• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertimbangan Hukum KPPU Dalam Memutus Perkara No.35/KPPU-I/2010 Tentang Praktek Beauty Contest Sebagai Bentuk Persekongkolan Tender

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pertimbangan Hukum KPPU Dalam Memutus Perkara No.35/KPPU-I/2010 Tentang Praktek Beauty Contest Sebagai Bentuk Persekongkolan Tender"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

PERTIMBANGAN HUKUM KPPU DALAM MEMUTUS PERKARA NO. 35/KPPU-I/2010 TENTANG PRAKTEK BEAUTY CONTEST SEBAGAI

BENTUK PERSEKONGKOLAN TENDER

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

SKRIPSI

Oleh :

100200064 MICHAEL TIMOTHY

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERTIMBANGAN HUKUM KPPU DALAM MEMUTUS PERKARA NO.

35/KPPU-I/2010 TENTANG PRAKTEK BEAUTY CONTEST SEBAGAI BENTUK

PERSEKONGKOLAN TENDER SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

OLEH:

MICHAEL TIMOTHY NIM : 100200064

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Windha, S. H., M. Hum. NIP. 197501122005012002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S. H., M. Li. Windha, S. H., M. Hum. NIP :196201171989032002 NIP. 197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik dan benar.

Penulisan Skripsi yang berjudul: Pertimbangan Hukum KPPU Dalam Memutus Perkara No.35/KPPU-I/2010 Tentang Praktek Beauty Contest

Sebagai Bentuk Persekongkolan Tender adalah guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Secara khusus, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua Penulis yang telah membesarkan, mendidik, dan

mendukung Penulis hingga bisa menyelesaikan pendidikan formal Strata Satu (S1) ini.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K).,

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah mengelola dan

menyelenggarakan universitas sesuai dengan visi dan misi USU.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah memimpin

penyelenggaraan pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, serta

membina tenaga pendidik dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum

(4)

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak

membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan

pengabdian kepada masyarakat.

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak

membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang

administrasi umum.

5. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang telah banyak membantu

Dekan dalam pelaksanaan kegiatan di bidang pembinaan dan pelayanan

kesejahteraan mahasiswa.

6. Ibu Windha, S. H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi dan

Dosen Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala

saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi

ini.

7. Bapak Ramli Siregar, S.H., M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Departemen

Hukum Ekonomi. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas ilmu yang telah

diberikan dalam perkuliahan.

8. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li., Dosen Hukum Ekonomi

dan Dosen Pembimbing I. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala

bantuan dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi

(5)

9. Ibu Windha, S.H., M.Hum., selaku Dosen Hukum Ekonomi dan Dosen

Pembimbing II. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan,

kritikan, saran, bimbingan, dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat

hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

10. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Wali. Ucapan

terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan sejak baru menjadi

mahasiswa sampai sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.

11. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu

Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Orantua, adik dan kakak sepupu Penulis yang selama ini banyak mendukung

dan membantu Penulis dalam proses perkuliahan di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

13. Paulina Tandiono, sahabat kesayangan Penulis yang telah bersama Penulis

sejak semester 1 dan telah banyak membantu dan mewarnai kehidupan

perkuliahan Penulis. For all that we’ve been through, You are the best thing

that ever happen in my life!!

14. Heriyanto Yang, S.H, senior Penulis yang telah banyak menginspirasi dan

mengajari Penulis.. Good Luck for your Presidency dream.

15. Kak Christie Gozali, Bobby Manalu dari Firma Hukum Fredrik J. Pinacunary

yang telah membantu penulisan skripso Penulis dengan menyuplai data-data.

(6)

16. Prof. Ningrum, Heriyanto, Christie, Bobby, Manahan, Li Pei Jung, Paulina,

Yuthi, Jennifer, Aziz, Henjoko, Diana, Herbert, Andi, Yohana, Assyfa Rara,

dan banyak lagi yang tidak bisa disebut selaku dosen pembimbig, senior,

teman-teman dan junior dari organisasi International Law Moot Court

Competition (ILMCC) Jessup Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(USU) dimana penulis telah banyak belajar dan menginspirasi Penulis.

Thanks for all memories and keep up the good work!

17. Pak Yusrin, Bang Sahat, Junitin, Kak Dorothy, Kak Wilda, Reza dan Marta

selaku dosen pembimbing, senior dan teman-teman Penulis dalam lomba

debat Mahkamah Konstitusi yang telah banyak mengajari Penulis. Thanks for

all the memories.

18. Barran, Gracious, Irsan, Dadhan dan seluruh teman di Grup A yang selalu

bersama Penulis dalam suka maupun duka pada saat menjalani masa

perkuliahan

19. Andi, Steven, Herbert, Robert, Henjoko, Jerry, Andrevin, dan seluruh

teman-teman Fakultas Hukum USU yang selalu bersama Penulis dalam suka

maupun duka pada saat menjalani masa perkuliahan.

Medan, 8 April 2014

Penulis

Michael Timothy

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

ABSTRAK ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 11

E. Tinjauan Kepustakaan ... 13

F. Metode Penelitian ... 42

G. Sistematika Penulisan ... 45

BAB II TINJAUAN UMUM KEBERADAAN PRAKTEK TENDER DAN BEAUTY CONTEST DI INDONESIA A. Tender di Indonesia ... 48

1. Sejarah perkembangan lelang/tender ... 48

(8)

3. Dasar pengaturan tender di Indonesia ... 57

B. Praktek Beauty Contest di Indonesia ... 72

1. Tinjauan umum terhadap beauty contest ... 72

2. Beauty contest dalam memilih mitra usaha sebagai

wujud aksi korporasi ... 81

BAB III PERBEDAAN PENGERTIAN BEAUTY CONTEST

DALAM MEMILIH MITRA USAHA DENGAN PERSEKONGKOLAN TENDER SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM UU NO.5 TAHUN 1999

A. Ruang Lingkup Pengertian Persekongkolan Tender

Berdasarkan Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 ... 97

1. Ruang lingkup pengertian tender berdasarkan Pasal

22 UU No.5 Tahun 1999 ... 97

2. Ruang lingkup pengertian persekongkolan tender

berdasarkan Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 ... 101

3. Bentuk-bentuk umum persekongkolan tender ... 114

4. Dampak persekongkolan tender ... 120

B. Perbedaan Pengertian Beauty Contest dalam memilih

Mitra Usaha Dengan Tender Sebagaimana Diatur Dalam UU No.5 Tahun 1999 ... 121

BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM KPPU DALAM

(9)

A. Posisi Kasus dan Fakta-Fakta Hukum dalam Perkara Blok Donggi- Senoro ... 131

1. Posisi Kasus ... 131

2. Pihak-pihak yang berperkara ... 146

B. Pertimbangan KPPU dalam Memutus Perkara

No.35/KPPU-I/2010 ... 147

1. Pelanggaran Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 menurut

pertimbangan KPPU ... 147

2. Putusan KPPU ... 150

C. Kelemahan Pertimbangan Hukum KPPU dalam

Memutus Dugaan Persekongkolan Tender dalam Perkara Blok Donggi Senoro ... 152

1. Beauty contest sama dengan tender ... 152

2. Beauty contest diarahkan untuk memenangkan Mitsubishi Corporation dan menyingkirkan PT. LNG EU ... 157

3. Pelanggaran asas legalitas ... 163

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 166

B. Saran ... 169

(10)

DAFTAR TABEL

(11)

DAFTAR GAMBAR

(12)

Pertimbangan Hukum KPPU Dalam Memutus Perkara No.35/KPPU-I/2010 Tentang Praktek Beauty Contest Sebagai Bentuk Persekongkolan Tender

ABSTRAK Michael Timothy*1 Ningrum Natasya Sirait**

Windha***

Salah satu permasalahan persaingan usaha yang paling sering dihadapi oleh KPPU adalah permasalahan dugaan persekongkolan tender. Salah satu kasus persekongkolan tender yang ditangani oleh KPPU adalah mengenai praktek beauty contest dalam proyek Donggi Senoro di Sulawesi Tengah dimana KPPU dalam putusannya menyatakan bahwa praktek beauty contest yang dilakukan dalam rangka mencari mitra usaha adalah termasuk bentuk persekongkolan tender. Putusan tersebut kemudian cukup mengundang kontroversi di sejumlah kalangan ahli hukum persaingan usaha mengenai ruang lingkup pengertian tender dan persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999. Dari ruang lingkup pengertian itulah kemudian dilihat apakah praktek beauty contest dalam rangka mencari mitra usaha dapat dikategorikan sebagai tender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.

