• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penyelesaian Perceraian dalam Kemajemukan Hukum pada Masyarakat Jawa yang Beragama Islam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Proses Penyelesaian Perceraian dalam Kemajemukan Hukum pada Masyarakat Jawa yang Beragama Islam."

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN DALAM KEMAJEMUKAN HUKUM

PADA MASYARAKAT JAWA YANG BERAGAMA ISLAM

Skripsi

Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial

dalam bidang Antropologi

Disusun oleh :

NOVITA YUNI ARDIANA .S. 030905062

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Nama : Novita Yuni Ardiana .S.

Nim : 030905062

Departemen : Antropologi

Judul : PROSES PENYELESAIAN PERCERAIAN DALAM KEMAJEMUKAN HUKUM PADA MASYARAKAT JAWA YANG BERAGAMA ISLAM

Medan, Desember 2007

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Dra. Dra. Rytha Tambunan, MSi) (Drs. Zulkifli Lubis, MA) NIP. 131 882 277 NIP. 131 882 278

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di depan panitia penguji

Departemen Antropologi pada :

Hari :

Tanggal :

Pukul :

Tim Penguji :

Ketua : Drs. Zulkifli Lubis, MA ( )

Anggota I : Dra. Rytha Tambunan, MSi ( )

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa

atas berkat dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna

memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada jurusan

Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara.

Adapun yang menjadi judul skripsi ini adalah “Proses Penyelesaian Perceraian dalam Kemajemukan Hukum pada Masyarakat Jawa yang Beragama Islam”. Penulis telah berusaha menyusun skripsi ini dengan sebaik mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,

mengingat masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis. Untuk itu

penulis mengaharapkan adanya kritikan dan saran yang bersifat membangun guna

penyempurnaan skripsi ini di masa yang akan datang.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak, baik itu moral maupun material. Pada kesempatan

ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan memberikan penghargaan

yang setulus-tulusnya ditujukan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku dekan FISIP USU.

2. Bapak Drs. Humaizi, MA, selaku PD I atas fasilitas yang telah diberikan

kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA, selaku ketua departemen Antropologi di

FISIP USU, yang telah memberikan andil dan kebijaksanaan selama

(5)

4. Drs. Zulkifli, MA, selaku dosen penasehat akademik, yang telah

memberikan nasehat dan arahan kepada penulis selama perkuliahan.

5. Dra. Rytha Tambunan, MSi, selaku dosen pembimbing skripsi, yang telah

banyak meluangkan waktu, memberikan masukan teoritis dan metodologis

dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya atas seluruh kebijaksanaan, bimbingan, ketulusan, dan

kesediaan beliau dalam penulisan skripsi ini.

6. Prof. Dr. Chalida Fachruddin, yang telah meluangkan waktu untuk

menjadi penguji dalam ujian proposal penulis. Penulis mengucapkan

banyak terima kasih atas kritikan dan saran dalam penyempurnaan skripsi

ini.

7. Dra. Sri Emiyanti, MSi, yang telah meluangkan waktu untuk menjadi

penguji dalam ujian proposal penulis. Penulis mengucapkan banyak terima

kasih atas masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini.

8. Seluruh staf pengajar departemen Antropologi FISIP USU, yang telah

mendidik dan membekali penulis dengan ilmu pengetahuan.

9. Seluruh staf pegawai FISIP USU..

10.Bapak Halimula, selaku kepala desa Paluh Pakih Babussalam, serta para

informan yang telah bersedia memberikan informasi yang penulis

butuhkan selama penelitian.

11.Pengadilan Agama Stabat, atas kerja samanya dalam memberikan data

(6)

12.Penghargaan dan ucapan terima kasih dengan penuh kasih sayang yang

sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta,

ayahanda A. H. Sitorus dan ibunda T. L. M. br. Situmorang, yang telah

mengorbankan segala-galanya demi kemajuan dan keberhasilan bagi

anak-anaknya.

13.Adikku yang terkasih, adinda Lucy Mei Astriana br. Sitorus, yang telah

memberikan semangat dan doa kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dan meraih gelar sarjana.

14.Spesial ditujukan kepada sahabat-sahabatku: Anis Amalia, Berliana,

Horhon, Marta, Nanik, Yenni, Lena, Rikson, Pirtua, Hotmaria, bang Edi

Ginting, bang Jhony Sitorus, bang Doni Damanik, bang Nixon, bang Ruly,

yang tidak pernah berhenti memberikan semangat dan doa kepada penulis.

15.Kerabat Antropologi FISIP USU, khususnya stambuk 2001-2006: kak

Talenta, kak Bina, kak Aulia, bang Jonris, bang Novandi, bang David,

bang Ruddolf, Juni, Yuli, Fitria, Rencong, Luna, Ida, Ratna, Ogex, Shirly,

Rani, Sandrak, Palty, Firdaus, Paskah, Porman, Boy Freedom, Hendra,

Iqbal, Eva, Tika, dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebut

satu-persatu. Terima kasih atas kerja sama dan bantuannya.

16.Tidak lupa saya ucapkan banyak terima kasih kepada Hawardi, SP., yang

telah memberikan semangat dan doanya, sehingga penulis dapat

(7)

17.Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan namanya

satu-persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan dan

bantuan dari berbagai pihak, penulis mendoakan semoga Tuhan Yang Maha

Kuasa selalu memberikan dan melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada kita.

Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2007

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI………. v

DAFTAR TABEL……… viii

ABSTRAK………. ix

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah………... 1

1.2. Perumusan Masalah………. 9

1.3. Lokasi Penelitian……….. 11

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 12

1.5. Tinjauan Pustaka……….. 13

1.6. Metode Penelitian………. 24

1.6.1. Tipe Penelitian………... 24

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data……….... 25

1.6.3. Analisa Data……….. 34

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN……….... 36

2.1. Sejarah Singkat Dusun Menjadi Desa Paluh Pakih Babussalam……….. 36

2.2. Lokasi dan Lingkungan Alam……….. 38

2.3. Keadaan Penduduk………... 39

2.3.1. Berdasarkan Etnis………. 40

2.3.2. Berdasarkan Agama……….. 41

2.3.3. Berdasarkan Pendidikan……… 42

2.3.4. Berdasarkan Mata Pencaharian………. 43

2.4. Pola Pemukiman……… 46

2.5. Sarana dan Prasarana………. 47

2.6. Kehidupan Masyarakat Jawa……….... 49

2.6.1. Kehidupan Masyarakat Desa Paluh Pakih Babussalam………. 50

2.7. Penghulu………... 53

2.8. Sistem Perkawinan Menurut Orang Jawa………. 56

2.8.1. Perkawinan yang Dicatat Di Kantor Urusan Agama (KUA)……….... 64

2.8.2. Perkawinan yang Tidak Dicatat Di Kantor Urusan Agama (KUA)……… 65

BAB III SISTEM PERCERAIAN ORANG JAWA………... 68

3.1. Perceraian Menurut Orang Jawa……….... 68

3.1.1. Sebab-Sebab Terjadinya Perceraian………... 69

(9)

3.2. Perceraian Menurut Hukum Islam………. 74

3.2.1. Penjatuhan Thalaq Oleh Suami……….. 75

3.2.2. Penjatuhan Thalaq Atas Permintaan Isteri….………... 75

3.2.3. Perceraian Atas Persetujuan Kedua Belah Pihak…….... 76

3.2.3.1. Bercerai dengan Mengembalikan Mas Kawin (Chul)... 76

3.2.3.2. Bercerai Tanpa Mengembalikan Mas Kawin (Mubara-ah)……….……… 78

3.2.4. Cara Menjatuhkan Thalaq……….. 79

3.2.5. Perceraian dan Pencabutan Kembali Atas Putusan Perceraian………... 80

3.2.5.1. Bentuk-Bentuk Perceraian……….. 80

3.2.5.2. Cara Melakukan Rujuk Setelah Perceraian………… 83

3.2.5.3. Masa Penantian Bagi Mantan Isteri Setelah Perceraian (Iddah)... 83

3.2.6. Akibat Putusnya Ikatan Perkawinan (Perceraian)…….. 85

3.2.6.1. Mengenai Pengasuhan Anak………... 85

3.2.6.2. Mengenai Harta Gonogini………...……… 85

3.3. Perceraian Menurut Hukum Negara (Pengadilan Agama)……….. 86

3.3.1. Ketentuan Perceraian Menurut Hukum Negara………. 86

3.3.2. Prosedur Mengajukan Perceraian Di Pengadilan Agama (PA)……… 87

3.3.3. Syarat-Syarat Pengurusan Akte Cerai Menurut Hukum Negara... 94

3.3.4. Akibat-Akibat yang Disebabkan Perceraian………….. 95

3.3.4.1. Pemberian Nafkah…………... 95

3.3.4.2. Pemeliharaan Anak………..………... 95

3.3.4.3. Mengenai Harta Gonogini……… 96

BAB IV PROSES PERCERAIAN ORANG JAWA DALAM PLURALISME HUKUM... 97

4.1. Pilihak Hukum Penyelesaian Perceraian Menurut Orang Jawa………. 97

4.1.1. Cerai dengan Menjatuhkan Thalaq……….. 98

4.1.2. Cerai dengan Cara Berpisah………. 101

4.1.3. Perceraian Melalui Jalur Kepala Desa………. 102

4.1.4. Perceraian Melalui Jalur Pengadilan Agama (PA)…….. 104

4.2. Kasus-Kasus Perceraian……….. 106

4.2.1. Perceraian yang Tidak Diajukan Di Pengadilan Agama (PA)……….….. 106

4.2.1.1. Kasus Cerai dengan Cara Menjatuhkan Thalaq….…. 106

4.2.1.2. Kasus Cerai dengan Cara Berpisah………. 108

4.2.1.3. Perceraian Melalui Jalur Kepala Desa……… 114

(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 142

5.1. Kesimpulan………. 142

5.2. Saran……… 144

DAFTAR PUSTAKA………. 146

LAMPIRAN

1. Daftar Istilah

2. Pedoman Pengumpulan Data 3. Peta Kabupaten Langkat

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk Per-Dusun Berdasarkan Jenis Kelamin………… 40

Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis……… 41

Tabel.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama….……… 42

Tabel 2.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan………... 43

Tabel 2.5. Sumber Mata Pencaharian Penduduk………... 44

Tabel 2.6. Jenis Bangunan Rumah……… 46

Tabel 2.7. Sarana dan Prasarana……… 47

Tabel 4.1. Perkawinan dan Perceraian (Desa Paluh Pakih Babussalam)…….. 126

Tabel 4.2. Alasan-Alasan Terhadap Alternatif Penyelesaian Perceraian…….. 128

(12)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Proses Penyelesaian Perceraian dalam Kemajemukan Hukum pada Masyarakat Jawa yang Beragama Islam”, yang disusun oleh Novita Yuni Ardiana .S., 2007. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 145 halaman, 10 tabel, dan 24 lampiran yang terdiri dari daftar istilah, pedoman pengumpulan data, peta, dan surat penelitian.

Penelitian ini mengkaji mengenai pilihan-pilihan hukum yang dipilih oleh masyarakat dalam proses penyelesaian perceraian. Berkembangnya zaman, tingkat pendidikan, dan pengetahuan serta perubahan hukum menyebabkan cara pandang masyarakat Jawa menjadi lebih maju. Kenyataannya, bahwa penyelesaian perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama Islam sudah mulai diselesaikan melalui jalur hukum formal selain hukum agama maupun hukum adat dalam suatu masyarakat.

Perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama Islam dikaji melalui pendekatan antropologi hukum, yang bertujuan melihat bagaimana hukum yang ideal dipersepsikan dan direspon oleh masyarakat dalam kenyataannya. Selain itu, melihat bagaimana reaksi dan tindakan pihak yang merasa dirugikan atas putusan perceraian. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kasus sengketa dengan pendekatan pluralisme hukum untuk menyelesaikan perceraian. Masalah perceraian dilihat mulai dari penyebab terjadinya perceraian, proses bergulirnya perceraian, dan langkah-langkah penyelesaian perceraian.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, bahwa perceraian yang terjadi pada masyarakat Jawa yang beragama Islam disebabkan oleh beberapa hal, dan penyelesaian perceraian itu melibatkan banyak pihak di dalamnya. Perselisihan yang terjadi di antara suami isteri mulai diselesaikan dengan jalur musyawarah. Musyawarah yang dilakukan apabila tidak berhasil mendamaikan pasangan suami isteri yang akan bercerai, maka dilakukan penyelesaian melalui jalur hukum agama dan jalur hukum formal, yaitu Pengadilan Agama.

Perceraian diselesaikan melalui berbagai macam cara sesuai dengan persepsi masyarakat. Ada 1 (satu) contoh kasus perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq, 2 (dua) kasus perceraian yang dilakukan dengan cara berpisah, 1 (satu) kasus perceraian yang diselesaikan melalui jalur kepala desa, dan ada 2 (dua) kasus perceraian yang diselesaikan di Pengadilan Agama. Masalah-masalah yang diakibatkan karena terjadinya perceraian adalah mengenai pengasuhan anak (apabila punya anak), mengenai pembagian harta gonogini, dan mengenai nafkah.

(13)

Pilihan-pilihan hukum yang dipilih oleh masyarakat dilakukan sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, yaitu pilihan-pilihan hukum yang dapat memberikan keuntungan bagi pihak-pihak tersebut. Perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq, malalui jalur kepala desa, dan Pengadilan Agama, pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam dan saling mempengaruhi.

(14)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Proses Penyelesaian Perceraian dalam Kemajemukan Hukum pada Masyarakat Jawa yang Beragama Islam”, yang disusun oleh Novita Yuni Ardiana .S., 2007. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 145 halaman, 10 tabel, dan 24 lampiran yang terdiri dari daftar istilah, pedoman pengumpulan data, peta, dan surat penelitian.

Penelitian ini mengkaji mengenai pilihan-pilihan hukum yang dipilih oleh masyarakat dalam proses penyelesaian perceraian. Berkembangnya zaman, tingkat pendidikan, dan pengetahuan serta perubahan hukum menyebabkan cara pandang masyarakat Jawa menjadi lebih maju. Kenyataannya, bahwa penyelesaian perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama Islam sudah mulai diselesaikan melalui jalur hukum formal selain hukum agama maupun hukum adat dalam suatu masyarakat.

Perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama Islam dikaji melalui pendekatan antropologi hukum, yang bertujuan melihat bagaimana hukum yang ideal dipersepsikan dan direspon oleh masyarakat dalam kenyataannya. Selain itu, melihat bagaimana reaksi dan tindakan pihak yang merasa dirugikan atas putusan perceraian. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kasus sengketa dengan pendekatan pluralisme hukum untuk menyelesaikan perceraian. Masalah perceraian dilihat mulai dari penyebab terjadinya perceraian, proses bergulirnya perceraian, dan langkah-langkah penyelesaian perceraian.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, bahwa perceraian yang terjadi pada masyarakat Jawa yang beragama Islam disebabkan oleh beberapa hal, dan penyelesaian perceraian itu melibatkan banyak pihak di dalamnya. Perselisihan yang terjadi di antara suami isteri mulai diselesaikan dengan jalur musyawarah. Musyawarah yang dilakukan apabila tidak berhasil mendamaikan pasangan suami isteri yang akan bercerai, maka dilakukan penyelesaian melalui jalur hukum agama dan jalur hukum formal, yaitu Pengadilan Agama.

Perceraian diselesaikan melalui berbagai macam cara sesuai dengan persepsi masyarakat. Ada 1 (satu) contoh kasus perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq, 2 (dua) kasus perceraian yang dilakukan dengan cara berpisah, 1 (satu) kasus perceraian yang diselesaikan melalui jalur kepala desa, dan ada 2 (dua) kasus perceraian yang diselesaikan di Pengadilan Agama. Masalah-masalah yang diakibatkan karena terjadinya perceraian adalah mengenai pengasuhan anak (apabila punya anak), mengenai pembagian harta gonogini, dan mengenai nafkah.

(15)

Pilihan-pilihan hukum yang dipilih oleh masyarakat dilakukan sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, yaitu pilihan-pilihan hukum yang dapat memberikan keuntungan bagi pihak-pihak tersebut. Perceraian yang dilakukan dengan cara thalaq, malalui jalur kepala desa, dan Pengadilan Agama, pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam dan saling mempengaruhi.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial yang

diciptakan oleh Sang Pencipta dengan diberikan perlengkapan rukun untuk dapat

hidup bersama dengan manusia lainnya dalam masyarakat, dan mengadakan

kegiatan tertentu yang di dalamnya terdapat berbagai jenis hubungan untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mempertahankan dan melangsungkan

hidupnya, manusia harus berhubungan satu sama lain walaupun dalam kedudukan

dan bentuk yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

Manusia selalu hidup dalam kebersamaan, sudah tentu antara seseorang

dengan orang lain tidak dapat terlepas begitu saja, melainkan di antara mereka

terdapat suatu jalinan hubungan sosial yang sangat berarti. Hubungan sosial

diartikan sebagai cara-cara individu, yang melakukan suatu reaksi terhadap

orang-orang di sekitarnya dan memahami bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap

dirinya, sehingga ia berusaha untuk berinteraksi dengan orang-orang yang ada di

sekelilingnya (E. Sitorus, dkk, 1997:75).

Hidup bersama dengan adanya hubungan sosial yang ada dalam

masyarakat, berarti, adanya suatu hubungan antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan. Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia

dengan jenis kelamin yang berlainan, yaitu seorang perempuan dan seorang

(17)

akan membentuk suatu kehidupan yang lebih mengikat, yaitu melalui adanya

hubungan perkawinan yang juga sering disebut dengan pernikahan.

Menurut Koentjaraningrat (1981:90), bila dipandang dari sudut

kebudayaan, bahwa perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang

bersangkutan dengan kehidupan seksnya, terutama persetubuhan. Perkawinan

menyebabkan bahwa seorang laki-laki tidak dapat bersetubuh dengan sembarang

wanita lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa wanita tertentu dalam

masyarakatnya.

