MANDAILING SHAKAI NI OKERU UNING –
UNINGAN
KERTAS KARYA
Dikerjakan
O L E H
AHMAD AGUS HARAHAP
NIM 052203045
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA
BIDANG STUDI BAHASA JEPANG
MEDAN
MANDAILING SHAKAI NI OKERU UNING –
Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum
Kertas karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Fakultas
Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi
Bahasa Jepang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
PROGRAM STUDI D3 BAHASA JEPANG
MEDAN
Disetujui Oleh :
Program Diploma Bahasa Jepang
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Medan
Program Studi D3 Bahasa Jepang Ketua,
Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum. NIP 131662152
PENGESAHAN
Diterima Oleh :
Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk
Melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi
Bahasa Jepang
Pada
Tanggal :
Hari :
Program Diploma Sastra Budaya
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara
Dekan,
Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT, sehingga penulis dapat
menyelesaikan kertas karya yang berjudul “MANDAILING SHAKAI NI OKERU
UNING-UNINGAN”.
Meskipun banyak kesulitan dalam menulis kertas karya ini karena pengetahuan
penulis yang masih terbatas, tetapi berkat bimbingan, bantuan dan pengarahan dari
berbagai pihak, terutama dari orang tua penulis, maka penulis dapat menyelesaikan kertas
karya ini.
Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
membantu penulis dalam menyelesaikan kertas karya ini, terutama kepada:
1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara
2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Bahasa Jepang
D3 Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Eman Kusdiyana, M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang dengan ikhlas
meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan dan pengarahan kepada penulis
sehingga kertas karya ini dapat diselesaikan
4. Ibu Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum selaku Dosen Pembaca
5. Bapak Yuddi Adrian, M.A, selaku Dosen Wali
6. Seluruh staf Pengajar Jurusan Program Studi Bahasa Jepang Universitas Sumatera
7. Teristimewa kepada kedua orang tua dan keluarga yang telah banyak memberikan
dukungan dan doa. Ayahanda P. Harahap dan juga ibunda Latifah Hanum Siregar
dan juga kakak saya tercinta Linda Herawati Harahap, Diana Armayanti Harahap
dan Leli Fitriani Harahap.
8. Teman-teman terdekat saya Ratih, Mpok, Eddy, Ray, August, AshTree, Amie,
LiVe, Dorny dan juga seluruh teman di stambuk ’05 khususnya
teman-teman yang mengejar wisuda di bulan Januari 2009. Terima kasih saya ucapkan
atas bantuan, dan dukunganya karena telah saling mengingatkan untuk segera
menyelesaikan kertas karya masing-masing. Maaf karena saya tidak dapat wisuda
bersama kalian.
9. Ayu, Yanti, Icha dan juga teman-teman yang telah wisuda di bulan April 2009.
Terima kasih atas toleransinya dan juga kebersamaanya. Saya juga ucapkan
beribu maaf karena tidak dapat menepati janji untuk wisuda bersama kalian.
10.Semua pihak yang terkait dan tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
membantu saya sampai menyelesaikan kertas karya ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga kertas karya ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juni 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI… ... iii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Alasan Pemilihan Judul... 1
1.2 Tujuan Penulisan ... 2
1.3 Batasan Masalah ... 2
1.4 Metode Penulisan ... 2
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MANDAILING ... 3
2.1 Lokasi ... 3
2.2 Penduduk ... 4
2.3 Religi ... 4
BAB III UNING-UNINGAN DALAM MASYARAKAT MANDAILING...6
3.1 Pengertian Uning-uningan ... 6
3.2 Jenis Uning-Uningan ... 6
3.3 Penggunaan Uning-Uningan ... 8
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 10
4.1 Kesimpulan ... 10
4.2 Saran ... 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul
Batak adalah salah satu suku yang ada di Indonesia yang mendiami sebagian
besar wilayah Sumatera Utara. Namun Batak sendiri memiliki sub-suku salah satu
diantaranya adalah Mandailing
Sebagai salah satu sub-suku Batak, Mandailing memiliki ciri khas tersendiri dari
sub-suku Batak yang lainnya, walaupun ciri khas tersebut hampir sama dengan ciri khas
adat-istiadat sub-suku Batak yang lain karena berasal dari satu rumpun.
Ironisnya dalam era globalisasi sekarang ini bangsa Indonesia cenderung
melupakan keanekaragaman ciri khas yang ada di tanah airnya karena terpengaruh oleh
derasnya kebudayaan barat yang masuk ke Negara ini. Sebagai contohnya, sebagian dari
masyarakat Mandailing zaman sekarang sudah kehilangan minat dan perhatian terhadap
akar kebudayaannya, misalnya saja Uning-Uningan yang merupakan warisan dari nenek
moyang. Untuk itulah penulis tertarik mengambil judul “Uning-Uningan Dalam
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan kertas karya ini adalah sebagai berikut:
5 Untuk menambah informasi tentang kebudayaan nasional khususnya adat-istiadat
masyarakat Mandailing yaitu tentang pengertian Uning-Uningan.
