FOOD HANDLER)
DI LINGKUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2014
Oleh :
OLIVIA MONICA D 110100205
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Angka Kejadian Infeksi Nematoda Usus pada Pedagang
Makanan (Food Handler) di Lingkungan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2014.
Nama : Olivia Monica D
NIM : 110100205
Pembimbing, Penguji I,
(dr. Sunna Vyatra Hutagalung, MS) (dr. Tetty Aman Nasution, M.Med,Sc.)
NIP. 198104032006042002 NIP. 197001091997022001
Penguji II,
(dr. Lita Feriyawati, M.Kes)
NIP. 197002082001122001
Medan, Desember 2014
Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
(Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar,SpPD,KGEH)
ABSTRAK
Infeksi nematoda usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, karena prevalensinya masih tinggi yaitu sekitar 45-65%. Penularan infeksi cacing dibantu transmisinya oleh pedagang makanan (food handler). Untuk memenuhi kebutuhan energi setiap hari, banyak mahasiswa dan dosen yang mengkomsumsi makanan yang dijajakan oleh pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan
(food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU.
Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif dengan pendekatan cross sectional (potong lintang) yang dilakukan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU, Medan pada bulan September 2014. Sampel penelitian adalah 25 orang pedagang makanan yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi melalui teknik total sampling. Data infeksi kecacingan diambil sebagai data primer melalui pemeriksaan laboratorium feses teknik Modifikasi Kato-Katz. Observasi juga dilakukan untuk memperoleh data pendukung perihal kondisi perilaku dan lingkungan yang berpengaruh terhadap angka kejadian infeksi kecacingan.
Pada penelitian ini, terdapat 1 orang (1/25) pedagang makanan yang terinfeksi dengan jenis cacing yang menginfeksi adalah Ascaris lumbricoides. Pedagang makanan yang terinfeksi berjenis kelamin perempuan dan berusia di antara 18-40 tahun. Berdasarkan hasil lembar observasi didapati pedagang makanan yang terinfeksi memiliki perilaku host dan faktor lingkungan yang “Buruk”.
Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan adalah 4%. Kesadaran dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungan, serta pemeriksaan kesehatan berkala perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan pedagang makanan.
ABSTRACT
Intestinal nematode infection remains a public health problem in Indonesia because of its prevalence is still high at 45-65%. Transmission of helminth infection is assisted by food traders. To meet the energy needs every day, many students and professors who consume foods sold by food traders in the Faculty of Medicine, USU. The purpose of this study is to determine how much the incidence of intestinal nematode infections in food traders (food handler) in the Faculty of Medicine, USU.
This study is a descriptive study with cross-sectional approach conducted in the Faculty of Medicine USU, Medan in September 2014. Samples were 25 food traders are selected according to the criteria of inclusion and exclusion criteria through total sampling technique. Data of helminth infections is taken as the primary data through laboratory feces tests Modified Kato-Katz technique. Observation were also made to support regarding behavior and environmental conditions that affect the incidence of helminth infection.
In this study, there was only one food trader (1/25) were infected, with a type of helminth that infects is Ascaris lumbricoides. Infected food trader is female and aged between 18-40 years. Based on the results of the observation sheet was found that infected food traders host behavior and environmental factors is "Bad".
From these results, it can be concluded that the incidence of intestinal nematode infections in the food trader is 4%. Awareness in maintaining their own health and the environment, as well as periodic health examination needs to be done to improve food trader’s health quality.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia, rahmat dan
kesehatan yang telah Ia berikan kepada peneliti sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penelitian tepat pada waktunya. Judul yang dipilih adalah “Angka
Kejadian Infeksi Nematoda Usus pada Pedagang Makanan (food handler) di
Lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2014”, yang
merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pembelajaran semester VII di
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam proses penulisan karya ilmiah ini, peneliti telah mendapat
bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini peneliti dengan rendah hati ingin menyampaikan terima
kasih kepada :
1. dr. Sunna Vyatra Hutagalung, MS selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan dan masukan kepada peneliti, sehingga karya tulis ilmiah ini
dapat terselesaikan dengan baik.
2. dr. Tetty Aman Nasution, M.Med, Sc. dan dr. Lita Feriyawati, M.Kes selaku
dosen penguji I dan II yang sudah meluangkan waktu dan pemikiran untuk
menyempurnakan karya tulis ilmiah ini.
3. Orang tua peneliti, Dr. Ir. Binsar Situmorang, M.Si, MAP dan Rumondang
Pangaribuan, SE yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun
material kepada peneliti.
4. Saudara kandung peneliti, Dian C. Anggara, S.Mn, MBA, Carina Shelia, S.Ked
dan Jeffrey Fernando Abram yang telah banyak memberikan motivasi dan
masukan kepada peneliti.
5. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang
6. Teman-teman peneliti, Ira, Ncus, Regina, Deasy, Ibrena, Helena, Yandi dan
Dedek yang telah banyak memberikan saran dan bantuan kepada peneliti selama
penelitian.
Peneliti menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan ketidaksempurnaan akibat keterbatasan ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang dimiliki oleh peneliti. Oleh karena itu, semua saran dan kritik
akan menjadi sumbangan yang berarti guna menyempurnakan penelitian ini.
Akhirnya, peneliti mengharapkan semoga karya ilmiah ini dapat
memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, bangsa dan negara, serta pengembangan ilmu
pengetahuan.
Medan, Desember 2014
Peneliti,
OLIVIA MONICA D
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR TABEL... xi
DAFTAR SINGKATAN ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3.Tujuan Penelitian ... 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Nematoda ... 5
2.2. Jenis Nematoda Usus... ... 5
2.3. Epidemiologi Infeksi Nematoda Usus ... 6
2.4. Faktor Resiko Infeksi Nematoda Usus ... 7
2.5.1. Ascaris lumbricoides
2.5.1.1. Siklus Hidup ... 9
2.5.1.2. Gejala Klinis... 11
2.5.1.3. Diagnosa ... 11
2.5.2. Trichuris trichuira 2.5.1.1. Siklus Hidup ... 12
2.5.1.2. Gejala Klinis... 13
2.5.1.3. Diagnosa ... 13
2.5.3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (Hookworm) 2.5.1.1. Siklus Hidup ... 14
2.5.1.2. Gejala Klinis... 15
2.5.1.3. Diagnosa ... 15
2.6. Pemeriksaan Tinja pada Infeksi Nematoda Usus ... 15
2.7. Transmisi Infeksi Nematoda Usus oleh Pedagang Makanan (food handler)... ... 18
2.8. Dampak Infeksi Kecacingan pada Orang Dewasa 2.8.1. Dampak terhadap Status Kesehatan dan Gizi ... 19
2.8.2. Dampak terhadap Intelektual dan Produktivitas... ... 19
2.9. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Nematoda Usus ... 19
2.10. Pengendalian Infeksi Nematoda Usus 2.10.1. Pemberian obat cacing... ... 20
2.10.2. Pendidikan kesehatan (Edukasi) ... 21
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 22
3.2. Defenisi Operasional... 22
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian ... 26
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 26
4.4. Metode Pengumpulan Data ... 27
4.5. Metode Analisis Data ... 28
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian ... 29
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 28
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel... 28
5.1.2.1. Karakteristik Pedagang Makanan Berdasarkan Jenis Kelamin 28 5.1.2.1. Karakteristik Pedagang Makanan Berdasarkan Usia ... 29
5.1.3. Hasil Analisis Data ... 29
5.1.3.1. Angka Kejadian Infeksi Nematoda Usus ... 29