Penjelasan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengartikan tender sebagai “tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa sehingga unsur yang

harus ada dalam suatu tender adalah unsur penawaran harga. Sedangkan beauty

contest dalam mencari mitra usaha adalah suatu bentuk aksi korporasi yang dilakukan perusahaan dengan cara menilai peragaan atau pemaparan profil suatu perusahaan atau suatu pelaku usaha tertentu sebelum memilih mitra usahanya. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan yang sangat esensial dalam tender dengan beauty contest yaitu dimana dalam beauty contest tidak ada peralihan tanggung jawab dan unsur penawaran harga sebagaimana halnya dalam tender. Oleh karena itulah, sudah seyogianya KPPU dan pelaku usaha sama-sama meluruskan persepsi dalam hal ruang lingkup pengertian tender agar tidak terjadi kebingungan dan ketidakjelasan dalam memahami hukum persaingan usaha di Indonesia.

Kata Kunci: Persaingan Usaha, Beauty Contest, Persekongkolan Tender

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(13)

Pertimbangan Hukum KPPU Dalam Memutus Perkara No.35/KPPU-I/2010 Tentang Praktek Beauty Contest Sebagai Bentuk Persekongkolan Tender

ABSTRAK Michael Timothy*1 Ningrum Natasya Sirait**

Windha***

Salah satu permasalahan persaingan usaha yang paling sering dihadapi oleh KPPU adalah permasalahan dugaan persekongkolan tender. Salah satu kasus persekongkolan tender yang ditangani oleh KPPU adalah mengenai praktek beauty contest dalam proyek Donggi Senoro di Sulawesi Tengah dimana KPPU dalam putusannya menyatakan bahwa praktek beauty contest yang dilakukan dalam rangka mencari mitra usaha adalah termasuk bentuk persekongkolan tender. Putusan tersebut kemudian cukup mengundang kontroversi di sejumlah kalangan ahli hukum persaingan usaha mengenai ruang lingkup pengertian tender dan persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999. Dari ruang lingkup pengertian itulah kemudian dilihat apakah praktek beauty contest dalam rangka mencari mitra usaha dapat dikategorikan sebagai tender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Seluruh data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan. Kemudian data yang telah terkumpul tersebut dianalisis secara normatif kualitatif.

Penjelasan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengartikan tender sebagai “tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa sehingga unsur yang

harus ada dalam suatu tender adalah unsur penawaran harga. Sedangkan beauty

contest dalam mencari mitra usaha adalah suatu bentuk aksi korporasi yang dilakukan perusahaan dengan cara menilai peragaan atau pemaparan profil suatu perusahaan atau suatu pelaku usaha tertentu sebelum memilih mitra usahanya. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan yang sangat esensial dalam tender dengan beauty contest yaitu dimana dalam beauty contest tidak ada peralihan tanggung jawab dan unsur penawaran harga sebagaimana halnya dalam tender. Oleh karena itulah, sudah seyogianya KPPU dan pelaku usaha sama-sama meluruskan persepsi dalam hal ruang lingkup pengertian tender agar tidak terjadi kebingungan dan ketidakjelasan dalam memahami hukum persaingan usaha di Indonesia.

Kata Kunci: Persaingan Usaha, Beauty Contest, Persekongkolan Tender

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara umum, kehidupan perekonomian merupakan salah satu unsur yang

terpenting dalam kehidupan bernegara. Hal ini dikarenakan hanya melalui

kegiatan perekonomian, suatu negara dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup

masyarakatnya dalam rangka mencapai kesejahteraan. Kegiatan ekonomi ini

kemudian diimplementasikan oleh suatu negara dalam wujud pembangunan

ekonomi nasional yang berkesinambungan, dengan tujuan utamanya mencapai

pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Pembangunan ekonomi ini

sendiri, oleh banyak negara, ditempatkan pada urutan pertama dari seluruh

aktivitas pembangunan.2

Permasalahan kemudian timbul karena di dalam dunia usaha dan bisnis,

persaingan itu akan selalu ada. Secara terminologi, kata persaingan dapat diartikan

bahwa ketika ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling

mengungguli dan ada kehendak di antara mereka untuk mencapai tujuan yang Namun, dalam rangka mengembangkan kegiatan

perekonomian, Negara tidak dapat bergerak sendiri. Negara membutuhkan

keiikutsertaan dan keaktifan masyarakat dalam pasar yang kemudian

diimplementasikan oleh masyarakat dengan melakukan berbagai kegiatan

ekonomi dan bisnis.

2

(15)

sama.3

Contoh klasik dari unfair competition ini adalah praktek monopoli yang

telah dilakukan sejak zaman penjajahan oleh Belanda melalui VOC.

Itu artinya, persaingan dilakukan oleh beberapa pelaku usaha yang sama –

sama bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari setiap usahanya. Dengan

adanya persaingan di antara beberapa pelaku usaha, sering mengakibatkan adanya

suatu pelaku usaha yang melakukan kecurangan – kecurangan atau melakukan

tindakan yang tidak fair untuk mengungguli pelaku usaha lainnya dalam

memperoleh keuntungan. Akibatnya, maka akan ada pelaku usaha yang dirugikan

dan bisa saja pelaku usaha tersebut tidak dapat lagi melakukan kegiatan usahanya

jika terus – menerus dirugikan. Persaingan di antara para pelaku usaha yang

terjadi secara curang (unfair competition), tidak hanya dapat mengakibatkan

kerugian bagi konsumen, tetapi juga dapat merugikan negara.

4

Tidak hanya

pada masa penjajahan, praktik monopoli juga masih banyak terjadi setelah

kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Pada era orde baru misalnya,

praktik-praktik monopoli dengan perilaku pengusaha yang anti persaingan berkembang

pesat dan bahkan tidak mampu diatasi oleh pemerintah saat itu. Dapat diambil

contoh misalnya monopsoni BPPC dalam pembelin cengkeh5, masuknya PT

Timor sebagai industri otomotif nasional dengan berbagai fasilitas dan

kemudahan, dan beberapa contoh kasus monopoli lainnya.6

3

Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 13.

Hal ini telah

4 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao,

Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia (Jakarta,Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 2.

5

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia: UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Ningrum Natasya Sirait I), (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm. 6-7.

6

(16)

menumbuhkan korporasi besar dan konglomerasi yang menguasai dan

memonopoli hampir disemua sector perekonomian Indonesia. Dunia

perekonomian dimonopoli oleh beberapa pengusaha yang mempunyai ikatan baik

dengan penguasa. Namun di sisi lain, tidak ada instrumen hukum yang secara

tegas dapat diterapkan untuk menghukum para pelaku praktik monopoli tersebut

berakibat pada sulitnya penegakan hukum dibidang persaingan usaha karena tidak

adanya aturan yang secara khusus mengatur tentang larangan praktik monopoli.

