• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produktifitas serasah mangrove dan potensi kontribusi unsur hara di perairan mangrove Pulau Panjang Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Produktifitas serasah mangrove dan potensi kontribusi unsur hara di perairan mangrove Pulau Panjang Banten"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIFITAS SERASAH MANGROVE DAN POTENSI

KONTRIBUSI UNSUR HARA DI PERAIRAN MANGROVE

PULAU PANJANG BANTEN

PUTRI MUDHLIKA LESTARINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis Produktifitas Serasah Mangrove Dan Kontribusi Unsur Hara Di Perairan mangrove Pulau Panjang Banten

adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir Tesis ini.

Bogor, Februari 2011

(3)

ABSTRACT

PUTRI MUDHLIKA LESTARINA. Productivity and Nutrients Contribution Potency of Mangroves Litterfall in Panjang Island, Banten. Under direction of

NEVIATY P. ZAMANI and I WAYAN NURJAYA.

As a transition zone between land and sea, coastal zone is inhabited by various ecosystems, such as mangrove ecosystem. Mangrove ecosystem is considered for its ecological importance. The objective of this research was to investigate the characteristic of mangroves habitat based on water quality parameters, to determine productivity and leaves decomposition rate of litterfall, and to study nutrients (C, N, P) contribution potency of litterfall production in Panjang Island, Banten. This study was carried out in the mangrove forest, Panjang Island, Banten Province, from April to June 2010 using vegetation analysis, litterfall decomposition rate analysis and nutrients production of litterfall analysis. Principal Component Analysis was performed to analyse water chemical physical parameters. Data were collected using direct measurement and sampling in the field then followed by laboratory analyses. Results showed that contribution of one principal component to total diversity was 32.81%, 2 principal components were 55.01% and 3 principal components were 75.74%. Mangrove in Panjang Island produced a litterfall productivity average of 0.346 gram/m2/day. It exhibited the productivity of mangrove in Panjang Island is slightly lower than other mangrove forests due to low density and young plantation. The nutrient contribution potency of litterfall (C, N, and P) respectively were 0.528 g-C/m2/day; 0.00353 g-N/m2/day and 0.00076 g-P/m2/day.

(4)

PUTRI MUDHLIKA LESTARINA. Produktivitas Serasah Mangrove dan Potensi Kontribusi Unsur Hara di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI dan I WAYAN NURJAYA.

Wilayah pesisir sebagai wilayah peralihan antara daratan dan laut, ditempati oleh beragam ekosistem utama, salah satunya ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove mempunyai arti yang penting karena memiliki fungsi ekologis. Tujuan penelitian ini adalah (1) Menelaah karakteristik habitat mangrove Pulau Panjang berdasarkan parameter kualitas perairan dan substratnya, (2) Mengkaji produktifitas serasah dan laju dekomposisi serasah daun mangrove, dan (3) Mengetahui kontribusi potensi unsur hara (C, N, P) dari produksi serasah mangrove. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2010, di kawasan hutan mangrove Pulau Panjang, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yakni 1) Analisis vegetasi, 2) Analisis laju dekomposisi serasah, 3) Analisis produksi potensial unsur hara serasah dan 4) Analisis karakteristik fisika kimia perairan dengan PCA. Data dikumpulkan melalui pengambilan sampel dan pengukuran langsung di lapangan, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran di laboratorium.

Hasil penelitian dengan berdasarkan analisis principal component analysis diperoleh informasi bahwa kontribusi satu komponen utama terhadap ragam total adalah sebesar 32.81%, dua komponen utama sebesar 55.01%, 3 komponen utama sebesar 75.74%. Diperoleh hasil dari analisis matriks korelasi data fisika kimia perairan Pulau Panjang memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama adalah tinggi. Karakteristik stasiun menunjukkan bahwa stasiun 3 (3.3 dan 3.2) dan stasiun 2 (2.1) dikarakteristikkan oleh kandungan DO, Salinitas dan DHL yang tinggi. Kemudian stasiun 1 (1.2) dan stasiun 2 (2.2) dicirikan oleh nilai pH yang cukup tinggi. Sedangkan stasiun 2 (2.3) memiliki ciri dengan kandungan TOM dan suhu tinggi dan secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan mangrove.

(5)

kering dari sisa serasah daun mangrove menjelaskan bahwa proses dekomposisi pada Stasiun 3 lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis mangrove dan substrat. Pada Stasiun 3 ada 7 jenis mangrove yang daunnya didekomposisi, perbedaan jenis tersebut akan mempengaruhi kecepatan dekomposisi secara rata-rata. Perbedaan kandungan komposisi nitrogen masing-masing jenis mangrove lebih berpengaruh terhadap kecepatan dekomposisi. Semakin tinggi kandungan nitrogennya maka laju dekomposisi akan semakin cepat, karena nitrogen lebih mudah terurai oleh

decomposer. Faktor lain yang menyebabkan dekomposisi di Stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya adalah karakteristik substrat dan genangan air. Substrat di Stasiun 1 lebih didominasi oleh lumpur, Stasiun 2 lebih didominasi oleh pasir, sedangkan substrat dasar pada Stasiun 3 banyak yang terdiri dari batu kapur/terumbu. Penempatan serasah di Stasiun 1 berada dalam kolom perairan karena habitatnya selalu tergenang air, sehingga pembusukan lebih cepat terjadi. Hal berbeda ditunjukkan oleh Stasiun 2 dan 3, dimana daerah yang menjadi tempat serasah lebih banyak yang tidak tergenang pada saat surut.

(6)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

PRODUKTIFITAS SERASAH MANGROVE DAN POTENSI KONTRIBUSI UNSUR HARA DI PERAIRAN MANGROVE PULAU PANJANG BANTEN

PUTRI MUDHLIKA LESTARINA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Produktifitas Serasah Mangrove Dan Kontribusi Unsur Hara Di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten

Nama : Putri Mudhlika Lestarina

NRP : C551080181

Mayor : Ilmu Kelautan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc

Ketua Anggota

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(10)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia serta kenikmatan-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul “Produktifitas Serasah Mangrove Dan Potensi Kontribusi Unsur Hara Di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamni, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. I. Wayan Nurjaya, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan mengarahkan selama proses penyusunan dan penulisan tesis penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan seluruh keluarga yang telah memberikan bantuan moril dan materi kepada penulis sehingga bisa melanjutkan studi. Juga tak lupa disampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kelautan dan teman-teman kuliah yang telah banyak membantu dan atas kebersamaannya selama ini.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya kepada penulis sendiri dan kepada semua pihak.

Bogor, Februari 2011

(11)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, Penulis panjatkan atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan Tesis ”Produktifitas Serasah Mangrove Dan Potensi Kontribusi Unsur Hara Di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten” dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. I. Wayan Nurjaya,

M.Sc sebagai komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian dan pikiran dalam penyusunan Tesis ini.

2. Bapak dan Ibu staf pengajar PS. Ilmu Kelautan (PS-IKL) IPB yang telah banyak memberikan pemikiran-pemikirannya kepada penulis selama menempuh proses pendidikan.

3. Ayahanda Salamun Abas dan Ibunda Sariyah Etna Eriyanti serta Adik tercinta Putra Agung Okesa beserta seluruh keluarga atas dorongan semangat, motivasi, doa dan kasih sayang yang tak terhingga.

4. Eka Anto Supeni, M.Si terimakasih atas semangat dan semua keikhlasannya. 5. Achis, Sabam, Jais, Kohar dan Maria terimakasih atas bantuannya selama

proses pengumpulan data di lokasi penelitian yang dengan setia membantu penulis hingga selesainya penelitian.

6. Martina Harahap dan Widiastuti, M.Si terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya dalam menemani hari-hariku selama kuliah.

7. Rekan-rekan SPs Ilmu Kelautan 2008 Institut Pertanian Bogor atas kebersamaan dan kerjasamanya yang baik.

8. Teman-teman Mba dilla, Mba Indah, Iko, Desrita dan Suri atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini.

Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan koreksi dari pembaca dan penggunanya atas kekurangan penulisan tesis ini.

Bogor, Februari 2011

(12)

Penulis dilahirkan di Banjarbaru pada tanggal 22 Mei 1985 dari pasangan Salamun Abas dan Sariyah Etna Eriyanti. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara.

