• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Aplication of Legal Profession

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "The Aplication of Legal Profession"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA

PENEGAKAN HUKUM

M. Husni

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Abstract: Community law consciousness are influenced by social structure

where the law exist to receive the law order in community law conscionsness the social structure should be arranged. To build the community law conscionsness the community inspiration in law should be developed according to Indonesian principles. On the other hand we also need supporting factor, like, good legal enforcers, facilities, legal culture and society as a key role actor. If all those factors above adjusted, we are sure that the society vision on legal enforcement could be happened.

Kata Kunci: Pemberdayaan, Masyarakat, Penegakan Hukum

Dalam rangka pencapaian tujuan penegakan hukum yang salah satu di antaranya adalah untuk mewujudkan rasa keadilan di samping tujuan lainnya yaitu menciptakan kepastian hukum dalam masyarakat dan memberikan kemanfaatan bagi anggota masyarakat yang bersangkutan, maka pemeliharaan tertib hukum mutlak diperlukan. Keharusan untuk memelihara ketertiban hukum tidak saja merupakan tugas aparat penegak hukum, tetapi lebih jauh adalah merupakan kewajiban pula bagi para pembuat peraturan hukum itu sendiri (legislatif) dan juga para eksekutif serta anggota masyarakat secara keseluruhan sebagai pemegang peran. Hukum sebagai suatu norma hanya dapat diterapkan dengan baik dan baru mencapai tujuannya apabila semua anggota masyarakat memiliki kemauan untuk memelihara norma hukum yang menjadi ukuran untuk bertingkah laku serta kemauan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata. Salah satu upaya ke arah itu adalah melalui peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Berbicara mengenai kesadaran hukum masyarakat, Scholten memberikan rumusan sebagai berikut; “Kesadaran hukum itu tidak lain dari pada suatu kesadaran yang ada dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh dan taat kepada hukum”. Sedangkan batasan yang diberikan oleh peserta simposium kesadaran hukum masyarakat pada masa transisi yang dilaksanakan di Universitas Indonesia–Jakarta. Bahwa kesadaran hukum meliputi pengetahuan masyarakat tentang hukum, penghayatan masyarakat terhadap hukum, dan ketaatan masyarakat terhadap hukum.

(2)

patuh kepada peraturan hukum dan merubah pola perilaku masyarakat agar tetap berperilaku sesuai dengan norma hukum (tidak berperilaku menyimpang). Proses penegakan hukum adalah suatu konsep yang diarahkan kepada perilaku seseorang. Perilaku seseorang itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan sosio-kulturalnya. Orang yang memiliki pengetahuan tentu berbeda dalam caranya untuk berperilaku (hukum) dengan orang yang tidak atau kurang memiliki pengetahuan. Demikian juga halnya orang yang latar belakang kehidupan sosio-kulturalnya yang berbeda akan berbeda pula perilaku hukumnya jika dibandingkan dengan orang lain. Seseorang yang dibesarkan di lingkungan pesantren akan berbeda perilakunya dalam mentaati peraturan hukum dengan orang yang dibesarkan di lingkungan gelandangan.

Oleh karena itu kesadaran hukum masyarakat haruslah dilihat secara total bila hendak mengaitkan pemberdayaan masyarakat dengan penegakan hukum. Artinya, pemahaman masyarakat tidak boleh terbatas hanya terhadap kaedah hukumnya saja, tetapi juga lebih jauh harus diarahkan kepada ketiga faktor yang telah dikemukakan pada bahagian pendahuluan, yaitu hal yang berkaitan dengan manusia sebagai subyek (pelaku) hukum yang meliputi, pengetahuannya terhadap peraturan hukum (termasuk) isi peraturannya, penghayatannya terhadap hukum serta ketaatannya terhadap hukum. Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka permasalahannya yang perlu mendapat perhatian adalah langkah-langkah apa yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang pada gilirannya tercipta suatu suasana penegakan hukum yang baik.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PENEGAKAN HUKUM

Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat untuk mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Donald Black dalam bukunya The Behavior of Law mengemukakan bahwa suatu perilaku hukum (case) mempunyai struktur sosialnya sendiri. Black sendiri mengemukakan teori bahwa kehadiran hukum bervariasi di mana orang-orang itu berada. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku hukum masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang baik pula. Selama struktur sosial masyarakat tidak terkandung kearah susunan masyarakat yang baik maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah kepada perilaku hukum yang baik. Ini sebuah asumsi. Kalau kemudian ini dikembangkan lebih lanjut maka untuk menciptakan perilaku hukum yang baik (baca: kesadaran hukum) maka struktur sosial yang mengitari tempat di mana hukum itu diberlakukan harus diperbaiki terlebih dahulu. Struktur ekonomi harus diperbaiki, struktur politik harus diperbaiki, struktur pendidikan harus diperbaiki, struktur pertahanan keamanan harus diperbaiki, serta struktur-struktur lainnya yang terdapat dalam sistem sosial yang luas. Pandangan ini berkait erat dengan suatu asumsi bahwa hukum adalah sebagai produk sistem sosial. Sedangkan hukum itu sendiri adalah sub sistem dalam sistem sosial yang lebih luas.

(3)

penegakan hukum tidak bisa disamaratakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain yang berbeda struktur sosialnya. Jika politik hukum Indonesia menghendaki adanya satu sistem hukum, maka langkah awal yang harus ditempuh adalah mempersatukan terlebih dahulu struktur sosial yang ada dalam arti homogen. Untuk itu strategi yang dapat di lakukan adalah melalui penyampaian informasi yang benar dan dipercaya. Jika struktur sosial belum memperlihatkan tanda-tanda yang homogenitas, maka selama itu pula penegakan hukum harus selektif dalam arti tidak dapat disamaratakan meskipun kasusnya sama. Langkah ini sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah, misalnya ketika konsep juridis diberlakukannya peraturan tentang lalu lintas. Di sana disebutkan bahwa untuk masing-masing daerah yang berbeda diberlakukan jumlah denda yang berbeda. Besarnya denda untuk Daerah DKI Jakarta akan berbeda dengan besarnya denda untuk wilayah Sumatera Utara. Dalam lapangan hukum perkawinan sendiri juga dikemukakan bahwa bagi pihak-pihak yang melakukan perkawinan dapat memilih ketentuan hukum agama atau hukum adat. Pasal 2 UU No.1 tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut ajaran agama atau kepercayaan masing-masing. Demikian juga dalam hal warisan, para pihak jika terbuka warisan diperkenankan untuk memilih hukum warisan masing-masing. Ini tentu suatu keputusan juridis yang sangat arif, ini adalah politik hukum yang benar-benar bijaksana. Pengetahuan dan pemahaman hukum masyarakat jauh lebih baik untuk lapangan-lapangan hukum yang non-netral jika dibandingkan dengan lapangan hukum netral (catatan: Prof. Mahadi membedakan lapangan hukum non-netral dengan lapangan hukum netral). Lapangan hukum non-netral adalah lapangan hukum yang dekat dengan suasana kehidupan agama dan kepercayaan atau dekat dengan kebudayaan, sedangkan lapangan hukum netral adalah lapangan hukum yang tidak berkaitan erat dengan agama, kepercayaan atau kebudayaan. Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama atau hukum adat jauh lebih dipahami oleh masyarakat Indonesia daripada pelaksanaan perkawinan versi hukum perdata Eropa (BW). Ini berarti pula pemahaman masyarakat dengan kaedah (kaedah sosial yang kemudian diangkat menjadi kaedah hukum) hukum yang tumbuh dari bawah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kaedah hukum yang dituangkan dari atas. Jika pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang kaedah hukum itu termasuk tentang isi kaedah hukum itu sudah baik maka kemungkinan masyarakat untuk mematuhi atau mentaatinya lebih terbuka.

(4)

otoritas, dan penyelesaian pertikaian. Pada umumnya, hukum represif menunjukkan karakteristik sebagai berikut: 1) Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik, hukum diidentifikasikan dengan negara kepada raison d’etat; 2) Perspektif resmi (Edmon Cahn), mendominasi segalanya. Dalam perspektif ini penguasa cenderung mengidentifikasi kepentingannya dengan kepentingan masyarakat; 3) Kepentingan bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan adalah terbatas, di mana mereka dapat memperoleh perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhanya; 4) Badan-badan khusus, seperti polisi misalnya, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang bebas, 5) Suatu rezim hukum rangkap melembagakan keadilan kelas dengan mengkonsolidasikan dan mengesahkan pola-pola subordinasi sosial; 6) Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.