5.1.3.2. Distribusi Frekuensi Pedagang Makanan berdasarkan Jenis Cacing Nematoda Usus ... 30
5.1.3.3. Deskripsi Hasil Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner... 32
5.1.3.3.1. Distribusi Frekuensi Jawaban pada Lembar Observasi ... 32
5.1.3.3.2. Distribusi Frekuensi Jawaban pada Lembar Kuisioner ... 34
5.1.3.3.4. Deskripsi Hasil Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner pada Pedagang Makanan yang Terinfeksi.. 37
5.2. Pembahasan ... 39
5.2.1. Hasil Penelitian ... 39
5.2.2. Lembar Observasi ... 40
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan ... 43
6.2. Saran ... 43
DAFTAR GAMBAR
Nomor JUDUL Halaman
2.1 Jenis Soil Transmitted Helminths 6
2.2 Siklus Hidup Ascaris lumbricoides 10
2.3 Siklus Hidup Trichuris trichiura 12
2.4 Siklus Hidup Hookworm 14
2.5 Kerangka Teori Transmisi Infeksi Nematoda
Usus pada Pedagang Makanan (Food Handler)
18
3.1 Kerangka Konsep 22
5.1 Hasil Pemeriksaan Mikroskopis (perbesaran
10X) pada Pedagang Makanan yang Terinfeksi
(Positif)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1 Jenis Cacing Penyebab Utama Infeksi Nematoda Usus
di Seluruh Dunia
7
2.2 Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing 17
5.1 Distribusi Karakteristik Pedagang Makanan berdasarkan
Jenis Kelamin
28
5.2 Distribusi Karakteristik Pedagang Makanan berdasarkan
Usia
29
5.3 Distribusi Frekuensi Pedagang Makanan berdasarkan
Infeksi Cacing Nematoda Usus
30
5.4 Distribusi Frekuensi Pedagang Makanan berdasarkan Jenis
Cacing Nematoda Usus
31
5.5 Distribusi Frekuensi Jawaban Pedagang Makanan pada Item
Observasi Perilaku Host dan Faktor Lingkungan
32
5.6
5.7
5.8
5.9
Distribusi Frekuensi Jawaban pada Lembar Kuisioner
Skor Hasil dari Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner
Pedagang Makanan
Kategori Pedagang Makanan dan Faktor Lingkungan
berdasarkan Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner
Distribusi Tabulasi Silang Kategori Perilaku dan Faktor
Lingkungan Pedagang Makanan dengan Infeksi Kecacingan
di Lingkungan Fakultas Kedokteran USU tahun 2014
33
Deskripsi Hasil dari Lembar Observasi Perilaku Host dan
Faktor Lingkungan pada Pedagang Makanan yang
Terinfeksi (Positif)
Deskripsi Hasil dari Lembar Kuisioner Perilaku Host dan
Faktor Lingkungan pada Pedagang Makanan yang Positif
37
DAFTAR SINGKATAN
USU : Universitas Sumatera Utara
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Ethical Clearance
Lampiran 3 Surat Izin Penelitian
Lampiran 4 Informed Consent
Lampiran 5 Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner
Lampiran 6 Data Induk
Lampiran 7 Output Hasil Penelitian
ABSTRAK
Infeksi nematoda usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, karena prevalensinya masih tinggi yaitu sekitar 45-65%. Penularan infeksi cacing dibantu transmisinya oleh pedagang makanan (food handler). Untuk memenuhi kebutuhan energi setiap hari, banyak mahasiswa dan dosen yang mengkomsumsi makanan yang dijajakan oleh pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan
(food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU.
Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif dengan pendekatan cross sectional (potong lintang) yang dilakukan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU, Medan pada bulan September 2014. Sampel penelitian adalah 25 orang pedagang makanan yang dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi melalui teknik total sampling. Data infeksi kecacingan diambil sebagai data primer melalui pemeriksaan laboratorium feses teknik Modifikasi Kato-Katz. Observasi juga dilakukan untuk memperoleh data pendukung perihal kondisi perilaku dan lingkungan yang berpengaruh terhadap angka kejadian infeksi kecacingan.
Pada penelitian ini, terdapat 1 orang (1/25) pedagang makanan yang terinfeksi dengan jenis cacing yang menginfeksi adalah Ascaris lumbricoides. Pedagang makanan yang terinfeksi berjenis kelamin perempuan dan berusia di antara 18-40 tahun. Berdasarkan hasil lembar observasi didapati pedagang makanan yang terinfeksi memiliki perilaku host dan faktor lingkungan yang “Buruk”.
Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan adalah 4%. Kesadaran dalam menjaga kesehatan diri dan lingkungan, serta pemeriksaan kesehatan berkala perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas kesehatan pedagang makanan.
ABSTRACT
Intestinal nematode infection remains a public health problem in Indonesia because of its prevalence is still high at 45-65%. Transmission of helminth infection is assisted by food traders. To meet the energy needs every day, many students and professors who consume foods sold by food traders in the Faculty of Medicine, USU. The purpose of this study is to determine how much the incidence of intestinal nematode infections in food traders (food handler) in the Faculty of Medicine, USU.
This study is a descriptive study with cross-sectional approach conducted in the Faculty of Medicine USU, Medan in September 2014. Samples were 25 food traders are selected according to the criteria of inclusion and exclusion criteria through total sampling technique. Data of helminth infections is taken as the primary data through laboratory feces tests Modified Kato-Katz technique. Observation were also made to support regarding behavior and environmental conditions that affect the incidence of helminth infection.
In this study, there was only one food trader (1/25) were infected, with a type of helminth that infects is Ascaris lumbricoides. Infected food trader is female and aged between 18-40 years. Based on the results of the observation sheet was found that infected food traders host behavior and environmental factors is "Bad".
From these results, it can be concluded that the incidence of intestinal nematode infections in the food trader is 4%. Awareness in maintaining their own health and the environment, as well as periodic health examination needs to be done to improve food trader’s health quality.
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang
Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering
ditemukan pada tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia
disebut dengan nematoda usus. Cacing nematoda usus bersifat kosmopolit
terutama ditemukan pada daerah yang lembab yaitu di negara yang beriklim tropis
dan subtropis, dimana telur dan larva cacing lebih dapat berkembang (de Silva et
al., 2003 ; Bethony et al., 2006).
Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang memiliki prevalensi
tinggi infeksi cacing di dunia (de Silva et al., 2003). Di Indonesia, infeksi cacing
masih merupakan masalah besar dalam kesehatan masyarakat karena
prevalensinya masih tinggi yaitu kurang lebih 45-65%, bahkan di wilayah tertentu
yang memiliki sanitasi lingkungan buruk, panas dan kelembaban tinggi prevalensi
infeksi cacing bisa mencapai 80% (Ali, 2007).
Di antara nematoda usus ini yang paling sering menginfeksi manusia
adalah yang ditularkan melalui tanah atau disebut ”Soil Transmitted
Helminths (STH)”. Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)adalah infeksi pada
manusia yang disebabkan oleh cacing nematoda parasit yang ditularkan melalui
tanah yang terkontaminasi melalui kontak langsung dengan telur parasit atau larva
yang berada di tanah (Bethony et al., 2006).
Cacing yang tergolong dalam kelompok Soil Transmitted Helminths
(STH) adalah cacing yang dalam menyelesaikan siklus hidupnya memerlukan
tanah yang sesuai untuk berkembang menjadi bentuk infektif. Empat jenis Soil
Transmitted Helminths (STH) yang paling sering menginfeksi adalah
roundworm (Ascaris lumbricoides), whipworm (Trichuris trichiura), dan
hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) sedangkan
Strongyloides stercoralis jarang ditemukan terutama pada daerah yang beriklim
Berdasarkan laporan terakhir diperkirakan infeksi Ascaris lumbricoides
sebesar 1,221 miliar, Trichiuris trichiura 795 juta (de Silva et.al, 2003). Infeksi
dengan Trichiuris trichiura dan Ascaris lumbricoides secara tipikal diderita pada
anak-anak berusia 5-10 tahun, semakin bertambah usia akan menurun dan
menetap pada usia dewasa. Profil yang berbeda terjadi pada infeksi cacing
tambang dengan intensitas maksimum sampai usia 20-25 tahun(Hotez et al.,
2006).
Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) memberikan dampak yang cukup
luas. Infeksi STH dapat memperburuk status nutrisi dan menganggu proses
kognitif sehingga dapat menurunkan produktifitas penderita dan menurunkan
sumber daya manusia (WHO, 2010 ; Depkes RI, 2006). Infeksi STH lebih
menyebabkan ketidakmampuan (disability) dibandingkan kematian, beban yang
ditanggung masyarakat diukur menggunakan disability-adjusted life years
(DALY) sebagai bagian dari Global Burden of Disease (GBD) (Pullan, Jennifer,
Rashmi, dan Simon, 2014). Infeksi cacing tambang menyebabkan hilangnya
DALY lebih besar dibandingkan infeksi cacing lainnya. Pengukuran DALY
karena cacing tambang masih tetap menurunkan estimasi dari beban
sesungguhnya akibat anemia defisiensi zat besi dan kurang energi protein.
Anemia defisiensi zat besi diperkirakan menimbulkan kehilangan 12 juta
DALY setiap tahunnya dan merupakan masalah gangguan nutrisi terbesar di
dunia ( Hotez et al., 2006).
Penularan infeksi cacing salah satunya dibantu transmisinya oleh
pedagang makanan (food handler). Pedagang makanan adalah seseorang yang Penularan infeksi cacing pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara
yaitu penularan secara langsung melalui telur cacing yang menempel pada kuku
atau tangan yang telah tercemar oleh tanah dengan tinja manusia, ataupun
makanan yang telah tercemar telur cacing yang dibantu transmisi dengan angin
atau vektor seperti lalat atau serangga, sehingga masuk ke mulut kemudian
tertelan dan penularan melalui larva cacing yang menembus kulit yang ditularkan
seorang tenaga kerja yang bertugas untuk memproses bahan makanan untuk
dimasak menjadi makanan (koki atau juru masak) ataupun orang yang berperan
sebagai food handler untuk menyajikan makanan kepada pembeli. Tanpa disadari
banyak pedagang makanan (food handler) yang terinfeksi cacing merupakan
carrier asymptomatic dimana mereka secara tidak sengaja dapat menularkan
kecacingannya kepada para pembeli melalui makanan yang telah terkontaminasi
oleh tangan yang terinfeksi telur cacing.
Soil Transmitted Helminth (STH) yang dapat menginfeksi manusia dengan
penularan melalui tangan hanya roundworm (Ascaris lumbricoides) dan
whipworm (Trichuris trichiura
Fakultas Kedokteran USU adalah tempat dimana mahasiswa dan dosen
setiap harinya beraktivitas dalam kegiatan belajar-mengajar. Mahasiswa rata-rata
menghabiskan waktu untuk kuliah dan praktikum minimal enam jam setiap
harinya. Untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut, banyak mahasiswa dan
dosen yang mengkomsumsi makanan yang dijajakan oleh pedagang makanan di
lingkungan Fakultas Kedokteran USU, dimana tempat tersebut belum pernah
dilakukan penelitian yang berhubungan dengan infeksi yang ditularkan melalui
pedagang makanan (food handler).
), infeksi hookworm tidak dapat menginfeksi
manusia melalui penularan dengan tangan namun pada penelitian ini juga akan
dipaparkan angka kejadian infeksi telur hookworm pada pedagang makanan (food
handler), dimana pemeriksaan infeksi STH dilakukan dengan menggunakan feses
sebagai sampel dan dilakukan pemeriksaan secara kualitatif dengan metode
Modifikasi Kato Katz.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai angka
kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan (food
handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan
1.3. Tujuan penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui seberapa besar angka kejadian infeksi nematoda
usus pada pedagang makanan (food handler) di lingkungan Fakultas
Kedokteran USU.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui distribusi pedagang makanan (food handler) yang
terinfeksi nematoda usus berdasarkan usia dan jenis kelamin.
2. Untuk mengetahui distribusi jenis nematoda usus yang menginfeksi
pedagang makanan (food handler).
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor host dan lingkungan
terhadap infeksi kecacingan pada pedagang makanan (food handler).
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain :
1. Pedagang makanan (food handler) meningkatkan kesadaran dalam
pencegahan infeksi danmenyadari dampak dari infeksi tersebut.
2. Mahasiswa dan dosen Fakultas Kedokteran USU mengetahui mengenai
kejadian infeksi nematoda usus dan dapat mencegah terjadinya infeksi
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
3. Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai salah satu referensi tentang
infeksi nematoda usus.
4. Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti tentang infeksi
nematoda usus, terutama yang berkaitan dengan penyebaran infeksi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Nematoda
Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda
adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya
bilateral simetrik, panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda
yang ditemukan pada manusia terdapat dalam organ usus, jaringan dan sistem
peredaran darah, keberadaan cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang
berbeda-beda tergantung pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi.
2.2. Jenis Nematoda Usus
Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering
ditemukan pada tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia
disebut dengan nematoda usus. Nematoda usus sering disebut sebagai cacing
gilig, di antara filum yang lain , filum ini mempunyai anggota terbanyak baik
jenis maupun individunya.
Di antara nematoda usus ini yang paling sering menginfeksi manusia
adalah yang ditularkan melalui tanah atau disebut ”soil transmitted helminths ”.
Empat jenis Soil Transmitted Helminths (STH) yang paling sering menginfeksi
adalah roundworm (Ascaris lumbricoides), whipworm (Trichuris trichiura), dan
hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) sedangkan
Strongyloides stercoralis jarang ditemukan terutama pada daerah yang beriklim
dingin (Srisari G., 2006). Namun STH yang hanya dapat dibantu transmisinya
oleh pedagang makanan (food handler) melalui kontaminasi tangan adalah
Gambar 2.1. Jenis Soil Transmitted Helminths (STH)
(Soedarto, 1991)
2.3. Epidemiologi Infeksi Namatoda Usus
Data WHO menyebutkan lebih dari 2 milyar orang di seluruh dunia
menderita kecacingan. Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang
memiliki prevalensi tinggi infeksi cacing di dunia (de Silva et.al., 2003). Di
Indonesia, infeksi cacing masih merupakan masalah besar dalam kesehatan
masyarakat karena prevalensinya masih tinggi yaitu kurang lebih 45– 65%,
bahkan di wilayah-wilayah tertentu yang memiliki sanitasi lingkungan buruk,
panas, dan kelembaban tinggi prevalensi infeksi cacing bisa mencapai 80%
Cacing penyebab utama
di seluruh dunia
Penyakit Perkiraan populasi yang
terinfeksi (juta)
Ascaris lumbricoides Infeksi cacing gelang 807-1221
Trichuris trichiura Infeksi cacing cambuk 604-795
Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale
Infeksi cacing tambang 576-740
Strongyloides stercoralis Infeksi cacing benang
(threadworm)
30-100
Enterobius vermicularis Infeksi cacing kremi 4-28%
Sumber : Bethony dkk, 2006
Tabel 2.1. Jenis Cacing Penyebab Utama Infeksi Nematoda Usus
di Seluruh Dunia
2.4. Faktor Resiko Infeksi Nematoda Usus
Faktor host dan lingkungan merupakan faktor resiko infeksi cacing pada
manusia diantaranya :
1. Faktor individu
a. Genetik
Sampai saat ini belum berhasil diindentifikasi adanya gen yang dapat
mengendalikan infeksi cacing. Namun demikian, hasil pemindain terakhir tentang
genom memberikan gambaran kemungkinan adanya kromosom 1 dan 13 untuk
mengendalikan Ascaris lumbricoides (Hotez et al., 2006).
b. Higiene Perorangan (Kebersihan diri)
Menurut Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (higiene perorangan) adalah
upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya.
