• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sindrom Pulau Dalam Reintroduksi Rusa Timor Di Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sindrom Pulau Dalam Reintroduksi Rusa Timor Di Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

SINDROM PULAU DALAM REINTRODUKSI

RUSA TIMOR (

Rusa timorensis

,

Blainville 1822)

DI PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PAIRAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Sindrom Pulau dalam Reintroduksi Rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Pairah

(4)

RINGKASAN

PAIRAH. Sindrom pulau dalam reintroduksi rusa timor di Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA, LILIK BUDI PRASETYO dan ABDUL HARIS MUSTARI.

Untuk membangun kembali populasi rusa timor di Pulau Panaitan dilakukan reintroduksi dari Pulau Peucang. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan teori sindrom pulau melalui perbandingan habitat, ukuran tubuh, ukuran dan kepadatan populasi, wilayah jelajah dan alokasi waktu.

Penelitian ini dilakukan dari bulan September 2012 hingga Desember 2013. Komponen habitat yang diukur meliputi vegetasi, sumber air dan ketinggian. Analisis vegetasi dilakukan dengan metode kuadrat, keanekagaraman tumbuhan dihitung menggunakan indeks Shanon-Wiener, sumber air diidentifikasi langsung di lapangan dan ketinggian menggunakan DEM yang diklasifikasi menggunakan ekstensi spasial analisis pada ArcGIS 10.1. Pengamatan jenis pakan dilakukan langsung di lapangan. Daya dukung dihitung berdasarkan ketersediaan pakan. Ukuran tubuh rusa diukur menggunakan pita meter dan timbangan, penangkapan menggunakan bius yang ditembakkan menggunakan sumpit dan dilakukan oleh dokter hewan dan paramedis. Uji beda menggunakan Mann Whitney U. Ukuran dan kepadatan populasi rusa timor di Pulau Peucang menggunakan data Sudibyo (2012) dan di Pulau Panaitan dilakukan inventarisasi menggunakan metode strip transek. Pengamatan wilayah jelajah menggunakan metoda focal animal sampling, estimasi wilayah jelajah menggunakan minimum convex polygon

menggunakan ekstensi hawth tool dan Xtool pro 11 pada ArcGIS 10.1. Pengamatan alokasi waktu menggunakan metode focal animal samling dan Mann Whitney U digunakan untuk mengukur potensi perbedaannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam ukuran tubuh, ukuran populasi beserta kepadatannya, dan alokasi waktu antara rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Hal ini membuktikan bahwa manifestasi sindrom pulau dapat ditemukan pada kedua pulau tersebut. Meskipun luas wilayah jelajah rusa timor di kedua pulau tidak berbeda nyata, tetapi wilayah jelajah individu rusa timor di Pulau Peucang yang lebih menetap dibanding di Pulau Panaitan turut membuktikan manivestasi sindrom pulau. Pulau yang berukuran lebih besar dan mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dapat dijadikan sebagai alternatif tujuan introduksi satwa liar.

(5)

SUMMARY

PAIRAH. Island syndrome in reintroduction of timor deer in Panaitan Island Ujung Kulon National Park. Supervised by YANTO SANTOSA, LILIK BUDI PRASETYO and ABDUL HARIS MUSTARI

Re-establishment of the timor deer population in Panaitan Island was conducted through reintroduction of the deer from peucang Island. The aim of this study is to prove the theory of island syndrome by comparing habitat, body size, population size and density, home range and time budget.

This study was conducted from September 2012 to December 2013. The components of habitat which were measured was vegetation, water sources and altitude. Vegetation analysis was done using squares method, plant diversity was calculated using the Shannon-Wiener index, source of water was identified in study area and altitude was measured by using the DEM which classified using spatial analysis extension in ArcGIS 10.1. Forage observations was done directly in the study area. Carrying capacity was calculated based on the availability of food resources. Body size was measured using a band and scales, the animals were captured using anesthetic that was done by veterinarian and paramedic through blowpipe technique. Mann Whitney U was used to measure the potential of differences. Sudibyo (2012) data on size and density of the timor deer population was used for defining Peucang Island’s population, while inventory using strip transect was conducted in Panaitan Island. The observations of home range was using focal animal sampling method, estimation of home range size was using the minimum convex polygon in Hawth extensions and Xtool pro tools 11 at ArcGIS 10.1. Observation of time budget was carried out with focal animal sampling method and Mann Whitney U test was used to measure the potential of differences.

The results showed that the differences in body size, population size and its density, and the time budget among the timor deer on Peucang Island and Panaitan Island proved that the manifestation of island syndrome could be found on the two islands. Despite broad ranges in both islands of timor deer were not significantly different, but the ranges of individuals of timor deer on Peucang Island more settled than in Panaitan Island also proved the manifestation of the island syndrome. The larger size among the island that has high biodiversity can be used as an alternative destination of wildlife introduction.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SINDROM PULAU DALAM REINTRODUKSI

RUSA TIMOR (

Rusa timorensis

, Blainville 1822)

DI PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Ris Dr Ir Abdullah Syarief Muchtar, MS Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS

(9)

Nama

Judul Disertasi: Sindrom Pulau dalam Reintroduksi Rusa Timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon : Pairah

NIM

: E361090051

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Yanto Santosa. DEA Ketua

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo. MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Konservasi Biodiversitas Tropika

2:

AUG 2014

tu

Dr Ir Abdul Haris Mustari" MSc

Anggota

2

9

AUo 2014

Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS

ffi

",3ff3,

5E lGlr-rz#l

eE

-'r?wl"@81

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah berjudul “Sindrom pulau dalam reintroduksi rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Pulau Panaitan Taman Nasional Ujung Kulon” ini berhasil diselesaikan. Dengan selesainya karya ilmiah ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Bapak Prof Dr Ir Yanto Santosa, DEA, Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Bapak Dr Ir Abdul Haris Mustari MSc selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bekal ilmu, bimbingan, koreksi dan saran serta semangat sejak awal penulisan proposal hingga selesainya karya ilmiah ini. 2. Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika yang telah

memberikan perhatian, bimbingan, saran dan semangat selama proses pembelajaran.

3. Institut Pertanian Bogor c.q. Sekolah Pascasarjana dan Fakultas Kehutanan yang telah memfasilitasi proses pembelajaran dan penelitian.

4. Bapak Prof Ris Dr Ir Abdullah Syarief Muchtar, MS, Bapak Dr Ir

Burhanuddin Masy’ud, MS, Bapak Dr Drh Muhammad Agil, MSc.Agr dan Bapak Dr Ir Novianto Bambang W., M.Si selaku penguji luar yang telah memberikan koreksi, saran dan masukan untuk penyempurnaan karya ilmiah ini.

5. Kementerian Kehutanan c.q. Pusdiklat Kehutanan yang telah memberikan beasiswa Program Doktor.

6. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian ini.

7. Kepala beserta staf Balai Taman Nasional Ujung Kulon yang telah membantu dalam proses pengumpulan data.

8. Tim bius Kebun Binatang Ragunan, tim bius International Animal Rescue (IAR) dan tim bius Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi yang telah membantu dalam penangkapan rusa.

9. Teman-teman seperjuangan Dr Sri Harteti, Kartikawati, Hari Prayogo, Dr Kissinger, Dr Mufti Sudibyo, Dr Gamin yang telah saling menyemangati 10. Sdr. Sofwan yang telah banyak membantu di bidang administrasi

kependidikan.

11. Bapak Dalimin Suyoto Utomo (alm.) dan Ibu Sudinah (alm.) atas doa dan kasih sayangnya sepanjang hidupnya, suami tercinta (Andri Novi Susdihanto) dan putriku tersayang (Faizah Ayyumna) yang selalu setia menemani dan menyemangati selama pendidikan serta seluruh keluarga atas segala bantuan, fasilitas dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat

Bogor, Agustus 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Kebaruan 5

2 PERBANDINGAN HABITAT, PAKAN, DAN DAYA DUKUNG HABITAT RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 5 Pendahuluan 5 Metode Penelitian 5 Hasil dan Pembahasan 9 Simpulan 13 3 PERBANDINGAN UKURAN TUBUH DAN KEPADATAN POPULASI RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 15 Pendahuluan 15 Metode Penelitian 15 Hasil dan Pembahasan 17 Simpulan 20

4 PERBANDINGAN WILAYAH JELAJAH DAN PENGGUNAAN HABITAT RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 21

Pendahuluan 21

Metode Penelitian 21

Hasil dan Pembahasan 22

Simpulan 29

5 PERBANDINGAN ALOKASI WAKTU RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON 30

Pendahuluan 30

Metode Penelitian 30

Hasil dan Pembahasan 32

Simpulan 37

6 PEMBAHASAN UMUM 38

7 SIMPULAN DAN SARAN 42

Simpulan 42

(12)

DAFTAR ISI (lanjutan)

DAFTAR PUSTAKA 43

LAMPIRAN 49

(13)

DAFTAR TABEL

2.1 Vegetasi Pulau Peucang dan Pulau Panaitan 10

2.2 Kelas ketinggian di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan 12 3.1 Ukuran tubuh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan 17 4.1 Hasil uji beda wilayah jelajah rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau

Panaitan 23

4.2 Penggunaan habitat oleh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau

Panaitan 26

4.3 Penggunaan kelerengan oleh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau

Panaitan 28

5.1 Hasil uji perbedaan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan

Pulau Panaitan periode pagi hari 33

5.2 Hasil uji perbedaan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan

Pulau Panaitan periode siang hari 34

5.3 Hasil uji perbedaan alokasi waktu rusa timor di Pulau Peucang dan

Pulau Panaitan periode sore hari 35

DAFTAR GAMBAR

3.1 Betina dewasa di Pulau Peucang 18

3.2 Betina dewasa di Pulau Panaitan 18

3.3 Jantan dewasa di Pulau Peucang 18

3.4 Jantan dewasa di Pulau Panaitan 18

4.1 Penggunaan tutupan lahan oleh rusa timor di Pulau Peucang 25 4.2 Penggunaan tutupan lahan oleh rusa timor di Pulau Panaitan 25 4.3 Penggunaan ketinggian oleh rusa timor di Pulau Peucang 27 4.4 Penggunaan ketinggian oleh rusa timor di Pulau Panaitan 27 4.5 Penggunaan kelerengan oleh rusa timor di Pulau Peucang 28 4.6 Penggunaan kelerengan oleh rusa timor di Pulau Panaitan 29

5.1 Peta lokasi penelitian 31

5.2 Alokasi waktu anak rusa di Pulau Peucang 32

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jenis-jenis tumbuhan pakan rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau

Panaitan 49

2 Jenis-jenis strata pohon dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi

di Pulau Peucang 51

3 Jenis-jenis strata tiang dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi

di Pulau Peucang 53

4 Jenis-jenis strata pancang dengan nilai penting pada berbagai tipe

vegetasi di Pulau Peucang 54

5 Jenis-jenis strata semai dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi

di Pulau Peucang 55

6 Jenis-jenis strata semak/perdu/liana dengan nilai penting pada berbagai

tipe vegetasi di Pulau Peucang 57

7 Jenis-jenis herba/rumput dengan nilai penting pada berbagai tipe

vegetasi di Pulau Peucang 58

8 Jenis-jenis strata pohon dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi

di Pulau Panaitan 59

9 Jenis-jenis strata tiang dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi

di Pulau Panaitan 61

10 Jenis-jenis strata pancang dengan nilai penting pada berbagai tipe

vegetasi di Pulau Panaitan 62

11 Jenis-jenis strata semai dengan nilai penting pada berbagai tipe vegetasi

di Pulau Panaitan 63

12 Jenis-jenis semak/perdu/liana dengan nilai penting pada berbagai tipe

vegetasi di Pulau Panaitan 64

13 Jenis-jenis herba/rumput dengan nilai penting pada berbagai tipe

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tuhan Yang Maha Esa memberikan karunia yang besar kepada bangsa Indonesia berupa sumber daya alam hayati yang melimpah. Menurut BAPPENAS (2003) potensi keanekaragaman hayati Indonesia meliputi 515 jenis mamalia (kedua di dunia), 511 jenis reptil (keempat di dunia), 1531 jenis burung (kelima di dunia), 270 jenis amphibi (keenam di dunia) dan 2827 jenis invertebrata serta 38.000 jenis tumbuhan. Namun BAPPENAS (2003) melaporkan bahwa tingkat kepunahan jenis dan ancamannya juga tinggi. Harimau bali dinyatakan punah sejak tahun 1940, harimau jawa dinyatakan punah oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 1980-an meskipun institusi lain belum menyatakan punah dan diperkirakan di masa mendatang Indonesia akan kehilangan satu sampai 50 spesies setiap tahun. Pada tahun 1988, 126 jenis burung, 63 jenis mamalia, 12 jenis reptil dan 65 jenis satwa lainnya dinyatakan menuju kepunahan. Empat tahun kemudian, IUCN mengindikasikan bahwa 772 jenis flora dan fauna yang meliputi 147 jenis mamalia, 114 jenis burung, 28 jenis reptil, 68 jenis ikan, 3 jenis moluska, 28 jenis satwa lain dan 384 jenis tumbuhan terancam punah. Semakin panjangnya daftar flora dan fauna Indonesia yang terancam punah dalam Red Data List IUCN dan dalam daftar jenis satwa yang dilindungi mengindikasikan bahwa kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia semakin terancam.

Undang-undang No. 5 tahun 1990 memberikan amanah kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia melalui konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Satwa liar merupakan bagian dari sumber daya alam hayati sehingga satwa liar juga perlu untuk dikonservasi. Beberapa nilai satwa liar dikemukakan oleh Bailey (1984) yaitu komersial, rekreasional, biotik, ilmu pengetahuan, filosofi, pendidikan, estetik dan sosial.

(16)

2

Salah satu contoh kegiatan reintroduksi yang berhasil adalah reintroduksi rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) di Pulau Panaitan. Rusa timor merupakan jenis satwa yang dilindungi di Indonesia (KEMENHUT 1999). Dalam

Red Data Book IUCN tahun 2008 rusa timor digolongkan dalam kategori rentan (Vulnerable) karena jumlah populasi rusa timor dewasa di alam diperkirakan kurang dari 10 000 individu dan diperkirakan terus menurun hingga 10% dalam tiga generasi (minimum 15 tahun) sebagai akibat dari hilangnya habitat, degradasi habitat dan perburuan liar (Hedges et al. 2008).

Walter (2004) mendefinisikan pulau sebagai daratan yang dipisahkan dari daratan yang lebih besar atau pulau lainnya oleh penghalang air yang mereduksi aksessibilitas dan hubungan dan juga melindungi biota pulau dari beberapa dampak daratan seperti predasi, kompetisi dan penyakit. Dalam studi biogeografi, istilah pulau biasa digunakan pada pulau-pulau kecil yang mempunyai biota yang berbeda dengan daratan benua yang berdekatan (Hare 2009). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 41 tahun 2000 menyebutkan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luasan kurang atau sama dengan 2000 km2 atau 200 000 ha.

Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon terdiri dari daratan dan perairan dengan beberapa pulau diantaranya Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Kawasan Pulau Peucang memilliki luas ± 450 ha tersusun atas hutan lahan kering sekunder (479.8 ha) dan padang rumput (0.45 ha). Selain sebagai habitat rusa timor (Rusa timorensis), Pulau Peucang juga merupakan habitat bagi kijang (Muntiacus muntjak) dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebagai kompetitor serta biawak (Varanus salvator) dan ular python (Python reticulatus) sebagai predator. Jarak antara Pulau Peucang dan Semenanjung Ujung Kulon (daratan Pulau Jawa) kurang lebih 500 m.

Pulau Panaitan dengan luas kawasan ± 17 500 ha tersusun atas hutan lahan kering primer (1120.79 ha), hutan lahan kering sekunder (6789.03 ha), semak belukar (1878.62 ha), hutan mangrove sekunder (696.71 ha), hutan rawa sekunder (1201.53 ha), belukar rawa (477.72 ha) dan padang rumput (0.22 ha). Pulau Panaitan juga merupakan habitat bagi kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), monyet individu panjang (Macaca fascicularis) sebagai kompetitor serta biawak (Varanus salvator), ular python (Python reticulatus) dan buaya muara (Crocodilus porosus) sebagai predator. Jarak antara Pulau Peucang dan Pulau Panaitan kurang lebih 10 km, demikian juga dengan jarak antara Pulau Panaitan dan Semenanjung Ujung Kulon (daratan Pulau Jawa).

Pulau Peucang dan Pulau Panaitan merupakan habitat alami rusa timor (Rusa timorensis) dan rusa timor yang saat ini hidup di Pulau Panaitan merupakan hasil reintroduksi dari Pulau Peucang. Menurut Pieters dalam Hoogerwerf (1970), rusa timor di Pulau Panaitan berasal dari Semenanjung Ujung Kulon yang berenang menyeberang ke Pulau Panaitan dengan jarak ± 10 km ketika terjadi bencana letusan Gunung Krakatau. Pada tahun 1920, Pieters menembak beberapa individu rusa dalam kondisi yang buruk. Dalam kunjungan berikutnya selama 5 (lima) minggu di Pulau Panaitan, tidak ditemukan individu rusa maupun jejaknya, meskipun ditemukan kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus) dan babi hutan (Sus scrofa) (Hoogerwerf 1970). Kegiatan reintroduksi di Pulau Panaitan bertujuan untuk membangun kembali populasi rusa timor yang telah punah. Kegiatan reintroduksi dilakukan pada bulan Juli 1978 sejumlah 5 individu

(17)

3

individu (2 ♀: 1 ♂) dan terakhir 2 ♀ pada bulan Agustus 1982. Pelepasan selalu

dilakukan pada lokasi yang sama yaitu di Legon Anggasa Pulau Panaitan.