Tujuan dari sebuah perkawinan adalah untuk memberi ketentuan hak dan

kewajiban serta perlindungan kepada hasil persetubuhan (anak-anak); memenuhi

kebutuhan manusia akan seorang teman hidup; memenuhi kebutuhan akan harta,

gengsi, dan naik kelas dalam masyarakat; serta memelihara hubungan baik antara

kelompok-kelompok kerabat tertentu. Koentjaraningrat (1980:105) selanjutnya

mengatakan, bahwa sepasang suami isteri menikah untuk membentuk sebuah

rumah tangga, yaitu yang akan mulai mengurus ekonomi rumah tangganya.

Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa hal bersetubuh merupakan faktor

pendorong yang penting untuk hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan, baik dengan keinginan mendapat anak keturunannya sendiri maupun

hanya untuk memenuhi hawa nafsu saja. Kemungkinan juga bahwa hidup bersama

antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dilakukan tanpa bersetubuh.

Menurut Prodjodikoro (1984:7), kekuatan untuk bersetubuh bukanlah

merupakan syarat untuk hidup bersama. Ini terbukti adanya kenyataan, bahwa

diperbolehkan suatu perkawinan di antara dua orang yang sudah sangat lanjut

(18)

extremis, yaitu perkawinan yang dilakukan pada waktu salah satu pihak sudah

hampir meninggal dunia.

Menurut Haviland (1988:77), perkawinan adalah suatu transaksi dan

kontrak yang sah dan resmi antara seorang wanita dengan seorang pria, yang

mengukuhkan hak mereka yang tetap untuk berhubungan seks satu sama lain, dan

yang menegaskan bahwa si wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat

untuk melahirkan anak.

Masing-masing orang yang melakukan perkawinan mempunyai suatu

harapan untuk memiliki sebuah rumah tangga yang bahagia. Kedudukan suami

dianggap sebagai kepala keluarga yang wajib memberikan segala sesuatu

keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya, sedangkan isteri

sebagai ibu rumah tangga yang membantu suami untuk mengurus rumah

tangganya agar tercipta hubungan yang bahagia (Supramono, 1998).

Membentuk sebuah rumah tangga baru melalui sebuah perkawinan, ada

kalanya sepasang kekasih harus terlebih dahulu mempersiapkan diri secara lahir

dan bathin, serta memikirkan resiko apa yang bakal terjadi. Hal ini dilakukan agar

tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangganya nanti, sebab

banyak rumah tangga di masa sekarang ini yang berantakan, dan itu disebabkan

oleh berbagai hal.

Ada berbagai macam cara yang dilakukan oleh seseorang untuk

melakukan suatu perkawinan. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai macam

sistem hukum yang mengatur mengenai masalah perkawinan, walaupun sistem

(19)

1974. Kenyataannya, bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan hukum

yang dipilih bagi seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinannya.

Selain hukum negara, ada pula hukum agama maupun hukum adat dalam

suatu masyarakat, yang dianggap mengikat oleh para warga pendukungnya.

Keadaan seperti ini menunjukkan, bahwa di Indonesia berlaku berbagai peraturan

hukum perkawinan untuk berbagai golongan warga negara dan untuk berbagai

daerah, misalnya pada masyarakat Jawa yang beragama Islam yang akan penulis

teliti di sebuah daerah, yaitu di desa Paluh Pakih Babussalam.

Pada masyarakat Jawa yang akan penulis teliti selanjutnya, yaitu di desa

Paluh Pakih Babussalam, diperkirakan melakukan perkawinannya melalui

berbagai pilihan hukum. Ada perkawinan yang dilakukan dengan cara sirri, atau

yang sering disebut kawin kampung oleh masyarakat desa Paluh Pakih

Babussalam.

Adapun perkawinan yang dilakukan dengan cara kawin sirri, yaitu

perkawinan yang memang dianggap sah apabila dilakukan secara hukum agama,

namun tidak dicatat di Kantor Urusan Agama. Selain itu, ada juga pihak-pihak

tertentu yang melangsungkan perkawinannya secara agama, yang kemudian

dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Kita mengetahui bahwa perkawinan yang

hanya dilaksanakan secara agama dianggap sebagai perkawinan yang sah, namun

perkawinan seperti ini merupakan perkawinan yang tidak diakui oleh negara.

Pada umumnya tujuan membentuk sebuah rumah tangga, yaitu untuk

memenuhi kewajiban yang sudah ditetapkan setiap agama; menghindari hal-hal

yang tidak diinginkan; memiliki teman hidup; memiliki keturunan, meneruskan

(20)

umumnya adalah membentuk rumah tangga yang bahagia dan utuh

selama-lamanya, tetapi hal ini tidak terlepas dari adanya kemungkinan terjadi perceraian

di antara suami isteri.

Kenyataannya ada pasangan suami isteri yang hidup berumah tangga tidak

selamanya apa yang diinginkan suami isteri itu berjalan dengan baik,

kemungkinan karena adanya suatu perselisihan di antara mereka. Adapun masalah

yang terjadi dalam sebuah rumah tangga, kemungkinan disebabkan oleh beberapa

hal, yaitu; pertama, masalah ekonomi, dimana keuangan dalam rumah tangganya

kurang mencukupi, sehingga kebutuhan rumah tangga sehari-hari tidak terpenuhi;

kedua, masing-masing pihak (suami/isteri) suka mabuk-mabukan dan berjudi,

bahkan selingkuh; ketiga, tidak memiliki keturunan (anak); dan keempat, adanya

campur tangan orang tua terhadap rumah tangga anak-anaknya.

Perselisihan di antara suami dan isteri dapat menyebabkan suatu

pertengkaran di antara suami isteri. Pertengkaran yang terjadi terus-menerus tanpa

ada titik penyelesaiannya juga bisa menyebabkan salah satu pasangan

(suami/isteri) tidak akan tahan untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga lagi

dengan pasangannya itu, sehingga kemungkinan jalan satu-satunya untuk

menyelesaikan masalah di antara suami dan isteri itu adalah dengan cara

perceraian.

Perceraian akan menyebabkan suami dan isteri menjadi hidup terpisah,

bahkan hubungan di antara pihak keluarga juga akan terputus. Akibatnya, bisa

berpengaruh pada psikologis masing-masing pasangan maupun anak-anak, dan

tentunya bisa menyebabkan masalah yang baru juga, misalnya timbulnya masalah

(21)

Menurut Prodjodikoro (1984:113), harta gonogini yang dimaksud dalam

hal ini adalah barang-barang yang menjadi milik bersama, yaitu yang diperoleh

bersama oleh suami dan isteri selama perkawinan berlangsung. Barang-barang

milik bersama suami dan isteri ini akan terpisah apabila suami dan isteri bercerai,

dan barang-barang yang merupakan milik bersama itu dibagi rata di antara kedua

belah pihak.

Menurut orang Jawa, apabila ingin berpisah dari pasangan hidupnya

(suami/isteri), dapat mengembalikan sejumlah atau lebih mas kawin pada saat

perkawinan terdahulu kepada orang yang akan diceraikan. Berdasarkan hukum

Islam, bahwa perceraian dapat terjadi dengan menjatuhkan thalaq oleh suami

terhadap isterinya, atau dapat juga melakukan perceraiannya di Pengadilan

Agama.

Ada berbagai cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk melaksanakan

suatu perkawinan, baik secara hukum negara, hukum agama, maupun hukum adat,

misalnya ada perkawinan yang disebut sirri atau kawin kampung. Hal ini juga

diduga terjadi pada pelaksanaan perceraian yang dilakukan oleh mayarakat,

bahwa ada berbagai cara yang dilakukan oleh mayarakat untuk melakukan

perceraiannya.

Berbagai macam cara yang dipilih oleh masyarakat dilakukan sesuai

dengan persepsi dan keinginan masyarakat tersebut. Perceraian dapat dilakukan

dengan cara cerai sirri atau yang disebut cerai kampung oleh masyarakat desa

Paluh Pakih Babussalam. Ada perceraian yang hanya dilakukan dan disaksikan

oleh dan kepala desa, meskipun terdapat juga pihak-pihak tertentu yang

(22)

Ada berbagai pilihan hukum yang ada dalam masyarakat untuk

menyelesaikan kasus perceraian, menunjukkan adanya alasan-alasan penting

untuk memilih jalur-jalur hukum yang dipilih oleh masyarakat Jawa yang

khususnya beragama Islam untuk menyelesaikan perceraian yang terjadi di antara

suami dan isteri itu.

Kasus perceraian yang akan terjadi di antara suami dan isteri dapat

diselesaikan dengan membicarakannya terlebih dahulu dalam musyawarah

keluarga. Musyawarah keluarga yang dilakukan yaitu dengan tujuan untuk

melakukan usaha perdamaian di antara suami dan isteri itu, tetapi musyawarah

keluarga seringkali tidak berhasil melakukan perdamaian di antara suami isteri itu,

sehingga proses penyelesaian perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama

Islam dapat ditempuh dengan memilih jalur-jalur hukum yang lain untuk

menyelesaikan perceraian itu.

