• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman Nyeri pada Pasien dengan Nyeri Kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengalaman Nyeri pada Pasien dengan Nyeri Kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMAN NYERI PADA PASIEN DENGAN NYERI

KRONIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN

SKRIPSI

oleh

A. N. Dahlia Sinambela

071101048

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan penyertaanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengalaman Nyeri pada Pasien dengan Nyeri Kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan”.

Penulisan skripsi ini telah banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku dosen pembimbing dan juga sebagai dosen penasehat akademik saya yang memberikan arahan, bimbingan, motivasi serta ilmu yang bermanfaat selama saya mengikuti perkuliahan dan telah memberi masukan yang sangat berharga dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Mula Tarigan, S.Kp, M.Kes selaku dosen penguji I dan Ibu Cholina T Siregar, S.Kp, M.Kep, Sp. KMB selaku dosen penguji II yang telah memberi masukan yang sangat berharga dalam penulisan skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang memberikan ilmu yang berharga dan seluruh staf pegawai yang telah memperlancar proses akademik dan administrasi.

(4)

6. Teristimewa kepada keluargaku tercinta Ayahanda M. Sinambela dan Ibunda L. Silaban tercinta yang selalu mendoakan dan menyayangiku, memberikan dukungan baik moril maupun materil. Terima kasihku juga kuucapkan untuk kakak, abang dan adik-adikku terkasih (K’Herda, K’Esra, K’Tiur, B’ Fredrick, Rut, Polin, Silvia dan Teresia) dan semua keluarga yang selalu memberi motivasi, doa dan kasih sayang.

7. Special thanks buat KTB ku (Ka Nani, Dian dan Juli), adik KK-ku (Delfitra, Titin, Gerhard, Imel, Nita, Lukas), juga buat Delima, Vina, k’ Tiwi dan semua teman-teman koordinasi (Tri, Tami, Novia, Devi, Tia, Siska, Friskila, Astika) yang selalu mendukung dalam doa memberikan motivasi yang berharga kepadaku. Buat B’ Alex thanks buat dukungannya selama ini.

8. Teman-teman Fakultas Keperawatan stambuk 2007 yang telah memberikan semangat dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu yang telah mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu mencurahkan berkat dan kasih karuniaNya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat nantinya untuk pengembangan ilmu pengetahuan keperawatan.

Medan, Juni 2011

(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Prakata ... iii

2. Pertanyaan Penelitian ... 5

3. Tujuan Penelitian ... 5

4. Manfaat Penelitian ... 5

Bab 2. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Nyeri 1.1Defenisi Nyeri ...7

1.2Klasifikasi Nyeri ...8

1.3Fisiologi Nyeri ...12

1.4Teori Nyeri ...14

1.5Multidimensionalitas Nyeri ...16

1.6Penanganan Nyeri ...21

2. Pengalaman Nyeri 2.1 Konsep Pengalaman Nyeri ... 26

2.2 Fase Pengalaman Nyeri ... 27

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengalaman Nyeri ... 30

2.4 Pengukuran Pengalaman Nyeri ... 36

3. Pengalaman Nyeri pada Pasien Nyeri Kronis ... 37

Bab 3. Kerangka Penelitian 1. Kerangka Konseptual ... 42

2. Kerangka Penelitian ... 42

2. Defenisi Operasional ... 43

Bab 4. Metodologi Penelitian 1. Desain Penelitian ... 45

2. Populasi dan Sampel Penelitian 2.1 Populasi Penelitian ... 45

2.2 Sampel Penelitian ... 45

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

4. Pertimbangan Etik Penelitian ... 46

5. Instrumen Penelitian ... 47

6. Pengumpulan Data ... 48

(6)

Bab 5. Hasil dan Pembahasan

1. Hasil Penelitian ... 51

2. Pembahasan ... 63

Bab 6. Kesimpulan dan Rekomendasi 1. Kesimpulan ... 75

2. Rekomendasi ... 76

Daftar Pustaka ... 77

LAMPIRAN 1. Lampiran Persetujuan menjadi Responden ...81

2. Jadwal Penelitian ...82

3. Taksasi Dana Penelitian ...83

4. Instrumen Penelitian ...84

5. Riwayat Hidup ...90

(7)

DAFTAR SKEMA

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Distribusi Frekwensi dan Persentasi Karakteristik Demografi

Responden (n=28) ...52 Tabel 2. Nilai mean keparahan nyeri (severity) pada pasien nyeri kronis

(n=28) ...53 Tabel 3. Distribusi frekwensi dan persentasi nyeri yang paling buruk

(n=28) ...54 Tabel 4. Distribusi frekwensi dan persentasi nyeri yang paling ringan

(n=28) ...55 Tabel 5. Distribusi frekwensi dan persentasi nyeri rata-rata

(n=28) ...55 Tabel 6. Distribusi frekwensi dan persentasi nyeri sekarang

(n=28) ...56 Tabel 7 Distribusi frekwensi dan persentasi lokasi nyeri yang dialami oleh

responden (n=28) ...57 Tabel 8 Distribusi frekwensi dan persentasi keyakinan terhadap obat yang dikonsumsi dapat mengurangi nyeri yang dialami ...58 Tabel 7. Nilai mean gangguan (interference) dalam melakukan fungsi

sehari-hari (n=28) ...58 Tabel 8. Distribusi frekwensi dan persentasi gangguan (interference)

dalam melakukan aktivitas sehari-hari (n=28) ...59 Tabel 9. Distribusi frekwensi dan persentasi gangguan (interference)

terhadap suasana hati (n=28) ...60 Tabel 10. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan (interference)

terhadap kemampuan berjalan (n=28) ...60 Tabel 11. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan (interference)

dalam melakukan pekerjaan sehari-hari (n=28) ...61 Tabel 12. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan (interference)

dalam hubungan dengan orang lain (n=28) ...62 Tabel 13. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan (interference)

terhadap tidur (n=28) ...62 Tabel 14. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan (interference)

(9)

Judul : Pengalaman Nyeri pada Pasien dengan Nyeri Kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan

Nama Mahasiswa : A. N. Dahlia Sinambela NIM : 071101048

Fakultas : Keperawatan Tahun : 2010/2011

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengalaman nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik dengan desain deskriptif. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal bulan Februari sampai April 2011 dengan melibatkan 28 orang responden dengan metode pengumpulan sampel purposive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan berupa kuesioner data demografi dan Brief Pain Inventory. Pengalaman nyeri ini diukur dari keparahan nyeri (severity) dan gangguan (interference) dalam melakukan fungsi sehari-hari selama 24 jam terakhir. Hasil penelitian menunjukkan pengalaman nyeri pada pasien nyeri kronis adalah pengalaman yang buruk dan tidak menyenangkan dimana pengalaman nyeri berdasarkan keparahan nyeri (severity) yang dialami oleh pasien dengan nyeri kronis adalah pada rentang nyeri sedang (m=4,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 32,1 % menunjukkan nyeri paling buruk pada angka 3, 28,6% menunjukkan nyeri yang paling ringan pada angka 0 (tidak nyeri), 32,1% menunjukkan nyeri rata-rata pada angka 2 dan 25% menunjukkan nyeri sekarang pada angka 0 (tidak nyeri). Dari hasil penelitian didapat,pasien mengalami nyeri yang sifatnya intermitten dimana responden mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat) dan nyeri yang dialami menetap sepanjang periode waktu. Pengalaman nyeri berdasarkan komponen gangguan (interference) didapat bahwa nyeri mengganggu responden dalam melakukan fungsi sehari-hari (m=5,32). Gangguan (interference) dalam melakukan fungsi sehari-hari yang paling terganggu adalah dalam melakukan pekerjaan sehari-hari (m=6,57) dan yang tidak terganggu secara signifikan adalah hubungan dengan orang lain (m=3,60). Penelitian ini menjadi suatu informasi yang sangat berharga bagi perawat dalam melakukan pengkajian dan manajemen nyeri pada pasien dengan nyeri kronis.