Dalam perkembangannya, Biological Science Club Universitas Nasional Jakarta (BScC) (1984) dalam BTNUK (1992) pernah menjumpai satwa rusa secara langsung di Tanjung Panenjoan, Legon Sabini dan Legon Bajo Pulau Panaitan, sementara BTNUK (1992) hanya menjumpai di Legon Haji Pulau Panaitan. Hasil inventarisasi rusa pada tahun 1997 sejumlah 78 individu dan pada tahun 2008 BTNUK menjumpai rusa tersebar di Legon Butun, Legon Bajo dan Legon Kadam Pulau Panaitan dengan perkiraan populasi ± 400 individu dengan ukuran tubuh yang nampak lebih besar daripada rusa timor di Pulau Peucang.

Evolusi ukuran tubuh merupakan salah satu dari respon yang paling mendasar terhadap lingkungan pulau karena hal ini mempengaruhi sejumlah karakteristik yang terkait dengan potensi immigrasi, interaksi ekologi dan kebutuhan sumber daya (Lomolino 2005). Terjadinya perbedaan ukuran tubuh diantara pulau-pulau dan daratan kemungkinan mengikuti Island Rule. Demetrius (2000), menjelaskan bahwa Island Rule/Foster’s Rule (Foster 1964) adalah perubahan ukuran tubuh yang terjadi karena perpindahan spesies dari daratan ke pulau. Pola perubahan ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (i) ukuran besar: berevolusi menuju ukuran yang lebih kecil; (ii) ukuran menengah: tidak ada gejala khas dalam perubahan ukuran; (iii) ukuran kecil: berevolusi menuju ukuran yang lebih besar. Salah satu mekanisme yang berjalan pada satwa yang berbeda ukuran (besar dan kecil) adalah yang dihubungkan dengan area wilayah jelajah dimana pulau yang berukuran kecil wilayah jelajah bagi satwa yang berukuran besar terbatas, tetapi tidak bagi satwa yang berukuran kecil. Pada wilayah jelajah yang lebih kecil, sumber daya yang tersedia juga lebih sedikit dan ini akan berimplikasi bahwa satwa yang berukuran besar harus menjadi lebih kecil di pulau. Satwa yang berukuran kecil pada pulau dapat meningkatkan akses ke sumber daya jika lebih besar, dan tidak ada kompetisi (Witting 1997).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan ukuran tubuh pada populasi satwa di pulau dibanding pada daratan (Burung: Clegg dan Owen 2002; Primata: Bromham 2007), sementara hasil penelitian lainnya tidak menunjukkan adanya perubahan ukuran tubuh ( ular: Boback 2003; karnivora: Meiri et al. 2004; kadal: Meiri 2007). Menurut Meiri et al. (2008), lingkungan biotik dan abiotik populasi itu sendiri yang akan menentukan bagaimana ukuran tubuh.

(18)

4

dan kepadatan populasi karena tercukupinya kebutuhan hidupnya terutama sumberdaya pakan. Ketika kepadatan populasi tinggi, maka populasi pulau akan menurunkan hasil reproduksi dengan cara menunda usia dewasa. Ketidakhadiran predator menyebabkan populasi pulau mempunyai kelangsungan hidup yang lebih baik dan menurunkan sifat agresif. Penurunan penyebaran terjadi karena isolasi pulau. Pembatasan penyebaran ini juga dapat meningkatkan kepadatan populasi pulau (Adler dan Levins 1994).

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 13 466 pulau di antaranya terdiri dari pulau-pulau kecil (BIG 2007). Kementerian Kelautan dan Perikanan (2000) menyebutkan bahwa salah satu kebijakan dalam pengelolaan pulau kecil ini adalah untuk kepentingan konservasi. Oleh karena itu pulau-pulau kecil ini dapat dijadikan sebagai alternatif tujuan introduksi satwa liar. Namun informasi mengenai keberhasilan introduksi satwa liar khususnya mamalia berukuran sedang hingga besar di pulau berikut proses ekologinya masih terbatas. Sementara menurut Frankham (1998), populasi pulau secara nyata merupakan hasil perkawinan sekerabat (inbred) dan tekanan silang dalam (inbreeding) merupakan salah satu penyebab kepunahan populasi pulau. Untuk itu maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai sindrom pulau dalam reintroduksi rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Panaitan ini sebagai contoh kegiatan reintroduksi yang berhasil.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan teori sindrom pulau (Island Syndrome) dalam reintroduksi rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Panaitan Taman Nasional ujung Kulon melalui beberapa tujuan khusus yaitu:

1. Membandingkanhabitat, pakan dan daya dukung habitat rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

2. Membandingkan ukuran tubuh dan kepadatan populasi rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

3. Membandingkan wilayah jelajah dan penggunaan habitat rusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

4. Membandingkan alokasi wakturusa timor (Rusa timorensis) di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

Manfaat Penelitian

(19)

5 Kebaruan

(20)

6

2 PERBANDINGAN HABITAT, PAKAN DAN DAYA DUKUNG

HABITAT RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN

PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

Pendahuluan

Habitat adalah sumber daya dan kondisi yang terdapat pada suatu area yang menghasilkan hunian bagi organisme tertentu untuk kelangsungan hidup dan reproduksi (Krausman 1999). Habitat satwa merupakan susunan pakan, pelindung dan air yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan biologis satu atau lebih individu spesies (Thomas 1979). Habitat alami rusa meliputi beberapa tipe vegetasi, seperti savana sebagai sumber pakan dan vegetasi hutan yang tidak terlalu rapat untuk tempat bernaung (istirahat), kawin dan untuk bersembunyi menghindar dari predator (Mukhtar et al. 2011).

Cara terbaik untuk mengelola satwa liar adalah dengan mengelola habitatnya karena habitat mempengaruhi kehidupan satwa liar tersebut (Creighton dan Baumgartner 1997). Shaw (1985) menyatakan bahwa salah satu konsep yang paling penting dalam pengelolaan satwa liar adalah daya dukung yaitu jumlah satwa sejenis yang dapat didukung dalam suatu area yang dinyatakan sebagai jumlah per satuan luas dan pakan merupakan salah satu kebutuhan dasar satwa yang turut menentukan jumlah satwa (Creighton dan Baumgartner 1997), karena pakan berpengaruh terhadap kesejahteraan, pertumbuhan serta perkembangan populasi satwa (Masy’ud et al. 2008).

Saat ini rusa timor dikategorikan rentan (vulnerable) karena jumlah populasi rusa dewasa di alam diperkirakan kurang dari 10 000 individu dan diperkirakan terus menurun hingga 10% dalam tiga generasi (minimum 15 tahun) sebagai akibat dari hilangnya habitat, degradasi habitat dan perburuan liar (Hedges et al.

2008). Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi rusa timor adalah dengan melakukan introduksi. Pemindahan rusa timor dari Pulau Peucang (± 450 ha) ke Pulau Panaitan (± 17,500 ha) merupakan salah satu contoh kegiatan reintroduksi yang berhasil.

Ukuran pulau menentukan tingkat habitat sehingga perbedaan ukuran pulau mendorong sindrom pulau yaitu terjadinya perubahan dalam morfologi, demografi dan perilaku dalam proses ekologi dan evolusi populasi pulau (Adler and Levins 1994; Blondel 2000; Russell et al. 2011). Mengingat pentingnya habitat dalam sindrom pulau maka penelitian ini bertujuan untuk membandingkan habitat, pakan, dan daya dukung habitat rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

Metode Penelitian

Habitat Vegetasi

(21)

7

 Petak ukuran 20 m x 20 m untuk pengambilan data vegetasi pohon (diameter >20 cm)

 Petak ukuran 10 m x10 m untuk pengambilan data vegetasi pohon pada tingkat pertumbuhan tiang (diameter 10 - 19 cm)

 Petak ukuran 5 m x 5 m untuk pengambilan data vegetasi tingkat pertumbuhan pancang (diameter <10 cm, ketinggian >1.5 m)

 Petak ukuran 1 m x 1 m untuk vegetasi tingkat semai (diameter <3 cm, tinggi <1.5 m), rumput dan herba.

Penempatan petak jalur dilakukan dengan metode stratifikasi (Cochran 1977) didasarkan pada pola tipe vegetasi.

Keanekaragaman tumbuhan dihitung dengan menggunakan indeks Shanon-Wiener yang didahului dengan menghitung Frekuensi, Densitas dan Dimonansi untuk menghasilkan INP. Adapun parameter vegetasi yang dihitung meliputi :

Kerapatan (K) =

contoh petak luas jenis suatu individu

Kerapatan Relatif (KR) = 10000

tan ker

tan

ker

apa seluruhjenis

jenis suatu apa

Frekuensi (F) =

contoh petak seluruh jenis suatu ditempati yang contoh petak

Frekuensi Relatif (FR) = 10000

jenis seluruh frekuensi Total jenis suatu Frekuensi

Dominansi (D) =

contoh petak luas jenis suatu dasar bidang luas

Dominansi Relatif (DR) = 10000

min min jenis seluruh ansi do Total jenis suatu ansi Do

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR(untuk tingkat tiang dan pohon) Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR (untuk tingkat semai dan pancang) Indeks Diversitas (H”) dihitung dengan menggunakan persamaan Shanon Wiener (Barbour et al. 1987)

H’ =

  s i Pi Pi 1 ln

H” = 2H’

Keterangan :

Pi : Nilai penting tiap jenis dibagi nilai penting seluruh jenis (Ni/N) Ni : Nilai penting tiap jenis

N : Nilai penting seluruh jenis

(22)

8

Air

Ketersediaan sumber air diidentifikasi dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan.

