• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove: Studi Kasus Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove: Studi Kasus Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

FITRIA DEWI KUSUMA. Keanekaragaman Serangga di Ekosistem mangrove: Studi Kasus Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan NOOR FARIKHAH HANEDA.

Hutan mangrove merupakan habitat dari serangga yang mempunyai peranan penting pada suatu ekosistem. Oleh karena itu, pentingnya peranan serangga dalam ekosistem dan begitu banyak jenis serangga yang belum teridentifikasi, maka upaya untuk mengkaji keanekaragaman serangga dalam ekosistem hutan menjadi suatu objek yang layak untuk dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi jenis mangrove dalam hubungannya dengan keanekaragaman jenis serangga. Penelitian ini dilakukan pada tiga tipe tegakan berbeda yang berada di Hutan Lindung mangrove Angke Kapuk dan Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo, yaitu tegakan monokultur A. marina, tegakan campuran A. marina dan R. mucronata, serta tegakan campuran S. alba dan R. mucronata. Plot sampling untuk pengambilan data digunakan metode garis berpetak, setiap tegakan dibuat sebanyak delapan plot (10 m × 10 m). Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan metode yellow-pan trap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe tegakan campuran A. marina dan R. mucronata mempunyai kelimpahan serangga tertinggi dibandingkan tegakan monokultur A. marina dan tegakan campuran S. alba dan R. mucronata. Serangga yang mendominasi pada ketiga tipe tegakan adalah dari ordo Diptera.

Kata kunci: Angke Kapuk, Keanekaragaman, Serangga, Mangrove

ABSTRACT

FITRIA DEWI KUSUMA. Diversity of Insects in Mangrove Ecosystem: Case Study of Mangrove in Angke Kapuk Coastal Area, Jakarta Utara. Supervised by CECEP KUSMANA and NOOR FARIKHAH HANEDA.

Mangrove is the habitat of various insects which have important function of ecosystem. However, many insect species and their functions in mangrove ecosystem have not been identified yet. This research is aimed to elucidate the species composition of mangrove in relation to the species diversity of insect. This research was conducted in three different mangrove stand in Mangrove Protection Forest of Angke Kapuk and Soedyatmo highway mangrove area. They are monoculture stand of A. marina, mixed stand of A. Marina and R. mucronata, and mixed stand of S. alba and R. mucronata. Sampling was collected by using line quadrat method. There were eight quadrats (10 m × 10 m) suspended at every mangrove stand. Incest traping was using yellow-pan trap method. The result indicates that the mixed stand A. Marina and R. mucronata has the highest value of insects abundance. The dominant insect at every mangrove stand were order of Diptera.

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki mangrove yang terluas di dunia dan juga keanekaragaman hayati terbesar serta strukturnya paling bervariasi. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut dengan komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana et al. 2005). Tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil (Noor et al. 2006).

Hutan mangrove mempunyai peran ganda baik ditinjau dari aspek fisik, ekonomi maupun ekologis. Secara fisik, hutan mangrove dapat berfungsi untuk menjaga garis pantai, mempercepat perluasan lahan, mengendalikan intrusi air laut, serta mengolah limbah organik. Fungsi ekonomi hutan mangrove diantaranya adalah berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan dan minuman. Fungsi ekologis dari hutan mangrove adalah sebagai tempat mencari makan, tempat memijah, tempat berkembang biak, tempat bersarang berbagai jenis satwa liar, dan habitat alami bagi berbagai jenis biota.

Hutan mangrove merupakan habitat dari salah satu keanekaragaman hayati yang dapat dibanggakan Indonesia yaitu serangga. Serangga merupakan golongan hewan yang jumlahnya paling banyak di muka bumi ini dan mempunyai peranan yang sangat penting pada suatu ekosistem.

Keanekaragaman serangga diyakini dapat digunakan sebagai salah satu bioindikator kondisi suatu ekosistem. Oleh karena itu, pentingnya peranan serangga dalam ekosistem dan begitu banyak jenis serangga yang belum teridentifikasi, maka upaya untuk mengkaji keanekaragaman serangga dalam ekosistem hutan menjadi suatu objek yang layak untuk dilakukan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur komposisi tegakan mangrove, menduga kelimpahan serangga, dan menduga besarnya nilai keanekaragaman jenis mangrove dan jenis (morfospesies) serangga pada berbagai tipe tegakan mangrove (tegakan monokultur A. marina, tegakan campuran A. marina dan R. mucronata serta tegakan campuran S. alba dan R. mucronata).

Manfaat Penelitian

(3)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut dengan komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana et al. 2005). Hutan ini merupakan peralihan habitat lingkungan darat dan lingkungan laut, maka sifat-sifat yang dimiliki tidak persis sama seperti sifat-sifat-sifat-sifat yang dimiliki hutan hujan tropis di daratan (Wibisono 2011). Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove (Kusmana et al. 2008).

Mangrove, mangal, bakau, hutan pantai, dan hutan api-api adalah sebutan untuk komunitas tumbuhan pantai yang memiliki adaptasi khusus (Fachrul 2008). Menurut Mukhtasor (2007), hutan mangrove merupakan ciri khas ekosistem daerah tropis dan sub tropis. Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri dari jenis-jenis yang selalu hijau.

Luas dan Penyebaran Hutan Mangrove

Berdasarkan perhitungan diketahui luas mangrove Indonesia yang tersisa pada tahun 1990 hanya sekitar 2.49 juta hektar, 58% dari luasan tersebut terdapat di Papua dan hanya 11% tersisa di Jawa (Noor et al. 2006). Indonesia mempunyai struktur dan komposisi mangrove lebih bervariasi jika dibandingkan dengan wilayah lain. Tegakan A. marina dengan ketinggian 1–2 m dapat ditemukan di wilayah Indonesia, yaitu pada pantai yang tergenang air laut terus menerus serta dapat ditemukan tegakan campuran Bruguiera spp.–Rhizophora spp.Ceriops spp. dengan tinggi lebih dari 30 m. Tegakan A. alba dan S. alba dapat ditemukan pada daerah pantai terbuka dan di sepanjang sungai yang mempunyai salinitas yang lebih rendah banyak ditemukan jenis palem (Nypa fruticans) dan S. caseolaris (Kusmana et al. 2008).

Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Mangrove memegang peranan penting untuk kehidupan laut. Mangrove dapat hidup dengan baik di kawasan pesisir, ekosistem tersebut akan mendukung lingkungan pantai menjadi tempat ideal bagi ikan-ikan yang berkembang biak, rumah yang nyaman untuk kepiting dan burung air, dan pada saat berbahaya, mangrove juga berfungsi menyelamatkan pencemaran logam berat dari daratan sebelum masuk lautan (Fachrul 2008).

(4)

manusia dan mamalia di darat dan biota perairan di laut. Menurut Kusmana (2005), fungsi mangrove dapat dikategorikan kedalam tiga macam fungsi, yaitu fungsi fisik (menjaga garis pantai, mempercepat perluasan lahan, mengendalikan intrusi air laut, serta melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang), fungsi ekologis (sumber plasma nutfah, tempat bersarang berbagai jenis satwa liar, serta tempat mencari makan, tempat memijah, dan berkembang biak berbagai jenis ikan, udang, kerang, dan biota lainnya), dan fungsi ekonomis (hasil hutan berupa kayu, hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman dan makanan, tanin, dan lain-lain, serta lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain).

Menurut Wibisono (2005), hutan mangrove berfungsi sebagai tempat peralihan dan penghubung antara darat dan laut. Karena itu sifat-sifat biota yang hidup di dalamnya mempunyai ciri-ciri khas yang merupakan pertemuan antara biota yang sepenuhnya hidup di darat dengan biota yang sepenuhnya hidup di perairan laut, misalnya berbagai jenis ketam, kepiting, mimi (Limulus tachypleus), yang semuanya sebagai hewan pemakan serasah.

Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove

Kusmana et al. (2005) menyatakan bahwa struktur, fungsi, komposisi, dan distribusi jenis, dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan. Beberapa faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove adalah fisiografi pantai, iklim, pasang surut, gelombang dan arus, salinitas, oksigen terlarut, tanah, nutrisi, dan tempat berkembang biak mangrove yang terlindungi dari gelombang kuat berupa laguna, esturia, delta, dan lain-lain.

Menurut Noor et al. (2006), kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Beberapa jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya. Noor et al. (2006) juga menambahkan bahwa zona vegetasi mangrove berkaitan erat dengan pasang surut.