Tidak demikian dengan bentuk hukum otonom yang berorientasi pada pengawasan kekuasaan represif. Artinya, hukum otonom merupakan antitesa dari hukum represif. Sifat-sifat yang paling penting dari hukum otonom adalah: pertama, penekanan pada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi; kedua, adanya pengadilan yang dapat didatangi secara bebas, yang tidak dapat di manipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi, serta memiliki otoritas eksklusif untuk mengadili pelanggaran hukum baik oleh pejabat umum maupun individu-individu. Hukum otonom menunjukkan tiga titik kelemahan, yang membatasi potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada keadilan sosial, di antaranya: pertama, perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan procedural, mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan menjadi terlepas dari tujuan; kedua, keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif, ketiga penekanan atas kepatuhan terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata tertib di antara rakyat, dan mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu sikap yang konservatif. Hukum seyogianya senantiasa memiliki keterikatan dengan komunitas masyarakat tertentu, dan sulit untuk memahami hukum suatu bangsa akan baik jika dilepaskan dari lingkup masyarakat tempat hukum itu dijalankan. Namun di Indonesia yang terjadi adalah lain dari yang diharapkan.

(5)

hukum telah lama menjadi agenda yang belum terselesaikan dalam sistem hukum di Indonesia dan dapat dirasakan rendahnya penegakan hukum telah mengakibatkan hukum tidak memiliki kewibawaan dimasyarakat, merebaknya gejala patologis yang bersifat sistematik baik dimasyarakat maupun dikalangan penegak hukum, mulai praktek main hakim sendiri, mafia peradilan adalah beberapa fenomena yang memang sudah menjadi kronik didalam kehidupan sosial sehari-hari, mudahnya pelaku kejahatan melarikan diri keluar negeri dan sulitnya menjerat pelaku pelanggaran Hak Azasi Manusia ke pengadilan adalah fakta hukum yang sukar untuk ditegakkan. Penegakan hukum menjadi sebuah persoalan di dalam kehidupan bangsa sehingga ia mengandung makna yang provokatif. Banyak anggapan yang berada di kehidupan masyarakat bila penegakan hukum di negeri ini ibarat pisau tajam yang ditancapkan secara terbalik, ia efektif menjerat mereka yang lemah tetapi tumpul bila berhadapan dengan elite penguasa formal berwatak kolonial. Bila individu berikut instrumen organisasinya terlepas dari status sosial, ekonomi dan posisi politiknya di masyarakat, menghargai dan mentaati hukum sebagai instrument terhadap terciptanya ketertiban yang meningkatkan kesejahteraan sosial, maka tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah selaku pelaksana kekuasaan negara akan cendrung meningkat. Sebaliknya bila masyarakat cenderung mangabaikan mekanisme penegakan hukum formal akibat konotasi negatif terhadap proses penegakan hukum itu sendiri, maka pemerintahlah yang akan menanggung akibatnya karena ia akan kehilangan legitimasi moral di mata masyarakatnya sendiri, karenanya penegakan hukum secara substansial sangat identik dengan pemulihan kredibilitas masyarakat terhadap pemerintahnya sendiri, dengan demikian persoalan penegakan hukum tidaklah hanya berkaitan pada tataran teknis hukum semata meski harus diakui persoalan teknis banyak mempengaruhi ketidakmapanan penegakan hukum. Artinya penegakan hukum harus juga dipandang sebagai agenda politik. Dalam konteks ini sebaiknya dalam memaknai penegakan hukum (Law Enforcement) tidak sekedar secara tekhnis sebagai rutinitas tindakan aparat penegak hukum didalam memproses tindakan melawan hukum, namun lebih jauh memahaminya dari sudut pandang sosiologi di mana elemen masyarakat berkontribusi aktif dalam penegakan hukum. Sebagaimana rasa keadilan memiliki nilai yang bersifat relatif maka ia merupakan proses yang selalu diupayakan hadir dan bukan merupakan faktor yang dengan sendirinya lahir didalam langkah-langkah penegakan hukum itu sendiri. Karenanya dalam hubungan ini yang harus dipahami bahwa lemahnya penegakan hukum meskipun dapat diartikan sebagai persoalan tekhnis juridis semata, namun hendaknya jangan dipisahkan dari konteks sosialnya artinya ia bersinggungan dengan komitmen seluruh masyarakat dan pemerintah terhadap nilai dan moral yang dianut oleh masyarakat sebagai sebuah entitas. Subjek dan objek hukum dengan kata lain indikasi serta dampak dari lemahnya penegakan hukum tidak hanya dapat dirasakan pada adanya jarak yang semakin jauh terhadap rasa keadilan itu sendiri, tetapi lebih jauh lagi bahwa ia semakin terasa didalam dekadensi dari berbagai sistem-sistem yang ada, artinya sistem sosial, politik dan ekonomi akan semakin rapuh akibat beban sosial yang meluas dan berkepanjangan.