Monopoli ini kemudian mengakibatkan situasi perekonomian Indonesia

menjadi kurang sehat dan seiring waktu, banyak kendala yang terjadi akibat

kegiatan monopoli tersebut. Bahkan kegiatan monopoli tersebut kemudian

menjadi salah satu faktor Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1998.7

Dihadapkan dengan situasi tersebut, Pemerintah kemudian sadar bahwa harus

dibuat suatu regulasi dalam rangka pencegahan maupun penanggulangan

permasalahan yang akan/sedang timbul khususnya dibidang persaingan usaha.8

Suatu Undang-Undang Antimonopoli atau Undang-Undang Persaingan

Usaha merupakan kelengkapan hukum yang diperlukan dalam suatu Untuk itu, maka pada tanggal 5 Maret 1999 diundangkanlah sebuah

Undang-Undang yang mengatur persoalan Antimonopoli, yaitu Undang-Undang- Undang-Undang No. 5

Tahun 1999 (LN 1999-33) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat.

7

Munir Fuady, op.cit., hlm. 3.

8

(17)

perekonomian yang menganut mekanisme pasar.9 Disatu sisi Undang- Undang ini

diperlukan untuk menjamin agar kebebasan bersaing dalam perekonomian dapat

berlangsung tanpa hambatan, dan dilain pihak Undang- Undang ini juga berfungsi

sebagai rambu-rambu untuk memagari agar tidak terjadi praktik-praktik ekonomi

yang curang. Memilih ekonomi pasar tanpa melengkapi dengan pagar-pagar

peraturan, sama saja dengan membiarkan ekonomi berjalan berdasarkan hukum

siapa yang kuat boleh menghabiskan siapa yang lemah yang kemudian akhirnya

akan mengakibatkan penghentian fungsi pasar.10

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat kemudian berimbas pada

pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang

berwenang untuk mengimplementasikan Undang-Undang tersebut. Sebagai

lembaga yang akan mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini, maka KPPU

memiliki tugas dan kewenangan dalam melakukan pencegahan dan penindakan

atas pelanggaran hukum persaingan usaha serta memberikan saran dan

pertimbangan kepada pemerintah dan instansi negara terkait.

Oleh karena itulah, keberadaan

Undang-Undang ini sangatlah krusial dan merupakan suatu keniscayaan.

11

9

Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 57.

Kewenangan

KPPU tidak terbatas hanya pada penindakan terhadap kegiatan monopoli saja

tetapi juga terhadap seluruh perbuatan yang dilarang dalam UU Nomor 5 tahun

10

Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Jakarta: Katalis Publishing Media Services, 2002), hlm. 6.

11

(18)

1999 misalnya Kartel, Predatory Pricing, Persekongkolan Tender (Tender

Conspiracy), dll.

Salah satu kasus Persekongkolan Tender yang ditangani oleh KPPU dan

telah diputus pada tahun 2011 adalah kasus Proyek Donggi– Senoro di Sulawesi

Tengah yang melibatkan PT Pertamina (Persero), PT Medco Energi International,

Tbk., PT Medco E&P Tomori Sulawesi, dan Mitsubishi Corporation dengan No

Putusan 35/KPPU-I/2010. Indikasi awal adanya dugaan praktik persaingan usaha

tidak sehat dalam Proyek Donggi Senoro ini sebenarnya muncul setelah adanya

laporan dari PT LNG Energi Utama (PT LEU) yang kalah dalam proses beauty

contest12

12

Erman Rajagukguk, “Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999”, Jurnal Yudisial, Komisi Yudisial R.I. Volume V, No.01, April 2012, hlm.1.

pembangunan PT Donggi Senoro LNG (PT DSL). PT LEU awalnya

melaporkan bahwa telah terjadi persaingan usaha tidak sehat yaitu terkait dugaan

pelanggaran Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Proyek

Donggi Senoro dan juga pencurian rahasia perusahaan yang dilakukan oleh

Mitsubishi Corporation setelah melakukan due diligence. PT LEU meminta

KPPU untuk menyelidiki Gase Sale Agreement (GSA) yang telah ditandatangani

oleh PT DSL dengan PT Pertamina EP serta kontrak GSA antara PT DSL dengan

PT Pertamina HE Tomori dan PT Medco HE Tomori karena dengan meneliti

GSA tersebut, diharapkan KPPU dapat mempelajari perbandingan harga, baik

harga jual gas maupun nilai proyek pada saat tender, dengan harga yang

disepakati di dalam GSA sebagai bukti adanya tindakan merusak pesaing

(predatory practices) dan penawaran pura-pura (artificial offering) dalam beauty

(19)

tercatat dengan Nomor 1038 mulai tanggal 29 Januari 2009 hingga 9 Juni 2009

dan telah menyelesaikan resume laporan akhirnya diputuskan bahwa laporan

dugaan praktik persaingan usaha tidak sehat dalam proyek Donggi Senoro

tersebut dihentikan karena tidak cukup bukti.

Setelah selang beberapa waktu kasus tersebut sempat dinyatakan

dihentikan karena tidak cukup bukti, KPPU kemudian memutuskan untuk

membuka kembali dengan melakukan monitoring terhadap kasus dugaan

persaingan usaha tidak sehat tersebut. Setelah melakukan serangkaian kegiatan

monitoring, Tim Monitoring menemukan adanya indikasi bahwa dalam

pembangunan Proyek Donggi Senoro tersebut telah terjadi pelanggaran terhadap

Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimana KPPU

menilai bahwa proses Beauty Contest yang dilakukan oleh PT Pertamina dan PT.

Medco Energi Internasional telah sengaja mengarahkan PT Mitsubishi

Corporation sebagai pemenang dalam proses Beauty Contest tersebut. Dalam

perkara ini, KPPU kemudian pada tanggal 5 Januari 2011 memutuskan bahwa PT

Pertamina (Persero), PT Medco Energi Internasional, Tbk dan Mitsubishi

Corporation telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 dan

menyatakan bahwa PT Medco Energi Internasional, Tbk, PT Medco E&P Tomori

Sulawesi dan Mitsubishi Corporation terbukti secara sah dan meyakinkan

melanggar Pasal 22 dan 23 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan

menghukum PT Pertamina (Persero) membayar denda sebesar Rp

10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah), PT Medco Energi Internasional, Tbk

(20)

Corporation membayar denda sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar

rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda

pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas

Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755

(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).13 Putusan KPPU

ini kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.

34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST setelah melalui mekanisme banding. 14

Putusan yang dikeluarkan oleh KPPU tersebut dinilai bermasalah dan

tidak sesuai dengan aturan yang ada. PT. Pertamina dan PT. Medco Energi

Internasional menilai bahwa KPPU tidak bisa membedakan antara beauty contest

yang digunakan dalam proyek Donggi Senoro dan tender seperti yang dimaksud

dalam kedua pasal tersebut.15

13 Putusan KPPU No.35/KPPU-I/2010 tentang Proses

Beauty contest Proyek Donggi Senoro hlm. 244-245.

Meskipun kasus ini telah diputus pada tahun 2011

dan telah dibawa banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun kaidah dan

norma hukum yang telah diputus tersebut masi menjadi suatu polemik yang

hangat di dalam dunia Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Pertimbangan

KPPU dalam menilai bahwa proses/praktik beauty contest dalam memilih mitra

usaha dapat disamakan dengan proses tender telah mengakibatkan kebingungan

dan kerancuan dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat

dibuktikan dengan perbedaan pendapat antara para pakar Hukum Persaingan

Usaha seperti Prof. Erman Rajagukguk, Dr. Susanti Adi Nugroho,dll dengan

14

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST hlm. 275.