Keanekaragaman Serangga

Serangga merupakan jenis hewan yang jumlahnya paling dominan di antara jenis hewan lainnya dalam filum Arthropoda. Oleh karena itu serangga dimasukkan dalam kelompok hewan yang lebih besar dalam filum Arthropoda atau binatang beruas. Menurut penafsiran para ahli, terdapat 713500 jenis arthropoda atau sekitar 80 persen dari jenis hewan yang telah dikenal (Hadi et al. 2009).

(5)

komponen penting dari ekosistem perairan dekat pantai. Keragaman jenis serangga merupakan gambaran yang setara dengan adaptasi variabel kondisi lingkungan. Serangga mempengaruhi jenis lain (termasuk manusia) dan sebagai parameter suatu ekosistem. Serangga mempunyai respon yang cepat terhadap perubahan lingkungan, sehingga serangga berguna untuk indikator perubahan lingkungan (Schowalter 2006).

Serangga memiliki peranan ekologis yang sangat penting diantaranya yaitu membantu beberapa jenis tumbuhan untuk bisa melakukan penyerbukan, termasuk perkebunan buah-buahan, kapas, dan tembakau. Selain itu, serangga juga menghasilkan produk-produk yang bernilai bagi masyarakat, seperti madu, sutera, dan lain-lain.

Hubungan antar Serangga dan Tanaman

Hubungan antara serangga dengan tanaman merupakan hubungan timbal balik baik serangga ataupun tanaman masing-masing memperoleh keuntungan. Serangga selalu memperoleh makanan dari tanaman sehingga serangga dapat merugikan tanaman. Hampir 50% dari serangga adalah pemakan tanaman atau fitofagus, sedangkan yang lain adalah pemakan serangga lain atau sisa-sisa tanaman atau hewan. Serangga yang bertindak sebagai pemakan tanaman perlu ruang hidup sebagai tempat hidup atau sebagai tempat berlindung, berbiak, atau mengambil makanan. Sebagaian besar serangga merupakan pemakan tanaman, sehingga serangga mempunyai bermacam-macam daya hidup yang memungkinkan populasi serangga dapat meningkat dengan cepat (Hadi et al. 2009).

Menurut Suratmo (1974), serangga pemakan bagian daun dan bagian dalam dari kulit pohon akan dapat tumbuh lebih cepat dari serangga yang hidup di kayu. Faktor makanan yang mempengaruhi perkembangan populasi serangga adalah banyaknya tanaman inang yang cocok, kerapatan tanaman inang, komposisi dari tegakan, umur tanaman inang, kesehatan (vigor) dari tanaman inang, adanya tanaman inang lainnya sebagai makanan pengganti bila tanaman yang disukai telah habis.

Faktor Lingkungan Serangga

Menurut Tarumingkeng (1991), keadaan lingkungan hidup mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk hidup (biodiversitas) dan sebaliknya lingkungan. Semua jenis flora dan fauna telah berevolusi untuk menyesuaikan hidup dengan lingkungan. kehidupan seranggapun sangat bergantung pada habitatnya. Oleh karena itu faktor lingkungan sangat menentukan dan berpengaruh pada perkembangan serangga.

(6)

salinitas, pH, kandungan bahan-bahan, suhu dll.), dan atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu, dll.) (Tarumingkeng 1991).

Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan bagian dari keseluruhan lingkungan yang terbentuk oleh semua fungsi makhluk hidup yang satu dan lainnya saling berinteraksi. Faktor-faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi kehidupan serangga adalah temperatur, cahaya, presipitas, kelembaban dan angin, serta faktor-faktor abiotik lainnya yang kurang penting yang termasuk di dalam faktor-faktor cuaca dan iklim (Suratmo 1974). Menurut Willmer (1982) diacu dalam Kahono et al. (2003) iklim merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam kehidupan. Iklim berpengaruh langsung kepada kehidupan, pertumbuhan, reproduksi, dan kelimpahan serangga, fenologi, dan musuh alami.

Konsep Keanekaragaman

Keanekaragaman merupakan keadaan berbeda atau mempunyai perbedaan dalam bentuk atau sifat antara anggota-anggotanya. Keanekaragaman dalam level ekosistem terbagi menjadi tiga level, yaitu keanekaragaman alpha, keanekaragaman gamma dan keanekaragaman beta (McNoughton dan Wolf 1990). Menurut Magguran (1988), terdapat pengertian dari semua level keragaman tersebut, yaitu:

1. Keragaman titik (point diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu unit contoh yang diukur.

2. Keanekaragaman alpha (alpha diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu habitat yang homogen (gabungan keanekaragaman titik).

3. Keanekaragaman gamma (gamma diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu pulau atau lansdcape (gabungan keanekaragaman alpha).

4. Keanekaragaman epsilon (epsilon diversity), yaitu nilai keanekaragaman suatu wilayah biogeografi (gabungan keanekaragaman gamma).

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada dua lokasi, yaitu di Hutan Lindung mangrove Angke Kapuk dan Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo, Jakarta Utara (Gambar 1). Pengambilan data dilakukan pada tiga tipe tegakan yang berbeda, yaitu (1) tegakan monokultur A. marina (A), (2) tegakan campuran A. marina dan R. mucronata (B) yang berada di sebelah barat Cengkareng Drain, Hutan Lindung Angke Kapuk, dan (3) tegakan campuran S. alba dan R. mucronata (C) yang berada di Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo.

(7)

salinitas, pH, kandungan bahan-bahan, suhu dll.), dan atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu, dll.) (Tarumingkeng 1991).

Tarumingkeng (1991) menambahkan bahwa lingkungan biotik merupakan bagian dari keseluruhan lingkungan yang terbentuk oleh semua fungsi makhluk hidup yang satu dan lainnya saling berinteraksi. Faktor-faktor abiotik yang penting dalam mempengaruhi kehidupan serangga adalah temperatur, cahaya, presipitas, kelembaban dan angin, serta faktor-faktor abiotik lainnya yang kurang penting yang termasuk di dalam faktor-faktor cuaca dan iklim (Suratmo 1974). Menurut Willmer (1982) diacu dalam Kahono et al. (2003) iklim merupakan salah satu faktor yang terpenting dalam kehidupan. Iklim berpengaruh langsung kepada kehidupan, pertumbuhan, reproduksi, dan kelimpahan serangga, fenologi, dan musuh alami.

Konsep Keanekaragaman

Keanekaragaman merupakan keadaan berbeda atau mempunyai perbedaan dalam bentuk atau sifat antara anggota-anggotanya. Keanekaragaman dalam level ekosistem terbagi menjadi tiga level, yaitu keanekaragaman alpha, keanekaragaman gamma dan keanekaragaman beta (McNoughton dan Wolf 1990). Menurut Magguran (1988), terdapat pengertian dari semua level keragaman tersebut, yaitu:

1. Keragaman titik (point diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu unit contoh yang diukur.

2. Keanekaragaman alpha (alpha diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu habitat yang homogen (gabungan keanekaragaman titik).

3. Keanekaragaman gamma (gamma diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu pulau atau lansdcape (gabungan keanekaragaman alpha).

4. Keanekaragaman epsilon (epsilon diversity), yaitu nilai keanekaragaman suatu wilayah biogeografi (gabungan keanekaragaman gamma).

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada dua lokasi, yaitu di Hutan Lindung mangrove Angke Kapuk dan Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo, Jakarta Utara (Gambar 1). Pengambilan data dilakukan pada tiga tipe tegakan yang berbeda, yaitu (1) tegakan monokultur A. marina (A), (2) tegakan campuran A. marina dan R. mucronata (B) yang berada di sebelah barat Cengkareng Drain, Hutan Lindung Angke Kapuk, dan (3) tegakan campuran S. alba dan R. mucronata (C) yang berada di Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo.

(8)

Gambar 1 Peta lokasi penelitian

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tegakan mangrove, serangga yang tertangkap dengan metode yellow-pan trap, detergen, kantong plastik, kertas label, dan alkohol 70%. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain golok, termohygrometer, kompas, pita ukur, hagahypsometer, kamera, yellow pan trap, wadah rol film, pinset, meteran, penggaris, kompas, mikroskop, dan alat-alat tulis.

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Proses pengumpulan data primer melalui pengukuran langsung di lapangan seperti penangkapan serangga, analisis vegetasi dan pengukuran dimensi pohon, pengukuran suhu, dan kelembaban.