(13)

iv

3.4.4 Analisis Karakteristik Habitat Mangrove Berdasarkan Varaibel Fisika Kimia Perairan ... 20

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 23

4.2 Karakteristik Fisika-Kimia Perairan ... 25

4.3 Gambaran Umum Kondisi Ekosistem Mangrove ... 29

4.4 Analisa Vegetasi Mangrove ... 30

4.5 Dekomposisi Serasah Daun Mangrove ... 32

4.6 Produktifitas Serasah Mangrove ... 36

4.7 Produksi Potensial Unsur Hara C, N dan P ... 39

4.8 Bobot Serasah yang Dihasilkan dan yang Terdekomposisi ... 42

(14)

v

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(15)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ... 12

2. Letak geografis lokasi pengamatan ... 23

3. Nilai Parameter Fisika-Kimia Perairan Mangrove Pulau Panjang ... 25

4. Jumlah tegakan tumbuhan mangrove dalam luasan 10 m x 10 m ... 29

5a. Nilai indeks vegetasi mangrove pada tingkat pohon ... 31

5b. Nilai indeks vegetasi mangrove pada tingkat anakan dan semai ... 31

6. Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove secara berkala ... 34

7. Konstanta laju dekomposisi serasah daun mangrove ... 35

8. Nilai rata-rata produktifitas serasah mangrove di Pulau Panjang ... 36

9. Produktifitas serasah mangrove di beberapa lokasi penelitian ... 37

10. Produksi potensial unsur hara pada guguran serasah 9g/m2/hari) ... 40

11. Kontribusi produksi potensial unsur hara serasah mangrove Pulau Panjang dan beberapa kawasan mangrove lainnya ... 41

12. Bobot kering serasah daun mangrove selama penelitian ... 43

(16)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 4

2. Peta Lokasi Penelitian Kawasan Mangrove Pulau Panjang Banten ... 13

3. Pengukuran sampel vegetasi mangrove ... 14

4. Transek garis dengan plot dari pinggir perairan kearah darat untuk pengamatan vegetasi mangrove ... 15

5. Jaring serasah (Litter-trap) untuk menangkap serasah mangrove ... 16

6. Litter-bag yang diikatkan pada akar mangrove (kantong serasah yang digunakan untuk pengamatan laju dekomposisi serasah daun mangrove ... 17

7. Keadaan area hutan mangrove pada ketiga stasiun pengamatan, a) hutan mangrove pada stasiun 1 dengan substrat dasar berlumpur, b) hutan mangrove bagian belakang pada stasiun 2 dengan substrat keras dan formasi terumbu yang timbul, c) hutan mangrove pada stasiun 3 yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa ... 24

8. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika-kimia air. A. Korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama 1 dan 2; B. Sebaran stasiun pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2) ... 27

9. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika-kimia air. A. Korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama 1 dan 3; B. Sebaran stasiun pada sumbu 1 dan 3 (F1 dan F3) ... 28

10.Bobot kering sisa serasah daun mangrove pada stasiun3 penelitian ... 33

11.Hasil penelitian produksi serasah di beberapa lokasi ... 37

12.Proporsi komponen serasah tiap stasiun ... 38

13.Perbandingan produktifitas serasah antar stasiun ... 39

14.Potensi unsur hara serasah antar stasiun pengamatan ... 41

(17)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia air tiap stasiun ... 51

2. Akar ciri dan kontribusi persentase ragam total variabel pada sumbu utama ... 52

3. Matriks korelasi antar variabel ... 52

4. Matriks korelasi antara variabel dan sumbu utama ... 53

5. Koordinat stasiun dalam sumbu utama ... 53

6. Koordinat stasiun dalam sumbu utama ... 54

7. Produktifitas serasah selama pengamatan ... 55

8. Kandungan unsur hara serasah di lokasi pengamatan ... 56

9. Sumbangan produksi potensial unsur hara serasa di lokasi pengamatan ... 57

10.Bobot kering serasah daun mangrove ... 58

11.Laju dekomposisi serasah daun mangrove ... 59

12.Persentase daun mangrove yang terdekomposisi ... 60

(18)

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir sebagai wilayah peralihan antara daratan dan laut, ditempati oleh beragam ekosistem utama, salah satunya ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove mempunyai arti yang penting karena memiliki fungsi ekologis. Fungsi ekologis ditinjau dari aspek fisika adalah pertama terjadinya mekanisme hubungan komponen-komponen dalam ekosistem mangrove serta hubungan antara ekosistem mangrove dengan ekosistem lain seperti padang lamun dan terumbu karang. Kedua, dengan sistem perakaran yang kuat dan kokoh, ekosistem mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, gelombang pasang dan angin taufan, menahan lumpur dan melindungi pantai dari erosi; dan ketiga sebagai pengendali banjir, mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi sebagai pengendali banjir. Fungsi ini akan hilang jika hutan mangrove ditebang atau mengalami degradasi (Aksornkoae, 1993).

Fungsi ekosistem mangrove dari aspek kimia yaitu memiliki kemampuan dalam proses kimia dan pemulihan (self purification) dan secara rinci memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organik : kemudian sebagai sumber energi bagi lingkungan sekitarnya. Ketersediaan berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosistem mangrove telah menjadikannya sebagai sumber energi pada berbagai jenis biota yang berasosiasi didalamnya, seperti udang, kepiting, burung, berbagai jenis molluska dan sebagainya yang membentuk suatu rantai makanan yang kompleks dimana terjadi transfer energi dari tingkatan trofik yang lebih rendah ke tingkat trofik yang lebih tinggi dan yang terakhir sebagai pensuplai bahan organik bagi lingkungan perairan (Aksornkoae, 1993).

(19)

2

tersebut dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove itu sendiri dan sebagian menjadi masukan unsur hara yang dimanfaatkan oleh subsistem perairan di sekitarnya (Cotto et al., 1986).

Produktifitas serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan mangrove dan sebagai sumber detritus bagi ekosistem laut dan estuari dalam menyokong kehidupan berbagai organisme akuatik. Apabila serasah di hutan mangrove ini diperkirakan dengan benar dan dipadukan dengan perhitungan biomassa lainnya, akan diperoleh informasi penting dalam produksi, dekomposisi, dan siklus nutrisi ekosistem hutan mangrove (Kavvadias et al., 2001; Moran et al., 2000). Analisis dari komposisi hara dalam produksi serasah dapat menunjukkan hara yang membatasi dan efisiensi dari nutrisi yang digunakan, sehingga siklus nutrisi dalam ekosistem hutan mangrove akan terpelihara (Vitousek, 1982; Rahajoe et al., 2004).

Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme diuraikan menjadi partikel-partikel detritus. Partikel-partikel detritus ini menjadi sumber makanan bagi berbagai macam filter feeder (organisme yang makanannya dengan menyaring) dan jenis hewan yang hidup di ekosistem mangrove. Konsentrasi unsur hara di kolom air dapat berfluktuasi dalam skala waktu yang singkat, karena adanya dinamika sumbangan unsur hara potensial secara terus menerus ke dalam kolom air. Sumbangan unsur hara dapat diestimasi dengan adanya monitoring secara intensif dan periodik. Sumbangan unsur hara di daerah perairan mangrove akan berfluktuasi seiring dengan dinamika produktifitas dan dekomposisi serasah mangrove di suatu perairan.

(20)

1.2. Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran

Serasah mangrove merupakan bahan penting untuk berlangsungnya siklus unsur hara dan merupakan bahan dasar untuk kehidupan organisme yang terdapat pada ekosistem mangrove. Menurut Noer (2006) ada tujuh subsistem yang terkait bakteri, kepiting, detritus, fitoplankton, zooplankton dan ikan pelagis.

Kawasan mangrove Pulau Panjang merupakan bagian dari ekosistem mangrove yang terdapat di Teluk Banten. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan di sekitar daerah Pulau Panjang bagi berbagai peruntukan seperti pertambakan, permukiman serta pabrik, maka tekanan ekologis terhadap ekosistem mangrove di kawasan Pulau Panjang juga meningkat. Meningkatnya tekanan ini telah mulai menimbulkan dampak dan mengancam kelestarian ekosistem mangrove di kawasan ini.

Boonruang (1984) menjelaskan bahwa produktifitas mangrove merupakan sumber bagi produktifitas perikanan di estuari dan penyumbang unsur hara pada perairan pantai terdekat. Hal ini menjadikan mangrove memegang peranan yang unik dan tidak dapat digantikan oleh hutan maupun ekosistem lain, yaitu sebagai mata rantai siklus unsur hara yang penting artinya bagi organisme perairan (Amarangsinghe dan Balasubramanian, 1992 dalam Feliata, 2001). Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (Bengen, 2004).

Unsur hara memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan organisme perairan. Keberadaan mangrove dengan produksi serasahnya setelah mengalami dekomposisi merupakan salah satu sumber masukan unsur hara bagi perairan sekitarnya, baik itu di dalam maupun pada kolom air.