Kasus perceraian yang terjadi di antara suami isteri ini akan membawa

salah satu pihak maupun masing-masing pihak melanjutkan usaha penyelesaian

perceraiannya di luar jalur kesepakatan bersama. Jalur yang ditempuh untuk

menyelesaikan masalah perceraian akan diajukan ke jalur pengadilan desa, yaitu

yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Pengadilan desa apabila tidak mampu

menghasilkan penyelesaian perceraian, dan karena keputusan yang ada dianggap

hanya menguntungkan salah satu pihak, maka dipilihlah jalur hukum lain untuk

menyelesaikannya. Jalur hukum yang dipilih kemudian bersifat lebih formal, yaitu

(23)

Proses penyelesaian perceraian melalui jalur Pengadilan Agama dilakukan

berdasarkan hukum agama Islam, namun pelaksanaannya sesuai dengan aturan

yang diatur berdasarkan hukum negara. Situasi ini menjelaskan bahwa proses

penyelesaian perceraian tidak lagi secara ketat diatur oleh agama saja, yaitu yang

bisa dilakukan hanya secara sepihak, yang justru menunjukkan tindakan sesuka

hati dari salah satu pihak untuk menceraikan pasangannya.

Pilihan-pilihan hukum untuk menyelesaikan kasus perceraian yang terjadi

pada masyarakat Jawa khususnya yang beragama Islam, dimaksudkan untuk

mencari penyelesaian yang memberi keuntungan bagi masing-masing pihak tanpa

ada tindakan sesuka hati oleh salah satu pihak yang dengan sengaja menceraikan

pasangannya. Hal ini dilakukan untuk melindungi haknya, misalnya dari

penyelewengan harta gonogini oleh salah satu pihak, yang seharusnya harta

gonogini itu harus dibagi rata, maupun masalah pengasuhan anak. Musyawarah

mufakat keluarga dan pengadilan desa dianggap tidak mampu menyelesaikan

masalah perceraian yang dapat memberikan keuntungan, maka hukum negara

dipilih oleh pihak-pihak tertentu yang mempunyai persepsi tersendiri dan

kepedulian terhadap sahnya perceraian yang dilakukan.

Menurut Griffiths (dalam Liria Tjahaja, 2000), banyaknya pilihan hukum

yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyelesaikan suatu masalah,

seperti yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang akan diteliti dalam

menyelesaikan perceraiannya, disebut dengan istilah pluralisme hukum. Situasi ini

ditandai dengan adanya lebih dari satu sistem hukum dalam suatu arena sosial

untuk dapat dijadikan pegangan dalam menyelesaikan suatu sengketa dan

(24)

juga digunakan oleh masyarakat Jawa yang khususnya beragama Islam dalam

menyelesaikan kasus perceraian yang terjadi di antara suami isteri yang telah

diuraikan sebelumnya.

1.2.Perumusan Masalah

Masyarakat Jawa menganut prinsip keturunan bilateral, yaitu yang

memperhitungkan melalui garis keturunan laki-laki dan perempuan. Artinya,

bahwa dalam sebuah rumah tangga tidak ada perbedaan kedudukan di antara

suami isteri. Si suami telah menjadi anggota keluarga si isteri, dan si isteri juga

menjadi anggota keluarga si suami.

Menurut Prodjodikoro (1984:19), pada suatu perkawinan dalam

kekeluargaan yang bersifat bilateral, hakekatnya suami dan isteri selama

perkawinan berlangsung, berkedudukan sama, baik dalam mengasuh dan

mendidik anak, dan mengenai harta benda masing-masing maupun harta benda

milik bersama (gonogini).

Perkawinan dilakukan melalui berbagai pilihan hukum, baik hukum

negara, hukum agama, maupun hukum adat dalam suatu masyarakat. Tujuan dari

sebuah perkawinan umumnya untuk memiliki teman hidup, memiliki keturunan,

meneruskan ekonomi keluarga, serta mencari perlindungan, yang pada akhirnya

diharapkan sebuah rumah tangga yang bahagia, namun ada kemungkinan akan

terjadi suatu perselisihan di antara suami dan isteri yang dapat menyebabkan

(25)

Idealnya hukum yang mengatur tentang perceraian pada masyarakat

dimana pun adalah hukum negara, tetapi secara aktual terlihat adanya perubahan

untuk memilih hukum yang diinginkan. Ada pihak-pihak tertentu yang

menyelesaikan perceraiannya melalui hukum negara, hukum agama maupun

hukum adat, yang dianggap mengikat para warga pendukungnya. Perceraian juga

bisa diselesaikan dengan dua sistem hukum yang berinteraksi dan saling

mempengaruhi, seperti hukum adat dengan hukum agama atau pun hukum agama

dengan hukum negara. Hal ini menunjukkan adanya situasi yang disebut dengan

pluralisme hukum.

Adapun perceraian yang dimaksud dilihat sebagaimana konsepsi

perceraian yang terjadi pada masyarakat yang khususnya beragama Islam, yaitu

putusnya hubungan (ikatan) suami isteri, baik atas keputusan suami (thalaq)

maupun keputusan isteri (fasakh). Putusnya hubungan suami isteri dapat dilihat

sebagai thalaq satu, thalaq dua, dan thalaq tiga yang dijatuhkan oleh suami

terhadap isterinya atau atas dasar putusan dari Pengadilan Agama dengan tujuan

untuk bercerai. Putusnya hubungan suami isteri dapat dilihat sebagai fasakh

apabila perceraian atas permintaan isteri melalui Pengadilan Agama, yang

pelaksanaannya dilakukan berdasarkan hukum agama Islam.

Menurut Latif (1985:40), thalaq satu yang dimaksud adalah ucapan atau

kata-kata yang pertama sekali dari seorang suami kepada isterinya, baik secara

jelas maupun secara sindiran dengan maksud melepaskan isterinya dari ikatan

perkawinan. Thalaq dua adalah ucapan atau kata-kata seorang suami kepada

isterinya, baik secara jelas maupun secara sindiran dengan maksud melepaskan

(26)

thalaq satu. Thalaq tiga merupakan ucapan atau kata-kata seorang suami kepada

isterinya, baik secara jelas maupun secara sindiran dengan maksud melepaskan

isterinya dari ikatan perkawinan setelah menjatuhkan thalaq atau pernah rujuk dari

thalaq satu dan thalaq dua.

Berdasarkan uraian latar belakang, maka penelitian ini dimaksudkan untuk

menjelaskan:

1. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian, dan apakah ada

hubungannya dengan pilihan-pilihan hukum dalam menyelesaikannya?

2. Bagaimana situasi adanya pluralisme hukum dalam menyelesaikan

perceraian pada masyarakat Jawa yang khususnya beragama Islam?

1.3.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Paluh Pakih Babussalam, kecamatan

Batang Serangan, kabupaten Langkat. Alasan pemilihan lokasi di desa ini karena

berdasarkan informasi yang penulis terima, yaitu dari kepala desa setempat,

bahwa desa ini masih terdapat kasus perceraian yang telah menempuh jalur cerai

sirri atau cerai kampung, atau melalui jalur hukum negara (Pengadilan Agama).

Desa Paluh Pakih Babussalam juga merupakan salah satu daerah yang berada di

wilayah perkebunan dan jauh dari kota, sehingga masih dianggap merupakan desa

yang terpencil, serta penduduknya mayoritas beretnis Jawa dan beragama Islam.

Penelitian ini menggunakan data dari Pengadilan Agama Stabat untuk

menemukan kasus perceraian, kemudian mendatangi pihak-pihak yang bercerai

dan menjadikannya sebagai informan. Penulis juga ingin mencari pihak-pihak

(27)

anak, karena penulis ingin mengetahui bagaimana cara pihak-pihak tersebut

membagi harta gonogini dan pihak mana yang berhak untuk mengasuh anak-anak

hasil perkawinannya.

Pencarian informan supaya lebih mudah, penulis meminta bantuan dari

pihak keluarga, karena keluarga penulis sering datang ke desa Paluh Pakih

Babussalam dan mengenal masyarakat sekitar. Berdasarkan informasi dari pihak

keluarga, kemudian penulis mendatangi desa itu dan menjumpai

informan-informan.

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menjelaskan mengenai

pilihan-pilihan hukum dalam menyelesaikan kasus perceraian pada masyarakat Jawa,

khususnya yang beragama Islam. Selain itu, secara akademis bahwa hasil

penelitian ini merupakan bahan untuk menyusun skripsi guna memperoleh gelar

sarjana program Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di

Universitas Sumatera Utara Medan.

Secara umum penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam

menambah masukan bagi penelitian selanjutnya yang ingin meneliti tentang

proses penyelesaian perceraian, dan juga menambah kepustakaan Antropologi,

khususnya dalam bidang Antropologi Hukum, yaitu mengenai perceraian yang

(28)

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan

dalam mengatasi kasus-kasus perceraian perceraian dan dapat memberikan

pengetahuan pada masyarakat mengenai pilihan-pilihan hukum yang dikaitkan

dengan pluralisme hukum yang ada di Indonesia dalam menyelesaikan

perceraiannya.

1.5.Tinjauan Pustaka

Pada masyarakat dimana pun sebenarnya banyak permasalahan yang

diselesaikan sendiri oleh orang yang bersangkutan dan dengan bantuan-bantuan

dari pihak-pihak yang ada di sekitarnya. Proses penyelesaian suatu masalah

terutama di daerah pedesaan sering terdapat beberapa tokoh yang diakui

pengaruhnya oleh orang-orang di sekitarnya, dan mempunyai peranan yang lebih

penting dibandingkan dengan orang lain.