(9)

Metode Kerja

Penentuan Plot Sampling

Plot sampling untuk pengambilan data digunakan metode garis berpetak. Tegakan monokultur A. marina dibuat sebanyak dua jalur. Jarak antar jalur dan petak dalam jalur pada tegakan monokultur A. marina adalah 20 meter. Desain plot sampling pada tegakan monokultur A. marina disajikan pada Gambar 2.

40 m

20 m 10 m

10 m

Gambar 2 Desain plot sampling pada tegakan monokultur A. marina

Plot sampling pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata dibuat satu jalur, panjang jalur 220 m dan lebar 10 m dengan arah sejajar garis pantai, sedangkan pada tegakan campuran S. alba dan R. mucronata di Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo dibuat satu jalur, panjang jalur 220 m dan lebar 10 m dengan arah tegak lurus sungai Cengkareng Drain. Pada setiap jalur dibuat petak ukuran 10 m × 10 m dengan jarak antar petak dalam jalur adalah 20 m. Masing-masing tipe tegakan dibuat sebanyak delapan petak.

Penangkapan Serangga

(10)

10 m

10 m

= yellow-pan trap

Gambar 3 Metode pengumpulan serangga dengan yellow-pan trap: (A) Posisi peletakkan yellow-pan trap di dalam petak; (B) yellow-pan trap

Analisis Vegetasi dan Pengukuran Dimensi Pohon

Analisis vegetasi dilakukan pada petak 10 m × 10 m, seperti yang disajikan pada Gambar 4. Ukuran petak tersebut dibagi kedalam sub-sub petak yang lebih kecil secara nested sampling dengan ukuran 10 m × 10 m untuk tingkat pohon, 5 m × 5 m untuk tingkat pancang, dan 2 m × 2 m untuk tingkat semai. Pengukuran dimensi pohon meliputi tinggi dan diameter setinggi dada (dbh). Tinggi pohon diukur menggunakan hagahypsometer dan diameter batang diukur menggunakan pita ukur.

Gambar 4 Plot ukur analisis vegetasi

Pengukuran Faktor Lingkungan Serangga

Lingkungan serangga merupakan lingkungan yang terdiri dari lingkungan abiotik dan biotik. Pengukuran faktor lingkungan serangga dilakukan dengan cara mengukur suhu dan kelembaban. Suhu dan kelembaban diukur dengan menggunakan alat thermohygrometer dengan meletakkan alat tersebut di tengah plot sampling. Peletakan dilakukan dengan menggantungkan thermohygrometer pada pohon karena alat tersebut tidak boleh terkena cahaya matahari secara langsung.

2 m

2 m 5 m

(11)

Pemisahan dan Identifikasi Serangga

Serangga yang tertangkap dipisahkan dan diidentifikasi berdasarkan morfospesies di Laboratorium Entomologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Menurut Bird et al. (2000) dalam Haneda (2004), morfospesies merupakan unit taksonomi yang dikenali berdasarkan penampilan luar dari spesimen dan umum digunakan sebagai pengganti nama jenis untuk keanekaragaman jenis. Proses identifikasi serangga dilakukan dengan menggunakan sumber identifikasi berupa insektarium serta buku-buku panduan yang telah ada. Adapun buku yang dipakai dalam identifikasi serangga adalah: a. Pengenalan Pelajaran Serangga, tahun 1996, karya Donald J. Borror, Charles

A. Triplehorn, dan Norman F. Johnson yang diterjemahkan oleh Partosoedjono.

b. The Butterflies of the Malay Peninsula, tahun 1991, karya A. Steven Corbet dan H.M Pendlabury.

c. A Field Guide in Colour to Butterflies and Moth, tahun 1999, karya Ivo Novak yang diterjemahkan oleh Marie Hejlova.

d. Malaysian Nature Handbook Common Malaysian Moth, tahun 1986, karya Avril Fox.

e. Mengenal Capung, tahun 1998, karya Shanti Susanti.

f. Hymenoptera of the World: an Identification Guide to Families, tahun 1993, karya Henry Goulet dan John T. Huber.

Analisis Data

Analisis Data Vegetasi dan Keanekaragaman Jenis Mangrove

Analisis vegetasi dilakukan dengan menghitung nilai kerapatan tumbuhan dan Indeks Nilai Penting untuk tingkat pohon dan permudaan. Nilai keanekaragaman jenis mangrove dihitung menggunakan Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener.

Jumlah seluruh sub petak contoh

(12)

K = Kerapatan (individu/ha) KR = Kerapatan Relatif (%) F = Frekuensi

FR = Frekuensi Relatif (%) D = Dominansi (m2/ha) DR = Dominansi Relatif (%) INP = Indeks Nilai Penting (%)

H' = -∑ Pi ln Pi ; dimana Pi = �� � H' = Indeks keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah individu seluruh jenis

Analisis Data Serangga

Analisis data serangga dilakukan dengan menghitung kelimpahan dalam satuan individu per hektar, nilai keanekaragaman jenis, kemerataan jenis, dan kesamaan jenis serangga antar tegakan. Perhitungan nilai-nilai keanekaragaman serangga dilakukan dengan menggunakan program Species Diversity and Richness-2.64. Berikut persamaan-persamaan yang digunakan dalam analisis data.

Kelimpahan Serangga

Kelimpahan serangga adalah jumlah total serangga dalam satuan individu per hektar. Kelimpahan serangga dirumuskan dengan:

Kelimpahan serangga (individu/ha) = Jumlah individu serangga Luas petak contoh

Nilai Keanekaragaman Jenis (Diversity Index)

Nilai keanekaragaman jenis dihitung menggunakan indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener. Indeks keanekaragaman merupakan kombinasi dari kekayaan jenis (species richness) dan kesamaan jenis (evenness species) menjadi satu nilai. Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener memiliki dua sifat, yaitu : (1) H’=0 jika dan hanya jika ada satu jenis dalam sampel, (2) H’ maksimum hanya ketika semua jenis (jumlah total jenis dalam komunitas) diwakili oleh jumlah individu yang sama, yang merupakan distribusi kelimpahan yang sempurna (Ludwig dan Reynolds 1988). Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener dirumuskan dengan:

H' = -∑ Pi ln Pi ; dimana Pi = �� � H' = Indeks keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener ni = Jumlah individu jenis ke-i

(13)

Nilai Kemerataan Jenis (Evenness Index)

Nilai kemerataan jenis menunjukkan derajat kemerataan keanekaragaman individu antar jenis. Rumus yang digunakan adalah nilai evenness modifikasi dari Hill’s ratio (Ludwig dan Reynolds 1988):

�5 =�2−1

�1−1 Dimana �2 = 1

� dan �1 =��′ E5 = Indeks Kemerataan Jenis

N1 = Nilai dari kelimpahan

N2 = Ukuran nilai dari kelimpahan jenis pada sampel λ = Simpson’s indeks, λ= si=1Pi2

Nilai E5 berkisar antara 0–1. Nilai E5 yang mendekati 0 menunjukan bahwa suatu jenis menjadi dominan dalam komunitas. Jika nilai E5 mendekati 1, seluruh jenis memiliki tingkat kemerataan jenis yang hampir sama.

Nilai Kesamaan (Similarity Index) Jenis Serangga antar Tipe Tegakan

Nilai kesamaan jenis dihitung menggunakan Indeks Kesamaan Jaccard dirumuskan dengan:

CJ = J/(a + b – J) CJ = Indeks Kesamaan Jaccard

J = jumlah spesies yang ditemukan pada habitat a & b a = jumlah spesies yang ditemukan pada habitat a b = jumlah spesies yang ditemukan pada habitat b

Menurut Magurran (1988), nilai indeks kesamaan jenis Jaccard (Cj) mendekati 1 menunjukkan tingkat kesamaan jenis antar habitat tinggi. Jika nilai indeks kesamaan jenis Jaccard (Cj) mendekati 0 menunjukkan tingkat kesamaan jenis antar habitat rendah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Hutan Lindung Angke Kapuk

(14)

Nilai Kemerataan Jenis (Evenness Index)

Nilai kemerataan jenis menunjukkan derajat kemerataan keanekaragaman individu antar jenis. Rumus yang digunakan adalah nilai evenness modifikasi dari Hill’s ratio (Ludwig dan Reynolds 1988):

�5 =�2−1

�1−1 Dimana �2 = 1

� dan �1 =��′ E5 = Indeks Kemerataan Jenis

N1 = Nilai dari kelimpahan

N2 = Ukuran nilai dari kelimpahan jenis pada sampel λ = Simpson’s indeks, λ= si=1Pi2

Nilai E5 berkisar antara 0–1. Nilai E5 yang mendekati 0 menunjukan bahwa suatu jenis menjadi dominan dalam komunitas. Jika nilai E5 mendekati 1, seluruh jenis memiliki tingkat kemerataan jenis yang hampir sama.

