• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaderisasi Organisasi Dalam Perubahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kaderisasi Organisasi Dalam Perubahan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

KADERISASI ORGANISASI DALAM PERUBAHAN

Redatin Parwadi

Abstract: Today’s era is the era of organization. An organization does not exist in an “empty room”, but influenced by its environment. By the time, organization will always face the changing of environment. Nothing lasts forever in this world, except the changes. The changes happen because of man’s culture development. Man, with his capability, develops science and invents technology to support their lives. Hence science and technology influence man’s attitude in organization. Therefore, the trusted and accepted leader of organization should be able to adapt. In other words, the leader should be able to manage the changes. Organization’s caderization is aimed to prepare the leader to be, for the time being and in the future for the sustainability of organization. Caderization might be executed by imitating western or liberal way or Japanese way that fronting seniority and experience, or by combining them.

Keywords: caderization, organization, changed, continues

PENDAHULUAN

Perubahan mendasar hubungan antar-individu, kelompok, atau masyarakat dimulai setelah terjadinya Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Politik di Perancis, sekitar abad ke-18. Manusia semakin aktif dan reaktif dalam menyikapi perubahan yang menimpa diri dan lingkungannya. Persoalan yang timbul antar-sesama dalam hubungan kerja dan pertentangan politik diusahakan untuk diselesaikan dengan cara kerja sama berdasarkan kesepakatan yang demokratis. Masyarakat manusia dalam segala hal kehidupannya berusaha mengatur dirinya ke dalam organisasi modern di mana faktor atau perasaan pribadi atau perorangan yang masih bersifat emosional tidak lagi memegang peranan penting dalam berbagai policy, keputusan-keputusan yang diambil, peraturan-peraturan yang ditetapkan, serta kegiatan-kegiatannya.

Organisasi modern dijalankan dengan prinsip rasional dengan mengedepankan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pedoman operasional. Beberapa penemuan oleh para ahli teknik dan manajemen telah membantu perkembangan organisasi, baik organisasi pemerintahan maupun organisasi bisnis. Sebagai contoh penemuan yang dikemukakan oleh Taylor tentang scientific management, sistem manajemen administratif oleh Fayol, manajemen dengan pendekatan hubungan manusia oleh Elton Mayo, manajemen

behavioral oleh Herbert Simon, dan kemudian

pendekatan manajemen dengan ilmu manajemen oleh Blackeet (dalam Winardi, 2002).

Para praktisi menyebut abad sekarang adalah era organisasi. Organisasi menjadi alat yang ampuh untuk mempercepat pencapaian tujuan. Manusia berhimpun dalam suatu kelompok atau organisasi untuk memadukan kemampuannya sehingga diperoleh sinergi yang kuat dalam mewujudkan tujuan bersama. Dengan adanya wadah, maka timbul usaha untuk mengaturnya, mulai dari pembagian kerja, komunikasi antarindividu, pemberian upah atau gaji, kenaikan pangkat atau golongan, serta timbulnya strata atau hierarki dalam organisasi. Semakin berkembang menjadi besar suatu organisasi, semakin kompleks pula masalah yang dihadapi, terutama masalah yang berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM).

Organisasi hidup dalam waktu yang tidak dapat dipastikan, tetapi yang jelas organisasi harus bertahan dan berkelanjutan. Organisasi membutuhkan SDM yang berkualitas, baik pemimpin maupun pengikutnya. Diharapkan pergantian pemimpin dalam organisasi tidak akan mengganggu pelaksanaan visi dan misi.

Banyak pengalaman positif dari kehidupan organisasi (negara, partai, perusahaan, lembaga pemerintah, dan lembaga sosial), yang dapat digunakan sebagai contoh bagaimana mempersiapkan pemimpin di masa datang. Pergantian pemimpin ada yang melalui gejolak kekerasan dengan pertumpahan darah,

(2)

tetapi banyak juga yang berlangsung mulus, tergantung kematangan sebagai suatu bangsa. Sebagai contoh pergantian pemimpin tanpa kekerasan, di negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan di kawasan Asia misalnya Cina, Jepang, dan belahan dunia lain misalnya Amerika Serikat.

Hampir dapat dipastikan bahwa negara- negara tersebut, jika terjadi pergantian kepemimpinan nasional mereka, berlangsung secara wajar tanpa ditandai suatu gejolak. Hal ini berarti bangsa tersebut dalam mempersiapkan pemimpin masa depannya telah melalui mekanisme yang benar, menurut budaya yang dianut bangsa itu.

Ada berbagai macam cara suatu negara dan organisasi lainnya dalam negara itu dalam mempersiapkan pemimpinnya berdasarkan falsafah yang dianut oleh negara atau organisasi tersebut, misalnya melalui partai, tokoh kuat sebagai pendiri bangsa/negara, tokoh senior dalam perusahaan atau pemegang saham terbesar, dan lain-lain. Sedemikian besarnya peranan pemimpin dalam organisasi dalam bentuk apapun, maka pengkaderan calon pemimpin dalam suatu organisasi merupakan langkah yang sangat penting. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan pemimpin dalam organisasi, yang dapat menghambat eksistensi organisasi.

PEMBAHASAN

Pengembangan sumber daya manusia mulai menjadi prioritas pembangunan setelah Perang Dunia II yang memunculkan Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai pemenang. Eropa Barat dan Jepang hancur berantakan akibat perang. Menyadari hal itu, kedua negara adidaya berusaha untuk membantu negara-negara lain dengan tujuan memperluas pengaruh, terutama di negara-negara berkembang.

