in a barn housing dairy cattle. Microbiol Immunol 42:51-53.

(55)
(56)
(57)
(58)

93 Lampiran 2 Vaksinasi anthrax, hog cholera, brucellosis dan SE Disnak NTT

tahun 2006 (Sumber: DISNAK NTT 2007)

Vaksinasi No. Kabupaten

anthrax hog cholera brucellosis SE 1 Kupang 8.789 2.300 - 64.920 2 Timor Tengah

Selatan

- 500 - 35.397

3 Timor Tengah Utara

7.542 1.981 10.445 56.506

4 Belu - 25.000 20.000 125.000 5 Alor - 69.587 - -

6 Lembata - - - -

7 Flores Timur - - - -

8 Sikka 10.000 - - 8.000

9 Ende - - - -

10 Ngada 13.470 - - 13.003 11 Manggarai 8.652 - - 7.276

12 Manggarai Barat - - - - 13 Sumba Timur 73.374 24.550 - 52.558

14 Sumba Barat - - - -

15 Kota (UPTD II) - - - -

16 Rote Ndao - - - -

(59)

94 Lampiran 3 Produksi karkas/daging sapi Propinsi NTT tahun 2006

(Sumber: DISNAK NTT 2007)

No Jenis Ternak Karkas Daging Murni 1 Sapi 5.782.400 4.336.815 2 Kerbau 1.144.278 858.206 3 Kuda 411.715 329.367 4 Kambing 2.390.502 1.744.891 5 Domba 292.886 213.784 6 Babi 22.413.572 20.172.219

Lampiran 4 Pemotongan tercatat dan tidak tercacat ternak besar dan kecil Propinsi NTT tahun 2006 (Sumber: DISNAK NTT 2007)

(60)

95 Lampiran 5 Rumah pemotongan hewan (RPH) atau tempat pemotongan

hewan (TPH) di Propinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2006 (Sumber: DISNAK NTT 2007)

No Kabupaten RPH TPH 1 Kota Kupang 2 -

2 Timor Tengah Selatan 1 1 3 Timor Tengah Utara - 1

4 Belu 1 2

5 Alor 1 -

6 Lembata 1 1

7 Flores Timur 1 -

8 Sikka - 1

9 Ende - -

10 Ngada 2 3

11 Manggarai 1 -

12 Manggarai Barat - 1 13 Sumba Timur 1 - 14 Sumba Barat 2 -

15 Kupang 1 1

16 Rote Ndao 1 1

(61)
(62)

kondisi kios penjualan daging (b) dan pengambilan sampel di RPH (c)

A

B

(63)

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI DI KOTA KUPANG

NUSA TENGGARA TIMUR

ANNYTHA INA ROHI DETHA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(64)

37

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Sumber informasi dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Annytha Ina Rohi Detha

(65)

38

ABSTRACT

ANNYTHA INA ROHI DETHA. Study on Q Fever in Cattle in Kupang City, East Nusa Tenggara. Under direction of MIRNAWATI SUDARWANTO and

AGUS SETIYONO.

The study on Q fever in Kupang City, East Nusa Tenggara had been done. This study is aimed to observe the Q fever in cattle in Kupang City. Coxiella burnetii is the causative agent of Q fever, which a zoonotic disease threatening public health. Q fever is considered as an occupation hazard and can cause adverse effect on health of farm workers, slaughterhouse workers, and researcher. This study used the secondary data collected from the Provincial Livestock Service, East Nusa Tenggara and the laboratory data of Coxiella burnetii detected by nested PCR. The total of 169 samples of beef livers and hearts were collected from slaughterhouse in Kupang City. The result showed that no material genetics of Coxiella burnetii were detected in the samples. This negative results indicated that the cattle slaughtered is healthy.

(66)

39

RINGKASAN

ANNYTHA INA ROHI DETHA. Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO dan AGUS SETIYONO.

Demam Query atau Q fever adalah salah satu penyakit zoonosa penting yang dapat ditularkan melalui pangan. Coxiella burnetii sebagai agen, bersifat kontagius dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap alam. Pada manusia penyakit ini menyebabkan pneumonia, hepatitis dan endokarditis. Hewan yang dapat terserang Q fever antara lain sapi, kambing, domba, ruminansia lain, unggas, hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, serta hewan liar. Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak langsung, partikel debu, bahan pangan asal hewan, luka yang terkontaminasi, cairan amnion, plasenta, selaput lendir, tinja dan urin dari hewan yang terinfeksi C. burnetii.