Menurut T. O. Irohmi (2000:7), beberapa tokoh masyarakat merupakan

pemimpin yang diakui oleh masyarakat setempat sebagai juru bicara, yang dapat

menyuarakan aturan-aturan yang berlaku, sehingga dapat mengukur sampai

seberapa jauh terjadi pelanggaran terhadap aturan-aturan itu dan apa yang harus

diwajibkan kepada pelanggar, supaya yang telah dilanggar itu dapat diluruskan

kembali. Irohmi (dalam Irianto, 2005:46-47) selanjutnya mengatakan, bahwa

permasalahan yang ada di suatu desa dapat diselesaikan dengan menggunakan

musyawarah keluarga, hukum adat, atau pengadilan desa yang dipimpin oleh

seorang kepala desa, maupun dengan menggunakan pengadilan, yaitu melalui

(29)

Kawin sirri dikenal juga dengan istilah perkawinan bawah tangan, yaitu

perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat-istiadat, dan tidak

dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA) bagi yang beragama Islam,

kantor catatan sipil bagi non-Islam. Sistem hukum tidak mengenal kawin sirri,

meskipun secara agama atau adat-istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang

dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan

hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum (http://www.solusihukum.com).

Hukum Islam tidak mengenal nikah sirri, yang ada ialah nikah sir/sirron.

Nikah sir tersebut berarti nikah secara diam-diam atau rahasia, tidak diketahui

oleh wali dan dua orang saksi, bahkan orang lain pun tidak mengetahuinya.

Menurut hukum Islam, bahwa pernikahan itu harus diketahui oleh orang lain,

terutama harus ada wali dan dua orang saksi (http://bluejazzy.blogspot.com).

Istilah nikah sirri sering digunakan masyarakat, tetapi bentuk dan

pengertiannya berbeda-beda. Menurut perundang-undangan negara kita tentang

perkawinan, bahwa syarat perkawinan antara lain harus ada wali nikah dan dua

orang saksi. Nikah sir adalah tidak sah, walaupun antara pria dan wanita tersebut

suka sama suka dan saling mencintai. Menikah sirri adalah sebuah pernikahan

yang sah dengan wali dan dua orang saksi, namun hanya kalangan terbatas saja

yang diberitahukan, hanya pernikahan seperti ini tidak dianjurkan dalam Islam

karena bersifat rahasia (http://bluejazzy.blogspot.com).

Pernikahan yang dilaksanakan walaupun tidak dirahasiakan, tetap

dikatakan sebagai pernikahan sirri selama belum didaftarkan secara resmi ke

KUA. Nikah sirri dikenal juga dengan istilah nikah bawah tangan yaitu nikah

(30)

akad ini dua saksi, wali, dan kedua mempelai diminta untuk merahasiakan

pernikahan itu, dan tidak seorang pun dari mereka diperbolehkan menceritakan

akad tersebut kepada orang lain. Mengenai hukum pernikahan yang dirahasiakan,

menurut Imam Malik, pernikahan yang seperti itu batal, sebab pernikahan itu

wajib diumumkan kepada masyarakat luas. Menurut pendapat Imam Syafi’I dan

Imam Abu Hanifah, bahawa nikah sirri hukumnya sah, tetapi makruh dilakukan

(http://erryriyadi.blogspot.com).

Menurut Jaenudin (dalam Mubarok, 2004:74), istilah “proses” yang

dimaksudkan pada penyelesaian suatu perkara adalah kegiatan yang dilaksanakan

secara beruntun dan susul-menyusul. Artinya, apabila suatu pekerjaan selesai

dilakukan langsung diikuti dengan melakukan pekerjaan sampai titik akhir. Proses

itu sendiri meliputi enam hal, yaitu menghimpun, mencatat, mengolah,

menggandakan, mengirim, dan menyimpan, sehingga suatu masalah dapat

diselesaikan berdasarkan urutan kejadiannya.

Menurut Irianto (2005:55), bahwa istilah “proses”, berarti berlangsungnya

suatu masalah yang terjadi dari awal sampai akhir permasalahan tersebut dan

penyelesaian masalah yang dilakukan tidak selalu mulus, kadang-kadang terjadi

ketegangan, bahkan hasilnya pun tidak selalu jelas, sehingga permasalahan masih

kelihatan tidak terselesaikan atau mengambang.

Dikaitkan dengan kasus perceraian, bahwa proses penyelesaian perceraian

yang terjadi dalam suatu masyarakat tidak selamanya dapat diselesaikan dengan

begitu mudahnya, tetapi masih banyak persoalan yang akan ditimbulkan dari

(31)

pembagian harta gonogini, meskipun ikatan di antara suami dan isteri itu sudah

diputuskan dan diselesaikan.

Menurut Jofizham (1977:309), bahwa berdasarkan hukum Islam, seorang

laki-laki yang hendak menceraikan isterinya dapat mengucapkan thalaq. Ia apabila

masih mengucapkan thalaq sebanyak dua kali, ia masih bisa rujuk dengan

isterinya dalam iddah, tetapi jika ia sudah mengucapkannya sebanyak tiga kali, ia

tidak dapat mengawini isterinya lagi. Ia harus melakukan perkawinan baru

berdasarkan hukum Islam atau melaporkannya ke Kantor Urusan Agama. Hal ini

dikarenakan seorang suami hanya dibatasi sebanyak tiga kali thalaq dengan tujuan

untuk menceraikan isterinya, setelah menjatuhkan tiga kali thalaq, ia harus

melakukan pernikahan baru.

Menurut Nani Soewondo dan Soerasno (1955), bahwa menjatuhkan thalaq

oleh suami kepada isteri dapat diikuti dengan adanya rujuk kembali dengan

isterinya itu tanpa harus melalui sidang pengadilan. Perceraian yang juga akan

terjadi di antara suami isteri dapat dilakukan terlebih dahulu dengan cara

memberitahukannya kepada pihak keluarga dan kepala desa untuk menjadi saksi,

yaitu seseorang yang bertanggung jawab terhadap warganya.

Menurut Latif (1985:40), perkataan “thalaq” berasal dari kata thallaqa,

yang berarti melepaskan atau membebaskan isteri dari ikatan perkawinan dengan

maksud untuk menceraikannya. Menjatuhkan thalaq oleh suami dapat berarti

menceraikan isteri. Perceraian atas permintaan isteri dapat terjadi dengan fasakh,

yang berarti melaporkan suatu perkara kepada pemerintah (pemerintah yang

(32)

Menjatuhkan thalaq dengan tujuan melakukan perceraian juga harus

memperhatikan dan memahami hukum thalaq tersebut. Adapun hukum thalaq

yang berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam, yaitu:

a. Wajib, yaitu thalaq dapat dilakukan bila ada perselisihan yang terjadi

secara terus-menerus di antara suami isteri tanpa ada titik perdamaian

maka thalaq pun dijatuhkan. Artinya, bahwa apabila thalaq dilakukan

ia berpahala, tetapi jika tidak dilakukan ia berdosa.

b. Sunat, artinya bahwa apabila thalaq dilakukan ia bisa berpahala, tetapi

jika tidak dilakukan ia tidak berdosa, misalnya thalaq dilakukan

apabila ada sebab buruknya perbuatan isteri yang tidak menjaga

kehormatannya.

c. Mubah, yaitu thalaq dilakukan ketika suami isteri sepakat untuk

bercerai, mungkin karena keduanya telah merasa tidak dapat

melanjutkan kehidupan perkawinan mereka lagi.

d. Makruh, yaitu apabila thalaq dilakukan ia tidak berdosa, tetapi jika

tidak dilakukan ia berpahala (Latif, 1985:49-50).

e. Haram, yaitu apabila menjatuhkan thalaq ketika isteri dalam keadaan

haid atau hamil, atau menjatuhkan thalaq kepada isteri tanpa ada sebab

apa-apa, sehingga apabila thalaq dilakukan ia berdosa, tetapi bila tidak

dilakukan ia berpahala (Latif, 1985:49-50).

Soimin (2002) mengatakan, bahwa pada hakekatnya suami menjatuhkan

thalaq satu dan thalaq dua kepada isterinya bertujuan untuk memberi peringatan

dan memberi kesempatan baginya untuk memperbaiki diri. Keadaan apabila

(33)

suami yang menjatuhkan thalaq kepada isterinya sering terjadi disebabkan emosi

yang tidak terkendalikan tanpa mempertimbangkan akibatnya di kemudian hari.

Sebagian isteri yang dijatuhkan thalaq oleh suaminya, mereka dirujuki atau

dikawini kembali, namun ada juga sebagian isteri yang dibiarkan begitu saja tanpa

ada penyelesaian, sedangkan mantan suami menikah lagi dengan wanita lain.

Menurut Prawirohamidjojo (1982:127), bahwa perceraian berbeda halnya

dengan perpisahan ranjang atau tempat tidur, yang di dalamnya tidak terdapat

perselisihan di antara suami isteri, karena perpisahan yang dimaksud hanya untuk

sementara. Perceraian yang dimaksud adalah perselisihan di antara suami isteri,

oleh karena salah satu pihak berbuat sesuatu yang menyebabkan hubungan rumah

tangga menjadi goyang, dan pada akhirnya hubungan dengan pihak keluarga dari

suami dan pihak keluarga dari isteri terputus.