(6)

dan mengandung resiko yang tidak sedikit jika dibandingkan dengan hakim. Kita sering mendengar polisi terbunuh, polisi cidera dan lain sebagainya, tetapi kita jarang mendengar hakim terbunuh namun justru upaya untuk memperbaiki kesejahteraan ekonomi mereka tidak seperti yang dilakukan terhadap para hakim, bahkan akhirnya polisilah yang selalu mendapat sorotan negatif dari masyarakat, padahal apa yang disebut dengan mafia peradilan itu semata-mata karena mental sebahagian para hakim yang kurang baik. Meskipun ungkapan ini terlihat terlalu subyektif, namun yang hendak di utarakan adalah bahwa kita harus mampu menangkap realitas sosial yang sesungguhnya. Adalah merupakan fakta empiris, bahwa hukum tidak dapat lagi ditegakkan dengan baik, hanya karena faktor non-juridis lebih banyak berperan. Karena itu melalui tulisan yang sederhana ini ingin mengemukakan pemikiran perlu kiranya diperhatikan faktor-faktor non-juridis seperti faktor ekonomi, politik dan lain sebagainya, dalam rangka memberikan dorongan positif kepada para aparat penegak hukum agar dapat beraktivitas dengan baik. Pada gilirannya menumbuhkan rasa percaya yang dalam kepada masyarakat bahwa benar kiranya aparat penegak hukum bermaksud untuk memperjuangkan keadilan yang mereka idamkan. Sehingga dengan demikian keengganan masyarakat untuk berurusan dengan pihak penegak hukum dapat dihindari. Disisi lain masyarakat tidak lagi mencari alternatif pemecahan yang dapat melemahkan wibawa hukum. Kemudian hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengenai isi dari kaedah hukum itu dalam rangka menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat.

Dalam kaitannya dengan hal ini, Mahadi menyarankan agar dicari azas-azas hukum Indonesia yang diturunkan dari pancasila kemudian dari azas itu diturunkan kaedah hukum yang mengatur masyarakat. Dengan memperhatikan asas-asas hukum yang terdapat dalam struktur kebudayaan bangsa Indonesia, diharapkan kaedah hukum yang kemudian diterapkan terhadap bangsa Indonesia akan sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Soebekti menyatakan bahwa, hukum itu sebagai suatu kebudayaan merupakan suatu refleksi dari cara berpikir, pandangan hidup dan karakter suatu bangsa. Ungkapan ini mengingatkan kita kepada suatu tugas berat yang harus kita tuntaskan. Sebab sampai hari ini masih banyak lapangan hukum (yang besar) yang berlaku di negara kita sebahagian besar bukan refleksi dari cara berfikir, pandangan hidup atau karakter bangsa Indonesia. Sebahagian besar adalah peninggalan kolonial Belanda.

Pentingnya pemikiran ini dikemukakan, sebab dalam upaya membangun hukum nasional, mau tidak mau suka atau tidak suka kita harus melihat kepada cermin kebudayaan bangsa kita sendiri. Suatu teori yang patut pula untuk dikemukakan di sini, adalah teori yang dimajukan oleh Chambliss dan Seidman. Dalam penelitiannya tentang masyarakat Afrika bekas jajahan Inggris, ia menyimpulkan bahwa hukum Inggris tidak dapat dilaksanakan oleh masyarakat Afrika tersebut, segera setelah Inggris meninggalkan negara jajahannya itu. Teori yang dikemukakannya adalah, “The Law of non Transfeerability of Law”, yaitu suatu dalil yang dikemukakan bahwa hukum suatu bangsa itu tidak dapat diambil alih (ditransfer) begitu saja, oleh karena struktur sosial masyarakat tempat di mana hukum itu diberlakukan tidak sama dengan struktur masyarakat di mana hukum itu berasal. Tetapi sebenarnya rule of law, juga mengandung makna hukum yang ditaati itu harus berisi aspirasi masyarakat, bukan aspirasi golongan masyarakat tertentu. Jadi jika dikaitkan dengan kondisi hukum hari ini, pertanyaan yang dapat di ajukan adalah, apakah hukum kita yang ada saat ini telah menampung aspirasi masyarakat Indonesia. Semestinya yang perlu di kembangkan dalam hukum kita substansinya berdasarkan asas kesadaran hukum masyarakat Indonesia.