Kata kunci: nyeri kronis, pengalaman nyeri, keparahan nyeri (severity),

(10)

Title : Pain Experience of Patient with Chronic Pain at Adam Malik Hospital Medan

Name : A. N. Dahlia Sinambela NIM : 071101048

Department : Nursing Year : 2010/2011

Abstract

This research purpose to identification pain experience of patient with chronic pain at Adam Malik Hospital Medan with descriptive desaign. Data collecting has done at Pebruari to April 2011, twenty eleven patients were involved with sample collecting method was purposive sampling. This research using demographic data questionnaire and Brief Pain Inventory (Indonesian versi). Pain experience was measured was pain severity and pain interference during the last 24 hours. The results of study revealed that chronic pain experience is a bad and unpleasant experience where the patients pain experience based on severity at moderate level (m=4,05). This result of research showed that 32,1 % patients at its worst at score 2, 28,6 % at its least at score 0 (no pain), 32,1 % patients at its average at score 2 and 25 % at its now (present) pain at score 0 (no pain). It showed that patients had pain was intermitten pain where they had remission period or exacerbate and the pain they experienced was persistent pain. The patient pain experience based on pain interference was scored at moderate level (m=5,32). The pain they experienced interferenced their daily activities. The most interferenced of pain interference was normal work (m=6,57) and least interferenced was relationship with other (m=3,60). This research will be important information for nurses to do chronic pain assessment and management.

(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Setiap individu pernah mengalami nyeri dalam tingkatan tertentu. Nyeri merupakan alasan yang paling umum orang mencari perawatan kesehatan karena nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding penyakit manapun (Potter & Perry, 2005). Nyeri terjadi bersama dengan banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan (Brunner & Suddarth, 2001).

Asosiasi Internasional untuk Penelitian Nyeri (IASP, 1979 dalam Potter & Perry, 2005) mendefenisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengalaman nyeri melibatkan dimensi sensori, emosional dan juga kognitif.

Melzack & Casey (1968 dalam Cleeland, 2009) juga menyebutkan bahwa pengalaman nyeri merupakan interaksi dari tiga sistem (dimensi) yang berkaitan dengan stimulasi nosiseptif, yaitu sensori-diskriminatif, motivasi-afektif, dan kognitif-evaluasi. Ketiga sistem ini berkontribusi terhadap subjektivitas nyeri dan integralisasi faktor psikologis dalam pengalaman nyeri.

(12)

afektif, kognitif, dan perilaku (behaviour), kemudian McGuire (1987 dalam Harahap, 2007) menambahkan dimensi sosial-kultural sebagai dimensi tambahan dalam multidimensional dari fenomena nyeri. Keenam dimensi ini saling berhubungan, berinteraksi serta dinamis.

Secara umum, ada dua kategori nyeri yaitu nyeri akut dan nyeri kronis (Brunner & Suddarth, 2001). Nyeri kronis menunjukkan ciri-ciri yang jelas berbeda jika dibandingkan dengan nyeri akut. Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba sedangkan nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang suatu periode waktu (Muttaqin, 2008).

Nyeri akut umumnya berkaitan dengan cedera spesifik seperti nyeri yang muncul akibat jejas, trauma, spasmus, atau penyakit pada kulit, otot, struktur somatik, atau organ dalam/viscera tubuh sedangkan nyeri kronis dapat muncul dari lokasi viscera, jaringan miofasial, atau penyebab-penyebab neurologis, dan biasanya dibedakan menjadi nyeri maligna (kanker atau keganasan) dan nyeri non-maligna (jinak) (Rospond, 2008).

(13)

penyakit nyeri kronis yang mengganggu pekerjaan sehari-harinya (Dwiyono, 2004).

Pengalaman nyeri kronis merupakan suatu interaksi yang kompleks dan dinamis dari berbagai faktor termasuk secara biologis, sosial, psikologis, lingkungan (seperti lingkungan sosial terdekat pasien dan keluarga). Nyeri kronis merupakan sebuah sistem yang mencakup pengukuran nyeri (intensitas atau keparahan nyeri) dan interaksi beberapa proses yang berhubungan dengan nyeri kronis (depresi, ansietas, tidur, dan stress) (Shipton, 2008).

Klien yang mengalami nyeri kronik seringkali mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat) (Muttaqin, 2008). Sifat nyeri kronik, yang tidak dapat diprediksi ini, membuat klien frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Nyeri kronik merupakan penyebab utama ketidakmampuan fisik dan psikologis (Disorbio & Bruns, 2005). Flor, dkk., (1993 dalam Potter & Perry, 2005) melaporkan bahwa klien yang mengalami nyeri kronik mengungkapkan lebih pernyataan diri negatif terkait nyeri dan memiliki keyakinan lebih bahwa mereka tidak berdaya daripada klien sehat.

Kehidupan individu yang mengalami nyeri kronis dapat merupakan kehidupan yang tragis. Nyeri kronis biasanya lebih kompleks dan lebih sulit untuk ditangani, diobati atau dikontrol. Klien dengan nyeri kronis harus menjalani serangkaian pengobatan (misalnya pembedahan) dimana pengobatan ini juga bisa memperburuk nyeri yang dialami klien (Brunner & Suddarth, 2001).

(14)

dengan mengkonsumsi beberapa obat, individu dapat mengalami efek samping obat yang tidak diharapkan. Klien merasa putus asa dalam usaha mengatasi nyeri dapat menjadi mangsa perdukunan (misalnya penggunaan obat gosok khusus, diet, atau peralatan penghilang nyeri). Alternatif lain adalah penggunaan alkohol (Muttaqin, 2008; Potter & Perry, 2005).

Setiap individu memiliki karakteristik fisiologis, spiritual, psikologis, dan kebudayaan yang mempengaruhi mereka dalam menginterpretasikan, merasakan dan menceritakan nyeri yang dialami kepada orang lain termasuk ke penyedia pelayanan kesehatan (Potter & Perry, 2005). Sejak dini individu belajar dari sekitarnya tentang respon nyeri yang dapat diterima dan tidak diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini juga dipengaruhi oleh pemajanan terhadap nilai-nilai yang berlawanan dengan budaya lainnya (Brunner & Suddarth, 2001).

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki keberagaman suku dan budaya. Setiap suku memiliki cara yang unik dalam persepsi tentang kesehatan dan respon terhadap penyakit. Suku Batak adalah suku yang paling besar di Sumatera Utara; selain Melayu Deli dan Nias. Suku Batak terdiri dari sub suku Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Pak pak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing (Irma, 2007). Pengalaman nyeri pada pasien Batak sangat unik. Pasien Batak jauh lebih ekspresif dibanding pasien suku Jawa, meskipun kedua suku tersebut berasal dari Indonesia (Suza, 2007). Perilaku nyeri ini sering menimbulkan kesulitan dalam pengkajian dan manajemen nyeri.

(15)

memberi harapan kosong bahwa klien akan sembuh, tetapi meminimalkan atau mengurangi persepsi klien tentang nyeri (Muttaqin, 2008).

Hal inilah yang membuat peneliti merasa tertarik untuk mengidentifikasi pengalaman nyeri pasien nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan. Mengingat rumah sakit ini adalah rumah sakit rujukan sehingga banyak ditemukan kasus nyeri kronis. Apabila penelitian ini berhasil mengidentifikasi pengalaman nyeri pada pasien dengan nyeri kronis maka hal ini dapat menjadi suatu informasi yang sangat berharga bagi perawat terutama dalam melakukan pengkajian dan manajemen nyeri pada pasien dengan nyeri kronis.

2. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana pengalaman nyeri pada pasien dengan nyeri kronis?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengalaman nyeri pada pasien dengan nyeri kronis.

4. Manfaat Penelitian

4.1 Bagi praktek keperawatan

(16)

4.2 Bagi penelitian keperawatan

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas beberapa aspek yang terkait dengan penelitian ini.

1. KONSEP NYERI

1.1 Defenisi nyeri

Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang telah atau akan terjadi yang digambarkan dengan kata-kata kerusakan jaringan (Torrance, 1997). Tamsuri (2007) mendefenisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Secara umum, nyeri dapat didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak nyaman baik ringan maupun berat (Priharjo, 1993).

(18)

1.2 Klasifikasi Nyeri

Menurut Brunner & Suddarth (2001), ada dua kategori dari nyeri secara umum diketahui yaitu nyeri akut dan nyeri kronis.

1.2.1 Nyeri akut

Nyeri akut terjadi setelah cedera akut, penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung dalam waktu yang singkat (Potter & Perry, 2005). Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistematik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya proses penyembuhan; nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan (Brunner & Suddarth, 2001). Dua tipe sindroma nyeri akut yang utama adalah nyeri somatis dan nyeri viscera (Rospond, 2008).

a. Nyeri Somatis

Nyeri somatis permukaan/superfisialadalah akibat stimulasi nosiseptor di dalam kulit atau jaringan subkutan dan mukosa yang mendasari (Price & Wilson, 2005). Hal ini ditandai dengan adanya sensasi/rasa berdenyut, panas atau tertusuk, dan mungkin berkaitan dengan rasa nyeri yang disebabkan oleh stimulus yang secara normal tidak mengakibatkan nyeri (misalnya allodinia), dan hiperalgesia. Jenis nyeri ini biasanya konstan dan jelas lokasinya (Rospond, 2008).