15

Hukum-online, “Pertamina dan Medco Keberatan Atas Putusan KPPU”,

(21)

KPPU dimana mereka menilai bahwa beauty contest tidak dapat disamakan

dengan tender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.

Eksistensi polemik ini kemudian kembali dipertegas dengan adanya perbedaan

pendapat oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi dengan No Perkara. 305

K/Pdt.Sus/2012 yang mengabulkan permohonan pemohon kasasi (PT. Pertamina)

dan membatalkan Putusan KPPU dan Putusan PN Jakarta Pusat16

Oleh karena masih adanya polemik didalam menanggapi putusan KPPU

mengenai beauty contest ini dan bahwa penulis merasa perkara ini khususnya

dalam interpretasi pasal 22 UU No 5 Tahun 1999 mengenai Persekongkolan

Tender merupakan masalah yang krusial dan fundamental bukan hanya antara

pihak PT. Pertamina et al dan KPPU namun juga untuk kejelasan bagi dunia usaha

di Indonesia, maka penulis berpendapat bahwa masih perlu dilakukan pembahasan

lebih lanjut dan mendalam untuk memperjelas dan menjawab polemik yang

timbul. Oleh karena itu, maka penelitian ini akan berusaha untuk mendefinitifkan

dan mencari jawaban terhadap perdebatan antara apakah Beauty contest dalam

rangka mencari partner usaha dapat dianggap sebagai tender atau tidak dalam

semangat Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999. Selain itu juga diharapkan penelitian ini

dapat memberikan sedikit gambaran dan titik terang dalam penyelesaian beda (salinan putusan

kasasi belum diturunkan oleh Mahkamah Agung sampai pada saat penelitian ini

dimulai). Polemik mengenai “Beauty Contest” ini sepertinya masih belum dapat

mencapai keputusan konkret dalam waktu dekat dikarenakan masih adanya upaya

Peninjauan Kembali yang mungkin akan diambil oleh Pemerintah.

16

(22)

pendapat dalam perkara eksplorasi minyak dan gas di Donggi – Senoro antara PT.

Pertamina, PT. Medco Energi Internasional dan Mitsubishi Corporation dengan

pihak KPPU. Penulis berharap nantinya penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan

dan referensi karya ilmiah dalam menganalisis dan menyelesaikan perkara ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat

dirumuskan 3 permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana Ruang Lingkup Praktek Tender dan Beauty Contest yang ada di

Indonesia.

2. Bagaimana Perbedaan Pengertian “Beauty Contest” untuk memilih mitra usaha

dengan pengertian persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam Pasal 22

UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat?

3. Bagaimana Pertimbangan Hukum KPPU dalam menafsirkan dan menerapkan

Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 dalam memutus perkara No. 35/KPPU-I/2010

tentang praktek Beauty Contest proyek Donggi Senoro?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai melalui karya tulis skripsi ini ialah:

a. Untuk mengetahui cakupan pengertian “Tender” dan Persekongkolan

(23)

b. Untuk menjelaskan perbedaan proses beauty contest dalam memilih

mitra usaha dengan persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam

Pasal 22 Undang- Undang No.5 Tahun 1999.

c. Untuk menganalisis secara ilmiah permasalahan hukum eksplorasi gas

Blok Donggi Senoro dan menjawab permasalahan yang ada dalam

pertimbangan KPPU dalam memutus perkara ini.

2. Manfaat Penulisan

a. Secara Teoritis

1) Untuk menambah wawasan mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara dalam bidang hukum persaingan

usaha terutama berhubungan dengan persekongkolan tender.

2) Sebagai salah satu bahan kajian oleh kalangan akademisi dalam

mempelajari cakupan persekongkolan tender dalam kaitannya

dengan praktik beauty contest untuk memilih mitra usaha

b. Secara Praktis

1) Untuk memberikan masukan kepada pihak pemerintah dan KPPU

dalam melakukan interpretasi dan penafsiran terhadap Pasal 22

UU No.5 Tahun 1999 tentang Persekongkolan Tender

2) Untuk memberikan masukan kepada pihak KPPU, PT.Pertamina

et al untuk dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang

terjadi dalam proses beauty contest eksplorasi gas Blok Donggi

(24)

D. Keaslian Penulisan

Skripsi yang berjudul “PERTIMBANGAN HUKUM KPPU DALAM

MEMUTUS PERKARA NO. 35/KPPU-I/2010 TENTANG PRAKTEK BEAUTY

CONTEST SEBAGAI BENTUK PERSEKONGKOLAN TENDER” ini

merupakan benar hasil karya sendiri dari penulis sendiri, tanpa meniru Karya

Tulis milik orang lain. Oleh karenanya, keaslian dan kebenaran ini dapat

dipertanggungjawabkan oleh penulis sendiri dan telah sesuai dengan asas-asas

keilmuan yang harus dijunjung tinggi secara akademik yaitu kejujuran, rasional,

objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dalam proses menemukan

kebenaran ilmu sehingga dengan demikian penulisan Karya Tulis ini dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritik yang

sifatnya konstruktif. Selain itu, semua informasi di dalam skripsi ini berasal dari

berbagai karya tulis penulis lain, baik yang dipublikasikan ataupun tidak, serta

telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis dengan benar

dan lengkap.

Karya tulis skripsi ini memiliki kemiripan dengan beberapa skripsi yang

sudah ditulis oleh beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara, yaitu:

1. Nama : Elizabeth Aritonang

NIM : 010200035

Judul : Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha di

(25)

2. Nama : Agung Yuriandi

NIM : 030200058

Judul : Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

dalam mengawasi Tender Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD) di Sumatera Utara.

3. Nama : Corry Sinaga

NIM : 070200084

Judul : Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Tertutup dalam

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi

Putusan KPPU No.6/KPPU-L/2004.

4. Nama : Johannes Tare Pangaribuan

NIM : 070200235

Judul : Posisi Dominan yang Mengakibatkan Praktik Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus

Putusan KPPU No.02/KPPU-L/2005 Tentang

Carrefour).

Walaupun terdapat kemiripan dengan beberapa judul di atas, namun

(26)

dilakukan dengan judul “Pertimbangan Hukum KPPU dalam Memutus Perkara

no.35/KPPU-I/2010 Tentang Praktek Beauty Contest Sebagai Bentuk

Persekongkolan Tender” ini secara khusus membahas mengenai perbedaan

praktek beauty contest yang dilakukan oleh perusahaan dalam rangka mencari

mitra usaha dengan pengertian tender sebagaimana dimaksud UU No.5 Tahun

1999 serta analisis pertimbangan hukum KPPU dalam memutus perkara

No.35/KPPU-I/2010 tentang proyek Blok Donggi Senoro. Sedangkan keempat

skripsi diatas membahas mengenai UU No.5 Tahun 1999 secara umum,

kewenangan KPPU dalam mengawasi pelaksanaan tender serta Studi Kasus

Putusan KPPU yang sama sekali berbeda dengan judul penelitian ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Kata "monopoli" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "penjual

tunggal" 17Black’s Law Dictionary mendefinisikan monopoli sebagai sebuah

keistimewaan atau keuntungan yang melekat pada satu atau lebih orang atau

perusahaan, yang terdiri dalam hak eksklusif (atau kekuasaan) untuk menjalankan

suatu bisnis tertentu atau perdagangan, manufaktur tertentu, atau mengontrol

penjualan pasokan seluruh komoditas tertentu.18

17

Munir Fuady, Op. cit., hlm. 4.

Disamping istilah monopoli, di

Amerika Serikat sering digunakan kata antitrust untuk pengertian yang sepadan

dengan istilah "Antimonopoli" atau istilah "domination" yang dipakai oleh

masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan istilah "monopoli". Selain

18

(27)

itu, terdapat lagi istilah yang artinya mirip-mirip yaitu istilah "kekuatan pasar".