Ketinggian

Peta ketinggian diperoleh dari DEM yang kemudian diklasifikasikan menggunakan spatial analysis tool dalam ArcGIS 10.1.

Pakan

Pengamatan jenis-jenis pakan rusa timor dilakukan bersamaan dengan pengamatan perilaku rusa timor yaitu dengan mengikuti rusa timor mulai pukul 08.00 sampai dengan 16.00 dan mencatat jenis tumbuhan yang dimakan. Untuk mengetahui prosentase jenis pakan yang sama antara rusa jawa di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan maka dihitung indeks similaritasnya dengan menggunakan indeks Sorensen (Mueller-Dombois 1974) atas dasar kehadiran species pakan dengan rumus sebagai berikut:

IS=2C/(A+B)×100

Dimana :

C=Jumlah species pakan rusa jawa di P. Peucang dan P.Panaitan A=Jumlah species pakan rusa jawa P. Peucang

B=Jumlah species pakan rusa jawa P. Panaitan

Daya dukung

Daya dukung dihitung berdasarkan pakan karena pakan merupakan salah satu factor pembatas.Pengukuran produktivitas hijauan ini dilakukan dengan membuat petak contoh berukuran 1 m x 1 m untuk rumput dan herba di padang rumput, 3 m x 3 m untuk semak dan strata pancang dan tiang yang dipagar untuk melindungi dari pagutan rusa dan herbivora lainnya. Produktivitas pakan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

p =

n bbi

p= L properuse

l

p

Keterangan :

bbi = Berat basah pada plot ke-i

n = Jumlah plot

p = Produktivitas hijauan pakan selama 20 hari

L = Luas areal

l = Luas petak contoh

p = Rata-rata berat basah hijauan pakan

Proper use untuk rumput adalah 70% dan untuk hijauan pakan pada semak dan pohon adalah 45% (Susetyo 1980 dalam Sudibyo 2012).

(23)

9

̅

Dimana :

D = daya dukung

̅ = berat rata-rata/Ha/hari

L = luas areal yang mudah dijangkau rusa timor h = jumlah hari

PU = Proper Use (untuk hijauan pakan = 45%, Susetyo 1980 dalam Sudibyo 2012)

Hasil dan Pembahasan

Habitat Vegetasi

Lokasi yang banyak digunakan rusa timor baik di Pulau Peucang maupun Pulau Panaitan adalah padang rumput, pantai dan dataran rendah. Secara umum strata pohon pada Pulau Peucang dan Pulau Panaitan (Lampiran 2 dan 8) mempunyai indeks diversitas yang tinggi (>3) yang menunjukkan bahwa ekosistem pada kedua pulau ini cukup stabil. Strata pohon pada tipe vegetasi mangrove mempunyai indeks diversitas sedang, namun pidada (Sonneratia caseolaris) yang merupakan salah satu jenis pakan rusa timor mempunyai nilai penting tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pagutan rusa terhadap daun pohon pidada tidak mengganggu pertumbuhan pohon pidada atau ketersediaan pidada cukup melimpah dan volume yang dimakan rusa tidak terlalu besar. Rusa timor menggunakan pohon sebagai pelindung dari sengatan matahari, tiupan angin, hujan maupun sebagai sumber pakan (daun yang jatuh, bunga dan buah yang jatuh). Batang pohon juga merupakan sarana untuk menggesekkan ranggah bagi rusa timor jantan baik dewasa maupun remaja.

Rusa timor menggunakan strata tiang (Lampiran 3 dan 9) sebagai sumber pakan yaitu dengan memakan daun yang masih dapat dijangkau karena rusa timor dapat berdiri diatas kedua kaki belakangnya. Daun jambu kopo (Eugenia subglauca) yang mempunyai nilai penting tertinggi di Pulau Peucang merupakan sumber pakan yang penting terutama pada musim kering. Kigentel (Diospyros frustescens) yang merupakan salah satu pakan rusa (daun dan bunga) dan mendominasi hampir di seluruh tipe vegetasi (pantai, hutan dataran rendah dan dataran tinggi) di Pulau Panaitan menunjukkan bahwa salah satu pakan rusa timor di pulau ini cukup melimpah. Strata tiang juga dapat digunakan untuk menggesekkan ranggah.

(24)

10

rusa timor cukup melimpah karena rusa timor di pulau ini mengkonsumsi kedua jenis tumbuhan tersebut.

Tabel 2.1 Vegetasi Pulau Peucang dan Pulau Panaitan

Tipe Vegetasi

Pulau Peucang Pulau Panaitan Jml.

plot Jml.

jenis ID INP tertinggi Jml. plot

Jml.

jenis ID INP tertinggi Pantai Semai Pancang Tiang Pohon Herba, rumput Semak 10 10 10 10 10 10 7 6 7 10 1 2 2.36 2.89 3.44 2.38 1.00 1.60 Calophyllum inophyllum Vitex regundo Calophyllum inophyllum Calophyllum inophyllumIpo moea pescaprae Cycas rumphii 26 26 26 26 26 26 12 11 15 21 1 2 4.83 4.32 4.51 5.62 1.00 1.39 Diospyros aurea Cynometra ramiflora Diospyros frustescens Diospyros frustescens Pipper Sp.

Pandanus tectorius Dataran rendah Semai Pancang Tiang Pohon Herba, rumput Semak, perdu, liana 30 30 30 30 20 20 34 15 26 54 1 2 9.03 5.76 8.63 12.54 1.00 1.62 Eugenia polycephala Drypetes sumatrana Eugenia subglauca Garcinia celebica

Pipper Sp Areuy, rom-roman 13 16 16 16 16 16 13 24 20 42 1 2 3.53 6.50 6.76 10.88 1.00 1.61 Diospyros aurea Uncaria gambir Diospyros frustescens Eugenia spicata Pipper Sp

Daemonorops melanochaetes Dataran tinggi* Semai Pancang Tiang Pohon Herba, rumput Semak 20 20 20 20 20 20 22 26 21 40 0 2 7.85 7.13 6.61 9.19 0.00 1.48 Blumeodendron tokbrai Blumeodendron tokbrai Lagerstroemia speciosa Pterospermum diversifolium - Rom-roman 10 10 10 16 10 10 19 18 13 10 7 2 7.09 6.83 5.47 6.80 3.48 1.60 Sp.5 Diospyros frustescens Pterospermum diversifolium Spondias pinnata Adiantum Sp.

Laportea stimulans

Padang rumput

Herba, rumput

16 11 3.80 Ischaemum muticum

11 15 5.43 Lindernia crustacean Mangrove Semai Pancang Tiang Pohon Herba, rumput Semak, perdu 5 5 5 5 5 5 1.00 1.00 1.00 5.00 - - 1.00 1.00 1.00 2.33 - - Rhizophora apiculata Rhizophora apiculataRhiz ophora apiculata Sonneratia caseolaris - -

(25)

11 Rusa timor menggunakan semai (Lampiran 5 dan 11) sebagai hijauan pakan yang mudah dijangkau, rusa timor dapat makan sambil bergerak. Heas (Eugenia polycephala) yang mendominasi vegetasi dataran rendah di Pulau Peucang merupakan salah satu jenis pakan rusa timor di pulau ini, hal ini akan sangat menguntungkan bagi rusa timor dengan melimpahnya salah satu jenis pakan. Penemuan ini mengindikasikan bahwa keberadaan rusa timor tidak menyebabkan salah satu jenis pakannya menjadi punah. Hal ini kemungkinan karena relung pakan rusa yang luas atau semai jenis heas yang memang cukup melimpah karena pohon heas (Eugenia polycephala) memproduksi biji heas yang berlimpah yang penyebarannya dibantu oleh monyet maupun rusa dan heas mempunyai daya adaptasi yang tinggi. Kitulang (Diospyros aurea) yang merupakan salah satu jenis pakan rusa timor juga mendominasi vegetasi pantai dan dataran rendah di Pulau Panaitan juga memperkuat temuan di Pulau Peucang, meskipun setiap hari rusa timor mengkonsumsi daun semai kitulang (Diospyros aurea) tetapi jenis ini masih mendominasi. Pada vegetasi mangrove di Pulau Panaitan hanya ditemukan satu jenis tumbuhan yaitu Bangka (Rhizopora apiculata). Hal ini kemungkinan karena rusa timor juga makan kecambah pidada (Sonneratia caseolaris) sehingga tidak diketemukan semai jenis pidada (Sonneratia caseolaris), walaupun diketemukan pohonnya.

Air

Sumber air minum di Pulau Panaitan dapat ditemukan pada tiga sungai yang cukup besar yaitu Cilentah, yang bermuara di pantai timur, Cijangkah yang bermuara di pantai utara dan Ciharashas yang bermuara di Teluk Kasuaris. Selain itu air minum juga dapat diperoleh di rawa dan air sumur di Kantor Resort Legon Butun. Rusa timor juga terlihat minum air laut untuk memenuhi kebutuhan garam mineral. Di Pulau Peucang tidak terdapat sungai yang mengalir sepanjang tahun, air minum rusa diperoleh dari kubangan dan rawa. Selain sebagai sumber air minum, kubangan biasa digunakan berkubang oleh rusa jantan yang beranggah keras. Perilaku berkubang dilakukan untuk menstabilkan suhu tubuh yang meningkat akibat pengaruh lingkungan serta pengaruh metabolisme hormonal yang meningkat pada aktivitas kawin (Mannes 1999).