Pemerintah suatu negara menyadari bahwa kunci keberhasilan pembangunan suatu bangsa terletak pada manusianya. Ungkapan lama yang berbunyi the man behind the gun

telah terbukti pada negara maju maupun negara berkembang. Sumber daya alam yang melimpah tanpa ditangani oleh manusia yang berkualitas tidak akan berarti. Sebagai contoh, keterpurukan negara-negara yang pernah dijajah tidak sempat meningkatkan kualitas manusianya karena terbelenggu oleh kepentingan penjajah. Setelah ditinggalkan penjajah, yang ada hanyalah manusia yang kurang bahkan

tidak berkualitas sehingga tidak mampu mengolah sumber daya yang ada walaupun berlimpah. Akhirnya negara bekas jajahan sebagian besar tergantung kepada negara maju yang membantu. Negara-negara bekas jajahan seperti ini sebagian besar hanya menjadi bangsa dan negara penyedia bahan mentah, yang sangat rendah nilai tambahnya.

Dengan modal manusia yang kurang atau tidak berkualitas, ternyata sangat sulit dan lambat untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju. Investasi pada SDM memerlukan waktu dan biaya yang mahal dengan hasil tidak segera dapat dipetik. Mungkin memerlukan waktu satu sampai dua generasi untuk mempersiapkan SDM yang benar-benar berkualitas sesuai dengan tuntutan pembangunan suatu bangsa. Demikian pentingnya pembangunan SDM, negara-negara Asia yang dimotori oleh Jepang, kemudian diikuti Singapura, Korea (Selatan) dan negara macan Asia lainnya ternyata dalam 3 dasawarsa telah menjadi negara maju.

Berbeda dengan Indonesia yang pada Orde Baru berpedoman pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), lebih menekankan pertumbuhan ekonomi dan mengesampingkan pembangunan SDM, sehingga bangsa lain yang sama-sama mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998 telah dapat bangkit pada saat sekarang, sementara Indonesia masih mengalami krisis ekonomi berkepanjangan.

Menurut Bank Dunia (dalam Sagir, 1984), pembangunan sumber daya manusia atau human resources development merupakan sasaran yang tidak kalah pentingnya dengan pengolahan sumber daya alam. Tanpa pembangunan sumber daya manusia maka pengolahan sumber daya alam di masa depan akan tetap tergantung pada teknologi dan tenaga kerja asing yang harus didatangkan dari luar negeri.

Secara mikro peranan SDM dalam kehidupan organisasi, baik privat maupun pemerintah, dapat digambarkan bahwa manu-sia berperan sebagai pelaku dan penggerak atau motor terhadap sumber-sumber daya yang lain, misalnya uang, material, mesin, pasar, metode, serta sarana fisik lainnya. Dengan demikian timbul pertanyaan: bagaimanakah mempersiapkan dan merekrut sumber daya manusia yang benar-benar memenuhi harapan organisasi?

(3)

Sifat kodrati manusia sebagai makhluk sosial mengharuskan manusia selalu berusaha untuk berhubungan dengan manusia lain, dan berusaha untuk meningkatkan kualitas dirinya demi memenuhi kebutuhannya. Ada beberapa tingkatan kebutuhan manusia. Maslow (dalam Kartono, 2002) menggolongkan kebutuhan manusia yang salah satunya adalah kebutuhan tingkat sosio budaya -human kultural-, misalnya kebutuhan diakui dan mengakui, merasa mempunyai peranan atau andil di dalam mencapai tujuan kelompok, berkumpul dan dihargai oleh anggota kelompok lainnya, ingin mendapatkan perhatian, cinta, kasih sayang, dan sebagainya. Dalam wujud nyata misalnya seseorang akan merasa terpenuhi kebutuhannya dan merasa puas jika dapat berkecimpung dalam organisasi, di mana terjadi interaksi antar-manusia, baik formal maupun informal (kedinasan dan non-kedinasan).

Untuk memperkuat dan melanggengkan hubungan tersebut mereka atau manusia atau orang-orang sepakat bergabung membentuk kelompok yang disebut organisasi, dengan pengaturan yang tertib dan berkelanjutan. Keteraturan dan ketertiban diwujudkan dalam suatu nilai yang disepakati bersama. Nilai yang disepakati bersama berupa norma (hukum), peraturan, adat istiadat, kebiasaan, kebijakan, dan lain-lain. Perlu disadari bahwa manusia sebagai ciptaan dari Yang Mahakuasa senantiasa tidak sempurna, ada kekurangan, tetapi juga ada kelebihan. Jika manusia telah berkumpul atau berkelompok di dalam organisasi, maka tujuan bersama menjadi pedoman yang menggiring segala sumber daya dan aktivitas untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh sebab itu alasan pertama manusia berorganisasi adalah untuk mempercepat pencapaian tujuan bersama. Para pakar organisasi membuat aksioma bahwa suatu jenis aktivitas (administrasi) akan lebih berhasil dan berdaya guna apabila dikerjakan oleh beberapa orang.

Tentu saja ada syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya pembagian kerja, atau siapa mengerjakan apa dan bertanggung jawab kepada siapa. Dengan adanya pembagian kerja berarti terjadi suatu rangkaian kerja, maka diperlukan kerja sama antarmanusia atau antarbagian. Hal ini menunjukkan bahwa bekerja merupakan suatu rangkaian yang ada dalam suatu sistem, ada keterkaitan antara proses kerja yang satu dengan yang lain,

sehingga terjadi saling ketergantungan. Untuk meningkatkan hasil kerja diperlukan sinergi atas kelebihan atau keunggulan kualitas dari setiap individu yang akhirnya menghasilkan suatu usaha optimal. Proses kerja sama yang terjalin antarindividu dapat digunakan sebagai tempat untuk saling mengisi dan belajar satu sama lain, sehingga diperoleh suatu kemampuan merata di dalam suatu unit kerja.