Nilai Kesamaan (Similarity Index) Jenis Serangga antar Tipe Tegakan

Nilai kesamaan jenis dihitung menggunakan Indeks Kesamaan Jaccard dirumuskan dengan:

CJ = J/(a + b – J) CJ = Indeks Kesamaan Jaccard

J = jumlah spesies yang ditemukan pada habitat a & b a = jumlah spesies yang ditemukan pada habitat a b = jumlah spesies yang ditemukan pada habitat b

Menurut Magurran (1988), nilai indeks kesamaan jenis Jaccard (Cj) mendekati 1 menunjukkan tingkat kesamaan jenis antar habitat tinggi. Jika nilai indeks kesamaan jenis Jaccard (Cj) mendekati 0 menunjukkan tingkat kesamaan jenis antar habitat rendah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Hutan Lindung Angke Kapuk

(15)

Laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Kali Kamal, dan sebelah timur berbatasan dengan Kali Angke dan perkampungan nelayan Muara Angke. Secara geografis Hutan Lindung Angke Kapuk terletak diantara 6°05’–6°10’ Lintang Selatan dan 106°43’–106°48 Bujur Timur. Hutan Lindung Angke Kapuk terbentang mulai dari batas Hutan Wisata Kamal sampai batas Suaka Margasatwa Muara Angke.

Kondisi permukaan tanah relatif datar. Elevasi permukaan tanah di bagian selatan lebih tinggi kemudian menurun dengan kemiringan yang rendah ke arah utara sampai ke pantai, di bagian selatan ketinggian permukaan tanah permukaan tanahnya disebabkan oleh kemiringan alami, yang juga berfungsi sebagai daerah penyangga dari batas hutan.

Secara keseluruhan kawasan ini dahulu merupakan daratan empang dengan sungai-sungai kecil yang bermuara di Teluk Jakarta. Umumnya, bagian utara dataran rendah ini merupakan hutan mangrove. Hutan mangrove yang kini menjadi hutan lindung merupakan pantai dari Muara Sungai Angke Kapuk sampai di sebelah timur Sungai Kamal. Semakin ke baratdaya ketinggian daratan semakin tinggi. Di bagian selatan, ketinggian tempat mencapai 5 meter di atas permukaan laut.

Keadaan tanah di Hutan Lindung Angke Kapuk di bagian utara sampai dengan pantai Jawa, terdiri dari alluvial kelabu tua dan gley humus rendah. Batuan induk tanah ini berupa endapan tanah liat daratan pantai. Pada bagian selatan terdiri dari regosol cokelat yang terbentuk dari endapan pasir vulkanik, daerah ini merupakan tanah lempung berpasir dengan topografi datar. Pada bagian tenggara terdiri dari alluvial kelabu tua.

Keadaan tambak rawa, sungai dan pasang surut sekitar hutan sangat mempengaruhi kondisi hidrologi kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk. Hal ini nampak pada kondisi air yang berkadar garam 20‰–40‰. Pasang tertinggi terjadi pada bulan Juni setinggi 1.25 meter dan surut terendah setinggi 0.25 meter terjadi pada bulan Juli.

Secara umum, kondisi iklim kota Jakarta termasuk kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk memiliki iklim tropis dengan curah hujan rata-rata tahunan 2000 mm. suhu udara di Muara Angke cukup tinggi. Suhu udara maksimum berkisar 35°C dan minimum berkisar 19°C pada malam hari. Kelembaban udara maksimum mencapai 89% dan minimum 76%. Pada bulan November sampai April, kawasan ini dipengaruhi angin musim barat, sedangkan angin musim timur bertiup pada bulan Mei sampai bulan Oktober.

(16)

Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo

Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo memiliki hutan mangrove dengan luas 95.5 ha. Wilayah tersebut termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pluit, Kecamatan Panjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Berdasarkan tata batas, wilayah Kawasan Mangrove jalan Tol Sedyatmo berbatasan dengan Pantai Indah Kapuk di sebelah selatan, sebelah utara berbatasan dengan Jalan Tol Soekarno-Hatta, sebelah barat berbatasan dengan Pantai Kapur Timur, dan sebelah timur berbatasan dengan Jalan Pluit Barat.

Secara geografis, Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo terletak pada 06°05’24”–06°05;35’ Lintang Selatan dan 106°46’06”–106°46’30” Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 0–1 meter di atas permukaan laut. Kawasan Delta Muara Angke berada diantara 2 anak sungai, yaitu Kali Angke di sebelah timur dan Kali Adem di sebelah barat.

Geomorfologi Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo dipengaruhi hasil endapan sungai yang mengalir di wilayah tersebut. Endapan sungai membentuk endapan alluvial pantai dengan permukaan tanah datar dan subur karena dipegaruhi oleh endapan sungai yang mengandung sedimen bahan organik dengan tekstur tanah lunak (tidak solid). Hal ini yang menyebabkan daya dukung tanah rendah dan proses intrusi air laut tinggi.

Topografi pada Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo memiliki kontur permukaan tanah yang datar. Ketinggian dari permukaan laut adalah 0–1 meter dengan kondisi air permukaan berupa payau, kolam tambak, dan rawa-rawa.

Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo merupakan delta yang diapit oleh dua anak sungai, yaitu Kali Adem dan Kali Angke. Saat curah hujan tinggi, terjadi peningkatan ketinggian pasang air yang mencapai 0.3 m/hari. Namun, saat musim kemarau panjang, air akan surut hingga ± 0.5 m/hari. Kedalaman kawasan yang berupa kolam atau tambak ini bervariasi, yakni antara 0.82 sampai 1.5 meter.

Secara umum, kondisi iklim kota Jakarta termasuk Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo memiliki iklim tropis dengan curah hujan sepanjang tahun 1 913.8– 2000 mm/tahun. Suhu udara di Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo cukup tinggi. Suhu udara maksimum berkisar 31.4°C pada siang hari dan berkisar 25.4°C pada malam hari. Kelembaban udara rata sebesar 77% dan kecepatan angin rata-rata sebesar 7 knots/jam dengan arah angin yang selalu berubah-ubah sesuai musim pada tiap tahunnya.

(17)

Hasil

Komposisi Tegakan dan Keanekaragaman Jenis Mangrove

Dominansi Jenis

Jens-jenis pohon mangrove yang ditemukan berdasarkan hasil analisis vegetasi pada tiga tipe tegakan yakni tegakan monokultur A. marina (A) dan tegakan campuran A. marina dan R. mucronata (B) yang berada di hutan lindung Angke Kapuk, serta tegakan campuran S. alba dan R. mucronata (C) yang berada di Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Indeks Nilai Penting jenis mangrove untuk setiap tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian

Tingkat Pertumbuhan

Indeks Nilai Penting (%)

A B C

Pohon A. marina (300%) A. marina (300%) S. alba (300 %) Pancang A. marina (200%) A. marina (123.34%) S. alba (114.5 %)

R. mucronata (76.66%) R. mucronata (85.5 %) Semai A. marina (200%) A. marina (113.29%) S. alba (200 %)

R. mucronata (86.71%)

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan campuran S. alba dan R. mucronata

Tabel 1 menunjukkan bahwa tipe tegakan A pada tingkat pohon, pancang, dan semai didominasi oleh jenis A. marina. Tipe tegakan B pada tingkat pohon, pancang, dan semai didominasi oleh jenis A. marina, sedangkan pada tingkat semai dan pancang ditemukan jenis kodominan yaitu R. mucronata. Tipe tegakan C pada tingkat pohon, pancang, dan semai didominasi oleh jenis S. alba, sedangkan pada tingkat pancang ditemukan jenis kodominan yaitu R. mucronata.