6 Untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembaca tentang peranan
Uning-Uningan dalam masyarakat Mandailing.
7 Untuk menginformasikan pentingnya nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam
adat-istiadat masyarakat Mandailing khususnya dalam pelaksaan Uning-Uningan.
1.3 Batasan Masalah
Kertas karya ini hanya membahas tentang uning-uningan yaitu alat musik atau
bunyi-bunyian yang merupakan ciri khas adat Mandailing. Selain itu disertai sedikit
informasi tentang masyarakat Mandailing itu sendiri.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan kertas karya ini, penulis menggunakan suatu metode untuk
mengumpulkan data dengan membaca yang berkaitan dengan masalah yang akan
dibahas. Selanjutnya data yang terkumpul kemudian didistribusikan ke sub bab yang ada
BAB II
GAMBARAN UMUM
MASYARAKAT MANDAILING
2.1 Lokasi
Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih
termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten
Mandailing Natal berdasarkan undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal
diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999.
Mandailing adalah suatu wilayah yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal di
tengah pulau Sumatera. Kabupaten Mandailing Natal berbatasan dengan:
3 Angkola di sebelah utara
4 Pesisir di sebelah barat
5 Minangkabau di sebelah selatan
6 Padanglawas di sebelah timur
2.2 Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Mandailing Natal tahun 2007 yakni 417.590 jiwa.
Penduduk asli Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua etnis yaitu masyarakat etnis
Mandailing dan masyarakat etnis Pesisir.
Dalam mengatur sistem kehidupan, masyarakat Mandailing Natal menggunakan
sistem Dalihan Na Tolu atau tiga tumpuan. Artinya mereka terdiri dari kelompok
kekerabatan Mora(kelompok kerabat pemberi anak dara), Kahanggi (kelompok kerabat
yang satu marga) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak dara).
Penduduk Mandailing Natal sangat terikat dan percaya dengan susunan dari
bawah hingga atas yang berdasarkan dari latar belakang kemasyarakatan. Orang-orang
sangat hormat kepada pendiri silsilah dan jabatan. Daerah Mandailing Natal mempunyai
majelis sendiri, pemimpin yang dipilih berdasarkan dari warisan nenek moyang mereka.
Pemimpin berkewajiban memimpin organisasi yang menyusun dan memimpin
acara-acara tradisional dan mendirikan hukum-hukum yang berhubungan dengan warisan,
pewarisan dan perkawinan.
2.3 Religi
Orang Mandailing hampir 100% penganut agama Islam. Oleh karena itulah
agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Bahkan
dalam upacara-upacara kematian dan hukum waris sebagian besar di antara mereka hanya
memakai hukum Islam.
dengan agama Islam. Jika dalam upacara adat ada hal-hal yang mengganggu dengan
BAB III
UNING-UNINGAN DALAM
MASYARAKAT MANDAILING
3.1 Pengertian Uning-uningan
Uning-uningan adalah alat musik atau bunyi-bunyian yang terdapat dalam adat
Mandailing. Orang Mandailing mempunyai ungkapan yang berbunyi uning-uningan ni
ompunta na parjolo sundut i. Artinya, seni musik dari para leluhur, yang diwariskan
secara turun-temurun. Jika uning-uningan dibunyikan biasanya dibarengi dengan tor-tor
atau tarian adat.
3.2 Jenis Uning-Uningan
Adapun jenis uning-uningan yang paling sering dibunyikan pada saat acara adat
adalah sebagai berikut:
a. Gondang Tunggu-tunggu Dua
Gondang tunggu-tunggu dua terdiri dari dua buah gendang dua sisi berbentuk
barrel yang masing-masing dimainkan oleh satu orang. Gondang tunggu-tunggu dua ini
dibunyikan cukup dipukul dengan tangan. Gondang tunggu-tunggu dua juga sering
b. Gordang Sambilan
Sesuai dengan namanya. Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang
yang ukurannya lebih besar dari gondang tunggu-tunggu dua. Ukuran gordang sambilan
panjang dan besarnya berbeda satu dengan yang lainnya. Garis penampang yang paling
besar skitar 60 cm.