Baik di Pulau Peucang maupun Pulau Panaitan rusa timor memang jarang terlihat minum, mereka minum hanya sesekali saja. Penemuan ini mendukung Hoogerwerf (1970) yang juga menjumpai rusa timor di Taman Nasional Ujung Kulon sangat jarang terlihat minum karena kebutuhan air bagi rusa memang minim. Kemungkinan lainnya adalah karena kebutuhan air rusa timor dapat diperoleh dari air yang terkandung dalam pakan (Huffman 2004).

Ketinggian

(26)

12

Tabel 2.2 Kelas ketinggian di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan

Kelas ketinggian (m dpl) Pulau Peucang (Ha) Pulau Panaitan (Ha)

0-25 388.03 6382.50 25-50 84.98 2635.46 50-75 7.34 1300.70 75-100 0.00 905.46 >100 0.00 1097.65 Jumlah 480.35 12 321.77

Pakan

Terdapat 37 jenis tumbuhan pakan rusa timor yang berhasil diamati di Pulau Peucang (Lampiran 1) yang terdiri dari 20 jenis pohon, 3 jenis perdu, 1 jenis liana, 11 jenis rumput/herba dan 2 jenis jamur. Pada jenis pohon terdapat beberapa bagian yang dimakan antara lain daun, bunga dan tangkainya, buah, ranting muda. Jenis-jenis pakan ini diperoleh rusa timor dengan cara memanen langsung pada individu tumbuhan apabila dapat dijangkau atau dengan memungut yang sudah jatuh baik yang masih segar (daun pada cabang pohon yang patah karena angin kencang atau dijatuhkan oleh monyet individu panjang) maupun yang sudah kuning. Jenis-jenis pakan dari jenis pohon paling banyak ditemukan pada vegetasi dataran rendah. Haeruman et al. (1977) menemukan 46 jenis hijauan pakan rusa timor di Pulau Peucang sementara Setio et al. (2011) menemukan 19 jenis pakan rusa timor di Pulau Peucang.

Tumbuhan pakan rusa timor yang berhasil diamati di Pulau Panaitan sejumlah 38 jenis yang terdiri dari 19 jenis pohon, 4 jenis perdu, 14 jenis rumput/herba dan 1 jenis jamur. Bagian yang dimakan rusa timor di Pulau Panaitan pada jenis pohon antara lain daun, bunga, tangkai bunga, buah, ranting muda, dan kecambah. Pada herba, liana dan perdu bagian yang dimakan adalah daunnya, sedang pada jamur dimakan seluruhnya (batang dan tudung). Rusa timor di pulau ini paling sering terlihat makan vegetasi pantai seperti daun butun (Barringtonia asiatica), waru laut (Thespesia populnes) dan kampis (Hernandia peltata), sedang pada vegetasi hutan dataran rendah yang paling disukai terutama oleh rusa timor jantan dewasa adalah daun rotan (Daemonorops melanochaetes).

Indeks similaritas antara pakan rusa di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan rendah yaitu sebesar 37.33% yang berarti jenis pakan yang sama yang dimakan rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan sedikit (14 jenis), meskipun rusa timor di Pulau Peucang merupakan nenek moyang rusa timor di Pulau Panaitan.

Perbedaan temuan jenis pakan baik di Pulau Peucang dari waktu ke waktu (1977; 2011; 2013) maupun antara Pulau Peucang dan Pulau Panaitan kemungkinan karena rusa timor di Pulau Peucang maupun Pulau Panaitan menggeser menu pakannya berkaitan dengan ketersediaan pakan seperti yang ditemukan pada banteng di Taman Nasional Alas Purwo (Pairah 2007) atau untuk menurunkan kompetisi dengan jenis lain (kijang, kancil dan monyet individu panjang), seperti yang ditemukan pada grazer-grazer di Afrika (Sinclair 1985 dalam Barker 2005).

(27)

13 jenis satwa generalist akan lebih berhasil untuk bertahan hidup (Colles et al. 2009) karena satwa generalis mempunyai relung pakan yang luas, masing-masing jenis pakan dapat saling menggantikan (satwa tidak akan terpaku pada satu jenis pakan saja).

Daya Dukung

Pakan rusa timor di Pulau Peucang terdiri dari rumput, herba, hijauan daun, bunga, buah (pada semak maupun pohon baik pada individu yang hidup maupun pada cabang yang patah dan jatuh), material jatuh (daun, bunga, buah) dan jamur. Hasil perhitungan produktivitas pakan rusa timor di Pulau Peucang dalam setahun adalah sebesar 1 150 473.79 kg atau 3151.98 kg/hari. Menurut Sudibyo et.al. (2012), kebutuhan pakan rusa timor sebesar 15% dari berat badan. Dengan pertimbangan untuk kesejahteraan rusa timor maka kebutuhan pakan diukur dari berat badan rusa dewasa meskipun berat badan anak dan remaja tentu akan lebih kecil dibanding dewasa. Berat badan rusa timor dewasa untuk betina rata-rata 50 kg dan untuk rusa jantan 70 kg, apabila diambil rata-rata 60 kg maka kebutuhan pakan rusa timor adalah 9 kg/individu/hari sehingga daya dukung Pulau Peucang adalah 350 individu, dengan mengabaikan kompetitor dan produktivitas insidental seperti daun segar pada cabang yang patah dan jatuh. Ukuran populasi rusa timor di Pulau Peucang adalah 99 individu (Sudibyo et al. 2012), sehingga populasi rusa timor di pulau ini masih berada di bawah daya dukung. Mukhtar (2004) melaporkan bahwa daya dukung Pulau Peucang untuk tahun 2000 dan 2001 adalah sebesar 337 individu, kemudian pada tahun 2011 Setio et al. (2011) melaporkan bahwa daya dukung Pulau Peucang untuk rusa timor sebesar 375 individu. Dari beberapa laporan tersebut menunjukkan bahwa daya dukung Pulau Peucang tidak terlalu berfluktuasi. Hal ini didukung dengan hasil analisis vegetasi di Pulau ini yang mempunyai indeks diversitas tinggi sehingga ekosistemnya memiliki ekosistem yang stabil.

Hasil perhitungan produktivitas pakan di Pulau Panaitan adalah sebesar 105 593.8 kg/hari, jika kebutuhan pakan rusa timor sebesar 15% dari berat badan dan berat badan rata-rata sebesar 80 kg, maka kebutuhan pakan rusa timor adalah 12 kg/individu/hari sehingga daya dukung Pulau Panaitan adalah sebesar 8799 individu. Estimasi ukuran populasi rusa timor di Pulau Panaitan adalah 822±484 individu, sehingga masih jauh di bawah daya dukung dan kesejahteraan rusa timor di pulau ini tampak pada ukuran tubuhnya yang cenderung lebih besar dibanding rusa timor di Pulau Peucang.

Simpulan

(28)

14

hanya terdapat kubangan dan rawa. Titik tertinggi Pulau Panaitan lebih tinggi dibanding Pulau Peucang, namun ketinggian di kedua pulau ini masih merupakan

(29)

15

3 PERBANDINGAN UKURAN TUBUH DAN KEPADATAN

POPULASI RUSA TIMOR DI PULAU PEUCANG DAN

PULAU PANAITAN TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

Pendahuluan

Rusa timor (Rusa timorensis, Blainville 1822) yang saat ini berada di Pulau Panaitan merupakan reintroduksi dari Pulau Peucang pada tahun 1978 s/d 1982 sejumlah 16 individu. Kegiatan ini dilakukan untuk membangun kembali populasi rusa timor di Pulau Panaitan setelah tahun 1920 tidak diketemukan lagi (Hoogerwerf 1970).

Introduksi dikatakan berhasil jika mampu menghasilkan populasi yang mandiri (Griffith et al. 1989). Pada tahun 1997, Balai Taman Nasional Ujung Kulon melaporkan bahwa ukuran populasi rusa timor di Pulau Panaitan ± 78 individu dan pada tahun 2008 meningkat menjadi ± 400 individu. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan reintroduksi ini cukup berhasil.

Selain ukuran populasi yang mengalami peningkatan, ukuran tubuh rusa timor di Pulau Panaitan juga tampak lebih besar. Menurut Meiri et al. (2008), lingkungan biotik dan abiotik populasi itu sendiri yang akan menentukan bagaimana ukuran tubuh. Harmon et al. (2005) menyatakan bahwa fenotip spesies lebih erat berkaitan dengan lingkungannya dari pada dengan nenek moyangnya. Hal penting yang berkontribusi pada variasi ukuran tubuh adalah perbedaan ketersediaan sumberdaya dan kualitas lingkungan (Amarello et al. 2010) dan perbedaan morfologi berhubungan dengan penggunaan bagian lingkungan yang berbeda (Harmon et al. 2005).