Q fever tersebar luas di seluruh dunia bahkan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak negara. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani yang tidak terlepas dari ternak sehingga rentan terhadap infeksi Q fever. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari penyakit ini, maka perlu dilakukan penelitian tentang infeksi C. burnetii pada ternak terutama pada daerah sumber produksi ternak salah satunya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang

Q fever di NTT.

Penggunaan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi keberadaan C. burnetii, dipercaya memiliki nilai akurasi yang tinggi dan telah banyak digunakan untuk mendiagnosa Q fever. Tahapan proses awal PCR adalah ekstraksi DNA, dilakukan dengan memakai standar DNA purification kit dengan sampel yang digunakan untuk ekstraksi adalah campuran organ hati dan jantung. Proses selanjutnya adalah first PCR, dilakukan memakai primer yang dirancang berdasarkan sekuen spesifik dari membran luar C. burnetii dengan berat molekul 29 kDa. Tahap selanjutnya adalah nested PCR, hampir sama dengan first PCR namun bedanya pada nested PCR menggunakan sampel hasil running dari first PCR dan membutuhkan waktu lebih lama. Proses selanjutnya adalah elektroforesis kemudian dimasukan dalam larutan pewarna ethydium bromida, dilihat di bawah sinar ultra violet.

Dalam kajian Q fever di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, dibutuhkan data tentang gambaran peternakan sapi yang ada di NTT. Untuk mengkaji Q fever

(67)

40 penyakit yang terjadi di NTT menunjukkan bahwa kondisi peternakan di NTT tidak terlepas dengan masalah kesehatan hewan. Melalui data penyakit ternak yang ada menunjukkan bahwa ternak di NTT memiliki peluang besar, beresiko terinfeksi penyakit hewan menular, demikian halnya peluang terjadinya kasus zoonosis pada manusia.

Penelitian ini menggunakan 169 sampel hati dan jantung menunjukkan hasil negatif dengan menggunakan PCR. Ketidakhadiran pita spesifik C. burnetii

berarti tidak adanya material genetik dari agen penyakit ini. Hal ini menunjukkan bahwa sapi di Kota Kupang NTT tidak terinfeksi penyakit Q fever. Sistem peternakan yang ada di NTT serta banyaknya jumlah ternak saat ini masih cukup aman terhadap infeksi Q fever. Hasil negatif ini mungkin disebabkan hewan tersebut belum terkena penyakit atau menjadi carrier. Masalah kesehatan hewan yang dialami peternak di NTT sering menjadi kendala dalam meningkatkan produktivitas produksi peternakan sapi.

(68)

41

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(69)

42

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI DI KOTA KUPANG

NUSA TENGGARA TIMUR

ANNYTHA INA ROHI DETHA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

(70)

43

BOGOR

2008

Judul Tesis : Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur

Nama : Annytha Ina Rohi Detha NIM : B251060031

Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto Dr. drh. Agus Setiyono, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Kesehatan Dekan Sekolah Pascasarjana Masyarakat Veteriner

(71)

44

(72)

45

Gambar

Gambar 1   Morfologi C. burnetii dengan pengamatan menggunakan  mikroskop
Gambar 3    Transmisi (domestic cycle) Q fever (Acha dan Szyfres 2003).
Gambar 4      Skema pengambilan dan pengerjaan sampel penelitian
Tabel 1    Luas padang pengembalaan di Nusa Tenggara Timur tahun 2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, sumber lain menerangkan bahwa WhatsApp adalah aplikasi pesan instan untuk smartphone. Jika dilihat dari fungsinya WhatsApp hampir sama dengan aplikasi SMS

[r]

Pada akhirnya, hal yang perlu dilakukan adalah melakukan kritik secara mendasar atas pemberlakuan syari‘ah yang dilakukan di Indonesia, termasuk di Aceh, dalam bidang-bidang

Sengketa Informasi Publik adalah sengketa yang terjadi antara Badan Publik Daerah dengan Pemohon Informasi Publik dan/atau Pengguna Informasi Publik yang berkaitan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian mengenai transformasi identitas radio pada radio PRFM 107,5 Bandung dari format radio lifestyle menjadi radio news ini,

Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya.Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka diperlukan upaya

Tesis Penataan PKL : Antara Kondisi sosial .... Diah Puji

¾ Retensio urin adalah tidak adanya proses berkemih spontan 6 jam setelah kateter menetap dilepascan atau dapat berkemih spontan dengan sisa urin > 200 ml pada pasien pasca