(21)

4

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Batasan penelitian

Feeding Nursery grounds

Spawning grounds

Fungsi habitat Tekanan alami

Tekanan antropogenis

Produktivitas

Produksi serasah

Dekomposisi serasah

Sumber unsur hara di perairan

Kesuburan perairan

Kondisi lingkungan terjadinya dekomposisi:

A. Kondisi fisika-kimia air − Salinitas − Suhu − pH −

(22)

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menelaah karakteristik habitat mangrove Pulau Panjang berdasarkan parameter kualitas perairan dan substratnya.

2. Mengkaji produktifitas serasah dan laju dekomposisi serasah daun mangrove Pulau Panjang.

3. Mengetahui kontribusi potensi unsur hara (C, N, P) dari produksi serasah mangrove Pulau Panjang.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Melengkapi informasi produktifitas dan dekomposisi serasah di kawasan mangrove Pulau Panjang serta sebagai salah satu komponen informasi dasar untuk mempelajari siklus unsur hara pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian.

(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Mangrove

Ada beberapa definisi tentang mangrove yang disajikan oleh beberapa

ahli, diantaranya menurut Bengen (2004) yang mendefinisikan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hogarth (1999) mendefinisikan mangrove sebagai tumbuhan berkayu maupun semak belukar yang menempati habitat antara darat dan laut yang secara periodik tergenangi air pasang.

Karekteristik habitat mangrove secara umum adalah sebagai berikut (Bengen, 2004) :

- Umumnya tubuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.

- Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi penggenangan menentukan komposisi vegetasi mangrove.

- Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.

- Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2 – 22 ‰) hingga asin (mencapai 38 ‰).

Mangrove memegang peranan penting bagi perikanan pantai, yakni berperan dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, udang dan moluska karena lingkungan mangrove menyediakan perlindungan serta berperan sebagai pemasok bahan organik yang masuk ke dalam rantai makanan sehingga dapat menyediakan

makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya (Noor dkk., 1999).

2.2. Produktifitas dan Serasah Mangrove

(24)

Mangrove memberikan sumbangan berarti terhadap produktifitas pada ekosistem estuari dan perairan pantai melalaui siklus materi yang berdasarkan pada detritus atau serasah. Produktifitas merupakan faktor penting dari ekosistem mangrove dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk menggambarkan produktifitas (Chapman, 1976).

Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam

berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove. Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara terlarut yang dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis; sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting. Proses makan memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota ini akhirnya membentuk suatu jala makanan (Bengen, 2004).

Serasah dari pohon mangrove merupakan sumber bahan organik yang penting. Selanjutnya bahan organik tersebut melalui proses dekomposisi akan dirombak oleh mikroba menjadi energi dan berbagai senyawa sederhana seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium dan lain-lain (Alrasjid, 1988).

Serasah adalah bahan organik dari bagian pohon yang mati yang jatuh di lantai hutan (daun, ranting dan alat reproduksi) sedangkan produksi serasah adalah berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah pada suatu waktu. Besarnya produktifitas serasah dipengaruhi oleh :

- Besarnya diameter pohon

- Produksi daun-daun baru sebagai adaptasi dari salinitas yang tinggi akibat fluktuasi pasang surut air laut

- Keterbukaan dari pasang surut dimana makin terbuka makin optimal

(Kusmana et al, 2000).

(25)

8

dan morfologi daun juga ikut mempengaruhi besar kecilnya serasah. Semakin tipis penutupan tajuk semakin berkurang produksi serasah (Lugo dan Snedaker, 1974). Lebih lanjut berdasarkan penelitian Sediadi dan pamudji (1987) ditunjukkan bahwa penimbunan serasah juga dipengaruhi oleh umur dan jenis tumbuhan mangrove. Brown (1984) membedakan antara serasah pada suatu area (

litter-layer) dan yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu (litter-fall) sebagai berikut :

- Litter-layer merupakan serasah yang ada pada suatu wilayah tertentu dan dinyatakan dalam berat atau unit energi per area permukaan (misal g/m2

- Litter-fall merupakan tingkat gugurnya serasah dalam jangka waktu tertentu (misal g/m

, Kcal/ha).

2

Turnover rate (rata-rata perputaran unsur hara) dinyatakan sebagai tingkat total dari sejumlah zat yang dilepas atau dimasukkan dalam suatu bagian untuk satu periode (misal g/hari). Konsep turnover rate berguna membandingkan tingkat/nilai pertukaran diantara bagian yang berbeda dari suatu ekosistem.

Turnover rate didefinisikan oleh Brown (1984), sebagai rasio dari kandungan yang ada (misal rasio produksi serasah terhadap litter-layer).

/hari, Kcal/ha/tahun).

Serasah daun mangrove pada lingkungan estuaria merupakan suatu bahan dasar nutrisi penting. Walaupun miskin nutrisi ketika jatuh dari pohon, daun-daun mangrove menjadi nutrisi yang diperlukan untuk proses-proses pengkayaan mikroba (Odum, 1993).

Daun-daun mangrove yang gugur dan telah mengalami penguraian akan menjadi makanan organisme perairan. Serasah yang telah terurai merupakan sumber utama unsur karbon, nitrogen dan fosfor baik untuk ekosistem mangrove itu sendiri maupun ekosistem sekitarnya. Dengan demikian mangrove berperan langsung dalam rantai perputaran energi dan zat-zat hara yang penting artinya

bagi kelangsungan hidup sumberdaya hayati perairan.

(26)

lainnya. Selain itu ada pula di antara hewan-hewan air tertentu seperti udang-udangan dan ikan yang hidupnya keluar masuk hutan mangrove bersama arus pasang surut (Supriharyono, 2000).

2.3. Proses Dekomposisi Serasah

Ekosistem mangrove memiliki komponen-komponen sebagaimana ekosistem lain yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik yang

berperan didalam suatu ekosistem adalah tumbuhan hijau sebagai produser, bermacam-macam kelompok hewan sebagai consumer dan bakteri serta fungi sebagai decomposer (Collier et al, 1973). Terdapat tiga proses dasar yang menyusun komponen biotic pada suatu ekosistem yaitu (a) proses produksi, (b) proses konsumsi dan (c) proses dekomposisi. Komponen abiotik meliputi unsur hara dan senyawa anorganik, bahan organik dan parameter lingkungan berupa temperature, oksigen, nutrient dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi kehidupan. Proses dekomposisi menempati kedudukan yang sama dengan komponen lain dalam bentuk ekosistem. Agen utama dalam proses dekomposisi adalah decomposer yang umumnya berasal dari kelompok bakteri dan fungi.

Dekomposisi merupakan kegiatan atau proses penguraian dan pemisahan bahan-bahan organik menjadi bagian-bagian hancur. Dekomposisi bisa berarti mekanisme penghancuran struktur tanaman mati dari tahap masih melekat pada kehidupan tumbuhan sampai menjadi tahap humus dengan struktur sel yang kasar menjadi bentuk yang hancur (Satchell, 1974 dalam Yunasfi, 2006). Proses dekomposisi adalah gabungan dari proses fragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh decomposer yang merubah bahan organik menjadi bahan senyawa anorganik. Definisi-definisi tersebut menggambarkan bahwa proses dekomposisi bukan saja dilakukan oleh agen biologis seperti bakteri tetapi juga melibatkan agen-egen fisika (Smith, 1980).

Menurut Anderson dan swift (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi

(27)

10

sepanjang tahun, menyebabkan proses dekomposisi serasah berlangsung sangat cepat sehingga proses humifikasi (pembentukan humus) segera dilanjutkan dengan proses mineralisasi (Manan, 1978).

2.4. Unsur Hara (C, N dan P)

Unsur hara atau nutrient merupakan suatu elemen yang berfungsi masuk di dalam proses kehidupan organisme. Unsur hara utama yang dibutuhkan dalam

jumlah besar adalah Karbon ©, Nitrogen (N), Fosfor (P), Oksigen (O2

Sebagian besar nitrogen yang terlibat dalam proses berasal dari atmosfir. Nitrogen dari atmosfir yang difikasai oleh mahkluk hidup berada dalam kesetimbangan dengan nitrogen yang dilepaskan oleh mikroba pada proses dekomposisi. Nitrogen anorganik terdiri dari ammonia (NH

), Silikon (S), Magnesium (M), Potassium (K) dan kalsium (Ca). sedangkan nutrient trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi (Fe), tembaga (Cu) dan vanadium (V). lebih lanjut Parsons et al (1984) menyatakan bahwa elemen-elemen C, H, O, N, Si, P, Mg, K dan Ca yang dibutuhkan dalam jumlah besar disebut makronutrien sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut mikronutrien atau trace element.