Hadikusuma (1992:92) mengatakan, bahwa kata “cerai” berarti “pisah”,

sehingga kata “bercerai” berarti tidak bercampur lagi, dimana kedudukan sebagai

suami dan kedudukan sebagai isteri (yang dalam bahasa Jawa disebut laki dan

bini) sudah berhenti. Perceraian berarti perpisahan di antara suami dan isteri yang

tidak mampu untuk mempertahankan keutuhan rumah tangganya, sehingga suami

dan isteri itu saling hidup sendiri-sendiri tanpa ada ikatan perkawinan lagi di

antara mereka.

Berdasarkan hukum negara yang tertulis dalam Pasal 38 Ayat (1)

Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 menyatakan, bahwa perceraian terjadi oleh

karena terputusnya suatu perkawinan antara suami isteri, sesudah adanya putusan

dari sidang pengadilan. Artinya, bahwa perceraian bukanlah adanya perpisahan

(34)

di antara suami isteri, melainkan putusnya perkawinan antara suami isteri yang

dilaksanakan di depan sidang pengadilan setelah adanya putusan dari pihak

pengadilan.

Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 mengatakan

bahwa :

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

mendamaikan kedua belah pihak;

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara

suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri;

(3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan

perundangan tersendiri.

Pada ketentuan yang termuat di dalam Pasal 39 tersebut di atas, khususnya

Ayat (2), penjelasan atas Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 lebih

lanjut menyebutkan, bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan sebagai alasan

dasar untuk perceraian adalah:

a. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, penjudi, dan

sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan tempat tinggal dengan sengaja (selama

dua tahun) berturut-turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan

yang sah karena hal lain di luar kemauannya.

c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atas penganiayaan berat yang

(35)

d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri, misalnya

mandul atau impoten.

e. Suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran,

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Ketentuan dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975

menjelaskan, bahwa seorang suami yang telah melangsungkan perkawinannya

menurut agama Islam dan yang akan menceraikan isterinya, harus mengajukan

surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, dimana surat tersebut berisi

pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan

alasan-alasan, dan meminta Pengadilan Agama mengadakan sidang untuk keperluan

tersebut.

Pasal 15 dan 16 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menentukan,

bahwa Pengadilan Agama hanya memutuskan dan mengadakan sidang pengadilan

dan meneliti serta berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah

berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, namun tidak berhasil, maka

perceraian akan sah dilakukan setelah adanya putusan dari pengadilan.

Menurut Pasal 17 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 menyatakan,

bahwa ketua pengadilan hanya membuat surat keterangan saja atas telah

terjadinya perceraian, dan surat keterangan tersebut dikirim kepada pegawai

pencatat di tempat perceraian itu dilaksanakan untuk diadakan pencatatan, oleh

karena itu seorang suami tidak dapat mengajukan surat gugatan perceraian kepada

Pengadilan Agama, tetapi ia dapat mengajukan surat pemberitahuan dengan

(36)

No. 9 Tahun 1975 menentukan, bahwa perceraian hanya dapat terjadi dan

dinyatakan di depan sidang pengadilan, yaitu suami menjatuhkan thalaq kepada

isterinya di depan sidang pengadilan.

Ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, antara lain diatur

dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41, dan dalam Peraturan Pemerintah No. 9

Tahun 1975 dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 36, berisi bahwa perceraian

diatur dengan cara cerai thalaq. Perceraian dapat terjadi atas dasar cara tersebut,

yang pelaksanaannya diatur dalam perkawinan menurut agama Islam, dan yang

akan menceraikan isterinya dapat mengajukan surat kepada Pengadilan Agama di

tempat tinggalnya. Surat tersebut disertai dengan alasan-alasan serta meminta

kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan perceraian itu.

Keputusan Mahkamah Agung No. 1335 K/Pid/1985, telah menolak

seseorang yang menceraikan pasangannya (suami/isteri) secara agama Islam di

hadapan kepala dusun dengan saksi dari pejabat-pejabat setempat, dengan

pertimbangan bahwa perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan adalah

tidak sah dan dianggap perceraian liar, yaitu perceraian yang tidak mematuhi

aturan-aturan hukum yang berlaku. Perceraian yang dilakukan di luar pengadilan

meskipun dilakukan secara agama Islam tidak mengakibatkan putusnya

perkawinan, sehingga ditinjau dari segi hukum status perkawinannya masih tetap

dianggap utuh.

Gugatan perceraian yang perkawinannya tidak dicatat di dalam Pengadilan

Agama, menurut Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa No. 8/Pdt/G/1993/PN

Sungg., bahwa gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima dengan

(37)

mengindahkan tata cara perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,

sehingga gugatan penggugat dipandang tidak berlandaskan hukum (Gatot

Supramono, 1998).

Menurut Keebet von Benda-Beckmann (dalam Liria Tjahaja, 2000),

bahwa suatu hukum yang berlaku di dalam kehidupan sosial masyarakat yang

dilihat pertama-tama bukanlah apa yang menjadi aturannya, melainkan proses dari

pelaksanaan hukum tersebut, sehingga berbagai macam masalah yang muncul ke

permukaan, seperti masalah perkawinan dan perceraian juga bisa terlihat

bagaimana bermacam-macam sistem hukum yang ada saling berinteraksi.

Di berbagai daerah terdapat berbagai cara untuk melakukan dan

mensahkan suatu perceraian. Hal ini dikarenakan begitu banyak hukum yang

berlaku di dalam masyarakat, sehingga setiap pasangan yang akan bercerai akan

memilih salah satu bahkan lebih cara dari beberapa aturan hukum yang ada.

Sally F. Moore (dalam Liria Tjahaja 2000:109-110) mengemukakan,

bahwa seluruh aneka norma/aturan yang muncul dari individu/masyarakat tertentu

dapat berfungsi sebagaimana halnya dengan hukum. Moore melihat bahwa

pluralisme hukum dapat terjadi karena adanya kenyataan bahwa warga suatu

masyarakat sebagai individu berada dalam beberapa arena interaksi sosial, yang

masing-masing memiliki norma-normanya sendiri, sehingga individu yang

bersangkutan dituntut untuk mengikuti norma tersebut. Aneka jenis pengaturan

yang ada dalam masyarakat tidak semuanya berstatus hukum, namun sering

dihayati sebagai sesuatu yang mengikat dan tidak kalah pentingnya dengan norma

(38)

Menurut Achadiat (dalam Irohmi, 1993), proses pengesahan perkawinan

selalu menunjukkan gejala yang dikenal dalam Antropologi, sebagai gejala

pluralisme hukum. Keadaan ini dimungkinkan karena sifatnya yang kompleks dari

kehidupan manusia itu sendiri, karena manusia itu tidaklah melulu hanya

merupakan bagian dari kehidupan kebudayaannya, baik kebudayaan etnis atau

suku bangsanya, kebudayaan daerah, kebudayaan agama, dan dalam kehidupan

sosialnya. Hal ini dapat dikaitkan dengan masalah perceraian, dimana masyarakat

dapat menggunakan salah satu hukum atau aturan tertentu selain hukum negara

yang ada di dalam kehidupan sosialnya.

Pluralisme hukum adalah situasi dimana ada dua atau lebih hukum yang

saling berinteraksi atau saling mempengaruhi, tetapi hukum negara merupakan

hukum dominan yang akan menentukan apakah hukum atau kebiasaan lain dapat

berlaku untuk semua penduduk atau tidak. Griffiths berpendapat bahwa

pluralisme hukum adalah lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu kehidupan

sosial, dalam hal ini Griffiths memiliki gagasan mengenai weak legal pluralism

dan strong legal pluralism. Weak legal pluralism menunjukkan suatu kenyataan

bahwa dari berbagai macam sistem hukum yang berlaku, pada akhirnya hukum

negara yang paling dominan dan mempengaruhi. Strong legal pluralism

menunjukkan suatu kenyataan bahwa sistem hukum yang paling kuat dan

dominan adalah norma-norma yang muncul dari kepentingan-kepentingan

pribadi/kelompok dan berhadapan dengan kondisi hidup sosial masyarakat yang

terus berubah, selain bisa ditentukan juga oleh kebiasaan-kebiasaan kelompok

budaya, dimana seorang pribadi/kelompok tumbuh dan dididik (Irianto dalam

(39)

Penyelesaian terhadap suatu masalah dimana pun, termasuk kasus

perceraian, selalu menunjukkan gejala pluralisme hukum. Hal ini disebabkan

karena sifat yang kompleks dari kehidupan manusia. Manusia bukan merupakan

bagian dari suku bangsanya saja, melainkan juga merupakan bagian dari

negaranya dengan berbagai aturan hukum yang berlaku, yaitu yang digunakan

sebagai alat untuk memperoleh hak-haknya, termasuk di dalamnya mengenai

pengasuhan anak dan pembagian harta gonogini.