Kerapatan Tegakan pada Setiap Tipe Tegakan Mangrove

(18)

Tabel 2 Nilai kerapatan pada setiap tingkat pertumbuhan di berbagai tipe tegakan mangrove di lokasi penelitian

Tegakan Tingkat Pertumbuhan Kerapatan (ind/ha)

A Pohon 462.50

Pancang 2 500.00

Semai 4 687.50

B Pohon 112.50

Pancang 7 000.00

Semai 19 062.50

C Pohon 712.50

Pancang 1 100.00

Semai 12 500.00

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan campuran S. alba dan R. mucronata

Tabel 2 menjelaskan bahwa pada tipe tegakan A, B, dan C kerapatan tertinggi terdapat pada tingkat pertumbuhan semai dan kerapatan jenis terendah terdapat pada tingkat pohon. Semakin besar ukuran diameter batang, maka semakin berkurang jumlah individunya.

Keanekaragaman Jenis Mangrove

Keanekaragaman jenis mangrove tertinggi terdapat pada tegakan B sebesar 0.62 dan tertinggi kedua terdapat pada tegakan C sebesar 0.29. Tegakan A nilai keanekaragaman jenis mangrove bernilai nol dikarenakan hanya terdapat satu jenis mangrove yang terdapat pada tegakan tersebut. Hasil analisis indeks Keanekaragaman jenis mangrove disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai indeks keanekaragaman jenis mangrove pada berbagai tipe tegakan di lokasi penelitian

Tegakan H'

A 0.00

B 0.62

C 0.29

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan campuran S. alba dan R. mucronata

Komposisi, Kelimpahan, dan Keanekaragaman Serangga

Komposisi dan Kelimpahan Serangga pada Setiap Tipe Tegakan Mangrove

(19)

Contoh serangga yang tertangkap dengan metode yellow pan trap dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Serangga yang tertangkap dengan metode yellow pan trap: (A) Pipunculidae (Diptera) 10x; (B) Psychodidae (Diptera) 20x; (C) Gryllidae (Orthoptera) 10x; (D) Miridae (Hemiptera) 10x; (E) Ephydridae (Diptera) 10x; (F) Elasmidae (Hymenoptera) 10x

Data komposisi dan kelimpahan serangga berdasarkan ordo hasil pemisahan dan identifikasi pada setiap tipe tegakan di lokasi penelitian tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Kelimpahan serangga berdasarkan ordo di setiap tipe tegakan

Ordo Kelimpahan serangga (individu/ha)

A B C

Coleoptera 366 266 500

Diptera 19 032 64 367 45 699

Embiidina 0 67 0

Hemiptera 3 332 66 467

Hymenoptera 432 635 5 865

Lepidoptera 0 67 33

Odonata 0 33 0

Orthoptera 132 866 2 334

Blattaria 0 0 1 033

Homoptera 66 0 0

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan campuran S. alba dan R. mucronata

Tabel 4 memperlihatkan bahwa jumlah ordo terbanyak yaitu ditemukan pada tipe tegakan B. Komposisi dan kelimpahan serangga pada tegakan monokultur A. marina (A) disusun oleh 22 famili dan 6 ordo dengan kelimpahan serangga sebanyak 23 360 individu/ha dan pada tegakan campuran S. alba dan R. mucronata (C) disusun oleh 30 famili dan 8 ordo dengan kelimpahan serangga sebanyak 55 931 individu/ha. Komposisi dan kelimpahan serangga tertinggi terdapat pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata (B) disusun oleh 33 famili dan 8 ordo dengan kelimpahan serangga sebanyak 66 367 individu/ha. Pada ketiga habitat tersebut jenis serangga yang mendominasi yaitu dari ordo Diptera.

A BB CC

(20)

Tipe tegakan A dan B didominasi oleh famili Ephydridae dari ordo Diptera (Gambar 5E), sedangkan tipe tegakan C didominasi oleh famili Psychodidae dari ordo Diptera (Gambar 5B).

Keanekaragaman Serangga pada Setiap Tipe Tegakan

Hasil analisis data kelimpahan indeks keanekaragaman dan kemerataan serangga pada setiap tipe tegakan mangrove yang diperoleh tersaji pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah morfospesies, nilai indeks keanekaragaman, dan indeks

kemerataan serangga di setiap tipe tegakan

Keterangan Tegakan

A B C

Jumlah morfospesies 29.00 47.00 46.00

H' 1.68 1.57 2.01

E5 0.38 0.35 0.45

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan campuran S. alba dan R. mucronata; H’=indeks keanekaragaman Shannon-Wiener; dan E5=indeks kemerataan modifikasi Hill’s ratio

Nilai Keanekaragaman (Diversity Index) Serangga

Hasil analisis pada Tabel 5 diketahui bahwa serangga yang diperoleh pada tiga tipe tegakan mangrove mempunyai keanekaragaman jenis yang berbeda. Jumlah individu jenis tertinggi adalah pada tegakan B, tetapi nilai keanekaragaman jenis serangga (H’) tertinggi terdapat pada tegakan C sebesar 2.01. Tegakan A dan B mempunyai nilai keanekaragaman jenis serangga (H’) masing-masing adalah 1.68 dan 1.57.

Nilai Kemerataan (Evennes Index) Serangga

Tabel 5 menunjukan tidak ada dominansi jenis serangga pada tegakan A, B serta C dengan besarnya nilai Evennes index (E5) dari masing-masing lokasi yang tidak bernilai nol. Namun, pada tegakan B cenderung mendekati nol, artinya ada kelompok serangga yang lebih mendominasi yaitu famili Ephrydidae dari ordo Diptera.

Nilai Kesamaan (Similarity Index) Jenis Serangga antar Tipe Tegakan

(21)

Tabel 6 Nilai indeks kesamaan jenis serangga antar tipe tegakan

Tegakan Similarity Index

A vs B 26%

A vs C 25%

B vs C 21%

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan campuran S. alba dan R. mucronata

Faktor Lingkungan Serangga

Keanekaragaman dan kelimpahan serangga secara umum akan ditentukan pula oleh faktor lingkungan. Setiap jenis serangga mempunyai kesesuaian terhadap lingkungan tertentu. Oleh karena itu, faktor fisik lingkungan sangat mempengaruhi. Pengukuran faktor fisik lingkungan yang dilakukan adalah suhu dan kelembaban udara. Hasil pengukuran faktor lingkungan pada tiga tipe tegakan didapatkan data yang tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7 Kondisi rata-rata suhu dan kelembaban pada tegakan monokultur A. marina, campuran A. marina dan R. mucronata, dan campuran S. alba dan R. mucronata

Kondisi Lingkungan Tipe Tegakan

A B C

Suhu (°C) 29.67 31.00 30.83

RH (%) 72.00 70.00 70.50

A=tegakan monokultur A. marina; B=tegakan campuran A. marina dan R. mucronata; C=tegakan campuran S. alba dan R. mucronata

Tabel 7 menunjukan bahwa faktor suhu dan kelembaban udara pada tegakan B lebih tinggi dibandingkan tegakan A dan C, sedangkan kelembaban udara pada tegakan A lebih tinggi dibandingkan tegakan B dan C. Kondisi lingkungan yang berbeda menyebabkan kelimpahan serangga tiap tipe tegakan berbeda.

Pembahasan

(22)

Angke. Menurut Kusmana et al. (2008), flora mangrove umumnya tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi zonasi mangrove yaitu pasang surut, tipe tanah, kadar garam dan cahaya.

Kerapatan tegakan tertinggi pada tipe tegakan monokultur A. marina, tipe tegakan campuran A. marina dan R. mucronata, dan tipe tegakan campuran S. alba dan R. mucronata terdapat pada tingkat pertumbuhan semai. Tegakan campuran A. marina dan R. mucronata mempunyai nilai keanekaragaman jenis mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan tegakan monokultur A. marina dan campuran S. alba dan R. mucronata.

Komposisi serangga dengan menggunakan metode yellow-pan trap menunjukkan hasil yang berbeda pada ketiga tipe tegakan. Menurut Godfray (1994) dalam Perdana (2010), serangga ordo Hymenoptera yang terperangkap pada yellow-pan trap kemungkinan besar merupakan serangga yang bersifat tertarik terhadap warna kuning. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya, serangga yang banyak tertangkap yellowpan-trap adalah famili Ephydridae (Gambar 5E) dan Psychodidae (Gambar 5B) dari ordo Diptera. Perbedaan ini diduga karena perbedaan habitat.