Dalam praktik keempat istilah itu, yaitu istilah "monopoli" ," antitrust' , "kekuatan

pasar", dan "dominasi" saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah

tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan di mana seseorang

menguasai pasar, di mana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk substitusi atau

produk substitusi potensial' dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut

untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi tanpa mengikuti

hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.19

Monopoli dapat teriadi dalam setiap sistem ekonomi. Dalam sistem

ekonomi kapitalisme dan liberalisme dengan instrumen kebebasan pasar,

kebebasan keluar masuk tanpa restriksi, serta informasi dan bentuk pasarnya yang

atomistik monopolistik telah melahirkan monopoli sebagai anak kandungnya.

Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang

secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi yang paling

besar paling hebat, dan paling kaya Sedangkan dalam sistem ekonomi sosialisme

dan komunisme monopoli juga teriadi dengan bentuk yang khas. Dengan nilai

instrumental perencanaan ekonomi yang sentralistik dan pemilikan faktor

produksi secara kolektif segalanya doimonopoli negara dan diatur dari pusat.20

Kemunculan monopoli dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan cara,

yaitu:21

19

Munir Fuady, Op. cit., hlm.4.

20

Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 3-4.

21

(28)

a. Monopoli yang terjadi karena memang dikehendaki oleh hukum, maka

timbullah monopoly by law. Undang-Undang Dasar Tahun 1945

membenarkan adanya monopoli jenis ini, dengan memberi monopoli bagi

negara untuk menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang

banyak. Berhubung sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak karena

sifatnya yang memberi pelayanan untuk masyarakat dilegitimasi untuk

dimonopoli dan tidak diharamkan. Selain itu pemberian hak-hak istimewa dan

eksklusif atas penemuan baru, merupakan bentuk monopoli yang diakui oleh

undang-undang;

b. Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim

dan lingkungan yang cocok, timbullah monopoly by nature. Bentuk monopoli

ini, dapat dilihat dengan tumbuhnya perusahaan- perusahaan yang karena

memiliki keunggulan dan kekuatan terntentu dapat menjadi raksasa bisnis

yang menguasai seluruh pangsa pasar yang ada. Mereka menjadi besar karena

memiliki sifat-sifat yang cocok dengan tempat dimana mereka tumbuh. Selain

itu karena berasal dan didukung dengan bibit yang unggul serta memiliki

faktor-faktor dominan;

c. Monopoli yang diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan mekanisme

kekuasaan, timbullah monopoly by license. Monopoli ini diperoleh melalui

lisensi dengan menggunakan mekanisme kekuasaan kekuasaan. Monopoli

jenis inilah yang sering menimbulkan distorsi ekonomi karena kehadirannya

(29)

bergeser kearah yang diinginkan oleh pihak yang memiliki monopoli

tersebut.22

Kemunculan Monopoli yang dapat menyebabkan distorsi pasar inilah yang

kemudian perlu dicegah dan dihindari. Richard Posner dalam bukunya "Antitrust

Law (An Economic Perspective)" mengemukakan ada 3 (tiga) alasan politis

mengapa monopoli tidak dikehendaki, yaitu: pertama, monopoli mengalihkan

kekayaan dari para konsumen kepada pemegang saham perusahaan-perusahaan

yang monopolistic, yaitu suatu distribusi kekayaan yang berlangsung dari

golongan yang kurang mampu kepada yang kaya. Kedua, monopoli atau secara

lebih luas setiap kondisi (seperti concentration) yang memperkuat kerja sama di

antara perusahaan-perusahaan yang bersaing, akan mempermudah dunia industri

untuk melakukan manipulasi politis guna dapat memperoleh proteksi (dari

pemerintah) berupa dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang memberi

proteksi kepada mereka yang memungkinkan mereka memperoleh kesempatan

meningkatkan keuntungan mereka di bidang industri yang bersangkutan.

Perlindungan tersebut sering berbentuk hambatan terhadap kemudahan untuk

memasuki pasar bagi perusahaan lain dan hambatan terhadap berlakunya

Undang-Undang Anti Monopoli kepada mereka, yang lebih lanjut akan menimbulkan

pembentukan kartel di dalam industri yang bersangkutan yang melalui cara itu

akan lebih efektif bekerjanya daripada dilakukan melalui pembuatan perjanjian di

antara perusahaan-perusahaan tersebut. Terakhir, berkaitan dengan keberatan atas

22

(30)

praktik monopoli bahwa kebijakan Antimonopoli yang bertujuan untuk

meningkatkan economic efficiency dengan cara membatasi monopoli itu, adalah

suatu kebijakan yang bertujuan untukmembatasi kebebasan bertindak dari

perusahaan besar demi tumbuh dan berkembangnya

perusahaan-perusahaan kecil.23

Namun, dalam konteks yuridis tidak semua bentuk kegiatan monopoli

dilarang. Hanya kegiatan monopoli yang mengakibatkan terjadinya praktik

persaingan usaha tidak sehatlah yang dilarang yaitu pasar monopoli yang dapat

menimbulkan pemusatan ekonomi pada satu kelompok dimana tidak terjadi

persaingan usaha yang sehat dan keadaan ini dapat merugikan konsumen karena

tidak terdapat pesaing lainnya.24 Namun, selama suatu pemusatan kekuatan

ekonomi tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, maka

tidak dapat dikatakan telah terjadi suatu praktek monopoli, yang melanggar atau

bertentangan dengan undang-undang, meskipun monopoli itu sendiri nyata-nyata

telah terjadi (dalam bentuk penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang

dan/atau jasa tertentu). Di sini monopoli itu sendiri tidak dilarang karena yang

dilarang adalah praktik monopoli yang menyebabkan terjadinya persaingan usaha

tidak sehat.25

Sementara itu, persaingan usaha tidak sehat adalah:

"Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan/atau jasa

23

Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Cet. Pertama(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 85-86.

24

Ibid, hlm. 83.

25

(31)

yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau

menghambat persaingan usaha."26

Istilah lain persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan curang (unfair

competition) atau praktik bisnis yang tidak jujur. Jadi, persaingan usaha tidak

sehat itu adalah suatu persaingan usaha yang dilakukan oleh antar pelaku usaha

secara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Pelaku usaha di sini melakukan cara-cara persaingan usaha yang tidak jujur,

melawan hukum, atau setidak-tidaknya perbuatan yang dilakukan pelaku usaha

tersebut dapat menghambat persaingan usaha.

Praktik bisnis yang tidak jujur dapat diartikan sebagai segala tingkah laku

yang tidak sesuai dengan iktikad baik, kejujuran di dalam berusaha. Perbuatan ini

termasuk perbuatan melawan hukum. Karenanya praktik bisnis yang tidak jujur

dilarangkarena dapat mematikan persaingan yang sebenarnya ataupun merugikan

perusahaan pesaing secara tidak wajar/tidak sehat dan juga dapat merugikan

konsumen. 27

Selain pelarangan kegiatan monopoli, berdasarkan laporan kerja United

Nation Conference on Trade and Development, legislasi Undang-Undang

Monopoli di berbagai Negara mempunyai esensi yang sama yaitu melarang:28

26 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab I, Pasal 1, Angka6.

27

Rachmadi Usman, Op. cit., hlm. 88.

28

(32)

a. Perjanjian Tertutup

Pelarangan terhadap perjanjian yang mengatur harga, menyamakan

harga, mengatur pasar, syarat-syarat penjualan maupun tying contract.