Kinerja suatu organisasi bukan ditentukan oleh siapa yang paling mampu tetapi ditentukan oleh siapa yang paling atau kurang mampu. Sebagai contoh, kesebelasan yang baik adalah suatu tim yang anggotanya mempunyai kemampuan rata-rata, bukan hanya ditentukan oleh sang bintang. Jika asumsi ini diterapkan di dalam organisasi, maka kebijakan pengembangan SDM hendaknya dilakukan secara masif, kompre-hensif, dan berkesinambungan.

Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa suatu organisasi eksis dalam ruang yang tidak kosong, tetapi dipengaruhi lingkungannya. Dalam perjalanan waktu, organisasi akan selalu menghadapi lingkungan yang terus berubah.

Tidak ada yang kekal di dunia ini kecuali perubahan. Perubahan terjadi karena perkembangan budaya manusia itu sendiri. Manusia dengan kemampuannya mengembangkan ilmu pengetahuan dan menciptakan teknologi untuk membantu kehidupannya. Dengan demikian ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi organisasi, maka para pengelola (pemimpin) organisasi harus mampu mengadakan penyesuaian, atau dibutuhkan pemimpin yang mampu mengelola perubahan.

Kemampuan suatu lembaga atau institusi menerima, merespons, dan beradaptasi terhadap perubahan yang cepat dan kompleks itu akan menjadi kunci keberhasilannya untuk bertahan hidup (West, 2000). Organisasi bisnis misalnya, harus jeli memantau dan meramalkan perubahan yang terjadi di masyarakat. Selera konsumen berkembang sangat cepat, oleh karena itu produsen harus segera menyikapi dengan mengadakan penyesuaian. Demikian juga perkembangan dalam demokrasi, di mana telah terjadi perubahan dalam pemilihan pemimpin negara maupun wakil rakyat dengan jalan pemilihan langsung. Tidak semua institusi berhasil mengelola perubahan, karena tidak siap menghadapinya.

(4)

Banyak faktor yang menjadi sebab dan mempengaruhi perubahan. Misalnya faktor internal organisasi, antara lain terjadinya ketidakpuasan anggota organisasi dalam menyikapi kondisi yang masih mempertahankan status quo, cara kerja yang tidak sesuai lagi dengan prinsip efisiensi dan produktivitas, keinginan meningkatkan keefektifan organisasi, yang kesemuanya itu akan sangat berpengaruh terhadap motivasi kerja. Adapun faktor eksternal antara lain perubahan yang terjadi dalam kebijakan pemerintah, perubahan sistem politik, penemuan dan perkembangan teknologi, ekonomi nasional maupun global, sosial budaya, serta perubahan lain yang dirasakan oleh organisasi baik langsung maupun tidak.

Dalam menyikapi terjadinya perubahan, agar berhasil ditentukan oleh 70 persen sampai 90 persen peran pemimpin (dalam segala tingkatan). Kurangnya peran pemimpin akan berakibat tidak adanya kekuatan di dalam organisasi untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan ataupun kekacauan.

Larry Greiner penggagas Dynamic

Model of Organizational Social Structure yang dikutip oleh Hatch (1997) mengatakan bahwa pada setiap fase perubahan selalu terjadi krisis. Dari berbagai penyebab krisis organisasi, krisis kepemimpinan merupakan awal dari keseluruhan krisis yang akan terjadi pada perubahan organisasi.

Dengan demikian apabila pihak manajemen akan menyelesaikan persoalan yang terjadi di dalam organisasi, perlu dilakukan analisis situasi terlebih dahulu. Perlu diketahui apa dan daerah mana yang mengalami perubahan, serta seberapa besar perubahan tersebut.

Menurut teori decision making dan

problem solving (Kepner dan Trigoe, 1973) jika suatu perubahan terjadi, di situlah yang harus mendapatkan perhatian khusus dari manajemen. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya perubahan dalam organisasi lebih banyak disebabkan oleh manusia anggota organisasi itu sendiri (kecuali perubahan karena alam), misalnya dengan ditemukannya metode kerja serta peralatan baru akan mengakibatkan perubahan sikap atau perilaku anggota organisasi.

Apakah setiap perubahan harus disikapi? Jawabannya “ya”, sepanjang perubahan yang terjadi mempunyai pengaruh terhadap

eksistensi organisasi, khususnya dalam pencapaian tujuan. Misalnya yang berkaitan dengan pelayanan terhadap publik, pengaruh terhadap pencapaian keuntungan, kaitannya dengan mempertahankan prestasi atau kekuasaan, dan aspek leadership yang sangat berpengaruh terhadap operasional organisasi.

Dengan demikian organisasi yang dapat mengelola perubahan adalah organisasi yang fleksibel dengan ciri-ciri: organisasi yang cerdas dalam memilih pemimpinnya, setiap anggota organisasi menyadari bahwa perubahan akan selalu terjadi, organisasi yang cerdas dalam beradaptasi dengan lingkungannya, organisasi yang cerdas dalam memilih dan meningkatkan kualitas anggotanya atau stafnya, dan organisasi yang cerdas dalam mengelola lingkungan dan memilih partner kerja samanya.

Pengertian kader dapat bermacam-macam dan sangat familier di dalam organisasi politik, ketika menghadapi pemilu dan mengusulkan anggotanya menjadi calon anggota parlemen atau pada masa akan terjadi penggantian kepemimpinan lokal, nasional, dan juga pada organisasi bisnis.