Perubahan pada beberapa karakteristik populasi pulau dalam proses ekologi dan evolusi dinamakan sindrom pulau yang didorong oleh perbedaan ukuran pulau dan isolasi (Adler and Levins 1994; Blondel 2000; Russell et al. 2011). Ukuran pulau menentukan tingkat habitat yang akan berpengaruh pada ukuran tubuh, sedang isolasi akan berpengaruh terhadap kepadatan populasi melalui mekanisme migrasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan ukuran tubuh dan kepadatan populasi rusa timor sebagai komponen sindrom pulau di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

Metode Penelitian

Ukuran tubuh

Sejumlah 5 individu (1♂: 4♀) rusa timor dewasa di Pulau Panaitan dan 10

individu (6♂: 4♀) rusa timor dewasa di Pulau Peucang ditangkap menggunakan

sumpit (tulup bius Ø 5/8 inc) dengan obat bius total kombinasi antara ketamin

10% dan xylazine. Dosis yang digunakan untuk rusa jantan dewasa 300 mg

ketamine 10% dan 50 mg xylazine, sedang untuk rusa betina dewasa 200 mg

ketamine 10% dan 40 mg xylazine. Setelah selesai diobservasi, rusa disuntik

(30)

16

Ukuran tubuh yang diukur meliputi panjang keseluruhan, panjang individu, panjang tengkorak, panjang rahang, tinggi bahu, kaki depan, kaki belakang, lingkar dada, lingkar leher dan berat badan. Untuk mengetahui perbedaan ukuran tubuh antara rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan diuji dengan menggunakan tes Mann Whitney U dengan tingkat kepercayaan 0.05. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 3-7 September 2012 dan tanggal 7-11 Juni 2013.

Kepadatan populasi

Kepadatan populasi rusa timor di Pulau Peucang menggunakan data hasil penelitian Sudibyo et al. (2012), sedang di Pulau Panaitan dilakukan inventarisasi dengan menggunakan metode jalur transek dengan panjang transek 1.5 km dan lebar 80 m. Penempatan jalur transek untuk wilayah Legon Butun, Legon Bajo dan Kelapa Lima dengan model jari-jari dan pada wilayah lainnya dengan model jalur sejajar yang dimulai dari garis pantai ke arah sentrifugal. Jenis data yang dicatat yaitu jumlah individu rusa, jenis kelamin dan kelas umur. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 28 April s/d 1 Mei 2013.

Ukuran dan kepadatan populasi dihitung dengan rumus sebagai berikut : Densitas masing-masing transek:

w L X D n i i . . 2 1  

 atau

a X D n i i    1 dimana :

D : Kepadatan Populasi Dugaan (individu/km

2

atau individu/ha

Xi : Jumlah individu yang dijumpai pada kontak ke-i (individu) L : Panjang transek jalur pengamatan (m)

w : Lebar kiri atau kanan jalur pengamatan (m) a : Luas setiap jalur pengamatan (km2 atau Ha) i : Kontak pengamat dengan satwa liar

Ukuran populasi untuk seluruh wilayah pengamatan dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

atau A

K D P k j j . 1

  dimana :

P : Ukuran Populasi dugaan (individu)

j

D : Kepadatan populasi pada jalur pengamatan ke-j (individu/km 2

atau individu/ha)

K : Jumlah jalur pengamatan

A : Luas total areal yang diteliti (km2 atau ha)

Untuk menentukan kisaran hasil pendugaan ukuran populasi, dapat digunakan perhitungan sebagai berikut:

k D D k i j j j

  A w L X P k j j j n i i . . . 2 1 1

  

1 / 2 2 2   

k k D D

SD j j k

S S D

D

2

(31)

17

dimana:

j

D : Rata-rata kepadatan populasi dugaan dari seluruh jalur pengamatan (individu/km2 atau individu/ha)

j

D : Kepadatan populasi pada jalur pengamatan ke-j (individu/km2 atau individu/ha) k : Jumlah jalur pengamatan

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka kisaran ukuran populasi pada seluruh areal yang diteliti adalah sebagai berikut:

D t S

A P

D

db. .

. 2 /

 (Kartono AP. 2000)

Hasil dan Pembahasan

Ukuran tubuh

[image:31.595.113.518.391.547.2]

Hampir seluruh komponen ukuran tubuh rusa timor di Pulau Panaitan menujukkan nilai yang lebih besar, namun hasil uji Mann Whitney U menunjukkan bahwa secara umum komponen ukuran tubuh baik jantan dewasa maupun betina dewasa pada kedua pulau tidak berbeda secara signifikan (Tabel 3.1). Perbedaan yang signifikan hanya ditemukan pada lingkar dada betina dewasa. Tabel 3.1 Ukuran tubuh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan

Ukuran tubuh (cm)

Jantan Dewasa (rata-rata±SE) Betina Dewasa (rata-rata±SE) Peucang (n=6) Panaitan (n=1) Uji Mann Whitney U Peucang (n=4) Panaitan (n=4) Uji Mann Whitney U

Kaki depan 33.33±0.33 34 P=0.403 30.75±1.18 31.25±0.75 P=0.559 Kaki belakang 44.17±0.40 46 P=0.116 40.00±1.22 41.00±0.71 P=0.642 Badan keseluruhan 173.17±1.70 204 P=0.120 149.25±6.14 154.75±4.75 P=0.468 Panjang individu 19.50±0.62 35 P=0.127 19.00±1.41 20.00±0.71 P=0.381 Panjang kepala 36.83±1.11 37 P=0.604 32.25±0.75 32.75±0.85 P=0.655 Tinggi bahu 95.33±2.74 108 P=0.130 86.25±1.93 87.50±2.22 P=0.663 Lingkar leher 51.33±4.39 70 P=0.134 32.5±1.89 31.00±0.41 P=0.881 Lingkar dada 95.00±2.35 109 P=0.134 81.00±2.38 91.50±2.10 P=0.042* Panjang rahang 26.33±0.76 26 P=0.600 23.25±0.48 24.50±0.87 P=0.186 Berat badan 70.83±3.94 102 P=0.130 49.50±3.12 59.75±3.35 P=0.081

*= signifikan

(32)

18

(Creekmore dan Creekmore 1999). Dengan ditemukannya lingkar dada yang lebih besar pada rusa timor betina dewasa di Pulau Panaitan mengindikasikan bahwa kondisi rusa timor betina dewasa di Pulau Panaitan lebih baik dari rusa timor betina dewasa di Pulau Peucang.

[image:32.595.80.483.161.743.2]

Island rule menyatakan bahwa tidak terdapat gejala khas dalam perubahan ukuran tubuh pada spesies berukuran menengah yang dipindahkan dari daratan ke pulau (Demetrius 2000). Rusa timor merupakan jenis rusa yang berukuran sedang (Jesser 2005), ukuran tubuh rusa timor di Pulau Panaitan yang cenderung lebih besar dari ukuran tubuh rusa timor di Pulau Peucang tidak membuktikan berlakunya island rule.

Gambar 3.1 Betina dewasa di Pulau Peucang

Gambar 3.2 Betina dewasa di Pulau Panaitan

Gambar 3.3 Jantan dewasa di Pulau Peucang

Gambar 3.4 Jantan dewasa di Pulau Panaitan

Berat badan berkorelasi dengan ketersediaan pakan, penurunan berat badan mengindikasikan bahwa ketersediaan pakan yang berkualitas baik kurang mencukupi atau kepadatan populasi rusa terlalu tinggi (Irvin et al. 2012). Kecenderungan berat badan rusa timor betina dewasa maupun jantan dewasa di Pulau Panaitan yang lebih besar mengindikasikan bahwa ketersediaan pakan di

(33)

19 Pulau Panaitan lebih melimpah dibanding Pulau Peucang, sedang kepadatan populasi di Pulau Peucang (0.25 individu/ha) lebih tinggi dibanding Pulau Panaitan (0.23 individu/ha), sehingga memungkinkan bagi rusa timor di Pulau Panaitan lebih cukup akan pakan yang berkualitas baik.

Pulau Peucang merupakan habitat kijang dan monyet ekor panjang, sedang Pulau Panaitan juga merupakan habitat bagi kijang, kancil dan monyet ekor panjang. Kijang lebih banyak memilih pakan jenis dedaunan, sedangkan kancil lebih banyak memakan jenis buah-buahan (Farida et al. 2003), sementara pakan monyet ekor panjang mulai dari daun, bunga, buah hingga kulit pohon (IAR_BTNUK 2013) sehingga kijang, kancil dan monyet ekor panjang dapat dikatakan sebagai kompetitor bagi rusa timor, karena pakan rusa timor mencakup rumput, dedaunan, bunga, buah, kecambah dan jamur. Namun keberadaan monyet ekor panjang juga membantu dalam penyediaan pakan berupa buah bagi rusa timor yaitu dengan menjatuhkan buah-buahan yang berada pada ketinggian pohon sehingga rusa timor dapat memungutnya di lantai hutan. Pertemuan dengan kijang di Pulau Peucang selama penelitian sangat jarang, sedang di Pulau Panaitan sangat sering dijumpai kijang maupun kancil yang mengindikasikan bahwa kepadatan kompetitor di Pulau Peucang lebih rendah dibanding Pulau Panaitan. Sementara monyet ekor panjang di kedua pulau ini sama-sama sering dijumpai. Meskipun demikian karena sumberdaya di Pulau Panaitan lebih melimpah maka kondisi rusa timor, kijang, dan kancil sama-sama gemuk.