Pedagang dengan kebersihan diri yang buruk mempunyai kemungkinan lebih
besar untuk terinfeksi oleh semua jenis cacing (Brown, 1983).
Menurut Azwar (1993) pada prakteknya upaya higiene antara lain mencuci
memakai alat seperti sendok dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya
apabila panjang, tangan yang kotor dan kuku jari tangan kotor yang telah
terinfeksi telur cacing akan tertelan ketika makan (Onggowaluyo, 2002) .
c. Perilaku
Perilaku manusia pada hakekatnya merupakan aktifitas dari manusia itu
sendiri. Perilaku masyarakat untuk buang air besar di sembarang tempat dan
kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas infeksi cacing yang
tinggi. Selain itu, perilaku manusia yang seringkali kurang memperhatikan
pentingnya penggunaan air bersih untuk kehidupan, juga berperan terhadap
terjadinya infeksi cacing (Hotez et al., 2006).
d. Faktor sosial
Golongan penduduk yang kurang mampu, kepadatan penduduk dan tingkat
pendidikan rendah merupakan salah satu faktor resiko terinfeksi cacing (Hotez et
al., 2006).
2.Faktor Lingkungan
a.Iklim dan Suhu
Telur dan larva cacing lebih dapat berkembang pada daerah yang lembab
yaitu di negara yang beriklim tropis dan subtropis. Perkembangan telur Ascaris
lumbricoides yang optimum terjadi pada suhu 25°C, telur Trichuris trichiura pada
suhu 30°C. Suhu optimum Necator americanus adalah 28-32°C, sedangkan
Ancylostoma duodenale adalah 23-25°C (Sutanto, 2008).
b.Tanah
Untuk perkembangan telurnya, Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura memerlukan tanah yang lembab, tanah liat dan terlindung dari cahaya
matahari. Partikel tanah liat mempunyai ukuran 2 μm, mampu menyerap air dan
mengandung sedikit udara, sehingga pada keadaan basah dapat saling lengket
dengan telur cacing. Hal ini berbeda dengan cacing tambang karena larva cacing
c. Sinar matahari
Telur dapat mengalami kerusakan oleh bahan kimia dan sinar matahari
langsung. Telur cacing dapat tumbuh optimal pada tempat teduh dan terlindung
dari sinar matahari (Brown, 1979).
d. Angin
Kecepatan angin dapat mengeringkan telur sehingga dapat mematikan
telur dan larva cacing, disamping itu juga dapat membantu menyebarkan telur
cacing bersama debu (Brown, 1979).
2.5. Jenis Nematoda Usus yang Ditularkan Melalui Tanah (Soil Transmitted Helminth)
2.5.1. Ascaris lumbricoides
2.5.1.1. Siklus Hidup
Gambaran umum siklus hidup cacing Ascaris lumbricoides dapat dilihat
Gambar 2.2. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides
Dikutip dari :
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Ascariasis: Biology, Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:
Keterangan :
1. Cacing dewasa hidup di saluran usus halus. Seekor cacing betina mampu
menghasilkan telur sampai 240.000 per hari, yang akan keluar bersama feses.
2. Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infektif setelah 18
hari sampai beberapa minggu di tanah.
3. Perkembangan telur tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum:
lembab, hangat, tempat teduh).
4. Telur infektif tertelan.
5. Telur masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian
menembus mukosa usus, masuk kelenjar getah bening dan aliran darah dan
6. Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10-14 hari), menembus
dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya tertelan kembali.
Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi cacing dewasa. Waktu yang
diperlukan mulai dari tertelan telur infektif sampai menjadi cacing dewasa
sekitar 2 sampai 3 bulan. Cacing dewasa dapat hidup 1 sampai 2 tahun di dalam
tubuh (Albert, 2006).
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa
dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada
orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul
gangguan paru yang disertai dengan batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto
toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu tiga minggu. Keadaan ini
disebut Sindrom Loffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya
ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti
mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. 2.5.1.2. Gejala Klinis
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga
memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini
menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan
tertentu, cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau bronkus
dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan
operatif (Sutanto, 2008).
Diagnosa dengan menemukan telur di dalam tinja. Selain itu, diagnosis
dapat pula dibuat apabila cacing dewasa yang keluar sendiri baik melalui mulut,
2.5.2. Trichuris trichiura
2.5.2.1. Siklus Hidup
Gambar 2.3. Siklus Hidup Trichuris trichiura
Dikutip dari :
Gambaran umum siklus hidup cacing Trichuris trichiura dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Trichuriasis: Biology,
Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:
Keterangan :
1. Manusia merupakan hospes perantara cacing ini. Telur yang telah dibuahi
keluar bersama tinja.
2.Awalnya telur mengandung dua sel selanjutnya membelah menjadi multiseluler,
kemudian menjadi embrio.
matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif.
4. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang.
5. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus.
6. Sesudah menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke
daerah kolon, terutama sekum. Cacing betina diperkirakan menghasilkan telur
setiap hari sebanyak 3000-20.000 butir. Cacing ini tidak mempunyai siklus
paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa
betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari. Jangka hidup (life span) selama
4-6 tahun, bahkan dapat juga menginfeksi sampai 8 tahun (Srisari G, 2006).
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan
tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada
anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di
mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada
waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga
terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada
tempat perlekatannnya dapat terjadi perdarahan. Selain itu, cacing ini mengisap
darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.
Penderita terutama anak dengan infeksi Trichuris trichuira yang berat dan
menahun, menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi
dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun, dan kadang-kadang disertai
prolapsus rektum.
Infeksi berat Trichuris trichuira sering disertai infeksi cacing lainnya atau
protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau
sama sekali tanpa gejala (Sutanto, 2008). 2.5.2.2. Gejala Klinis
2.5.2.3.Diagnosa
Diagnosa parasit ini dengan ditemukannya telur pada pemeriksaan tinja
2.5.3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (hookworm)
2.5.3.1. Siklus Hidup
Gambaran umum siklus hidup cacing hookworm dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 2.4. Siklus Hidup Hookworm
Dikutip dari :
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2009. Trichuriasis: Biology,
Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. Diunduh dari:
Keterangan :
1. Telur dikeluarkan oleh hospes bersama tinja
2. Setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari keluarlah larva rhabditiform.
3. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rhabditiform tumbuh menjadi larva
filariform.
4. Larva filariform dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah. Larva filarform
Daur hidupnya sebagai berikut :
Telur → larva rhabditiform → larva filariform → menembus kulit → kapiler
darah → jantung kanan → paru → bronkus → trakea → laring → usus halus.
(Srisasi G., 2006)
1) Stadium Larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi
perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan.
2) Stadium Dewasa
Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, serta keadaan gizi
penderita (Ferum dan Protein). Tiap cacing Ancylostoma duodenale menyebabkan
kehilangan darah 0,08-0,34 cc sehari, sedangkan Necator americanus 0,005-0,1 cc
sehari. Biasanya terjadi anemia hipokrom mikrositer pada infeksi berat.
Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang menyebabkan
anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan
berkurang dan prestasi kerja menurun (Srisasi G., 2006). 2.5.3.2. Gejala Klinis
2.5.3.3. Diagnosa
Diagnosa ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Untuk
membedakan spesies Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dapat
2.6. Pemeriksaan Tinja pada Infeksi Nematoda Usus
Pemeriksaan yang umumnya dilakukan dalam mendiagnosis infeksi
nematoda ususberupa mendeteksi telur cacing atau larva pada feses manusia
(Suali, 2009; Maguire, 2010; WHO, 2012).
Pemeriksaan rutin feses dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis.
Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna, konsistensi, jumlah,
bentuk, bau, dan tidaknya mukus. Pada pemeriksaan ini juga dinilai
ada-tidaknya gumpalan darah yang tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel
darah putih, dan gula sedangkan pemeriksaan mikroskopis bertujuan untuk
memeriksa parasit dan telur cacing (Swierczynski, 2010).
Pemeriksaan mikroskop telur-telur cacing dari feses terdiri dari dua
macam cara pemeriksaan, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Pemeriksaan
kuantitatif dilakukan dengan metode Kato dan Metode Stoll. Pemeriksaan
kualitatif dilakukan dengan metode natif (direct slide) , Metode Apung (Flotation
method), Metode Selotif dan Metode Modifikasi Kato Katz.
Pemeriksaan kuantitatif diperlukan untuk menentukan intensitas infeksi
atau berat ringannya penyakit dengan mengetahui jumlah telur per gram tinja
(EPG) pada setiap jenis cacing. Hasil pemeriksaan tinja kualitatif berupa positif
atau negatif cacingan. Prevalensi cacingan dapat berupa prevalensi seluruh jenis
cacing atau per jenis cacing. .
Teknik Kato-Katz merupakan metode yang dipergunakan secara luas
dalam survei epidemiologi terhadap infeksi cacing yang terdapat di dalam usus
manusia (intestinal helminth) (Glinz et al., 2010; World Heatlh Organization,
2012). Teknik ini dipilih karena mudah, murah, dan mempergunakan sistem yang
dapat mengelompokkan intensitas infeksi menjadi beberapa kelas berbeda
berdasarkan perhitungan telur cacing.
Teknik Kato-Katz memiliki kelemahan, yaitu tingkat kesensitivitasan
rendah dalam mendeteksi infeksi dengan intensitas ringan. Pemakaian sampel
sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi telur cacing yang memiliki frekuensi
sedikit atau sangat berkelompok (sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per
gram feses) (Glinz et al., 2010). Namun, sensitivitasnya dapat ditingkatkan
dengan melakukan beberapa pemeriksaan Kato-Katz apusan tebal yang
dipersiapkan dari sampel feses sebelumnya, atau lebih baik lagi dari beberapa
sampel feses. Klasifikasi intensitas infeksi merupakan angka serangan dari
masing-masing jenis cacing. Klasifikasi tersebut digolongkan menjadi tiga, yaitu
ringan, sedang dan berat. Intensitas infeksi menurut jenis cacing dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 2.2. - Klasifikasi Intensitas Infeksi Menurut Jenis Cacing
(WHO, 2012)
No. Klasifikasi Jenis cacing (telur)
Cacing gelang Cacing cambuk Cacing tambang
1. Ringan 1 - 4.999 1 – 999 1 - 1.999
2. Sedang 5.000 - 49.999 1.000 - 9.000 2.000 - 3.999
3. Berat ≥50.000 ≥10.000 ≥4.000
(sensitivitas analitik secara teori = 24 telur per gram feses)
Namun, pada penelitian ini hanya dilakukan pemeriksaan tinja secara
kualitatif dengan Teknik Modifikasi Kato Katz dengan menilai positif atau
negatif cacing pada feses . Angka kejadian infeksi cacing dapat berupa seluruh
jenis cacing atau per jenis cacing.
Selain pemeriksaan Kato-Katz, terdapat juga pemeriksaan antibodi,
deteksi antigen, dan diagnosis molekular dengan menggunakan PCR (World
Heatlh Organization, 2012). Serodiagnosis dapat menjadi pemeriksaan pilihan
dalam mendiagnosis infeksi nematoda usus. Kekurangan pemeriksaan ini adalah
bersifat invasif (seperti dengan pengambilan sampel darah), antibodi tetap
terdeteksi setelah penatalakasanaan, dan terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
silang dengan nematoda lainnya (Knopp et al., 2008). Akibatnya, fungsi
2.7. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia oleh Pedagang Makanan (Food Handler)
Gambar 2.5. Kerangka Teori Transmisi Infeksi Nematoda Usus oleh
Pedagang Makanan (food handler)
Perilaku / Hiegine Perorangan Pedagang
Makanan (food handler) yang buruk
Pedagang makanan
Telur cacing mengkontaminasi tangan atau menempel pada kuku pedagang makanan (food handler)
Pedagang makanan (food handler): - Mengolah makanan - Memasak makanan - Menyajikan makanan
kepada pembeli
Makanan terinfeksi oleh telur cacing melalui kontaminasi tangan
atau kuku pedagang
2.8. Dampak Infeksi Kecacingan pada Orang Dewasa
2.8.1. Dampak terhadap Status Kesehatan dan Gizi
Cacing yang menginfeksi manusia membutuhkan makanan untuk
hidupnya, semakin banyak cacing yang ada semakin banyak makanan yang
dibutuhkan. Dengan demikian, adanya cacing dalam perut mengakibatkan
berkurangnya zat gizi yang diserap oleh usus untuk kebutuhan hidup
manusia, sehingga mengakibatkan seseorang mengalami kekurangan gizi. Dengan
menurunnya status gizi seseorang, akan mengakibatkan menurunnya daya tahan
sehingga lebih mudah untuk terserang penyakit (Hadidjaja, 2005).
2.8.2. Dampak terhadap Intelektual dan Produktivitas
Menurut penelitian Rukwono (1972), infeksi cacing menurunkan prestasi
kerja dan daya tahan tubuh. Selain itu, infeksi cacing dapat mengganggu proses
kognitif manusia sehingga dapat menurunkan produktifitas penderita dan
menurunkan sumber daya manusia (WHO, 2010; Depkes RI, 2006).
2.9. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan
Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya
adalah dengan pemutusan rantai penularan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat
mengobati tetapi tidak memutuskan mata rantai penularan yang antara lain
dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi di lingkungan dan
hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).
Hal-hal yang perlu dibiasakan agar tercegahnya dari penyakit kecacingan adalah
1. Memutuskan rantai daur hidup dengan menjaga kebersihan dengan cuci tangan
dan menggunting kuku secara rutin.
2. Hindari makanan yang akan dijajakan terbuka dengan dunia luar dan kurangi
intensitas memegang makanan dengan menggunakan tangan.
3. Mencuci sayuran mentah atau lalapan dengan air bersih yang mengalir terlebih
dahulu.
4. Berdefekasi di jamban dan mencuci tangan setelah defekasi dengan
5. Pencegahan infeksi cacing tambang dengan membiasakan masyarakat untuk
memakai alas kaki.
2.10. Pengendalian Infeksi Nematoda Usus
2.10.1. Pemberian obat cacing
Obat yang direkomendasikan untuk mengendalikan infeksi cacing di
masyarakat adalah benzimidazole, albendazole (dosis tunggal 400 mg, dan untuk
anak usia 12–24 bulan dikurangi menjadi 200 mg) atau mebendazole (dosis
tunggal 500 mg) dapat juga diberikan levamisole atau pirantel pamoat (10 mg / kg
BB dosis tunggal, dosis maksimal 1 gram).
Tujuan utama dari pengobatan infeksi cacing adalah mengeluarkan semua
cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat yang banyak digunakan untuk
mengeluarkan infeksi cacing adalah mebendazole dan albendazole.