Contoh tying contract, misalnya penjualan susu dikaitkan dengan sikat

gigi. Hal ini tidak adil bagi penjual susu yang tidak bisa mengikatkan

diri pada penjualan produk susu.

b. Price Discrimination dan Price Fixing

Contoh price discrimination, seperti menjual produk dengan harga

yang berbeda pada 2 (dua) orang. Contoh price fixing adalah pelaku

usaha yang menetapkan harga jual kembali apabila barang tersebut

dijual kembali oleh pembeli.

c. Pembagian pasar atau konsumen

Misalnya pembagian wilayah pada penjualan semen. Untuk daerah

timur diberikan kepada Semen Tomasa dan wilayah Barat kepada

Semen Padang.

d. Collusive tendering atau bid rigging

Collusive tendering atau bid rigging adalah suatu tindakan yang

dilakukan oleh para peserta tender untuk memenangkan suatu peserta

tender, dengan oleh para peserta tender untuk memenangkan suatu

peserta tender dengan cara berpura-pura menjadi competitor. Di

Indonesia dikenal dengan istilah “persekongkolan tender”. Tender ini

merupakan kecenderungan di seluruh dunia terutama di proyek

(33)

e. Boycott

Boycott adalah tidak membeli pada atau menjual kepada satu pelaku

tertentu.29

f. Cartel

Dalam pasar oligopoli, sangat cenderung untuk dilakukan kartel.

Kartel adalah kelompok produsen independen yang bertujuan

menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi.

g. Merger dan akuisisi

Merger adalah penggabungan dua perusahaan menjadi satu, dimana

perusahaan yang me-merger mengambil/membeli semua assets dan

liabilities perusahaan yang di-merger dengan begitu perusahaan yang

me-merger memiliki paling tidak 50% saham dan perusahaan yang

di-merger berhenti beroperasi dan pemegang sahamnya menerima

sejumlah uang tunai atau saham di perusahaan yang baru. Sedangkan

akuisisi adalah pembelian suatu perusahaan oleh perusahaan lain atau

oleh kelompok investor. Akuisisi sering digunakan untuk menjaga

ketersediaan pasokan bahan baku atau jaminan produk akan diserap

oleh pasar.

h. Predatory behavior

Predatory behavior didasarkan pada rule of reason. Misalnya satu

pabrik menjual murah dibawah produksi, apakah hal itu termasuk

predatory. Kalau memakai per se lllegal dipastikan bahwa perilaku

29

(34)

tersebut cenderung membunuh pelaku usaha lain. Akan tetapi apabila

menggunakan rule of reason harus dicari alasan dibaliknya apakah

memang mengakibatkan pelaku lain mati untuk kemudian diambil alih,

atau memang karena pelaku tersebut sudah akan bangkrut, atau

mempunyai stok barang-barang yang tidak laku (semacam cuci

gudang). Hal ini sering terjadi di Jepang yang melakukan hal itu

dengan alasan efisiensi.30

2. Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia.

Di Indonesia, pengaturan mengenai larangan anti monopoli diatur di dalam

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Munculnya Undang-Undang ini merupakan

puncak dari berbagai upaya yang mengatur masalah persaingan antar pelaku usaha

dan larangan melakukan praktik monopoli. Dalam sejarahnya upaya untuk

membentuk hukum persaingan usaha telah dimulai sejak tahun 1970-an. Berbagai

rancangan undang-undang dan naskah akademis telah dimunculkan, namun baru

pada tahun 1998, sebagian karena desakan International Monetary Fund (IMF),

pembicaraan untuk membentuk undang-undang yang mengatur masalah

persaingan usaha secara serius dilakukan.31

30 Ibid.

Dalam perjanjian tersebut, IMF

menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada Negara Republik Indonesia

sebesar US$ 43 miliar yang bertujuan untuk mengatasai krisis ekonomi, akan

tetapi dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum

31

(35)

ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan diperlukannya undang-undang

Antimonopoli. Akan tetapi perjanjian dengan IMF tersebut bukan merupakan

satu-satunya alasan penyusunan undang-undang tersebut32

Terdapat beberapa pertimbangan yang dijadikan alasan untuk segera

membuat UU Antimonopoli tersebut yaitu:

a. RUU tentang Antimonopoli tersebut merupakan RUU atas Usul

Insiatif DPR pada Kabinet Reformasi Pembangunan yang pada rezim

Orde Baru berkuasa tidak pernah dipergunakan/difungsikan. Peran

serta fungsi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang

memperjuangkan hak-hak serta aspirasi rakyat selama itu terbelenggu

oleh kekuasaan Orde Baru;

b. RUU tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha, usulan dari

Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, karena adanya tekanan

dari IMF, merupakan suatu hal yang sangan dinantikan oleh para

pelaku usaha untuk lebih membangkitkan iklim bisnis dan usaha yang

sehat dan etis;

c. Karakter iklim usaha yang dibina oleh pemerintahan Orde Baru selama

32 tahun sangat monopolistis, dekat dengan penguasa, sehingga terjadi

monopoli kebenaran, monopoli kekuasaan, dan sebagainya. Mereka

yang memperjuangkan kehadiran UU Antimonopoli dan Persaingan

Usaha yang Sehat dianggap telah melakukan perbuatan subversive

oleh rezim Orde Baru.

32

(36)

Dari konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

dapat diketahui falsafah yang melatardepani kelahirannya yaitu:

a. Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya

kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945;

b. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan

yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam

proses produksi dan pemasaran barang atau jasa, dalam iklim usaha

yang sehat, efektif dan efisien, sehingga dapat mendorong

pertumbuhan ekonomi dan bekerjasama ekonomi pasar yang wajar.

c. Setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi

persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya

pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak

terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara republik

Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian Internasional.33

Sementara itu Penjelasan Umum Undang-Undang No.5 Tahun 1999 juga

menyatakan antara lain:

Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh karena itu, perlu disusun undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan

33

(37)

aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat, Undangundang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan demikian kelahiran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ini

dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang

sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah

timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat

lainnya dengan harapan dapat meneiptakan iklim usaha yang kondusif, di mana

setiap pelaku usaha dapat bersaingan secara wajar dan sehat. Untuk itu diperlukan

aturan hukum yang pasti dan jelas yang mengatur larangan praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat lainnya.

Pembentukan Undang-Undang Antimonopoli ini didasarkan pada

asas-asas dan tujuan yang pada intinya untuk mengatur berjalannya

kompetisi/persaingan usaha di Indonesia serta untuk memberikan “level playing

field” atau kesempatan yang sama bagi pelaku usaha untuk bersaing.34

34

Ningrum Natasya Sirait, Menata Ulang Kembali Persaingan Usaha di Indonesia dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, (Ningrum Natasya Sirait II), (Yogyakarta: Cicods FH UGM, 2009), hlm. 25.