1.6.Metode penelitian

1.6.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif,

yaitu yang bertujuan untuk menjelaskan secara terperinci bagaimana

pilihan-pilihan hukum dan proses penyelesaian perceraian pada masyarakat Jawa yang

beragama Islam di dalam pluralisme hukum. Metode penelitian kualitatif yang

bersifat deskriptif dipergunakan untuk mendapatkan gambaran yang mendalam

tentang pilihan hukum yang dipilih masyarakat Jawa, khususnya yang beragama

Islam dalam menyelesaikan kasus perceraiannya.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian antropologi hukum,

yaitu metode kasus sengketa, yang digunakan untuk melihat bagaimana

bergulirnya suatu perkara. Metode tersebut dilaksanakan dengan melihat tiga

tahap dalam proses berperkara menurut Nader dan Todd (dalam Irianto 2005),

yaitu:

1. Tahap pra-konflik atau tahap keluhan, dimana salah satu pihak

(40)

pra-konflik ini akan dilihat bagaimana adanya keluhan-keluhan yang akan

menyebabkan perceraian itu muncul.

2. Tahap konflik, dimana terdapat dua pihak yang saling berselisih. Pada

tahap ini akan dilihat bagaimana pihak yang merasa benar dan pihak

yang disalahkan dalam menghadapi perceraian.

3. Tahap bergulirnya sengketa/perkara, dimana terdapat pihak ketiga

karena pengaduan dari salah satu pihak yang berperkara. Pada tahap ini

dapat dilihat pihak mana yang meminta keterlibatan pihak ketiga

dalam menyelesaikan kasusnya, dan bagaimana bentuk keterlibatan

pihak ketiga tersebut dan pihak-pihak mana saja yang dipilih menjadi

pihak ketiga dalam penyelesaian kasus perceraian itu.

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data tentang pluralisme hukum ini dilakukan pada etnis

Jawa yang beragama Islam di desa Paluh Pakih Babussalam, kecamatan Batang

Serangan, kabupaten Langkat. Data yang diperlukan dikumpulkan dengan

melakukan pendekatan terhadap informan yang terlibat dalam kasus perceraian.

Dilakukan juga rekonstruksi tentang situasi perkara perceraian mulai dari awal

sampai proses penyelesaiannya, yang diperkuat dengan adanya

keterangan-keterangan dari informan yang terlibat perkara. Untuk memperkuat data yang ada,

dilakukan pencarian dan pencatatan data melalui dokumen-dokumen dari

Pengadilan Agama Stabat, kantor kepala desa Paluh Pakih Babussalam,

(41)

Pengamatan dilakukan dengan cara melihat bagaimana sikap dan reaksi

para informan ketika penulis berusaha untuk melakukan wawancara dengan

mereka, apakah mereka merasa gelisah atau tidak saat mengahadapi dan

menjawab pertanyaan-pertanyaan dari penulis. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan

oleh masyarakat juga menjadi fokus pengamatan bagi penulis selama melakukan

penelitian.

Pengamatan juga dilakukan terhadap hubungan antara pihak-pihak yang

terlibat kasus perceraian, yaitu; hubungan antara mantan isteri dengan mantan

suami, apabila mereka masih berada dalam satu desa yang sama; hubungan antara

mantan isteri dengan anak-anak hasil perkawinannya dengan mantan suami;

hubungan antara mantan suami dengan anak-anak hasil perkawinannya dengan

mantan isteri; hubungan antara mantan isteri dengan pihak keluarga mantan

suami; hubungan antara mantan suami dengan pihak keluarga mantan isteri; atau

hubungan mantan isteri/mantan suami dengan pasangan perkawinannya yang baru

(bila sudah menikah lagi), karena ada di antara pihak-pihak yang sudah bercerai

yaitu mantan suami dan mantan isteri berada dalam satu desa dan bahkan

terkadang masih tinggal bersama meskipun sudah resmi bercerai.

Wawancara dalam penelitian ini merupakan hal yang sangat penting dalam

memperoleh informasi yang diperlukan untuk penelitian. Wawancara mendalam

dilakukan terhadap kepala desa Paluh Pakih Babussalam, tokoh masyararakat

(penghulu), pihak-pihak yang pernah melakukan perceraian, dan orang-orang

sekitar yang mengetahui perceraian itu, misalnya yang pernah menjadi saksi

(42)

Wawancara dilakukan pada informan pangkal, yaitu kepala desa yang ada

di desa Paluh Pakih Babussalam. Dari informan pangkal akan didapat data-data

atau keterangan mengenai kasus-kasus perceraian dan pihak-pihak yang terlibat

dalam perceraian itu.

Informan kunci yaitu pihak-pihak yang pernah melakukan perceraian.

Kriteria pertama, yaitu yang bercerai dengan cara thalaq; ada unsur kesepakatan

bersama atau dengan cara berpisah; ada yang melalui jalur kepala desa di

pengadilan desa yang disebut dengan cerai kampung; dan melalui jalur hukum

formal (Pengadilan Agama), yang pelaksanaan jalur hukum itu dilakukan

berdasarkan hukum agama Islam. Penulis tidak memperhitungkan umur atau lama

perkawinan dan golongan sosial tertentu.

Wawancara juga dilakukan terhadap informan biasa, yaitu masyarakat atau

orang-orang sekitar yang mengetahui kasus perceraian, bahkan yang pernah

menjadi saksi dalam sidang perceraian. Pemilihan informan biasa ini diperoleh

dengan cara melakukan wawancara terlebih dahulu dengan pihak-pihak yang

pernah bercerai, maka dari pihak-pihak tersebut akan ditanya siapa-siapa saja

yang pernah menjadi saksi dari atau yang tahu bahwa ada perceraian terhadap

suatu pasangan suami isteri.

Penulis sebelumnya pernah mengajukan proposal mengenai kehidupan

remaja desa yang mengikuti gaya hidup remaja kota kepada dosen penasehat

akademik, namun penulis lebih tertarik mengkaji masalah perceraian. Pada saat

itu ada sebagian anggota kerabat penulis yang pernah menikah dan mempunyai

(43)

suaminya itu tidak pernah datang dan penulis sendiri tidak mengetahui bagaimana

keadaan rumah tangga mereka yang sebenarnya.

Penulis juga semakin bingung ketika melihat beberapa pasangan suami

isteri dari anggota kerabat penulis berulang kali tukar pasangan. Artinya, penulis

mengenal suami pertama mereka, namun beberapa tahun kemudian pasangan

mereka berganti. Tidak tahu kapan mereka menikah lagi dan tidak tahu pula kapan

mereka bercerai.

Penulis mencoba bertanya kepada orang tua penulis mengenai masalah itu.

Penulis bertanya mengenai masalah kapan dan bagaimana cara mereka menikah,

bagaimana pula bisa bercerai. Alangkah terkejutnya ketika penulis mendengar

jawaban dari orang tua penulis:

Gak tau kapan mereka nikah, kayak ecek-ecek aja. Kawin-kawin gitu

ajanya. Kawin kampunglah kali. Cerenya pun cere-cere gitu aja, orang kawinnya kawin kampug, yah cerenya cere kampunglah. Kalo si “X” pisah-pisah gitunya cerenya. Manada suratnya”.

Rasa penasaran penulis semakin bertambah, kemudian penulis mencoba

bertanya-tanya sedikit mengenai perkawinan dan perceraian kepada yang

bersangkutan. Ia tidak malu-malu lagi untuk menjawab, karena penulis juga

merupakan anggota kerabatnya, dan penulis berusaha menggali semua mengenai

masalah ini, sampai penulis sudah memiliki keterangan-keterangan mengenai

perkawinan dan perceraian yang mereka lakukan.

Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk lebih tertarik meneliti

mengenai perceraian yang dilakukan secara cerai kampung atau melalui kepala

desa, dan Pengadilan Agama, karena itu penulis juga mengajukan judul “proses

penyelesaian perceraian pada masyarakat Jawa yang beragama Islam dalam

(44)

tantangan bagi penulis, karena masyarakat yang penulis terliti adalah masyarakat

yang berbeda suku dan agama dengan penulis, namun penulis berusaha untuk

melakukan penelitian dengan sebaik-baiknya.

Penulis sering mendatangi desa Paluh Pakih Babussalam, yaitu sebelum

penulis mengajukan judul mengenai perceraian. Berdasarkan pengamatan penulis

ketika penulis berada di desa Paluh Pakih Babussalam, ternyata penulis melihat

ada beberapa pihak yang penulis kenal memiliki isteri pertama, isteri kedua,

bahkan isteri ketiga. Pada saat itu penulis tidak memiliki niat untuk melakukan

pertanyaan apa pun tentang rumah tangga mereka, tetapi penulis semakin

penasaran.

Penulis kemudian bertanya pada orang tua penulis sendiri yang juga telah

mengetahui keadaan desa Paluh Pakih Babussalam. Dari keterangan orang tua

penulis, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang memiliki isteri lebih dari satu,

bahkan ada yang sudah bercerai hanya secara cerai kampung maupun di

Pengadilan Agama, karena desa itu terkenal dengan orang yang suka merantau.

Penulis mulai tertarik ingin mengajukan pertanyaan kepada pihak-pihak yang

pernah bercerai, yaitu pihak-pihak yang sudah penulis kenal.