Kader diartikan sebagai perwira atau bintara dalam ketentaraan; orang yang diharapkan akan memegang pekerjaan penting dalam pemerintahan atau partai. Dalam pengertian lain juga menyebutkan bahwa kader diartikan sebagai perwira-perwira rendahan; orang yang dididik sebagai pelanjut tongkat estafet partai atau organisasi; calon; tunas; generasi (muda). Sering kita mendengar bahwa organisasi ini adalah organisasi kader yang terdiri dari kaum muda yang diharapkan menjadi pemimpin masa depan. Pernyataan demikian menunjukkan bahwa organisasi tersebut telah mempersiapkan calon-calon/orang muda sebagai pemimpin mereka, jika kelak terjadi pergantian pemimpin. Secara hakiki, dalam organisasi macam apapun, secara alamiah yang tua akan digantikan oleh yang lebih muda, dan hal ini tidak menjadi masalah karena sudah dipersiapkan. Pengertian kader seperti tersebut, tentu pengertiannya bukan hanya terbatas pada kalangan organisasi kemiliteran saja, tetapi berlaku secara umum pada seluruh organisasi baik pemerintahan maupun swasta.

Adapun pengertian kaderisasi adalah proses mempersiapkan calon-calon pemimpin suatu organisasi untuk waktu sekarang dan masa yang akan datang. Tujuan kaderisasi

(5)

adalah mempersiapkan calon-calon pemimpin demi kesinambungan organisasi, sehingga jika terjadi pergantian pemimpin dapat berjalan mulus karena sudah dipersiapkan. Dengan demikian pengangkatan seorang pemimpin sebaiknya melalui proses kaderisasi.

Dengan adanya kaderisasi, diharapkan organisasi akan bertahan dalam waktu cukup lama, tidak bersifat ad-hoc dalam mengemban visi dan melaksanakan misinya. Pepatah Belanda mengatakan on mis baar, yang kalau diterjemahkan secara bebas berarti tidak ada di dunia ini atau organisasi apapun yang tidak tergantikan. Pada saatnya seorang pemimpin secara alamiah atau sebab lain pasti akan turun dan digantikan oleh yang lain. Apalagi bagi pemimpin oganisasi modern, yang anggotanya terdiri dari manusia-manusia yang mempunyai pemikiran rasional, mempunyai wawasan ke depan, serta semakin tidak populernya teori “timbulnya pemimpin karena dilahirkan”. Pemimpin tumbuh dan berkembang karena melalui proses pembinaan dan dimatangkan oleh lingkungan. Sistem pengkaderan di dalam suatu organisasi akan sangat tergantung dari besar kecilnya organisasi, lingkup atau bidang kegiatan yang menjadi misi pokok, sistem nilai yang dianut, serta eksistensi organisasi, apakah sementara atau jangka panjang.

Suatu organisasi bisnis, di dalam menyiapkan pemimpinnya akan berlainan dengan organisasi pemerintahan, politik, atau organisasi sosial. Demikian juga dalam menetapkan kualitas sumber daya manusianya. Namun terdapat suatu kesamaan prinsip yaitu bagaimana mendapatkan manusia terbaik dan berkualitas sehingga mampu memimpin organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, penerapan fungsi manajemen sumber daya manusia harus menjadi landasan ilmiah agar mendapatkan manusia yang cocok atau sesuai.

Di dalam pembahasan kaderisasi organisasi ini akan dibatasi pada bagaimana suatu organisasi dapat memilih pemimpinnya sekarang dan mempersiapkan pemimpinnya di masa depan. Dengan sistem apa agar kepemimpinan organisasi dapat berkesinambungan. Artinya jika pada kurun waktu tertentu terjadi penggantian pemimpin, tetap tersedia calon calon pemimpin sehingga tidak perlu terjadi krisis kepemimpinan. Mengapa titik berat pembahasan pada kepemimpinan? Karena seperti telah disebutkan di depan bahwa faktor pemimpin

sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan organisasi dan jika terjadi krisis kepemimpinan akan berdampak luas terhadap organisasi.

Dalam menyiapkan kader organisasi, akan tergantung dari budaya dan sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat bangsa. Budaya yang dianut bangsa Barat, berlainan dengan budaya orang Timur seperti bangsa Jepang, Cina, dan Indonesia. Namun, secara historis budaya Barat telah lama masuk ke negara-negara bekas jajahannya melalui para misionaris, manajer perusahaan trans-nasional mereka sejak Revolusi Industri berlangsung di Inggris. Pada perkembangan selanjutnya budaya Barat tersebut mempengaruhi dan beradaptasi dengan budaya lokal.

Selain budaya, faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap proses kaderisasi organisasi adalah manajemen yang dianut atau berlaku akan menentukan corak kepemimpinan di suatu negara. Atau dalam lingkup yang lebih kecil, seperti unit bisnis, pengkaderan pemimpin dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut. Masih lekat dalam benak kita, ketika Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Soeharto, yang keduanya sempat diangkat menjadi presiden seumur hidup (walaupun keduanya dalam pengangkatannya ada perbedaan). Pada saat itu, nilai yang dianut adalah sistem paternalistik, di mana keikutan, penghargaan, dan penghormatan kepada yang lebih tua dan berjasa pada negara diberikan tempat yang istimewa.

MODEL KADERISASI ORGANISASI

a. Kaderisasi Organisasi menurut Model Jepang

Jepang adalah negara timur yang maju, sangat terpandang, dan sukses dalam mengadopsi sistem manajemen Barat yang disesuaikan dengan budayanya, terutama dalam organisasi bisnis. Jepang dapat mewakili negara kawasan timur dalam menyiapkan pemimpin masa depan mereka.