Asas dari

UU No. 5 tahun 1999 adalah bahwa: “Pelaku usaha di Indonesia dalam

menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan

memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan

(38)

1945 dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu

dapat ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945.35

Adapun tujuan dari UU No. 5 tahun 1999 adalah untuk:36

a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi

nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan

usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;

c. mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat

yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan

d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama

UU No. 5 Tahun 1999. Diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan

membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang

bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem

perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian

pembukaan UUD 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5

Tahun 1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian kesejahteraan

nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada

sistem persaingan bebas dan adil dalam pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun

1999. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada

35

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab II, Pasal 2

36

(39)

setiap pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya

penyalahgunaan wewenang di sektor ekonomi.37

3. Ruang Lingkup Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.

Undang-Undang Antimonopoli bertujuan untuk mengontrol tindakan

pelaku usaha dari perbuatan melakukan praktik monopoli, di samping berusaha

mempromosikan kompetisi yang sehat, jujur, dan terbuka. Undang-Undang No.5

Tahun 1999 memuat hal-hal yang cukup luas. Hal ini telah dilihat dari materi

undang-undang itu sendiri yang memuat mengenai pelanggaran terhadap

persaingan usaha, termasuk perbuatan apa yang diatur bagi tindakan pelaku usaha,

berikut dengan pengaturan mengenai sanksi.38

Perbuatan yang secara luas diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun

1999 adalah kartel (kombinasi keseluruhan pengontrolan produksi, penjualan dan

harga, yang bertujuan untuk memonopoli atau membatasi kompetisi suatu

industry atau komoditas); exclusive dealing (bentuk integrasi vertical dengan

kontrak dimana pembeli setuju untuk membeli seluruh kebutuhan pasokan

komoditas tertentu dari suatu penjual); merger/akuisisi perusahaan sejenis atau

vertical; price fixing (kerjasama dengan perusahaan yang bersaing untuk

Undang-Undang No.5 Tahun 1999

dapat dianggap disusun secara singkat dan sederhana. Namun ditinjau dari isinya,

Undang-Undang No.5 tahun 1999 ini sudah cukup memadai, terutama jika dilihat

dari ide untuk mencegah dan menanggulangi tindakan monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat.

37

Andi Fahmi Lubis, Op. cit., hlm. 15.

38

(40)

menetapkan harga pasar); oligopoli (hanya beberapa perusahaan yang menjual

produk yang sama yang mengakibatkan komoditas terbatas, harga tinggi);

monopsoni (pembeli tunggal, dan penjualan komoditas tersebut juga hanya

dikuasai oleh sang pembeli tunggal); tying contract (perjanjian yang terjadi ketika

penjual mewajibkan pembeli untuk membeli produk sampingan/tied product,

apabila hendak membeli produk pokok/tying product; division of market

allocation, yaitu perjanjian yang mengikat untuk membagi wilayah pasar diantara

produsen atau penjual pokok sejenis dengan pertimbangan memaksimalkan

keuntungan; dan boycotts, yaitu perbuatan mengajak orang lain untuk tidak

berhubungan dengan pihak ketiga atau pihak lain.39

Setelah menelusuri Batang Tubuh Undang-Undang No.5 Tahun 1999,

diketahui bahwa dalam undang-undang ini telah dimuat sejumlah norma hukum

persaingan usaha. Undang-Undang ini akan menjadi dasar hukum bagi pengaturan

anti monopoli dan persaingan usaha di Indonesia. Adapun hal-hal yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat dikelompokkan ke dalam

11 Bab dan dituangkan ke dalam 53 Pasal dan 26 Bagian.

Secara umum, kerangka dan sistematika dari Undang-Undang No.5 Tahun

1999 dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

(41)

Tabel 1.1 Sistematika Undang-Undang No.5 Tahun 1999

Sumber: Usman hal 67

No Bab Perihal/Isi Pasal Jumlah Persentase

(%)

1 I Ketentuan Umum 1 1 pasal 1,89

2 II Asas dan Tujuan 2-3 2 pasal 3,78

3 III Perjanjian yang Dilarang 4-16 13 pasal 24,52

4 IV Kegiatan yang Dilarang 17-24 8 pasal 15,09

5 V Posisi Dominan 25-29 5 pasal 9,43

6 VI Komisi Pengawas Persaingan

Usaha

30-37 8 pasal 15,09

7 VII Tata Cara Penanganan

Perkara

38-46 9 pasal 16,98

8 VIII Sanksi 47-49 3 pasal 5,66

9 IX Ketentuan Lain 50-51 2 pasal 3,78

10 X Ketentuan Peralihan 52 1 pasal 1,89

(42)

Di samping itu, Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dilengkapi pula

dengan:

1. Penjelasan Umum;

2. Penjelasan Pasal Demi Pasal.

Dalam Penjelasan Umum atas Undang-Undang No.5 Tahun 1999

dinyatakan bahwa:

“Secara umum, materi materi Undang-Undang No.5 Tahun 1999

mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri atas:

1. Perjanjian yang dilarang;

2. Kegiatan yang dilarang

3. Posisi dominan

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha

5. Penegakan hukum

6. Ketentuan lain-lain.”

Selanjutnya, apabila diteluri lebih seksama isi Undang-Undang No.5

Tahun 1999 tersebut, maka materi kandungan yang diatur meliputi hal-hal sebagai

berikut:40

a. Perumusan istilah atau konsep-konsep dasar yang terdapat atau

dipergunakan dalam undang-undang maupun aturan pelaksanaan lainnya,

agar dapat diketahui pengertiannya. Pasal 1 memuat perumusan dari 19

istilah atau konsep dasar, yaitu pengertian monopoli, praktik monopoli,

40

(43)

pemusatan kekuatan ekonomi, posisi dominan, pelaku usaha, persaingan

usaha tidak sehat,perjanjian, persekongkolan, struktur pasar, perilaku

pasar, pangsa pasar, harga pasar, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan

Pengadilan Negeri;

b. Perumusan kerangka politik Antimonopoli dan persaingan usaha tidak

sehat, berupa asas dan tujuan pernbentukan undang-undang, sebagaimana

dalam Pasal 2 dan Pasal 3;

c. Perumusan macam perjanjian yang dilarang dilakukan oleh pengusaha.

Pasal 4-16 memuat macam perjanjian yang dilarang tersebut, yaitu

perjanjian oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah pemasaran,

pemboikotan, kartel, oligopsoni, imegrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan

perjanjian dengan pihak luar negeri;

d. Perumusan macam kegiatan yang dillarang dilakukan pengusaha. Pasal 17

sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan yang dilarang tersebut,

yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persengkonglan;

e. Perumusan macam posisi dominan yang dilarang dilakukan oleh

pengusaha. Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan

yang dilarang tersebut, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan

persengkonglan;

f. Masalah susunan, tugas, dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Pasal 30 sampai dengan pasal 37 memuat perumusan status, keanggotaan,

(44)

g. Perumusan tata cara penanganan perkara persaingan usaha oleh Kornisi

Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 38 sarnpai dengan Pasal 46 memuat

perumusan penerimaan laporan, pemeriksaan pendahuluan dan

pemeriksaan lanjutan, pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan alat-alat

bukti, jangka waktu pemeriksaan, serta putusan komisi, kekuatan putusan

komisi, dan upaya hukum terhadap putusan kornisi;

h. Ketentuan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha yang telah

melanggar ketentuan dalam undang-undang. Pasal 47 sampai dengan Pasal

49 memuat macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha,

yaitu tindal administrative, pidana pokok, dan pidana tambahan;

i. Perumusan perbuatan atau perjanjian yang g dikecualikan dari ketentuan

undang-undang dan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau

badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Pasal 50

memuat ketentuan yang dikecualikan dari undang-undang dan Pasal 51

memuat ketentuan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara;

j. Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan undang-undang, yaitu perumusan

ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Pasal 52 mengatur bahwa

pelaku usaha yang telah membuat dan/atau melakukan kegiatan dan/atau

tindakan yang tidak sesuai dengan undang-undang diberi waktu untuk

menyelesaikan selama 6 (enam) bulan sejak undang-undang diberlakukan.

Sedangkan pasal 153 mengatur mengenai mulai berlakunya

undang-undang yaitu terhitung sejak 1 (satu) tahun sesudah undang-undang-undang-undang

(45)

Dari kerangka dan sistematika Undang-Undang No.5 Tahun 1999,

sebagaimana diterangkan di atas dapat diketahui bahwa hal-hal yang berkaitan

dengan pasar yang telah diatur oleh hukum persaingan usaha meliputi:41

a. perjanjian yang dilarang;

b. kegiatan yang dilarang;

c. penyalahgunaan posisi dominan;

d. Komisi Pengawas Persaingan Usaha;

e. Tata cara penanganan perkara persaingan usaha;

f. Sanksi-sanksi;

g. Perkecualian-perkecualian.