Penelitian ini selanjutnya dilakukan lebih mendalam pada pertengahan

tahun 2007, yaitu setelah penulis melaksanakan ujian proposal. Penulis memulai

penelitian dengan cara kunjungan yang seperti biasa dilakukan penulis di desa

Paluh Pakih Babussalam. Penulis sudah sering datang ke desa itu, sehingga ada

sebagian penduduk yang sudah mengenal penulis, begitu juga dengan kepala

desanya. Tanpa ada surat lapangan ke kantor kepala desa Paluh Pakih

(45)

daerah itu dan meminta catatan mengenai pihak-pihak yang terlibat perceraian,

meskipun penulis sudah mendapat keterangan dari beberapa informan sebelum

melakukan penelitian yang sesungguhnya. Alhasil, kepala desa memberikan izin

kepada penulis untuk melakukan penelitian dan memberikan data-data mengenai

kasus perceraian.

Beberapa hari kemudian penulis mendatangi pihak-pihak yang terlibat

perceraian, yaitu orang-orang yang belum penulis kenal sebelumnya. Penulis

sangat gugup karena merasa takut bahwa pertanyaan yang diajukan kemungkinan

akan menyinggung perasaan pihak-pihak tersebut, oleh karena itu penulis

meminta bantuan dari orang tua penulis untuk menemani penulis melakukan

wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat perceraian itu.

Saya sebelum memulai pertanyaan kepada pihak-pihak tertentu mengenai

perceraian, orang tua saya menyapa pihak-pihak tersebut karena sudah saling

mengenal, dan mereka terlihat dekat tanpa ada kecurigaan sedikit pun bahwa

penulis akan mengajukan pertanyaan tentang perceraian kepada pihak-pihak itu.

Orang tua penulis sudah panjang lebar berbicara dengan pihak-pihak yang akan

penulis wawancarai, akhirnya orang tua penulis mengatakan pada pihak-pihak

yang pernah bercerai itu, bahwa penulis ingin bertanya tentang kasus perceraian

yang dilakukan oleh pihak-pihak tersebut.

Penulis belum mengajukan pertanyaan, mereka terkejut dan seperti tidak

mau memberikan keterangan apa pun mengenai perceraian yang pernah mereka

lakukan. Bukan karena sombong atau ingin diberi imbalan atas jawaban yang

akan mereka berikan, melainkan mereka takut bahwa penelitian yang saya

(46)

sebab penelitian yang dilakukan penulis menyangkut tentang perceraian, yang

tentunya diawali mengenai perkawinan mereka.

Berdasarkan penjelasan yang penulis dapat, bahwa ketakutan mereka pada

umumnya adalah bagi pihak-pihak yang menikah secara sirri. Menurut mereka

apabila saya meneliti mengenai perceraian mereka, berarti perkawinan mereka

juga akan terbongkar, dan mereka akan merasa malu serta dianggap tidak

mematuhi aturan hukum negara. Mereka yang menikah secara agama dan juga

yang dicatat di Kantor Urusan Agama, mereka tidak segan-segan menjawab

pertanyaan dari penulis meskipun mereka juga pernah bercerai secara kampung.

Penulis kemudian mengatakan kepada pihak-pihak yang terlibat

perceraian, yaitu yang merasa ketakutan untuk menjawab pertanyaan dari penulis,

bahwa penulis melakukan penelitian ini hanya untuk mengerjakan tugas dari

kampus. Tugas ini dari dosen yang mengajar tentang hukum, khususnya mengenai

masalah perceraian, dan tidak akan disebarluaskan kepada umum. Dari

alasan-alasan penulis, akhirnya pihak-pihak tersebut pun mulai lebih terbuka dan

bersedia memberikan informasi yang penulis butuhkan.

Masyarakat desa Paluh Pakih Babussalam adalah masyarakat yang ramah,

dan menurut keterangan dari mereka, bahwa sebelumnya di desa itu pernah ada

beberapa mahasiswa yang melakukan penelitian. Baru pertama sekali ini

penulislah yang meneliti tentang perceraian, dan itu pun yang dianggap

menyangkut pribadi mereka terutama yang menikah secara sirri maupun

berpoligami, dan bercerai juga secara kampung, sehingga mereka terlihat takut

(47)

kepada umum. Pihak-pihak yang kemudian penulis wawancarai tersebut akhirnya

mengerti dan bersedia untuk memberikan informasi yang penulis butuhkan.

Penelitian di desa Paluh Pakih Babussalam selesai dilakukan, penulis

mendatangi Pengadilan Agama Stabat. Penulis mendatangi Pengadilan Agama

bersama dengan dua orang teman penulis, yang satu laki-laki dan yang lain

perempuan. Ada pegawai pengadilan yang bertanya maksud kedatangan kami.

Penulis bersama teman-teman ingin meminta data mengenai kasus perceraian,

yang kemudian kami disuruh duduk di ruang tunggu tamu, karena pada saat itu

Panitera atau wakil ketua majelis Pengadilan Agama sedang menangani kasus

perceraian lainnya.

Penulis kemudian diijinkan untuk masuk ke ruang panitera, lalu ada

seorang pegawai Pengadilan Agama lainnya yang juga mencatat orang-orang yang

akan bercerai di Pengadilan Agama itu. Pada saat itu penulis masih memegang

surat lapangan dan belum sempat memberitahukan kedatangan penulis bersama

teman-teman ke Pengadilan Agama. Penulis masih berada di depan pintu masuk

bersama teman-teman penulis, tetapi salah satu pegawai Pengadilan Agama itu

langsung mengeluh dan menunjukkan wajah yang cemberut. Ia mengatakan,

Akh…Kok sore kali kalian datang? Ini udahwaktunya jam pulang”.

Pada saat itu penulis terkejut, kenapa pihak Pengadilan Agama tidak

seramah yang penulis pikirkan. Pada saat itu penulis langsung duduk di depan

pegawai Pengadilan Agama itu bersama dengan teman laki-laki penulis,

sedangkan teman perempuan penulis duduk di kursi yang lain. Penulis langsung

memberikan surat lapangan ke salah satu pegawai Pengadilan Agama yang

(48)

terkejut dan langsung meminta maaf kepada penulis dan teman-teman penulis. Ia

berpikir, bahwa penulis ingin melakukan perceraian bersama teman laki-laki yang

duduk di samping penulis.

Penulis selanjutnya dipanggil oleh panitera Pengadilan Agama dan

memberikan surat lapangan, tetapi pada hari itu penulis tidak bisa melakukan

wawancara dan mencatat langsung mengenai kasus perceraian. Panitera

Pengadilan Agama mengatakan akan membaca dan mempelajari terlebih dahulu

surat penelitian penulis, dan juga waktu sudah tidak memungkinkan, yaitu

menunjukkan Pukul 14.00 wib, atau sudah waktunya jam pulang.

Ketua majelis Pengadilan Agama mempunyai waktu yang sedikit, karena

banyak pekerjaan untuk menghadiri sidang kasus perceraian. Panitera Pengadilan

Agama memberikan waktu seminggu kemudian sejak penulis mendatangi

Pengadilan Agama untuk kembali ke Pengadilan Agama itu lagi.

Seminggu kemudian penulis mendatangi kembali Pengadilan Agama

Stabat, dan mulai mengajukan pertanyaan mengenai proses kasus perceraian yang

ada. Penulis kemudian meminta kepada panitera Pengadilan Agama untuk

memfotokopi data-data perceraian dari dokumen Pengadilan Agama. Pada waktu

itu panitera memperbolehkan penulis untuk memfotokopi data-data yang

diperlukan, tetapi setelah ditanya kepada ketua majelis Pengadilan Agama

ternyata data-data perceraian yang dibutuhkan tidak diperbolehkan untuk

difotokopi. Menurut cerita panitera Pengadilan Agama, dulunya juga ada

mahasiswa yang memfotokopi isi dokumen Pengadilan Agama, dan akhirnya

(49)

Penulis berpikir akan mendapat banyak data kasus perceraian yang

dibutuhkan, ternyata karena tidak diperbolehkan untuk memfotokopi data-data

mengenai perceraian yang ada di Pengadilan Agama, maka penulis mencatat

data-data yang dibutuhkan itu dengan tulisan tangan. Data-data-data yang didapat dari

Pengadilan Agama hanya ada dua kasus perceraian. Data-data yang dibutuhkan

Gambar

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Per-Dusun Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
Tabel 2.4 menunjukkan bahwa penduduk desa Paluh Pakih Babussalam
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tablet hisap yang menggunakan bahan pemanis sorbitol memiliki tingkat kekerasan yang tinggi, kerapuhan semakin rendah dengan

Berdasarkan kondisi industri alas kaki di Cibaduyut tersebut, dapat dilihat adanya suatu kebutuhan pembangunan pusat inovasi sebagai upaya pengembangan kreativitas

Data-data pengamatan ini diambil saat dilakukannya kunjungan kelas kepada 7 orang guru secara bergiliran. Setiap guru dikunjungi sesuai dengan jadwal

Penggunaan metode reproducing kernel Hilbert space dalam regresi semiparametrik pada dasarnya merupakan perluasan metode kuadrat terkecil terpenalti dengan

Total beban kerja kondisi lama dan total beban kerja usulan pada proses awal sebesar 0,49 atau 49% yang berarti untuk menyelesaikan target produksi hanya memerlukan

Dalam Gereja keluarga dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah namun keluarga juga dihadapkan pada tantangan untuk menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat

Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut dapat dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih

80021033 Kisaran, 04 April 2014 BAUR TILANG RINI SARTIKA BRIGADIR NRP... NUR DT BANDAR TG