Komposisi serangga pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata lebih tinggi, baik dibandingkan dengan tegakan monokultur A. marina maupun tegakan campuran S. alba dan R. mucronata. Faktor yang mempengaruhi perbedaan komposisi serangga pada ketiga tipe tegakan tersebut antara lain adalah sifat serangga itu sendiri (misalnya cara hidup, makan, dan berkembang biak) dan faktor lingkungan dari masing-masing tegakan. Pernyataan ini dipertegas oleh Tofani (2008), komposisi dan kelimpahan jenis serangga dipengaruhi oleh kelimpahan jenis tumbuhan, baik pohon maupun tumbuhan bawah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kelimpahan tumbuhan mempengaruhi komposisi serangga pada ketiga tipe tegakan tersebut.

Menurut Kahono et al. (2003), jumlah individu pada setiap ordo serangga atau kelompok serangga tertentu memiliki kecenderungan fluktuasi yang bervariasi sepanjang tahun. Fluktuasi serangga dari waktu ke waktu sangat dipengaruhi oleh dinamika lingkungannya yang terjadi di dalam hutan. Perubahan fenologi tumbuhan hutan, kondisi fisik, iklim dan cuaca dari waktu ke waktu mempengaruhi reproduksi, pertumbuhan, dan mortalitas serangga. Perubahan ini secara langsung dan tidak langsung akan menyebabkan perubahan jumlah serangga dari waktu ke waktu.

Tegakan campuran A. marina dan R. mucronata mempunyai kerapatan tumbuhan dan keanekaragaman jenis mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan tegakan monokultur A. marina dan campuran S. alba dan R. mucronata. Perbedaan komposisi jenis mangrove mempengaruhi penyediaan makanan (serasah) bagi serangga. Semakin melimpah serasah, maka semakin melimpah pula individu serangga permukaan tanah (Tofani 2008).

(23)

yang membusuk. Beberapa jenis Diptera berperan sebagai vektor penyakit manusia, predator dan polinator (Borror et al. 1996). Menurut Daly et al. (1978), larva Diptera hidup di lokasi yang lembab dan berair, jarang yang hidup di daerah kering.

Jenis serangga yang mendominasi tegakan campuran A. marina dan R. mucronata dan tegakan monokultur A. marina adalah famili Ephydridae dari ordo Diptera (Gambar 5E). Famili Ephydridae merupakan lalat pantai dengan ukuran kecil sampai sangat kecil. Famili ini banyak ditemukan di daerah akuatik dan ada beberapa jenis yang hidup di air payau bahkan daerah akuatik yang mempunyai kadar garam tinggi (Borror et al. 1996).

Persyaratan hidup dari famili Ephydridae sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata serta monokultur A. marina. Kedua tipe habitat tersebut merupakan komunitas mangrove yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai, laguna, dan muara sungai yang terlindung) yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut, yang tumbuhannya toleran terhadap garam (kondisi salin) (Kusmana et al. 2008).

Tegakan campuran S. alba dan R. mucronata, didominasi oleh famili Psychodidae dari ordo Diptera (Gambar 5B). Famili Psychodidae merupakan lalat berukuran kecil sampai sangat kecil dan biasanya berambut serta hidup di tempat-tempat teduh yang lembab. Larva dari famili ini biasanya terdapat pada bagian tumbuh-tumbuhan yang membusuk, lumpur, lumut dan air (Borror et al. 1996).

Menurut hasil penelitian Rachmawati (2005), serangga tanah yang ditemukan di Hutan Lindung Angke Kapuk yaitu famili Staphylinidae dari ordo Coleoptera, famili Formicidae dari ordo Hymenoptera dan famili Dolichopodidae yang ditemukan dalam bentuk larva dari ordo Diptera. Banyaknya sampah di Hutan Lindung Angke Kapuk mempengaruhi keberadaan dari famili Staphylinidae.

Keanekaragaman jenis serangga dipengaruhi oleh faktor kualitas dan kuantitas makanan, antara lain banyaknya tanaman inang yang cocok, kerapatan tanaman inang, umur tanaman inang, dan komposisi tegakan (Suratmo 1974). Hasil analisis indeks keanekaragaman jenis serangga menunjukkan bahwa tegakan campuran S. alba dan R. mucronata mempunyai nilai indeks keanekaragaman tertinggi dibandingkan tegakan monokultur A. marina dan tegakan campuran A. marina dan R. mucronata. Hasil ini menunjukan bahwa banyaknya jumlah individu serangga yang tertangkap pada tiga habitat tersebut tidak diikuti dengan tingginya indeks keragaman jenis Shannon-wiener. Hal ini disebabkan dalam perhitungan indeks keanekaragaman jenis tidak hanya jumlah individu yang menentukan besarnya nilai indeks, tetapi kekayaan jenis juga sangat menentukan. Nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener (H’) dipengaruhi oleh kemerataan jenis dalam suatu komunitas. Nilai kemerataan jenis cenderung rendah bila komunitas tersebut didomninasi oleh satu jenis saja (Magurran 1988). Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), H’ maksimum hanya ketika semua jenis (jumlah total jenis dalam komunitas) diwakili oleh jumlah individu yang sama, yang merupakan distribusi kelimpahan yang sempurna.

(24)

dibandingkan sawah dan kebun sayur, namun nilai indeks keanekaragaman jenis serangga paling tinggi habitat kebun sayur (Tabel 8).

Tabel 8 Jumlah individu, jumlah famili, dan indeks keanekaragaman Hymenoptera di tiga lokasi pengamatan

Menurut Soegianto (1994) diacu dalam Perdana (2010), suatu komunitas dapat dikatakan mempunyai nilai keanekaragaman jenis tinggi jika pada komunitas tersebut terdapat serangga dengan tingkat kelimpahan jenis yang seimbang atau hampir sama. Namun jika pada suatu komunitas terdapat banyak jenis dan beberapa jenis saja yang dominan, maka nilai keanekaragaman jenis akan menurun. Keanekaragaman jenis akan berubah dan berbeda seiring berjalannya waktu dan terjadi alih fungsi dari tempat tersebut.

Jumlah morfospesies dan individu serangga tertinggi adalah pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata (Tabel 5). Kondisi ini didukung oleh faktor lingkungan. Hasil analisis vegetasi untuk ketiga tipe habitat menunjukkan nilai kerapatan tegakan yang cukup tinggi terdapat pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata, kondisi ini akan mempengaruhi sumber makanan untuk serangga. Tegakan campuran A. marina dan R. mucronata mempunyai nilai keanekaragaman jenis mangrove lebih tinggi dibandingkan tegakan monokultur A. marina dan tegakan campuran S. alba dan R. mucronata. Menurut Latumahina dan Anggraeni (2010), jumlah jenis dan individu serangga ordo Coleoptera di hutan lindung Sirimau dipengaruhi oleh jumlah individu dan jenis serta keanekaragaman vegetasi.

Hasil analisis menunjukkan bahwa jenis serangga yang ditemukan pada ketiga tipe tegakan mempunyai penyebaran yang merata. Hal ini ditunjukkan oleh nilai evenness index dari masing-masing tegakan yang tidak bernilai nol. Namun, pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata cenderung mendekati nol, yaitu sebesar 0.35 yang artinya ada kelompok serangga yang lebih mendominasi pada tegakan tersebut yaitu famili Ephrydidae dari ordo Diptera (Gambar 5E). Kemerataan jenis ini didukung oleh kondisi dari masing-masing tegakan (tersedianya sumber makanan untuk hidup serangga) dan kondisi serangga itu sendiri (misalnya cara makan dan hidup). Nilai kemerataan menunjukkan pola sebaran suatu spesies dalam suatu komunitas, semakin besar nilainya maka akan semakin seimbang pola sebaran suatu jenis di dalam komunitas, dan sebaliknya (Perdana 2010).

(25)

meneliti komunitas serangga pada tiga habitat di Hutan Simpan Sungai Lalang yaitu pada habitat hutan primer, hutan bekas tebangan berumur lima tahun, dan hutan bekas tebangan berumur sepuluh tahun menjelaskan bahwa komposisi ordo Hymenoptera dan Diptera yang tertangkap dengan metode yellow-pan trap dari kedua habitat yaitu hutan primer dan hutan bekas tebangan berumur sepuluh tahun mempunyai nilai kesamaan jenis serangga lebih tinggi dibandingkan dengan hutan bekas tebangan berumur lima tahun. Hal ini disebabkan adanya perbedaan habitat, yaitu pada hutan bekas tebangan berumur lima tahun dipengaruhi oleh curah hujan dan semak belukar, pada hutan bekas tebangan berumur sepuluh tahun dipengaruhi oleh curah hujan dan kedalaman serasah, serta pada hutan primer dipengaruhi oleh curah hujan, semak belukar, tumbuhan bawah, dan kedalaman serasah.