3), Ammonium (NH4),

Nitrit (No2) dan Nitrat (NO3

Serasah tumbuhan yang banyak kandungan nitrogen dan fosfornya akan mengalami pelapukan dengan cepat tanpa penambahan unsur hara, terutama pada keadaan aerobik. Berbeda halnya dengan bahan-bahan rendah kadar nitrogen seperti jerami, tumpukan jerami dan sisa-sisa batang yang mengalami dekomposisi secara lambat dan tidak sempurna dan kemungkinan masih tersisa 50 – 60 % dari bobot awal setelah 3 sampai 10 bulan terdekomposisi

(Moore-Landecker, 1990).

) sedangkan nitrogen organik terutama dalam bentuk protein, asam amino dan urea. Umumnya senyawa-senyawa N organik dalam bentuk terlarut ataupun partikulat adalah hasil metabolism organisme bahari dan hasil proses pembusukan.

(28)

maksimum akan terjadi selama pasokan nitrogen dan karbon dan unsur hara penting lainnya (terutama fosfor) yang terdapat pada substrata tau tanah berlimpah.

Serasah yang memiliki kandungan N tinggi cenderung disukai oleh decomposer karena lebih mudah dicerna (Choong et al, 1992 dalam Pribadi, 1998). Nilai nutrisi serasah juga berperan terhadap laju dekomposisi serasah.

(29)

3 METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di kawasan hutan mangrove Pulau Panjang,

Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Pulau Panjang secara geografis berada pada koordinat 6’

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April - Juni 2010, dilakukan dalam dua bagian, yaitu pengambilan sampel serasah mangrove, air dan pengujian laju dekomposisi di kawasan hutan mangrove Pulau Panjang, Banten. Analisa sampel (C, N dan P) yang dilakukan di Laboratorium Produktifitas dan Lingkungan (Proling) Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

25’18’’ – 6’28’12’’ lintang selatan dan 106’22’9’’ – 106’25’36’’ bujur timur (Gambar 2).

3.2. Materi Penelitian

Materi penelitian yang digunakan adalah serasah mangrove yang gugur di lokasi penelitian. Peralatan yang digunakan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Peralatan yang digunakan dalam penelitian

Alat Kegunaan Satuan

Jaring/Litter-trap Menangkap serasah 1 x 1 m2 Kantong serasah/Litter-bag Wadah dekomposisi serasah 30 x 30 cm Hand Refraktometer

2

Mengukur salinitas %o

Termometer Mengukur Suhu °C

pH meter Mengukur pH -

DO meter Mengukur DO mg/1

Meteran dan jangka sorong Mengukur diameter mangrove cm

Botol gelap Tempat sampel air -

Cool box Pendingin sampel -

Timbangan/Neraca analitik Menimbang sampel g Kantong plastic Tempat sampel serasah -

Kertas label Menandai sampel -

(30)

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian kawasan Mangrove Pulau Panjang, Banten.

3.3. Prosedur Penelitian

3.3.1. Penentuan Stasiun Penelitian

Lokasi penelitian dibagi atas tiga stasiun pengamatan yang dibedakan

karakteristiknya berdasarkan interaksinya. Daerah hutan mangrove Pulau Panjang berinteraksi dengan Perairan Laut Jawa. Tiap-tiap stasiun terdiri atas 3 sub stasiun pengamatan.

Stasiun 1 berada di sisi barat pulau gosong merupakan pelabuhan alternative kampung Peres dan berbatasan dengan Teluk Banten. Stasiun 2 terletak di bagian timur pulau yang merupakan daerah yang berkarang. Stasiun 3 terletak di pantai bagian utara pulau berbatasan dengan Laut Jawa.

P.Pamuyan Bsr

Nama : Putri Mudhlila Lestarina NRP : C551080181 Mayor : Ilmu Kelautan (IKL)

(31)

14

a

3.3.2. Pengambilan Sampel dan Data

A. Pengambilan Sampel untuk Analisis Vegetasi Mangrove

Sampel vegetasi mangrove dibagi atas tiga kategori, yakni Semai (seedling), Anakan (sapling) dan Pohon (tree) (Gambar 3), dengan kriteria sebagai berikut (Gambar 3).

Gambar 3. Pengukuran sampel vegetasi mangrove (a. semai, b. anakan, c. pohon)

Pengambilan sampel untuk analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metoda plot transek garis dari arah perairan ke arah darat di daerah intertidal (Bengen, 2004). Jarak antar transek garis sekitar 100 meter, sedangkan panjang transek dari pinggir perairan ke arah darat bergantung kepada ketebalan mangrove pada tiap-tiap stasiun pengamatan.

Transek garis berada pada posisi dari arah perairan ke arah darat dan terdiri atas petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 m2 untuk pohon; 5 x 5 m2 untuk anakan; dan 1x1 m2

Rancangan plot transek garis untuk pengamatan vegetasi mangrove disajikan pada Gambar 4.

untuk semai.

(32)

Gambar 4. Transek garis dengan plot dari pinggir perairan kearah darat untuk pengamatan vegetasi mangrove.

Untuk setiap transek garis ditentukan tiga petak contoh, di mana pada setiap petak contoh dilakukan penghitungan jumlah individu setiap jenis dan pengukuran diameter batang pohon. Pengukuran diameter batang dilakukan setinggi dada (DBH = Diameter Breast High) atau sekitar 1,3 m dari permukaan tanah (English et al, 1994). Untuk semai, pengukuran diameter dilakukan di bawah bagian mulai ditemukannya bakal cabang.

B. Pengambilan Sampel Guguran Serasah (Litter-fall)

Metode umum yang digunakan untuk menangkap guguran serasah di hutan mangrove dalam waktu tertentu (liner-fall) adalah dengan litter-trap (jaring

penangkap serasah) (Brown, 1984). Litter-trap berupa jaring penampung berukuran 1 x 1 meter persegi, yang terbuat dari nylon dengan ukuran mata jaring (mesh size) sekitar 1 mm dan bagian bawahnya diberi pemberat (Gambar 5).

100m

100 m

Plot 1 Plot 2 Plot 3

Transek 1 Transek 2

Transek 3

Plot 1 Plot 2 Plot 3

Plot 1 Plot 2 Plot 3

P

ul

au

P

an

jan

g

P

erai

(33)

16

Gambar 5. Jaring serasah (Litter-trap) untuk menangkap serasah mangrove

Litter-trap diletakkan diantara vegetasi mangrove terdekat dengan ketinggian di atas garis pasang tertinggi. Litter-trap dipasang pada setiap plot pengamatan di masing-masing stasiun pengamatan.

Serasah pertama yang diperoleh pada penempatan Litter-trap (sekitar 3 hari setelah dipasang) khususnya organ daun disimpan untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan penelitian laju dekomposisi serasah.

Pengukuran produktifltas serasah dilaksanakan berbarengan dengan mulai dilakukannya penelitian laju dekomposisi selama 2 bulan dengan selang waktu pengambilan selama 14 hari.

Serasah yang sudah dikumpulkan dipisahkan berdasarkan setiap bagiannya antara daun, ranting, dan bunga/buah. Serasah tersebut ditimbang beratnya lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label, untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium. Di laboratorium dilakukan pengukuran berat kering serasah

dengan mengeringkan sampel ke dalam oven pada suhu 105°C hingga beratnya konstan (Ashton et al, 1999).

Serasah yang sudah dikeringkan ini selanjutnya akan dilakukan pengukuran bendungan unsur haranya (Total C, N dan P).

C. Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah Daun

(34)

sebanyak 10 g ke dalam kantong serasah (liner-bag) berukuran 30 x 30 cm2

Litter-bag diikatkan pada akar atau batang mangrove agar tidak terbawa air pasang. Litter-bag diambil dari masing-masing lokasi pengamatan setelah 14, 28, 42 dan 56 hari (Ashton et al, 1 999) (Gambar 6).

yang terbuat dari nilon dengan mesh size 1 mm (Pribadi, 1998; Ashton et al, 1999).

Gambar 6. Litter-bag yang diikatkan pada akar daun mangrove (kantong serasah yang digunakan untuk pengamatan laju dekomposisi serasah daun mangrove), pengambilan foto dilakukan pada saat surut.

Setiap selesai waktu pengambilan, serasah dari litter-bag dikeluarkan dan ditiriskan, untuk selanjutnya diukur beratnya. Di laboratorium, serasah tersebut selanjutnya dikeringkan pada suhu 105°C hingga beratnya konstan (Ashton et al, 1999), lalu diukur berat keringnya. Laju dekomposisi serasah dihitung dari penyusutan bobot serasah yang didekomposisikan dalam satu satuan waktu.