Sumber daya yang dimiliki oleh organisasi bisnis selain manusia sebagai key position yang determinan adalah uang atau dana, material atau bahan, gedung tempat memproses material menjadi barang jadi atau barang setengah jadi, dipadukan dengan metode dan pasar. Sinergi antara unsur-unsur tersebut diusahakan untuk kembali dalam

(6)

bentuk uang melalui mekanisme penjualan atau kegiatan pasar. Selisih antara penjualan dan biaya pokok akan menghasilkan keuntungan atau kerugian. Apabila terjadi keuntungan maka dana tersebut sebagian untuk investasi agar dapat menghasilkan kembali. Demikian proses berlangsung terus- menerus secara berkesinambungan.

Oleh karena investasi dalam dunia bisnis seperti manusia dan sumber daya yang lain sedemikian besar, maka dibutuhkan manusia-manusia yang berkualitas tinggi untuk mengelolanya. Suatu kerugian yang diderita oleh organisasi bisnis yang disebabkan oleh kesalahan dalam memilih SDM sangat meng-ganggu kinerja organisasi secara keseluruhan dan akhirnya merugikan negara. Untuk menjaga kepastian, kepercayaan, dan kelangsungan organisasi bisnis, tidak mengherankan jika proses penyiapan dan pemilihan pemimpin menjadi agenda yang penting.

Pada awal industrialisasi, Jepang sangat beruntung mempunyai kader-kader wiraswasta yang berasal dari kaum samurai

(militer) yang mempunyai bakat dan minat berusaha dalam bisnis dan mempunyai wawasan untuk mengabdi pada kepentingan

nasional. Para samurai ini mempunyai

kualifikasi yang sangat dibutuhkan dalam usaha bisnis, misalnya sangat disiplin dan sadar akan pentingnya misi mereka, memiliki kesamaan pendapat tentang kerja dan setia pada kerja yang dipercayakan dan menjadi tanggung jawabnya, serta sangat mendukung dan patuh pada pemerintah daripada seniornya. Warisan budaya dan nilai inilah yang mendorong para pelaku bisnis di Jepang dapat menjalin kerja sama dan saling mendukung antara dunia bisnis dengan pemerintah. Tidak mengherankan, jika Jepang dapat dengan cepat bangkit perekonomiannya setelah kalah perang. Menurut Yang (dalam Marbun, 1980), sangat sedikit wiraswasta dari Asia Tenggara yang mempunyai kiblat kepentingan nasionalnya dan menganjurkan industrialisasi. Mereka kurang inisiatif dan kurang inovatif, ada kecenderungan secara eksklusif menye-suaikan perubahan yang terjadi di masyarakat, masih terobsesi pada tradisi serta individua-listis, dan masih bergulat pada kepentingan keluarga dalam memimpin bisnis. Akhir-akhir ini banyak negara di kawasan Asia meniru Jepang dalam mengelola bisnis, bahkan Lee Kuan Yu (pemimpin senior Singapura),

meng-anjurkan “tengok dan kembalilah ke kawasan timur untuk meniru Jepang, jika ingin maju”.

Secara makro dapat dilihat bagaimana negara-negara di kawasan apa yang disebut Kawasan Laut Kuning yaitu Republik Rakyat Cina, Korea, Kawasan Indo-Cina, dan tentu saja Singapura, mengadopsi keberhasilan Jepang dalam mempersiapkan pemimpin oganisasi bisnis mereka. Selain prinsip-prinsip manajemen modern Barat yang dianut Jepang, mereka menyesuaikan kondisi dan budaya lokal, misalnya: perusahaan dianggap sebagai suatu big family dengan prinsip smart performance, seniority, long life worker/education, value of spiritual, spirit and loyale group.

Prinsip ini menjadikan manajer-manajer perusahaan akan sangat menguasai kondisi perusahaan, kesetiaan yang tinggi terhadap perusahaan, jarang melakukan tindakan tercela terhadap perusahaan. Prinsip hidup adalah pengabdian terhadap perusahaan dan Tuhannya. Seniority dalam kepemimpinan diartikan, selain masalah usia, yang penting bahwa kematangan atau karier seorang pemimpin dimulai dari bawah. Seorang insinyur teknik harus mengetahui financial management, marketing bahkan personnel management pun mereka kuasai. Jadi manajer-manajer itu mempunyai kualifikasi sebagai

general performance, yang dimulai dan didapat dari bawah. Bahkan untuk menunjukkan hormat dan patuhnya kepada seniornya, dalam menghadapi krisis kepemimpinan/ politik, menteri-menteri dalam kabinet rela mundur untuk memberi kesempatan kepada perdana menteri untuk menyusun kabinet sebagai hak prerogratifnya.

Melihat keberhasilan kader-kader bisnis Jepang dalam memimpin organisasi bisnis memang menakjubkan, tetapi terdapat segi kelemahannya. Kelemahan tersebut adalah menjadikan kader-kader itu sebagai

economy animal, karena selalu dihinggapi pemikiran apa yang bisa dihasilkan dan laku untuk dijual kepada bangsa lain (orientasi bisnis Jepang adalah export oriented). Hal ini bisa dimaklumi, bahwa Jepang miskin sumber daya alam sehingga kemajuannya sangat ditentukan oleh SDM-nya untuk selalu memikirkan nilai tambah terhadap bahan yang dibeli dari negara lain untuk dapat dijual kembali.