Kondisi habitat mempengaruhi kehidupan serangga. Menurut Tarumingkeng (1991), keadaan lingkungan hidup mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk hidup (biodiversitas) dan sebaliknya, keanekaragaman dan banyaknya makhluk hidup juga menentukan keadaan suatu lingkungan.

Perkembangan serangga dipengaruhi oleh faktor lingkungan habitatnya. Faktor lingkungan pada suatu habitat mempunyai pengaruh yang berbeda pada setiap jenis serangga. Menurut Wolda (1978) dalam Kahono dan Noerdjito (2001), banyak jenis serangga yang populasinya berfluktuasi seirama dengan perubahan curah hujan tetapi beberapa jenis yang lainnya tidak seirama atau berbalikan.

(26)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, tipe tegakan monokultur A. marina didominasi oleh satu jenis yaitu A. marina. Tipe tegakan campuran A. marina dan R. mucronata pada tingkat semai, pancang dan pohon didominasi oleh jenis A. marina serta terdapat jenis kodominan yaitu R. mucronata pada tingkat semai dan pancang. Pada tegakan campuran S. alba dan R. mucronata di setiap tingkat pertumbuhan didominasi oleh jenis S. alba, tetapi pada tingkat pancang terdapat jenis kodominan yaitu R. mucronata. Kerapatan tegakan tertinggi pada ketiga tipe tegakan adalah pada tingkat semai. Tegakan campuran A. marina dan R. mucronata mempunyai nilai keanekaragaman jenis mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan tegakan monokultur A. marina dan campuran S. alba dan R. mucronata.

Kelimpahan serangga pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata lebih tinggi dibandingkan tegakan campuran S. alba dan R. mucronata serta monokultur A. marina, yaitu masing-masing sebanyak 66 367, 55 931, dan 23 360 individu/ha. Tegakan campuran A. marina dan R. mucronata mempunyai jumlah morfospesies serangga terbanyak dibandingkan tegakan campuran S. alba dan R. mucronata serta monokultur A. marina, yaitu masing-masing sebanyak 47, 46, dan 29 jenis serangga.

Keanekaragaman jenis serangga pada tegakan campuran S. alba dan R. mucronata lebih tinggi dibandingkan tegakan monokultur A. marina dan tegakan campuran A. marina dan R. mucronata. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa banyaknya jumlah jenis dan individu serangga pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata tidak diikuti dengan tingginya nilai indeks keanekaragaman jenis serangga. Hal ini disebabkan oleh adanya jenis serangga yang mendominasi pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata. Pada tegakan monokultur A. marina dan campuran S. alba dan R. mucronata tidak ada dominansi jenis serangga tertentu, serangga menyebar dengan merata (nilai E5 mendekati 1), sedangkan pada tegakan campuran A. marina dan R. mucronata terdapat jenis serangga yang dominan yaitu famili Ephydridae dari ordo Diptera (Gambar 5E). Tingkat kesamaan jenis serangga antar tegakan tergolong rendah (nilai Cj mendekati 0).

Saran

(27)

KEANEKARAGAMAN SERANGGA

DI EKOSISTEM MANGROVE:

Studi Kasus Hutan Mangrove

di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara

FITRIA DEWI KUSUMA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Borror DJ, Charles AT, Norman FJ. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta: Gajah mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect.

Daly HV, Doyen JT, Ehrlich PR. 1978. Introduction to Insect Biology and Diversity. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Ltd.

Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.

Hadi M, Tarwotjo U, Rahadian R. 2009. Biologi Insekta Entomologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Haneda NF. 2004. Insect communities in the three different forest habitat of Sungai Lalang Forest Reserve with emphasis on selected orders of insect [disertasi]. Malaysia: Doctor of Phylosophy, Universiti Putra Malaysia. Kahono S, Noerdjito WA. 2001. Fluktuasi curah hujan dan komunitas serangga di

hutan tropis Taman Nasional Gunung Halimun. Berita Biologi 5(6).

Kahono S, Amir M, Aswari P, Ernawati, Lilik RU, Pujiastuti E, Noerdjito WA, Suwito A. 2003. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. Bogor: JICA, Biodiversity Conservation Project.

Kusmana C, Wilarso S, Hilwan I, Pamoengkas P, Wibowo C, Tiryana T, Triswanto A, Yunasfi, Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Kusmana C, Istomo, Wibowo C, Wilarso S, Siregar IZ, Tiryana T, Sukardjo S. 2008. Manual Silvikultur Mangrove di Indonesia. Bogor: Korea International Cooperation Agency (KOICA).

Latumahina FS, Anggraeni I. 2010. Diversitas Coleoptera dalam kawasan hutan lindung Sirimau Kota Ambon [abstrak]. Di dalam: Seminar Nasional Biologi; Yogyakarta 24-25 Sep 2010. Yogyakarta: Fakultas Biologi, UGM. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer methods and

computing. New York: JohnWiley & Sons.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Croom Helm Ltd.

McNaughton SJ, Wolf LL. 1990. Ekologi Umum. Pringgoseputro S, B Srigandono, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: General Ecology.

Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta: Pradnya Paramitha. Noor YS, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di

Indonesia. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme.

Perdana TA. 2010. Keanekaragaman serangga Hymenoptera (khususnya parasitoid) pada areal pesawahan, kebun sayur, dan hutan di daerah Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Rachmawati LN. 2005. Keanekaragaman binatang tanah di hutan mangrove Muara Angke DKI Jakarta [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Schowalter TD. 2006. Insect Ecology: An Ecosystem Approach. Canada: Academic Press.

(29)

Maros, Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Suratmo G. 1974. Hama Hutan di Indonesia (Forest Entomology). Bogor: IPB. Tarumingkeng RC. 1991. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor:

Institut Pertanian Bogor.

Tofani DP. 2008. Keanekaragaman serangga di hutan alam resort Cibodas, Gunung Gede pangrango dan hutan tanaman jati di KPH Cepu [skripsi]. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

(30)

KEANEKARAGAMAN SERANGGA

DI EKOSISTEM MANGROVE:

Studi Kasus Hutan Mangrove

di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara

FITRIA DEWI KUSUMA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(31)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove: Studi Kasus Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013

(32)

ABSTRAK

FITRIA DEWI KUSUMA. Keanekaragaman Serangga di Ekosistem mangrove: Studi Kasus Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan NOOR FARIKHAH HANEDA.

Hutan mangrove merupakan habitat dari serangga yang mempunyai peranan penting pada suatu ekosistem. Oleh karena itu, pentingnya peranan serangga dalam ekosistem dan begitu banyak jenis serangga yang belum teridentifikasi, maka upaya untuk mengkaji keanekaragaman serangga dalam ekosistem hutan menjadi suatu objek yang layak untuk dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi jenis mangrove dalam hubungannya dengan keanekaragaman jenis serangga. Penelitian ini dilakukan pada tiga tipe tegakan berbeda yang berada di Hutan Lindung mangrove Angke Kapuk dan Kawasan Mangrove Tol Sedyatmo, yaitu tegakan monokultur A. marina, tegakan campuran A. marina dan R. mucronata, serta tegakan campuran S. alba dan R. mucronata. Plot sampling untuk pengambilan data digunakan metode garis berpetak, setiap tegakan dibuat sebanyak delapan plot (10 m × 10 m). Penangkapan serangga dilakukan dengan menggunakan metode yellow-pan trap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe tegakan campuran A. marina dan R. mucronata mempunyai kelimpahan serangga tertinggi dibandingkan tegakan monokultur A. marina dan tegakan campuran S. alba dan R. mucronata. Serangga yang mendominasi pada ketiga tipe tegakan adalah dari ordo Diptera.

Kata kunci: Angke Kapuk, Keanekaragaman, Serangga, Mangrove

ABSTRACT

FITRIA DEWI KUSUMA. Diversity of Insects in Mangrove Ecosystem: Case Study of Mangrove in Angke Kapuk Coastal Area, Jakarta Utara. Supervised by CECEP KUSMANA and NOOR FARIKHAH HANEDA.