D. Pengambilan Sampel Air

(35)

18

Sampel air selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisa Total padatan tersuspensi (TSS) dan bahan organik total (TOM). Pengukuran parameter lingkungan lainnya seperti suhu, salinitas, pH, dan DO dilakukan langsung di lapangan. Data harian pasang surut, curah hujan, kelembaban nisbi dan kecepatan angin menggunakan data sekunder.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Analisis Vegetasi Mangrove

Analisis data vegetasi mangrove meliputi (Bengen, 2004): Kerapatan Jenis (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Jenis (F), Frekuensi Relatif (FR), Basal Area (BA), Penutupan Jenis atau Dominasi (Di), Dominasi Relatif (DR) dan Nilai Penting (NP):

1. Kerapatan Jenis (K) adalah jumlah individu jenis i dalam suatu unit area

K = ni

di mana K adalah kerapatan jenis i, n, adalah jumlah total individu dari jenis i dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot).

/A

2. Kerapatan Relatif (KR) adalah perbandingan antara jumlah individu jenis i (ni

(KR) : = (n

) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Σn)

i

3. Frekuensi Jenis (F) adalah peluang ditemukannya jenis I dalam petak contoh/plot yang diamati:

/ Σn)x100

F = pi

di mana F adalah frekuensi jenis i, p

/ Σp

i

4. Frekuensi Relatif (FR) adalah perbandingan antara frekuensi jenis I (F) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (SF) ;

adalah jumlah petak contoh/plot di mana ditemukan jenis i, dan p adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati.

5. Basal Area (BA)

BA = (πDBH2

di mana BA adalah basal area, π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH

adalah diameter batang pohon dari jenis i.

) / 4

(36)

Di = Σ BA/A

di mana BA adalah Basal Area dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak ontoh/plot)

7. Penutupan Relatif Jenis atau Dominasi Relatif (DR) adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis i dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis, atau perbandingan antara dominasi individu jenis I (Di) dan jumlah total

dominasi seluruh individu (ΣD).

DR = (Di/ΣDi)x100

8. Nilai Penting (NP) adalah jumlah nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominasi Relatif (DR) :

NP = KR + FR + DR

3.4.2. Analisis laju dekomposisi serasah

Laju dekomposisi serasah dihitung dengan menggunakan persamaan :

� =��− ��

� Dimana:

R = Laju dekomposisi (g/hari)

T = Waktu pengamatan (hari)

Wo = Berat kering sampel serasah awal (g)

Wt = Berat kering sampel serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g)

Persentase penguraian serasah diperoleh dengan menggunakan rumus (Boonruang, 1984) :

�= ��− ��

�� �100% Dimana :

Y = Persentase serasah daun yang mengalami dekomposisi

Wo = Berat kering serasah awal (g)

Wt = Berat kering serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g)

Pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah diperoleh dengan menggunakaii rumus (Ashton, 1999):

(37)

20

= berat kering serasah setelah waktu pengamatan ke -t (g)

o

e = bilangan logaritma natural (2,72) = berat kering serasah awal (g)

k = konstanta laju dekomposisi serasah

t = waktu pengamatan (hari)

3.4.3. Produksi potensial unsur hara serasah

Perhitungan besarnya produksi potensial unsur hara serasah atau potensi unsur hara yang dapat dimanfaatkan (litter/all nutrient accession) dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Djamaludin, 1995):

NA= N x T

Dimana:

NA = Nutrient accession I Unsur Hara yang dihasilkan (g/m2

N = Kandungan Unsur Hara %

/hari)

T = Produktifitas serasah (g/m2

3.4.4. Analisis Karakteristik Habitat Mangrove Bcrdasarkan Variabel Fisika

Kimia Perairan

/hari)

Analisis karaktersitik variasi variabel fisika kimia perairan antar stasiun pengamatan dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis atau PCA) (Bengen, 2000). Analisis Komponen Utama merupakan metoda statistik deskriptif yang dapat digunakan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari stasiun penelitian sebagai individu statistik (baris) dan variabel lingkungan (fisik-kimia perairan) yang berbentuk kuantitatif (kolom).

Bengen (2000) lebih lanjut menyatakan bahwa analisis ini memungkinkan

(38)

Data variabel fisika-kimia perairan yang diperoleh tidak memiliki pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama, data tersebut perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian

Nilai sesudah pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai variabel dengan nilai rata-rata,yakni:

Sementara pereduksian merupakan hasil bagi antara variabel yang telah dipusatkan dengan nilai simpangan baku variabel, yang dirumuskan sebagai berikut:

S = Nilai simpangan baku variabel

Untuk menentukan hubungan antara dua variabel digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig dan Reynolds, 1988), yaitu:

= Matriks korelasi ry

sxn

A

= Matriks indeks sintetis ry

t nxs

Korelasi linear antara dua variabel yang dihitung dari indeks sintetiknya merupakan peragam dari dua variabel yang telah dinormalkan. Tahapan ini sebenarnya merupakan suatu usaha untuk mentransformasikan p variabel kuantitatif awal (inisial), yang kurang lebih saling berkorelasi, ke dalam p variabel kuantitatif baru yang disebut komponen utama. Dengan demikian hasil dari

(39)

22

analisis ini tidak berasal dari variable- variabel awal (inisial) tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier variabel- variabel asal.

Di antara semua indeks sintetik yang mungkin, analisis ini mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum. Indeks ini disebut komponen utama pertama atau sumbu ke-1 (Fl), yaitu suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun yang dijelaskan oleh komponen utama

ini. Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang memiliki korelasi nihil dengan Fl dan memiliki ragam individu terbesar. Komponen utama kedua memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama pertama. Proses ini berlanjut terus sehingga diperoleh komponen utama ke-p, di mana bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil.

Prinsip Analisis Komponen Utama menggunakan pengukuran jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variabel yang berkoresponden) pada data. Jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut:

�2(,2) =���

�� − ��′�2

�=1

Dimana:

i,i' = dua baris

j = indeks kolom (bervariasi dari 1 hingga p)

(40)

4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kawasan mangrove Pulau Panjang secara geografis masih terletak pada daerah tropis yang mengalami dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Perairan relatif terlindung dengan pantai ditumbuhi oleh vegetasi mangrove, sedikit rataan karang dengan tubir yang tidak jelas. Pemanfaatan lahan antara lain sebagai pemukiman nelayan, pelabuhan lokal dengan dermaga tipe jeti tanpa tiang pancang. Budidaya rumput laut dan perikanan tangkap bagan ditemukan banyak disekitar perairan dangkal rataan terumbu.

Pulau Panjang mempunyai lokasi yang sangat strategis, karena terletak di dekat Pelabuhan Bojonegara, yaitu pada jalur laut yang melewati pelabuhan Bojonegara, sehingga akan menimbulkan dampak baik secara ekonomi, fisik, maupun sosial budaya.

Adapun batas-batas wilayah yang melingkupinya adalah :

− Sebelah utara : Laut Jawa

− Sebelah barat : Kecamatan Bojonegara

− Sebelah selatan : Teluk Banten

− Sebelah timur : Pulau Pamujan besar dan Pamujan kecil

Jumlah stasiun penelitian yang dilakukan di pulau Panjang terdiri dari 3 stasiun (Stasiun 1, 2 dan 3) dan masing-masing stasiun terdiri dari 3 subtasiun. Letak geografis ketiga stasiun pengamatan tersebut disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Letak geografis lokasi pengamatan

Dengan luas wilayah sekitar ± 820 Ha, pulau panjang merupakan pulau terbesar di peraiaran Teluk Banten. Bila dibandingkan dengan pulau-pulau kecil lainnya, seperti Pulau Semut, gugusan Pulau Lima, Pulau Gedang, Pulau Kubur,

No. Lokasi Pengamatan Letak Geografis

Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS)

1. Stasiun 1 106009’29.113” 5056’32.55” 2. Stasiun 2 106009’42.45” 50

3.

(41)

24

Pulau Pamujan Besar dan Pamujan Kecil, Pulau Dua, Pulau Tarahan dan Pulau Kali yang rata-rata tidak berpenduduk.

Ekosistem mangrove pada lokasi pengamatan cukup bervariasi yaitu dengan ketebalan berkisar antara 100-250 meter. Hutan mangrove yang dekat dengan pemukiman relatif lebih tipis yaitu berkisar antara 100-150 meter dengan vegetasi cenderung homogen. Sedangkan pada area yang jauh dari pemukiman, hutan mangrove mencapai ketebalan 200-300 meter dan terdiri dari beberapa jenis vegetasi. Kondisi mangrove ketiga stasiun penelitian tersebut disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Keadaan area hutan mangrove pada ketiga stasiun pengamatan, a) hutan mangrove pada stasiun 1 dengan substrat dasar berlumpur, b) hutan mangrove bagian belakang pada stasiun 2 dengan substrat keras dari formasi terumbu yang timbul, c) hutan mangrove pada stasiun 3 yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa.