Adapun hal-hal yang dilarang dalam hukum persaingan usaha berdasarkan

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, meliputi:

a. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan

pasar, yang terdiri atas :

1) Oligopoli;

2) Penetapan harga (price fixing);

3) Diskriminasi harga;

4) Penetapan harga dibawah harga pasar;

5) Penjualan kembali dengan harga terendah;

6) Pembagian wilayah(market division);

7) Pemboikotan (boycott);

41

(46)

8) Kartel (cartel);

9) Trust (trust agreement);

10)Oligopsoni;

11)Intergrasi vertikal;

12)Perjanjian tertutup (exclusive dealing);

13)Perjanjian dengan luar negeri.

b. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan

pasar, yang terdiri atas :

a. Monopoli;

b. Monopsoni;

c. Penguasaan pasar;

1) Predatory pricing;

2) Price war and price comptetition ;

3) Penetapan biaya produksi dengan curang;

d. Persekongkolan (conspiracy):

1) persekongkolan tender;

2) persekongkolan rahasia perusahaan;

3) persekongkolan untuk menghambat perdagangan (entry barriers).

c. Posisi dominan di pasar, terdiri dari :

1) mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa

yang bersaing;

2) membatasi pasar dan pengembangan teknologi;

(47)

4) jabatan rangkap secara bersamaan;

5) pemilikan saham;

6) penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha atau

saham.

Salah satu bentuk tindakan yang dapat mengakibatkan persaingan tidak

sehat dan yang akan menjadi inti/fokus penelitian ini sebagaimana telah

disebutkan di atas, adalah persengkongkolan dalam tender, yang merupakan salah

satu bentuk kegiatan yang dilarang oleh Pasal 22 UU No.5 tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Persekongkolan tender pengadaan barang/jasa dapat dilakukan antara

pihak penyelenggara tender dengan pihak penyedia barang/jasa maupun dapat

dilakukan antara sesama peserta tender. Persekongkolan tender merupakan salah

satu bentuk tindakan yang dilarang dalam Undang-undang Anti Monopoli karena

persekongkolan tender merupakan perbuatan curang dan tindakan yang merugikan

terutama peserta tender yang lain yang tidak ikut bersekongkol, sebab dengan

sendirinya dalam tender pemenangnya tidak dapat diatur-atur, melainkan siapa

yang melakukan penawaran terbaik dialah yang jadi pemenangnya dan selain itu

persekongkolan tender merupakan tindakan yang anti persaingan. Dari segi

hukum perjanjian pun persekongkolan tender adalah batal demi hukum, karena

perjanjian persekongkolan tender melanggar syarat suatu sebab atau causa yang

halal yaitu melanggar ketentuan perundang-undangan yang mengatur ketentuan di

(48)

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Untuk mengawasi pelaksanaan UU No.5 Tahun 1999 dibentuk suatu

komisi dimana pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi

ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk

berdasarkan Keppres No 75 Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas

Persaingan Usaha atau KPPU.42

KPPU diberi status sebagai pengawas pelaksanaan UU No.5 Tahun 1999.

Status hukumnya adalah sebagai lembaga yang independen yang terlepas dari

pengaruh dan kekuasaan Pemerintah dan pihak lain.

Sebagai suatu lembaga independen, dapat

dikatakan bahwa kewenangan yang dimiliki Komisi sangat besar yang meliputi

juga kewenangan yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Kewenangan tersebut

meliputi penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara.

43

Dengan demikian,

penegakan hukum Antimonopoli dan persaingan usaha berada dalam kewenangan

KPPU. Menurut Bagir Manan, KPPU adalah salah satu instrumen meski tidak

dikatakan sebagai salah satu bentuk Dispute Resolution. Hal ini diartikan bahwa

perselisihan-perselisihan bisnis yang berkaitan dengan persaingan atau monopoli

kalau dapat tidak perlu masuk ke pengadilan, tetapi cukup diselesaikan oleh

KPPU saja.44

42

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab VI,Pasal 34.

Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak ada lembaga lain yang

43

Hermansyah, Op. cit., hlm. 73.

44

(49)

berwenang menangani perkara monopoli dan persaingan usaha. Pengadilan

Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA) juga diberi wewenang untuk

menyelesaikan perkara tersebut. PN diberi wewenang untuk menangani keberatan

terhadap putusan KPPU dan menangani pelanggaran hukum persaingan yang

menjadi perkara pidana karena tidak dijalankannya putusan KPPU yang sudah in

kracht. MA diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hukum

persaingan apabila terjadi kasasi terhadap keputusan PN tersebut.45

Dalam konteks ketatanegaraan, KPPU merupakan lembaga negara

komplementer (state auxiliary organ)46 yang mempunyai wewenang berdasarkan

UU No 5 Tahun 1999 untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha.

Secara sederhana state auxiliary organ adalah lembaga negara yang dibentuk

diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas

lembaga negara pokok (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) yang sering juga

disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi judicial).47

Kepailitan Dan Wawasan hukum Bisnis Lainnya”, Cet. Pertama (Jakarta: Pusat Kajian Hukum, 2003), hlm. Xviii.

Artinya,

meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya Hukum

Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan

usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana

maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga administrative

45

Andi Fahmi Lubis, Op. cit., hlm. 311.

46

L. Budi Kagramanto, “Implementasi UU No 5 Tahun 1999 Oleh KPPU”, Jurnal Ilmu Hukum Yustisia 2007, hlm. 2.

47

(50)

karena kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif,

sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif.48

KPPU dalam menjalankan kegiatannya mempunyai tugas untuk :49

a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku

usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat.

c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan

posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha.

d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana

diatur dalam Pasal 36.

e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah

yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat.

f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU

No.5/1999

g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada

Presiden dan DPR.

48

Ningrum Natasya Sirait II, Op. cit., hlm. 30.

49

(51)

Dalam menjalankan tugas tugasnya tersebut, KPPU mempunyai

kewenangan untuk:50

a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang

dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak

sehat.

b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau

tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang

dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang

ditemukan komisi sebagai hasil penelitiannya.

d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada

atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak

sehat.

e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap ketentuan UU No.5/1999.

f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang

dianggap mengetahui pelanggaran ketentuan UU No.5/1999.

g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli atau setiap ora

Gambar

Gambar 3.1 Gambar Bentuk Persekongkolan Horizontal
Gambar 3.3 Gambar Persekongkolan Horizontal dan Vertikal

Referensi

Dokumen terkait

SURAT PERYATAAN KARYA SENDIRI ……….. Latar Belakang Masalah…………... Pengertian Metode Pembelajaran... Penggunaan Metode Pembelajaran... Pengertian Metode Drill... Tujuan

Begitu juga penelitian Nurhayatin, Inggriyani & Ahmad (2018, h. Kesalahan penggunaan kalimat efektif yang paling banyak terdapat pada penggunaan struktur kalimat,

Pada umumnya, para wajib pajak sebenarnya telah memahami mekanisme dasar pemungutan PPN tersebut, akan tetapi yang terjadi adalah seperti yang dikatakan oleh

Pada torque converter , aliran ATF yang mengalir dari pump impeller ke turbine runner dan melewati stator vane dan kembali ke pump impeller merupakan proses

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap ibu dengan keberhasilan tioilet training pada anak usia toddler di PAUD

DISERTASI PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP..... ADLN Perpustakaan

[r]

Disertasi sarjana berta.uk 'Pengaruh Kepimpinan Instruksional dan Hubungannya Dengan Komitmen dan Efikasi Guru Sekolah Gred A dan B di Kota Kinabalu: Satu