Benzimidazole bekerja menghambat polimerisasi dari microtubule parasit yang
menyebabkan kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Walaupun
albendazole dan mebendazole merupakan obat broad-spectrum terdapat
perbedaan penggunaanya dalam klinik. Kedua obat sangat efektif terhadap
ascariasis dengan pemberian dosis tunggal. Sebaliknya, albendazole dosis tunggal
tidak efektif untuk kasus trichiuriasis. Obat cacing benzimidazole adalah
embriotoksik dan teratogenik pada tikus yang hamil, sehingga jangan digunakan
untuk bayi dan selama kehamilan. Pirantel pamoate dan levamisole merupakan
pengobatan alternatif untuk infeksi Ascaris , walaupun pirantel pamoate tidak
efektif untuk mengobati trichiuriasis.
Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat yang aman, berspektrum
luas, efektif, tersedia, harga terjangkau, serta dapat membunuh cacing dewasa,
larva, dan telur. Pelaksanaan kegiatan pengobatan diawali dengan survei data
dasar berupa pemeriksaan feses. Apabila pada pemeriksaan feses sampel didapati
hasil dengan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan massal. Namun,
pemeriksaan total screening menunjukkan prevalensi lebih dari 30%, harus
dilakukan pengobatan massal. Tetapi bila prevalensi kurang dari 30%, pengobatan
dilakukan secara selektif, yaitu pada orang dengan hasil positif saja.
2.10.2. Pendidikan Kesehatan (Edukasi)
Pendidikan kesehatan bertujuan menurunkan penyebaran dan terjadinya
reinfeksi dengan cara memperbaiki perilaku kesehatan. Untuk infeksi nematoda
usus, tujuannya adalah mengurangi kontaminasi dengan tanah dan air melalui
promosi penggunaan jamban dan perilaku kebersihan. Tanpa perubahan kebiasaan
buang air besar, pengobatan secara teratur ternyata tidak mampu menurunkan
penyebaran infeksi kecacingan. Pendidikan kesehatan dapat menurunkan biaya
pengendalian infeksi cacing dan terjadinya reinfeksi (Suriptiastuti, 2006).
2.10.3. Sanitasi
Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran STH
dengan cara menurunkan kontaminasi air dan tanah. Sanitasi merupakan
intervensi utama untuk menghilangkan infeksi kecacingan, tetapi supaya
intervensi ini efektif harus mencakup populasi yang luas. Namun strategi ini
memerlukan biaya yang tidak sedikit dan sulit dilaksanakan bila biaya yang
tersedia sangat terbatas. Lagipula bila digunakan sebagai intervensi primer untuk
mengendalikan infeksi STH diperlukan waktu bertahun-tahun bahkan puluhan
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, kerangka konsep penelitian ini
adalah:
Keterangan gambar :
: variabel yang dilakukan penelitian
: variabel yang diamati dengan menggunakan
lembar observasi dan dinilai dengan lembar
kuisioner
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
Angka Kejadian Infeksi Nematoda Usus padaPedagang Makanan
(Food Handler)
Pedagang Makanan
(food handler)
Pemeriksaan Laboratorium Feses secara Kualitatif dengan Teknik Modifikasi Kato Katz Faktor Host
3.2. Definisi Operasional
3.2.1. Pedagang makanan (food handler)
Pedagang makanan adalah seorang tenaga kerja yang bertugas untuk
memproses bahan makanan untuk dimasak menjadi makanan (koki atau juru
masak) ataupun pedagang yang hanya berperan sebagai food handler untuk
menyajikan makanan kepada pembeli yang berjualan di lingkungan Fakultas
Kedokteran USU.
Batas-batas pedagang makanan (food handler) di lingkungan Fakultas
Kedokteran USU :
1. Kantin lama Fakultas Kedokteran USU
2. Kantin Internasional (kantin baru)
3. Kantin gedung Abdul Hakim
4. Pedagang kaki lima yang berjualan di depan Fakultas Kedokteran USU
dan di samping pintu 1 USU
5. Pedagang kaki lima yang berjualan di dekat gedung Abdul Hakim.
3.2.2. Angka Kejadian Infeksi Nematoda Usus pada Pedagang Makanan (Food
Handler)
Angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan adalah
jumlah kejadian infeksi cacing yang hidup dalam usus (nematoda usus) yang
menginfeksi pedagang makanan (food handler), yang berhubungan dengan
penularan melalui tangan dari pedagang makanan (food handler) ke pembeli yaitu
cacing Ascaris lumbricoides dan Trichiuris trichiura dibagi dengan jumlah
populasi pedagang makanan (food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran
USU.
Pada penelitian ini juga akan dipaparkan angka kejadian infeksi telur
hookworm pada pedagang makanan (food handler) walaupun infeksi hookworm
Pada penelitian ini, data infeksi nematoda usus diambil sebagai data
primer dengan melakukan pemeriksaan feses. Seorang pedagang makanan (food
handler) dinyatakan terinfeksi nematoda usus apabila ditemukan telur cacing
pada pemeriksaan feses.
Alat ukur : sampel feses
Cara ukur : pemeriksaan laboratorium feses dengan pemeriksaan
kualitatif dengan Teknik Modifikiasi Kato Katz
Skala pengukuran : ordinal
Hasil ukur : terinfeksi : jika ditemukan telur pada
pemeriksaan feses
tidak terinfeksi : jika tidak ditemukan telur pada
pemeriksaan feses
3.2.3. Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner
Observasi dan kuisioner dilakukan untuk memperoleh data pendukung
perihal kondisi perilaku dan lingkungan yang berpengaruh terhadap angka
kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan (food handler) di
lingkungan Fakultas Kedokteran USU.
Alat ukur : Lembar Observasi mencakup 8 item observasi dan
Lembar Kuisioner mencakup 6 pertanyaan yang
berhubungan dengan perilaku host dan faktor lingkungan.
Skor 1 untuk setiap jawaban Ya dan 0 untuk jawaban
Tidak, dengan total skor sebanyak 14 dari 14 item
observasi dan kuisioner.
Cara ukur : Observasi dan Kuisioner
Skala pengukuran : Ordinal
Hasil ukur :
Menurut Pratomo dikategorikan atas baik, sedang dan buruk, dengan definisi
sebagai berikut:
a. Baik, apabila skor jawaban responden >75% dari nilai tertinggi
b. Sedang, apabila skor jawaban responden 40%-75% dari nilai tertinggi
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu studi deskriptif dengan pendekatan cross
sectional (potong lintang), dimana pengukuran variabel hanya dilakukan satu kali
pada satu saat. Penelitian ini mendeskripsikan angka kejadian infeksi cacing
nematoda usus pada pedagang makanan (food handler) di lingkungan Fakultas
Kedokteran USU.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan September 2014 di lingkungan Fakultas
Kedokteran USU, Medan.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah semua pedagang di lingkungan Fakultas
Kedokteran USU yang berjumlah 25 orang.
Kriteria inklusi penelitian adalah :
1. Pedagang makanan (food handler) yang berjualan di lingkungan Fakultas
Kedokteran USU.
2. Pedagang makanan (food handler) yang bersedia menjadi sampel penelitian
dengan menandatangani informed consent dan bersedia dilakukan pemeriksaan
feses.
Kriteria eksklusi penelitian adalah:
4.3.2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah seluruh anggota dari populasi penelitian yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (total sampling).
4.4. Metode Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, data infeksi nematoda usus pada pedagang makanan
diambil sebagai data primer melalui pemeriksaan laboratorium feses rutin.
Observasi juga dilakukan untuk memperoleh data pendukung perihal perilaku host
dan kondisi lingkungan di lokasi penelitian.
4.4.1. Metode Pengambilan Sampel
1. Pedagang makanan yang bersedia menjadi subjek penelitian menandatangani
informed consent dan diberikan botol plastik yang telah diberikan label sesuai
karakteristik pedagang (nama, usia, jenis kelamin).