Substrat dasar perairan juga menunjukan kondisi yang berbeda dimana yang lebih dekat dengan pemukiman didominasi oleh lumpur dan sedikit patahan karang mati. Substrat keras berupa formasi terumbu yang masih utuh dan patahan karang mati mendominasi pada bagian belakang hutan mangrove yang jauh dari pemukiman dan tidak terendam saat surut terendah. Hasil informasi masyarakat formasi terumbu tersebut sebelumnya tidak ada dan muncul sekitar tahun 1950 an menghasilkan daratan yang cukup luas. Sedangkan pada area mangrove bagian

a

(42)

depannya yang berhadapan langsung dengan laut terdiri dari substrat lunak berupa lumpur. Zonasi dengan karakter spesifik terlihat jelas pada ketiga stasiun.

4.2 Karakteristik Fisik-Kimia Perairan

Pengukuran parameter fisika-kimia perairan pada tiap substasiun dilakukan dengan masing-masing 3 kali pengulangan. Ada 7 parameter fisika-kimia yang nilainya diukur, yaitu suhu, salinitas, DO, pH, DHL, TSS dan TOM. Ketujuh parameter tersebut diduga berpengaruh besar terhadap pola penyebaran mangrove, proses dekomposisi serasah dan produktifitas mangrove. Sebaran nilai parameter fisika-kimia perairan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3, dengan rincian hasil pengamatan pada tiap sub-stasiun disajikan pada Lampiran 1.

Tabel 3. Nilai Parameter Fisika-Kimia Perairan Mangrove Pulau Panjang

Parameter

(43)

26

pada siang hari. Penyebab lainnya adalah wilayah pengambilan data merupakan daerah yang terbuka, sehingga intensitas cahaya yang diterima tinggi.

Salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan hutan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove (Aksornkoe, 1993). Hasil dari pengukuran yang dilakukan diperoleh salinitas rata-rata tertinggi pada stasiun 3 dengan 30.56 ‰ dan terendah pada stasiun 1 sebesar 29 ‰. Bengen (2004) menyatakan bahwa salah satu karakteristik habitat hutan mangrove adalah air bersalinitas payau (2-2 ‰) hingga asin (mencapai 38 ‰).

Kandungan oksigen terlarut (DO) rata-rata lokasi penelitian berkisar antara 0.41 sampai dengan 5.22 mg/l. Kandungan oksigen ini tidak terlalu tinggi, yang diduga karena adanya pengaruh proses penguraian serasah di daerah mangrove yang membutuhkan oksigen.

Dari hasil pengukuran diperoleh derajat keasaman (pH) yang berbeda-beda untuk setiap stasiun, bahkan juga berbeda tiap substasiunnya. Bila dibandingkan diantara ketiga stasiun penelitian maka kisaran pH yang diperoleh tidak terlalu jauh berbeda. Dimana untuk stasiun 1 rata-rata pHnya 6.76; kemudian untuk stasiun 2 diperoleh rata-rata pH 6.69; sedangkan untuk stasiun 3 nilai rata pHnya sebesar 7.25. Hal ini diduga karena adanya kesetimbangan antara proses penguraian serasah mangrove yang cenderung menghasilkan kondisi asam dengan pengaruh kapasitas penyangga (buffer) oleh garam-garam karbonat dan bikarbonat pada air laut yang lebih basa.

Sedangkan untuk Kandungan Total Padatan Tersuspensi (TSS) dan bahan organik total (TOM) tertinggi pada stasiun 1 dengan masing-masing nilai 2956.00 mg/l dan 328.64 mg/l Tingginya TSS dan TOM di stasiun 1, karena pada daerah tersebut cenderung terjadi akumulasi sedimen dan bahan organik baik dari daratan maupun dari lautan, mengingat stasiun ini terletak dekat dengan pemukiman dan dermaga pelabuhan.

Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air

(44)

digunakan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi dalam bentuk matriks data. Berdasarkan analisis data principal component analysis diperoleh informasi bahwa kontribusi satu komponen utama terhadap ragam total adalah sebesar 32.81%, dua komponen utama sebesar 55.01%, 3 komponen utama sebesar 75.74%. Untuk mencapai 100% ragam total maka jumlah komponen utama yang diperlukan adalah sebanyak tujuh komponen (sesuai dengan jumlah parameter yang dianalisis).

Akar ciri dari masing-masing sumbu faktorial berhubungan dengan jumlah inersia dari setiap sumbu. Selanjutnya vektor ciri akan berperan untuk menjelaskan koefisien variabel (pemusatan dan pereduksian) dalam persamaan linear yang mendeterminasikan sumbu-sumbu utama. Akar ciri dan persentase ragam total dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 8. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air. A. korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama 1 dan 2;

B. sebaran stasiun pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2)

A

(45)

28

Gambar 9. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air. A. korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama 1 dan 3;

B. sebaran stasiun pada sumbu 1 dan 3 (F1 dan F3)

Berdasarkan hasil analisis distribusi variabel fisika kimia perairan terhadap stasiun penelitian di lokasi Pulau Panjang menggunakan Analisis Komponen Utama (PCA). Diperoleh hasil dari analisis matriks korelasi data fisika kimia perairan Pulau Panjang memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama adalah tinggi. Gambar 8 dan 9 di atas menjelaskan bahwa stasiun 3 (3.3 dan 3.2) dan stasiun 2 (2.1) dikarakteristikkan oleh kandungan DO, Salinitas dan DHL yang tinggi. Kemudian stasiun 1 (1.2) dan stasiun 2 (2.2) dicirikan oleh nilai pH yang cukup tinggi. Sedangkan stasiun 2 (2.3) memiliki ciri dengan kandungan TOM dan suhu tinggi dan secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan mangrove.

A

(46)

Stasiun penelitian dikelompokkan dalam tiga kelompok, dengan masing-masing stasiun terdiri atas 3 sub stasiun. Dimana stasiun 1 (terdiri atas sub stasiun 1.1, 1.2, dan 1.3) yang terletak disisi sebelah barat pulau, lokasi stasiun ini dekat dengan pemukiman dan dermaga. Kemudian stasiun 2 (terdiri atas sub stasiun 2.1, 2.2 dan 2.3) merupakan stasiun yang berada di sebelah timur pulau, stasiun ini berada pada daerah yang berkarang. Sedangkan untuk stasiun 3 (terdiri atas sub stasiun 3.1, 3.2 dan 3.3) merupakan stasiun yang berada tepat disebelah utara pulau, dimana stasiun berhadapan langsung dengan Laut Jawa.

Data lengkap nilai akar ciri, persentase ragam, korelasi antar variabel, korelasi antara variabel terhadap sumbu utama serta grafik PCA secara lengkap disajikan di Lampiran 3 - 6.

4.3 Gambaran Umum Kondisi Ekosistem Mangrove

Data mengenai jenis vegetasi mangrove yang tumbuh di lokasi penelitian diperoleh dari pengamatan langsung dengan pemasangan transet/plot. Komposisi kekayaan jenis dan jumlah tegakan masing-masing vegatasi mangrove disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah tegakan tumbuhan mangrove dalam luasan 10 m x 10 m

Stasiun Jenis Mangrove Jumlah Tegakan

Pohon Anakan Semai

Stasiun 2 Rhizophora apiculata 116 36 26

Rhizophora stylosa 49 21 8

(47)

30

Jumlah tegakan Rhizophora apiculata pada tingkat pohon yang ditemukan di Stasiun 1 adalah sebanyak 121 tegakan, yang paling sedikit adalah Sonneratia alba dengan 6 tegakan. Dari 165 total tegakan pohon mangrove yang terdapat di Stasiun 2, 116 tegakan diantarnya adalah jenis Rhizophora apiculata dan sisanya 49 tegakan adalah jenis Rhizophora stylosa. Stasiun 3 merupakan lokasi yang paling tinggi jumlah tegakan vegetasi pohon mangrove, yaitu sebanyak 205 tegakan. 165 diantaranya berasal dari jenis Rhizophora apiculata.

4.4 Analisa Vegetasi Mangrove

Kondisi mangrove di pulau Panjang digambarkan oleh beberapa indeks vegetasi mangrove, antara lain kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis, frekuensi relatif, penutupan jenis, penutupan relatif dan indeks nilai penting. Masing-masing indeks tersebut memiliki peranan yang berbeda untuk menggambarkan kondisi vegetasi mangrove.