(19)

Wilson, 2002). Nyeri somatis dalam diakibatkan oleh jejas pada struktur dinding tubuh (misalnya, otot rangka/skelet). Nyeri pascabedah memiliki komponen nyeri somatis dalam karena trauma dan jejas pada otot rangka (Rospond, 2008).

b. Nyeri viscera

Nyeri visceradisebabkan oleh jejas pada organ dengan saraf simpatis (Rospond, 2008). Nyeri ini dapat disebabkan oleh distensi abnormal atau kontraksi pada dinding otot polos, tarikan cepat kapsul yang menyelimuti suatu organ (misalnya hati), iskemi otot skelet, iritasi serosa atau mukosa, pembengkakan atau pemelintiran jaringan yang berlekatan dengan organ-organ ke ruang peritoneal, dan nekrosis jaringan (Price & Wilson, 2005).

Nyeri viscera seringkali muncul pada awal awitan (onset) atau pada stadium dini suatu penyakit. Sensasi nyeri yang berasal dari organ dalam sering dipersepsikan sebagai nyeri yang berasal dari bagian tubuh yang lebih supersifial/permukaan, biasanya daerah-daerah yang dipersarafi oleh saraf spinal yang sama; lokasi nyeri di bagian superfisial atau bagian dalam yang berjauhan dengan sumber patologi yang sebenarnya biasa disebut sebagai referred pain (nyeri alih) (Brunner & Suddarth, 2001). Infark

(20)

1.2.2 Nyeri Kronis

Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya (Potter & Perry, 2005).

Nyeri kronis tidak mempunyai tanda-tanda dan gejala klinis, sehingga patofisiologi yang mendasarinya biasanya tidak terdeteksi pada pemeriksaan fisik atau radiologis. Nyeri kronis dapat muncul dari lokasi viscera, jaringan miofasial, atau penyebab-penyebab neurologis, dan biasanya dibedakan menjadi nyeri maligna (kanker atau keganasan) dan nyeri non-maligna (jinak) (Rospond, 2008).

a. Nyeri kanker

(21)

radiasi juga dapat menimbulkan mukositis, gastroenteritis, iritasi kulit, dan nyeri lain yang berakitan (Brunner & Suddarth, 2005). b. Nyeri non-kanker

Nyeri kronis non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe utama: nyeri neuropati dan nyeri muskuloskeletal. Nyeri neuropati dapat bersifat idiopatik atau dapat juga muncul dari lokasi tertentu atau umum pada jejas saraf. Awitannya dapat terjadi seketika setelah jejas atau setelah jeda waktu tertentu (Rospond, 2008).

Nyeri neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain nyeri yang terus menerus, juga dapat terjadi nyeri yang tumpang tindih, hilang-muncul (intermitten), nyeri seperti syok, yang seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam, seperti tersengat listrik/elektrik, mengejutkan, seperti disobek/robek, atau kejang Contoh sindroma nyeri neuropati kronis adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetik, neuralgia trigeminal, nyeri pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu rasa nyeri pada bagian tubuh yang telah diamputasi) (Rospond, 2008).

(22)

juga nyeri yang berkaitan dengan penyakit persendian misalnya arthritis (Rospond, 2008).

1.3 Fisiologi nyeri

Berdasarkan mekanismenya, nyeri melibatkan persepsi dan respon terhadap nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses (Luckmann & Sorensen’s, 1987), yaitu sebagai berikut.

1.3.1 Transduksi (transduction)

Transduksi adalah proses dari stimuli nyeri dikonversi ke bentuk yang dapat diakses oleh otak (Turk & Flor, 1999 dalam Harahap, 2007). Proses tranduksi dimulai ketika nosiseptor yaitu reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini merupakan bentuk respon terhadap stimulus yang datang seperti kerusakan jaringan. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan, suhu (panas), atau kimia (substansi nyeri) (Muttaqin, 2008).

1.3.2 Transmisi (transmission)

(23)

dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan

melalui sistem contralateral spinalthalamic melalui ventral lateral dari thalamus menuju korteks serebal (Muttaqin, 2008).

1.3.3 Modulasi (modulation)

Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur transmisi nosiseptor tersebut (Turk & Flor, 1999 dalam Harahap, 2007). Proses modulasi adalah proses di mana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh pada saat nyeri masuk ke kornu posterior medulla spinalis (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

Proses modulasi melibatkan sistem neural yang kompleks. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri ini akan dikontrol oleh sistem saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini ke bagian lain dari sistem saraf seperti bagian korteks. Selanjutnya impuls ini akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang belakang untuk memodulasi efektor (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

1.3.4 Persepsi (perception)

(24)

sebagai respon dalam mempersepsikan pangalaman nyeri tersebut. Proses ini jugalah yang menjadikan nyeri tersebut suatu fenomena yang multidimensional (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

1.4 Teori Nyeri

Ada beberapa teori yang menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsangan nyeri, di antaranya sebagai berikut.

1.4.1 Teori Spesivitas (Specivicity Theory)

Teori ini diperkenalkan oleh Descrates pada abad ke-17 (Luckmann & Soronsen, 1987). Teori ini menjelaskan bahwa nyeri berjalan dari reseptor-reseptor nyeri yang spesifik melalui jalur neuroanatomik tertentu ke pusat nyeri di otak dan hubungan antara stimulus dan respon nyeri yang bersifat langsung dan invariabel. Prinsip teori ini adalah: (1) reseptor somatosensorik adalah reseptor yang mengalami spesialisasi untuk berespon secara optimal terhadap satu atau lebih tipe stimulus tertentu, dan (2) tujuan perjalanan neuron aferen primer dan ascendens merupakan faktor kritis dalam membedakan sifat stimulus di perifer (Price & Wilson, 2005).

1.4.2 Teori Pola

(25)

impuls saraf. Pada sejumlah kausalgia, nyeri pantom, dan neuralgia, teori pola ini bertujuan bahwa rangsangan yang kuat mengakibatkan berkembangnya gaung terus menerus pada spinal cord sehingga saraf transmisi nyeri bersifat hipersensitif dimana rangsangan dengan intensitas rendah dapat menghasilkan transmisi nyeri (Lewis, 1983).

1.4.3 Teori Gerbang Kendali Nyeri (Gate Control)

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Melzack & Wall pada tahun 1965. Menurut teori ini, pada cornu dorsalis medulla spinalis terdapat mekanisme neural, yang berfungsi sebagai gerbang, yang dapat mengatur rangsang dari saraf perifer ke SSP. Secara anatomis, gerbang tersebut terletak di substansi gelatinosa (Luckmann & Sorensen’s, 1987).

Hantaran rangsang saraf dari serabut aferen perifer, ke sel transmisi medula spinalis, diatur oleh mekanisme “Gate Control” di cornu dorsalis. Mekanisme ini dipengaruhi oleh jumlah relatif serabut saraf besar dan serabut kecil. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar terapi menghilangkan nyeri (Melzack, 1973 dalam Potter & Perry, 2005).

(26)

dibedakan menjadi neuron pertama, kedua, dan ketiga (Luckmann & Soronsen’s, 1987).

Neuron pertama ialah neuron yang membentuk ganglion spinal. Neuron tersebut berbentuk pseudounipolar. Jalur perifernya membentuk alat perasaan (serabut bebas) dan serabut srensorik perifer. Impuls perasaan nyeri dan suhu disalurkan oleh serabut sensorik perifer berdiameter halus (golongan A) atau yang tidak berselubung mielin (golongan C) (Muttaqin, 2008).

Neuron kedua lintasan tersebut dibentuk oleh sel-sel yang menyusun nukleus proprius kornu dorsalis itu. Jaras ini mulai di nukleus propius kornu dorsalis, lalu menyilang garis tengah melalui komisura alba untuk tiba di funikulus ventrolateralis dan kemudian membelok ke rostral dan menggabungkan diri dengan serabut spinotalamikus lainnya yang mengakhiri perjalanannya di nukleus ventro-postero-lateralis (VPL) sisi kolateral (Sidharta, 1985 dalam Muttaqin, 2008).

1.5 Multidimensional nyeri

(27)

multidimensional dari fenomena nyeri. Keenam dimensi ini saling berhubungan, berinteraksi serta dinamis.