Mangrove is the habitat of various insects which have important function of ecosystem. However, many insect species and their functions in mangrove ecosystem have not been identified yet. This research is aimed to elucidate the species composition of mangrove in relation to the species diversity of insect. This research was conducted in three different mangrove stand in Mangrove Protection Forest of Angke Kapuk and Soedyatmo highway mangrove area. They are monoculture stand of A. marina, mixed stand of A. Marina and R. mucronata, and mixed stand of S. alba and R. mucronata. Sampling was collected by using line quadrat method. There were eight quadrats (10 m × 10 m) suspended at every mangrove stand. Incest traping was using yellow-pan trap method. The result indicates that the mixed stand A. Marina and R. mucronata has the highest value of insects abundance. The dominant insect at every mangrove stand were order of Diptera.

(33)

KEANEKARAGAMAN SERANGGA

DI EKOSISTEM MANGROVE:

Studi Kasus Hutan Mangrove

di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara

FITRIA DEWI KUSUMA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(34)

Judul Skripsi : Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove: Studi Kasus Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara

Nama Mahasiswa : Fitria Dewi Kusuma

NIM : E44080007

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MS

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen

(35)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Keanekaragaman Serangga di Ekosistem Mangrove: Studi Kasus Hutan Mangrove di Kawasan Pesisir Angke Kapuk, Jakarta Utara”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Keberhasilan skripsi ini tak lepas dari segala arahan, bimbingan, doa serta semangat dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS dan Ibu Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MS selaku dosen pembimbing, kepada kedua orang tua (Reman Jayakusuma dan S. Eni) dan kakak (Priyatna Reda Kusuma, Silvia Handayani Reda Kusuma, Sri Mulyani Reda Kusuma, dan Ratna Ningrum Sari Kusuma) atas doa dan dukungan kepada penulis, Eka Tjipta Foundation atas bantuan beasiswa selama kuliah, Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, staf di Departemen Silvikultur, keluarga besar Laboratorium Ekologi Hutan dan Entomologi Hutan atas bantuan dan masukannya, sahabat-sahabat (Lucia Yuliana, Siti Rayhani, Tantri Andari, Kiki Andika, Ela Kasim, Trisma, Putri Lestari, Novi, Anindita Juliana, Nur Triana Aprilia, Rara, Asep, Enike Ratna Sari, Tirsa dan Reza), dan seluruh pihak serta rekan-rekan yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi perkembangan penelitian selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2013

(36)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 1

Manfaat ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 2

METODE ... 5

Tempat dan Waktu Penelitian ... 5

Bahan dan Alat ... 6

Metode Pengumpulan Data ... 6

Metode Kerja ... 7

Analisis Data ... 9

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11

Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 11

Hasil ... 14

Pembahasan ... 18

SIMPULAN DAN SARAN ... 23

Simpulan ... 23

Saran ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 24

LAMPIRAN ... 26

(37)

DAFTAR TABEL

1. Indeks Nilai Penting jenis mangrove untuk setiap tingkat pertumbuhan

di lokasi penelitian ... 14 2. Nilai kerapatan pada setiap tingkat pertumbuhan di berbagai tipe

tegakan mangrove di lokasi penelitian ... 15 3. Nilai indeks keanekaragaman jenis mangrove pada berbagai tipe

tegakan di lokasi penelitian ... 15 4. Kelimpahan serangga berdasarkan ordo di setiap tipe tegakan ... 16 5. Jumlah morfospesies, nilai indeks keanekaragaman, dan indeks

kemerataan serangga di setiap tipe tegakan ... 17 6. Nilai indeks kesamaan jenis serangga antar tipe tegakan ... 18 7. Kondisi rata-rata suhu dan kelembaban pada tegakan monokultur A.

marina, campuran A. marina dan R. mucronata, dan campuran S. alba

dan R. mucronata ... 18 8. Jumlah individu, jumlah famili, dan indeks keanekaragaman

Hymenoptera di tiga lokasi pengamatan ... 21

DAFTAR GAMBAR

1. Peta lokasi penelitian ... 6 2. Desain plot sampling pada tegakan monokultur A. marina ... 7 3. Posisi peletakkan yellow-pan trap pada plot sampling ... 8 4. Plot ukur analisis vegetasi ... 8 5. Serangga yang tertangkap dengan metode yellow pan trap: (A)

Pipunculidae (Diptera) 10x; (B) Psychodidae (Diptera) 20x; (C) Gryllidae (Orthoptera) 10x; (D) Miridae (Hemiptera) 10x; (E)

Ephydridae (Diptera) 10x; (F) Elasmidae (Hymenoptera) 10x ... 16

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kelimpahan serangga pada tegakan monokultur A. marina, tegakan campuran A. marina dan R. mucronata, dan tegakan campuran S. alba

dan R. mucronata ... 26 2. Hasil analisis vegetasi pada tegakan monokultur A. marina, tegakan

campuran A. marina dan R. mucronata, dan tegakan campuran S. alba

(38)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki mangrove yang terluas di dunia dan juga keanekaragaman hayati terbesar serta strukturnya paling bervariasi. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut dengan komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusmana et al. 2005). Tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil (Noor et al. 2006).

Hutan mangrove mempunyai peran ganda baik ditinjau dari aspek fisik, ekonomi maupun ekologis. Secara fisik, hutan mangrove dapat berfungsi untuk menjaga garis pantai, mempercepat perluasan lahan, mengendalikan intrusi air laut, serta mengolah limbah organik. Fungsi ekonomi hutan mangrove diantaranya adalah berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan dan minuman. Fungsi ekologis dari hutan mangrove adalah sebagai tempat mencari makan, tempat memijah, tempat berkembang biak, tempat bersarang berbagai jenis satwa liar, dan habitat alami bagi berbagai jenis biota.

Hutan mangrove merupakan habitat dari salah satu keanekaragaman hayati yang dapat dibanggakan Indonesia yaitu serangga. Serangga merupakan golongan hewan yang jumlahnya paling banyak di muka bumi ini dan mempunyai peranan yang sangat penting pada suatu ekosistem.

Keanekaragaman serangga diyakini dapat digunakan sebagai salah satu bioindikator kondisi suatu ekosistem. Oleh karena itu, pentingnya peranan serangga dalam ekosistem dan begitu banyak jenis serangga yang belum teridentifikasi, maka upaya untuk mengkaji keanekaragaman serangga dalam ekosistem hutan menjadi suatu objek yang layak untuk dilakukan.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur komposisi tegakan mangrove, menduga kelimpahan serangga, dan menduga besarnya nilai keanekaragaman jenis mangrove dan jenis (morfospesies) serangga pada berbagai tipe tegakan mangrove (tegakan monokultur A. marina, tegakan campuran A. marina dan R. mucronata serta tegakan campuran S. alba dan R. mucronata).

Manfaat Penelitian

Gambar

Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Gambar 2  Desain plot sampling pada tegakan monokultur A. marina
Gambar 4  Plot ukur analisis vegetasi
Tabel 2  Nilai kerapatan pada setiap tingkat pertumbuhan di berbagai tipe tegakan mangrove di lokasi penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun, karena keterbatasan kemampuan penulis terhadap gaya bahasa pada bahasa Mandarin, maka penulis hanya membahas beberapa gaya bahasa yang sering digunakan pada lirik lagu,

3) Ende Tumba/Embas , lagu-lagu yang dinyanyiakan orang muda sebagai iringan untuk tari tumba atau embas, menari sambil membuat lingkaran di halaman kampung (halaman ni huta)

Salah satu cara untuk membungkus hadiah yang telah disiapkan tentu saja, membuat sendiri GiftBox dengan ukuran yang diinginkan, dan tentu saja yang dengan bungkus yang bisa

Conclusions: Factors affecting the mortality in adult tetanus patients were significant for incubation period,.. fever, co morbidity and severity of the disease

Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami berdoa. Bapa kami yang di surga, kami bersyukur kepada-Mu, karena telah membawa kami ke mari untuk menyembah-Mu. Sekalipun kita tidak

Pada saat mencerna makanan, lambung melakukan gerakan peristaltik tetapi karena sel penggantinya tidak elastis maka akan timbul kekakuan yang pada

Studi aliran beban adalah penentuan atau perhitungan tegangan, arus, daya aktif, faktor daya dan daya reaktif yang terdapat pada berbagai titik dalam suatu

Sampel dalam penelitian ini diambil dengan metode purposive sampling, dengan pertimbangan bahwa kelompok tani ini sudah lama terbentuk dan masih eksis