Gordang sambilan terbuat dari kayu ingul dan dimainkan oleh empat orang
dengan menggunakan pemukul khusus yang terbuat dari kayu. Tabung resonansi dibuat
dengan cara melobangi kayu, dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup
dengan membran yang terbuat dari kulit lembu kering (disebut jangat) yang diregangkan
dengan rotan sekaligus sebagai alat pengikatnya.
Kesembilan gendang dari gordang sambilan ini mempunyai klasifikasi sesuai
dengan besar kecilnya. Yang paling besar disebut dengan jangat, sedangkan yang
memukulnya disebut pajangati. Gendang yang ukurannya dipertengahan disebut dengan
panigai dan udong-kudong, lalu yang paling kecil disebut dengan tepe-tepe.
c. Ogung (gong)
Ogung dibunyikan mengikuti irama gondang tunggu-tunggu dua maupun gordang
sambilan. Ogung ini terdiri dari dua jenis yaitu jantan dan betina yang dibunyikan secara
bergantian.
Selain itu ada juga ogung yang lebih besar dan suaranya lebih bergaung. Jenis
ogung ini biasanya digantung di beranda rumah Raja Panusunan atau Raja Pamusuk
(bagas godang) yang dibunyikan untuk menyambut tamu yang dihromati sebagai
3.3 Penggunaan Uning-uningan
Gondang tunggu-tunggu dua dan gordang sambilan dibunyikan pada saat pesta
adat. Jika gordang sambilan dibunyikan untuk memeriahkan pesta, sedangkan gondang
tunggu-tunggu dua dibunyikan sekaligus untuk mengiringi tor-tor atau pada arak-arakan
penganten dan juga moncak atau pencak silat.
Gordang sambilan maupun gondang tunggu-tunggu dua baru dapat dibunyikan
pada horja siriaon atau acara pernikahan tradisional, jika sudah dipenuhi persyaratan
adat dan memotong seekor kerbau jantan yang sudah cukup umur.
Sebelum agama Islam berkembang di Mandailing, dahulunya gordang sambilan
juga digunakan oleh nenek moyang orang Mandailing sebagai cara untuk memanggil
roh-roh yang disebut paturun sibaso atau pasusur begu untuk meminta petunjuk atau nasehat
atas penyebab bencana yang terjadi, misalnya wabah penyakit menular dan bencana
alam. Cara memukulnya dengan suatu upacara khusus dan irama khusus pula. Melalui
perantara medium yang disebut sibaso dan seorang datu yang merupakan tokoh
supranatural sebagai pemimpin ritual tersebut melakukan komunikasi dengan sibaso
untuk mengetahui penyebab bencana sekaligus solusinya. Selain itu gordang sambilan
dapat digunakan untuk meminta hujan turun ketika terjadi kekeringan yang cukup parah,
dengan maksud agar aktivitas pertanian dan kehidupan masyarakat dapat pulih kembali.
Oleh karena tujuan memanggil sibaso bertentangan dengan agama Islam, maka
membunyikan gordang sambilan tidak boleh bertentangan dengan tujuan
membunyikannya, yaitu untuk memeriahkan upacara-upacara siriaon atau upacara
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
4 Orang Mandailing berpendapat adat tidak boleh bertentangan dengan agama.
5 Penduduk asli Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua etnis yaitu masyarakat
etnis Mandailing dan masyarakat etnis Pesisir.
6 Uning-uningan merupakan seni musik dari para leluhur, yang diwariskan secara
turun-temurun.
7 Uning-uningan biasanya dibarengi dengan tor-tor.
8 Uning-uningan atau bunyi-bunyian ini tidak boleh setiap saat dibunyikan.
9 Uning-uningan hanya dapat dibunyikan pada saat acara adat tertentu.
10 Gordang sambilan dapat digunakan untuk memanggil roh-roh yang disebut
paturun sibaso atau pasusur begu.
4.2 Saran
11.Sebagai generasi muda bangsa Indonesia kita harus lebih memperdalam
pengetahuan kita tentang adat-isitadat yang ada di sekitar kita agar tidak hilang
tergerus oleh modernisasi.
12.Kita harus merawat dan melestarikan peninggalan dari kebudayaan-kebudayaan
zaman dahulu seperti uning-uningan atau alat musik khas Mandailing agar
generasi penerus dapat mengetahui dan mempelajari asal-muasal sejarah
13.Sebaiknya kita tidak hanya mempelajari kebudayaan-kebudayaan baru tapi juga
jangan melupakan kebudayaan yang telah diwariskan nenek moyang kita karena
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, H. Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan
Zaman. Forkala Sumut. Medan.
Hasil Musyawarah Adat Persadaan Marga Harahap Dohot Anakboruna. 1993.
Horja Adat Istiadat Dalihan Na Tolu. Padang Sidempuan.