2. Pemberitahuan kepada pedagang waktu pengumpulan spesimen (tinja) sehari
sebelumnya.
3. Pada waktu pengumpulan, pedagang mengembalikan botol yang telah berisi
tinja kepada peneliti.
4.4.2. Pemeriksaan Tinja dengan Metode Modifikasi Kato Katz
4. Sampel yang dibawa dari subjek penelitian langsung dibawa ke laboratorium
Parasitologi Fakultas Kedokteran USU untuk diperiksa.
5. Sampel tinja kemudian di periksa dengan Metode Modifikasi Kato Katz.
Alat dan bahan :
- sarung tangan
- objek gelas
- mikroskop
- kertas saring/ tissue
Cara kerja:
1. Pada setiap prosedur pemeriksaan harus menggunakan sarung tangan.
2. Tulislah nomor kode pada objek gelas dengan spidol sesuai dengan yang
tertulis di botol plastik.
3. Pada objek gelas yang bersih dan bebas lemak diletakkan tinja sebesar biji
kacang hijau, ±50-100 mg dengan menggunakan aplikator.
4. Tinja tersebut ditutup dengan selofan yang sudah direndam di dalam larutan
kato.
5. Selofan ditekan-tekan perlahan-lahan dengan botol kecil sampai tinja tersebar
serata mungkin di bawah selofan.
6. Sebagai patokan, sediaan yang baik bila diletakkan di atas kertas yang
bertulisan, tulisan tersebut masih dapat dibaca.
7. Keringkan larutan yang berlebihan dengan kertas saring/tissue.
8. Diamkan selama 15 menit dalam suhu kamar.
9. Lalu, sediaan diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran lemah 100 x
(obyektif 10 x dan okuler 10x), bila diperlukan dapat dibesarkan 400 x
(obyektif 40x dan okuler 10x).
10.Hasil pemeriksaan tinja berupa positif atau negatif tiap jenis telur cacing.
(Endrawati H., 2011)
4.5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis statistik dengan
menggunakan program SPSS versi 17,0. Rancangan analisis statistik yang akan
digunakan adalah analisis univariat. Analisis univariat dilakukan untuk
menampilkan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel (Notoadmodjo,
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di lingkungan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara (USU), yang berlokasi di Jl. Dr. Mansyur No.5
Kelurahan Padang Bulan, Kecamatan Medan Baru, Medan.
5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel
Subjek dalam penelitian ini terdiri dari pedagang makanan yang berada di
lingkungan Fakultas Kedokteran USU. Total sampel adalah 25 orang pedagang.
Sampel dipilih dengan teknik total sampling, di mana karakteristik sampel
disesuaikan dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi penelitian.
Karakteristik pedagang makanan dideskripsikan berdasarkan jenis kelamin
dan usia.
5.1.2.1. Karakteristik Pedagang Makanan Berdasarkan Jenis Kelamin
Distribusi pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU
tahun 2014 berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Pedagang Makanan berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki 13 52
Perempuan 12 48
Berdasarkan tabel 5.1., distribusi jenis kelamin pedagang makanan
memperlihatkan laki-laki ditemukan lebih banyak daripada perempuan pada
penelitian ini. Dari 25 orang pedagang makanan, terdapat 13 orang (52%)
laki-laki dan 12 orang (48%) perempuan.
5.1.2.2. Karakteristik Pedagang Makanan Berdasarkan Usia
Distribusi pedagang makanan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU
tahun 2014 berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5.2. Distribusi Karakteristik Pedagang Makanan berdasarkan Usia
Usia Frekuensi Persentase (%)
18-40 18 72
41-60 7 28
Total 25 100
Berdasarkan tabel 5.2., didapati bahwa jumlah pedagang makanan yang
berjualan di lingkungan Fakultas Kedokteran USU pada rentang usia 18-40 tahun
sebanyak 18 orang (72%), dan rentang usia 41-60 tahun sebanyak 7 orang (28%).
5.1.3. Hasil Analisis Data
5.1.3.1. Angka Kejadian Infeksi Nematoda Usus pada Pedagang Makanan di
Lingkungan Fakultas Kedokteran USU tahun 2014
Telah dilakukan pemeriksaan mikroskopis di Laboratorium Parasitologi
berdasarkan sampel feses yang didapat dari pedagang makanan di lingkungan
Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Pedagang Makanan berdasarkan Infeksi Cacing
Nematoda Usus di lingkungan Fakultas Kedokteran USU pada Tahun 2014
Infeksi Nematoda Usus Frekuensi Persentase (%)
Positif 1 4
Negatif 24 96
Total 25 100
Berdasarkan tabel 5.3., pedagang makanan yang terinfeksi nematoda usus
berjumlah 1 orang dari jumlah pedagang makanan di lingkungan Fakultas
Kedokteran USU adalah 25 orang. Pedagang makanan yang terinfeksi tersebut
berjenis kelamin perempuan, berada pada rentang usia 18-40 tahun. Jadi, angka
kejadian infeksi nematoda usus dapat di hitung sebagai berikut :
Angka kejadian infeksi nematoda usus pada pedagang makanan di lingkungan
Fakultas Kedoteran USU =
= Jumlah pedagang makanan yang terinfeksi nematoda usus (positif)
= 1/25 X 100%
x 100%
Jumlah seluruh pedagang makanan (total)
= 4 %
5.1.3.2. Distribusi Frekuensi Pedagang Makanan berdasarkan Jenis Cacing
Nematoda Usus
Distribusi frekuensi pedagang makanan berdasarkan jenis cacing
nematoda usus yang menginfeksi pedagang makanan di lingkungan Fakultas
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Pedagang Makanan berdasarkan Jenis Cacing
Nematoda Usus
Jenis Cacing Frekuensi Persentase (%)
A.lumbricoides 1 4
T.trichiura - -
Hookworm - -
Tidak Terinfeksi 24 96
Total 25 100
Setelah dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis ditemukan jenis cacing
nematoda usus yang menginfeksi pedagang makanan tersebut adalah
A.lumbricoides (lihat gambar 5.1.), tidak ada yang terinfeksi T.trichiura, ataupun
Hookworm.
Gambar 5.1. Hasil Pemeriksaan Mikroskopis (perbesaran 10 X)
5.1.3.3. Deskripsi Hasil Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner Pedagang
Makanan
5.1.3.3.1. Distribusi Frekuensi Jawaban pada Tiap Item Observasi
Distribusi frekuensi jawaban dari tiap item observasi pada lembar
observasi tentang perilaku host dan faktor lingkungan pedagang makanan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Jawaban pada Tiap Item Observasi pada Lembar
Observasi
No. Item Observasi Perilaku Host dan
Faktor Lingkungan
Ya Tidak
F % F %
1. Mencuci tangan sebelum dan
sesudah menyentuh makanan
17 68 8 32
2. Menggunakan alat seperti sendok
atau sarung tangan sebelum
menyentuh makanan
25 100 0 0
3. Mencuci tangan setelah
membersihkan piring yang kotor,
sampah dan sisa makanan
22 88 3 12
4. Mencuci tangan setelah memegang
uang
5 20 20 80
5. Menyimpan makanan bersih dan
terpelihara yaitu dengan keadaan
tertutup, bebas dari debu, asap
ataupun serangga
24 96 1 4
6.. Melakukan pembersihan serta
desinfeksi pada peralatan makanan
sebelum dan setelah digunakan
7. Tempat mencuci tangan
(maks.berjarak 10 meter) dari tempat
berjualan
21 84 4 16
8. Lokasi berjualan jauh dengan
sumber pencemaran misalnya tempat
pembuangan sampah, tempat
pembuangan limbah atau kondisi
tercemar lainnya.