1.5.1 Dimensi Fisiologi

Dimensi fisiologi terdiri dari penyebab organik dari nyeri tersebut seperti kanker yang telah bermetastase ke tulang, obstruksi lumina, saraf perifer, tekanan kanker membesar, adanya iskemia, distensi, inflamasi, dan infeksi atau nekrosis jaringan (Baradero dan kolega, 2007). Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut akut atau kronik sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan (Priharjo, 1993).

(28)

1.5.2 Dimensi afektif

Dimensi afektif dari nyeri mempengaruhi respon individu terhadap nyeri yang dirasakannya. Menurut McGuire dan Sheilder (1993 dalam Cleeland, 2009), dimensi afektif dari nyeri identik dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang mudah sekali memahami kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya (Ruslan, 2008).

1.5.3 Dimensi sosio-kultural

Dimensi sosiokultural nyeri terdiri dari berbagai variasi dari faktor demografi, adat-istiadat, agama, dan faktor-faktor lain yang berhubungan yang dapat mempengaruhi persepsi nyeri dan respon seseorang terhadap nyerinya (IASP, 2002). Kultur atau budaya memiliki peranan yang kuat untuk menentukan faktor sikap individu dalam mempersepsikan dan merespon nyerinya.

(29)

mengeluh tentang nyeri yang dialami bukanlah sesuatu hal yang harus didiskusikan secara terbuka.

1.5.4 Dimensi sensori

Dimensi sensori pada nyeri berhubungan dengan lokasi dimana nyeri itu timbul dan bagaimana rasanya (Potter & Perry, 2005). Ahles dan koleganya (1983 dalam Harahap, 2007) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen spesifik dalam dimensi sensori, yaitu lokasi, intensitas, dan kualitas nyeri.

Lokasi nyeri memberikan petunjuk penyebab nyeri bila ditinjau dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri itu sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi. Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Potter & Perry, 2005).

(30)

Dimensi kognitif dari nyeri menyangkut pengaruh nyeri yang dirasakan oleh individu terhadap proses pikirnya atau pandangan individu terhadap dirinya sendiri (Chong, 1999). Respon pikiran individu terhadap nyeri yang dirasakan dapat diasosiasikan dengan kemampuan koping individu menghadapi nyerinya (Ruslan, 2008).

Pengetahuan adalah aspek yang penting dalam dimensi kognitif. Pengetahuan tentang nyeri dan penanganannya dapat mempengaruhi respon seseorang terhadap nyeri. Nyeri itu sendiri dapat dimodifikasi oleh bagaimana seseorang berpikir tentang nyeri yang dirasakannya, apa saja pengharapannya atas nyerinya, dan apa makna nyeri tersebut dalam kehidupannya (Chong, 1999). 1.5.6 Dimensi perilaku (behavioral)

Perilaku nyeri adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang dan setiap perubahan kebiasaan ketika ia mengalami nyeri yang dapat diobservasi (Wall & Jones, 1991). Tampilan perilaku nyeri yang diperlihatkan seseorang dapat berupa guarcing, bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku mengkonsumsi

obat.

(31)

pendukung, maka nyeri akan bertahan lebih lama dari waktu penyembuhan normalnya.

1.6 Penanganan nyeri

Strategi penatalaksanaan nyeri mencakup baik pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis (Brunner & Suddart, 2001). Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara individu.

1.6.1 Farmakologis

Beberapa agen farmakologis digunakan untuk menangani nyeri. Metode yang paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri adalah analgesik. (Brunner & Suddarth, 2001). Ada tiga jenis analgesik, yakni: non-narkotik dan obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), analgesik narkotik atau opiat, dan obat tambahan (adjuvant) atau koanalgesik (Potter & Perry, 2005).

(32)

Mekanisme kerja NSAID belum diketahui secara pasti, namun demikian NSAID diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin dan menghambat respons selular selama inflamasi. Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri. Tidak seperti opiat, NSAID tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernafasan, juga tidak mengganggu fungsi berkemih atau defekasi (Muttaqin, 2008).

Analgesik opiat atau narkotik umumnya diresepkan untuk nyeri yang sedang sampai berat, nyeri pascaoperasi dan nyeri maligna. Ini bekerja pada sistem saraf pusat untuk menghasilkan kombinasi efek yang mendepresi dan menstimulasi. Adjuvan, seperti sedatif, anticemas, dan relaksan otot meningkatkan kontrol nyeri atau menghilangkan gejala lain yang terkait dengan nyeri, seperti depresi dan mual (Brunner & Suddarth, 2001). 1.6.2 Nonfarmakologis

Ada sejumlah terapi nonfarmakologis yang mengurangi resepsi dan persepsi nyeri dan dapat digunakan pada keadaan perawatan akut dan perawatan tersier sama seperti di rumah dan pada keadaan perawatan restorasi. Dengan cara yang sama, terapi-terapi ini digunakan dalam kombinasi dengan tindakan farmakologis (Potter & Perry, 2005).

(33)

Teknik ini dikembangkan oleh Kunz dan Krieger di mana sentuhan teraupetik ini sebagian berasal dari praktik kuno “meletakkan tangan” (Mackey, 1995 dalam Potter & Perry, 2005). Teori ini mengatakan bahwa individu yang sehat mempunyai keseimbangan energi (ekulibrium) antara tubuh dengan lingkungan luar. Orang sakit berarti ada ketidakseimbangan energi, dengan memberikan sentuhan pada klien, diharapkan ada transfer energi ke klien.

Sentuhan terapeutik meliputi penggunaan tangan untuk secara sadar melakukan pertukaran energi. Terdapat 4 langkah dasar untuk melakukan teknik ini, yaitu pemusatan, pengkajian, terapi, dan evaluasi. Setiap tahap umumnya melaju dengan langkah berikutnya dan proses secara keseluruhan berlangsung sekitar 25 menit (Potter & Perry, 2005).

b. Imajinasi terbimbing (guided imagery)

(34)

c. Distraksi

Distraksi, yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi suatu strategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap teknik kognitif efektif lainnya (Arntz dkk, 1991; Devine dkk, 1990 dalam Brunner & Suddarth, 2001). Teknik ini efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Sistem aktivasi retikular menghambat stimulus yang menyakitkan jika seseorang menerima masukan sensori yang cukup dan berlebihan. Stimulus yang menyenangkan menyebabkan pelepasan endorphin (Jihan, 2009).

Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton sampai menggunakan aktivitas fisik dan mental yang sangat kompleks. Teknik distraksi lain yang bisa dilakukan antara lain, distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (masase, memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur) (Potter & Perry, 2005).

d. Stimulasi kutaneus

(35)

otonom. Apabila individu mempersepsikan sentuhan sebagai stimulus untuk rileks, kemudian akan muncul respon relaksasi. Tindakan masase punggung dengan usapan perlahan pada klien dengan nyeri kanker terbukti menurunkan intensitas nyeri (Usman, 2005).

Selain itu, stimulasi kutaneus dapat digunakan dengan cara pemberian kompres dingin, kompres hangat, balsam analgesik dan stimulasi kontralateral (Muttaqin, 2008). Pemberian kompres hangat dan dingin lokal bersifat terapeutik. Area pemberian kompres panas dan dingin bisa menyebabkan respon sistemik dan respon lokal (Istichomah, 2007).

Kompres panas adalah memberikan rasa hangat pada daerah tertentu dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan hangat pada bagian tubuh yang memerlukan. Tindakan ini selain untuk melancarkan sirkulasi darah juga untuk menghilangkan rasa sakit, merangsang peristaltik usus, pengeluaran getah radang menjadi lancar, serta memberikan ketenangan dan kesenangan pada klien. Pemberian kompres dilakukan pada radang persendian, kekejangan otot, perut kembung, dan kedinginan (Istichomah, 2007).

(36)

rasa nyeri akibat edema atau trauma, mencegah kongesti kepala, memperlambat denyutan jantung, mempersempit pembuluh darah dan mengurangi arus darah lokal. Tempat yang diberikan kompres dingin tergantung lokasinya. Selama pemberian kompres, kulit klien diperiksa setelah 5 menit pemberian, jika dapat ditoleransi oleh kulit diberikan selama 20 menit (Potter & Perry, 2005).

2. PENGALAMAN NYERI

2.1 Konsep pengalaman nyeri

Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut (IASP, 1979 dalam Potter & Perry, 2005). Dari definisi tersebut, jelaslah terlihat bahwa pengalaman nyeri melibatkan dimensi sensori, emosional dan juga kognitif.