KESIMPULAN

(7)

terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi kaedah hukum itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola perilaku hukum masyarakat itu sendiri; 2) Bahwa pemahaman hukum masyarakat dipengaruhi oleh struktur sosial tempat di mana hukum itu berlaku, karenanya untuk mencapai terpeliharanya tertib hukum melalui kesadaran hukum masyarakat, maka perlu pula dibenahi struktur masyarakat yang bersangkutan, seperti struktur ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan keamanan dan lain sebagainya yang terdapat dalam sistem sosial; 3) Bahwa pemberdayaan masyarakat untuk memelihara tertib hukum, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor juridis semata, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non juridis seperti sikap penegak hukum, sarana dan prasarana, budaya hukum dan masyarakat sebagai pemegang peran; 4) Bahwa perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib hukum terpelihara dengan baik disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia, sesuai dengan asas-asas hukum Indonesia dengan kata lain perlu diperhatikan segi substansialnya, bukan segi formalnya seperti yang berkembang selama ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulyani. 2002. SosiologiI, Sistematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara.

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijaksanaan Pencegahan dan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti.

Dimyati, Khudzaifah. 2005. Fenomena Penegakan Hukum Di Indonesia: Terpinggirnya Fungsi Hukum Dalam Pembangunan Masyarakat. Newsletter, Pusat Pengkajian Hukum.

Husni, M. 1993. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat, Majalah “Mahadi” Tahun II Nomor 01 April, KSHM, Fak.Hukum USU. Medan.

______________, 2006. Moral dan Keadilan Sebagai Landasan Penegakan Hukum yang Responsif, Jurnal Hukum EQUALITY, Volume 11 Nomor 1, Februari. Fakultas Hukum USU. Medan

Mahadi. 1986. Kumpulan Kuliah tentang Filsafat Hukum. Fakultas Hukum USU. Medan.

Rahman, Abdul. 1999.Hukum Masyarakat dan Pembangunan. Alumni. Bandung.

Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sinaga, Kastorius. 2005. Krisis Penegakan Hukum, Upaya Pencarian Alternatif, Majalah, Newsletter: Pusat Pengkajian Hukum.

Soemitro, Ronny Hamitijo. 1984. Masalah-masalah Sosiologi Hukum. Sinar Baru. Bandung.

, 1988. Pidato Pengukuhan Guru Besar, UNDIP. Semarang.

(8)

_______________, 1993. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Kajian Hukum, Makalah Pada Penataran Lanjutan Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Kajian Hukum, Fak. Hukum UI. Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Riwayat Penyakit Diare dan Praktik Higiene dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Simolawang, Surabaya... Potential

Diamond Ice cream tentang produk-produknya, karena dengan kepercayaan dari konsumenlah perusahaan PT.Diamond Ice cream dapat bertahan hingga sekarang.. di web PT.Diamond

 Penyempurnaan Layanan Paliatif yang komprehensif ( HOLISTIK ) perlu disosialisasikan terus - menerus khususnya pada pasien yang sedang mengalami penyakit dengan resiko

drg.TOTOH HERMANTO, M.Kes. Pembina Utama Muda, IV/c.. Pembangunan kesehatan merupakan salah satu hak dasar masyarakat yaitu hak untuk memperoleh pelayanan

Perubahan warna pada tabung gas menunjukkan suatu jarak tertentu yang dapat diukur melalui program komputer dengan mengaplikasikan metode segmentasi warna

Oalam tinjauan awal yang pengkaji lakukan di beberapa buah kampung di sekitar Daerah Keeil Kemabong Peta Daerah Sabah, didapati bahawa terdapat etnik Murut Tahol yang berumur

1. Jujur kepada semua orang. Segala tindakan hendaknya di dasarkan pada perilaku jujur, sehingga setiap tindakan dan perilaku menjadi hal yang terbaik dan menjadi

bakteri kelompok Escherichia, termasuk bakteri gram negatif, nonspora, membenfuk gas, indol MR, katalase dan motilitas menunjukkan hasil negatif sedangkan untuk uji H2S