17 68 8 32
Keterangan : F = Frekuensi
Berdasarkan tabel 5.5. pada item observasi perilaku host dan faktor
lingkungan pada pedagang makanan di Lingkungan Fakutas Kedokteran USU,
yang paling banyak dinilai dengan Ya yaitu item observasi nomor 2 sebanyak
100% diikuti nomor 5 yaitu sebanyak 96%. Sedangkan item observasi yang paling
5.1.3.3.2. Distribusi Frekuensi Jawaban pada Lembar Kuisioner
Distribusi frekuensi jawaban pada lembar kuisioner tentang perilaku host
dan faktor lingkungan pedagang makanan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Jawaban pada Lembar Kuisioner
No. Pertanyaan Ya Tidak
F % F %
1. Mencuci tangan dengan air bersih
dan mengalir
17 68 8 32
2. Mencuci tangan menggunakan sabun 14 56 11 44
3. Mencuci tangan dengan menggosok
telapak tangan dan membersihkan
sela sela jari
12 48 13 52
4. Menjaga kebersihan kuku dengan
memotong kuku jari secara rutin
16 64 9 36
5. Mencuci tangan setelah membuang
kotoran (BAB)
25 100 0 0
6. Tidak pernah mengalami infeksi
kecacingan sebelumnya
21 84 4 16
Keterangan : F = Frekuensi
Berdasarkan tabel 5.6. pada lembar kuisioner perilaku host dan faktor
lingkungan pada pedagang makanan di Lingkungan Fakutas Kedokteran USU,
yang paling banyak dijawab dengan Ya yaitu pertanyaan nomor 5 sebanyak
100%. Sedangkan pertanyaan yang paling banyak dijawab dengan Tidak yaitu
5.1.3.3.3. Skor Hasil dari Lembar Observasi dan Lembar Kuisoner dan Kategori
Pedagang Makanan
Distribusi skor hasil dari lembar observasi dan lembar kuisioner dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.7. Skor Hasil dari Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner
Adapun kategori perilaku pedagang makanan dan faktor lingkungan
tentang infeksi kecacingan dicantumkan pada Tabel 5.8 berikut ini.
Tabel 5.8 Kategori Perilaku Pedagang Makanan dan Faktor Lingkungan
berdasarkan Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner
Kategori N %
Baik 14 56
Sedang 8 32
Buruk 3 12
Total 25 100
Berdasarkan tabel 5.8., perilaku host dan faktor lingkungan pedagang
makanan terhadap infeksi kecacingan, yaitu Baik sebanyak 14 orang (56%)
pedagang, perilaku Sedang sebanyak 8 orang (32%) pedagang dan perilaku Buruk
sebanyak 3 orang (12%) pedagang.
Tabel 5.9. Distribusi Tabulasi Silang Kategori Perilaku dan Faktor Lingkungan
Pedagang Makanan dengan Infeksi Kecacingan di Lingkungan Fakultas
Kedokteran USU tahun 2014
No. Kategori Infeksi Kecacingan Jumlah
Terinfeksi Tidak terinfeksi
F % F % F %
1. Baik 0 0 14 56 14 56
2. Sedang 0 0 8 32 8 32
3. Buruk 1 4 2 8 3 12
Total 1 4 24 96 25 100
5.1.3.3.4. Deskripsi Lembar Observasi dan Lembar Kuisioner pada Pedagang
Makanan yang Terinfeksi
Hasil observasi pada lembar observasi yang dilakukan pada pedagang
makanan yang terinfeksi (positif) sebagai berikut.
Tabel 5.10. Deskripsi Hasil dari Lembar Observasi Perilaku Host dan Faktor
Lingkungan pada Pedagang Makanan yang Terinfeksi (Positif)
No. Item Observasi Perilaku Host dan
Faktor Lingkungan
Nilai
Ya Tidak
1. Mencuci tangan sebelum dan sesudah
menyentuh makanan
2. Menggunakan alat seperti sendok atau
sarung tangan sebelum menyentuh
makanan
3. Mencuci tangan setelah membersihkan
piring yang kotor, sampah dan sisa
makanan
4. Mencuci tangan setelah memegang
uang
5. Menyimpan makanan bersih dan
terpelihara yaitu dengan keadaan
tertutup, bebas dari debu, asap ataupun
serangga
6. Melakukan pembersihan serta
desinfeksi pada peralatan makanan
sebelum dan setelah digunakan
7. Tempat mencuci tangan
(maks.berjarak 10 meter) dari tempat
berjualan
pencemaran misalnya tempat
pembuangan sampah, tempat
pembuangan limbah atau kondisi
tercemar lainnya.
Tabel 5.11. Deskripsi Hasil dari Lembar Kuisioner Perilaku Host dan Faktor
Lingkungan pada Pedagang Makanan yang Terinfeksi (Positif)
No. Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak
1. Mencuci tangan dengan air bersih dan
mengalir
2. Mencuci tangan menggunakan sabun
3. Mencuci tangan dengan menggosok
telapak tangan dan membersihkan sela
sela jari
4. Menjaga kebersihan kuku dengan
memotong kuku jari secara rutin
5. Mencuci tangan setelah membuang
kotoran (BAB)
6. Tidak pernah mengalami infeksi
kecacingan sebelumnya
Dari penilaian berdasarkan lembar observasi dan lembar kuisioner di atas,
dapat disimpulkan bahwa pedagang makanan yang terinfeksi memiliki perilaku
host dan faktor lingkungan yang Buruk (skor total jawaban dari lembar observasi
5.2. Pembahasan
5.2.1. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Parasitologi
Fakultas Kedokteran USU didapati bahwa pedagang makanan yang terinfeksi
berjumlah 1 orang (4%) sedangkan pada 24 orang (96%) pedagang makanan
lainnya tidak didapati infeksi nematoda usus. Hal ini menujukkan sebagian besar
pedagang makanan (food handler) di lingkungan Fakultas Kedokteran USU sudah
menjaga kesehatan dirinya dengan baik. Namun terdapat satu orang pedagang
makanan (food handler) yang terinfeksi nematoda usus, hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa faktor seperti perilaku hidup sehat, sanitasi, pengelompokan rumah
tangga, tingkat kemiskinan, kondisi alam dan geografi, dan faktor faktor lain yang
juga berperan dalam kejadian infeksi kecacingan (Hotez et al., 2006).
Penyakit kecacingan mempunyai prevalensi yang tinggi dan semua umur
dapat terinfeksi cacing. Berdasarkan data penilitian pada bulan Agustus tahun
1999 di Kepulauan Seribu, yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan didapati
bahwa angka kejadian infeksi kecacingan di Indonesia pada usia dewasa adalah 40
– 60%. Pada penelitian ini didapati bahwa pedagang makanan yang terinfeksi
berjenis kelamin perempuan dan usia pedagang makanan yang terinfeksi adalah
18-40 tahun. Pada penelitian ini didapati juga jenis cacing yang menginfeksi
pedagang makanan adalah Ascaris lumbricoides.
Menurut Hotez et al. (2006), infeksi dengan Trichiuris trichiura dan
Ascaris lumbricoides secara tipikal diderita pada anak-anak berusia 5-10 tahun,
semakin bertambah usia akan menurun dan menetap pada usia dewasa. Hal ini
berbeda dengan infeksi Hookworm yang terjadi pada anak usia dini dan remaja
kemudian meningkat populasi dewasa, menetap dan menurun dari usia 40 tahun
atau lebih. Berdasarkan data infeksi kecacingan pada tahun 1970 di beberapa
provinsi di Indonesia seperti Bali, Irian jaya, Jawa Barat, Jawa Tengah dan