(7)

b. Kaderisasi Organisasi menurut Model Barat

Tak dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sampai saat ini lebih banyak dikembangkan oleh Barat. Literatur berupa buku yang menjadi acuan para pengelola organisasi modern hampir seluruhnya dikarang dan diterbitkan oleh Barat. Tidak mengherankan jika kepemimpinan mereka diilhami oleh pendapat-pendapat para ahli Barat. Barat mengajarkan bahwa manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama (demokrasi). Ada tiga hak dasar yang saling berkaitan yaitu hak untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keselamatan pribadi (HAM). Oleh karena itu, di Barat

tumbuh subur ajaran laisser faire lasser

passer, yang menyatakan bahwa biarlah semua berlangsung dan berlalu dengan sendirinya dan tidak membiarkan atau memperbolehkan ikut campur tangan pemerintah, sehingga rakyat bisa menerapkan persaingan bebas. Ini menunjukkan bahwa ajaran dan budaya Barat adalah kebebasan. Manajemen yang dianut berdasar pada rasionalitas, karena lebih didasari pada iptek. Penelitian terhadap organisasi dan manajemen telah dilakukan sejak Revolusi Industri. Revolusi Industri dianggap sebagai tonggak sejarah kemajuan iptek.

Taylor (dalam Winardi, 2002)

memperkenalkan scientific management

sebagai hasil penelitiannya di pabrik yang ia pimpin sendiri. Dengan segera prinsip-prisip umum manajemen Barat berkembang dan dianut dunia. Selain rasionalitas sebagai pinsip umum manajemen, Taylor memperkenalkan efisiensi, tertib administrasi, pengawasan yang efektif, perhitungan cost yang tepat, metode, dan pembagian kerja yang jelas.

Suatu keputusan bisnis yang rasional harus dapat diuji dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam memecahkan suatu masalah berlaku kaidah ilmiah umum yang terdiri dari langkah-langkah: merumuskan suatu masalah, mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan masalah yang akan diselesaikan, menyusun alternatif, memilih alternatif terbaik, dan akhirnya implementasi dari keputusan yang diambil. Demikian proses ini berulang-ulang yang harus dilakukan oleh pemimpin. Siapa pun yang menjadi anggota organisasi memahami dan mengerti, jika suatu keputusan diambil oleh pemimpin atas nama

organisasi pasti melalui proses demikian. Dalam penunjukan dan pemilihan pemimpin telah dipersiapkan dengan matang, misalnya telah menduduki jabatan eksekutif (gubernur negara bagian, menteri, jaksa agung, kemiliteran, dan lain-lain), serta jabatan legislatif (anggota senat). Memang seperti di Amerika Serikat ada kesan bahwa jabatan-jabatan politik dikuasai oleh beberapa keluarga atau marga, tetapi proses seleksinya dilakukan secara terbuka, misalnya melalui partai politik yang ada yaitu republik dan demokrat.

Kaderisasi melalui partai adalah sangat efektif, apalagi untuk jabatan politis. Calon pimpinan dipersiapkan dengan matang melalui kriteria obyektif dan menjadi keputusan partai/ organisasi. Persaingan dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh siapa pun, dengan landasan demokrasi yang memenuhi syarat. Artinya, siapa pun yang masuk dalam gelanggang persaingan terlebih dahulu harus terseleksi oleh kualifikasi yang ditentukan. Oleh karena itu, kader yang terpilih menjadi pemimpin benar-benar telah memenuhi kriteria dan merupakan pilihan terbaik.

Sebagai contoh, bagaimana ketatnya pemilihan presiden di Amerika Serikat dan Perancis, perdana menteri di Inggris, kanselir di Jerman, serta perdana menteri di Spanyol dan Australia. Seleksi presiden di Amerika Serikat dilakukan dengan melalui beberapa tahapan konvensi (dimulai dari partai dan dilanjutkan secara nasional). Hal itu telah dilakukan sejak Amerika merdeka, pada tahun 1800-an. Oleh karena itu, jika bangsa Amerika menyebut dirinya sebagai kampiun demokrasi tidaklah terlalu salah. Para imigran yang datang dari Eropa ke Amerika ingin mendirikan suatu negara yang demokratis berdasarkan asas kebebasan yang tidak akan diperoleh di daerah asalnya.

Kaderisasi untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin di Barat melalui partai sudah sangat mantap, dan siapa pun yang menganggap mampu dapat ikut bersaing. Selain dukungan dari partai, kemampuan pribadi dari kader tak dapat ditinggalkan.

Teori demokrasi ala Barat banyak diekspor ke negara sedang berkembang dengan harapan dapat diterapkan dan berhasil. Sudah sangat populer, jika pemerintahan yang diktator tumbang atas bantuan Barat, biasanya selang beberapa saat ketika stabilitas mulai membaik, langsung diadakan pemilihan umum sebagai ciri demokrasi.

(8)

Para kader dan pemimpin Barat mempunyai kelemahan terutama terlalu mengandalkan rasionalitas, sehingga mengesampingkan hakikat manusia. Menurutnya, konsep leadership Barat dapat diterapkan dalam dunia mana pun tanpa melihat akar sejarah dari suatu kawasan atau negara. Falsafah kebebasan dan persaingan mengamanatkan, siapa mampu itulah yang akan memenangkan persaingan dan berlaku dalam segala aspek kehidupan.

c. Kaderisasi Organisasi di Indonesia Pengalaman Indonesia menuju negara demokrasi amat menarik untuk diikuti. Sebagai bangsa terjajah ratusan tahun lamanya, budaya penjajah dan lokal berinteraksi mewarnai pola kehidupan bangsa ini. Kondisi ini sangat mempengaruhi kaderisasi pemimpin di Indonesia. Sejak kemerdekaan, seolah pemimpin di Indonesia muncul karena kehendak sejarah. Mereka menjadi pemimpin karena dilahirkan untuk menjadi pemimpin.

Setelah Orde Baru tumbang, lahir Orde Reformasi. Kaderisasi pemimpin mulai kelihatan melalui mekanisme kepartaian dikombinasikan sistem paternalistik. Kaderisasi di dalam organisasi privat sampai saat ini tidak jelas. Selain organisasi privat masih banyak berbentuk organisasi keluarga, yang kurang berpikir demi kepentingan nasional. Jika organisasi bisnis telah menjadi milik publik, biasanya yang memegang tampuk pimpinan adalah pemegang saham terbesar. Atau jika pemegang saham terbesar adalah pemerintah, maka pemerintahlah yang mempunyai peran besar dalam menetapkan pemimpin perusahaan dimaksud.