Nilai indeks vegetasi mangrove di pulau Panjang disajikan dalam Tabel 5a. Indeks nilai penting (IVi) merupakan akumulasi dari kerapatan relative jenis (RDi), frekuensi relative jenis (RFi) dan penutupan relative jenis (RCi). Indeks nilai penting berkisar antara 0-300. Indeks nilai penting memberikan gambaran mengenai pengaruh jenis atau peranan suatu jenis mangrove dalam suatu komunitas. Berdasarkan analisis data, indeks nilai penting pada 3 lokasi penelitian berkisar antara 7.96-230%. Hasil perhitungan IVi menunjukkan bahwa genera Rhizophora memiliki nilai IVi tertinggi di tiap stasiun, khususnya jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa.

(48)

Tabel 5a. Nilai indeks vegetasi mangrove pada tingkat pohon

Stasiun Spesies RDi (%) RFi (%) RCi (%) IVi (%)

Stasiun 1

Sonneratia alba 3.90 7.69 0.98 12.57

Rhizophora apiculata 78.57 61.54 90.46 230.57

Rhizophora stylosa 5.84 23.08 2.43 31.35

Bruguira gymnorhiza 11.69 7.69 6.13 25.51

Stasiun 2 Rhizophora apiculata 70.30 58.72 76.50 205.52

Rhizophora stylosa 29.70 41.28 23.50 94.48

Stasiun 3

Sonneratia alba 1.95 8.33 2.18 12.46

Rhizophora apiculata 61.46 37.50 63.42 162.38

Rhizophora stylosa 24.88 29.17 24.83 78.87

Bruguira gymnorhiza 2.93 8.33 2.52 13.78

Avicennia alba 1.95 4.17 1.85 7.96

Lumnitzera racemosa 1.95 4.17 1.94 8.05

Aegiceras floridum 4.88 8.33 3.27 16.48

Keterangan:

RDi = Kerapatan Relatif Jenis RCi = Penutupan Relatif Jenis RFi = Frekuensi Relatif Jenis IVi = Nilai Penting

Tabel 5b. Nilai indeks vegetasi mangrove pada tingkat anakan dan semai

Stasiun Spesies

Anakan Semai

RDi (%) RFi (%) RDi (%) RFi (%)

Stasiun 1

Sonneratia alba 2.53 9.09 6.67 10.00

Rhizophora apiculata 88.61 72.73 82.22 70.00

Rhizophora stylosa 2.53 9.09 2.22 10.00

Bruguira gymnorhiza 6.33 9.09 8.89 10.00

Stasiun 2 Rhizophora apiculata 63.16 66.67 76.47 70.00

Rhizophora stylosa 36.84 33.33 23.53 30.00

Stasiun 3

Sonneratia alba 3.08 9.52 5.71 6.25

Rhizophora apiculata 46.15 33.33 74.29 50.00

Rhizophora stylosa 32.31 28.57 14.29 31.25

Bruguira gymnorhiza 9.23 9.52 2.86 6.25

Avicennia alba 1.54 4.76 2.86 6.25

Lumnitzera racemosa 1.54 4.76 5.71 6.25

(49)

32

Berdasarkan perhitungan tegakan mangrove pada 3 stasiun lokasi penelitian diperoleh hasil bahwa Stasiun 3 merupakan daerah yang memiliki jumlah tegakan pohon paling banyak, kerapatan total adalah 22.778 individu/ha. Lokasi yang memiliki kerapatan pohon terendah adalah Stasiun 1 dengan nilai k sebesar 17.111 individu/ha. Komposisi nilai kerapatan jenis mangrove pada tingkat pohon berbeda bila dibandingkan dengan tingkat anakan dan semai. Kerapatan jenis mangrove pada tingkat anakan dan semai paling tinggi terdapat pada Stasiun 1 dan terendah adalah pada Stasiun 2.

Kondisi daerah penelitian yang merupakan wilayah kepulauan sehingga berbatasan langsung dengan lautan mengakibatkan daerah ini sering mendapat masukan pasang dimana hanya tumbuhan mangrove yang mempunyai toleransi yang tinggi terhadap pasang yang dapat berkembang dengan baik. Bengen (2004) menyatakan bahwa salah satu tipe zonasi mangrove yang umum di Indonesia yakni untuk daerah yang dekat dengan laut sering ditumbuhi oleh Avicennia spp dan berasosiasi dengan Sonneratia spp.

4.5 Dekomposisi Serasah Daun Mangrove

Guguran daun mangrove yang terperangkap di sekitar ekosistem mangrove membutuhkan waktu yang lama untuk terdekomposisi. Lamanya waktu yang dibutuhkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya jenis mangrove, jenis substrat dan parameter kualitas perairan (biologis, fisika dan kimia). Sejalan dengan itu Smith (1980) menyatakan bahwa proses dekomposisi adalah gabungan dari proses fragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa anorganik.

(50)

sempurna. Sedangkan menurut Soerojo (1984) menyatakan serasah dari jenis mangrove R. Apiculata membutuhkan waktu 132 hari untuk terurai secara sempurna atau 100%.

Gambar 10. Bobot kering sisa serasah daun mangrove pada 3 stasiun penelitian

(51)

34

oleh pasir, sedangkan substrat dasar pada Stasiun 3 banyak yang terdiri dari batu kapur/terumbu. Penempatan serasah di Stasiun 1 berada dalam kolom perairan karena habitatnya selalu tergenang air, sehingga pembusukan lebih cepat terjadi. Hal berbeda ditunjukkan oleh Stasiun 2 dan 3, dimana daerah yang menjadi tempat serasah lebih banyak yang tidak tergenang pada saat surut.

Tabel 6. Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove secara berkala

Stasiun

Rata-rata laju dekomposisi serasah (g/hari)

Hari ke-14 Hari ke-28 Hari ke-42 Hari ke-56

Stasiun 1 0.420 0.279 0.210 0.168

Stasiun 2 0.415 0.280 0.209 0.168

Stasiun 3 0.419 0.277 0.207 0.167

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa laju dekomposisi serasah daun tertinggi terjadi pada 14 hari pertama, hal ini terjadi pada semua stasiun penelitian. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa apapun jenis mangrovenya atau bagaimanapun karakteristik substrat dan kondisi perairannya, persentase serasah yang terurai lebih besar pada 14 hari pertama. Hal senada dikemukakan oleh Hodgkiss dan Leung (1986) menjelaskan bahwa aktifitas enzim selulotik fungi (fangal cellulolic enzym) yang paling tinggi terjadi di saat awal dekomposisi.

(52)

Tabel 7. Konstanta laju dekomposisi serasah daun mangrove

Stasiun Sub Stasiun

Nilai konstanta laju dekomposisi (k) pada hari ke-

Hari ke-14 Hari ke-28 Hari ke-42 Hari ke-56

Tabel 7 di atas juga menunjukkan bahwa nilai k di stasiun I lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun II dan stasiun III. Tingginya dekomposisi serasah di perairan disebabkan karena adanya penguraian secara biologis. Di perairan proses dekomposisinya juga dibantu oleh mekanisme fisik yakni pergerakan arus pasang dan penggenangan oleh air laut yang lebih lama. Mason (1977) menyatakan bahwa mekanisme hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah (leaching) dapat disebabkan adanya hujan atau aliran air. Selain itu juga penguraian serasah juga dapat disebabkan oleh pengikisan serasah oleh pergerakan gelombang. Lingkungan yang selalu basah dan lembab menyebabkan proses dekomposisi serasah berlangsung cepat (Manan, 1978).

Menurut Mason (1977) menyetakan bahwa terdapat 3 tahap proses dekomposisi serasah, yaitu :

1. Proses pelindihan (leaching), yaitu mekanisme hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air.

2. Penghawaan (wathering), merupakan mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air.

(53)

36

4.6 Produktifitas Serasah Mangrove

Berdasarkan dari hasil pengukuran produktifitas serasah mangrove selaman 56 hari di lokasi penelitian diperoleh komposisi serasah yang terapung pada tiap-tiap jaring atau litter-trap yang terdiri dari serasah daun, ranting dan bunga-buah. Produktifitas serasah tiap jenis mangrove untuk masing-masing komponen serasah disajikan pada Tabel 8. Secara rinci produktifitas serasah selama pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 7.

Tabel 8. Nilai rata-rata produktifitas serasah mangrove di Pulau Panjang.

Stasiun Sub Stasiun

Produktifitas serasah (g/m2/hari)

Daun Ranting &

Cabang Bunga & Buah Total

Stasiun 1

1.1 0.293 ± 0.043 0.035 ± 0.122 0.000 ± 0.000 0.328 ± 0.165 1.2 0.315 ± 0.087 0.000 ± 0.000 0.045 ± 0.083 0.360 ± 0.170 1.3 0.304 ± 0.077 0.000 ± 0.000 0.021 ± 0.072 0.325 ± 0.150

Rata-rata substasiun 0.304 ± 0.070 0.012 ± 0.070 0.022 ± 0.064 0.338 ± 0.205

Stasiun 2

2.1 0.297 ± 0.067 0.000 ± 0.000 0.000 ± 0.000 0.297 ± 0.067 2.2 0.366 ± 0.144 0.132 ± 0.210 0.011 ± 0.039 0.510 ± 0.393 2.3 0.317 ± 0.055 0.000 ± 0.000 0.000 ± 0.000 0.317 ± 0.055

Rata-rata substasiun 0.327 ± 0.099 0.044 ± 0.133 0.004 ± 0.023 0.375 ± 0.255

Stasiun 3

3.1 0.327 ± 0.059 0.000 ± 0.000 0.000 ± 0.000 0.327 ± 0.059 3.2 0.311 ± 0.064 0.000 ± 0.000 0.006 ± 0.021 0.317 ± 0.085 3.3 0.317 ± 0.130 0.000 ± 0.000 0.015 ± 0.052 0.332 ± 0.181

Rata-rata substasiun 0.318 ± 0.088 0.000 ± 0.000 0.007 ± 0.032 0.325 ± 0.120

Rata-rata 0.316 ± 0.086 0.019 ± 0.068 0.011 ± 0.040 0.346 ± 0.193

(54)

Tabel 9. Produktifitas serasah mangrove di beberapa lokasi penelitian

No Sumber Lokasi Penelitian Jenis mangrove Produksi serasah (g/m2/hari)

1 Eong et al, 1882 Matang, Malaysia R. apiculata dan

Bruguierra spp 2.09 – 3.51

2 Asthon et al, 1999 Peninsular, Malaysia R. mucronata dan R.

apiculata 2.79

3 Soenarjo, 1999 Kaliuntu, Rembang Rhizopora spp dan A.

marina 2.08

4 Pribadi, 1998 Teluk Bintuni, Papua Rhizopora spp dan

Bruguierra spp 3.04

5 Kitamura, 1997 Teluk Benoa, Bali R. apiculata 3.81

6 Ulqodry, 2008 Tanjung Api-api, Sumatera Selatan

A. marina dan S.

caseolaris 2.99

7 Penelitian ini Pulau Panjang, Banten

S. alba; R. apiculata; R. stylosa; B. Gymnorhiza; A. alba; L. racemosa; A. floridum

0.346

Tabel 9 menunjukkan bahwa mangrove Pulau panjang menghasilkan rata-rata serasah sebesar 0.346 gram/m2/hari, kondisi tersebut memberikan produktifitas yang rendah bila dibandingkan dengan beberapa lokasi mangrove lainnya. Hal ini dikarenakan kondisi mangrove di lokasi penelitian mempunyai kerapatan yang rendah pula, selain itu dari hasil pengamatan diketahui bahwa mangrovenya masih berumur mudah.

(55)

38

Dari keseluruhan total serasah yang dihasilkan, komponen serasah daun merupakan komponen terbesar, diikuti ranting dan bunga. Kondisi ini dijumpai pada semua stasiun pengamatan, lebih rinci disajikan pada Gambar 12 berikut.

Gambar 12. Proporsi komponen serasah tiap stasiun

Tingginya kontribusi serasah daun dibandingkan organ lain karena secara biologis pembentukan daun lebih cepat dibandingkan organ reproduksi serta ranting dan cabang. Pembentukannya juga lebih kontiniu. Selain itu daun juga cenderung lebih mudah digugurkan oleh hembusan angin dan terpaan hujan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Affandi (1996), persentase guguran serasah daun mangrove sebesar 57% di kawasan sungai, 65% di kawasan tambak, dan 81% dikawasan rawa hutan payau RPH Tritih Cilacap.

(56)

0,338

Dilihat dari karakteristik stasiun pengamatan yang berbeda, yakni pada daerah dekat laut menunjukkan nilai produktifitas serasah yang bervariasi seperti disajikan pada Gambar 13 di bawah ini.

Gambar 13. Perbandingan produktifitas serasah antar stasiun

Berdasarkan Gambar 13 di atas menunjukkan bahwa secara keseluruhan produktifitas di stasiun 2 lebih besar dibandingkan dengan stasiun 1 dan 3. Hal ini dapat terjadi karena pada stasiun 2 tersebut mendapat pengaruh angin yang lebih besar dan penetrasi pasang yang juga lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Brown (1984) menyatakan bahwa salah satu faktor mekanik yang mempengaruhi produktifitas serasah adalah angin bersama-sama dengan hujan. Penetrasi pasang yang lebih baik di stasiun 2 juga menghasilkan pertumbuhan mangrove yang lebih baik sehingga jumlah serasah yang dihasilkan juga lebih banyak.

4.7 Produksi Potensial Unsur Hara (C, N dan P)

Besarnya produksi potensial unsur hara serasah atau potensi unsur hara yang dapat dimanfaatkan (litterfall nutrient accession) di perairan mangrove Pulau Panjang disajikan pada Tabel 10. Kandungan unsur hara serasah dari tiap

0,300 0,320 0,340 0,360 0,380

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

(57)

40

stasiun di lokasi pengamatan disajikan pada Lampiran 8 serta rincian sumbangan produksi potensial unsur hara serasah disajikan pada Lampiran 9.

Tabel 10. Produksi potensial unsur hara pada gugur serasah (g/m2/hari)

Stasiun Komponen serasah

Produksi potensial unsur hara serasah (g/m2/hari

(58)

1

Tabel 11. Kontribusi produksi potensial unsir hara serasah mangrove Pulau Panjang dan beberapa kawasan mangrove lainnya.

Sumber Lokasi Penelitian Jenis mangrove

Produksi potensial unsur hara serasah (g/m2/hari

C N P

Djamaluddin, 1995 Likupang, Minahasa R. apiculataCaseolaris dan S. - 0.0029 0.00038

Pribadi, 1998 Teluk Bintuni, Papua Rhizopora spp dan

Bruguierra spp - 0.0658 0.0017

Foster, 1982 Catalangan, Filipina R. apiculata dan A.

Marina 1.38 - -

Khoon et al, 1984 Matang Malaysia R. apiculata - 0.0128 0.0013

Ulqodry, 2008 Tanjung Api-api, Sumatera Selatan

A. marina dan S.

caseolaris 0.788 0.0225 0.0022

Penelitian ini Pulau Panjang, Banten

S. alba; R. apiculata; R. stylosa; B. Gymnorhiza; A. alba; L. racemosa; A. floridum

0.528 0.0035 0.0007

Perbandingan produksi potensial unsur hara serasah untuk masing-masing stasiun di lingkungan mangrove Pulau Panjang disajikan pada Gambar berikut.

Gambar 14. Potensi unsur hara serasah antar stasiun pengamatan

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Tabel 1. Peralatan yang digunakan dalam penelitian
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian kawasan Mangrove Pulau Panjang, Banten.
Gambar 3. Pengukuran sampel vegetasi mangrove (a. semai, b. anakan, c. pohon)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fluks Bentik dan Potensi Laju Aktivitas Bakteri Terkait Siklus Nitrogen pada Sedimen Perairan Mangrove Karangantu dan Pulau Dua,

Judul Artikel : Fluks Bentik dan Potensi Aktivitas Bakteri Terkait Siklus Nitrogen di Sedimenc. Perairan Mangrove Pulau Dua,

[r]

menunjukkan bahwa konsentrasi total 232 Th dalam air laut di lokasi pembanding lebih kecil daripada perairan Pulau Panjang, hal tersebut berkaitan dengan lebih

Penelitian ini meneliti laju dekomposisi serasah daun mangrove yang berada di Kawasan Wisata Tongke- Tongke Kabupaten Sinjay sedangkan peneliti saat ini meneliti laju dekomposisi

Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga bahwa kelompok bakteri denitrifikasi lebih dominan dalam melakukan reduksi nitrat di sedimen mangrove Pulau Dua yang didukung oleh

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fluks Bentik dan Potensi Laju Aktivitas Bakteri Terkait Siklus Nitrogen pada Sedimen Perairan Mangrove Karangantu dan Pulau Dua,

Hasil pengelompokan stasiun penelitian berdasarkan struktur dan komposisi mangrove dengan parameter fisika kimia lingkungan menunjukkan produksi serasah tertinggi dihasilkan