Ukuran dan kepadatan populasi

Berdasarkan hasil penelitian Sudibyo et al. (2012) diperoleh ukuran populasi di Pulau Peucang sebesar 99 individu dengan sex ratio kelas umur muda 0.3 dan kelas umur dewasa 0.27 dan struktur umur yaitu 26 anak : 35 muda dan 38 dewasa. Kepadatan populasi rusa timor di Pulau Peucang sebesar 0.25 individu/ha dengan asumsi luas area yang digunakan adalah 400 ha. Estimasi ukuran populasi rusa timor di Pulau Panaitan adalah 822±484 individu dengan sex ratio kelas umur muda 0.44 dan kelas umur dewasa 0.54 dan struktur umur yaitu 12 anak : 23 muda : 40 dewasa dan kepadatan populasinya 0.23±0.11 individu/ha, dengan asumsi luas area yang digunakan adalah lokasi dekat pantai dengan kelerengan datar hingga landai (0-15%) dan ketinggian 0-50 m sebesar 3636 ha. Kepadatan populasi rusa di Pulau Peucang yang mempunyai ukuran lebih kecil dari Pulau Panaitan sesuai dengan catatan dari Adler dan Levins (1994) yang menyatakan bahwa pulau dengan ukuran lebih kecil mempunyai kepadatan populasi yang lebih tinggi.

(34)

20

Sementara populasi rusa timor di Pulau Peucang yang merupakan nenek moyang rusa timor di Pulau Panaitan hanya sebesar 99 individu. Perkembangan populasi rusa timor di pulau ini cukup fluktuatif, pada tahun 2000 tercatat 203 individu dan pada tahun 2001 tercatat 271 individu (Muchtar 2004), pada tahun 2008 tercatat 134 individu (Balai TNUK 2008) dan pada tahun 2011 tercatat 260 individu (Setio et al. 2011). Menurut Sudibyo et al. (2012), rendahnya populasi rusa timor di Pulau Peucang kemungkinan karena rusa timor di pulau ini melakukan migrasi ke Semenanjung Ujung Kulon (Pulau Jawa) karena jarak antara Pulau Peucang dan Semenanjung Ujung Kulon hanya sekitar 500 m. Temuan ini mendukung teori sindrom pulau yang menyatakan bahwa isolasi mengontrol laju migrasi ke dan dari pulau (Adler and Levins 1994; Blondel 2000; Russell et al. (2011) sehingga akan mempengaruhi ukuran dan kepadatan populasi pulau.

Simpulan

(35)

21

4 PERBANDINGAN WILAYAH JELAJAH DAN

PENGGUNAAN HABITAT RUSA TIMOR

DI PULAU PEUCANG DAN PULAU PANAITAN

TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

Pendahuluan

Burt (1949) mendefinisikan wilayah jelajah sebagai area yang dilalui individu dalam beraktivitas normal seperti mengumpulkan makanan, kawin dan merawat anak. Borger et al. (2008) menambahkan bahwa wilayah jelajah menghubungkan pergerakan satwa dengan distribusi sumber daya yang diperlukan untuk bertahan hidup dan reproduksi, sehingga wilayah jelajah dapat mengungkapkan kebutuhan ekologi satwa karena wilayah jelajah mencakup seluruh sumberdaya yang digunakan satwa (Seaman dan Powell 1990). Beberapa faktor yang mempengaruhi wilayah jelajah antara lain massa tubuh (Schmidt et al.

2002), produktivitas habitat (Relyea et al. 2000), jenis kelamin, umur, musim dan kepadatan populasi (Burt 1949), serta predasi (Lagos et al. 1995).

Rusa timor yang hidup di Pulau Panaitan merupakan hasil reintroduksi dari Pulau Peucang yang dilaksanakan pada tahun 1978 s/d 1982. Pelepasan rusa timor di Pulau Panaitan selalu dilakukan pada lokasi yang sama yaitu di Legon Anggasa, namun saat ini rusa timor dapat ditemukan di hampir seluruh pantai yang mengelilingi pulau ini.

Pulau Panaitan yang tersusun atas hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, semak belukar, hutan mangrove sekunder, hutan rawa sekunder, belukar rawa dan padang rumput dengan topografi secara umum datar dan titik tertinggi Gunung Raksa pada ketinggian 320 m merupakan potensi habitat bagi rusa timor, karena rusa timor dapat ditemukan pada padang rumput, semak belukar, hutan rawa, hutan mangrove, hutan pegunungan dengan ketinggian hingga 2600 m (Mukhtar et al. 2011).

Komponen sindrom pulau yang paling menakjubkan adalah perubahan perilaku (Blondel 2000). Data dalam Adler dan Levins (1994) menunjukkan bahwa wilayah jelajah Mus musculus di pulau secara individu lebih menetap bila dibandingkan dengan di daratan. Perbedaan ukuran pulau yang menentukan tingkat habitat tentunya akan mempengaruhi perilaku satwa dalam membangun wilayah jelajah dan penggunaan habitat. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan wilayah jelajah dan penggunaan habitat rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

Metode Penelitian

Wilayah jelajah

Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah focal animal sampling (Altmann 1974) yaitu dengan mengikuti individu target mulai pukul 08.00 s/d 16.00 dengan menghidupkan track pada Global Positioning System

(36)

22

dewasa dan betina dewasa. Data track dalam GPS kemudian dipindahkan ke dalam komputer dengan menggunakan program Mapsource. Luas wilayah jelajah diestimasi menggunakan metode Minimum Convex Polygon yang sederhana dan telah banyak digunakan (Powell 2000) yang dianalisa menggunakan ekstensi

Hawths Tool (Beyer 2006) dan Xtool Pro 10.1 pada software ArgGIS 10.1. Penelitian Nilsen et al. (2008) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada pilihan penduga wilayah jelajah dalam mempengaruhi interpretasi biologi dalam studi komparatif. Powel dan Mitchell (2012) menyatakan bahwa tidak terdapat penduga wilayah jelajah yang universal. Uji Mann Whitney U digunakan untuk mengetahui perbedaan luas wilayah jelajah antara rusa timor di Pulau peucang dan Pulau Panaitan denngan tingkat kepercayaan 0.05.

Penggunaan habitat

Polygon wilayah jelajah Rusa digunakan untuk menganalisis habitat yang digunakan rusa timor dengan cara mengeplotkan polygon wilayah jelajah kedalam peta tutupan lahan, peta ketinggian dan peta kelerengan. Peta tutupan lahan diperoleh dari Kementerian Kehutanan dan dilengkapi dengan pengamatan kondisi lapangan. Peta ketinggian dan kelerengan diperoleh dari DEM yang kemudian diklasifikasikan menggunakan spatial analysis tool dalam ArcGIS 10.1.

Hasil dan Pembahasan

Wilayah Jelajah

Hasil uji Mann Whitney U menunjukkan bahwa wilayah jelajah rusa timor di kedua pulau untuk kelas umur jantan muda berbeda secara signifikan, sedang kelas umur lainnya tidak berbeda nyata (Tabel 4.1). Meskipun rusa timor tinggal di Pulau Panaitan dengan area yang jauh lebih besar akan tetapi perilaku dalam mendirikan wilayah jelajah masih sama dengan nenek moyangnya. Terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan hal ini terjadi antara lain pengalaman rusa timor ketika masih hidup di Pulau Peucang dan distribusi sumberdaya yang ada di Pulau Panaitan yang mirip dengan distribusi sumberdaya di Pulau Peucang. Kelas umur jantan muda di Pulau Peucang mempunyai wilayah jelajah yang lebih luas dibanding dengan jantan muda di Pulau Panaitan. Kelas umur remaja merupakan kelas umur yang mulai mandiri termasuk mulai mandiri dalam membangun wilayah jelajah. Kelas umur jantan muda di Pulau Peucang kemungkinan sedang mempelajari wilayah untuk mendirikan wilayah jelajahnya sehingga wilayah jelajahnya lebih luas, seperti yang dilaporkan pada orang utan (Susanto 2012), namun menurut Carvalho et al. (2008) peningkatan wilayah jelajah digunakan untuk mendapatkan makanan yang cukup dan untuk menemukan pasangan. Sementara Lindstedt et al. (1986) menyatakan bahwa kelas umur jantan muda mempunyai wilayah jelajah yang lebih luas karena mereka disingkirkan oleh jantan dominan sehingga wilayah jelajahnya tersebar dan berpindah-pindah, selain itu juga karena jantan muda membutuhkan lebih banyak nutrisi untuk pertumbuhan sementara ketrampilan untuk mendapatkan makanan masih kurang.