Di dalam birokrasi, usaha pemerintah untuk merevitalisasi birokrasi penguasa menjadi pelayan belum menunjukkan hasil. Para birokrat masih melakukan manajemen irasional, yang lebih menekankan emosi, suka dan tidak suka, bersifat dan bertindak sebagai penguasa, serta kurang profesional dalam bidang tugasnya. Manajemen birokrasi yang dilakukan di Indonesia masih merupakan gado-gado, meniru Barat tidak, meniru Jepang juga tidak. Kata para ahli organisasi dan manajemen, manajemen Indonesia masih mencari bentuk setelah sekian lama terbelenggu dalam pemerintahan yang sentralistik dengan kesan diktator.

Di era reformasi, di mana daerah mempunyai kebebasan yang besar untuk

menentukan pembangunan daerahnya termasuk pengangkatan pemimpinnya, terdapat kecenderungan primordialisme mulai digunakan untuk mendasari segala kebijakan yang ditempuh. Hal ini disebabkan pemahaman terhadap reformasi yang keliru, dilanggarnya rambu-rambu otonomi, dan salah satu penyebabnya adalah tidak dipersiapkannya secara matang kader yang akan memimpin suatu wilayah. Pada umumnya pemimpin (terutama pemimpin politik atau yang berkaitan dengan kekuasaan) pada era otonomi banyak melakukan persaingan yang tidak jujur, money politics (Ismawan, 1999), sehingga menghasilkan pemimpin yang tidak layak, tidak berkualitas untuk menjadi motivator dan dinamisator bagi rakyat atau bawahannya.

Jika melihat ke belakang di era orba, di mana terjadi kebijakan yang tidak tepat dalam menerjemahkan dwi fungsi ABRI, yaitu pengangkatan pemimpin militer aktif ke dalam jajaran civil society. Dwi fungsi diartikan salah, sehingga para analis Barat mencap bahwa Indonesia menerapkan pemerintahan militer, karena banyaknya jabatan sipil dimasuki atau diduduki oleh militer, walaupun masih aktif. Alasan klasik dengan masuknya ABRI akan memantapkan stabilitas, instansi strategis perlu orang kuat, hak sama bagi setiap warga negara, dan dalih lain. Pengangkatan pemimpin militer aktif ke dalam suatu organisasi nonmiliter termasuk penarikan dari luar, karena dari awal organisasi sipil sulit untuk menyiapkan kadernya. Di dalam manajemen ABRI sendiri, pengkaderan pemimpin cukup tertib dan bersistem, mulai pelatihan sampai jabatan yang harus dilalui oleh seorang prajurit. Dalam kondisi normal seorang prajurit lulusan akademi militer akan mengetahui di mana dan ke mana akan meniti karier dan jabatan apa yang mungkin dapat diraih.

Di Indonesia karier militer dalam bisnis tidak sama dengan keberhasilan samurai Jepang yang mempunyai jiwa wiraswasta yang tinggi. Sedangkan di dalam organisasi sipil pengkaderan lemah dan tidak jelas, lebih banyak ditentukan pribadi pemimpin yang lebih berada di atas. Pengalaman menunjukkan untuk pejabat karier, sebaiknya direkrut dari dalam organisasi. Keuntungannya adalah tidak diperlukan masa penyesuaian yang lama, yang bersangkutan telah memahami seluk beluk organisasi.

(9)

Kaderisasi dalam tubuh partai politik terdapat beberapa variasi. Ada organisasi yang mendudukkan kadernya sesuai nilai dan mekanisme organisasi dengan urutan senioritas dan lamanya mengabdi pada partai, terdapat juga yang merekrut sama sekali orang baru dengan pertimbangan keturunan dari orang terkenal, mempunyai akses dan sumber daya yang besar yang nantinya dapat menjadi vote getter dalam pemilu.

Suatu eksperimen yang berani dari salah satu partai politik (Golkar) pada Pemilu Presiden dan wakilnya tahun 2004. Untuk menemukan kader terbaik dari partainya ditempuh dengan cara mengadakan konvensi, menarik dari dalam dan luar organisasi, namun sebagai partai pemenang dan terbesar mengalami kegagalan untuk memenangkan calon dari dalam partai.

Lain lagi halnya di dalam organisasi bisnis. Sesuai pendapat Yang (dalam Marbun 1980), Asia Tenggara masih kekurangan wiraswasta andal yang berjuang demi kepentingan nasional, mereka lebih banyak berbuat untuk kepentingan keluarga. Pada era orba banyak pengusaha berhasil, tetapi pengusaha yang dekat dengan kekuasaan atau pengusaha para kroni pejabat. Pengusaha demikian memanfaatkan kedekatan dan fasilitas para pemegang kekuasaan, sehingga daya juang yang harus dimiliki oleh seorang wiraswasta sangat dangkal. Kaderisasi di dalam organisasi bisnis lebih banyak dilakukan secara tertutup, dengan mengangkat atau mendudukkan pimpinan usaha dari kalangan keluarga. Mereka takut bayangan, jika dipegang oleh orang luar akan terjadi kesulitan untuk mengontrol dan yang lebih menjadi alasan adalah masalah kepercayaan.

Organisasi kader yang dapat menghasilkan pemimpin andal harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) mempunyai visi dan misi yang jelas dalam jangka pendek maupun jangka panjang; 2) meletakkan manusia menjadi mesin penggerak organisasi dan menjunjung tinggi nilai kebersamaan; 3) sistem dan mekanisme rekrutmen dan penempatan personel yang jelas dan terbuka; 4) efektivitas komunikasi terjamin untuk menghindari hambatan atau sumbatan komunikasi; 5) peka dan mampu mengelola perubahan; 6) kebijakan pemeliharaan dan pembinaan jelas, jujur, menghindari adanya penyimpangan; 7) organisasi merupakan tempat bergabungnya

generasi muda atau siapa pun yang berjiwa muda, bekerja dilandasi modal pengabdian.

Adapun kader yang diharapkan dapat mengemban tongkat kepemimpinan pada masa yang akan datang menurut Alfian (1980) hendaknya mempunyai kualifikasi sebagai berikut: 1) mempunyai kualitas kepemimpinan yang andal; 2) pengabdian menjadi dasar dari bekerja, serta organisasi sebagai tempat mengabdi demi tujuan yang lebih besar; 3) bukan semata-mata berorientasi pada kekuasaan, tetapi lebih pada pengabdian untuk sesama, dan kekuasaan hanya sebagai alat pengabdian; 4) seseorang yang mempunyai

motif berprestasi tinggi (high need of

achievement); 5) peka terhadap perubahan lingkungan terutama yang mempunyai pengaruh langsung terhadap dirinya maupun organisasi di mana ia bergabung.

Ungkapan dari para cerdik pandai yang menyatakan bahwa bibit yang mempunyai kualitas unggul sebaiknya ditempatkan pada persemaian yang subur sehingga akan membuahkan hasil yang baik, harus dilakukan. Pernyataan ini mempunyai konsekuensi bahwa kader-kader pemimpin yang telah dipersiapkan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan dirinya mencapai self actualization needs.

PENUTUP

Peran manusia dalam organisasi sangat penting, yaitu sebagai key position yang menentukan keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan. Organisasi sebagai kumpulan tugas dan manusia pelaksananya harus berkualitas sehingga dapat mengemban visi dan misi dengan baik. Karena kemajuan organisasi ditentukan oleh pemimpinnnya, maka harus dipersiapkan secara matang melalui pengkaderan. Pengkaderan dapat dilakukan sejak awal dan terus dibina agar pada saatnya memegang tampuk pimpinan tidak mengecewakan dan tidak merugikan organisasi. Pengkaderan dapat dilakukan dengan memilih cara Barat yang liberal atau cara Jepang yang mengedepankan senioritas dan pengalaman. Indonesia sendiri, pada saat ini masih mencari bentuk pengkaderan pemimpin baik politik maupun bisnis.

Perlu dikembangkan pemeliharaan dan pemahaman nilai-nilai spiritual yang dapat menjadi budaya organisasi termasuk di dalamnya pengkaderan dan penggantian

(10)

10

pemimpin organisasi. Pengkaderan dan penggantian adalah sesuatu yang wajar dan alami sehingga jika terjadi pergantian pemimpin dapat berjalan dengan lancar dan tidak perlu terjadi guncangan dalam organisasi. Pengkaderan pemimpin hendaknya dimulai

sedini mungkin, sehingga siapa pun yang menduduki pemimpin dapat meneruskan tongkat komando kepemimpinan organisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 1980. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia (Kumpulan Karangan). Jakarta, PT. Gramedia.

Hatch, M. J. 1997. Organization Theory; Modern, Symbolic and Postmodern Perspective. Kuala Lumpur, Oxford University Press.

Ismawan, Indra. 1999. Money Politics Pengaruh Uang dalam Pemilu, Yogyakarta, Media

Pressindo.

Kartono, Kartini. 2002. Psikologi Sosial untuk Manajemen Perusahaan & Industri. Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Kepner, C.H.& Tregoe, B.B.1973. Manager yang Rational Pendekatan Sistematisakan Problem Solving Dan Decesion Making. Terjemahan N. Lukiman/Djoerban Wahid. Jakarta, Erlangga PPM.

Marbun, B.N. 1980. Konsep Manajemen Indonesia. Jakarta, PPM.

Sagir, Soeharsono. 1984. Kesempatan Kerja Ketahanan Nasional dan Pembangunan Manusia Seutuhnya. Bandung, Nova.

West, M.A. 2000. Developing Creativity in Organizations, Terjemahan Hidayat. Yogyakarta, Kanisius.

Referensi

Dokumen terkait

Potensi di bidang industri pertambangan tersebut membutuhkan strategi perencanaan dan pengembangan yang lebih komprehensif yang mempertimbangkan beberapa aspek,

Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor yang menyebabkan plebitis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Baptis Kediri yang terdiri dari faktor obat

Anak 'asien mengatakan 'asien a"alah 'erokok $erat2 namun $erhenti merokok saat 'asien $erumur 60 tahun.. namun $erhenti merokok saat 'asien $erumur

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis melihat bahwa kasih dan ketaaatan merupakan hal yang utama dan terutama dalam diri seorang murid Kristus.Dengan kasih

easil penelitian mengenai pola asuh makan ditemukan bahwa sebagian besar batita mengalami ketidakseimbangan pemenuhan zat giziI kurangnya dukungan yang diberikan oleh pelaku

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sebenarnya remaja yang suka mendengarkan musik dengan irama yang keras dan cepat akan berdampak kurang baik pada kecerdasan

Dikatakan sangat penting, karena penilaian dapat digunakan dalam memberikan informasi penting, diantaranya adalah menentukan hasil belajar peserta didik, mengukur

Kelompok yang paling efektif dalam meningkatkan waktu perdarahan dan pembekuan darah adalah kelompok III dengan dosis perasan kering kulit nanas 112 mg/200 g BB,