Pengalaman nyeri merupakan interaksi dari tiga sistem yang berkaitan dengan stimulasi nosiseptif, yaitu sensori-diskriminatif, motivasi-afektif, dan kognitif-evaluasi. Ketiga sistem ini berkontribusi terhadap subjektivitas nyeri dan integralisasi faktor psikologis dalam pengalaman nyeri (Melzack & Casey, 1968 dalam Cleeland, 2009).

(37)

menurunkan persepsi nyeri sementara faktor-faktor yang meningkatkan kesadaran terhadap stimulus (misalnya, ansietas, gangguan tidur) meningkatkan persepsi nyeri (Melzack & Casey, 1968 Potter & Pery, 2005).

Interaksi antara pembentukan sistem retikular dan sistem limbik menghasilkan persepsi nyeri. Pembentukan retikular menghasilkan respon pertahanan, menyebabkan individu menginterupsi atau menghindari stimulus nyeri. Sistem limbik mengontrol respon emosi dan kemampuan yaitu koping nyeri. Inilah yang disebut dengan sistem motivasi-afektif (Potter & Perry, 2005).

Sementara, sistem kognitif-evaluatif, di mana pusat kortikal yang lebih tinggi di otak mempengaruhi persepsi. Kebudayaan, pengalaman dengan nyeri, dan emosi mempengaruhi evaluasi terhadap pengalaman nyeri. Sistem ini membantu seseorang untuk menginterpretasi intensitas dan kualitas nyeri sehingga dapat melakukan suatu tindakan (Arif, 2008). 2.2 Fase-fase pengalaman nyeri

Meinhart & McCaffery (1983 dalam Potter & Perry, 2005) mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri yaitu sebagai berikut.

2.1.1 Fase antisipasi (anticipatory phases)

(38)

Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Dengan instruksi dan dukungan yang adekuat, klien belajar untuk memahami dan mengontrol ansietas sebelum nyeri terjadi. Pada situasi klien merasa terlalu takut atau terlalu cemas, maka antisipasi terhadap nyeri dapat meningkatkan antisipasi terhadap nyeri dapat meningkatkan persepsi keparahan nyeri (Melzack, 1968 dalam Potter & Perry, 2005).

2.1.2 Fase sensasi (sensation phases)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. Kemunculan dan kekuatan sensasi nyeri merupakan indikasi dari ekspresi nyeri dan harus dibedakan dengan toleransi nyeri klien terhadap nyeri. Toleransi nyeri merupakan kemauan klien untuk menahan lamanya atau kuatnya nyeri tanpa bantuan nyeri (Reeder & Martin, 1997). Toleransi bergantung pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini oleh seseorang (Potter & Perry, 2005).

(39)

nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang (Muttaqin, 2008).

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai cara, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Klien mungkin memilih untuk tidak mengekspresikan nyeri apabila mereka yakin bahwa ekspresi tersebut akan membuat orang lain merasa tidak nyaman atau hal itu menjadi tanda bahwa mereka kehilangan kontrol diri (Potter & Perry, 2005).

2.1.3 Fase akibat (aftermath phase)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Nyeri merupakan suatu krisis. Setelah mengalami nyeri, klien mungkin memperlihatkan gejala-gejala fisik, seperti menggigil, mual, muntah, marah, atau depresi. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang (Melzack, 1968; Meinhart & McCaffery, 1983 dalam Potter & Perry, 2005).

(40)

dan kognitif-evaluatif. Pendekatan dalam pengukuran nyeri yang didasarkan pada tiga pola respon yang berbeda terhadap kata yang digunakan pasien untuk mendeskripsikan nyeri yang mereka alami. Tetapi dari penelitian yang telah dilakukan, pasien yang diwawancarai sulit membedakan antara dimensi motivasi-afektif dan kognitif-evaluatif (Ceeland, 1989; Ceeland, 1990).

Secara umum, peneliti menemukan dua dimensi dalam melaporkan nyeri paling banyak mengalami perubahan dalam mendiskripsikan nyeri yang dialami klien. Beecher (1959 dalam Ceeland, 2009) menyebutnya dimensi “nyeri” dan “reaksi terhadap nyeri”; Clark dan Yang (1983 dalam Ceeland, 2009) menyebutnya “sensori-diskriminatif” dan “sikap (behaviour)”. Selanjutnya Beecher, mereka menyebutnya dimensi “sensori” dan reaksi” (Ceeland, 1989). Ada beberapa item yang dikembangkan dalam melaporkan nyeri yang dialami oleh seseorang yang disebut dimensi “sensori” nyeri (intensitas atau keparahan) dan dimensi “reaktif” (gangguan dalam melakukan fungsi sehari-hari).

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri

Banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman nyeri karena nyeri merupakan sesuatu yang kompleks; di antaranya adalah sebagai berikut.

2.3.1 Usia

(41)

yang belum dapat mengucapkan kata-kata akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan nyeri kepada orangtua dan petugas kesehatan.

Pada lansia yang mengalami nyeri, perlu dilakukan pengkajian, diagnosis, dan penatalaksanaan secara agresif. Herr dan Mobily (1991 dalam Muttaqin, 2008) mencatat bahwa klien lansia tidak melaporkan nyeri karena klien lansia yakin bahwa nyeri merupakan sesuatu yang harus mereka terima.

Lansia akan menyangkal bahwa mereka merasakan nyeri karena mereka takut akan konsekuensi yang tidak diketahui seperti akan dilakukan tindakan diagnostik. Klien lansia juga seringkali menggunakan berbagai cara untuk mengalihkan perhatian dari nyeri karena mereka yakin bahwa memperlihatkan respon terhadap nyeri merupakan hal yang tidak dapat diterima (Potter & Perry, 2005).

2.3.2 Jenis kelamin

Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya ada kebudayaan yang menganggap seorang laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis, sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama seperti pada bangsa Somalia (Arthurs, 2010).

(42)

2.3.3 Kebudayaan

Budaya mempengaruhi ekspresi dan persepsi terhadap nyeri dan apakah individu menceritakan nyeri tersebut kepada orang lain termasuk ke penyedia pelayanan. Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka (Potter & Perry, 2005).

Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang alamiah. Kebudayaan yang lain cenderung untuk melatih perilaku tertutup (introvert). Clancy dan McVicar (1992 dalam Potter & Perry, 2005) menyatakan bahwa sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian, hal ini dapat mempengaruhi pengeluaran fisiologis opiat endogen dan terjadilah persepsi nyeri.

(43)

Nyeri juga dipandang sebagai hukuman bagi yang berkelakuan buruk dan tidak sopan. Dalam budaya orang Hispanik, seseorang telah dikodratkan mengalami nyeri dan dia seharusnya menerimanya untuk membuktikan bahwa dia memiliki kepribadian yang kuat dan ketabahan dan dia juga tidak terlihat lemah.

Chen, dkk., (2003 dalam Yvonne, 2008) menemukan bahwa dalam kebudayaan Cina, nyeri merupakan suatu hasil yang dihalangi Qi. Untuk menghilangkan nyeri, maka penghalangnya harus dipindahkan dan pasien harus kembali menyeimbangkan keadaannya dengan lingkungan (alam). Pasien Cina lebih memilih tidak mengeluh dengan nyeri yang dialami karena akan membantu mengatur kembali dunia yang sebenarnya, daripada mereka memandang nyeri sebagai ujian atau pengorbanan yang dibutuhkan untuk menciptakan kembali keseimbangan dan keharmonisan dalam hidupnya.

(44)

2.3.4 Makna nyeri

Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberi kesan ancaman, kehilangan, hukuman, dan tantangan. Derajat dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri (Priharjo, 1993).

2.3.5 Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon yang menurun (Gil, 1990 dalam Potter & Perry, 2005).

2.3.6 Ansietas

Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Individu yang sehat secara emosional, biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri sedang hingga berat daripada individu yang memiliki status emosional yang kurang stabil (Muttaqin, 2008).

2.3.7 Keletihan

(45)

umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam jangka lama. Persepsi nyeri akan terasa lebih berat lagi, apabila keletihan disertai dengan kesulitan tidur (Muttaqin, 2008).

2.3.8 Pengalaman sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama mengalami serangkaian episode nyeri tidak pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat, maka ansietas dan rasa takut dapat muncul (Brunner & Suddarth, 2001). 2.3.9 Gaya koping

Gaya koping mempengaruhi kemampuan individu untuk mengatasi nyeri. Individu, yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal, mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka. Individu yang memiliki lokus kendali internal melaporkan mengalami nyeri yang tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali eksternal (Schultheis, 1987 dalam Potter & Perry, 2005).

2.3.10 Dukungan keluarga dan sosial

(46)

respon nyeri. Ada banyak hal yang mempengaruhi intensitas nyeri yang dialami oleh penderita kanker, salah satunya pengaruh dukungan pasangan hidup. Pasangan hidup mengambil peranan yang besar dalam penguatan pasien akan nyeri yang dialami (Muttaqin, 2008).

Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap dirasakan, kehadiran orang yang dicintai akan meminimalkan kesepian dan ketakutan (Niven, 2000).

2.4 Pengukuran pengalaman nyeri

Pengalaman nyeri diukur dengan menggunakan Brief Pain Inventory (BPI). Sebuah panel konsensus merekomendasikan bahwa ada

2 bagian yang diukur oleh BPI yaitu intensitas nyeri atau keparahan dan pengaruh nyeri dalam melakukan fungsi (gangguan) termasuk hasil pemeriksaan klinis semua nyeri kronis (IMMPACT, Turk dan koleganya, 2003 dalam Cleeland, 2009). Persetujuan umum IMMPACT mengidentifikasi terkhusus item gangguan (interference) pada BPI, dengan skala 0-10, salah satu dari dua skala yang direkomendasikan dalam melakukan pengkajian nyeri terkait dengan gangguan dalam melakukan fungsi.

(47)

(rata-rata) dan nyeri sekarang. BPI juga mengukur sejauh mana nyeri mengganggu fungsi dalam melakukan tujuh kegitan sehari-hari termasuk bagaimana hubungan dengan orang lain, menikmati hidup, suasana hati, tidur, kemampuan berjalan, aktivitas sehari-hari, dan bekerja. Untuk menilai intensitas nyeri dan gangguan (interference) terhadap fungsi sehari-hari adalah dengan menggunakan skala numerik dengan skala 0-10 (Cleeland, 2009).

BPI juga menanyakan lokasi nyeri, jenis pengobatan atau obat yang dikonsumsi dan persentasi keyakinan pasien terhadap pengobatan atau obat yang dikonsumsi bisa mengurangi nyeri yang dialami (Cleeland, 2009).

3. PENGALAMAN NYERI PADA PASIEN NYERI KRONIS

Pengalaman nyeri kronis merupakan suatu interaksi yang kompleks dan dinamis dari berbagai faktor termasuk secara biologis, sosial, psikologis, lingkungan (seperti lingkungan sosial terdekat pasien dan keluarga). Hal ini menghasilkan hubungan yang non-linear antara nyeri kronis yang disebabkan oleh kanker dan akibatnya.

(48)

Nyeri kronik merupakan penyebab utama ketidakmampuan fisik dan psikologis baik ketika berhubungan dengan orang lain, menikmati hidup, suasana hati, tidur, kemampuan berjalan, aktivitas sehari-hari, dan bekerja (Cleeland, 2009). Berikut ini akan dijelaskan pengaruh nyeri kronis terhadap kehidupan individu dalam melakukan fungsi (tugas) sehari-hari.

2.4.1 Hubungan dengan orang lain

Klien yang mengalami nyeri kronik seringkali mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat) (Muttaqin, 2008). Sifat nyeri kronik, yang tidak dapat diprediksi ini, membuat klien frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis (Disorbio & Bruns, 2005). Flor, dkk. (1993 dalam Potter & Perry, 2005) melaporkan bahwa klien yang mengalami nyeri kronik mengungkapkan lebih pernyataan diri negatif terkait nyeri dan memiliki keyakinan lebih bahwa mereka tidak berdaya daripada klien sehat. Hal ini dapat mengganggu individu hubungan personal dengan orang lain bahkan sering terjadi isolasi sosial dari keluarga dan teman-teman (Disorbio & Bruns, 2005).

2.4.2 Menikmati hidup

(49)

kronis juga sering mengalami gejala anoreksia dan penurunan berat badan (Mahon, 1994 dalam Potter & Perry, 2005).

2.4.3 Sikap (suasana hati)

Faktor-faktor psikologis memainkan peranan yang signifikan terhadap nyeri kronik dan dalam masa transisi nyeri akut menjadi nyeri kronik, dan bukti neurosains serta bukti klinis memperlihatkan hubungan yang erat antara nyeri dan status mood (Ruslan, 2008). Nyeri yang menetap tersebut mempengaruhi komponen emosional pasien serta seringkali disertai dengan depresi dan/atau kecemasan, kemarahan dan merasa putus asa (Muttaqin, 2008).

Kehidupan individu yang mengalami nyeri kronis dapat merupakan kehidupan yang tragis. Nyeri kronis biasanya lebih kompleks dan lebih sulit untuk ditangani, diobati atau dikontrol. Klien dengan nyeri kronis harus menjalani serangkaian pengobatan (misalnya pembedahan) dimana pengobatan ini seringkali mengakibatkan nyeri yang dialami klien bertambah buruk (Disorbio & Bruns, 2005).

(50)

2.4.4 Tidur

Tidur dan istrahat sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien nyeri kronis. Sekitar 50 % pasien nyeri kronis mengalami gangguan tidur yang simultan (Shipton, 2008). Setiap penyakit yang mengakibatkan nyeri, ketidaknyamanan fisik (mis. kesulitan bernafas), atau masalah suasana hati, seperti kecemasan atau depresi, dapat menyebabkan masalah tidur. Seseorang dengan perubahan seperti itu mempunyai masalah kesulitan tertidur atau tetap tertidur. Gangguan tidur yang sering dialami adalah insomnia (Potter & Perry, 2005).

2.4.5 Kemampuan berjalan

Salah satu pengaruh nyeri kronis yang berat adalah keterbatasan mobilisasi. Tidak bisa bergerak dengan nyaman karena dibatasi oleh nyeri secara langsung sehingga tidak leluasa. Hal ini mempengaruhi individu untuk melakukan aktivitas sederhana seperti berkurang kemampuan untuk berjalan karena nyeri sangat melelahkan dan menuntut energi yang banyak (Quek, 2008).

2.4.6 Aktivitas sehari-hari

(51)

2.4.7 Bekerja

(52)

BAB III

KERANGKA PENELITIAN

1. KERANGKA KONSEPTUAL

Kerangka konseptual adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat merekomendasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar variabel (Nursalam, 2003). Kerangka konsep dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengalaman nyeri pada pasien dengan nyeri kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan.

Untuk mengidentifikasi pengalaman nyeri, dilihat dari keparahan nyeri (severity) dan gangguan (interference) dalam melakukan fungsi sehari-hari. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pengalaman nyeri kronis merupakan sebuah sistem yang meliputi pengukuran nyeri (intensitas atau keparahan nyeri) dan gangguan (interference) dalam melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari seperti ketika berhubungan dengan orang lain, menikmati hidup, suasana hati, tidur, kemampuan berjalan, aktivitas sehari-hari, dan bekerja (Cleeland, 2009; Shipton, 2008).

2. KERANGKA PENELITIAN

(53)

Skema 1. Kerangka penelitian pengalaman nyeri pada pasien dengan nyeri kronis.

3. DEFENISI OPERASIONAL

Defenisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengalaman nyeri. Pengalaman nyeri diukur dari keparahan nyeri (severity) dan gangguan (interference) dalam melakukan fungsi sehari-hari yang dialami pasien dengan nyeri kronis selama 24 jam terakhir di RSUP Haji Adam Malik yang diukur dengan menggunakan Brief Pain Inventory (BPI).

3.1 Dimensi sensori (keparahan/ intensitas nyeri (severity))

Keparahan (intensitas) nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu. Intensitas nyeri yang diukur yaitu nyeri yang dialami oleh pasien dengan nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik 24 jam terakhir. Keparahan nyeri (severity) terdiri dari 4 item pertanyaan: nyeri paling buruk, nyeri paling ringan, nyeri rata-rata dan nyeri sekarang. Jadi, intensitas nyeri adalah nilai mean dari penjumlahan dari intensitas nyeri paling buruk, nyeri paling ringan, nyeri rata-rata dan nyeri sekarang dibagi

Dimensi reaktif: Gangguan terhadap fungsi

sehari-hari (interference) Nyeri

Pengalaman Nyeri

Dimensi sensori:

(54)

4. Untuk intensitas nyeri paling buruk, nyeri paling ringan dan nyeri rata-rata, yang diukur adalah nyeri yang dialami individu 24 jam terakhir. Skala yang digunakan adalah skala numerik dengan skala 0-10.

3.2 Gangguan (interference) dalam melakukan fungsi sehari-hari

(55)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

1. DESAIN PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang mengidentifikasi pengalaman nyeri pada pasien yang mengalami nyeri kronis.

2. POPULASI DAN SAMPEL

2.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subjek yang akan diteliti (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien dengan nyeri kronis yang sedang menjalani rawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan. 2.2 Sampel penelitian

(56)

Jadi, jumlah responden dalam penelitian ini adalah 30 orang, tetapi karena keterbatasan waktu maka peneliti hanya mendapatkan 28 orang sampel yang sesuai dengan kriteria.

3. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini telah dilaksanakan di RSUP Haji Adam Malik Medan 25 Februari sampai 11 April 2011. Mengingat rumah sakit ini merupakan rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan terbesar di Sumatera Utara memungkinkan peneliti mendapatkan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

4. PERTIMBANGAN ETIK

(57)

5. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan dalam pengumpulan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner terdiri dari data demografi dan Brief Pain Inventory.

5.1 Data demografi

Data demografi meliputi usia responden, jenis kelamin, tingkat pendidikan, agama, pekerjaan, diagnosa penyakit dan pengobatan.

5.2 Brief Pain Inventory (BPI)

BPI mengukur pengalaman nyeri yang dialami oleh individu. Pengalaman nyeri yang diukur adalah nyeri yang dialami individu 24 jam terakhir. BPI mengukur keparahan/intensitas nyeri dan gangguan (interference) terhadap fungsi sehari-hari yang dialami oleh pasien. Intensitas nyeri yaitu: nyeri paling buruk, nyeri paling ringan, nyeri sedang dan nyeri saat ini. Pengaruh (interference) terhadap fungsi sehari-hari termasuk hubungan dengan orang lain, menikmati hidup, sikap, tidur, berjalan, aktivitas sehari-hari, dan bekerja.

(58)

ketika mengalami nyeri dan skor tertinggi (10) mengindikasikan bahwa nyeri sangat mengganggu fungsi (aktivitas) sehari-hari.

BPI juga menanyakan lokasi nyeri, jenis pengobatan atau obat yang dikonsumsi dan persentasi keyakinan pasien terhadap pengobatan atau obat yang dikonsumsi bisa mengurangi nyeri yang dialami. Ketiga hal tersebut di atas mempengaruhi intensitas/ keparahan nyeri (severity). Lokasi nyeri dibuat dalam bentuk gambar dan pasien hanya menunjuk gambar dimana lokasi nyeri yang dialami. Pengobatan yang sedang diterima dan obat yang dikonsumsi merupakan pertanyaan terbuka sedangkan persentasi keyakinan terhadap pengobatan maupun obat yang dikonsumsi dengan menggunakan skala numerik 0% - 100%. Nilai (0%) diberi apabila responden tidak yakin sama sekali terhadap pengobatan dan obat yang dikonsumsi dan skor tertinggi (100%) mengindikasikan bahwa responden sangat yakin terhadap pengobatan dan obat yang dikonsumsi.

6. PENGUMPULAN DATA

Proses pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. Permohonan izin pelaksanaan penelitian didapatkan dari institusi pendidikan (Fakultas Keperawatan USU) kemudian permohonan izin dikirim ke tempat penelitian (RSUP H. Adam Malik, Medan). Peneliti meminta perawat ruangan memperkenalkan calon responden.

(59)

menandatangani lembar persetujuan sebagai bentuk persetujuan bersedia sebagai responden. Peneliti selanjutnya menanyakan lokasi nyeri, intensitas nyeri, pengobatan dan obat yang dikonsumsi untuk mengurangi nyeri dan keyakinan individu terhadap pengobatan (treatment) atau obat yang dikonsumsi dapat mengurangi nyeri yang dirasakan serta mengukur pengaruhnya dalam melakukan fungsi sehari-hari (pain interference) termasuk hubungan dengan orang lain, sikap, menikmati hidup, tidur, kemampuan berjalan, aktivitas sehari-hari, dan bekerja dalam 24 jam terakhir individu mengalami nyeri.

Peneliti menjelaskan cara mengisi kuesioner data demografi dan lembar BPI kepada responden. Peneliti memberikan kesempatan kepada responden untuk mengisi lembar data demografi. Setelah lembar BPI diisi, maka peneliti mengumpulkan dan memeriksanya. Peneliti selanjutnya mengolah dan menganalisa data.

7. ANALISA DATA

Setelah semua data terkumpul maka dilakukan analisa data melalui beberapa tahap, pertama editing yaitu memeriksa kelengkapan identitas dan data responden serta memastikan semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk, tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada lembar kuesioner untuk mempermudah mengadakan tabulasi dan analisa data, tahap ketiga processing yaitu memasukkan data dari lembar kuesioner ke dalam program

(60)
(61)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian serta pembahasan mengenai pengalaman nyeri pada pasien nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik. Penelitian ini telah dilaksanakan 25 Februari sampai 11 April 2011 dengan jumlah pasien 28 orang.

1. HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian ini dibagi atas 2 bagian yaitu: data demografi responden dan pengalaman nyeri pasien nyeri kronis (intensitas nyeri dan pengaruh ke kehidupan sehari-hari) di RSUP Haji Adam Malik.

1.1 Karakteristik Demografi Responden

(62)

Tabel 1. Distribusi Frekwensi dan Persentasi Karakteristik Demografi Responden (n=28).

No Karakteristik Responden Frekwensi % 1. Usia (Harlock, 1999)

18-40 tahun (dewasa awal) 41-60 tahun (dewasa madya)

(Mean= 41,50 tahun), SD: 12,15,

Operasi dan Kemoterapi

(63)

1.2 Pengalaman nyeri pada pasien nyeri kronis

Pengalaman nyeri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kejadian nyeri yang dialami pasien dengan nyeri kronis selama 24 jam terakhir di RSUP Haji Adam Malik yang diukur dengan menggunakan Brief Pain Inventory. Pengalaman nyeri diukur dari keparahan nyeri

(severity) dan gangguan dalam melakukan fungsi sehari-hari (interference).

1.2.1 Keparahan nyeri (severity)

Keparahan nyeri (severity) adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu. Intensitas nyeri yang diukur yaitu nyeri yang dialami oleh pasien dengan nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik selama 24 jam terakhir. Keparahan nyeri (severity) terdiri dari 4 item: nyeri paling buruk, nyeri paling ringan, nyeri rata-rata dan nyeri sekarang. Jadi, intensitas nyeri adalah nilai mean dari jumlah dari intensitas nyeri paling buruk nyeri paling

ringan, nyeri rata-rata dan nyeri sekarang dibagi 4. Berdasarkan hasil analisa data menunjukkan nilai mean keparahan nyeri (severity) pada pasien dengan nyeri kronis secara keseluruhan adalah 4,05. Nilai mean keparahan nyeri (severity) dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Nilai mean keparahan nyeri (severity) pada pasien nyeri kronis (n=28)

Variabel Mean Mean Total Keparahan nyeri (severity)

(64)

a. Nyeri yang paling buruk

Berdasarkan hasil analisa data menunjukkan distribusi frekwensi dan presentasi keparahan nyeri (severity) yaitu nyeri paling buruk pada pasien dengan nyeri kronis (32,1 %) menunjuk pada angka 3. Distribusi frekwensi dan presentasi keparahan nyeri (severity) nyeri paling buruk pada pasien dengan nyeri kronis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Distribusi frekwensi dan persentasi nyeri yang paling buruk (n=28)

Keparahan nyeri (severity) Frekwensi (n) % 1

b. Nyeri yang paling ringan

(65)

Tabel 4. Distribusi frekwensi dan persentasi nyeri yang paling ringan (n=28)

Keparahan nyeri (severity) Frekwensi (n) % 0

Berdasarkan hasil analisa data menunjukkan distribusi frekwensi dan presentasi keparahan nyeri (severity) yaitu nyeri rata-rata pada pasien dengan nyeri kronis, sebanyak 9 orang (32,1%) responden menunjukkan nyeri yang paling ringan pada angka 2. Distribusi frekwensi dan presentasi keparahan nyeri (severity) yaitu nyeri paling rata-rata dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5. Distribusi frekwensi dan persentasi nyeri rata-rata (n=28) Keparahan nyeri (severity) Frekwensi (n) %

(66)

d. Nyeri sekarang

Berdasarkan hasil analisa data menunjukkan distribusi frekwensi dan presentasi keparahan nyeri (severity) pada pasien dengan nyeri kanker kronis yaitu nyeri sekarang, seperempat responden (25%) menunjukkan angka 0 (tidak nyeri). Distribusi frekwensi dan presentasi nyeri sekarang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6. Distribusi frekwensi dan persentasi nyeri sekarang (n=28)

Keparahan nyeri (severity) Frekwensi (n) % 0

(67)

Tabel 7. Distribusi frekwensi dan persentasi lokasi/area nyeri yang dialami oleh responden (n=28)

Lokasi/area N %

a. kepala dan leher b. payudara

c. daerah abdomen d. pubis

e. bagian ekstremitas

5

Untuk mengurangi nyeri yang dialami oleh pasien mereka mendapatkan obat dari dokter dan mereka mengkonsumsinya sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Dari 28 responden, hanya 15 orang (28,6%) pasien yang mendapatkan analgesik. Adapun analgesik yang dikonsumsi oleh pasien adalah: Ketorolac (10 orang) dan Asam Mefenamat (5 orang) dan 13 orang lainnya tidak mengkonsumsi obat analgesik. Setelah ditanya, sebagian besar responden datang ke rumah sakit hanya untuk kemoterapi saja dan tidak sedang mengkonsumsi analgesik tetapi responden menggunakan penanganan nyeri secara non farmakologis.

(68)

Tabel 8. Distribusi frekwensi dan persentasi keyakinan terhadap obat yang dikonsumsi dapat mengurangi nyeri yang dialami (n=28)

1.2.2 Gangguan dalam melakukan fungsi sehari-hari (interference) Nyeri yang dialami pasien dengan nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik mengganggu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Gangguan dalam melakukan fungsi sehari-hari terdiri dari 7 item yaitu: hubungan dengan orang lain, menikmati hidup, suasana hati (mood), tidur, kemampuan berjalan, aktivitas sehari-hari, dan bekerja. Gangguan dalam melakukan fungsi sehari-hari (interference) pasien dengan nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik adalah mean dari jumlah tiap skor gangguan (interference) dibagi 7. Berdasarkan hasil analisa data diperoleh hasil bahwa nilai mean gangguan dalam melakukan fungsi sehari-hari adalah 5,32.

Tabel 9. Nilai mean gangguan (interference) dalam melakukan fungsi sehari-hari (n=28)

Variabel Mean Mean Total Gangguan dalam melakukan fungsi

sehari-hari (interference) a. Aktivitas sehari-hari b. Suasana hati

c. Kemampuan berjalan d. Pekerjaan sehari-hari

e. Hubungan dengan orang lain f. Tidur

g. Menikmati hidup

(69)

a. Aktivitas sehari-hari

Berdasarkan hasil analisa data menunjukkan distribusi frekwensi dan presentasi gangguan nyeri (interference) dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada pasien dengan nyeri kronis, lebih dari seperempat responden (28,6%) menunjukkan angka 10 (nyeri sangat mengganggu). Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan nyeri (interference) dalam melakukan aktivitas sehari-hari dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 10. Distribusi frekwensi dan persentasi gangguan (interference) dalam melakukan aktivitas sehari-hari (n=28)

Gangguan (interference) dalam melakukan aktivitas sehari-hari

Frekwensi (n) %

(70)

Tabel 11. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan (interference) terhadap suasana hati (n=28)

Gangguan (interference) dalam melakukan suasana sehari-hari

Frekwensi (n) %

c. Kemampuan berjalan

Berdasarkan hasil analisa data menunjukkan distribusi frekwensi dan presentasi gangguan nyeri (interference) terhadap kemampuan berjalan pada pasien dengan nyeri kronis, hampir seperempat responden (21,4%) menunjukkan angka 9. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan nyeri (interference) terhadap kemampuan berjalan dapat dilihat pada tabel berikut ini.

(71)

d. Pekerjaan sehari-hari

Berdasarkan hasil analisa data menunjukkan distribusi frekwensi dan presentasi gangguan nyeri (interference) dalam melakukan pekerjaan sehari-hari pada pasien dengan nyeri kronis, seperempat responden (25%) menunjukkan angka 9. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan nyeri (interference) dalam melakukan pekerjaan sehari-hari dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 13. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan (interference) dalam melakukan pekerjaan sehari-hari (n=28)

Gangguan (interference) dalam melakukan pekerjaan sehari-hari

Frekwensi %

e. Hubungan dengan orang lain

(72)

Tabel 14. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan (interference) dalam hubungan dengan orang lain (n=28)

Gangguan (interference) dalam melakukan hubungan dengan orang lain

Frekwensi %

Berdasarkan hasil analisa data menunjukkan distribusi frekwensi dan presentasi gangguan nyeri (interference) terhadap tidur pada pasien dengan nyeri kronis, 6 responden (21,4%) menunjukkan angka 8. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan nyeri (interference) terhadap tidur dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 15. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan (interference) terhadap tidur (n=28)

(73)

g. Menikmati hidup

Berdasarkan hasil analisa data menunjukkan distribusi frekwensi dan presentasi gangguan nyeri (interference) dalam menikmati hidup pada pasien dengan nyeri kronis, 5 responden (17,9%) menunjukkan angka 1 dan 9. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan nyeri (interference) dalam menikmati hidupnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 16. Distribusi frekwensi dan presentasi gangguan (interference) dalam menikmati hidup (n=28)

Gangguan (interference) dalam

Dari hasil penelitian, peneliti membahas mengenai pengalaman nyeri pada pasien nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2.1 Karakteristik Demografi

(74)

angka kejadian penderita penyakit kronis banyak terjadi pada rentang usia dewasa madya. Pada dewasa madya terjadi penurunan fisiologis sehingga mereka cenderung berhubungan dengan penyakit (Potter & Perry, 2005).

Berhubungan dengan diagnosa penyakit, responden paling banyak menderita kanker payudara (8 orang) sekitar 28,6 % berikut dengan kanker serviks (6 orang). Kanker payudara dan kanker serviks merupakan prevalensi kanker yang menduduki peringkat tinggi di Indonesia (Aziz, 2009). Kanker serviks menempati urutan kedua setelah kanker payudara dengan angka kejadian sebesar 24%. Kanker leher rahim (serviks) merupakan salah satu jenis kanker yang menyebabkan kematian di Indonesia (Yastati, 2010).

(75)

2.2 Pengalaman Nyeri pada Pasien Nyeri Kronis 2.2.1 Keparahan nyeri (severity)

Dari hasil penelitian didapat bahwa, keparahan/intensitas nyeri yang dialami oleh pasien dengan nyeri kronis di RSUP Haji Adam Malik (28 responden) selama 24 jam terakhir adalah 4,05. Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan sifatnya subjektif. Intensitas nyeri yang dirasakan pasien kanker tergantung kepada jenis kanker yang dialami, letak kanker, stadium kanker dan berapa banyak nervus yang rusak karena kanker itu sendiri maupun diakibatkan oleh pengobatan yang dilakukan (Baradero & koleganya, 2007).

Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya toleransi individu terhadap nyeri. Toleransi individu dengan nyeri kronis lebih tinggi terhadap nyeri karena sudah beradaptasi terhadap nyeri yang dialami selama ini. Toleransi terhadap nyeri bergantung pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini oleh seseorang (Potter & Perry, 2005).

Gambar

Tabel 1. Distribusi Frekwensi dan Persentasi Karakteristik Demografi Responden (n=28)
Tabel 2.  Nilai mean keparahan nyeri (severity) pada pasien nyeri kronis (n=28)
Tabel 3. Distribusi frekwensi dan persentasi nyeri yang paling buruk (n=28)
Tabel 4.  Distribusi frekwensi dan persentasi nyeri yang paling                  ringan (n=28)
+7

Referensi

Dokumen terkait

2.  Pemegang  saham  yang  berhak  hadir  dalam  Rapat  adalah  pemegang  saham  Perseroan  yang  namanya  tercatat  dalam 

Dalam pemecahan masalah matematika, sebagian dari siswa sekolah dasar merasa bosan dan kesulitan dalam pembelajaran matematika, seperti mencari keliling, luas dan volume suatu

Peningkatan yang tinggi pada penjualan konsolidasian untuk tahun 2011 sebagai respon positif dari masyarakat terhadap pengembangan produksi SKM yang dimulai beberapa

Pada penulisan ilmiah ini dibahas mengenai pembuatan website yang pada zaman era globalisasisi sekarang ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang komputer

[r]

Pada tahun 2012, Perseroan telah memasuki babak yang baru dengan melepas saham dan menjadi perusahaan terbuka, serta mengalihkan tongkat es- tafet kepemimpinan.. Akan

[r]

Selain itu dengan adanya cache server squid ini para praktikan yang ada tidak bisa sembarangan mengakses halam-halaman situs yang negatif, karena dengan program squid yang telah