(37)
[image:37.595.118.518.298.377.2]

23 sumberdaya yang diperlukan berada dalam wilayah yang berdekatan. Rusa jantan muda yang berada di Cibariang Pulau Panaitan mempunyai wilayah jelajah sempit (0.254 ha) kemungkinan karena wilayahnya berdekatan dengan predator (buaya muara di muara sungai Cibariang atau ular python di lubang pohon nyamplung yang besar dan tumbang) sehingga predator telah membatasi wilayah jelajah rusa jantan muda. Kemungkinan lainnya adalah rusa timor jantan muda menggunakan strategi optimal patch use (Brown 1988) dan optimal foraging (Krebs dan Davies 1990). Di Cibariang terdapat vegetasi pantai dan mangrove, rusa timor dapat menggunakan dua tipe vegetasi ini sebagai sumber pakan maupun cover. Air minum dapat diperoleh dari rawa dan garam mineral dapat diperoleh dari laut. Penemuan ini juga mendukung hipotesis wilayah jelajah lebih kecil ketika sumberdaya penting melimpah (Anderson et al. 2005).

Tabel 4.1 Hasil uji beda wilayah jelajah rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan

Kelas Umur Luas wilayah jelajah (mean±SE) Uji Mann Whitney U P. Peucang (Ha); n=15 P. Panaitan (Ha); n=15

Jantan dewasa 3.95±1,39 6.26±4.52 P=0.827

Betina dewasa 4.31±2.69 3.61±0.05 P=0.513

Jantan muda 11.23±0.78 1.72±1.37 P=0.05*

Betina muda 3.75±1.95 2.20±1.55 P=0.513

Anak 4.35±2.66 5.97±2.36 P=0.275

*= signifikan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rusa timor di kedua pulau ini menggunakan ruang yang hampir sama luasannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, meskipun Pulau Panaitan mempunyai luasan yang jauh lebih besar dibanding Pulau Peucang, tidak diikuti dengan meningkatnya ukuran wilayah jelajah rusa di pulau ini. Penemuan ini mendukung teori optimal patch use yaitu satwa mampu mengidentifikasi dan mengarahkan upaya mereka untuk mencari makan di lingkungan (patch) yang rata-rata tingkat hasil panen atau keuntungannya lebih tinggi dibanding lingkungan pada umumnya (Brown 1988). Mitchell dan Powell (2012) menjelaskan bahwa dua strategi untuk mengefisienkan wilayah jelajah yaitu maksimalisasi sumberdaya dan minimalisasi area sehingga akan menurunkan energi untuk melakukan perjalanan.

Wilayah jelajah menghubungkan pergerakan satwa dengan distribusi sumber daya yang diperlukan untuk bertahan hidup dan reproduksi (Borger et al. 2008). Pada musim bunga atau buah, maka rusa akan berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya untuk mencari bunga atau buah. Beberapa jenis bunga/buah yang teramati dimakan oleh rusa di Pulau Peucang antara lain buah dahu

(Dracontomelon dao), buah kiara (Ficus sp), kulit buah melinjo (Gnetum gnemon),

ranting dan bunga ketapang (Terminalia catappa), kulit buah ketapang (Terminalia catappa), bunga dan buah calincing (Averrhoa bilimbi). Bunga yang teramati dimakan rusa di Pulau Panaitan adalah bunga dan ranting bunga ketapang

(38)

24

Panaitan yang menggunakan habitat mangrove, selain makan daun tumbuhan mangrove (Sonneratia sppdan Bruguiera spp), mereka juga makan kecambahnya. Dalam memenuhi kebutuhan air minum, rusa timor di Pulau Peucang minum di kubangan atau rawa, sedang rusa timor di Pulau Panaitan minum di rawa, sungai dan air sumur di dekat Kantor Resort Legon Butun. Rusa timor di kedua pulau ini menggunakan hutan sebagai pelindung dari teriknya matahari. Rusa timor di Pulau Peucang menggunakan padang rumput selain sebagai tempat mencari makan juga sebagai ruang untuk berinteraksi sosial seperti aktivitas perawatan antar individu, bermain dan aktivitas seksual. Sedang rusa timor di Pulau Panaitan menggunakan area hutan yang tidak rapat (pepohonan cukup besar dan banyak yang sudah tumbang, sedikit pohon tingkat tiang atau pancang dan sedikit semai) sehingga hanya tampak tanah yang tertutup sedikit serasah sebagai tempat untuk beristirahat dan beraktivitas sosial.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih wilayah jelajah diantara seluruh kelas umur rusa timor di kedua pulau. Namun untuk rusa di Cibariang Pulau Panaitan selama pengamatan hanya ditemukan jantan muda, betina dewasa dan jantan dewasa dengan jantan lebih banyak. Kemungkinan hal ini berkaitan dengan terdapatnya predator (buaya muara dan ular python) di wilayah ini, sehingga betina dewasa akan membesarkan anaknya di lokasi lain yang jauh dari predator.

Penggunaan habitat Tutupan lahan

Di Pulau Peucang, selama pengamatan (08.00 s/d 16.00) kelas umur anak, jantan muda dan betina dewasa menggunakan rumput dan hutan lahan kering sekunder sebagai daearah jelajahnya (Gambar 4.1; Tabel 4.2), dengan rata-rata penggunaan rumput cukup kecil. Kelas umur anak, menjelajahi rumput rata-rata hanya sebesar 1.47% dari wilayah jelajahnya, demikian juga dengan jantan muda (1.02%) dan betina dewasa (1.48%). Hal ini karena luasan padang rumput yang juga cukup kecil (1% dari luas kawasan). Meskipun prosentase luasan daerah jelajah ketiga kelas umur ini dalam menggunakan rumputcukup kecil, namun mereka menggunakan padang rumput cukup lama. Rata-rata rusa berada di padang rumput mulai sore hari (14.00 – 18.00) hingga menjelang pagi (04.00-05.00). Kelas umur betina muda akan memasuki padang rumput ketika menjelang malam, sementara jantan dewasa mengunjungi padang rumput ketika musim kawin untuk mencari betina dewasa.

Padang rumput merupakan tempat mencari makan, aktivitas sosial dan sebagai tempat beristirahat. Pada pagi hingga menjelang kelompok rusa ini berada di hutan untuk menghindari suhu yang tinggi di padang rumput (hutan sebagai

cover). Selain sebagai cover, hutan juga berfungsi sebagai tempat mencari makan. Daun semai, daun jatuh, buah jatuh, bunga dan jamur merupakan pakan rusa timor yang diperoleh di dalam hutan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan padang rumput sangat penting bagi keberlangsungan hidup rusa timor di pulau ini.

(39)
[image:39.595.104.495.175.772.2]

25 Betina dewasa rata-rata menjelajahi air laut (0.22%) dan hutan rawa sekunder (99.78%) sedang jantan dewasa menempati air laut (4.35%), hutan lahan kering sekunder (14.85%), hutan rawa sekunder (80.64%) dan hutan mangrove sekunder (0.16%). Selain itu di lain waktu penulis pernah menemukan kelas umur anak, betina dewasa dan jantan dewasa mengunjungi padang rumput. Kelas umur betina dewasa juga pernah penulis temukan mencari makan di hutan mangrove sekunder. Sebagai tambahan penulis belum pernah menemukan kelas umur anak di hutan mangrove sekunder. Hal ini disebabkan medan yang sulit untuk dilalui dan wilayahnya yang berdekatan dengan predator. Dari seluruh kelas umur rusa timor terlihat bahwa daerah jelajah rusa timor di Pulau Panaitan paling banyak m

Gambar

Tabel 2.1  Vegetasi Pulau Peucang dan Pulau Panaitan
Tabel 3.1  Ukuran tubuh rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau Panaitan
Gambar 3.1  Betina dewasa di Pulau
Tabel 4.1  Hasil uji beda wilayah jelajah rusa timor di Pulau Peucang dan Pulau
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian yang dilakukan Saleh (2003), tentang pematahan dormansi benih aren secara fisik pada berbagai lama ekstraksi buah, perlakuan ekstraksi 30 hari menunjukkan

Hasil yang diperoleh dari uji korelasi adalah (1) Pengurus Gapoktan umumnya berusia produktif; tingkat pendidikan formal pengurus umumnya SD; tingkat pendidikan

Media pembelajaran interaktif Bahasa inggris Sekolah Dasar kelas berbasis multimedia yang berisikan pembelajaran atau teori dan soal- soal latihan pada Sekolah-sekolah Dasar..

Dalam perhitungan Nilai Pasar Wajar Surat Berharga Negara yang menjadi Portofolio Efek Reksa Dana Terproteksi, Manajer Investasi dapat menggunakan metode harga perolehan

Persamaan pemikiran antara Ibnu Taimiyah dan Mohammad Natsir adalah sama – sama menginginkan negara agama dan sama – sama menentang pemerintahan ketika beliau merasa berbeda

JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SATUAN

Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM) diberikan kepada setiap Warga Negara Indonesia yang datang dari luar wilayah Kota Pontianak (tamu) serta bertempat tinggal tidak

Peserta didik sering kali diharapkan untuk tertarik pada topik yang tidak ada kaitannya dengan pengalaman, aspirasi atau keingintahuan mereka (Paul Ginnis 2008: